Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
BAB III
PENDAHULUAN
1.1 Definisi
Abses adalah peradangan purulenta yang juga melebur ke dalam suatu rongga (rongga
Abses) yang sebelumnya tidak ada, berbatas tegas (Rassner et al, 1995: 257). Menurut
Smeltzer, S.C et al (2001: 496). Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan
pengumpulan pus (bakteri, jaringan nekrotik dan SDP). Sedangkan menurut EGC (1995: 5)
Abses adalah kumpulan nanah setempat dalam rongga yang terbentuk akibat kerusakan
jaringan.
mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi intraseluler. Bakteri
2.Reaksi hipersentivitas
mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan.
3.Agen fisik
Kerusakan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma fisik,
ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebih (frosbite).
Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa) akan merusak
jaringan yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses radang. Disamping itu, agen
penyebab infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung
mengakibatkan radang.
5.Nekrosis jaringan
oksigen dan makanan pada daerah bersangkutan, yang akan mengakibatkan terjadinya
kematian jaringan, kematian jaringan sendiri merupakan stimulus yang kuat untuk terjadinya
infeksi. Pada tepi daerah infark sering memperlihatkan suatu respons, radang akut.
Smeltzer, S.C et al (2001: 496) mengemukakan bahwa pada Abses terjadi nyeri tekan.
Sedangkan Lewis, S.M et al (2000: 1187) mengemukakan bahwa manifestasi klinis pada
Abses meliputi nyeri lokal, bengkak dan kenaikan suhu tubuh. Leukositosis juga terjadi pada
Abses (Lewis, S.M et al, 2000: 589). Sedangkan tanda-tanda infeksi meliputi kemerahan,
bengkak, terlihat jelas (lebih dari 2,5 cm dari letak insisi), nyeri tekan, kehangatan meningkat
disekitar luka, warna merah jelas pada kulit disekitar luka, pus atau rabas, bau menusuk,
menggigil atau demam (lebih dari 37,7oC/100oF) (Smeltzer, S.C et al, 2001: 497).
adiposus) merupakan kompartemen ketiga dari organ kulit disamping epidermis dan dermis.
Subkutis yang letaknya diantara dermis (korium) dan fasia tubuh, membungkus dengan
Rassner et al (1995: 257) menjelaskan bahwa subkutis terdiri atas sel lemak, jaringan
ikat dan pembuluh darah sel lemak (liposit) di organisir menjadi lemak (mikrolobuli, lobuli,
pembuluh darah) dan ini semua diringkas dalam septa jaringan ikat. Septa jaringan ikat (septa
fibrosa) mengukuhkan subkutis baik dalam fasia tubuh maupun dalam korium dan bertindak
sebagai jalan untuk pembuluh darah dan saraf kulit ke dalam subkutis masuk folikel, rambut
dan kelenjar keringat sebagai adneksa kutis. Selain itu dalam subkutis terdapat vena-vena
besar (misalnya vena saphena) dan saluran limfe disertai dengan kelenjar getah bening
regional superfisialis. Fungsi subkutis antara lain sebagai termoisolasi, depo energi
(penimbunan lemak), fungsi pelindung dari faktor mekanik (lapisan pelindung dan lapisan
Nadesul, H (1997: 2-3) mengemukakan bahwa didalam kulit juga terdapat pembuluh
darah dan kelenjar getah bening. Pembuluh darah untuk memberi makan kulit. Melalui aliran
darah, zat makanan dan zat asam disalurkan kelenjar getah bening membuat zat anti.
Maksudnya untuk melindungi tubuh dari serangan bibit penyakit, kulit yang memiliki
kelenjar-kelenjar lemak dan kelenjar peluh. Keduanya untuk membasahi kulit agar lembab.
Bahan pelembab ini sekaligus sebagai pelindung kulit terhadap bibir penyakit kulit.
Sedangkan kelenjar peluh sebagai pengalir peluh juga berfungsi mengeluarkan panas tubuh
yang berlebihan.
Rassner et al (1995; 256) mengemukakan bahwa pada penyakit akuisita terdapat
perubahan-perubahan berikut:
2.Kerusakan: atrofi, distrofi, jaringan lemak (atrofi dan hiperItrofi), nekrosis jaringan lemak
atau pembentukan serabut), fibrosis jaringan lemak maupun jaringan parut (stadium terminal)
3.Peradangan: secara global mereka disebut sebagai panikulitis, suatu panikulitis terutama
dapat mengenai lobus (panikulitis lobular) atau didalam septa jaringan ikat (panikulitis
septal)
Proses penyakit dapat menyerang jaringan ikat subkutan atau pembuluh darah subkutan dan
1.5 Patofisiologi
dalam tubuh akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara mengeluarkan toksin.
Underwood, J.C.E (1999: 232) menjelaskan bahwa bakteri melepaskan eksotoksin yang
spesifik yaitu suatu sintesis, kimiawi yang secara spesifik mengawali proses radang atau
melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas
terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau
berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan. Sedangkan agen fisik dan bahan
kimiawi yang iritan dan korosif akan menyebabkan kerusakan jaringan. Kematian jaringan
Price, S.A et al (1995: 36) mengemukakan bahwa infeksi hanya merupakan salah satu
penyebab dari peradangan. Pada peradangan, kemerahan merupakan tanda pertama yang
terlihat pada daerah yang mengalami peradangan akibat dilatasi arteriol yang mensuplai
daerah tersebut akan meningkatkan aliran darah ke mikrosirkulasi lokal. Kalor atau panas
terjadi bersamaan dengan kemerahan. Peningkatan suhu bersifat lokal. Namun Underwood,
J.C.E (1999: 246) mengemukakan bahwa peningkatan suhu dapat terjadi secara sistemik
temperatur lebih tinggi sehingga produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi (Guyton,
perubahan diameter pembuluh darah sehingga darah mengalir ke seluruh kapiler, kemudian
aliran darah mulai perlahan lagi, sel-sel darah mulai mengalir mendekati dinding pembuluh
darah di daerah zona plasmatik. Keadaan ini memungkinkan leukosit menempel pada epitel,
sebagai langkah awal terjadinya emigrasi leukosit ke dalam ruang ektravaskuler. Lambatnya
vaskuler, mengakibatkan keluarnya plasma untuk masuk ke dalam jaringan, sedangkan sel
darah tertinggal dalam pembuluh darah akibat peningkatan tekanan hidrostatik dan penurunan
tekanan osmotik sehingga terjadi akumulasi cairan didalam rongga ektravaskuler yang
merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu edema. Regangan dan distorsi jaringan akibat
edema dan tekanan pus dalam rongga Abses menyebabkan rasa sakit. Beberapa mediator
kimiawi pada radang akut termasuk bradikinin, prostaglandin dan serotonin akan merangsang
dan merusakkan ujung saraf nyeri sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap reseptor
masih ada pengrusakan jaringan. Bila penyebab kerusakan jaringan bisa diberantas maka
debris akan di fagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi resolusi dan kesembuhan.
Bila trauma berlebihan, reaksi sel fagosit kadang berlebihan sehingga debris yang berlebihan
terkumpul dalam suatu rongga membentuk Abses atau bertumpuk di sel jaringan tubuh yang
lain membentuk flegmon. Trauma yang hebat, berlebihan, dan terus menerus menimbulkan
reaksi tubuh yang juga berlebihan berupa fagositosis debris yang diikuti dengan pembentukan
jaringan granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan yang rusak. Fase ini disebut fase
organisasi. Bila dalam fase ini pengrusakan jaringan berhenti akan terjadi fase penyembuhan
berlangsung terus, akan terjadi fase inflamasi kronik yang akan sembuh bila rangsang yang
merusak hilang. Abses yang tidak diobati akan pecah dan mengeluarkan pus kekuningan
(FKUI, 1989: 21) sehingga terjadi kerusakan integritas kulit. Sedangkan Abses yang di insisi
1. Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka manifestasi lain yang
mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari prose inflamasi, yakni kemrahan
(rubor), panas (color), pembengkakan (tumor), rasa nyeri (dolor) dan hilangnya fungsi.
(http: //id.wikipedia.org/wiki/Abses)
2. Timbul atau teraba benjolan pada tahap awal berupa benjolan kecil, pada stadium lanjut
benjolan bertambah besar, demam, benjolan meningkat, malaise, nyeri, bengkak, berisi nanah
(pus).
(http//www.surabayapost.co.id)
3. Gambaran Klinis
a. Nyeri tekan
b. Nyeri lokal
c. Bengkak
d. Kenaikan suhu
e. Leukositosis
4. Tanda-tanda infeksi
a. Rubor ( kemerahan ).
c. Dolor ( nyeri ).
e. Fungtio laesa.
paling efektif.
30.000) mengindikasikan produksi sel darah putih tak matur dalam jumlah besar.
9. Urinalisis : Adanya sel darah putih/bakteri penyebab infeksi sering muncul protein dan sel
darah merah.
10.Sinar X : Film abdominal dan dada bagian bawah yang mengindikasikan udara bebas di
11. EKG : Dapat menunjukan perubahan segmen ST dan gelombang T,dan disritmia yang
(Doenges,2000:873)
1.8 Penatalaksanan
demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah, debridemen atau
kuretase. Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya,
utamanya apabila disebabkan oleh benda asing karena benda asing tersebut harus diambil.
Apabila tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong dan diambil
absesnya, bersama dengan pemberian obat analgetik. Drainase, abses dengan menggunakan
pembedahan biasanya diindikasi apabila abses telah berkembang dari peradangan serasa yang
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri staphylococcus aureus, antibiotik
kemunculan stophylococcus aureus yang dapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut
Data tergantung pada tipe,lokasi,durasi dari proses infektif dan organ-organ yang terkena
1. Aktifitas / istirahat
Gejala : Malaise
2. Sirkulasi
Tanda : Tekanan darah normal/sedikit dibawah jangkauan normal (selama curah jantung
hilang, takikardi ekstrem (syok). Suara jantung : disritmia dan perkembangan S3 dapat
3. Eliminasi
Gejala : Diare
4. Makanan/cairan
Gejala : Anoreksia, mual, muntah.
Tanda : Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/masa otot (malnutrisi).
5. Neurosensori
6. Nyeri I/kenyamanan
7. Pemafasan
Tanda : Suhu umumnya meningkat (37,95°C atau lebih) tetapi mungkin normal pada
lansia mengganggu pasien, kadang sub normal (dibawah 36,5°C), menggigil, luka yang
8. Sexualitas
9. Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : Masalah kesehatan kronis/melemahkan misal: DM, kanker, hati, jantung, ginjal,
kecanduan alkohol. Riwayat splenektomi. Baru saja menjalani operasi prosedur invasive,
luka traumatik.
bahan untuk luka, perawatan, perawatan diri, dan tugas-tugas rumah tangga
Prioritas Keperawatan :
a. Menghilangkan infeksi.
c. Mencegah komplikasi.
(Doenges,2000:240)
Secara teori pada kasus abses dapat ditarik beberapa diagnose keperawatan antara lain :
3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan reduksi aliran
5. Resiko tinggi terhadap pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah.
informasi.
neuromuskular).
( Doenges,2000:241 )
J. Fokus Intervensi
prosedur invasif.
Kriteria Hasil : Bebas dari sekresi purulen/drainase, atau eritema dan afebris.
No Intervensi Rasionalisasi
sisi alat invasif setiap hari, berikan awal dari infeksi sekunder.
kontaminasi silang.
umum.
drainase luka.
Intervensi
(Doenges,2000 : 874 )
No Intervensi Rasionalisasi
hipotalamus.
3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan reduksi aliran
Kriteria Hasil : Tanda-tanda vital stabil, nadi perifer jelas, kulit hangat dan kering,
tingkat kesadaran umum, haluaran urine individu yang sesuai dan bising usus aktif
Intervensi
No Intervensi Rasionalisasi
sensorium. asidosis.
jenisnya. ginjal.
ginjal terganggu.
asidosis.
q. Berikan suplemen O2
4. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan
Kreteria Hasil : Tanda vital dalam batas normal, nadi perifer teraba haluaran urine
adekuat.
terapi/komponen pengganti
darah sistemik.
hidrasi/viskositas
darah.
normal
Kriteria Hasil : Bunyi nafas bersih dan sinar x dada jelas / membaik tidak
metabolisme anaerob.
i. Perubahan menunjukan
pulmonal.
b. Keterbatasan Kognitif
Ditandai
1) Pertanyaan permintaan informasi,pernyataan salah konsepsi
Kreteria Hasil : Ikut serta dalam program pengobatan, memulai perubahan gaya hidup
yang diperlukan dengan dapat penunjukkan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan
protektif.
komplikasi.
neuromuskular).
Ditandai:
Kriteria Hasil :
b. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi yang sakit dan atau kompensasi
tubuh.
oksigen tubuh.
(Doenges,2000 : 738)
bakar dalam).
Ditandai : Tak ada jaringan hidup.
sesuai indikasi.
Ditandai:
a. Keluhan nyeri.
Kriteria Hasil :
terbuka.
peninggian menurunkan
luas cendera.