Sie sind auf Seite 1von 33

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Kecelakaan Lalu Lintas


Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak disangka-
sangka dan tidak disengaja, melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai
jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda (PP 43/49
pasal 93). Kecelakaan lalu lintas dapat berupa: 1) korban mati (fatal), 2) korban
luka berat (serious injury), dan 3) korban luka ringan (slight injury).
Peraturan pemerintah No. 43 Tahun 1993 menyebutkan bahwa kriteria untuk
korban meninggal, luka berat, luka ringan dan kerugian material adalah:
 Korban meninggal adalah korban yang dipastikan mati sebagai akibat
kecelakaan lalu lintas dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
setelah kecelakaan tersebut
 Korban luka berat adalah korban yang karena lukanya menderita cacat tetap
atau harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari sejak
terjadinya kecelakaan
 Korban luka ringan adalah korban yang tidak termasuk meninggal dan luka
berat
 Kerugian material atau rusak adalah kerugian karena kerusakan barang-
barang tetapi tidak menimbulkan luka

Kecelakaan yang tidak menimbulkan pemakai jalan lain disebut kecelakaan


tunggal (single accident). Selain itu masih ada jenis kecelakaan lalu lintas tanpa
korban, yaitu kecelakaan dengan kerugian harta benda saja (damage only
accident).
3.1.1 Faktor – faktor yang mempengaruhi kecelakaan
Ada empat faktor utama yang saling berkaitan satu sama lainnya yang menjadi
penyebab kecelakaan lalu lintas, yaitu kondisi lingkungan, perilaku pengemudi,
karakteristik kendaraan dan karakteristik lalu lintas. Secara empiris kecelakaan
lalu lintas biasanya didekati dan dihubungkan secara matematis dengan tiga
karakteristik dasar lalu lintas yaitu kecepatan, kepadatan, dan volume lalu lintas.

Menurut psikolog keselamatan (Goldenson dalam Rahmawati, 1998) ada ciri-


ciri kepribadian tertentu yang dapat membahayakan keselamatan baik dirinya
sendiri maupun orang lain. Ciri-ciri tersebut antara lain:

a. Kurang rasa tanggung jawab. Ciri tersebut sering terdapat pada usia remaja
sekitar usia 18-20 tahun. Ceroboh serta kurang mampu menghadapi bahaya.
b. Sifat ego sentries. Sifat yang lebih mementingkan diri sendiri dan kurang
memperhatikan dan atau kurang menghargai orang lain, sehingga dalam
berlalu lintas mudah menimbulkan kecelakaan, karena semua yang ada
disekitarnya dianggap hanya untuk kebutuhan dan kepentingannya sendiri.
Misalnya helm yang tidak ditalikan sehingga saat kendaraan dilarikan dalam
kecepatan tinggi, helm tersebut dapat terbang tertiup angina, hal ini sangat
membahayakan pengendara yang ada di belakangnya.
c. Rasa percaya yang berlebihan. Orang jenis ini merasa mampu mengatasi
semua rintangan dan cenderung mudah mengabaikan peraturan.
Pamungkas, NS (2011) dalam tulisannya menyatakan bahwa sebagian besar
kejadian kecelakaan di jalan tol Surabaya-Gempol disebabkan oleh faktor manusia
(63,09%). Adapun faktor kendaraan menyumbang sebesar 28,33% sedangkan
faktor jalan dan lingkungan menyumbang 8,58% sebagai penyebab terjadinya
kecelakaan di jalan tol Surabaya-Gempol.

3.1.2 Kualifikasi Luka Menurut Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pada kecelakaan lalu lintas sering korban dibawa ke rumah sakit untuk
dimintakan visum et repertumnya oleh penyidik dalam hal ini perlu diketahui
beberapa batasan menyangkut korban kecelakaan lalu lintas terkait dengan
peraturan pemerintah nomer 43 tahun 1993 tentang prasarana dan lalu lintas, serta
undang undang RI nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
Korban kecelakaan lalu lintas dapat berupa (pasal 93 ayat 2 PP nomor 43 tahun
93) :
1. Korban mati, yaitu korban yang dipastikan mati sebagai akibat kecelakaan lalu
lintas dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah kecelakaan tersebut
(pasal 93 ayat 3 PP nomor 43 tahun 93).
2. Korban luka berat, yaitu korban yang karena luka-lukanya menderita cacat
tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 hari sejak terjadi
kecelakaan (pasal 93 ayat 4 PP nomor 43 tahun 93)
3. Korban luka ringan, yaitu korban yang tidak termasuk korban mati dan korban
luka berat (pasal 93 ayat 5 PP nomor 43 tahun 93).
Sedangkan menurut undang undang RI nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas
dan angkutan jalan, kecelakaan lalu lintas digolongkan menjadi :
1. Kecelakaan lalu lintas ringan, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan
kerusakan kendaraan dan atau barang (pasal 229 ayat 2). Dan dalam
penjelasan ayat ini disebutkan luka ringan adalah luka yang mengakibatkan
korban sakit dan tidak memerlukan perawatan inap di rumah sakit atau selain
yang dikualifikasikan ke dalam luka berat.
2. Kecelakaan lalu lintas sedang, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan luka
ringan dan kerusakan kendaraan dan atau barang (pasal 229 ayat 3).
3. Kecelakaan lalu lintas berat, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan korban
meninggal dunia atau luka berat (pasal 229 ayat 4). Sedang dalam penjelasan
ayat ini menyebutkan bahwa luka berat adalah luka yang mengakibatkan
korban salah satu di bawah ini :
a. Jatuh sakit dan tidak ada harapan sembuh sama sekali atau menimbulkan
bahaya maut
b. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan
c. Kehilangan salah satu panca indra
d. Menderita cacat berat atau lumpuh
e. Terganggu daya pikir selama empat minggu lebih
f. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan
g. Luka yang membutuhkan perawatan di rumah sakit >30 hari

3.4.1 Menurut Peraturan Mahkamah Agung


Dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 tahun 2012
menetapkan: Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Denda Dalam KUHP .
Dalam BAB I tentang tindak pidana ringan pasal 1 mennyebutkan : “kata-kata
dua ratus lima puluh rupiah dalam pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan pasal 482
KUHP dibaca menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).”
Untuk Denda pada BAB II pasal 3 menyebutkan bahwa : “Tiap jumlah
maksimum denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan
ayat 2; 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali.

3.4.2 Perlukaan dan Kematian dalam Kecelakaan Lalu Lintas


a) Kematian dalam kecelakaan lalu lintas dapat terjadi sebagai akibat dari
tabrakan atau benturan dari kendaraan. Secara imajinatif semua model
dari sarana transportasi mempunyai kemampuan untuk menyebabkan
kematian atau kecacatan (Yusherman, 2008).
b) Kematian karena kecelakaan lalu lintas dapat dibagi menjadi empat
kategori tergantung dari arah terjadinya benturan pada kendaraan, antara
lain (Yusherman, 2008):
 Arah depan ini adalah paling umum, yang kejadiannya kira-kira
mencapai 80% dari semua kecelakaan lalu lintas. Tabrakan dari arah
depan terjadi bila dua kendaraan/orang bertabrakan yang mana
keduanya arah kepala, atau bagian depan dari kendaraan menabrak
benda yang tidak bergerak, seperti tembok, ataupun tiang listrik.
Sebagai akibat dari energi gerak, penumpang dari kendaraan
bermotor akan terus melaju (bila tidak memakai sabuk pengaman
pada pengguna mobil). Pola dan lokasi luka akan tergantung dari
posisi saat kecelakaan.
 Arah samping (lateral) biasanya terjadi di persimpangan ketika
kendaraan lain menabrak dari arah samping, ataupun mobil yang
terpelintir dan sisinya menghantam benda tidak bergerak. Dapat
terlihat perlukaan yang sama dengan tabrakan dari arah depan, bila
benturan terjadi pada sisi kiri dari kendaraan, pengemudi akan
cenderung mengalami perlukaan pada sisi kiri, dan penumpang
depan akan mengalami perlukaan yang lebih sedikit karena
pengemudi bersifat sebagai bantalan. Bila benturan terjadi pada sisi
kanan, maka yang terjadi adalah sebaliknya, demikian juga bila tidak
ada penumpang.
 Terguling Keadaan ini lebih mematikan (lethal) dibandingkan
tabrakan dari samping, terutama bila tidak dipakainya pelindung
kepala (helm), terguling di jalan, sabuk pengaman dan penumpang
terlempar keluar mobil. Beberapa perlukaan dapat terbentuk pada
saat korban mendarat pada permukaan yang keras, pada beberapa
kasus, korban yang terlempar bisa ditemukan hancur atau
terperangkap di bawah kendaraan. Pada kasus seperti ini penyebab
kematian mungkin adalah traumatic asphyxia.
 Arah belakang Pada benturan dari arah belakang, benturan dikurangi
atau terserap oleh bagian bagasi dan kompartemen penumpang
belakang (pada pengguna mobil), yang dengan demikian
memproteksi penumpang bagian depan dari perlukaan yang parah
dan mengancam jiwa.
3.4.3 Pemeriksaan Forensik Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas
a. Pada kematian yang berhubungan dengan sarana transportasi,
pemeriksaan postmortem dilakukan untuk beberapa alasan :
 Untuk secara positif menegakkan identitas dari korban, terutama
bila jenazah telah terbakar habis, atau termutilasi.
 Untuk menentukan sebab kematian dan apakah kematian
disebabkan kesalahan atau kecacatan sarana transportasi. Untuk
menentukan seberapa luas luka yang diterima.
 Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan yang dapat
menyebabkan kecelakaan tersebut, seperti infark miokardial atau
keracunan obat.
 Untuk mendokumentasikan penemuan untuk kemungkinan
penggunaannya yang mengarah kepada penegakkan keadilan

3.4.4 Aspek hukum yang mengatur santunan korban kecelakaan lalu lintas
Hukum yang mengatur santunan bagi korban kecelakaan lalu lintas adalah
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI no. 36 dan 37/PMK.010/2008 yang
disahkan pada 26 Februari 2008.

Pasal 2

(1) Korban kecelakaan alat angkutan lalu lintas jalan atau ahli warisnya berhak atas
santunan.
(2) Besar santunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan sebagai berikut
:
a) Ahli waris dari korban yang meninggal dunia berhak memperoleh santunan
sebesar Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)
b) Korban yang mengalami cacat tetap berhak memperoleh santunan yang
besarnya dihitung berdasarkan angka prosentase sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 dari
besar santunan meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam huruf (a)
c) Korban yang memerlukan perawatan dan pengobatan berhak memperoleh
santunan berupa penggantian biaya perawatan dan pengobatan dokter
paling besar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Pasal 3
Dalam hal korban meninggal dunia akibat kecelakaan alat angkutan lalu lintas
jalan tidak mempunyai ahli waris, kepada pihak yang menyelenggarakan
penguburan diberikan penggantian biaya penguburan sebesar Rp 2.000.000,00
(dua juta rupiah). (UU Republik Indonesia, 2009)

Dalam hal terjadi suatu kecelakaan yang dijamin dalam pertanggungan ini, maka:

1) Tertanggung wajib dengan segera mengambil langkah guna memperoleh


pertolongan untuk pengobatan serta perawatan yang diperlukan atas luka yang
dideritanya dari dokter.
2) Tertanggung atau wakil atau keluarganya yang sah wajib memberitahukan
kepada Penanggung dalam waktu 5 (lima) hari kalender terhitung sejak
terjadinya kecelakaan tersebut. Pemberitahuan dimaksud dilakukan secara
tertulis atau secara lisan yang diikuti dengan tertulis kepada penanggung.
3) Dalam hal terjadi kematian sebagai akibat kecelakaan, maka Ahli Waris atau
keluarga Tertanggung wajib:
a. melaporkan kepada Lurah setempat untuk mendapat surat keterangan
meninggal dunia.
b. meminta surat keterangan pemeriksaan jenazah (Visum et Repertum) dari
Dokter atau Rumah Sakit, dan
c. memberikan kesempatan kepada Penanggung untuk mengadakan
pemeriksaan jenazah sebelum dilaksanakannya pemakaman atau
pembakaran jenazah (kremasi).
Jika terjadi kecelakaan yang mungkin akan menimbulkan tuntutan penggantian,
Tertanggung wajib menyampaikan dokumen-dokumen pendukung klaim sebagai
berikut :

1) Formulir laporan pengajuan klaim berikut kronologis kecelakaan yang terjadi.


2) Kartu Karyawan / Surat Keterangan Kerja
3) Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP).
4) Dalam hal Tertanggung meninggal dunia:
a. Surat keterangan mengenai hasil pemeriksaan jenazah (Visum et
Repertum).
b. Fotocopy surat keterangan meninggal dunia dari Lurah atau kepolisian
setempat.
c. Surat keterangan para saksi / berita acara kecelakaan
5) Dalam hal Tertanggung hilang akibat kecelakaan :
a. Surat keterangan tentang kecelakaan dan penghentian pencarian dari
pihak yang berwenang.
b. Surat pernyataan dari ahli waris akan mengembalikan santunan apabila
tertanggung diketemukan kembali dalam keadaan hidup.
6) Dalam hal Tertanggung mengalami cacat tetap,
a. Surat keterangan pemeriksaan (Visum) dari Dokter yang melakukan
perawatan atau pengobatan
b. Surat keterangan para saksi / berita acara kecelakaan
7) Kuitansi asli dari dokter, rumah sakit, laboratorium, apotik, dalam hal
Tertangggung menjalani perawatan atau pengobatan.
Apabila kuitansi asli digunakan untuk memperoleh penggantian dari asuransi
yang bersifat wajib maka Tertanggung harus menyerahkan fotocopy kuitansi
yang telah dilegalisir oleh perusahaan asuransi bersifat wajib tersebut.
8) Dokumen lain yang relevan, wajar dan patut diminta oleh Penanggung
sehubungan dengan penyelesaian klaim. (PSAKDI, 2007)
3.2 Traumatologi
3.2.1 Definisi
Traumatologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang
trauma atau perlukaan, cedera serta hubungannya dengan berbagai
kekerasan (ruda paksa), yang kelainannya terjadi pada tubuh karena
adanya diskontinuitas jaringan akibat kekerasan yang menimbulkan jejas.
Sedangkan trauma berarti kekuatan fisik yang berasal dari luar tubuh yang
menyebabkan luka di permukaan dan atau bagian dalam tubuh. Pada
keadaan trauma ada tiga hal yang ciri khas atau hasil dari trauma yaitu:
adanya luka, perdarahan dan atau skar, dan hambatan dalam fungsi organ
(De Jong, 2005).
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu,
zat kimia, ledakan, sengatan listrik , atau gigitan hewan atau juga
gangguan pada ketahanan jaringan tubuh yang disebabkan oleh kekuatan
mekanik eksternal, berupa potongan atau kerusakan jaringan, dapat
disebabkan oleh cedera atau operasi. Dengan kata lain yang mudah
dipahami luka adalah terjadinya diskontinuitas jaringan.
3.2.2 Trauma Tumpul
Trauma tumpul diakibatkan oleh benda tumpul, benda tumpul adalah
benda yang permukaannya tidak mampu untuk mengiris. Pada trauma
tumpul terdapat dua variasi utama yaitu, benda tumpul yang bergerak
pada korban yang diam atau korban yang bergerak pada benda tumpul
yang diam. Sekilas nampak sama dalam hasil lukanya namun jika
diperhatikan lebih lanjut terdapat perbedaan hasil pada kedua mekanisme
tersebut. Organ atau jaringan pada tubuh mempunyai beberapa cara
menahan kerusakan yang disebabkan objek atau alat, daya tahan tersebut
menimbulkan berbagai tipe luka (De Jong, 2005; Kumar, dll, 2007).
Trauma tumpul dapat menyebabkan tiga macam luka, yaitu (Dahlan,
2007):
1. Abrasi (Luka Babras)
Menurut definisi abrasi adalah pengelupasan kulit. Dapat terjadi
superfisial jika hanya epidermis saja yang terkena, lebih dalam ke
lapisan bawah kulit (dermis) atau lebih dalam lagi sampai ke jaringan
lunak bawah kulit. Jika abrasi terjadi lebih dalam dari lapisan
epidermis pembuluh darah dapat terkena sehingga terjadi
perdarahan. Arah dari pengelupasan dapat ditentukan dengan
pemeriksaan luka. Dua tanda yang dapat digunakan. Tanda yang
pertama adalah arah dimana epidermis bergulung, tanda yang kedua
adalah hubungan kedalaman pada luka yang menandakan
ketidakteraturan benda yang mengenainya.
Pola dari abrasi sendiri dapat menentukan bentuk dari benda yang
mengenainya. Waktu terjadinya luka sendiri sulit dinilai dengan mata
telanjang. Perkiraan kasar usia luka dapat ditentukan secara
mikroskopik. Kategori yang digunakan untuk menentukan usia luka
adalah saat ini (beberapa jam sebelum), baru terjadi (beberapa jam
sebelum sampai beberapa hari), beberapa hari lau, lebih dari
benerapa hari. Efek lanjut dari abrasi sangat jarang terjadi. Infeksi
dapat terjadi pada abrasi yang luas.
2. Laserasi (Luka Robek)
Suatu pukulan yang mengenai bagian kecil area kulit dapat
menyebabkan kontusio dari jaringan subkutan, seperti pinggiran
balok kayu, ujung dari pipa, permukaan benda tersebut cukup lancip
untuk menyebabkan sobekan pada kulit yang menyebabkan laserasi.
Laserasi disebabkan oleh benda yang permukaannya runcing tetapi
tidak begitu tajam sehingga merobek kulit dan jaringan bawah kulit
dan menyebabkan kerusakan jaringan kulit dan bawah kulit. Tepi dari
laserasi ireguler dan kasar, di sekitarnya terdapat luka lecet yang
diakibatkan oleh bagian yang lebih rata dari benda tersebut yang
mengalami indentasi.
Pada beberapa kasus, robeknya kulit atau membran mukosa dan
jaringan di bawahnya tidak sempurna dan terdapat jembatan jaringan.
Jembatan jaringan, tepi luka yang ireguler, kasar dan luka lecet
membedakan laserasi dengan luka oleh benda tajam seperti pisau.
Tepi dari laserasi dapat menunjukkan arah terjadinya kekerasan. Tepi
yang paling rusak dan tepi laserasi yang landai menunjukkan arah
awal kekerasan. Sisi laserasi yang terdapat memar juga
menunjukkan arah awal kekerasan. Di bawah ini terlihat jelas salah
satu contoh gambar laserasi (Dahlan, 2007; De Jong, 2005).

Gambar 2.1 Vulnus Laseratum pada regio pedis sinistra


Bentuk dari laserasi dapat menggambarkan bahan dari benda
penyebab kekerasan tersebut. Karena daya kekenyalan jaringan
regangan jaringan yang berlebihan terjadi sebelum robeknya jaringan
terjadi. Sehingga pukulan yang terjadi karena palu tidak harus
berbentuk permukaan palu atau laserasi yang berbentuk semisirkuler.
Sering terjadi sobekan dari ujung laserasi yang sudutnya berbeda
dengan laserasi itu sendiri yang disebut dengan “swallow tails”.
Beberapa benda dapat menghasilkan pola laserasi yang mirip.
Seiring waktu, terjadi perubahan terhadap gambaran laserasi
tersebut, perubahan tersebut tampak pada lecet dan memarnya.
Perubahan awal yaitu pembekuan dari darah, yang berada pada dasar
laserasi dan penyebarannya ke sekitar kulit atau membran mukosa.
Bekuan darah yang bercampur dengan bekuan dari cairan jaringan
bergabung membentuk eskar atau krusta. Jaringan parut pertama kali
tumbuh pada dasar laserasi, yang secara bertahap mengisi saluran
luka. Kemudian, epitel mulai tumbuh ke bawah di atas jaringan skar
dan penyembuhan selesai. Skar tersebut tidak mengandung apendises
meliputi kelenjar keringat, rambut dan struktur lain (De Jong, 2005).
Perkiraan kejadian saat kejadian pada luka laserasi sulit
ditentukan tidak seperti luka atau memar. Pembagiannya adalah
sangat segera segera, beberapa hari, dan lebih dari beberapa hari.
Laserasi yang terjadi setelah mati dapat dibedakan dengan yang
terjadi saat korban hidup yaitu tidak adanya perdarahan.
Laserasi dapat menyebabkan perdarahan hebat. Sebuah laserasi
kecil tanpa adanya robekan arteri dapat menyebabkan akibat yang
fatal bila perdarahan terjadi terus menerus. Laserasi yang multipel
yang mengenai jaringan kutis dan sub kutis dapat menyebabkan
perdarahan yang hebat sehingga menyebabkan sampai dengan
kematian. Adanya diskontinuitas kulit atau membran mukosa dapat
menyebabkan kuman yang berasal dari permukaan luka maupun dari
sekitar kulit yang luka masuk ke dalam jaringan. Port d’entree
tersebut tetap ada sampai dengan terjadinya penyembuhan luka yang
sempurna. Bila luka terjadi dekat persendian maka akan terasa nyeri,
khususnya pada saat sendi tersebut di gerakkan ke arah laserasi
tersebut sehingga dapat menyebabkan disfungsi dari sendi tersebut.
Benturan yang terjadi pada jaringan bawah kulit yang memiliki
jaringan lemak dapat menyebabkan emboli lemak pada paru atau
sirkulasi sistemik. Laserasi juga dapat terjadi pada organ akibat dari
tekanan yang kuat dari suatu pukulan seperi pada organ jantung,
aorta, hati dan limpa. Hal yang harus diwaspadai dari laserasi organ
yaitu robekan yang komplit yang dapat terjadi dalam jangka waktu
lama setelah trauma yang dapat menyebabkan perdarahan hebat
(Price, dll, 2006).
3. Kontusio (Luka Memar)
Terdapat dua jenis kontusio yang pertama adalah kontusio
superficial dan yang kedua kontusio pada organ dalam dan jaringan
dalam.
 Kontusio superficial
Kata lazim yang digunakan adalah memar, terjadi karena
tekanan yang besar dalam waktu yang singkat. Penekanan ini
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kecil dan dapat
menimbulkan perdarahan pada jaringan bawah kulit atau organ
di bawahnya. Pada orang dengan kulit berwarna memar sulit
dilihat sehingga lebih mudah terlihat dari nyeri tekan yang
ditimbulkannya.
Perubahan warna pada memar berhubungan dengan waktu
lamanya luka, namun waktu tersebut bervariasi tergantung jenis
luka dan individu yang terkena. Tidak ada standart pasti untuk
menentukan lamanya luka dari warna yang terlihat secara
pemeriksaan fisik.

Gambar 2.2 Kontusio superficial atau luka memar

Pada mayat waktu antara terjadinya luka memar, kematian dan


pemeriksaan menentukan juga karekteristik memar yang timbul.
Semakin lama waktu antara kematian dan pemeriksaan luka
akan semakin membuat luka memar menjadi gelap (Dahlan,
2007).
Pemeriksaan mikroskopik adalah sarana yang dapat digunakan
untuk menentukan waktu terjadinya luka sebelum kematian.
Namun sulit menentukan secara pasti karena hal tersebut pun
bergantung pada keahlian pemeriksa.
Efek samping yang terjadi pada luka memar antara lain
terjadinya penurunan darah dalam sirkulasi yang disebabkan
memar yang luas dan masif sehingga dapat menyebabkan syok,
penurunan kesadaran, bahkan kematian. Yang kedua adalah
terjadinya agregasi darah di bawah kulit yang akan mengganggu
aliran balik vena pada organ yang terkena sehingga dapat
menyebabkan ganggren dan kematian jaringan. Yang ketiga,
memar dapat menjadi tempat media berkembang biak kuman.
Kematian jaringan dengan kekurangan atau ketiadaaan aliran
darah sirkulasi menyebabkan saturasi oksigen menjadi rendah
sehingga kuman anaerob dapat hidup, kuman tersering adalah
golongan clostridium yang dapat memproduksi gas gangrene
(De Jong, 2005).
Efek lanjut lain dapat timbul pada tekanan mendadak dan luas
pada jaringan subkutan. Tekanan yang mendadak menyebabkan
pecahnya sel – sel lemak, cairan lemak kemudian memasuki
peredaran darah pada luka dan bergerak beserta aliran darah
dapat menyebabkan emboli lemak pulmoner atau emboli pada
organ lain termasuk otak. Pada mayat dengan kulit yang gelap
sehingga memar sulit dinilai sayatan pada kulit untuk
mengetahui resapan darah pada jaringan subkutan dapat
dilakukan dan dilegalkan (De Jong, 2005).

3.3 Trauma pada tubuh


Trauma pada kasus di bawah ini menyangkut trauma yang mengenai organ
abdomen.
3.4.1 Trauma abdomen
Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak
diantara toraks dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus
dinding (abdominal wall) yang terbentuk dari otot-otot abdomen,
columna vertebralis, dan ilium (De Jong, 2005).
Untuk membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang
paling sering dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah
bidang bayangan horizontal dan dua bidang bayangan vertikal. Bidang
bayangan tersebut membagi dinding anterior abdomen menjadi
sembilan daerah (regiones). Dua bidang di antaranya berjalan
horizontal melalui setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah
setinggi bagian atas crista iliaca dan dua bidang lainnya vertikal di kiri
dan kanan tubuh yaitu dari tulang rawan iga kedelapan hingga ke
pertengahan ligamentum inguinale (De Jong, 2005).
Trauma abdomen pada garis besarnya dibagi menjadi trauma
tumpul dan trauma tajam. Keduanya mempunyai biomekanika, dan
klinis yang berbeda sehingga algoritma penanganannya berbeda.
Trauma abdomen dapat menyebabkan laserasi organ tubuh
sehingga memerlukan tindakan pertolongan dan perbaikan pada organ
yang mengalami kerusakan.
Trauma pada abdomen dapat dibagi menjadi dua jenis:
a. Trauma penetrasi : Trauma Tembak, Trauma Tusuk
b. Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul : diklasifikasikan ke
dalam 3 mekanisme utama, yaitu tenaga kompresi (hantaman),
tenaga deselerasi dan akselerasi. Tenaga kompresi (compression
or concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau
kompresi eksternal terhadap objek yang terfiksasi. Misalnya
hancur akibat kecelakaan, atau sabuk pengaman yang salah
(seat belt injury). Hal yang sering terjadi adalah hantaman,
efeknya dapat menyebabkan sobek dan hematom subkapsular
pada organ padat visera. Hantaman juga dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen pada organ berongga dan
menyebabkan rupture (De Jong, 2005).
Pengeluaran darah yang banyak dapat berlangsung di dalam
kavum abdomen tanpa atau dengan adanya tanda-tanda yang
dapat diamati oleh pemeriksa, dan akhir-akhir ini kegagalan dalam
mengenali perdarahan intraabdominal adalah penyebab utama
kematian dini pasca trauma. Selain itu, sebagian besar cedera pada
kavum abdomen bersifat operatif dan perlu tindakan segera dalam
menegakan diagnosis dan mengirim pasien ke ruang operasi (De
Jong, 2005).
Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas
pada permukaan tubuh, tetapi dapat mengakibatkan cedera berupa
kerusakan daerah organ sekitar, patah tulang iga, cedera
perlambatan (deselerasi), cedera kompresi, peningkatan
mendadak tekanan darah, pecahnya viskus berongga, kontusi atau
laserasi jaringan maupun organ dibawahnya.
Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul
disebabkan adanya deselerasi cepat dan adanya organ-organ
yang tidak mempunyai kelenturan (non complient organ) seperti
hati, lien, pankreas, dan ginjal. Secara umum mekanisme
terjadinya trauma tumpul abdomen yaitu (De Jong, 2005):
1) Saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan gerak di antara
struktur. Akibatnya, terjadi tenaga potong dan menyebabkan robeknya
organ berongga, organ padat, organ visceral dan pembuluh darah,
khususnya pada bagian distal organ yang terkena. Contoh pada aorta
distal yang mengenai tulang torakal mengakibatkan gaya potong pada
aorta dapat menyebabkan ruptur. Situasi yang sama dapat terjadi pada
pembuluh darah ginjal dan pada cervicothoracic junction.
2) Isi intra abdominal hancur di antara dinding abdomen anterior dan
columna vertebra atau tulang toraks posterior. Hal ini dapat
menyebabkan ruptur, biasanya terjadi pada organ-organ padat seperti
lien, hati, dan ginjal.
3) Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan intra-
abdomen yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya
menyebabkan ruptur organ berongga. Berat ringannya perforasi
tergantung dari gaya dan luas permukaan organ yang terkena cedera.

3.4 Fraktur Coxae


3.4.1 Anatomi Coxae

Gambar 2.5 Anatomi Coxae

3.4.2 Definisi
Patah tulang panggul adalah gangguan struktur tulang dari
pelvis. Pada orang tua, penyebab paling umum adalah jatuh dari posisi
berdiri. Namun, fraktur yang berhubungan dengan morbiditas dan
mortalitas terbesar melibatkan pasukan yang signifikan misalnya dari
kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian.
3.4.3 Etiologi
Dengan makin meningkatnya kecelakaan lalu lintas
mengakibatkan dislokasi sendi panggul sering ditemukan. Dislokasi
panggul merupakan suatu trauma hebat. Patah tulang pelvis harus
dicurigai apabila ada riwayat trauma yang menekan tubuh bagian
bawah atau apabila terdapat luka serut, memar, atau hematom di
daerah pinggang, sacrum, pubis atau perineum.

3.4.4 Mekanisme Fracture Coxae


Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas:
 Kompresi Antero-Posterior (APC)
Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejalan
kaki kendaraan. Ramus pubis mengalami fraktur , tulang
inominata terbelah dan mengalami rotasi eksterna disertai robekan
simfisis . Keadaan ini disebut sebagai open book injury. Bagian
posterior ligamen sakro iliaka mengalami robekan parsial atau
dapat disertai fraktur bagian belakang ilium.
 Kompresi Lateral (LC)
Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami
keretakan . Hal ini terjadi apabila ada trauma samping karena
kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian . Pada keadaan ini
ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya mengalami fraktur
dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakro iliaka atau
fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang
sama.
 Trauma Vertikal (SV)
Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara
vertikal disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro iliaka
pada sisi yang sama. Hal ini terjadi apabila seseorang jatuh dari
ketinggian pada satu tungkai.
 Trauma Kombinasi (CM)
Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan
diatas.

3.4.5 Klasifikasi Fraktur


Cidera pelvis dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
 Fraktur yang terisolasi dengan cincin pelvis yang utuh
a. Fraktur avulsi
Sepotong tulang tertarik oleh kontraksi otot yang hebat.
Fraktur ini biasanya ditemukan pada olahragawan dan atlet.
Muskulus Sartorius dapat menarik spina iliaca anterior
superior, rektus femoris menarik spina iliaca anterior
inferior , adductor longus menarik sepotong pubis, dan urat-
urat lurik menarik bagian-bagian iskium. Nyeri hilang
biasanya dalam beberapa bulan. Avulsi pada apofisis iskium
oleh otot-otot lutut jarang mengakibatkan gejala menetap,
dalam hal ini reduksi terbuka dan fiksasi internal
diindikasikan.
b. Fraktur langsung
Pukulan langsung pada pelvis, biasanya setelah jatuh dari
tempat tinggi, dapat menyebabkan fraktur iskium atau ala
ossis ilii. Dalam hal ini memerlukan bed rest total sampai
nyeri mereda.
c. Fraktur-tekanan
Fraktur pada rami pubis cukup sering ditemukan dan sering
dirasakan yidak nyeri. Pada pasien osteoporosis dan
osteomalasia yang berat. Yang lebih sulit didiagnosis adalah
fraktur-tekanan disekitar sendi sacroiliaca. Ini adalah
penyebab nyeri sacroiliaca yang tak lazim pada orangtua
yang menderita osteoporosis.
 Fraktur pada cincin pelvis
Telah lama diperdebatkan bahwa karena kakunya pelvis, patah
di suatu tempat cincin pasti diikuti pada tempat yang lainnya,
kecuali fraktur akibat pukulan langsung atau fraktur pada anak-
anak yang simfisis dan sendi sacroiliaca masih elastis. Tetapi,
patahan kedua sering tidak ditemukan, baik karena fraktur
tereduksi segera atau karena sendi sacroiliaca hanya rusak
sebagian. Dalam hal ini fraktur yang kelihatan tidak mengalami
pergeseran dan cincin bersifat stabil. Fraktur atau kerusakan
sendi yang jelas bergeser, dan semua fraktur cincin ganda yang
jelas, bersifat tak stabil. Perbedaan ini lebih bernilai praktis
daripada klasifikasi kedalam fraktur cincin tunggal dan ganda.
Tekanan anteroposterior, cidera ini biasanya disebabkan oleh
tabrakan frontal saat kecelakaan.

3.4.6 Gambaran Klinik


Fraktur panggul sering merupakan bagian dari salah satu trauma
multipel yang dapat mengenai organ-organ lain dalam panggul.
Keluhan berupa gejala pembengkakan ,deformitas serta perdarahan
subkutan sekitar panggul . Penderita datang dalam keadaan anemi
dan syok karena perdarahan yang hebat. Terdapat gangguan fungsi
anggota gerak bawah. Dislokasi dan fraktur dislokasi sendi panggul
dibagi dalam 3 jenis :
1. Dislokasi posterior
 Tanpa fraktur
 Disertai fraktur rim posterior yang tunggal dan besar
 Disertai fraktur komunitif asetabulum bagian posterior
dengan atau tanpa kerusakan pada dasar asetabulum.
 Disertai fraktur kaput femur
Mekanisme trauma dislokasi posterior disertai adanya fraktur
adalah kaput femur dipaksa keluar ke belakang asetabulum
melalui suatu trauma yang dihantarkan pada diafisis femur
dimana sendi pinggul dalama posisi fleksi atau semi fleksi.
Trauma biasanya terjadi karena kecelakaan lalu lintas dimana
lutut penumpang dalam keadaan fleksi dan menabrak dengan
keras yang berada dibagian depan lutut. Kelainan ini juga dapat
terjadi sewaktu mengendarai motor. 50% dislokasi disertai
fraktur pada pinggir asetabulum dengan fragmen kecil atau
besar. Penderita biasanya datang setelah suatu trauma yang hebat
disertai nyeri dan deformitas pada daerah sendi panggul. Sendi
panggul teraba menonjol ke belakang dalam posisi adduksi,
fleksi dan rotasi interna .terdapat pemendekan anggota gerak
bawah. Dengan pemeriksaan rontgen akan diketahui jenis
dislokasi dan apakah dislokasi disertai fraktur atau tidak.

2. Dislokasi anterior
 Obturator
 Iliaka
 Pubik
 Disertai fraktur kaput femur

3. Dislokasi sentral asetabulum


 Hanya mengenai bagian dalam dinding asetabulum
 Fraktur sebagian dari kubah asetabulum
 Pergeseran menyeluruh ke panggul disertai fraktur
asetabulum yang komunitif
3.5 Lebam Mayat
Lebam mayat atau livor mortis adalah salah satu tanda postmortem yang
cukup jelas. Biasanya disebut juga post mortem hypostasis, post mortem
lividity, post mortem staining, sugillations, vibices, dan lain – lain. Kata
hypostasis itu sendiri mengandung arti kongesti pasif dari sebuah organ atau
bagian tubuh.
Lebam terjadi sebagai akibat pengumpulan darah dalam pembuluh –
pembuluh darah kecil, kapiler, dan venula, pada bagian tubuh yang terendah.
Dengan adanya penghentian dari sirkulasi darah saat kematian, darah
mengikuti hukum gravitasi. Kumpulan darah ini bertahan sesuai pada area
terendah pada tubuh, memberi perubahan warna keunguan atau merah
keunguan terhadap area tersebut. Darah tetap cair karena adanya aktivitas
fibrinolisin yang berasal endotel pembuluh darah (Apuranto,2012).
Timbulnya livor mortis mulai terlihat dalam 30 menit setelah kematian
somatis atau segera setelah kematian yang timbul sebagai bercak keunguan.
Bercak kecil ini akan semakin bertambah intens dan secara berangsur –
angsur akan bergabung selama beberapa jam kedepan untuk membentuk area
yang lebih besar dengan perubahan warna merah keunguan. Kejadian ini akan
lengkap dalam 6 -12 jam. Sehingga setelah melewati waktu tersebut, tidak
akan memberikan hilangnya lebam mayat pada penekanan. Sebaliknya,
pembentukan livor mortis ini akan menjadi lambat jika terdapat anemia,
kehilangan darah akut, dan lain – lain.
Besarnya lebam mayat bergantung pada jumlah dan keenceran dari
darah. Darah akan mengalami koagulasi spontan pada semua kasus sudden
death dimana otopsi dilakukan antara 1 jam. Koagulasi spontan ini mungkin
akan hilang paling cepat 1,5 jam setelah mati. Tidak adanya fibrinogen pada
darah post mortem akan menyebabkan tidak terjadinya koagulasi spontan.
Fibrinolisin didapatkan dari darah post mortem hanya bertindak pada fibrin,
bukan pada fibrinogen. Fibrinolisin bertindak dengan mengikatkan dirinya
pada bekuan yang baru dibentuk dan kemudian akan lepas menjadi cairan
bersama bekuan yang hancur. Fibrinolisin dibentuk oleh sel endotel dalam
pembuluh darah.
Distribusi lebam mayat bergantung pada posisi mayat setelah kematian.
Dengan posisi berbaring terlentang, maka lebam akan jelas pada bagian
posterior bergantung pada areanya seperti daerah lumbal, posterior abdomen,
bagian belakang leher, permukaan ekstensor dari anggota tubuh atas, dan
permukaan fleksor dari anggota tubuh bawah. Area – area ini disebut juga
areas of contact flattening. Dalam kasus gantung diri, lebam akan terjadi pada
daerah tungkai bawah, genitalia, bagian distal tangan dan lengan. Jika
penggantungan ini lama, akumulasi dari darah akan membentuk tekanan yang
cukup untuk menyebabkan ruptur kapiler subkutan dan membentuk
perdarahan petekiae pada kulit. Dalam kasus tenggelam, lebam biasa
ditemukan pada wajah, bagian atas dada, tangan, lengan bawah, kaki dan
tungkai bawah karena pada saat tubuh mengambang, bagian perut lebih
ringan karena akumulasi gas yang cukup banyak kuat dibanding melawan
kepala atau bahu yang lebih berat. Ekstremitas badan akan menggantung
secara pasif. Jika tubuh mengalami perubahan posisi karena adanya
perubahan aliran air, maka lebam tidak akan terbentuk.
Lebam mayat lama kelamaan akan terfiksasi oleh karena adanya kaku
mayat. Pertama-tama karena ketidakmampuan darah untuk mengalir pada
pembuluh darah menyebabkan darah berada dalam posisi tubuh terendah
dalam beberapa jam setelah kematian. Kemudian saat darah sudah mulai
terkumpul pada bagian–bagian tubuh, seiring terjadi kaku mayat. Sehingga
hal ini menghambat darah kembali atau melalui pembuluh darahnya karena
terfiksasi akibat adanya kontraksi otot yang menekan pembuluh darah. Selain
itu dikarenakan bertimbunnya sel–sel darah dalam jumlah cukup banyak
sehingga sulit berpindah lagi.
Biasanya lebam mayat berwarna merah keunguan. Warna ini
bergantung pada tingkat oksigenisasi sekitar beberapa saat setelah kematian.
Perubahan warna lainnya dapat mencakup:
- Cherry pink atau merah bata (cherry red) terdapat pada keracunan oleh
karbonmonoksida atau hydrocyanic acid.
- Coklat kebiruan atau coklat kehitaman terdapat pada keracunan kalium
chlorate, potassium bichromate atau nitrobenzen, aniline, dan lain – lain.
- Coklat tua terdapat pada keracunan fosfor.
- Tubuh mayat yang sudah didinginkan atau tenggelam maka lebam akan
berada di dekat tempat yang bersuhu rendah, akan menunjukkan bercak
pink muda kemungkinan terjadi karena adanya retensi dari
oxyhemoglobin pada jaringan.
- Keracunan sianida akan memberikan warna lebam merah terang, karena
kadar oksi hemoglobin (HbO2) yang tinggi.

-
Gambar 2.6 Lebam Mayat

Perbedaan antara lebam mayat dan memar


Saat pembusukan sudah terjadi, perbedaannya akan semakin sulit karena terjadi
hemolisis darah dan difusi pigmen ke dalam jaringan sekitarnya. Saat pembusukan
berlangsung, lebam akan menjadi gelap, berubah menjadi coklat kemudian hijau
sebelum hilang seiring hancurnya sel darah.
Tabel 2.1 Perbedaan Lebam Mayat dan Memar
Lebam Mayat Memar
Lokasi Bagian tubuh terbawah Dimana saja
Permukaan Tidak menimbul Bisa menimbul
Batas Tegas Tidak tegas
Warna Kebiru – biruan atau merah Diawali dengan merah yang
keunguan, warna spesifik lama kelamaan berubah
pada kematian karena kasus seiring bertambahnya waktu
keracunan
Penyebab Distensi kapiler – vena Ekstravasasi darah dari
kapiler
Efek penekanan Bila ditekan akan memucat Tidak ada efek penekanan
Bila dipotong Akan terlihat darah yang Terlihat perdarahan pada
terjebak antara pembuluh jaringan dengan adanya
darah, tetesan akan perlahan koagulasi atau darah cair
– lahan yang berasal dari pembuluh
yang ruptur
Mikroskopis Unsur darah ditemukan Unsur darah ditemukan
diantara pembuluh darah dan diluar pembuluh darah dan
tidak terdapat peradangan tampak bukti peradangan
Enzimatik Tidak ada perubahan Perubahan level dari enzim
pada daerah yang terlibat
Kepentingan medicolegal Memperkirakan waktu Memperkirakan cedera,
kematian dan posisi saat senjata yang digunakan
mati

Aspek Medikolegal Pada Pemeriksaan Lebam Mayat


Kegunaan pemeriksaan lebam mayat :
 Dapat memperkirakan saat kematian.
 Dapat memperkirakan posisi kematian.
 Tanda pasti kematian seluler (mati yang terjadi adalah mati seluler).
 Mengetahui adanya manipulasi (perubahan pada jenazah).
 Dapat mengetahui penyebab kematian.

3.6 Kaku Mayat


Kaku mayat terjadi baik pada otot –otot bergaris maupun pada otot- otot
polos. Adapun teori tentang terjadinya kaku mayat adalah sebagi berikut :
apabila ada orang meninggal, terjadilah perubahan ATP menjadi ADP. Selama
dalam tubuh ada glycogen, masih dapat terjadi resintesa ADP menjadi ATP,
sehingga otot – otot masih dalam keadaan lemas. Apabila persediaan
glycogen habis, maka resintesa ADP menjadi ATP tidak ada, dan semua ATP
dirubah menjadi ADP, maka terjadilah kaku.

12

2-3 6 18 24

Perubahan yang terjadi pada otot – otot orang meninggal adalah sebagai berikut :
1. Primary Flaccidity
Dalam fase ini otot – otot lemas, dan masih dapat dirangsang secara mekanik,
maupun elektrik. Fase ini terjadi dalam stadium somatic death. Primary flaccidity
berlangsung selama 2-3 jam.
2. Rigor Mortis
Dalam fase ini otot – otot tidak dapat berkontraksi meskipun dirangsang secara
mekanik maupun elektrik, terjadi dalam stadium cellular death. Fase rigor mortis
ini dibagi menjadi 3 bagian :
a. Kaku mayat belum lengkap
Kaku mayat terjadi serentak pada otot – otot seluruh tubuh. Akan tetapi
manifestasinya tidak bersamaan. Mula – mula kaku mayat terjadi pada Mm.
Orbicularis occuli, kemudian rahang bawah, otot – otot leher, extremitas atas,
thorax, abdomen dan extremitas bawah. Fase ini berlangsung 3 jam.
b. Kaku mayat lengkap
Fase kaku mayat lengkap dipertahankan selama 12 jam
c. Kaku mayat mulai menghilang
Urut – urtan hilangnya kaku mayat sama seperti pada waktu timbulnya,
terkecuali otot rahang bawah yang paling akhir menjadi lemas. Fase ini
berlangsung selama 6 jam.
3. Secondary Flacidity
Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadi rigor mortis :
1. Suhu sekitarnya
Bila suhu sekitarnya tinggi, rigor mortis akan cepat timbul dan hilang,
sebaliknya pada suhu rendah, rigor mortis lebih lama timbul serta lebih lama
hilang. Pada suhu dibawah 100ºC tidak akan terbentuk rigor mortis
2. Keadaan otot saat meninggal
Apabila korban meninggal dalam keadaan konvulsi atau lelah, rigor
mortis akan cepat timbul. Dan apabila korban meninggal secara mendadak
atau dalam keadaan relaks, timbulnya rigor mortis lebih lambat
3. Umur dan gizi
Pada anak – anak timbulnya rigor mortis relative cepat daripada orang
dewasa. Dan apabila keadaan gizi korban jelek, timbulnya rigor mortis juga
lebih cepat.

3.7 Prosedur Medikolegal


Dalam ilmu kedokteran forensik, peranan ilmu kedokteran forensik
berfungsi membantu penegakan hukum antara lain pembuatan visum et
repertum terhadap seseorang yang dikirim oleh polisi (penyidik). Tujuan
pemeriksaan forensik pada korban hidup adalah untuk mengetahui penyebab
luka/sakit dan derajat parahnya luka atau sakitnya tersebut, dimaksudkan
untuk memenuhi rumusan delik dalam KUHP. Peristiwa yang dapat
mengakibatkan tindak pidana antara lain peristiwa kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, penganiayaan, pembunuhan, perkosaan, maupun korban
meninggal. Korban dengan luka ringan merupakan salah satu hasil tindak
pidana tersebut, yaitu berupa penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP), korban
dengan luka sedang merupakan hasil dari tindak penganiayaan, dan korban
dengan luka berat.
Penyidik membutuhkan bantuan dari ahli, salah satunya dokter maupun
ahli kedokteran kehakiman, untuk mengungkap kasus dan membuat perkara
menjadi lebih terang agar kasus bisa terselesaikan. Hal ini dikarenakan,
dokterlah seseorang yang paling memahami tubuh manusia. Peranan dokter
maupun ahli kedokteran kehakiman tersebut tertuang dalam Pasal 133 ayat 1
KUHAP yang berbunyi, “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan
menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
dan atau ahli lainnya.” (Peraturan UU Kedokteran,1994)
Yang dimaksud keterangan ahli tertuang dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP
yang berbunyi, “keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Surat keterangan ahli ini
dinyatakan dalam surat yang disebut visum et repertum, sesuai dengan Pasal
133 ayat 2 KUHAP, dan berfungsi sebagai alat bukti yang sah di pengadilan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP. Visum et Repertum juga
berguna dalam proses penyidikan. (Peraturan UU Kedokteran,1994)
Keterangan ahli yang berupa Visum et Repertum (VeR) tersebut adalah
keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang
mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati,
ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan
keilmuannya dan di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan. Seorang
dokter juga berkewajiban memberikan keterangan ahli seperti yang diminta
penyidik yang berwenang tersebut, seperti yang diatur dalam Pasal 179
KUHAP yang berbunyi, “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai
ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan
keterangan ahli demi keadilan.” (Peraturan UU Kedokteran, 1994)
Surat Permintaan Visum et Repertum (SPV) perlu diperiksa
kelengkapannya sebelum dokter atau ahli kedokteran kehakiman melakukan
pemeriksaan dan membuat visum et repertum. Seperti yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1983, bahwa kelengkapan SPV harus
memenuhi kop surat, pihak yang meminta visum, pihak yang dituju, identitas
korban, dugaan penyebab kematian, permintaan jenis pemeriksaan, jabatan
peminta visum, dan tanda tangan peminta visum. VER pun memiliki lima
komponen tetap yang terdiri dari Pro Justitia, bagian Pendahuluan, bagian
Pemberitaan, bagian Kesimpulan, dan bagian Penutup. (peraturan uu
kedokteran,1994)
VER merupakan alat bukti yang sah dan memiliki nilai otentik karena
dibuat atas sumpah jabatan sebagai seorang dokter. Sesuai dengan Stb 350
tahun 1937 yang menyatakan bahwa visum et repertum hanya sah bila dibuat
oleh dokter yang sudah mengucapkan sumpah sewaktu mulai menjabat
sebagai dokter. Pada kasus perlukaan, korban yang dimintakan visum et
repertumnya adalah kasus dengan dugaan adanya tindak kekerasan yang
diancam hukuman oleh KUHP. Seorang dokter untuk membantu peradilan,
wajib membuktikan adanya luka atau memar. Derajat luka sangat diperlukan
untuk menentukan hukuman yang akan diterima oleh korban, sehingga dokter
harus menentukan derajat luka dengan benar. Dokter harus menuliskan luka-
luka, cedera, atau penyakit yang ditemukan, jenis benda penyebab, serta
derajat perlukaan, pada visum et repertum.
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pemeriksaan Korban

Korban datang dengan kesadaran penuh, mengaku bahwa korban telah tertabrak

fuso. Akibat kejadian tersebut korban mengalami luka pada kaki dan tangannya akibat

jatuh. Kejadian tersebut terjadi pada hari Selasa, 10 Oktober 2017, pukul 06.30 WIB.

Kejadian tersebut terjadi di Jalan Putri Balau Gang Mangga Cempaka Putih tepat di

Depan Jalan Vihara, Kelurahan Kedamaian, Kecamatan Kedamaian, Bandar lampung.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan Kesadaran nya sadar penuh, keadaan umum baik.

Sikap kooperatif

4.2 Status Lokalis Luka

 Pada lengan kanan sisi belakang dengan jarak 2 cm di bawah siku terdapat luka

lecet jenis geser dengan warna kemerahan memiliki ukuran 5 cm X 5 cm.

 Pada lutut kiri terdapat luka memar tidak beraturan.

Berdasarkan pemeriksaan pada korban, luka-luka yang didapat dapat digolongkan

sebagai luka ringan (luka derajat satu) karena tidak menimbulkan penyakit atau

halangan dalam menjalankan pekerjaan, jabatan, atau pencaharian.

4.3 Aspek Medikolegal


Pada kasus ini, terdapat bukti kekerasan tumpul berupa luka lecet jenis geser pada

lengan sisi belakang korban,luka memar tidak beraturan pada lutut kiri. Walaupun

demikian, korban mengaku tidak mengalami hambatan apa pun dalam

melaksanakan kegiatan sehari-hari, termasuk bekerja dan beraktivitas.

Sesuai dengan pasal KUHP bunyi pasal 362 KUHP "Barang siapa mengambil suatu

benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk

dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana

penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah".Maka

pada kasus ini, hukuman bagi pelaku sesuai pasal ini adalah penjara paling lama 5

tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah

4.4 Kesimpulan

Pada perempuan berusia 27 tahun ini ditemukan luka lecet dan luka memar akibat

kekerasan tumpul.Luka-luka tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan

dalam menjalankan pekerjaan, jabatan, atau pencaharian. Berdasarkan KUHP

pasal 362 hukuman bagi pelaku sesuai pasal ini adalah penjara paling lama 5 tahun

atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

DAFTAR PUSTAKA
Budiyanto A, et al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik
FKUI; 1997.

James JP, Jones R, Karch SB, Manlove J. 2011. Simpson’s Forensic Medicine. 13th

ed. London: The English Language Book Society adn Edward Arnold

Moore KL & Dalley AF. 2002. Anatomi Beroreintasi Klinis edisi 5 jilid 1. Jakarta :
EGC.

Paulsen F & J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia: anatomi umum dan
muskuloskeletal. Jakarta: EGC

Peraturan Perundang-undangan Bidang Kedokteran. Jakarta : Bagian Kedokteran


Forensik FKUI; 1994.

Pudi R. 2007. Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri). Surabaya :


Laksbang Mediatmaa

Yesmil Anwar. 2009. Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan


Pelaksanaannya Dalam Penegakkan Hukum di Indonesia). Bandung: Widya
LAMPIRAN

a. Luka lecet pada lengan kanan sisi belakang

b. Luka memar pada lutut kiri tidak beraturan

Das könnte Ihnen auch gefallen