Sie sind auf Seite 1von 15

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kepada Ilahiy Rabbi, Allah yang Maha
Tinggi dan Pemurah, yang telah melimpahkan Rahmat dan Kudrah-Nya kepada
kita semua terutama sekali kepada penulis, sehingga telah dapat menyusun
proposal ini dalam rangka menyelesaikan studi dan memenuhi sebahagian
syarat-syarat dalam mencapai proposal untuk seminar dalam bidang Ilmu
Aqidah. Dalam hal ini penulis mengangkat judul : “Nilai teologis dalam adat
pernikahan suku alas dikecamatan lawe alas kabupaten kutacane aceh tenggara”
Selawat dan salam kepada junjungan alam pahlawan revolusi sedunia,
Nabi Besar Muhammad Saw., dan beserta keluarga dan al-shahabat beliau
sekalian yang seimbang bahu dan seayun langkah dalam menegakkan kalimat
Lailahaillallah Muhammadurrasulullah.
Dalam masalah ini penulis menyadari dengan sedalam-dalamnya bahwa
proposal ini masih kurang sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
pihak pembaca yang bersifat positif dan konstruktif sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan dalam penyusunan proposal nantinya.
Akhirnya, dengan memohon petunjuk dari Allah Swt, semoga apa yang
penulis paparkan dalam proposal ini dapat menjadi sekelumit sumbangan dalam
tugas penulis sebagai seorang calon sarjana. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Penulis
1
BAB1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut hukum islam, kata perkawinan dikenal dengan istilah nikah. Menurut
ajaran islam melangsungkan pernikahan berarti melasanakan ibadah. Melakukan
perbuatan ibadah berarti juga melaksanakan ajaran agama. Sebagaimana sabda
Rasulullah “Barang siapa yang kawin (nikah) berarti ia telah melaksanakan separuh
ajaran agamanya, yang separuh lagi hendaknya ia bertakwa kepada Allah”1.
Menurut Sajuti, perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh
untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
membentuk keluarga yang kekal, tenteram dan bahagia. Sedang kan menurut Imam
Syafi,i, perkawinan ialah suatu akad dengannya menjadi halal hubungan seksual antara
pria dan wanita.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor I Tahun 1974, perkawinan ialah
iktan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa2.

1
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002),hal. 3.
2
Undang-undang Nomor I Tahun 1974 Tentang, Perkawinan dalam Hamid Sarong Dkk;
Fiqh, (Rukoh-Darusalam Banda Aceh:Badan Publising,2009), hal. 132
2
Pertimbangan ialah sebagai negara yang berdasarkan pancasila dimana pertama
ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat
sekali dengan agama, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Dalam
Islam, anjuran umat muslim untuk menikah memiliki dasar hukum yang kuat. Selain itu
dalam melakukan perkawinan banyak hal yang perlu diperhatikan sepert i rukun dan
syarat sahnya sebuah perkawinan, serta hikmah dan tujuan perkawinan.
Hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim:

‫ﻟا ّحﺎﻜﻨ ﺳ ﻦﻋ ﺐﻏر ﻦﻤﻓ ﻲﺘﻨﺳ ّﻣ ﺲﯿﻠﻓ ﻲﺘﻨ ّﻨﻲ‬

”Nikah adalah sunahku. Maka barang siapa tidak menyukai sunnahku, dia bukan
termasuk golonganku. (HR. Bukhari Muslim)3.

‫اﻮﺤﻛﺎﻨﺗ ﺎﻓ اوﺮﺜﻜﺗ ّةﺎﺒﺳ ﻲﻧ ﻢﻜﺑ مﻮﯾ ﻢﺳﻷا اﻟﻘﯿﺎﻣﺔ‬

“Nikmatilah kalian, agar kalian menjadi banyak, karena aku membanggakan kalian
kepada berbagai umat pada hari kiamat.

Pernikahan merupakan suatu hal yang sakral dalam pandangan masyarakat


indonesia pada umumnya dan Aceh pada khususnya dalam merealisasikan pernikahan
tersebut masing-masing daerah mempunyai aturan dan tata cara yang berbeda serta
mempunyai makna ciri khas tertentu yang telah terangkum dalam adat budaya.
.
Sebagian besar suku Alas tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian dan
peternakan. Tanah Alas merupakan lumbung padi untuk daerah Aceh. Tapi selain itu
mereka juga berkebun karet, kopi,dan kemiri, serta mencari berbagai hasil hutan, seperti
kayu, rotan, damar dan kemenyan. Sedangkan binatang yang mereka ternakkan adalah
kuda, kambing, kerbau, dan sapi.
Suku Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di Kabupaten Aceh
Tenggara, Provinsi Aceh (yang juga lazim disebut Tanah Alas). Kata "alas" dalam bahasa
Alas berarti "tikar". Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang membentang
datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan. Daerah Tanah Alas dilalui banyak sungai,
salah satu di antaranya adalah Lawe Alas (Sungai Alas).
Sebagian besar suku Alas tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian dan
peternakan. Tanah Alas merupakan lumbung padi untuk daerah Aceh. Tapi selain itu
3
mereka juga berkebun karet, kopi,dan kemiri, serta mencari berbagai hasil hutan, seperti
kayu, rotan, damar dan kemenyan. Sedangkan binatang yang mereka ternakkan adalah
kuda, kambing, kerbau, dan sapi.
Kampung atau desa orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh
satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Anggota satu merge berasal dari satu nenek
moyang yang sama. Pola hidup kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan persatuan.
Mereka menarik garis keturunan patrilineal, artinya garis keturunan laki-laki. Mereka
juga menganut adat eksogami merge, artinya jodoh harus dicari di merge lain.
Suku Alas 100% adalah penganut agama Islam. Namun masih ada juga yang
mempercayai praktik perdukunan misalnya dalam kegiatan pertanian. Mereka melakukan
upacara-upacara dengan latar belakang kepercayaan tertentu agar pertanian mereka
mendatangkan hasil baik atau terhindar dari hama.
Bahasa Alas, selengkapnya bahasa Batak Alas-Kluet untuk para linguist,
dimasukkan dalam kelompok bahasa Batak, walau dari segi budaya dan jati diri orang
Alas tidak melihat dirinya sebagai orang Batak
Kampung atau desa orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh
satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Anggota satu merge berasal dari satu nenek
moyang yang sama. Pola hidup kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan persatuan.
Mereka menarik garis keturunan patrilineal, artinya garis keturunan laki-laki. Mereka
juga menganut adat eksogami merge, artinya jodoh harus dicari di merge lain.
Suku Alas 100% adalah penganut agama Islam. Namun masih ada juga yang
mempercayai praktik perdukunan misalnya dalam kegiatan pertanian. Mereka melakukan
upacara-upacara dengan latar belakang kepercayaan tertentu agar pertanian mereka
mendatangkan hasil baik atau terhindar dari hama.
Suku Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di Kabupaten Aceh
Tenggara, Provinsi Aceh (yang juga lazim disebut Tanah Alas). Kata "alas" dalam bahasa
Alas berarti "tikar". Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang membentang
datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan. Daerah Tanah Alas dilalui banyak sungai,
salah satu di antaranya adalah Lawe Alas (Sungai Alas).
4
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditentukan rumusan masalah sebagai


berikut.
1. Bagaimanakah Ritual Adat Pernikahan Masyarakat Alas di Kampung
Batumbulan ?
2. Bagaimanakah Adat Pernikahan Masyarakat Alas di Kampung
Batumbulan Kecamatan Lawe Alas ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui ritual pada adat pernikahan masyarakat Alas di
kampung Batumbulan Kecamatan Lawe Alas Kabupaten Kutacane Aceh
Tenggara.
2. Untuk mengetahui cara pernikahan masyarakat Alas dikampung
Batumbulan Kecamatan Lawe Alas Kabupaten Aceh Tenggara.

D. Manfaat Penelitian
Terdapat dua kegunaan dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut:
1. Secara Praktis

a. Segi praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan bagi
mahasiswa maupun masyarakat
b. Sebagai dokumentasi kelestarian budaya daerah.

2. Secara Akademis
a. Penelitian ini dapat menjadi wawasan baru bagi penulis.
b. Penelitian ini di harapkan dapat menjadi rujukan atau referensi
bagi mahasiswa jurusan Ilmu Aqidah yang meneliti tentang nilai-
nilai Islam pada adat pernikahan masyarakat alas.
c. Segi keilmuan hasil penelitian ini diharapkan menjadi khazanah
sekaligus memperkaya kajian nilai-nilai Islam pada adat
pernikahan masyarakat Alas.
5
d. Segi penerapan ilmu hasil penelitian ini diharapkan dapat
dimanfaatkan untuk memecahkan masalah nilai-nilai Dakwah-
dakwah pada adat pernikahan masyarakat Alas.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Ukhang Alas atau khang Alas atau Kalak Alas telah bermukim di lembah Alas,
jauh sebelum Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Indonesia dimana keadaan
penduduk lembah Alas telah diabadikan dalam sebuah buku yang dikarang oleh seorang
bangsa Belanda bernama Radermacher (1781:8), bila dilihat dari catatan sejarah
masuknya Islam ke Tanah Alas, pada tahun 1325 (Effendy, 1960:26) maka jelas
penduduk ini sudah ada walaupun masih bersifat nomaden dengan menganut kepercayaan
animism\
Nama Alas diperuntukan bagi seorang atau kelompok etnis, sedangkan daerah
Alas disebut dengan kata Tanoh Alas. Menurut Kreemer (1922:64) kata "Alas" berasal
dari nama seorang kepala etnis (cucu dari Raja Lambing), beliau bermukim di desa paling
tua di Tanoh Alas yaitu Desa Batu Mbulan.
Menurut Iwabuchi (1994:10) Raja yang pertama kali bermukim di Tanoh Alas
adalah terdapat di Desa Batumbulan yang dikenal dengan nama RAJA LAMBING yaitu
keturunan dari RAJA LOTUNG atau dikenal dengan cucu dari GURU TATAE BULAN
dari Samosir Tanah Batak, Tatae Bulan adalah saudara kandung dari RAJA SUMBA.
Guru Tatae Bulan mempunyai lima orang anak, yaitu Raja Uti, Saribu Raja, Limbong,
Sagala, dan Silau Raja. Saribu Raja adalah merupakan orang tuanya Raja Borbor dan
Raja Lontung. Raja Lontung mempuyai tujuh orang anak yaitu, Sinaga, Situmorang,
Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar atau yang dikenal dengan
siampudan atau payampulan. Pandiangan merupakan moyangnya Pande, Suhut Nihuta,
Gultom, Samosir, Harianja, Pakpahan, Sitinjak, Solin di Dairi, Sebayang di Tanah Karo,
dan SELIAN di Tanah Alas, Keluet di Aceh Selatan.
Raja Lambing adalah moyang dari merga Sebayang di Tanah Karo dan Selian di
Tanah Alas. Raja Lambing merupakan anak yang paling bungsu dari tiga bersaudara yaitu
abangnya tertua adalah Raja Patuha di Dairi, dan nomor dua adalah Raja Enggang yang
hijrah ke Kluet Aceh Selatan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Pinem atau
Pinim.
Kemudian Raja Lambing hijrah ke Tanah Karo dimana keturunan dan
pengikutnya adalah merga Sebayang dengan wilayah dari Tigabinanga hingga ke perbesi
dan Gugung Kabupaten Karo.
Diperkirakan pada abad ke 12 Raja Lambing hijrah dari Tanah Karo ke Tanah
Alas, dan bermukim di Desa Batumbulan, keturunan dan pengikutnya adalah merga
Selian. Di Tanah Alas Raja Lambing mempunyai tiga orang anak yaitu Raja Lelo (Raje
Lele) keturunan dan pengikutnya ada di Ngkeran, kemudian Raja Adeh yang merupakan
7
moyangnya dan pengikutnya orang Kertan, dan yang ketiga adalah Raje Kaye yang
keturunannya bermukim di Batumbulan, termasuk Bathin. Keturuan Raje Lambing di
Tanah Alas hingga tahun 2000, telah mempuyai keturunan ke 26 yang bermukim tersebar
diwilayah Tanah Alas (Effendy, 1960:36; sebayang 1986:17).
Setelah Raja Lambing kemudian menyusul Raja Dewa yang istrinya merupakan
putri dari Raja Lambing. Raja Lambing menyerahkan tampuk kepemimpinan Raja kepada
Raja Dewa (menantunya). Yang dikenal dengan nama Malik Ibrahim, yaitu pembawa
ajaran Islam yang termashur ke Tanah Alas. Bukti situs sejarah ini masih terdapat di
Muara Lawe Sikap, desa Batumbulan. Malik Ibrahim mempunyai satu orang putera yang
diberinama ALAS dan hingga tahun 2000 telah mempunyai keturunan ke 27 yang
bermukim di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, Banda Aceh, Medan, Malaysia dan
tempat lainnya.
Ada hal yang menarik perhatian kesepakatan antara putera Raja Lambing (Raja
Adeh, Raja Kaye dan Raje Lele) dengan putra Raja Dewa (Raja Alas) bahwa syi’ar Islam
yang dibawa oleh Raja Dewa diterima oleh seluruh kalangan masyarakat Alas, tetapi adat
istiadat yang dipunyai oleh Raja Lambing tetap di pakai bersama, ringkasnya hidup
dikandung adat mati dikandung hukum (Islam) oleh sebab itu jelas bahwa asimilasi antara
adat istiadat dengan kebudayaan suku Alas telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu.
Pada awal kedatanganya Malik Ibrahim migrasi melalui pesisir bagian timur
(Pasai) sebelum ada kesepakatan diatas, ia masih memegang budaya matrealistik dari
minang kabau, sehingga puteranya Raja Alas sebagai pewaris kerajaan mengikuti garis
keturunan dan merga pihak ibu yaitu Selian. Setelah Raja Alas menerima asimilasi dari
Raja Lambing dengan ajaran Islam, maka sejak itulah mulai menetap keturunannya
menetap garis keturunannya mengikuti garis Ayah. Raja Alas juga dikenal sebagai
pewaris kerajaan, karena banyaknya harta warisan yang diwariskan oleh ayah dan
kakeknya sejak itulah dikenal dengan sebutan Tanoh Alas. Setelah kehadiran Selian di
Batumbulan, muncul lagi kerajaan lain yang di kenal dengan Sekedang yang basis
wilayahnya meliputi Bambel hingga ke Lawe Sumur. Raja sekedang menurut beberapa
informasi pada awal kehadiranya di Tanah Alas adalah untuk mencari orang tuanya yaitu
RAJA DEWA yang migran ke Tanah Alas. Raja Sekedang yang merupakan pertama
sekali datang ke Tanah Alas diperkirakan ada pertengahan abad ke 13 yang lalu yaitu
bernama NAZARUDIN yang dikenal dengan panggilan DATUK RAMBUT yang datang
dari Pasai.
Pendatang berikutnya semasa Raja Alas yaitu kelompok Megit Ali dari Aceh
pesisir dan keturunannya berkembang di Biak Muli yang dikenal dengan merga Beruh.
Lalu terjadi migran berikutnya yang membentuk beberapa marga, namun mereka tetap
merupakan pemekaran dari Batumbulan, penduduk Batumbulan mempuyai beberapa
kelompok atau merga yang meliputi Pale Dese yang bermukim di bagian barat laut
8
Batumbulan yaitu terutung pedi, lalu hadir kelompok Selian, datang kelompok Sinaga,
Keruas dan Pagan disamping itu bergabung lagi marga Munthe, Pinim dan Karo-Karo.
Marga Pale Dese merupakan penduduk yang pertama sekali menduduki Tanah
Alas, namun tidak punya kerajaan yang tercatat dalam sejarah. Kemudian hadir pula
Deski yang bermukim di kampong ujung barat.
Sedangkan menurut Bernard H.M Vlekke "Nusantara : A History of Indonesia"
Diterjemahkan oleh : Samsudin Berlin (Nusantara: Sejarah Indonesia) Dicetak oleh : PT
Gramedia, Jakarta, Cet 4, 2008.
Kepulauan Indonesia terletak di jalur laut utama antara Asia bagian timur dan
selatan. Dalam wilayah antara seperti ini, dengan sendirinya bias diperkirakan akan
terdapat populasi dengan beragam asal-usul. Penemuan antropologis menambahkan
banyak kerumitan pada studi mengenai masalah asal-usul manusia dalam gugusan pulau
itu. Pada 1890 Dr. Eugene Dubolis menemukan sisa-sisa sebuah kerangka yang
tampaknya saat itu tidak dapat diklasifikasikan sebagai kera atau manusia. Diskusi-
diskusi ilmiah mengenai sisa-sisa "Pithecanthopus erectus" (nama yang disarankan
Dubois) menghasilkan kesimpulan yang tidak pasti. Untuk waktu lama, hanya sedikit
penemuan baru yang bias menjelaskan masalah sulit ini. Tapi 40 tahun kemudian,
gambaran ini tiba-tiba berubah. Antara 1931 dan 1941, antropolog Oppenoorth dan Von
Koenigswald menemukan fosil sisa-sisa beberapa jenis manusia purba yang berasal dari
Kala Pleistosen awal atau pertengahan. Semua penemuan ini terjadi di sekitar Surakarta
di Jawa Tenggah. Penemuan itu ternyata sangat penting bagi antropologi dan biologi pada
umumnya. Tapi tidak berarti bagi sejarah Indonesia. Orang-orang Indonesia zaman purba
adalah keturunan imigran dari benua Asia. Antara zaman Pithecanthpopus dan tibanya
para imigran mungkin ada sepanjang waktu ribuan abad.
Ada beberapa teori mengenai perkembangan etnologis Indonesia. Keadaan
linguistik dan etnisnya sangat kompleks. Beberapa ratusan bahasa ditutut di kepulauan
Indonesia, dan sering kali beberapa bahasa dipakai di satu pulau kecil. Penduduk satu
wilayah kecil bisa terdiri atas fenotipe yang sangat berbeda. Tidak ada satu pulau,
betapun kecilnya, yang penduduknya tidak campur-baur, dan di semua pulau besar
(kecuali jawa) kita temukan suku-suku bangsa primitive hidup berdampingan dengan
orang-orang dengan derajat peradapan tinggi. Salah satu aspek paling mencolok dari
masalah ini ialah bahwa di setiap pulau besar ada perbedaan besar antara penduduk
wilayah pantai dan pedalaman. P. dan F. Sarasin bersaudara, penjelajah terkenal
pedalaman Sulawesi, adalah ilmuan-ilmuan pertama yang merumuskan suatu teori yang
masuk akal tentang peradapan antara suku-suku bangsa pedalaman dengan penduduk
pantai ini. Teori ini kemudian dikembangkan lagi oleh antropologi-antropologi lain. Teori
Sarasin bersaudara ini adalah bahwa populasi asli kepulauan Indonesia adalah orang
dengan fenotipe bkulit gelap dan tubuh kecil, dan bahwa kelompok ini awalnya mendiami
9
seluruh Asia bagian tenggara. Pada waktu itu wilayah itu adalah satu daratan yang solid.
Tentu saja, es dari periode glasia tidak pernah menutupi pulau-pulau Hindia Timur itu,
tapi pada penghujung periode glacial yang terakhir level laut naik begitu tinggi sehingga
laut cina Selatan dan Laut Jawa terbentuk dan memisahkan wilayah pegunungan vulkanik
Indonesia dari daratan utama. Sia-sia penduduk asli yang terpisah-pisah dianggap masih
tinggal di daerah-daerah pedalaman, sementara daerah-daerah pantai yang baru terbentuk
dihuni oleh pendatang-pendatang baru. Sarasin bersaudara menyebut keturunan orang asli
itu orang Vedda, menurut nama salah satu kelompok paling terkenal yang masuk dalam
kelompok ini, orang Hieng di Kamboja, Miao-tse dan Yao-jen di Cina, serta Senoi di
semenanjung Malaya. Di kepulauan Indonesia terdapat orang yang tinggal di hutan
Sumatera (Kubu, Lubu, dan Mamak) serta Toala di Sulawesi. Riset di kemudian hari
memungkinkan penguraian lebih jauh terhadap benang ruwet yang membentuk pola
antropologis Indonesia. Kumpulan bukti antropologis dan arkeologis tampaknya
menunjukkan bahwa populasi tertua kepulauan Indonesia berhubungan erat dengan nenek
moyang Melanesia masa kini dan bahwa “orang Vedda” yang disebutkan Sarasin tersebut
termasuk apa yang saat itu dinamakan "ras Negrito" yang walaupun jarang, masih
terdapat di seluruh Afrika, Asia Selatan, dan Oceania. Jadi Vedda adalah “imigrasi”
pertama yang masuk ke dunia pulau yang sudah berpenghuni dan masih dapat dibedakan
dari pendahulu mereka berkat model perkakas batu yang mereka tinggalkan. Kedua
populasi itu dikatakan hidup di tahap Mesolitik.
Lama setelah tibanya orang Negrito, datang populasi baru ke Indonesia. Budaya
mereka tipe Neolitik dan permukiman awal mereka yang menyerupai gerabah Cina kuno.
Hari ini pun orang dari kelompok awal ini pemalu dan jarang terlihat, kecuali didatangi
ditempat mereka di pedalaman yang masih liar. Mereka tidak punya pilihan lain kecuali
melebur atau musnah.
Sarasin bersaudara menyebut pendatang baru itu terdiri dari dua gelombang,
Melayu Proto dan Melayu Deutero. Karena kedatangan mereka dalam dua gelombang
migrasi, terpisah dalam waktu tenggang yang menurut perkiraan lebih dari 2.000 tahun.
Melayu Proto diyakini adalah nenek monyang mungkin dari semua orang yang kini
dianggap masuk kelompok Melayu Polinesia yang tersebar dari Madagaskar sampai
pulau-pulau paling timur di pasifik, mereka diperkirakan bermigrasi ke Kepulauan
Indonesia dari Cina bagian selatan. Di Cina ditempat tinggal asli mereka diperkirakan
berada di wilayah yang secara kasar termasuk dalam provinsi Yunnan sekarang. Dari situ
mereka bermigrasi ke Indonesia dan Siam dan kemudian ke Kepulauan Indonesia.
Kedatangan mereka tampaknya bersamaan dengan munculnya perkakas neolitik pertama
di Indonesia dan dengan demikian dapat di tentukan pada sekitar 3.000 SM. Menurut
teori Sarasin, keturunan Melayu Proto pada gilirannya terdesak ke pedalaman oleh
datangnya imigran baru, Melayu Deutero, yang juga berasal dari Indocina bagian utara
1
0
dan wilayah sekitarnya. Melayu Deutero diidentifikasikan dengan orang yang
memperkenalkan perkakas dan senjata besi kedunia kepulauan Indonesia. Studi mengenai
perkembangan peradapan di Indocina tampaknya menunjukkan suatu tanggal bagi
peristiwa itu : imigrasi itu terjadi antara 300 dan 200 SM. Dengan sendirinya Melayu
Proto dan Melayu Deutero berbaur dengan bebas, yang menjelaskan kesulitan
membedakan kedua kelompok itu di antara orang Indonesia. Melayu Proto dianggap
mencakup Alas dan Gayo di Sumatera bagian utara dan Toraja di Sulawesi. Hampir
semua orang lain di Indonesia, kecuali orang papua dan pulau-pulau di sekitarnya,
dimasukkan dalam kelas Melayu Deutero.

B. Tata cara pernikahan


1. Seri pinang / udah mau
2. Matokan upah/ buat uang adat
3. Ngampekan/ menghormati orang tua
4. Beradat/ bermusyawarah
5. Menetapkan tanggal / kapan acara
6. Jagai / tepung tawar
7. Ngatat mas / mengantar mas ( mahar)
8. Meraleng / menjemput mempelai wanita
9. Nikah / acara nikah
10. Naruh / mengantar mempelai wanita kerumah mempelai pria.

1.Seri pinang ( pihak wanita telah siap di pinang)


Seri pinang adalah pihak keluarga laki-laki memberikan uang kepada calon istri
yang akan dinikahi oleh laki-laki tersebut, seri pinang itu menandakan bahwa calon istri
siap atau telah atau telah bersedia dinikahi, menerima uang yang diberikan oleh keluarga
pihak laki-laki tersebut
2. Matokan Upah ( Buat Upah)
Matokan upah adalah menentukan uang mahar dan uang untuk calon mempelai
wanita, dan mendapatkan kesepakatan antara calon istri dengan keluarga pihak laki-laki
yang menentukan upah tersebut calon mempelai wanita berapa yang diinginkannya, tetapi
dipertimbangkan lagi oleh pihak laki-laki.
3.Ngampekan / menghormati orang tua dari mempelai wanita
Mempelai laki-laki datang kerumah mempelai wanita dengan tujuan untuk
meminta restu dari wanita untuk menikahi anaknya, dan setelah mendapat restu barulah
dilanjutkan ke acara selanjutnya ke acara beradat.
1
4.Beradat / bermusyawarah 1
Beradat adalah bermusyawarah membayar uang dan mengelagakan urusan kepada
calon mempelai wanita dengan berkumpulan pihak dari kedua mempelai dirumah
mempelai wanita dan bermusyawarah tujuannnya adalah untuk memenuhi dan menuruti
apa.
5. Mekhaleng
Rombongan mesemput pakaian wanita atau menkaleng yang mempunyai kekuatan
sbb:
a. Mengutu atau mewakhi
b. Imam, khatif, bilal atau salah satunya.
c. Simetue 3 atau 4 orang
d. Kaum ibu 5 atau 4 orang
e. Anak gadis 10 atau 15 orang
f. Belagakh 5 atau 6 orang
g. Mempelai
h. Pekhaleng
i. Pengembakh Laki – Laki

6. Naik Kerumah
Pada tahapan ini, orang tua perempuan yang terlebih dabutu naik kerumah
kemudian di lanjutkan dengan orang tua laki – laki baru kedua mempelai dengan
mengangkat kedua tangannya searah kedua orang tua sebanyak tiga kali setelah itu
mereka duduk di sesuatu tempat yang telah di tentukan dengan pengembakhnya,
sedangkan pekhaleng semuanya naik kerumah indung.

7. Mekhane, nohken babanen mekhaleng


Ketika semua telah duduk majulah seorang tukang ngekhame mengatakan maksud
kedatangan serta menyerahkan semua barang bawaan kampil yang di khambih dan
dirumah.

8. Perselanan
Setelah berhadapan datanglah anak topic serta persiapan pernikahan yaitu beras 1
bambu, tikar satu, uang nikah untuk yang menikahkan dan kedua saksi nikah seblum
pernikahan di laksanakan mempelai perempuan di panggil dan ddi dudukkan di samping
mempelai laki – laki untuk menyatakan kesediaannya bahwa sudah siap untuk di
nikahkan lalu pernikahanpun di langsungkan saat acara pernikahan pengembakh tidak
ikut berjabat tangan dengan menyedorkan kampil yang didalamnya berisi sirih dan rokok.
1
2
Mempelai dibawa kerumah, acara malam hari tangis dilo acara pagi hari nekhah dan
nembahi.
Selesai acara pernikahan mempelai laki – laki dan perempuan yang memegang
tikar kecil dan di gulung sambil berucap “sath – sath tuan khaje,” pinang medadan belo
mekhangke lukh cicak lukh nipe utang putut mekhiye utang pikekhi pejawe – jawe tetep
ken iman tenagken ate. 1

3
Indonesia Agara Media
1
3

BAB III
METODE PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah mendeskropsikan dan menganilisis model kurikulum
kearifan lokal masyarakat Alas pada jurusan Ilmu Aqidah. Dalam hal ini fokus perhatian
diarahkan untuk mengungkapkan pandangan partisipan mengenai desain, implementasi,
tantangan dan peluang pengembangan kurikulum kearifan lokal.

Das könnte Ihnen auch gefallen