Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
PENDAHULUAN
Angka kejadian sindroma nefrotik pada anak sebesar 2-3 kasus per 100.000 anak
per tahun pada usia 16 tahun kebawah. Di negara barat penyebabnya lebih sering bersifat
idiopatik dan angka kejadian lebih tinggi pada negara berkembang yang disebabkan
paling banyak oleh malaria.[1] Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak
berusia kurang dari 14 tahun.[5] Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.[IDAI]
Pada pemeriksaan biopsi histopatologi sindroma nefrotik yang paling sering ditemukan
pada anak-anak adalah minimal change nephrotic syndrome (MCNS), focal segmental
glomerulonefritis (FSGN), membranous nephropathy.[2]
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2
1.1. Histologi Glomerulus
Glomerulus merupakan kumparan kapiler yang berfungsi sebagai filter ginjal.
Kapiler glomerulus disusun oleh sel endothelial dan memiliki sitoplasma tipis yang
memiliki fenestrasi.[1]
Sel podosit adalah sel epitelial yang terdiferensiasi khusus dan terletak di luar
dinding kapiler glomerulus. Perpanjangan sel podosit berterminasi pada membran basalis
glomerulus yang membentuk suatu celah diafragma yang menjadi barier penghalang
protein yang biasa disebut fenestra. Fungsi lain secara struktural untuk menunjang
kapiler-kapiler glomerulus dan mensistesis dan memperbaiki membran basalis
glomerulus.[3]
Membran basal glomerulus terdiri dari lapisan tipis diantara sisi sel mesangial dan
sel endotalial dan pada sisi sel epitelial. Membran ini terdiri dari 3 lapisan: bagian pusat
elektron-lamina densa, lamina rara interna dan lamina rara eksterna.[1]
3
1.2. Fisiologi Glomerulus
Glomerulus merupakan kumparan kapiler darah yang adalah bagian dari nefron
yang berfungsi untuk mengfiltrasi plasma dari protein. Saat aliran darah melewati
glomerulus, plasma bebas protein terfilter melewati kapiler ke kapsula bowman. Proses
ini dikenal dengan istilah filtrasi glomerulus, yang merupakan langkah pertama
terbentuknya urin. Rata-rata, 125 ml plasma yang terfiltrasi dari glomerulus tiap
menitnya, yang dalam sehari terbentuk 180 liter. Semua komponen dalam darah yaitu
H2O, nutrien, elektrolit, dan lain-lain ikut terfiltrasi kecuali protein dan sel darah.[4]
4
Dinding pembuluh kapiler glomerulus terbentuk dari selapis sel endotelial.
Lapisan ini memiliki pori-pori yang disebut fenestra yang bersifat seratus kali lebih
permeabel terhadap H2O daripada dinding pembuluh darah yang lain. Membran basal
bersifat aseluler seperti lapisan gelatin yang terdiri dari kolagen dan glikoprotein yang
letaknya berada di antara glomerulus dan kapsula Bowman. Protein plasma yang
berukuran besar tidak dapat terfiltrasi, karena tidak dapat melewati fenestra, tetapi ukuran
pori-pori ini cukup besar untuk dilewati oleh albumin, protein plasma terkecil. Akan
tetapi karena membran basalis memiliki komponen glikoprotein yang bersifat negatif dan
albumin dan protein plasma yang lain juga bersifat negatif, mereka tidak dapat terfiltrasi.
Oleh sebab itu, protein plasma hampir-hampir tidak dapat terfiltrasi.[4]
Proses filtrasi dapat terjadi dengan adanya gaya yang mendorong plasma untuk
melalui fenestra membran glomerulus. Tidak ada mekanisme transport aktif maupun
pengeluaran energi yang terlibat dalam proses filtrasi plasma melewati membran
glomerulus ke kapsula Bowman. Gaya pasif yang terbentuk dari tekanan darah pada
pembuluh darah kapiler glomerulus, tekanan osmotik plasma koloid, dan tekanan
hidrostatik kapsula Bowman.[6]
2.4 Sindroma Nefrotik
2.4.1 Definisi dan Klasifikasi
Sindroma nefrotik merupakan kumpulan empat penermuan gejala dan laboratorium
berupa: (1) edema, (2) Proteinuria, (3) hipoalbuminemia. (4) hiperlipidemia. Sindroma
nefrotik adalah manifestasi dari berbagai perjalanan penyakit pada ginjal. Walaupun
demikian, penyebab tersering pada anak-anak di bawah usia 16 tahun masih idiopatik.[2]
Pada pemeriksaan biopsi, mayoritas yang ditemukan adalah minimal-change
nephrotic syndrome (MCNS), focal segmental glomerulosclerosis (FSGS), dan
membranous nephropathy pada anak-anak.[2]
Sindroma nefrotik juga dapat diklasifikasikan berdasarkan respon penyakit terhadap
pengobatan steroid oral, yaitu sensitif steroid, steroid independent, dan steroid resistant.[1]
2.4.2 Etiologi dan Patofisiologi
Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti
penyakit sistemik seperti lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein,
infeksi (HIV, hepatitis B dan C, sifilis, toxoplasmosis, malaria), obat-obatan atau toksik
5
(NSAID, litium, ampisilin, penisilin, heroin, mercury), keganasan (limfoma, leukemia),
alergen (beberapa makanan tertentu, sengatan lebah), dan obesitas.[IDAI dan Netter] Walaupun
demikian, etiologi tersering pada anak-anak adalah idiopatik. Sindroma nefrotik juga
dapat berhubungan dengan beberapa penyebab glomerulpnefritis, seperti lupus nefritis,
membranoproliferatif glomerulonefritis (MPGN), dan imunoglobulin A nefropati. Semua
ini dapat menyebabkan gangguan imunologi dan faktor-faktor inflamasi yang bersirkulasi
dan terdeposisi yang dapat mempengaruhi permeabilitas kapiler glumerulus atau
menyebabkan kerusakan pada lapisan filtrasi glomerulus baik pada glomerular basement
membrane (GBM) ataupun pada sel podosit. Karena pada keduanya merupakan barier
terhadap filtrasi terutama protein, yang jika terjadi peningkatan permeabilitas pada
dinding kapiler glomerulus dapat menyebabkan bocornya protein yang berujung pada
proteinuria masif dan hipoalbuminemia.[2]
Pada pemeriksaan mikroskop elektron, dapat ditemukan penipisan, retraksi dan
vakuolisasi pada lapisan tersebut dan pada beberapa kasus tertentu dapat dijumpai
penumpukan sel imun kompleks. Pada pemeriksaan mikroskop cahaya dapat tidak
ditemukan kelainan (minimal change), proliferasi sel mesangial atau ekspansi matriks,
yang merupakan beberapa morfologi dari focal and segmental glomerulosclerosis
(FSGS), atau penebalan pada GBM. [2]
Keadaan proteinuria yang terjadi menyebabkan penurunan kadar protein plasma
yang menyebabkan penurunan tekanan onkotik. Keadaan ini menyebabkan kebocoran
atau penarikan cairan plasma ke interstisial, membentuk edem. Keadaan ini juga
menyebabkan penurunan volume intravaskular, yang mencetus sintesis vasopresin (anti
diuretik hormon) dan faktor natriuretik atrial bersamaan dengan aldosteron yang
mengakibatkan peningkatan retensi sodium dan air di tubulus. Oleh karena itu, retensi
natrium dan air terjadi sebagai konsekuensi penurunan volume intravaskular.[Nelson] Hal
ini akan berujung pada perubahan tekanan darah ortostatik, takikardi, dan dapat
ditemukan hasil laboratorium yang menunjukkan hemokonsentrasi akibat dari
hipovolemi.[2]
6
Hiperlipidemia merupakan hasil dari peningkatan sintesis lipoprotein di liver,
disebabkan oleh tekanan onkotik yang rendah pada vena porta dan hilangnya lipoprotein
densitas tinggi pada urin. Profil lipid yang meningkat adalah kolesterol, trigliserida, low-
density lipoprotein (LDL), dan very-low-density lipoprotein (VLDL).[2]
7
perubahan posisi dan aktivitas, dimana pada extrimitas bawah dapat terlihat bengkak
pada siang hari. Edem juga dapat terbentuk pada bagian yang bergantung, seperti regio
sacrum, dan genitalia. Efusi pleura biasanya asimtomatik, tetapi jika sudah banyak
terakumulasi akan menyebabkan gangguan pernapasan. Asites dapat menyebabkan hernia
umbilikal dan inguinal dan dapat menyebabkan komplikasi yang lebih serius seperti
peritonitis bakterialis spontan. Dinding usus yang edem dapat menyebabkan penurunan
nafsu makan, kolik abdomen, dan diare yang dimana jika terjadi secara kronik, dapat
menyebabkan kehilangan protein secara enteropati.
2. Jantung berdetak kencang
3. Gangguan pernapasan
4. Hepatomegali
5. Lemas
6. Mual
7. Penurunan nafsu makan
8. Oligouria atau kencing berbusa
9. Garis putih pada dasar kuku, rambut menjadi kusam, dan tulang rawan telinga
menjadi rapuh merupaka akibat dari keadaan hipoalbumin yang berlangsung kronik.
2.4.4 Diagnosis[5]
Sindroma nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah
kepada infeksi saluran kemih.
8
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin pertama pagi hari.
3. Pemeriksaan darah
a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED)
b. Albumin dan kolesterol serum
c. Ureum, kreatinin serta creatinin clearence
d. Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan
ditambahkan dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-
DNA.
2.4.6 Tatalaksana[5]
Sebelum pengobatan steroid dimulai, lakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus
eritematosis sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun cacingan. Setiap infeksi perlu
dieradikasi terlebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6
bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT).
Diet[2.8]
Pasien biasanya diterapi dengan diet rendah sodium, diuretik dan statin untuk
menurunkan hiperlipidemia. Tujuan terapi diet untuk mengendalikan gejala yang
berhubungan dengan sindroma nefrotik (edema, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia),
menurunkan resiko progresifitas penyakit ke gagal ginjal, dan menjaga cadangan nutrisi.
9
Rekomendasi lain untuk batasan konsumsi protein sesuai anjuran recomendation daily
allowance terhadap konsumsi protein. Restriksi garam kurang lebih 2-3 gram per hari.
Dampak dari sindroma nefrotik salah satunya adalah hiperkolesterolemia yang dapat
menyebabkan penyakit kardiovaskular. Pada pasien anak-anak yang sering terjadi relaps
atau sindroma nefrotik resisten memiliki resiko aterosklerosis prematur. Diet rendah
lemak diimbangi dengan obat penurun kolesterol dapat mengurangi kolesterol total, LDL
dan trigliserid pada pasien sindroma nefrotik.
Diuretik
Restriksi cairan pada pasien edem berat dianjurkan. Pemberian loop diuretic
seperti fuosemid 1-3mg/kgbb/hari, dan bisa dikombinasikan dengan spironolakton
(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4mg/kgbb/hari.
Glukokortikoid
Jika terjadi remisi selama 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua
dengan dosis 40mg/m2LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5mg/kgbb/hari, secara altering (selang
seling), 1 kali sehari setelah makan pagi. Jika terjadi gangguan enteral akibat edem pada
usus sehingga mengganggu penyerapan, obat dapat diganti dengan metilprednisolon yang
diberkan secara parenteral. Urin pertama pagi hari harus selalu dipantau setiap hari
10
dengan menggunakan uji dip stick. Dikatakan remisi jika selama tiga hari berturut-turut
hasil uji dip stick didapatkan protein negatif.
Dikatakan kambuh jika hasil uji dip stick didapatkan hasil protein urin ≥+2
selama 3 hari berturut-turut dan terdapat edema. Pengobatan relaps diberikan dosis
penuh sampai terjadi remisi (maksimal 4 minggu ) dilanjutkan dengan dosis alternating
selama 4 minggu. Pada pasien yang didapatkan hasil protein urin ≥+2 selama 3 hari
berturut-turut tanpa disertai dengan edema dapat dicari penyebab pemicunya, biasanya
infeksi saluran napas atas. Setelah pemberian antibiotik setelah 5-7 hari, proteinuria
menghilang maka tidak diperlukan pemberian terapi prednison.
Pasien dikatakan dependen steroid jika saat menghentikan penggunaan steroid atau dalam
2 minggu setelah menghentikan terapi steroid terjadi relaps. Resistensi steroid diartikan
jika dalam 8 minggu terapi standart steroid tidak terjadi remisi. Beberapa pasien dengan
resistensi steroid menunjukkan remisi dengan penggunaan metilprednisolon parenteral.
11
Levamisol sebagai steroid sparing agent yang diberikan dengan dosis 2.5mg/kgbb
dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek sampingnya adalah mual,
muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel.
3. Pengobatan dengan sitostatik
Obat sitostatik yang paling sering digunakan adalah siklofosfamid (CPA) atau
klorambusil. Siklofosfamid diberikan peroral dengan dosis 2-3mg/kgbb/hari dosis
tunggal. Efek sampingnya adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia,
sistitis hemoragik, azospermia, dan jangka panjang menyebabkan keganasan.
Penggunaan terapi ini membutuhkan pemantauan darah tepi. Klorambusil diberikan
dengan dosis 0.2-0.3mg/kgbb/hari selama 8 minggu. Penggunaan klorambusil terbatas
karena memiliki efek toksik berupa kejang dan infeksi.
4. Pengobatan dengan sikosporin (CyA), atau mikofenolat mofetil
SN idiopatik yang tidak berespon dengan pengobatan steroid atau sitostatik dengan
dosis 4-5mg/kgbb/hari. CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi,
sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi jika CyA
dihentikan biasanya akan relaps kembali.
Mikofenolat mofetil (MMF) diberikan pada pasien yang tidak memberikan respons
dengan levamisol atau sitostatik dengan dosis 800-1200mg/m2LPB atau 25-
30mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12-24 bulan. Efek
sampingnya adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.
12
Pengobatan SN resisten steroid:
Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk
melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi
prognosis.
1. Siklofosfamid (CPA)
Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA 2-
3mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan, bila terjadi relaps dapat diberikan
bersamaan dengan prednison dengan dosis 40mg/m2LPB/hari dosis alternating
kemudian ditapering off dengan dosis 1mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan
dengan 0,5mg/kgbb/hari selama 1 bulan, karena SN yang resisten steroid dapat
menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak
terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali,
dapat diberikan siklosporin. [5]
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi. Efek
samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva,
dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointertisial. Olehkarena
itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan:[5]
- Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250nanogram/mL
- Kadar kreatinin darah berkala
- Biopsi ginjal setiap 2 tahun
Dosis siklosporin 4-5mg/kgbb/hari (100-150mg/m2LPB).
13
3. Metilprednisolon puls
Pemberian metilprednisolon puls selama 82 minggu diberikan bersamaan dengan
prednison oral dengan dosis maksimum 60mg dan siklofosfamid 2-2,5
mg/kgbb/hari atau klorambusil 0,18-0,22 mg/kgbb/hari 8-12 minggu.
Metilprednisolon dosis 30mg/kgbb (maksimum 1000mg) dilarutkan dalam 50-100
mL glukosal 5% diberikan dalam 24 jam.[5]
Imunisasi
Pada pasiend SN yang mendapat pengobatan kortikosteroid ≥2mg/kgbb.hari atau total
≥20mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais.[7] Pada
pasien SN dalam keadaan seperti ini hanya boleh diberikan vaksi virus mati, seperti IPV
14
(inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat
diberikan vaksin hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela.
Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi
pneumokokus dan varisela.[5]
2.4.7 Komplikasi[10]
1.2.1. Infeksi
Anak menjadi rentan terkena infeksi terutama pada kulit, paru-paru dan peritoneum.
Hal ini disebabkan karena kadar imunoglobulin yang rendah, defisiensi protein,
gangguan opsonisasi pada bakteri, dan akibat pengobatan imunosupresif jangka
panjang.
1.2.2. Trombosis
Kelainan koagulasi dan sistem fibrinolitik dapat menyebabkan hiperkoagulasi dan
mengakibatkan meningkatnya masalah tromboemboli. Angka kejadian ini mencapai
1.8% pada anak. Hal ini disebabkan akibat hilangnya protein fibrinolisis dan
meningkatnya sintesis protein prokoagulan.
1.2.3. Pertumbuhan abnormal dan nutrisi
Pertumbuhan berat badan dapat berkurang atau dapat berhenti pada anak dengan SN
yang tidak terkontrol. Terjadinya malnutrisi protein, kalori, kurang nafsu makan,
dan malabsorbsi akibat edem pada saluran cerna.
15
1.2.4. Anemia
Anemia ringan kadang ditemukan pada pasien SN yang bersifat mikrositik
hipokrom, karena defisiensi besi yang tipikal. Pada beberapa pasien terdapat
penurunan transferin serum karena hilangnya protein di urin dalam jumlah besar.
2.4.8 Prognosis
Pada beberapa kasus, 4 minggu pertama setelah pengobatan pasien akan mengalami
perbaikan atau remisi. Tetapi 80% anak yang mengalami remisi setelah 4 minggu
pengobatan mengalami relaps dalam 1 tahun, 60% relaps setelah diberikan pengobatan
setelah 8 minggu, dan hanya 38% yang relaps setelah diberikan pengobatan untuk 12
minggu.[10] Pada pasien dengan SN yang responsif dengan steroid jarang berkembang
menjadi penyakit ginjal kronik dikemudian hari, penyakit ini jarang bersifat herediter.
Anak dengan SN resisten steroid memiliki prognosis yang lebih buruk. Penyakit ini dapat
berkembang menjadi insufisiensi ginjal, dapat menjadi penyakit ginjal stadium akhir yang
membutuhkan dialisis maupun transplantasi ginjal.[1]
16
BAB 3
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
18