Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Dosen Pengampu :
Anggit Suko Rahajeng, S.T.,M,T
Muhammad Rizky Pratama, S.T.,M.T
Disusun Oleh :
Desy Ariyani 08161020
Romi Alfianor 08161072
Trisha Agustine Winda 08161084
Yusrina Amaliah 08161090
Materi yang akan dikaji dalam makalah ini ialah Teori Von Thunen yang di dalamnya
mencakup Teori Von Thunen : Land Use Theory dan Perluasan teori von thunen : Bid Rent
Theory.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Von Thunen : Land Use Theory
Teori Lokasi Von Thunen ditulis oleh Johan Heinrich Von Thunen seorang ekonom
terkemuka tahun 1826. Teori Von Thunen merupakan teori pertama dalam teori lokasi. Teori ini
mengawali perkembangan teori lokasi berikutnya. Teori lokasi Von Thunen diawali oleh analisis lokasi
areal produksi pertanian dalam karyanya ya n g berjudul ‘Der Isolierte Staat (The Isolated State atau
Negara yang Terisolasi).
Von Thunen mengembangkan teori ini sebelum era industrialisasi (abad ke-19) berdasarkan
pengamatan di daerah tempat tinggalnya, ia menggambarkan bahwa perbedaan ongkos transport
setiap komoditas pertanian dari tempat produksi kepasar terdekat mempengaruhi jenis penggunaan
tanah yang ada disuatu daerah. Teori ini memperhatikan jarak tempuh antara daerah produksi dan
pasar,pola tersebut memasukkan variable keawetan, berat, dan harga dari berbagai komoditas
pertanian. Von Thunen berpendapat bahwa suatu pola produksi pertanian berhubungan dengan pola
tata guna lahan diwilayah sekitar pusat pasar atau kota. Berikut ini adalah asumsi-asumsi dari Von
Thunen:
1. Isolated stated, terdapat suatu daerah terpencil yang terdiri atas daerah perkotaan dengan daerah
pedalamannya dan merupakan satu-satunya daerah pemasok kebutuhan pokok yang merupakan
komoditi pertanian. bebas dari pengaruh pasar-pasar kota lain.
2. Single market ,daerah perkotaan tersebut merupakan daerah penjualan kelebihan produksi daerah
pedalaman dan tidak menerima penjualan hasil pertanian dari daerah lain.
3. Single destination, daerah pedalaman tidak menjual kelebihan produksinya kedaerah lain kecuali
kedaerah perkotaan. Daerah pedalaman merupakan daerah berciri sama (homogenous) dan cocok
untuk tanaman dan peternakan dalam menengah.
4. Homogenous, daerah pedalaman merupakan daerah berciri sama (homogen) dan cocok untuk
tanaman dan peternakan dalam menengah
5. Maximum oriented, daerah pedalaman dihuni oleh petani yang berusaha untuk memperoleh
keuntungan maksimum dan mampu untuk menyesuaiakan hasil tanaman dan peternakannya
dengan permintaan yang terdapat di daerah perkotaan.
6. One moda transportation, satu-satunya angkutan yang terdapat pada waktu itu adalah angkutan
darat berupa gerobak yang dihela oleh kuda.
7. Equidistant, biaya angkutan ditanggung oleh petani dan besarnya sebanding dengan jarak yang
ditempuh. Petani mengangkut semua hasil dalam bentuk segar.
(Prof.Sjahrizal, 2008)
Karena asumsi tersebut maka terbentuklah teori lokasi Von Thunen sebagai berikut:
2
Gambar 2.1 Teori Lokasi Von Thunen
Sumber : Prof.Sjahrizal, 2008
Pada gambar diatas terlihat bahwa terdapat 2 bagian wilayah. Yang mana menurut Von Thunen pada
sisi kiri menampilkan isolated area yang terdiri dari dataran yang teratur. Semakin mendekati pusat
kota, sewalahan semakin mahal. Sedangkan untuk Sisi sebelah kanan yang merupakan modified
condition satau kawasan dengan kondisi yang telah dimodifikasi. Pengertian modifikasi dapat dilihat
bahwa pada kawasan tersebut terdapat sungai yang dapat dilayari sehingga transportasi tidak hanya
melalui darat. Sama seperti pada daerah isolated state, daerah disekitar pusat kota dan sungai
sewalahannya tinggi. Sungai sebagai jalur transportasi sehingga merupakan daerah yang strategis.
Olehkarena itu penggunaan lahan disekitarnya akan sangat diminati oleh masyarakat. Adapun dalam
pembagian zonasi, Von thunen membagi wilayahnya menjadi 6 klasifikasi penggunaan lahan menjadi
sebagai berikut :
1. Zona1 adalah daerah yang paling dekat dengan pusat kota ( kota pasaran ) yang secara
langsung mengusahakan pemasaran hasil-hasil kebun atau tanaman yang mudah rusak
(market gardening )
2. Zona 2 adalah daerah hutan yang menghasilkan kayu
3. Zona 3 menghasilkan biji-bijian seperti gandum,dengan hasil yang relatiftahan lama
4. Zona 4 merupakan lahan garapan dan rerumputan yang ditekankan pada hasil perahan seperti
susu, mentega dan keju.
5. Zona 5 untuk pertanian yang berubah- ubah, dua sampai tiga jenis tanaman
6. Zona 6 merupakan daerah yang terletak di pinggiran paling jauh dari pusat kota yang
dimanfaatkan untuk rerumputan dan hewan ternak.
Dari teori ini tercipta pula suatu rumus untuk menelaah lokasi pertanian menurut Von Thunen
dengan memperhatikan keuntungan secara ekonomi yaitu :
3
L = H - (B+ A)
Dimana Keuntungan atau laba adalah harga penjualan hasil pertanian dikurangi jumlah
biaya produksi pertanian dan biaya angkut.
Inti dari teori Von Thunen adalah bahwa harga sewa lahan (Land Rent) pertanian akan
berbeda-beda nilainya tergantung tata guna lahannya. Lahan yang berada di dekat pusat pasar
atau kota akan lebih mahal di bandingkan lahan yang jauh dari pusat pasar. Karena jarak yang
makin jauh dari pusat pasar, akan meningkatkan biaya transportasi.
Berdasarkan asumsi tersebut, teori bid rent berkesimpulan bahwa lokasi perusahaan industri
akan sangat ditentukan oleh titk kesamaan antara kemampuan perusahaan untuk membayar sewa
tanah (bid-rent) dan besarnya sewa tanah yang diinginkan oleh sipemilik tanah (land-rent).
4
Penerapan Model Von Thunen dapat diaplikasikan pada identifikasi pola land use
danmenjelaskan fenomena Urban Sprawl.hal ini digunakan sebagai basisanalisis bagi penggunaan
lahan dan merupakan komponen dasar dalam model penggunaan lahan saat ini. Berikut aplikasi
model Von Thunen (Ron Shaffer, 2004)
Berdasarkan gambar 2.2 dapat dijelaskan bahwa harga lahan pada daerah sumbu x tinggi
karena jarak ditempuh menuju pusat pasar dekat. Kemudian, harga lahan pada daerah sumbu y
sedang karena jarak yang ditempuh menuju pusat pasar sedang. Sedangkan, harga lahan pada
daerah sumbu z rendah karena jarak yang ditempuh menuju pusat pasar jauh.
Sangat sedikit sekali masyarakat Sebatik yang mengambil barang jadi dari Nunukan,
ataupun menjual hasil pertanian/perkebunan ke Nunukan. Bahkan, yang seharusnya masyarakat
Nunukan menikmati hasil pertanian Sebatik justru harus menikmati hasil pertanian dari daerah lain
yaitu dari Pare-Pare, Sulawesi Selatan (Ruru, 2011).
Menurut teori Von Thunen (Djojodipuro,1992:149), lokasi pertanian akan berkembang pada
pola tertentu tergantung pada tujuh asumsi:
5
1. Terdapat suatu daerah terpencil yang terdiri atas daerah perkotaan dengan daerah
pedalamannya dan merupakan satu-satunya daerah pemasok kebutuhan pokok yang
merupakan komoditi pertanian.
2. Daerah perkotaan tersebut merupakan daerah penjualan kelebihan produksi daerah pedalaman
dan tidak menerima penjualan hasil pertanian dari daerah lain.
3. Daerah pedalaman tidak menjual kelebihan produksinya ke daerah lain kecuali ke daerah
perkotaan.
4. Daerah pedalaman merupakan daerah berciri sama (homogenous) dan cocok untuk tanaman
dan peternakan dalam menengah
5. Daerah pedalaman dihuni oleh petani yang berusaha untuk memperoleh keuntungan maksimum
dan mampu untuk menyesuaikan hasil tanaman dan peternakannya dengan permintaan yang
terdapat di daerah perkotaan
6. Satu-satunya angkutan yang terdapat pada waktu itu adalah angkutan darat.
7. Biaya angkutan ditanggung oleh petani dan besarnya sebanding dengan jarak yang ditempuh.
Petani mengangkut semua hasil dalam bentuk segar.
6
bekerja sebagai petani seperti pada asumsi kelima, dan petani berusaha mencari keuntungan dari
hasil pertanian yang dijual ke Tawau.Pada asumsi keenam, tidak berlaku lagi an gkutan darat untuk
mengangkut hasil komoditas, karena pengangkutan dilakukan dengan angkutan laut.Pada asumsi
ke tujuh, biaya ditanggung oleh petani, tetapi sudah dimasukkan dalam biaya penjualan.
Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya teori Von Thunen masih bisa
diaplikasikan di Sebatik sebagai daerah yang terpencil. Masyarakat Sebatik tidak menjual hasil
pertaniannya ke Nunukan, Tarakan, atau kota besar lainnya, karena jarak yang ditempuh cukup
jauh. Apabila dilakukan penjualan pada jarak yang jauh, maka keuntungan yang diperoleh juga
sedikit, sedangkan pada jarak dengan pasar yang dekat, dalam hal ini adalah Tawau, maka akan
memperoleh keuntungan yang besar. Misalnya saja diterapkan harga komoditas sesuai jarak
tempuh transportasi, maka semakin jauh lokasi pemasaran maka akan semakin mahal juga harga
jualnya, sedangkan belum tentu daerah pemasaran yang dituju akan membeli dengan harga yang
tinggi tersebut seperti yang diungkapkan Susilo (2011), bahwa pedagang kelapa sawit di Sebatik
lebih memilih menjual hasil perkebunannya di Tawau karena memperoleh hasil jual Rp 1,7 juta per
ton tandan buah segar (TBS), sedangkan di Nunukan hanya membeli Rp 1 juta per ton TBS . Dalam
jarak yang dekat pedagang Sebatik sudah memperoleh harga jual yang lebih tinggi daripada
menjual dagangan pada jarak yang jauh. Oleh karena itu, bila ingin meningkatkan pemasaran hasil
komoditas di Sebatik, maka perlu perbaikan prasarana transportasi/jaringan jalan antara penyedia
bahan baku dengan pasar/wilayah lainnya, sehingga aksesibiltas antar daerah semakin tinggi.
Dengan akses yang cepat ke daerah lainnya kemungkinan hasil penjualan juga akan meningkat.
7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Teori Von Thunen masih bisa dilakukan pada daerah-daerah terpencil, pemasaran hanya
pada daerah-daerah yang memungkinkan dilakukan pemasaran. Semakin jauh dari pusat kota,
maka akan semakin mahal juga sewa lahannya, dalam artian biaya transportasi yang ditanggung
semakin besar, sedangkan balik modal kecil. Hal tersebut yang menyebabkan interaksi antara
Sebatik – Tawau lebih sering dibanding Sebatik – Nunukan/Tarakan dikarenakan aksesibilitas
Sebatik – Nunukan/Tarakan rendah. Sebatik sebagai daerah penyedia bahan baku bagi Tawau,
Malaysia, sedangkan Tawau sebagai penyedia bahan jadi bagi Sebatik.
8
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim, H.M.Yacob. 1998. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta : RinekaCipta
Lestianti, Lita. 2011. Penerapan Teori Lokasi Von Thunen Pada Kawasan Perbatasan Kalimantan
Timur – Malaysia (Studi Kasus: Perbatasan Sebatik – Tawau). Malang : Universitas Brawijaya
Marsudi.Djojodipuro. 1992. Strategi Lokasi Persaingan. Jakarta : FE UI
Prof. Sjafrizal. 2008 .Ekonomi Regional:Teori dan Aplikasi. Padang.
Ron Shaffer,Steve Deller, Dave Marcouiller. 2004.Community Economic: Theory & Application,
Second Edition. Blackwell Publishing.