Sie sind auf Seite 1von 17

Artikel Penelitian

Terapi Antibiotik Pada Bedah Maxillofacial Dalam Konteks


Prophylaxis
BogusBawa Orzechowska-WylwgaBa,1 Adam WylwgaBa,2

MichaB BuliNski,1 and Iwona Niedzielska1

1
Department of Cranio-Maxillofacial Surgery, Medical University of Silesia,
Francuska 20/24, 40-027 Katowice, Poland 2Department of Internal Medicine and
Oncology, Medical University of Silesia, Reymonta 8, 40-027 Katowice, Poland

Correspondence should be addressed to Bogusława Orzechowska-Wylęgała;


boguslawa.wylegala@gmail.com
Received 28 October 2014; Accepted 26 November 2014
Academic Editor: Anjali Joshi
Copyright © 2015 Bogusława Orzechowska-Wylęgała et al. This is an open access article
distributed under the Creative Commons Attribution License, which permits unrestricted use,
distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited.

Tujuan. Tidak ada pola tertentu mengenai durasi dan jenis terapi antibiotik prophylaxis dalam

melakukan tindakan bedah maksilofasial. Dalam keadaan seperti ini, masuk akal jika kita

menetapkan standar yang relevan untuk prosedur profilaksis setelah operasi . Metode. Analisis

retrospektif terhadap uji bakteriologis telah dilakukan dan juga evaluasi pada kerentanan strain

bakteri dan kultur jamur terhadap antibiotik selama lima tahun pada subyek yang diobati di

Klinik Cranio-Maxillo di Katowice. Sebanyak 726 strain bakteri dan jamur dikultur dari 484

pasien (200 wanita dan 284 laki-laki). Usia pasien rata-rata adalah 40,2. Hasil. Bakteri yang

sering ditemukan pada pasien adalah bakteri gram positif 541 (74,5%). Bakteri gram negatif

ditemukan pada 177 (24,4%) kasus. Jamur dari genus Candida diisolasi dalam delapan kasus

1
(1,1%). Kesimpulan. Bakteri yang paling sering diisolasi adalah Streptococcus mitis dan

Streptococcus oralis, yang jumlahnya telah berkembang selama dua tahun terakhir. Terapi

empiris harus didasarkan pada ciprofloxacin dan gentamicin. Telah diamati bahwa semua bakteri

Gram positif menjadi lebih tahan terhadap semua antibiotik. Ampisilin dan imipenem adalah

antibiotik dengan penurunan tinggkat resisten yang paling tinggi sementara vankomisin

menunjukkan penurunan resistansi terendah.

1. Pendahuluan

Setiap melakukan tindakan pembedahan pada daerah facial skeleton dapat menyebabkan

penyebaran bakteri kedalam darah. Merusak daerah integuments dermal atau daerah

kontiniutas epitel pada rongga mulut dapat menyebabkan terjadinya penetrasi

mikroorganisme kedalam tubuh pasien1. Jika pasien memiliki daya tahan yang kuat saat

operasi maka fase terjadinya bacteremia tidak akan terjadi, namun dalam keadaan tertentu

misalnya pada prosedur yang membutuhkan waktu yang lama seperti onkologi, paska

trauma, operasi ortognatik akan memnyebabkan ketahanan tubuh menjadi lebih lemah.

Komplikasi pascaoperasi yang mungkin terjadi seperti terjadinya reaksi peradangan jaringan

lunak dan jaringan keras [2,3]. Untuk mencegahnya, secara umum menggunakan antibiotik

dan agen kemoterapi, hal ini dikenal dengan pemanfaatan antibiotik empiris dengan tujuan

profilaksis,biasanya terapi yang gagal dikarenakan ketika pemberian obat yang digunakan

adalah obat yang telah resisten terhadap strain bakteri [4]. Secara umum antibiotic yang

digunakan adalah antibiotic spectrum luas terhadap bakteri pathogen yang ada [3].

Kemudian, bagaimanapun, akan mengubah flora bakteri dari host, yang akan menjadi

resisten terhadap tindakan obat antibiotik. Akibatnya, penggunaaan antibiotic spectrum luas

dan spectrum sempit memiliki efek yang sama yaitu memiliki dampak yang buruk terhadap

2
flora fisiologis dan pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap antibiotic. Persoalan utama

lainnya adalah pemilihan dosis untuk memastikan bahwa konsentrasi obat dalam plasma

tidak turun dibawah minimum inhibitory concentration (MIC), Dan rasio antara konsentrasi

puncak (Cmax) dan MIC harus sesuai juga. Antibiotic yang sering direkomendasikan secara

rutin dan irasional (sesuai dengan permintaan pasien) terumana dalam kondisi adanya infkesi

akibat virus atau demam yang tidak diketahui asal usulnya. Yang berkontribusi terhadap

meningkatnya perkembangan jumlah strain yang resisten dan strain yang resisten terhadap

berbagai macam obat-obatan[6]. Pasien yang diobati dengan dosis terapeutik dapat

mengakibatkan terjadinya perkembangan superinfeksi atau infeksi baru , misalnya bakteri

Pseudomonas usus atau mycoses dari saluran pencernaan dan sistem pernapasan atau

urogenital. Kondisi tersebut merupakan hasil dari adanya reaksi inhibitor obat terhadap flora

bakteri yang menghasilkan zat antibakteri. Semakin luas aksi spektrum dan semakin lama

waktu penggunaannya maka semakin tinggu resiko terjadinya superinfeks [7]. Masalah yang

utama apabila terjadi cross-resistance, yaitu ketika mikroorganisme resistensi terhadap

beberapa kelompok obat antibiotik. Selain itu, penggunaan antibiotik yang salah dapat

menyebabkan terjadinya reaksi alergi atau Respon toksik serta adanya dampak interaksi obat

[8]. Terlepas dari penggunaan antibiotik yang benar, faktor penting lainnya adalah dosis obat

yang tepat. Ketika pemilihan obat dan dosis obat tidak diberikan secara tepat risiko terjadinya

peningkatan jumlah bacterimia meningkat, terutama pada berbagai kondisi yang kritis. Hal

ini mungkin terjadi ketika, beberapa hari setelah pemberian antibiotik dan setelah

mengalami perbaikan sesaat, kondisi umum pasien memburuk termasuk terjadinya demam

[9].

3
Rekomendasi mengenai penggunaan antibiotik profilaksis perioperatif yang

dikembangkan oleh Departemen Kesehatan gagal memberikan informasi secara rinci pada

operasi maxillofacial. Demikian juga, tidak ada patokan khsusus untuk tindakan pencegahan

mengenai durasi dan jenis terapi antibiotik pada operasi maksilofasial. Dalam keadaan

seperti itu, tampak masuk akal untuk menetapkan standar yang relevan untuk prosedur

profilaksis setelah operasi semacam itu.

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan berikut.

1. Pathogen apa saja yang dominam selama 2 tahun ?

2. Selama beberapa tahun, flora bakteri berubah (Misalnya, apakah jumlah

Pseudomonas atau Acinetobacter, Dll, meningkat)?

3. Apa kelemahan patogen yang dominan terhadap antibiotik dan apakah itu berubah

selama bertahun-tahun?

4. Manakah Antibiotik yang harus digunakan secara preventif sehingga bisa mencegah

komplikasi inflamasi pascaoperasi?

Untuk itu, analisis retrospektif telah dilakukan dari uji bakteriologis serta evaluasi kerentanan

strain bakteri dan jamur yang telah dikultur terhadap antibiotik selama periode lima tahun

pada subyek yang diobati pada Cranio-Maxillo-Facial Surgery Chair dan pasien rawat jalan

Klinik Bedah Maxillofacial di Katowice.

2. Bahan dan metode

Total dari 726 bakteri dan strain jamur dikultur dari 484 pasien (200 perempuan dan 284

laki-laki) yang dirawat pada kursi bedah Cranio-Maxillo-Facial dan klinik serta unit rawat

jalan bedah maxillofacial berbasis Independent Public Clinical Hospital (disebut "SPSKM")

Di kota Katowice Polandia antara 1 Januari 2008 dan 31 desember 2012 (tabel 1). Usia

4
pasien antara 8 dan 82 tahun (rat-rata usia 40.2). bahan utama diambil adalah pus dan

kemudian swabs dari sinus maxilla, dan sering kali dilakukan swabs dari fistula dermal dan

swabs pada luka yang melibatkan tulang (tabel 2)

Swabs ditempatkan pada kit transportasi nomor 1 dan kemudian dikirim ke Laboratorium

Sentral Unit Bakteriologi di SPSK-M. Bakteri diidentifikasi dalam Vitek 2.

Tabel 1 : jumlah pasien yang diperiksa berdasarkan jenis kelamin

Tahun
Jenis
kelamin Total

2008 2009 2010 2011 2012

L 31 63 61 59 70 284

p 23 48 33 47 49 200

Total 484

Tabel 2 : jenis swabs yang diambil dalam beberapa tahun

tahun
Asal swabs
2008 2009 2010 2011 2012

Abscess 21 98 73 65 78

Sinus 25 44 20 24 27

Dermal fistula 5 13 17 38 44

Bone 1 — 7 8 11

Wound 9 — 7 12 25

Oral cavity 2 5 4 3 6

Pharynx 11 — 2 4 2

hidung 1 — — — —

Urine 2 — — — —

darah — 2 4 — 6

Total 77 162 134 154 199

5
Penganalisa kompak untuk memberikan kartu analisis yang relevan sebelum penelitian

dengan menggunakan GP (untuk gram-positif) dan GN (untuk gram negative).persiapan

pembuatan bakteri gram-stained.Ragi dari jamur seperti jamur genus candidi diidentifikasi

dengan menggunakan Candida ID bioM´erieux chromogenic plates dan tes Auxacolor 2 oleh

Bio-Rad.

Untuk isolat klinis yang signifikan, antibiogram dibuat ( disk diffusion atau metode

otomatis) dengan menggunakan penganalisa bioM'erieux kompak VITEK 2. Antara 31 desember

2011, antibiogram dari 𝛼-haemolytic Streptococcus viridans dan 𝛽- haemolytic Streptococcus

pyogenes dibuat secara manual pada M¨uller-Hinton agar dengan menggunakan disc darah

dombah dari Becton-Dickinson. Kemudian media tersebut diinkubasi dalam thermostat pada

suhu 35oC selama 16-18 jam dalam asmospir CO2.

Pada metode otomatis, antibiogram dibuat pada sebuah Vitek 2 compact dan untuk

menganalisisnya menggunakan kartu AST-P 534 dan AST-533 untuk jenis streptococci lainnya,

AST-P 536 untuk staphylococci, dan AST-N 019 AST-N022 untuk bakteri gram-negatif. Sejak

januari 2012, AST-586, AST-576, dan kartu ST01 telah digunakan untuk streptococci, AST-

P580 untuk staphylococci, dan AST-N84, AST-N259, AST-N93, dan AST-N260 untuk bakteri

gram-negatif.

Antiobiogram diinterpretasi berdasarkan : kerentangan, semi-rentan, resistensi yang

berhubungan dengan metode penggunaan disk. Antiobiogram yang interpretasi berdasarkan :

kerentangan, semi-rentan, resistensi dikenal sebagai MIC (minimum inhibitory concentration

atau konsentrasi terendah antibiotik yang diberikan sehingga dapat menghambat pertumbuhan

mikroorganisme. Hal ini berkaitan dengan perlakuan antibiogram pada kartu.

6
Tabel 3 : isolasi mikroorganisme dari 484 pasien yang di rawat pada Cranio-Maxillo-Facial

Surgery Chair dan klinik rawat jalan unit bedah Maxillofacial

Microorganime 2008 2008% 2009 2009% 2010 2010% 2011 2011% 2012 2012% Total

Coagulase (−) Staphylococcus 7 9.09 33 20.37 47 35.07 41 26.62 38 19.10 166

MRSA S.aureus 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 2 1.01 2

MSSA S.aureus 14 18.18 10 6.17 13 9.70 9 5.84 8 4.02 54

Other G (+) cocci 4 5.19 13 1.23 5 3.73 5 3.25 2 1.01 29

SS. mitis and oralis 7 9.09 11 6.79 11 8.21 24 15.58 29 14.57 82

-haemolytic streptococci lainnya 10 12.99 21 12.96 16 11.94 16 10.39 26 13.07 89

Β-haemolytic streptococci 10 12.99 13 8.02 10 7.46 2 1.30 9 4.52 44

Viridans streptococci 3 3.90 8 4.94 0.00 9 5.84 26 13.07 46

Enterococcus 3 3.90 4 2.47 2 1.49 8 5.19 6 3.02 23

Total cocci 58 75.32 113 69.75 104 77.61 114 74.03 146 73.37 535

G (+) lainnya 0 0.00 2 1.23 1 0.75 1 0.65 2 1.01 6

Total G (+) 58 75.32 115 70.99 105 78.36 115 74.68 148 74.37 541 (74.52%)

E. coli 5 6.49 10 6.17 5 3.73 5 3.25 10 5.03 35

Klebsiella 3 3.90 11 6.79 4 2.99 5 3.25 10 5.03 33

Pseudomonas aeruginosa 3 3.90 1 0.62 1 0.75 0 0.00 4 2.01 9

Enterobacteriaceae 3 3.90 3 1.85 1 0.75 0 0.00 6 3.02 13

Haemophilus 1 1.30 7 4.32 10 7.46 8 5.19 6 3.02 32

Serratia 0 0.00 1 0.62 1 0.75 1 0.65 0 0.00 3

Acinetobacter 1 1.30 3 1.85 2 1.49 1 0.65 4 2.01 11

Proteus 1 1.30 2 1.23 1 0.75 3 1.95 1 0.50 8

Enterobacter 0 0.00 5 3.09 4 2.99 5 3.25 4 2.01 18

G (−) lainnya 1 1.30 3 1.85 0 0.00 8 5.19 3 1.51 18

Total G (−) 18 23.68 46 35.19 29 21.64 36 23.38 48 22.11 177 (24.38%)

Candida 1 1.30 1 0.62 0 0 3 1.95 3 1.51 8 (1.10%)

Total microorganisme 77 100.00 162 100 134 100 154 100 199 100 726 (100%)

G (+): bakteri Gram+; G (−):bakteri Gram−.

7
2.1 Analisis statistic. Kerentanan bakteri gram positif dan Gram negatif telah dibandingkan
dengan sembilan obat antimikroba selama dua periode, 2008–2010 dan 2011-2012. Hasil yang
didapatkan sesuai dengan analisis statistik dengan menggunakan Fischer’s test yaitu P < 0.05.
dilakukan pengujian one-way ANOVA dengan postset Dunnett menggunakanGraph-Pad Prism
versi 5.00 untuk Windows, GraphPad Software, San Diego, California, AS.

3. Hasil
Di antara bakteri yang diisolasi dari pasien, bakteri Gram Positif mendominasi pada 541,
yaitu 74,5%. Bakteri Gram Negatif ada pada 177 (24,4%) kasus. Jamur dari genus Candida
diisolasi dalam delapan kasus (1,1%).Sedangkan untuk bakteri gram positif, streptokokus
mendominasi, tercatat sebanyak 284 strain, Paling sering menjadi Streptococcus mitis dan
Streptococcus oralis, jumlah yang telah berkembang dalam dua tahun terakhir dari tujuh
(9,1%) strain biakan pada tahun 2008 menjadi 24 (15,6%) pada tahun 2011, Dan 29 (14,6%)
pada tahun 2012. pertumbuhan Streptococcus viridans pada tahun 2012 menjadi 26 strain
biakan, terhitung 13,1%, sedangkan Pada tahun 2008, hanya ada tiga (3,9%) Streptococcus
viridians yang dikultur. Pada saat yang sama, jumlah Staphylococcus aureus yang sensitive
terhadap methicillin turun dari 14 (18,2%) strain pada tahun 2008 menjadi delapan (4%) pada
tahun 2012. Sedangkan bakteri Gram negatif, Escherichia coli (35), Klebsiella Pneumoniae
(33), dan Haemophilus influenzae (32) mendominasi (tabel 3). Pada tahun terakhir, telah
banyak Enterobacteriaceae yang dikulture (enam strain, yaitu, 3%). Selama dua tahun
terakhir, jumlah jamur dari genus Candida yang dikulture telah berkembang. Pada tahun
2011 - 2012,terdapat enam strain yang dikultur dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya
(hanya ada dua strain jamur tersebut).
Dalam jangka waktu lima tahun, terdeteksi 24 patogen, yaitu 3,3% dari semua strain
bakteri yang dikultur. Jumlah tertinggi terdeteksi (12, yaitu 50% dari semua waspada
patogen) tahun 2012 (tabel 4). Ini membuktikan adanya proliferasi strain resisten antibiotik
yang tiba-tiba. Pada tahun 2008-2011, tidak ada strain Staphylococcus aureus yang resisten
methicyllin (MRSA) yang dikultur, sementara pada tahun 2012 ada dua (1%) strain MRSA.
Gambar 2012 terlihat mirip dengan patogen Klebsiella pneumoniae(tabel 3) Dan Escherichia
coli, tidak ada sebelumnya.

8
Secara statistik, perbedaan kerentanan bakteri Gram positif terhadap ampisilin (𝑃 =
0,0017) (Gambar 1) dan gentamicin (𝑃 = 0,0124) (Gambar 2) dalam perbandingan antara
2008-2010 dan 2011-2012 adalah signifikan. Namun, tidak ada signifikansi statistik
mengenai kerentanan bakteri Gram negatif terhadap antibiotik tersebut. Tidak ada
signifikansi statistik yang ditemukan terhadap kerentanan bakteri Gram positif dan Gram
negatif terhadap amoksisilin / klavulanat, siprofloksasin, sulfamethoxazole /
trimethoprim, penisilin, vankomisin, imipenem, dan klindamisin bila periode 2008-2010
dan 2011-2012 dibandingkan (tabel 5).
Terlihat jelas, semua bakteri Gram positif menjadi lebih resisten terhadap semua
kelompok antibiotik. Penurunan tersebut adalah yang paling besar untuk ampisilin dan
imipenem dan flattest untuk vankomisin: dari 100% sampai 98,8% bila periode 2008-
2010 dan 2011-2012 dibandingkan. Clindamycin terbukti relative lebih sedikit, turun dari
66,8% di tahun 2008-2010 menjadi 61,4% pada tahun 2011-2012.

tabel 4. Daftar waspada pathogen


Tahun
Microorganisme Total
2008 2008% 2009 2009% 2010 2010% 2011 2011% 2012 2012%

MRSA 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1.01 2

Streptococcus pyogenes 0 0 2 0 0 0 0 0 1 0.50 3

Streptococcus pneumoniae 0 0 0 0 1 0.75 0 0 0 0 1

Escherichia coli 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1.01 2

Klebsiella pneumoniae 0 0 0 0 0 0 0 0 3 1.51 3

Acinetobacter spp. 1 1.32 2 1.23 2 1.49 0 0 2 1.01 7

Pseudomonas spp. 0 0 1 0.62 1 0.75 0 0 2 1.01 4

Candida 1 1.32 0 0 0 0 1 0.65 0 0 2

Total 2 5 4 1 12 24

9
Tabel 5. Kerentanan bakteri Gram positif dan Gram negatif terhadap antibiotik pada 2008-2010 dan

2011-2012.
Gram-positif Gram-negatif
Antibiotik
2008–2010 2011-2012 5 years 2008–2010 2011-2012 5 years

Ampicillin 124 (89.9%) 93 (69.9%) 223 (82%) 27 (36.5%) 17 (38.6%) 44 (37.3%)

Amoxicillin clavulanate N/A N/A N/A 42 (64.6%) 28 (60.9%) 70 (63%)

Ciprofloxacin 75 (87.2%) 20 (80%) 95 (85.6%) 60 (87%) 25 (89.3%) 85 (87.6%)

Sulfamethoxazole/ trimethoprim 139 (91.4%) 139 (82.4%) 275 (86.7%) 40 (75.5%) 54 (77.14%) 94 (74%)

Gentamicin 105 (94.6%) 86 (84.3%) 191 (89.7%) 51 (94.4%) 56 (87.5%) 107 (90.7%)

Vancomycin 248 (100%) 260 (98.8%) 508 (99.4%) N/A N/A N/A

Imipenem 22 (100%) 30 (83.3%) 52 (89.6%) 69 (92%) 5 (90%) 123 (91.1%)

Clindamycin 171 (66.8%) 148 (61.4%) 319 (64.2%) N/A N/A N/A

Penicillin 135 (53.4%) 119 (50.4%) 254 (51.9%) N/A N/A N/A

N/A: not applicable.

Gambar 1. Kerentanan bakteri gram positif dan Gram Gambar 2. Kerentanan bakteri gram positif dan Gram
negatif terhadap ampisilin, dibandingkan pada tahun negatif terhadap gentamicin, dibandingkan pada
2008-2010 dan 2011-2012. tahun 2008-2010 dan 2011-2012.

Bakteri gram negatif terbukti lebih rentan terhadap ampisilin, ciprofloxacin, dan
sulfamethoxazole / trimethoprim bila periode 2008-2010 dan jika dibandingkan 2011-2012
sebaliknya, ditemukan kurangnya Kerentanan terhadap amoksisilin dengan klavulanat,
gentamisin, dan imipenem.

10
4. Pembahasan
Karena semakin banyak bakteri yang resisten dan multidrug resistant (resisten terhadap
lebih dari satu macam antibiotic) terhadap obat antibakteri muncul. Sehingga kemungkinan
diperlukan untuk membuat obat baru yang memiliki efek terbatas , praktik penggunaan
antibiotik secara umum sedang dibahas dan kadang-kadang dipertanyakan. Organisasi
Kesehatan Dunia (World Health Organisation ) memperingatkan bahwa perang melawan
infeksi yang didapat di rumah sakit (hospital-acquired infections) meliputi strain bakteri
multidrug-resistant dapat dihilangkan dan penduduk planet ini mungkin dapat
menemukannya pada masa menjelang era postantibiotik[10].
Baumgartner dan Xia, dari USA, telah menilai resistensi antibiotik. Persentase
kerentanan terhadap 98 spesies seperti penisilin V: (85%), (91%); Amoksisilin + asam
klavulanat: (100%); Dan klindamisin: (96%) [11]. Kami memperoleh hasil yang berbeda:
penisilin V: 50%; Amoksisilin + asam klavulanat 62%; Dan klindamisin 63%.
Rega dkk. Dari Amerika Serikat telah membuktikan bahwa bakteri yang paling umum
diisolasi dari infeksi kepala dan leher yang berasal dari odontogenik adalah Streptococcus
viridans. Bakteri itu ditemukan 64% G+. Gram-positif cocci diisolasi 57,7% spesimen dan
bakteri batang Gram-negatif diisolasi pada 33% kultur [12]. Ini bertentangan dengan hasil
kami dimana mikroorganisme yang paling banyak terisolasi adalah Streptococcus mitis dan
Streptococcus oralis dan kami telah mengamati penurunan konstan Streptococcus viridans.
Bakteri Gram + diisolasi pada 74,5% sedangkan bakteri Gram diisolasi pada 24,4%.
Bakteri yang paling umum diisolasi oleh Walia dkk. Dari India adalah Staphylococcus
aureus, Klebsiella, Escherichia coli, dan Peptostreptococcus [13]. Kami mengamati jumlah
bakteri ini menurun.
Kedzia dkk. Bakteri yang terisolasi berasal dari 39 abses intraoral. Dalam semua sampel,
mereka mengisolasi bakteri dan jamur yang sangat langka. Terutama bakteri anaerob, bakteri
Gram negatif yang sebagian besar berasal dari Prevotella, Bacteroides, dan Fusobacterium
genera tetapi juga Peptostreptococcus. Di antaranya aerob, cocci Gram-positif, kebanyakan
Streptococcus yang mendominasi [14]. Hal itu tidak mendukung temuan kami, di mana
bakteri anaerob jelas lebih sedikit atau minoritas. Dari kultur purulen, terutama pyococci
Gram positif diisolasi dan terutama juga genus Streptococcus. Ini mungkin berkaitan dengan

11
metode sampling yang salah untuk pengujian bakteriologis dan menjaga sampel dalam waktu
yang terlalu lama sebelum tes.
subjek Literatur memiliki peningkatan jumlah artikel yang juga melaporkan penelitian
yang berfokus pada apakah profilaksis dengan obat antibakteri mutlak diperlukan saat strain
Enterococcus (VRE) menjadi sangat resisten terhadap vankomisin. Strain enterococcus dulu
dianggap sebagai patogen yang memiliki relevansi klinis kecil, sementara saat ini bakteri
tersebut bertanggung jawab atas infeksi saluran kemih, endokarditis, bakteriemia, dan sepsis.
Secara khusus, mereka menyebabkan kondisi buruk pada pasien yang mengalami
imunosupresi. Bahkan antibiotik terbaru pun gagal, seperti linezolid: yang diperkenalkan
pada tahun 2000 dan banyak diharapkan sebagai obat yang dapat melawan strain VRE yang
terus berkembang biak, ternyata pada tahun 2002 obat tersebut tidak efektif melawan infeksi
yang disebabkan VRE di Eropa Barat. Dan kemudian muncul bakteri patogen peringatan
lainnya seperti MRSA, Pseudomonas aeruginosa yang mengalami resistensi multidrug,
Escherichia coli ESBL, dan Klebsiella pneumoniae ESBL. Untuk mencari obat antibakteri
baru yang efektif, Warnke dkk. [10] Australia telah membuktikan khasiat minyak nabati dari
sereh (Cymbopogon), pohon teh, dan Eucalyptus. Minyak sereh sangat aktif melawan
bakteri gram positif sementara Minyak pohon teh aktif melawan bakteri gram negatif. Zat
tersebut menyebabkan degradasi dinding sel bakteri dan penurunan toleransi osmotik. Tan et
al. Dari Singapura melakukan uji klinis acak multicentre mengenai penggunaan antibiotik
oleh 329 pasien sehat yang menjalani perawatan implantasi rutin. Mereka menilai kejadian
nyeri, edema, perdarahan dan lividen selama dua minggu setelah perawatan. Hasil studi
perbandingan pada empat kelompok pasien menunjukkan bahwa profilaksis antibiotik
sebelum dan sesudah pengobatan tidak berdampak pada hasil pengobatan dan Komplikasi
pascaoperasi Seperti diketahui, antibiotik dianjurkan setelah implantasi [15]. Artikel lain oleh
Adelson dan Adapp dari New York yang berfokus pada penggunaan antibiotik secara oral
oleh pasien dengan peradangan kronis pada sinus paranasal. Percobaan ini melibatkan
penggunaan macrolides dibandingkan dengan plasebo dan tidak menunjukkan perbaikan
yang signifikan dalam keberhasilan pengobatan. Penulis menempatkan banyak penekanan
pencarian pengobatan kausal dengan alasan odontogenik dan pengngeleminisian mereka
lebih dari pada memberikan terapi antibiotik tambahan. Pendekatan semacam itu sangat baik
dan terbukti benar oleh praktik kami selama bertahun-tahun merawat pasien di klinik kami.

12
hanya pada pasien sinusitis kronis dengan tingkat imunoglobulin yang lebih rendah Para
penulis menunjukkan dampak positif dari terapi antibiotik jangka panjang dengan
menggunakan macrolides [16]. Lodi dkk. Dari Milan melakukan 18 percobaan double-blind
placebo-controlled secara acak dengan menggunakan profilaksis antibiotik pada 2.456 pasien
sehat yang melakukan pencabutan gigi molar tiga. Hasilnya menunjukkan, bila dibandingkan
dengan plasebo, antibiotik Mengurangi risiko infeksi dan timbulnya "dry socket" sekitar
70%. Namun, penelitian tersebut gagal membuktikan bahwa mereka memiliki dampak
terhadap demam, edema, atau trismus hingga tujuh hari setelah perawatan. Para penulis
menyimpulkan bahwa untuk mencegah infeksi tunggal setelah pencabutan molar ketiga ,
terdapat dua belas pasien harus minum antibiotik [17]. Sisalli dkk. (Amoxicillin dan
clavulanic) membandingkan keberhasilan dan efek samping amoksisilin dengan asam
klavulanat (first line drug) dan obat ceftazidime (second-line drug) sebagai profilaksis
pencabutan gigi molar tiga. Pada 107 pasien, yang terbagi dalam dua kelompok, antibiotik
tersebut diberikan selama lima hari pasca operasi dan tidak ada signifikansi statistik yang
ditemukan di antara mereka. Hal ini menuntun pada kesimpulan bahwa tidak ada indikasi
pemberian second-line antibiotik secara intramuskular sebagai profilaksis setelah pencabutan
gigi molar ketiga. Apakah ini berarti lebih banyak manfaanya dari pada bahayanya,
mengingat resistensi bakteri terhadap antibiotik yang terus meningkat? Di Unit Rawat Jalan
Klinis kami, antibiotik hanya diindikasikan setelah operasi panjang yang melibatkan
pengangkatan sebagian besar jaringan tulang untuk mengeluarkan impaksi molar tiga. Hal ini
disebabkan oleh adanya peningkatan risiko peradangan pada tulang dan "dry socket" yang
merupakan sebuah bentuk dari osteitis yang terbatas.
Schaefer dan Caterson dari Boston melakukan penelitian retrospektif terhadap 79 pasien
yang diobati dengan osteosintesis karena fraktur mandibula. Mereka membandingkan
efektivitas pencegahan antibiotik dengan ampisilin dikombinasikan dengan sulbaktam
dibandingkan klindamisin. Hal itu menunjukkan bahwa hanya 19,35% pasien yang diobati
dengan clindamycin yang mengalami komplikasi inflamasi dan hanya 7,59% dari mereka
yang diobati dengan ampisilin dan sulbaktam. Sebagai kesimpulan untuk alasan profilaksis,
antibiotik semacam itu harus digunakan untuk melawan bakteri aerob dan anaerobik.
Pengamatan dari klinik kami membuat kami menahan diri untuk tidak menggunakan
antibiotik dalam kasus pasien sehat dengan fraktur skeleton tanpa komplikasi. Antibiotik

13
diindikasikan untuk pasien lanjut usia dengan penyakit sistemik dan pada patah tulang yang
dipersulit oleh karena adanya peradangan purulen.
Meropenem diindikasikan untuk perawatan empiris sebelum mengidentifikasi penyebab
mikroorganisme pada terapi infeksi yang serius pada orang dewasa dan anak-anak.
Constantinides F. dkk. (rapidly progressing) menggambarkan kasus yang cepat Berkembang
yaitu abses orbital subperiosteal sebagai komplikasi faringitis yang disebabkan oleh
Streptococcus Streptococcus A-haemolitik Grup A pada pasien berusia 15 tahun yang sehat.
Bakteri ini diperkirakan bertanggung jawab atas sekitar 15-30% kasus faringitis akut pada
anak usia 5-12 tahun. Dalam literatur, banyak komplikasi yang digambarkan dimana bakteri
ini merupakan faktor etiologi. Dalam materi kami, al tersebut terisolasi hanya secara berupa
sporadis (tiga kasus).
penelitian ini menunjukkan bahwa klindamisin terbukti kurang efektif terhadap bakteri
Gram positif dimana keefektifannya turun menjadi sekitar 61%. Hal itu mungkin terkait
dengan fakta yang ada bahwa zat tersebut sangat banyak digunakan dalam kedokteran gigi
dalam bentuk klindamisin.
kejadian yang disebabkan oleh bakteri adalah tergantung pada tempat dan waktu,
ketersediaan obat hanya untuk data geografi dan epidemiologis saat ini [18]. Karena itu,
penelitian ini tidak memungkinkan kita untuk menarik kesimpulan umum mengenai
penggunaan agen antibiotik.
5. Kesimpulan
1. Bakteri yang paling sering diisolasi adalah Streptococcus mitis dan Streptococcus oralis,
yang jumlahnya telah berkembang selama dua tahun terakhir. Pengamatan cenderung
pada pada lebih banyak streptokokus kecuali dari kelompok Viridans. Pada saat
bersamaan, angka untuk Staphylococcus aureus telah menurun.
2. Dilihat dari hasil uji resistensi, terapi empiris harus didasarkan pada ciprofloxacin dan
gentamicin.
3. Telah diamati bahwa semua bakteri Gram positif menjadi lebih resisten terhadap semua
kelompok antibiotik. Penurunan resistensi paling curam menyangkut ampisilin dan
imipenem sedangkan penurunan resistansi yang terendah adalah dalam kasus vankomisin.

Konflik kepentingan

14
Penulis menyatakan bahwa tidak ada kepentingan konflik terkait publikasi makalah ini.

Ucapan Terima Kasih

dengan rasa syukur Penulis mengakui Profesor AndrzejMadej yang memberikan


wawasan dan keahliannya yang sangat membantu dalam penelitian dan Ms Urszula Jarosz
atas bantuan teknisnya.

Referensi

[1] E. M. Beltrami, I. T. Williams, C. N. Shapiro, and M. E. Chamberland, “Risk and


management of blood-borne infec-tions in health care worker,” Clinical Microbiology
Reviews, vol. 13, no. 3, pp. 385–407, 2000,
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=88939&tool=pmcentrez&rendert
ype=abstract.

[2] T. Gander, A. S. Bingoel, L. Mascolo, K. W. Gratz,¨ and H.-


T. Lubbers,¨ “Infection after dental intervention. Iatrogenic or general medical cause? Case
report,” Schweizer Monatsschrift fur¨ Zahnmedizin, vol. 123, no. 1, pp. 19–31, 2013.

[3] E. H. Schaefer and E. J. Caterson, “Antibiotic selection for open reduction internal fixation
of mandible fracture,” Journal of Craniofacial Surgery, vol. 24, no. 1, pp. 85–88, 2013.

[4] U. Chaweewannakom, T. Turajane, T. Wongsarat, V. Larbpai-boonpong, R. Wongbunnak,


and W. Sumetpimolchai, “Cost analysis of peri-operative antibiotic administration in total
knee arthroplasty,” Journal of the Medical Association of Thailand, vol. 95, supplement 10,
pp. S42–47, 2012.

[5] Y. Mouton and E. Senneville, “Broad- versus narrow-spectrum antibiotic use: the role of in
vitro testing and its correlation with clinical efficacy,” Postgraduate Medical Journal, vol.
68, supplement 3, pp. S68–S72, 1992.

[6] G. S. Ajantha and V. Hegde, “Antibacterial drug resistance and its impact on dentistry,” The
New York State Dental Journal, vol. 78, no. 4, pp. 38–41, 2012.
[7] L. Weinstein, “Superinfection: a complication of antimicrobial therapy and prophylaxis,” The
American Journal of Surgery, vol. 107, no. 5, pp. 704–709, 1964.
[8] B. Schaller, P. L. Soong, J. Zix, T. Iizuka, and O. Lieger, “The role of postoperative
prophylactic antibiotics in the treat-ment of facial fractures: a randomized, double-blind,

15
placebo-controlled pilot clinical study. Part 2: Mandibular fractures in 59 patients,” The
British Journal of Oral and Maxillofacial Surgery, vol. 51, no. 8, pp. 803–807, 2013.

[9] A. M. Kicinska,´ M. Lichodziejewska-Niemierko, M. Bronk,

A. Sledzinska,´ A. Samet, and B. Rutkowski, “Sensitivity for antibiotics among the E. coli
strains isolated from patients with different clinical stage of infection,” Przegla¸d lekarski,
vol. 69, no. 6, pp. 217–221, 2012.

[10] P. H. Warnke, A. J. S. Lott, E. Sherry, J. Wiltfang, and R. Podschun, “The ongoing battle
against multi-resistant strains: in-vitro inhibition of hospital-acquired MRSA, VRE, Pseu-
domonas, ESBL E. coli and Klebsiella species in the presence of plant-derived antiseptic
oils,” Journal of Cranio-Maxillofacial Surgery, vol. 41, no. 4, pp. 321–326, 2013.

[11] J. C. Baumgartner and T. Xia, “Antibiotic susceptibility of bacteria associated with


endodontic abscesses,” Journal of Endodontics, vol. 29, no. 1, pp. 44–47, 2003,
http://www.science-direct.com/science/article/pii/S0099239905607947.\

[12] A. J. Rega, S. R. Aziz, and V. B. Ziccardi, “Microbiology and antibiotic sensitivities of


head and neck space infections of odontogenic origin,” Journal of Oral and Maxillofacial
Surgery, vol. 64, no. 9, pp. 1377–1380, 2006.

[13] I. S. Walia, R. M. Borle, D. Mehendiratta, and A. O. Yadav, “Microbiology and


antibiotic sensitivity of head and neck space infections of odontogenic origin,” Journal of
Oral and Maxillofacial Surgery, vol. 13, no. 1, pp. 16–21, 2014.

[14] A. Kedzia, W. Kiewlicz, K. Maciejewska et al., “The occur-rence of microorganisms in


intraoral abscesses,” Medycyna Do´swiadczalna i Mikrobiologia, vol. 57, no. 2, pp. 209–215,
2005, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16134393.

[15] W. C. Tan, M. Ong, J. Han et al., “Ef fect of systemic antibiotics on clinical and patient-
reported outcomes of implant therapy— a multicenter randomized controlled clinical trial,”
Clinical Oral Implants Research, vol. 25, no. 2, pp. 185–193, 2014.

[16] R. T. Adelson and N. D. Adappa, “What is the proper role of oral antibiotics in the
treatment of patients with chronic sinusitis?” Current Opinion in Otolaryngology & Head
and Neck Surgery, vol. 21, no. 1, pp. 61–68, 2013, http://www.ncbi
.nlm.nih.gov/pubmed/23299120.

16
[17] G. Lodi, L. Figini, A. Sardella, A. Carrassi, M. del Fabbro, and S. Furness, “Antibiotics to
prevent complications following tooth extractions,” Cochrane Database of Systematic Reviews,
vol. 11, Article ID CD003811, 2012.
[18] H. O. Orlans, S. J. Hornby, and I. C. J. W. Bowler, “In vitro antibiotic susceptibility patterns
of bacterial keratitis isolates in Oxford, UK: a 10-year review,” Eye, vol. 25, no. 4, pp. 489–493,
2011.

17

Das könnte Ihnen auch gefallen