Sie sind auf Seite 1von 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau
intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri
sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini
berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga
sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang
lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi
yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini
diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”.
Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih
intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh
nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori
untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating
scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam
hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling
efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka
direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi.
VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus
menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien
kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat
merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu
kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan
tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien
dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat.
Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan
nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat
menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau
menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan
BAB II

ISI

A. Definisi Nyeri

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang


dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri,
2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait
dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan.
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang
secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara
anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang
tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan
pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang
timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

1. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det)


yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan.
2. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det)


yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul
dan sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi
reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan
jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri
yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini
meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan
sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif
terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,
iskemia dan inflamasi.
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat
pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya
Respon fisiologis terhadap nyeri

1. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)

a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

b) Peningkatan heart rate

c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

d) Peningkatan nilai gula darah

e) Diaphoresis

f) Peningkatan kekuatan otot

g) Dilatasi pupil

h) Penurunan motilitas GI
2. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

a) Muka pucat

b) Otot mengeras

c) Penurunan HR dan BP

d) Nafas cepat dan irreguler

e) Nausea dan vomitus

f) Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri

a) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

b) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas,

Mendengkur)

c) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

d) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan


gerakan jari & tangan
e) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,
Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd
aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat
berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi
kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih
untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat.
Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam
mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

a) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini
bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang
belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran
perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan
informasi pada klien.
b) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat
subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda.
Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan
orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan
stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi
terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum
nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana
orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar
endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit
merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih
besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari
ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan
klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang
menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti
apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang
yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus
seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
c) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti) Fase ini
terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien
masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat
krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca
nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon
akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat.
Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk
meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

1) Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji


respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika
sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung
memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri
adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami
penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara


signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya
(ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh
nyeri).
3) Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon


terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan
bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan
kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan


dan bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat


mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang
meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik
relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan


seseorang cemas.
7) Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat
ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di
masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan


sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota


keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan

Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak
dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) skala intensitas nyeri deskritif 2) Skala identitas nyeri numerik 3) Skala
analog visual 4) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :

0 : Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi


dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah
tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri,
tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi
nafas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
Penilaian Nyeri Berdasarkan PQRST P : Provokatif / Paliatif

Apa kira-kira Penyebab timbulnya rasa nyeri…? Apakah karena terkena ruda
paksa / benturan..? Akibat penyayatan..? dll.
Q : Qualitas / Quantitas

Seberapa berat keluhan nyeri terasa..?. Bagaimana rasanya..?. Seberapa sering


terjadinya..? Ex : Seperti tertusuk, tertekan / tertimpa benda berat, diris-iris, dll.
R : Region / Radiasi

Lokasi dimana keluhan nyeri tersebut dirasakan / ditemukan..? Apakah juga


menyebar ke daerah lain / area penyebarannya..?
S : Skala Seviritas

Skala kegawatan dapat dilihat menggunakan GCS ( Baca : Cara Mengukur


GCS (Glasgow’s Coma Scale) ) untuk gangguan kesadaran, skala nyeri /
ukuran lain yang berkaitan dengan keluhan
T : Timing

Kapan keluhan nyeri tersebut mulai ditemukan / dirasakan..? Seberapa sering


keluhan nyeri tersebut dirasakan / terjadi…? Apakah terjadi secara mendadak
atau bertahap..? Acut atau Kronis..?

B. Klasifikasi Nyeri

1. Klasifikasi nyeri menurut smeltzer & bare (2002) mengklasifikasikan


nyeri berdasarkan durasi yaitu :
a) Nyeri akut
Nyeri akut biasanya awitanya tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan
cidera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau
cidera telah terjadi. Nyeri ini umumnya terjadi kurang dari 6 bulan dan
biasanya kurang dari 1 bulan. Untuk tujuan definisi nyeri akut dapat
dijelaskan sebagai nyeri berlangsung dari beberapa detik hingga 6 bulan
b) Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiter yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung diluar waktu
penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan
dengan penyebab atau cidera spesifik. Nyeri kronik dapat tidak
mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit
diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap
pengobatan yang diarahkan pada penyembuhan. Nyeri kronik sering di
identifikasikan sebagai nyeri yang berlangsung selama 6 bulan atau
lebih, meskipun dapat berubah antara akut dan kronik.

Sementara Price dan Wilson (2006), mengklasifikasikan nyeri


berdasarkan lokasi atau sumber antara lain :
a) Nyeri Somatik superficial (kulit)
Nyeri kulit berasal dari struktur – struktur superficial kulit dan jaringan
subkutis. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri dikulit dapat
berupa rangsangan mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila hanya
kulit yang terlibat, nyeri sering dirasakan sebagai penyengat, tajam,
meringis atau seperti terbakar, tetapi apabila pembuluh darah ikut
berperan menimbulkan nyeri, sifat nyeri menjadi berdenyut.
b) Nyeri Somatik dalam
Nyeri somatic dalam mengacu pada nyeri yang berasal dari otot,
tendon, ligamentum, tulang,sendi dan arteri. Struktur-strukur ini
memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri kulit dan
cenderung menyebar ke daerah sekitar. c) Nyeri Viseral
Nyeri Viseral mengacu kepada nyeri yang berasal dari organ-organ
tubuh. Reseptor nyeri visceral lebih jarang dibandingkan dengan
reseptor nyeri somatic dan terletak di dinding otot polos organ-organ
berongga. Mekanisme utama yang menimbulkan nyeri visceral adalah
peregangan atau distensi abdominal dinding atau kapsul organ, iskemia
dan peradangan. d) Nyeri Alih
Nyeri alih didefinisikan sebagai nyeri berasal dari salah satu daerah
ditubuh tetapi dirasakan terletak didaerah lain. Nyeri alih sering
dialihkan kedermatom (daerah kulit) yang dipersyarafi oleh segmen
medulla spinalis yang sama dengan viksus yang nyeri tersebut berasal
dari masa mudigah, tidak hams ditempat orang tersebut berada pada
masa dewasa
e) Nyeri Neuropati
Sistem saraf secara normal menyalurkan rangsangan yang merugikan
demi system syaraf tepi (SST) ke system syaraf pusat (SSP) yang
menimbulkan perasaan nyeri. Dengan demikian, lesi di SST atau SSP
dapat menyebabkan gangguan atau hilangnya sensasi nyeri. Nyeri
neuropatik sering memiliki kualitas seperti terbakar, perih, atau seperti
tersengat listrik. Pasien dengan nyeri Neuropatik menderita akibat
instabilitas system syaraf otonom (SSO). Dengan demikian, nyeri
sering bertambah parah oleh stress emosi atau fisik (dingin,kelelahan)
dan mereda oleh relaksasi.
C. Sindrom Nyeri

Syndrome nyeri yang lazim terjadi : misalnya plexopaties, sensitization

1. Plexophaties

Istilah “plexopati” berkenaan dengan sindrom nyeri yang


berhubungan dengan pleksus saraf perifer. Abnormalitas neurologisnya,
melibatkan beberapa syaraf pada pleksus. Pada kasus brachial plexopati,
nyeri diperburuk oleh pernapasan yang dalam atau gerakan dari leher dan
bahu. Palpasi yang dalam pada daerah bahu dapat menimbulkan nyeri atau
perasaan penuh. Nyeri pada brachial plexopati mungkin berhubungan
dengan penyebaran neoplastik ke syaraf, perlekatan dan penyebaran
setelah infeksi, operasi, atau terapi radiasi.
Plexopathy adalah gangguan yang mempengaruhi jaringan saraf,
pembuluh darah, atau pembuluh getah bening. Wilayah saraf itu berada di
brakialis pleksus atau lumbosakral. Gejala yang ditimbulkan termasuk rasa
sakit atau nyeri, kehilangan kontrol motor, dan defisit sensorik.
Ada dua jenis utama plexopathy; Brachial plexopathy dan
lumbosakral plexopathy. Mereka biasanya disebabkan dari beberapa jenis
trauma lokal seperti dislokasi bahu. Kelainan juga dapat disebabkan oleh
kompresi, komorbiditas penyakit pembuluh darah, infeksi, atau mungkin
idiopatik dengan penyebab yang tidak diketahui.
Langkah pertama dalam evaluasi dan manajemen plexopathy terdiri
dari mengumpulkan riwayat medis dan pemeriksaan fisik oleh dokter
kesehatan. Pola fungsi motorik yang cacat akan terdeteksi dengan baik di
ekstremitas atas atau bawah membantu diagnosis gangguan tersebut. Xray
dari tulang belakang leher, dada, dan bahu biasanya diperintahkan jika
gejala menunjukkan keadaan akut pada brakialis plexopathy. Jika riwayat
fisik mengungkapkan riwayat diabetes, penyakit vaskular kolagen, atau
gejala infeksi, dokter dapat memerintahkan serangkaian tes darah
termasuk hitung darah lengkap (CBC) dan panel metabolik yang
komprehensif (CMP).
2. Sensitisation
Sensitisasi adalah karakterteristik nosiseptor dimana respon terhadap
stimuli meningkat ditempat cedera. Sensitisasi nosiseptor menghasilkan
hiperalgesia primer di tempat cedera yang menghasilkan nyeri terasa terus-
menerus selama istirahat dan meningkat selama dan setelah pembedahan,
cedera, persalinan dan sakit akut.
Input nosisepsi selama dan setelah pembedahan, cedera, persalinan
dan sakit akut dapat meningkatkan respon saraf yang mentransmisikan
nyeri di susunan saraf pusat, hal ini akan memperbesar sensasi nyeri secara
klinis. Peningkatan respon saraf di susunan saraf pusat terhadap input
aferen yang normal atau dibawah ambang (subtreshold) disebut sensitisasi
sentral (central sensitization). Besarnya sensitisasi sentral tergantung pada
banyak factor, termasuk tipe jaringan dan luasnya cedera
Sensittisasi sentral memperkuat transmisi input dari jaringan perifer
dan menghasilkan hiperalgesia sekunder, peningkatan respon neyri yang
dibangkitkan oleh stimuli diluar area cedera. Sensitisasi sentral bisa terjadi
baik di tingkat spinal maupun supraspinal.

D. Perbedaan Manajemen Nyeri

. Perbedaan Manajemen Nyeri Untuk Pasien Yang di Rumah Sakit dengan yang
di lingkungan masyarakat
Nyeri sendiri dapat didefinisikan sebagai "pengalaman sensoris dan
emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan, baik aktual maupun potensial atau dilukiskan dalam istilah seperti
kerusakan" (The International Association for the Study of Pain, 1979).
Namun dewasa ini, banyak rumah sakit yang telah melakukan upaya
intensif untuk mengelola rasa nyeri tersebut, sehingga rasa nyeri yang menyertai
tindakan medis, tindakan keperawatan, ataupun prosedur diagnostik pada
pasien dapat diminimalkan atau dilakukan tindak lanjut yang teratur, sesuai
dengan kriteria yang dikembangkan oleh rumah sakit dan kebutuhan pasien.
Nyeri yang dirasakan pasien dikelola dengan melakukan pemantauan secara
kontinyu dan terencana. Bahkan dalam akreditasi Joint Commission
International (JCI) isu manajemen nyeri ini menjadi salah satu elemen penilaian
yang dipersyaratkan untuk dipenuhi oleh pihak rumah sakit. Berbagai bentuk
pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien harus mengacu pada
pedoman pengelolaan rasa nyeri. Hal ini seperti tercantum dalam standar
akreditasi JCI berikut:
1. Patient and Family Rights (PFR)

PFR 2.4 Rumah sakit mendukung hak pasien untuk mendapatkan asesmen
dan pengelolaan rasa sakit yang tepat.
2. Assessment of Patients (AOP)

AOP 1.7 Semua pasien rawat inap dan rawat jalan diperiksa apakah
mengalami rasa nyeri dan diperiksa mengenai rasa nyeri tersebut jika ada.
3. Care of Patients (COP)

COP 6. Pasien didukung secara efektif dalam mengelola rasa nyerinya.

Gambaran menjadi pasien di rumah sakit yang identik dengan berbagai jenis
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pihak rumah sakit, acap kali
memberikan ketakutan tersendiri bagi pasien akan rasa nyeri yang dapat
menyertai proses pemberian pelayanan kesehatan tersebut. Sebagai contoh,
bagaimana proses transfusi darah dapat memberikan rasa nyeri bagi si
pasien, ataupun tindakan medis lainnya yang dapat memberikan rasa nyeri
pada pasien. Sumber-sumber nyeri dapat meliputi; prosedur tindakan medis,
tindakan keperawatan, dan prosedur diagnostik.

COP 7.1. Perawatan pasien dalam keadaan menjelang ajal mengoptimalkan


kenyamanan dan martabatnya.
Proses penerapan manajemen nyeri ini memerlukan peran aktif dari seluruh
civitas hospitalia yang memberikan pelayanan kesehatan pada pasien, serta
peran langsung dari pasien itu sendiri, dimana pasien didorong untuk
menyampaikan rasa nyeri yang mereka alami. Sedangkan pada proses
pelaksanaannya, pihak rumah sakit dapat mempergunakan beberapa
alternatif tools yang dapat dipergunakan untuk mengukur dan mengkaji
intensitas nyeri. Skala pengukuran nyeri sendiri dapat didasarkan pada self
report, observasi (perilaku), atau data fisiologis.
Berikut adalah beberapa tools yang dapat dipergunakan berdasar pada 'self
report' pasien :
1. Verbal Rating Scale (VRS): Verbal Rating Scale merupakan jenis
pengukuran nyeri yang telah lama dipergunakan dan merupakan
pengukuran nyeri dalam bentuk sederhana. Dapat berupa pertanyaan
sederhana 'apakah anda merasa nyeri?', yang dapat dijawab pasien dengan
'iya' atau 'tidak'. Namun, biasanya dalam pengukuran ini mempergunakan
4 sampai dengan 5 titik intensitas skala dengan deskripsi seperti; tidak
nyeri, sedikit nyeri, nyeri sedang, sangat nyeri.
2. Visual Analog Scale (VAS): Visual Analog Scale (VAS) adalah
instrumen untuk mengukur besarnya nyeri pada garis sepanjang 10 cm.
Biasanya berbentuk horizontal atau vertikal, dan garis ini digerakkan oleh
gambaran intensitas nyeri yang memiliki range dari tidak nyeri sampai
dengan rasa nyeri yang ekstrim.
3. Numerical Rating Scale (NRS): Numerical Rating Scale (NRS)
hampir sama dengan Visual Analog Scale, tetapi memiliki angka-angka
sepanjang garisnya, kisaran angka 0-10 dan pasien diminta untuk
menunjukkan rasa nyeri yang dirasakannya.
4. Faces Rating Scale dari Wong Baker: Instrumen dengan
menggunakan Faces Rating Scale terdiri dari 6 gambar skala wajah yang
bertingkat dari wajah yang tersenyum untuk "no pain" sampai wajah yang
berlinang air mata. Pasien dapat menunjukkan dengan gambar, tingkat rasa
nyeri yang dirasakannya.
Manajemen nyeri menjadi salah satu isu penting dalam proses pemberian
layanan kesehatan kepada pasien. Pada implementasinya pelayanan bermutu
diberikan dengan mempedulikan rasa nyeri yang dialami pasien, didukung
dengan tools pengkajian nyeri yang sesuai dan terdokumentasi dengan baik
serta pemberian manajemen nyeri sesuai pedoman yang ditetapkan.

E. Pengkajian Nyeri Secara Komperhensif


. Pengkajian Nyeri Secara Komprehensif

Manajemen nyeri suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak


menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang
berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan, pada orang lain ataupun diri
sendiri.
Penanganan Nyeri

Dalam penanganan nyeri, perawat terlebih dahulu mengkaji tingkat nyeri yang
dirasakan pasien. Hal ini dikarenakan nyeri merupakan pengalaman interpersonal,
sehingga perawat harus menanyakannya secara langsung kepada klien
karakteristik nyeri dengan P Q R S T.
Provoking : Penyebab

Quality : Kwalitas

Region : Lokasi

Severate : Skala
Time : Waktu
a. Lokasi
Pengkajian lokasi nyeri mencakup 2 dimensi :
• Tingkat nyeri, nyeri dalam atau superfisial
• Posisi atau lokasi nyeri
• Nyeri superfisial biasanya dapat secara akurat ditunjukkan oleh
klien; sedangkan nyeri yang timbul dari bagian dalam (viscera) lebih
dirasakan secara umum.
Nyeri dapat pula dijelaskan menjadi empat kategori, yang berhubungan dengan
lokasi:
• Nyeri terlokalisir : nyeri dapat jelas terlihat pada area asalnya
• Nyeri Terproyeksi : nyeri sepanjang saraf atau serabut saraf spesifik
• Nyeri Radiasi : penyebaran nyeri sepanjang area asal yang tidak
dapat dilokalisir
• Reffered Pain (Nyeri alih) : nyeri dipersepsikan pada area yang jauh
dari area rangsang nyeri.
b. Intensitas

Beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri :

• Distraksi atau konsentrasi dari klien pada suatu kejadian


• Status kesadaran klien
• Harapan klien

Nyeri dapat berupa : ringan, sedang, berat atau tak tertahankan. Perubahan dari
intensitas nyeri dapat menandakan adanya perubahan kondisi patologis dari
klien.
c. Waktu dan Lama (Time & Duration)

Perawat perlu mengetahui/mencatat kapan nyeri mulai timbul; berapa lama;


bagaimana timbulnya dan juga interval tanpa nyeri dan kapan nyeri terakhir
timbul.
d. Kualitas

Deskripsi menolong orang mengkomunikasikan kualitas dari nyeri. Anjurkan


pasien menggunakan bahasa yang dia ketahui: nyeri kepala mungkin dikatakan
“ada yang membentur kepalanya”, nyeri abdominal dikatakan
“seperti teriris pisau”.

e. Perilaku Non Verbal

Beberapa perilaku nonverbal yang dapat kita amati antara lain : ekspresi wajah,
gemeretak gigi, menggigit bibir bawah dan lain-lain.

F. Aktivitas Teraputik Dalam Penanganan Nyeri


. Terapeutik dalam penanganan nyeri pada pasien Penanganan
Aktivitas Nyeri
Tindakan Farmakologis

Umumnya nyeri direduksi dengan cara pemberian terapi farmakologi. Nyeri


ditanggulangi dengan cara memblokade transmisi stimulant nyeri agar terjadi
perubahan persepsi dan dengan mengurangi respon kortikal terhadap nyeri
Adapun obat yang digunakan untuk terapi nyeri adalah :
1. Analgesik Narkotik 2. Analgesik Lokal 3. Analgesik
yang dikontrol klien 4. Obat – obat nonsteroid

Tindakan Non Farmakologis

Menurut Tamsuri (2006), selain tindakan farmakologis untuk menanggulangi


nyeri ada pula tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari
beberapa tindakan penaganan berdasarkan :
1. Penanganan fisik/stimulasi fisik meliputi :

oStimulasi kulit

Massase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot.


Rangsangan masase otot ini dipercaya akan merangsang serabut berdiameter
besar, sehingga mampu mampu memblok atau menurunkan impuls nyeri
oStimulasi electric (TENS)
Cara kerja dari sistem ini masih belum jelas, salah satu pemikiran adalah
cara ini bisa melepaskan endorfin, sehingga bisa memblok stimulasi nyeri.
Bisa dilakukan dengan massase, mandi air hangat, kompres dengan kantong
es dan stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS/ transcutaneus electrical
nerve stimulation). TENS merupakan stimulasi pada kulit dengan
menggunakan arus listrik ringan yang dihantarkan melalui elektroda luar.
oAkupuntur
Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama digunakan untuk
mengobati nyeri. Jarum – jarum kecil yang dimasukkan pada kulit,
bertujuan menyentuh titik-titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri, yang
dapat memblok transmisi nyeri ke otak.
oPlasebo

Plasebo dalam bahasa latin berarti saya ingin menyenangkan merupakan zat
tanpa kegiatan farmakologik dalam bentuk yang dikenal oleh klien sebagai
“obat” seperti kaplet, kapsul, cairan injeksi dan sebagainya.
2. Intervensi perilaku kognitif meliputi : oRelaksasi
Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
merelaksasikan keteganggan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik
relaksasi mungkin perlu diajarkan bebrapa kali agar mencapai hasil optimal.
Dengan relaksasi pasien dapat mengubah persepsi terhadap nyeri. oUmpan
balik biologis
Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi
tentang respon nyeri fisiologis dan cara untuk melatih kontrol volunter
terhadap respon tersebut. Terapi ini efektif untuk mengatasi ketegangan otot
dan migren, dengan cara memasang elektroda pada pelipis.
oHipnotis

Membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.


oDistraksi
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri ringan sampai
sedang. Distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi
audio (mendengar musik), distraksi sentuhan (massase, memegang mainan),
distraksi intelektual (merangkai puzzle, main catur) oGuided Imagery
(Imajinasi terbimbing)
Meminta klien berimajinasi membayangkan hal-hal yang menyenangkan,
tindakan ini memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta konsentrasi
dari klien. Apabila klien mengalami kegelisahan, tindakan harus dihentikan.
Tindakan ini dilakukan pada saat klien merasa nyaman dan tidak sedang
nyeri akut.
PENANGANAN NYERI AKUT

o Nyeri akut sering dikelola dengan tidak memadai. Ini tidak


seharusnya demikian. Kontrol nyeri sering bisa diperbaiki dengan
strategi sederhana:
o Nilai nyeri
o Atasi dengan obat dan teknik yang anda sudah terbiasa o Nilai
kembali nyeri setelah terapi dan bersiap untuk memodifikasi
pengobatan jika perlu. o Analgesia yang baik mengurangi
komplikasi pasca bedah seperti infeksi paru, mual dan muntah,
DVT ,dan ileus.

Prinsip umum

1) Pasien yang mengeluh nyeri, berarti mereka betul-betul merasa


nyeri. Mereka perlu didengarkan dan dipercaya.
2) Tidak ada pola fisiologis atau perilaku yang bisa digunakan
untuk membuktikan bahwa seseorang sedang berpura-pura nyeri. 3)
Operasi yang sama mungkin akan menghasilkan kebutuhan analgesia
yang bervariasi pada berbagai pasien.
4) Derajat nyeri yang sama mungkin diekspresikan dengan cara
berbeda oleh berbagai pasien.
5) Opioid yang diberikan untuk nyeri akut tidak menyebabkan adiksi
obat.
6) Nyeri hebat setelah pembedahan bisa dicegah.
7) Cari sebab-sebab nyeri yang bisa diatasi, tetapi jangan tunda
analgesia dengan alasan takut menyelubungi tanda-tanda bedah. 8)
Dosis tepat dari analgesik opioid adalah ‘cukup dan sering cukup’
9) Manfaat maksimum dengan efek samping paling sedikit
sering diperoleh dengan kombinasi berbagai obat dengan cara
pemberian berbeda
(misal opioid dan AINS dan anestesi lokal)

Penilaian nyeri, analgesia, dan sedasi

1) Sistem skoring digunakan untuk menilai nyeri dan untuk mengukur


efektivitas pengobatan. Skor nyeri bisa ditulis di kartu suhu atau pada
kartu nyeri terpisah.
2) Skala analogi visual (VAS) adalah garis 10 cm di mana
ujungujungnya adalah 0 (tak ada nyeri) dan 10 (nyeri terburuk yang bisa
dibayangkan). Pasien membubuhi tanda pada garis untuk mengungkapkan
keparahan nyeri mereka. Teknik ini mungkin sukar diterapkan jika pasien
sedang berada dalam nyeri hebat.
3) Verbal rating scale (VRS) lebih sederhana. Pasien ditanya apakah
mereka tidak merasa nyeri, nyeri ringan, sedang atau berat dan diberi skor
0 untuk tidak nyeri, 1 untuk nyeri ringan, 2 untuk nyeri sedang, dan 3
untuk nyeri berat.
4) Pasien harus dinilai setelah dibangunkan dengan lembut. Sedasi
sebaiknya diberi skor sekaligus: 0 jika bangun, 1 jika mengantuk
kadangkadang, 2 jika kebanyakan tidur, 3 jika sukar dibangunkan.
5) Kombinasi skor sedasi dan frekuensi napas bisa digunakan untuk
mendiagnosis overdosis opioid.
6) Frekuensi < 8/menit dengan skor sedasi 3 menunjukkan overdosis.
7) Pernapasan lambat tanpa over-sedasi bisa diterima, tetapi
memerlukan kewaspadaan.
8) Naloxone intravena harus ditirasi dengan penambahan setiap 200
mg sampai over-sedasi memulih tanpa mengurangi efek analgesia.
Naloxone mungkin bekerja lebih singkat daripada opioid, sehingga
penilaian harus dilanjutkan karena sedasi bisa berulang.
BAB III

PENUTUP

. Kesimpulan

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf
bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan
pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang
timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
DAFTAR PUSTAKA

A. Aziz Alimul Hidayat. 2004. Pengantar konsep dasar keperawatan. Jakarta :

Salemba Medika.

http://www.rajawana.com/artikel/pendidikan-umum/453-home-care.html

http://diponegoronursesassociation.blogspot.com/2008/05/home-care-
agencyprespektik-sistem.html

http://stikeskabmalang.wordpress.com/2009/12/18/home-care-seminar/
http://wwwdagul88.blogspot.com/2009/12/home-care-bab-i-
pendahuluanuntuk.html http://e-learning-
keperawatan.blogspot.com/2008/12/teori-leininger.html

http://egithink.multiply.com/journal/item/5

Das könnte Ihnen auch gefallen