Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau
intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri
sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini
berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga
sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang
lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi
yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini
diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”.
Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih
intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh
nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori
untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating
scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam
hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling
efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka
direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi.
VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus
menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien
kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat
merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu
kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan
tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien
dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat.
Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan
nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat
menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau
menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
ISI
A. Definisi Nyeri
1. Reseptor A delta
e) Diaphoresis
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
Mendengkur)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini
bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang
belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran
perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan
informasi pada klien.
b) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat
subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda.
Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan
orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan
stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi
terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum
nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana
orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar
endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit
merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih
besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari
ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan
klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang
menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti
apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang
yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus
seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
c) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti) Fase ini
terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien
masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat
krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca
nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon
akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat.
Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk
meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
1) Usia
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat
ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di
masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping
Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak
dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) skala intensitas nyeri deskritif 2) Skala identitas nyeri numerik 3) Skala
analog visual 4) Skala nyeri menurut bourbanis
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
Apa kira-kira Penyebab timbulnya rasa nyeri…? Apakah karena terkena ruda
paksa / benturan..? Akibat penyayatan..? dll.
Q : Qualitas / Quantitas
B. Klasifikasi Nyeri
1. Plexophaties
. Perbedaan Manajemen Nyeri Untuk Pasien Yang di Rumah Sakit dengan yang
di lingkungan masyarakat
Nyeri sendiri dapat didefinisikan sebagai "pengalaman sensoris dan
emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan, baik aktual maupun potensial atau dilukiskan dalam istilah seperti
kerusakan" (The International Association for the Study of Pain, 1979).
Namun dewasa ini, banyak rumah sakit yang telah melakukan upaya
intensif untuk mengelola rasa nyeri tersebut, sehingga rasa nyeri yang menyertai
tindakan medis, tindakan keperawatan, ataupun prosedur diagnostik pada
pasien dapat diminimalkan atau dilakukan tindak lanjut yang teratur, sesuai
dengan kriteria yang dikembangkan oleh rumah sakit dan kebutuhan pasien.
Nyeri yang dirasakan pasien dikelola dengan melakukan pemantauan secara
kontinyu dan terencana. Bahkan dalam akreditasi Joint Commission
International (JCI) isu manajemen nyeri ini menjadi salah satu elemen penilaian
yang dipersyaratkan untuk dipenuhi oleh pihak rumah sakit. Berbagai bentuk
pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien harus mengacu pada
pedoman pengelolaan rasa nyeri. Hal ini seperti tercantum dalam standar
akreditasi JCI berikut:
1. Patient and Family Rights (PFR)
PFR 2.4 Rumah sakit mendukung hak pasien untuk mendapatkan asesmen
dan pengelolaan rasa sakit yang tepat.
2. Assessment of Patients (AOP)
AOP 1.7 Semua pasien rawat inap dan rawat jalan diperiksa apakah
mengalami rasa nyeri dan diperiksa mengenai rasa nyeri tersebut jika ada.
3. Care of Patients (COP)
Gambaran menjadi pasien di rumah sakit yang identik dengan berbagai jenis
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pihak rumah sakit, acap kali
memberikan ketakutan tersendiri bagi pasien akan rasa nyeri yang dapat
menyertai proses pemberian pelayanan kesehatan tersebut. Sebagai contoh,
bagaimana proses transfusi darah dapat memberikan rasa nyeri bagi si
pasien, ataupun tindakan medis lainnya yang dapat memberikan rasa nyeri
pada pasien. Sumber-sumber nyeri dapat meliputi; prosedur tindakan medis,
tindakan keperawatan, dan prosedur diagnostik.
Dalam penanganan nyeri, perawat terlebih dahulu mengkaji tingkat nyeri yang
dirasakan pasien. Hal ini dikarenakan nyeri merupakan pengalaman interpersonal,
sehingga perawat harus menanyakannya secara langsung kepada klien
karakteristik nyeri dengan P Q R S T.
Provoking : Penyebab
Quality : Kwalitas
Region : Lokasi
Severate : Skala
Time : Waktu
a. Lokasi
Pengkajian lokasi nyeri mencakup 2 dimensi :
• Tingkat nyeri, nyeri dalam atau superfisial
• Posisi atau lokasi nyeri
• Nyeri superfisial biasanya dapat secara akurat ditunjukkan oleh
klien; sedangkan nyeri yang timbul dari bagian dalam (viscera) lebih
dirasakan secara umum.
Nyeri dapat pula dijelaskan menjadi empat kategori, yang berhubungan dengan
lokasi:
• Nyeri terlokalisir : nyeri dapat jelas terlihat pada area asalnya
• Nyeri Terproyeksi : nyeri sepanjang saraf atau serabut saraf spesifik
• Nyeri Radiasi : penyebaran nyeri sepanjang area asal yang tidak
dapat dilokalisir
• Reffered Pain (Nyeri alih) : nyeri dipersepsikan pada area yang jauh
dari area rangsang nyeri.
b. Intensitas
Nyeri dapat berupa : ringan, sedang, berat atau tak tertahankan. Perubahan dari
intensitas nyeri dapat menandakan adanya perubahan kondisi patologis dari
klien.
c. Waktu dan Lama (Time & Duration)
Beberapa perilaku nonverbal yang dapat kita amati antara lain : ekspresi wajah,
gemeretak gigi, menggigit bibir bawah dan lain-lain.
oStimulasi kulit
Plasebo dalam bahasa latin berarti saya ingin menyenangkan merupakan zat
tanpa kegiatan farmakologik dalam bentuk yang dikenal oleh klien sebagai
“obat” seperti kaplet, kapsul, cairan injeksi dan sebagainya.
2. Intervensi perilaku kognitif meliputi : oRelaksasi
Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
merelaksasikan keteganggan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik
relaksasi mungkin perlu diajarkan bebrapa kali agar mencapai hasil optimal.
Dengan relaksasi pasien dapat mengubah persepsi terhadap nyeri. oUmpan
balik biologis
Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi
tentang respon nyeri fisiologis dan cara untuk melatih kontrol volunter
terhadap respon tersebut. Terapi ini efektif untuk mengatasi ketegangan otot
dan migren, dengan cara memasang elektroda pada pelipis.
oHipnotis
Prinsip umum
PENUTUP
. Kesimpulan
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf
bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan
pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang
timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
DAFTAR PUSTAKA
Salemba Medika.
http://www.rajawana.com/artikel/pendidikan-umum/453-home-care.html
http://diponegoronursesassociation.blogspot.com/2008/05/home-care-
agencyprespektik-sistem.html
http://stikeskabmalang.wordpress.com/2009/12/18/home-care-seminar/
http://wwwdagul88.blogspot.com/2009/12/home-care-bab-i-
pendahuluanuntuk.html http://e-learning-
keperawatan.blogspot.com/2008/12/teori-leininger.html
http://egithink.multiply.com/journal/item/5