Sie sind auf Seite 1von 31

B.

Akhlak di dalam Kehidupan Bernegara

Akhlak Islam dalam kehidupan bernegara di landasi atas nilai ideologi, yaitu

menciptakan “baladtun tayyibatun wa rabbun ghafur”, (negri yang sejahtra dan sentosa).

Dengan membangun kemakmuran di muka bumi, Maka cita-cita kebahagiaan dalam kehidupan

dunia dan akhirat akan terwujud sesuai dengan janji Allah, hal tersebut dapat di capai dengan

iman dan amal, bermakna manusia harus mengikuti kebenaran yang dibawa Rasulullah saw.[7]

Dan melaksanakan usaha pembangunan material spiritual, memelihara, mengembangkan

ketertiban dan ke amanan bersama sistem politik islam di dasarkan atas tiga prinsip, tauhid, (

kemaha esaan tuhan), Risalah ( kerasulan Muhammad), dan Khalifah. Ketiga hal itu dapat di

jelaskan berikut:

1. Tauhid, berarti hanya Tuhan hanyalah pencipta, pemeliharan dan penguasa dari seluruh alam.

Dialah yang berhak memberi perintah atau melarang.alam Pengabdian dan ketaatan hanya

kepadanya. Semua yang ada di alam ini merupakan anugrah dari tuhan, untuk di manfaatkan

didalam kehidupan manusia

2. Risalah, berati perantara yang menerima hukum Tuhan dan akan disampaikan kepada manusia.

Apa yang di sampaikan rasul menjadi ajaran bagi ummat manusia yang mengimaninya.

Dari awal yang di sampaikan itulah ummat manusia menentukan suatu pola dari sistem hidup

dalam islam melaksanakan ajaran itu terwujud suatu kehidupan yang penuh dengan kedamaian,

sebagaimana yang menjadi tujuan hidup manusia itu sendiri.

3. Khalifah, berarti wakil dari tuhan dimuka bumi untuk menjalankan ketentuan Tuhan dengan

sebenarnya, mengikuti tuntutan yang dibawa rasulullah.

Ketiga hal ini menjadi penentu bagi terwujudnya akhalak dalam kehidupan bernegara,

karena tujuan pembentukan suatu negara sebagaimana yang tertera di dalam Al-Qur’an, ialah

menegakkan, memelihara dan mengembangkan yang ma’ruf yang dikehendaki oleh pencipta
alam, agar menghiasi kehidupan manusia di dunia, dan mencegah serta membasmi segala yang

mungkar, yaitu kejahatan-kejahatan yang dapat menciptakan kemudaratan dalam

kehidupan.[8]

Dengan mengemukakan cita-cita islam, memberikan gambaran sistem moral, yang

mengemukakan dengan tegas antara yang baik dan yang buruk. Dengan berpegang kepada cita-

cita islam dapat di rencanakan kemakmuran dalam kehidupan bernrgara.

Penempatan akhlak sebagai landasan pembangunan politik menjadi tuntutan cita-cita

islam. Yaitu sistem politik tetap konsisten berlandas keadilan kebenaran dan kejujuran.

Sebaliknya menindas hal-hal yang merusak moral dan peradaban kehidupan bernegara, berupa

penipuan, kepalsuan, kesaliman dan ketidak adilan lainya.

Islam meletakkan kewajiban atas negara, sebagaimana di wajibkan atas perorangan, agar

memenuhi segala perjanjian, kontrak-kontrak dan kewajiban-kewajiban di samping hak-

haknya, dan tidak melupakan hak-hak orang atau negara.

Negara, hendaknya menggunakan kekusaan dan otoritas luas menegakkan keadilan dan

bukan melakukan kesaliman, memandang tugas sebagai kewajiban suci dan menjalankan

dengan penuh teliti, yang penting adalah menganggap tugas sebagai amana dari Tuhan dan

menggunakan kekuasaan itu dengan kepercayaan bahwa segala sesutu akan ia pertanggung

jawabkan di hadapan tuhan.

Disamping itu, menjadi tugas yang berat bagi bangsa untuk membela negara dari serangan

pihak lain dan merebut kemerdekan. Karena pada negeri yang merdekalah akan tercurah

rahmat dan kasih sayang. Mencintai tanah air menjadi modal bagi suksesnya pembangunan

suatu bangsa.[9]

Firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-nisa” ayat 58:


Artinya: (sesungguhanya allah memerintahkan kepada kamu agar kamu menunaikan

amanat-amanat itu kepada pemiliknya dan apabila kamu menghukum diantara manusia, agar

kamu menghukum dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya

kepada kamu. Sesunggunya Allah maha mendengar lagi maha melihat).[10]

C. Hukum Akhlak di Dalam ke Hidupan Berbangsa

Adapun hukum akhlak di dalam kehidupan berbangsa yaitu:

 Hukum akhlak bertumbuh dari adat kepada undang-undang, lalu berikut pertumbuhanya

sehingga sampai kepada beberapa pendirian yang berdasar kepada buah fikiran.[11]

Ada lima asas untuk materi muatan peraturan perundang-undangan yaitu sebagai berikut:

1. Asas pengayoman, yaitu setiapmateri muatan materi perundang-undangan harus berfungsi

memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

2. Asas ke manusiaan, yaitu setiap materi perundang-undangan harus menceminkan perlindungan

dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan

penduduk indonesia secara profesional.


3. Asas kebangsaan, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencrminkan

sifat dan watak bangsa indonesia yang prulalistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. Asas Bhineka Tunggaln Ika,yaitu mencerminkan muatan perundang-undangan harus

memerhatikan keragaman penduduk,agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah daerah

dan budaya, khusus yang menyangkut masalah-masalah sensitif didalam kehidupan

bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

5. Asas keadilan: yaitu setiap materi perundang-undangan harus harus mencerminkan keadilan

secara profesional bagi setiap warga negara tanpa terkecuali.

Tingkah laku manusia di batasi oleh kaidah-kaidah normatif yang berlaku didalam

kehidupan bermasyarakat dengan tujuan tercapainya kehidupan yang tertib, aman dan

dami.Akan tetapi untuk mencapai tujuan normatif tersebut diperlukan sosialisasi yang

membutuhkan waktu relatif lama, sehingga norma yang ada disepakati dan cukup efektif

didalam mengendalikan kehidupan masyarakat untuk meraih kemampuan sosial.[12]

Antara undang-undang akhlak dan undang-undang negara terdapat banyak perbedaan,

yang terpenting ialah:

1. Undang-undang negara itu dapat menerima perubahan. Ia di tetapkan untuk rakyat di dalam

keadaan tertentu. Apabila keadaan itu berubah, undang-undangpun berubah pula. Kita lihat

suatu pemerintah dari suatu waktu kewaktu yang lain berpegangan dengan undang-undang,

lalu berubahya karena keadaan masyarakat menghendaki yang demikian itu. Adapun undang-

undang akhlak itu tetap tidak berubah, sedang yang berubah adalah pendapat orang, sebagai

yang kami jelaskan.


2. Undang-undang negara itu yang melaksanakanya ialah kekerasan lahir seperti:

Hakim,Tentara,Polisi, Penjara,. Adapun undang-undang akhlak, maka yang melaksanakanya

ialah kekuatan batin dan kekuatan jiwa.[13]

BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahhwa:

A. Pengertian akhlak.

Akhlak adalah perbuatan yang timbul dari diri seseorang yang mengerjakanya, tanpa ada

paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang di ;lakukan atas dasar

kemauan, pilihan dan dasar yang bersangkutan.

B. Akhlak di dalam kehidupa bernegara.

Akhlak Islam dalam kehidupan bernegara di landasi atas nilai ideologi, yaitu menciptakan

“baladtun tayyibatun wa rabbun ghafur”, (negri yang sejahtra dan sentosa). Dengan

membangun kemakmuran di muka bumi, Maka cita-cita kebahagiaan dalam kehidupan dunia

dan akhirat akan terwujud sesuai dengan janji Allah, hal tersebut dapat di capai dengan iman

dan amal, bermakna manusia harus mengikuti kebenaran yang dibawa Rasulullah saw. Dan

melaksanakan usaha pembangunan material spiritual, memelihara, mengembangkan ketertiban


dan ke amanan bersama sistem politik islam di dasarkan atas tiga prinsip, tauhid, ( kemaha

esaan tuhan), Risalah ( kerasulan Muhammad), dan Khalifah.

C. Hukum Akhlak di Dalam ke Hidupan Berbangsa

Adapun hukum akhlak di dalam kehidupan berbangsa yaitu:

 Hukum akhlak bertumbuh dari adat kepada undang-undang, lalu berikut pertumbuhanya

sehingga sampai kepada beberapa pendirian yang berdasar kepada buah fikiran.

Ada lima asas untuk materi muatan peraturan perundang-undangan yaitu sebagai berikut:

 Asas pengayoman, yaitu setiapmateri muatan materi perundang-undangan harus berfungsi

memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

 Asas ke manusiaan, yaitu setiap materi perundang-undangan harus menceminkan perlindungan

dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan

penduduk indonesia secara profesional.

 Asas kebangsaan, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencrminkan sifat

dan watak bangsa indonesia yang prulalistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 Asas Bhineka Tunggaln Ika,yaitu mencerminkan muatan perundang-undangan harus

memerhatikan keragaman penduduk,agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah daerah

dan budaya, khusus yang menyangkut masalah-masalah sensitif didalam kehidupan

bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

 Asas keadilan: yaitu setiap materi perundang-undangan harus harus mencerminkan keadilan

secara profesional bagi setiap warga negara tanpa terkecuali.


Tingkah laku manusia di batasi oleh kaidah-kaidah normatif yang berlaku didalam

kehidupan bermasyarakat dengan tujuan tercapainya kehidupan yang tertib, aman dan

dami.Akan tetapi untuk mencapai tujuan normatif tersebut diperlukan sosialisasi yang

membutuhkan waktu relatif lama, sehingga norma yang ada disepakati dan cukup efektif

didalam mengendalikan kehidupan masyarakat untuk meraih kemampuan sosial.

B. SARAN

Dengan terselesainya makalah ini, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat mendukung dari pembaca agar penyusunanan makalah selanjutnya menjadi lebih baik.

Karena makalah ini masih terdapat kesalahan baik dari segi pengetikan maupun dari segi

penyusunaan. Dan semoga penyusun dan pembaca dapat mengerti dan memahami materi

dalam makah ini tentang Akhlak di Dalam Kehidupan Bernegara.

DAFTAR PUSTAKA

Shiddiq Arafah. Ahlak dan Tasawuf. Cet,1; Ujung Pandang: Rineka cipta,

1996. Zaharuddin. Pengantar Studi Akhlak.Cet,1; Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2004.
Asmaran. Pengantar Studi tasawuf. Cet,1; Jakarta: Raja Grafindo, 2001.

Amin, Ahmad. Etika Ilmu Akhlak.Cet,1; Jakarta: Bulan bintang,1975.

Subaeni Ahmad Beni,dkk. Ilmu Akhlak. Cet,1; Bandung: Pustaka Setia,2010.

Ash-Shiddieqy Hasbi. Hukum Antar Golongan. Cet,1; Jakarta: Bulan bintang, 1971.

Alqur’an dan Terjemahanya, Cet,1; Jakarta: Bintang Indonesia, 1993

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1 LATAR BELAKANG

Dalam persoalan Akhlak, manusia sebagai makhluk berakhlak berkewajiban menunaikan dan
menjaga akhlak yang baik serta menjauhi dan meninggalkan akhlak yang buruk. Akhlak merupakan
dimensi nilai dari Syariat Islam. Kualitas keberagaman justru ditentukan oleh nilai akhlak. Jika syariat
berbicara tentang syarat rukun, sah atau tidak sah, maka akhlak menekankan pada kualitas dari
perbuatan, misalnya beramal dilihat dari keikhlasannya, shalat dilihat dari kekhusu’annya, berjuang
dilihat dari kesabarannya, haji dari kemabrurannya, ilmu dilihat dari konsistensinya dengan perbuatan,
harta dilihat dari aspek mana dari mana dan untuk apa, jabatan dilihat dari ukuran apa yang telah
diberikan, bukan apa yang diterima.

Dengan demikian, dikarenakan akhlak merupakan dimensi nilai dari Syariat Islam, maka Islam
sebagai agama yang bisa dilihat dari berbagai dimensi, sebagai keyakinan, sebagai ajaran dan sebagai
aturan. Agama Islam sebagai aturan atau sebagai hukum dimaksud untuk mengatur tata kehidupan
manusia. Sebagai aturan, agama atau sebagai hukum dimaksud untuk mengatur tata kehidupan
manusia. Sebagai aturan, agama berisi perintah dan larangan, ada perintah keras (wajib) dan larangn
keras (haram), ada juga perintah anjuran (sunat) dan larangan anjuran (makruh).

Dalam kehidupan bertetangga, bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara kita sebagai umat yang
senantiasa bersosialisasi, berinteraksi dengan yang lainnya, khususnya umat muslim, sudah
sepantasnya kita menmpilkan akhlak mulia yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para
sahabat beliau yang diridloi oleh Allah swt. Berperilaku/berakhlak mulia di dalam bertetangga sangat
perlu untuk direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai sesama umat yang seakidah kita perlu
menjaga keharmonisan persaudaraan yang didasarkan atas kesamaan di dalam berkeyakinan.

I. 2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang, maka rumusan masalah yang terdapat dalam
penulisan makalah ini yaitu:

Apa yang dimaksud dengan akhlak?


Bagaimana akhlak dalam bermasyarakat?
Bagaimana akhlak dalam berbangsa?

I. 3 TUJUAN

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:

Pengertian akhlak.
Akhlak dalam bermasyarakat.
Akhlak dalam berbangsa.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 PENGERTIAN AKHLAK

Secara etimologis (lugbatan) akhlaq (Bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi
pekerti, perangai tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar
dengan kata Khaliq ”Pencipta”, makhluk (yang diciptakan) dan khalq(pnciptaan). Dengan asal
tersebut maka definisi akhlaq adalah tata perilaku seseoang terhadap orang lain dan lingkungannya.

Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara
sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Kesamaan akar kata diatas mengisyaratkan bahwa
dalam akhlaq tercakup pengertian terciptanya keperpaduan antara kehendak Khaliq(Tuhan) dengan
perilaku makhluq (manusia).

II. 2 AKHLAK BERMASYARAKAT

Akhlaq kepada masarakat adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang dilakukan secara
spontan tanpa pertimbangan terlebih dahulu dalam lingkungan atau kehidupaan.

Kita harus memperhatikan saudara (kaum muslim semuanya) dan juga tetangga kita. Tetangga selalu
ada ketika kita membutuhkan bantuan. Seperti yang diriwayatkan dari Anas ra bahwa Rasulullah
SAW bersabda:

“Tidaklah beriman seoarang dari kalian hingga ia menyukai saudaranya sebagaimana ia menyukai
dirinya sendiri.” (H.R. Bukhari)

Dari hadits shahih bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak masuk sorga orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya” (H.R Muslim).

Kehidupan di masyarakat pastilah akan menjumpai kegiatan silaturahim. Orang yang berakhlak baik
biasanya senang dengan bertamu atau silaturahim karena ini dapat menguatkan hubungan sesama
muslim. Beberapa hal kegiatan dalam masyarakat yaitu:
Bertamu dan menerima tamu

Bertamu

Sebelum memasuki rumah, yang bertamu hendaklah meminta izin kepada penghuni rumah dan
setelah itu mengucapkan salam.

Dengan Firman ALLAH SWT:

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum
meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar
kamu (selalu) ingat.” (QS. An-Nur 24: 27)

Rasulullah SAW bersabda:

“Jika seorang di antara kamu telah meminta izin tiga kali, lalu tidak diizinkan, maka hendaklan dia
kembali.” (HR. Bukhari Muslim)

Meminta izin kepada pemilik rumah dilakukan maksimal tiga kali itu memiliki sebab, diantaranya:

Ketukan pertama sebagai isyarat kepada pemilik rumah bahwa telah kedatangan tamu.
Ketukan kedua memberikan waktu untuk membereskan barang-barang yang mungkin
berantakan dan menyiapkan segala sesuatu yang piperlukan.
Ketukan ketiga biasanya pemilik rumah sudah siap membukakan pintu. Akan tetapi bisa saja
pada waktu ketukan kedua pemilik rumah sudah membukakan pintu, tergantung situasi dan
kondisi pemilik rumah.

Namun bila pada ketukan ketingga tetap tidak dibukakan pintu, kemungkinan pemilik rumah tidak
bersedia menerima tamu atau sedang tidak berada di rumah. Merujuk firman Allah SWT:

“Jika kamu tidak menemui seseorang di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu
mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja) lah ”, maka hendaklah kamu kembali.
Itu lebih bersiih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nur
24:28)[10]

Etika dalam bertamu yaitu sebagai berikut:

Dilarang untuk Mengintip di Jendela.


Sopan saat bertamu.
Pilihlah waktu yang tepat dan jangan terlalu lama.
Tidak merepotkan.

Menerima tamu

Salah satu akhlak yang terpuji dalam Islam adalah menerima dan memuliakan tamu tanpa
membedakan status sosial. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau
diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan
tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia
memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Menjamu tamu itu hanya tiga hari. Jizahnya sehari semalam. Apa yang dibelajakan untuk tamu
diatas tiga hari adalah sedekah. Dan tidak bolaeh bagi tamu tetapmenginap (lebih dari tiga
hari). Karena hal itu akan memberatkan tuan rumah.” (HR. Tirmidzi)

Hubungan Baik Dengan Tetangga

Memuliakan dan berbuat baik kepada tetangga adalah perkara yang sangat ditentukan dalam syariat
islam, hal ini juga telah diperintahkan Allah dalam Firman-Nya QS. An-Nisa:36)

Sebagai seorang muslim yang baik maka hendaklah kita senantiasa memperlakukan tetangga kita
dengan senantiasa memperhatikan dan memuliakan haknya. Hak seorang tetangga ini dapat
diklasifikasikan menjadi 4, yaitu :

Berbuat Baik (Ihsan) Kepada Tetangga

Diantar ihsab kepada tetangga adalah ta’ziah ketika mereka mendapatkan musibah, mengucapkan
salam ketika mendapatkan kebahagiaan, menjenguknya ketika sakit, dan bermuka manis ketika
bertemu dengannya serta membantu membimbingnya kepada hal-hal yang bermanfaat dunia akhirat.
Sebagian ulama berkata, kesempurnaan berbuat baik kepada tetangga ada 4 hal, yaitu :

Menjaga dan Memelihara Tetangga

Imam Ibnu Abi Jamroh berkata, menjaga tetangga termasuk kesempurnaan iman orang jahiliyah
dahulu sangat menjaga hal ini melaksanakan wasiat berbuat baik ini dengan memberikan beraneka
ragam sesuai kemampuan, seperti salam, bermuka manis ketika bertemu, menahan sebab-sebab yang
mengganggu mereka dengan segala macam nya, baik jasmani dan rohani.

Tidak Mengganggu Tetangga

Telah dijelaskan diatas kedudukan tetatngga yang tinggi dan hak-haknya yang terjaga di dalam islam.
Rasulullah Saw memperingatkan dengan keras upaya mengganggu tetangga, sebagaimana dalam
sabdanya yaitu:

“Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidakaman dari kejahatannya” (HR.Muslim).

Adab Pergaulan Dengan Lawan Jenis

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam bergaul dengan lawan jenis, diantaranya yaitu :

Senantiasa menundukkan pandangan.

Menundukkan pandangan adalah suatu hal yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw karena
sesungguhnya dengan menundukkan pandangan, akan menjadi sebab Allah ridha kepadanya, dan
akan senantiasa membuat qalbunya tentram. Sebab mata adalah cerminan qalbu. “Katakan kepaa
orang laki-laki yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka” (An-Nur : 30)

“Wahai Ali, janganlah engkau turutkan pandangan (pertama) dengan pandangan (ke-2) karena
engkau berhak (yakin tidak berdosa) pada pandangan (pertama) tetapi tidak hak pada pandangan ke
dua” (HR. Abu Daud, Tirmizi).

Menjaga hijab/ tidak berkhalwat

Hal yang kedua yang harus kita perhatikan dalam bergaul dengan lawan jenis adalah agar kita
senantiasa menjaga hijab, tidak terlalu bercampur baur dengan lawan jenis agar kita senantiasa
menjaga dijauhkan dari fitnah. Selain itu, kita dilarang untuk berkhalwat atau berduan dengan lawan
jenis.

“Janganlah laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali bersama mahrom” (HR.
Muslim).

Selain itu, di hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Hakim, Rasulullah Saw bersabda
“Ketahuilah tidaklah seorang laki-laki menyendiri dengan seorang wanita kecuali yang ke tiga
adalah syaitan.” Dan di hadits lainpun dikatakan bahwa “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, maka jangnlah sekali-kali menyendiri dengan perempuan lain yang tidak disertai
mahramnya. Karena ditempat yang sepi itu ada setan yang senantiasa mengajak berbuat zina” (al-
hadits).

Berkomunikasi untuk hal yang penting saja.

Untuk menghindari timbulnya perasaan saling mengagumi maka dianjurkan untuk membatasi
pergaulan dengan lawan jenis. Cukuplah berkomunikasi untuk hal-hal yang penting dan hindari
kebiasaan bercanda dengan lawan jenis karena ini bisa menimbulkan rasa kagum yang akan berujung
pada rasa cinta. Dan kemungkinan terbesar, cinta ini adalah cinta yang hanya berlandas pada nafsu
dan akan menodai kesucian cinta itu. Oleh sebab itu, kita harus senantiasa bersikap wara’ dalam
bergaul dengan lawan jenis.

Ukhuwah Islamiyah

Ukhuwah Islamiyah bisa diartikan sebagai persaudaraan di antara umat islam, dimana persaudaraan
diantara seorang muslim diibaratkan sebagai bangunan yang kokoh yang sedang menguatkan. Sebagai
umat islam, ada hal-hal yang harus ditunaikan anatar sesama umat islam sebagaimana yang dijelaskan
Rasulullah dalam sabdanya:

“Apabila engkau berjumpa dengannya, ucapkanlah salam, apabila ia mengundangmu, penuhilah,


apabila dia meminta nasehat kepadamu berilah nasehat, apabila dia bersin dan mengucapkan
Alhamdulillah, ucapkanlah Yarhamukallah, apabila dia sakit, jenguklah dan apabila dia meninggal
dunia, antarkanlah jenazahnya” (HR. Bukhari Muslim)

Jadi, ada 6 hak seorang muslim sebagaimana yang disebutkan dalam hadits diatas, yaitu:

Apabila engakau berjumpa dengannya, ucapkanlah salam

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,


“Kalian tidak akan masuk surga, kecuali dengan beriman. Kalian tidak akan beriman, kecuali
dengan saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang jika kalian lakukan,
maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian!” (HR. Muslim)

Salam merupakan salah satu dari nama-nama Allah, menyebarkan salam berarti banyak menyebut
Allah, sebagaimana difirmankan oleh Allah, sebagaimana difirmankan oleh Allah,

“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar.”(QS. AL-Ahzab: 35)

Apabila ia mengundangmu penuhilah

Dari Ibnu Umar Ibnu Umar ra., Rasulullah saw bersabda “Penuhilah undangan jika kalian
diundang (HR. Muslim) dan di hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., Rasulullah
bersabda “Jika seorang diantara kamu diundang maka hendaklah ia menghadirinya jika dia sedang
berpuasa maka doakanlah dan kalau tidak berpuasa hendaklah dia makan.” (HR. Muslim No.78)

Apabila dia minta nasehat maka nasehatilah

Menurut istilah syar’i, Ibnu al-Atsir menyebutkan, “Nasehat adalah sebuah kata yang
mengungkapkan suatu kalimat yang sempurna, yaitu keinginan (memberikan) kebaikan kepada orang
yang dinasehati. Makna tersebut tidak bisa diungkapkan hanya dengan satu kata, sehingga harus
bergabung dengannya kata yang lain” (An-Nihayah (V/62). Ini semakna dengan defenisi yang
disampaikan oleh Imam Khaththabi. Beliau berkata, “Nasehat adalah sebuah kata yang jami‘ (luas
maknanya) yang berarti mengerahkan segala yang dimiliki demi (kebaikan) orang yang dinasihati. Ia
merupakan sebuah kata yang ringkas (namun luas maknanya). Tidak ada satu kata pun dalam bahasa
Arab yang bisa mengungkapkan makna dari kata (nasehat) ini, kecuali bila digabung dengan kata
lain.” (I’lamul-Hadits (I/189-190) danSyarah Shahih Muslim (II/32-33), lihat Fathul Bari (I/167)).

Apabila dia bersin dan mengucapkan Alhamdulillah maka ucapkanlah Yarhamukallah

Dari Ali ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian bersin,
hendaklah mengucapkan alhamdulillah, dan hendaknya saudaranya mengucapkan untuknya
yarhamukallah. Apabila ia mengucapkan kepadanya yarhamukallah, hendaklah ia (orang yang
bersin) mengucapkan yahdii kumullah wa yushlihu balaakum (artinya = Mudah-mudahan Allah
memberikan petunjuk dan memperbaiki hatimu).” (HR.Bukhari)[10]

Apabila dia sakit, jenguklah

Ada pahala yang besar dalam perbuatan ini dan menjenguk orang yang sakit sangat dinjurkan.
Rasulullah bersabda,

“Barangsiapa menjenguk orang yang sakit, maka ia akan selalu berada dalam kebun surga.” Orang-
orang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kebun surga itu?” Rasulullah
menjawab, “Buah-buahnya.” (HR.Muslim)

Apabila dia meninggal dunia antarkanlah jenazahnya

“Barangsiapa yang mengantarkan jenazah seorang islam dengan rasa Iman dan karena Allah
sematadia menghadirinya sampai di shalati dan sampai selesai penguburannya, maka ia telah
kembali dengan mendapat dua qirath tiap-tiap qirat itu semisal besarnya gunung uhud.” (HR.
Bukhari)
II. 3 AKHLAK BERBANGSA/ BERNEGARA

Akhlak dalam berbangsa perlu untuk disadari oleh kita agar kita dapat menjadi semakin sensitif
terhadap persoalan yang terjadi pada bangsa dan negara kita. Bukan hanya Hal ini didorong dengan
kekhawatiran akan bobroknya generasi kita, apabila tidak dibekali dengan pengetahuan tentang
akhlak yang cukup, untuk menjalani kehidupan kedepannyaberikut merupakan akhlak dalam
berbangsa:

Musyawarah.

Kata ( ‫ ) شورى‬Syûrâ terambil dari kata ( ‫ إستشاورة‬-‫ مشاورة‬-‫ )شاورة‬menjadi ( ‫ ) شورى‬Syûrâ. Kata Syûrâ
bermakna mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu pendapat
dengan pendapat yang lain.Dalam Lisanul ‘Arab berarti memetik dari serbuknya dan wadahnya. Kata
ini terambil dari kalimat (‫ )شرت العسل‬saya mengeluarkan madu dari wadahnya.

Adapun salah satu ayat dalam Al – Qur’an yang membahas mengenai Musyawarah adalah surah Al-
Syura ayat 38:

َ‫ورى بَ ْينَ ُه ْم َومِ َّما َرزَ ْقنَا ُه ْم يُ ْن ِفقُون‬


َ ‫ش‬ُ ‫صالة َ َوأ َ ْم ُر ُه ْم‬
َّ ‫َوالَّذِينَ ا ْست َ َجابُوا ل َِربِِّ ِه ْم َوأَقَا ُموا ال‬
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)

Ali Bin Abi Thalib menyebutkan bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu,
mengambil kesimpulan yang benar, mencari pendapat, menjaga kekeliruan, menghindari celaan,
menciptakan stabilitas emosi, keterpaduan hati, mengikuti atsar.

Hal-hal yang boleh di musyawarahkan

Islam memberikan batasan hal apa saja yang boleh dimusyawarahkan . Karena musyawarah adalah
pendapat orang, maka apa-apa yang sudah ditetapkan oleh nash (Al – Qur’an dan As-Sunnah) tidak
boleh dimusyawarahkan , sebab pendapat orang tidak boleh mengungguli wahyu.

Jadi musyawarah hanyalah terbatas pada hal – hal yang bersifat Ijtihadiyah . Para sahabat pun kalau
dimintai pendapat mengenai suatu hal, terlebih dahulu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW.
Apakah masalah yang dibicarakan telah diwahyukan oleh Allah atau merupakan Ijtihad Nabi. Jika
pada kenyataannya adalah ijtihad Nabi, maka mereka mengemukakan pendapat .

Tata Cara Musyawarah.

Rasulullah mempunyai tata cara bermusyawarah yang sangat bervariasi ; (1) Kadang kala seseorang
memberikan pertimbangan kepada beliau, lalu beliau melihat pendapat itu benar, maka beliau
mengamalkannya (2) Kadang-kadang beliau bermusyawarah dengan dua atau tiga orang saja (3)
Kadang kala beliau juga bermusyawarah dengan seluruh massa melalui cara perwaklian. Dari
beberapa tata cara bermusyawarah Rasulullah diatas kita dapat menyimpulkan bahwa tata cara
musyawarah , anggota musyawarah bisa selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan zaman, tetapi hakekat musyawarah harus selalu tegak ditengah masyarakat dan negara

Sikap Bermusyawarah.
Supaya musyawarah dapat berjalan dengan lancar dan penuh persahabatan, firman Allah dalm surat
Ali Imran ayat 159 : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran : 159). Dapat kita lihat Allah SWT mengisyaratkan ada beberapa
sikap yang harus dilakukan dalam bermusyawarah yaitu:

Lemah Lembut
Pemaaf
Mohon Ampunan Allah SWT

Menegakkan Keadilan

Istilah keadilan berasal dari kata ‘adl (Bahasa Arab), yang mempunyai arti antara lain sama dan
seimbang. Dalam pengertian pertama, keadilan dapat diartikan sebagai membagi sama banyak, atau
memberikan hak yang sama kepada orang-orang atau kelompok. Dengan status yang sama.

Dalam pengertian kedua, keadilan dapat diartikan dengan memberikan hak seimbang dengan
kewajiban, atau memberi seseorang sesuai dengan kebutuhannya.

Perintah Berlaku Adil

Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memerintahkan supaya manusia berlaku adil dan
menegakkan keadilan. Perintah itu ada yang bersifat umum dan ada yang khusus dalam bidang-bidang
tertentu. Yang bersifat umum misalnya yang terdapat dalam Quran surah An-Nahl ayat 90 yaitu:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”. (QS. An-Nahl 16:90)

Sedangkan yang bersifat khusus misalnya bersikap adil dalam menegakkan hukum (QS. An-Nisa’ 4:
58); adil dalam mendamaikan konflik (QS. Al-Hujurat 49:9); adil terhadap musuh (QS. Al-Maidah :
8) adil dalam rumah tangga (QS. An-Nisa’ 4:3 dan 129); dan adil dalam berkata (QS. Al-An’am
6:152).

Keadilan Hukum

Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan sederajat dalam hukum,
tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit, status sosial, ekonomi, politik dan lain
sebagainya. Allah menegaskan:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’4:58).

Keadilan dalam Segala Hal


Disamping keadilan hukum, islam memerintahkan kepada umat manusia, terutama orang-orang yang
beriman untuk bersikap adil dalam segala aspek kehidupan, baik terhadap diri dan keluarganya
sendiri, apalagi kepada orang lain. Bahkan kepada musuh sekalipun setiap mukmin harus dapat
berlaku adil. Mari kita perhatikan beberapa nash berikut ini :

Adil terhadap diri sendiri


Adil terhadap isteri dan anak-anak
Adil dalam mendamaikan perselisihan
Adil dalam berkata
Adil terhadap musuh sekalipun

Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Secara harfiah amar ma’ruf nahi munkar (al-amru bi ‘l-ma’ruf wa ‘n-nahyu ‘an ‘l-munkar) berarti
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.

Ma’ruf secara etimologis berarti yang dikenal, sebaliknya munkar adalah sesuatu yang tidak dikenal.
Yang menjadi ukuran ma’ruf atau munkarnya sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal sehat atau hati
nurani. Bisa kedua-duanya sekaligus atau salah satunya. Semua yang diperintahkan oleh agama
adalah ma’ruf, begitu juga sebaliknya, semua yang dilarang oleh agama adalah munkar. Dalam hal ini
Allah menjelaskan:

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. At-Taubah 9:71)

Hubungan Pemimpin dan yang dipimpin

Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin orang-orang yang beriman :

“Allah Pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada
cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pemimpin-pemimpin mereka adalah thaghut, yang
mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka. Mereka
kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah 2:257)

At-thaghut adalah segala sesuatu yang disembah (dipertuhan) selain dari Allah SWT dan dia suka
diperlakukan sebagai Tuhan tersebut. Menurut Sayyid Qutub, Thaghut adalah segala sesuatu yang
menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah digariskan oleh Allah SWT untuk hamba-Nya.
Dia bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban dan lain-lain yang tidak berlandaskan ajaran Allah
SWT.

Kriteria Pemimpin dalam Islam

Pemimpin umat atau dalam ayat diatas di istilahkan dengan waliy dan dalam ayat lain (Q.S An-Nisa
4:59) disebut dengan Ulil Amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah SAW setelah beliau
meninggal dunia . Orang – orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal
harus memenuhi empat kriteria sebagaimana dijelaskan dalam surat Al – Maidah ayat 55 .
Beriman kepada Allah SWT. Karena Ulil Amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah
SAW, sedangkan Rasulullah sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah SWT, maka tentu
saja yang pertama kali harus dimiliki penerus beliau adalah Keimanan.
Mendirikan Shalat. Shalat adalah ibadah Vertikal langsung kepada Allah SWT. Seorang
pemimpin yang mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertical yang baik dengan
Allah SWT .
Membayarkan Zakat. Zakat adalah ibadah madhdhah yang merupakan simbol kesucian dan
kepedulian sosial. Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan
hati dan hartanya.

BAB III

PENUTUP

III. 1 KESIMPULAN

Akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa, lalu
tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural, dan refleks. Jadi, jika nilai
islam mencakup semua sektor kehidupan manusia, maka perintah beramal shalih pun mencakup
semua sektor kehidupan manusia.

Akhlak dalam bermasyarakat yaitu bertamu dan menerima tamu, menjaga hubungan baik dengan
tetangga, adab dalam bergaul dengan lawan jenis dan ukhuwah Islamiyah. Sedangkan akhlak dalam
berbangsa yaitu musyawarah, menegakkan keadilan, amar ma`ruf nahui munkar serta hubungan
pemimpin dengan yang dipimpin.

III. 2 SARAN
Agar hubungan kita dengan orang lain terkhususnya kepada masyarakat dan bangsa dapat terjalin
dengan baik maka sebaiknya kita perlu menjaga akhlak dalam masyarakat dan berbangsa. Sehingga
tercipta suasana rukun, tentram dan damai tanpa ada perselisihan antar warga negara.

DAFTAR PUSTAKA
http://anurwasilah.blogspot.com/2012/03/paper-akhlak-bermasyarakat-dan.html
Diakses hari Juma’at Tanggal 24 Oktober 2014

http://nurhudabiover.blogspot.com/2014/04/makalah-aik-ii-akhlak-bermasyarakat-
dan_3.html Diakses hari Juma’at Tanggal 24 Oktober 2014
https://id.scribd.com/doc/53672265/Makalah-Ahlak-Bernegara Diakses hari Juma’at
Tanggal 24 Oktober 2014

http://rahmatzoom.blogspot.com/2012/11/akhlak-bernegara_16.html Diakses hari Sabtu


Tanggal 25 Oktober 2014

http://blog.umy.ac.id/divtaiqbal/2012/11/19/makalah-akhlak-bermasyarakat/ Diakses
hari Sabtu Tanggal 25 Oktober 2014

https://id.scribd.com/doc/53672265/Makalah-Ahlak-Bernegara Diakses hari Sabtu


Tanggal 25 Oktober 2014
AKHLAK BERNEGARA

Modernisasi zaman yang semakin berkembang dari waktu ke waktu menutut manusia
untuk memahami akhlak secara essensial , dalam arti bahwa manusia memahami
akhlak bukan hanya sebagai sikap / perilaku saja . Melainkan , akhlak tersebut di
implementasikan dalam kehidupan sehari – hari .

Dalam bahasan kami kali ini adalah akhlak bernegara , akhlah ini perlu untuk disadari
oleh kita agar kita dapat menjadi semakin sensitif terhadap persoalan yang terjadi
pada bangsa dan negara kita. Bukan hanya Hal ini didorong dengan kekhawatiran
akan bobroknya generasi kita , apabila tidak dibekali dengan pengetahuan tentang
akhlak yang cukup , untuk menjalani kehidupan kedepannya.

Dengan demikian , kami dari kelompok 9 dalam paper kami kali ini akan membahas
beberapa sub-bab dari materi Akhlak Bernegara ini , adapun sub-babnya antara lain :

- Musyawarah
- Menegakkan Keadilan
- Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
- Hubungan Pemimpin dan yang dipimpin

Tetapi sebelum memasuki sub-bab tersebut , ada baiknya kita mengenal definisi dari
akhlak tersebut , Akhlak berasal dari kata “akhlaq” yang merupakan jama’ dari “khulqu”
dari bahasa Arab yang artinya perangai, budi, tabiat dan adab.

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan , bahwa Akhlak merupakan sikap /
tabiat dari seseorang . Dalam akhlak bernegara , tentunya menggambarkan sikap
seseorang terhadap bangsa dan negaranya , sikap tersebut menunjukkan jati diri dari
orang tersebut .

Dan nantinya dalam pembahasan , kami akan lebih mendalami sub-bab yang telah
diberikan kepada kelompok kami . Dalam akhlak bernegara ini, sikap dan perilaku
seseorang akan terlihat pada saat , misalnya melakukan musyawarah .

Tentunya dalam menyelesaikan suatu masalah akan diperlukan musyawarah untuk


mufakat , yakni suatu sistem yang telah digunakan oleh Nabi Muhammad SAW sejak
dahulu untuk menyelesaikan persoalan , dalam pendalaman pembahasan ini kami
akan memperlihatkan cara – cara bermusyawarah yang baik dan benar menurut
tuntunan Al-Qur’an dan Hadist .

B. Batasan Masalah

Masalah yang akan kami bahas dalam paper kali ini mengenai impelementasi dan
dasar Al-Qur’an dan Hadist mengenai akhlak bernegara yang terbagi kedalam empat
sub-bab diatas . Tentunya tujuan pembuatan paper ini , agar dalam membangun suatu
generasi yang Islami , dimulai dengan memahami ilmunya terlebih dahulu .

Hal ini dilakukan untuk dapat membedakan yang mana baik dan buruk dari suatu hal
, sehingga implementasi dari konsep tersebut dapat dijalankan dengan sungguh –
sungguh dan penuh optimisme.
Sesungguhnya , akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang
mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat
tetap, natural, dan refleks. Jadi, jika nilai islam mencakup semua sektor kehidupan
manusia, maka perintah beramal shalih pun mencakup semua sektor kehidupan
manusia.

Tentunya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan pengertian akhlak


bernegara ini untuk membuat diri kita ‘kebal’ terhadap kebatilan yang nantinya akan
menggoda iman kita , dalam melaksanakan bakti kita kepada negara.

A. Musyawarah

Kata ( ‫ ) شورى‬Syûrâ terambil dari kata ( ‫ إستشاورة‬-‫ مشاورة‬-‫ )شاورة‬menjadi ( ‫ ) شورى‬Syûrâ.


Kata Syûrâ bermakna mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan
menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.Dalam Lisanul ‘Arab berarti
memetik dari serbuknya dan wadahnya. Kata ini terambil dari kalimat (‫ )شرت العسل‬saya
mengeluarkan madu dari wadahnya.

Berarti mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah


adalah upaya meraih madu itu dimanapun ia ditemukan, atau dengan kata lain,
pendapat siapapun yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa yang
menyampaikannya. Musyawarah dapat berarti mengatakan atau mengajukan
sesuatu.

Adapun salah satu ayat dalam Al – Qur’an yang membahas mengenai Musyawarah
adalah surah Al-Syura ayat 38:

َ‫ورى َب ْينَ ُه ْم َو ِم َّما َرزَ ْقنَا ُه ْم يُ ْن ِفقُون‬


َ ‫ش‬ُ ‫صالة َ َوأ َ ْم ُر ُه ْم‬
َّ ‫َوا َّلذِينَ ا ْست َ َجابُوا ِل َر ِِّب ِه ْم َوأَقَا ُموا ال‬

Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)

Dalam ayat diatas , syura atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat
Islam dituturkan setelah iman dan shalat . Menurut Taufiq asy-Syawi , hal ini memberi
pengertian bahwa musyawarah mempunyai martabat setelah ibadah terpenting ,
yakni shalat , sekaligus memberi pengertian bahwa musyawarah merupakan salah
satu ibadah yang tingkatannya sama dengan shalat dan zakat . Maka masyarakat
yang mengabaikannya dianggap sebagai masyarakat yang tidak menetapi salah satu
ibadah .

Memang , musyawarah sangat diperlukan untuk dapat mengambil keputusan yang


paling baik disamping untuk memperkokoh rasa persatuan dan rasa tanggung jawab
bersama . Ali Bin Abi Thalib menyebutkan bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh
hal penting yaitu , mengambil kesimpulan yang benar , mencari pendapat , menjaga
kekeliruan , menghindari celaan , menciptakan stabilitas emosi , keterpaduan hati ,
mengikuti atsar.
Hal – Hal yang Boleh di Musyawarahkan

Islam memberikan batasan – batasan hal – hal apa saja yang boleh dimusyawarahkan
. Karena musyawarah adalah pendapat orang, maka apa – apa yang sudah ditetapkan
oleh nash (Al – Qur’an dan As-Sunnah) tidak boleh dimusyawarahkan , sebab
pendapat orang tidak boleh mengungguli wahyu.

Jadi musyawarah hanyalah terbatas pada hal – hal yang bersifat Ijtihadiyah . Para
sahabat pun kalau dimintai pendapat mengenai suatu hal , terlebih dahulu mereka
bertanya kepada Rasulullah SAW . Apakah masalah yang dibicarakan telah
diwahyukan oleh Allah atau merupakan Ijtihad Nabi . Jika pada kenyataannya adalah
ijtihad Nabi , maka mereka mengemukakan pendapat .

Masalah – masalah ijtihadiyah diungkapkan dalam Al – Qur’an dengan kata Al – Amr


. Istilah amruhum disini berarti masalah bersama atau ‘common problems’ , yaitu
masalah – masalah yang menyangkut kepentingan nasib atau anggota masyarakat
yang bersangkutan .

Tata Cara Musyawarah

Rasulullah mempunyai tata cara bermusyawarah yang sangat bervariasi ; (1) Kadang
kala seseorang memberikan pertimbangan kepada beliau , lalu beliau melihat
pendapat itu benar , maka beliau mengamalkannya (2) Kadang – kadang beliau
bermusyawarah dengan dua atau tiga orang saja (3) Kadang kala beliau juga
bermusyawarah dengan seluruh massa melalui cara perwaklian .

Dari beberapa tata cara bermusyawarah Rasulullah diatas kita dapat menyimpulkan
bahwa tatacara musyawarah , anggota musyawarah bias selalu berkembang sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan zaman , tetapi hakekat musyawarah harus
selalu tegak ditengah masyarakat dan Negara .

Adapun hal – hal yang harus dimusyawarahkan dengan seluruh umat , baik langsung
maupun lewat perwakilan , dan ada hal – hal yang cukup dimusyawarahkan dengan
pemimpin (ulil amri) , ulama , cendekiawan , dan pihak - pihak berkompeten lainnya ,
tetapi tetap dan tidak boleh tidak harus dengan semangat kebenaran dan kejujuran .
Yang dicari dalam musyawarah adalah kebenaran bukan kemenangan .

Sikap Bermusyawarah

Supaya musyawarah dapat berjalan dengan lancar dan penuh persahabatan , firman
Allah dalm surat Ali Imran ayat 159 :

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,
dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran : 159)
Dapat kita lihat Allah SWT mengisyaratkan ada beberapa sikap yang harus dilakukan
dalam bermusyawarah , yaitu sikap lemah lembut , pemaaf , dan memohon ampunan
Allah SWT .

1. Lemah Lembut

Seseorang yang melakukan musyawarah , apalagi sebagai pimpinan harus


menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala , karena jika tidak , mitra
musyawarah akan tidak menghormati pemimpin musyawarah.

2. Pemaaf

Setiap orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia
member maaf . Karena mungkin saja ketika musyawarah terjadi perbedaan pendapat
, atau keluar kalimat – kalimat yang menyinggung pihak lain . Dan bila itu masuk
kedalam hati , akan mengeruhkan pikiran , bahkan boleh jadi musyawarah berubah
menjadi pertengkaran .

3. Mohon Ampunan Allah SWT

Untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah , hubungan dengan Tuhan pun
harus harmonis . Oleh sebab itu , semua anggota musyawarah harus senantiasa
membersihkan diri dengan cara memohon ampun kepada Allah SWT baik untuk diri
sendiri , maupun anggota musyawarah lainnya .

Menegangkan Keadilan

Istilah keadilan berasal dari kata ‘adl (Bahasa Arab), yang mempunyai arti antara lain
sama dan seimbang. Dalam pengertian pertama, keadilan dapat diartikan sebagai
membagi sama banyak, atau memberikan hak yang sama kepada orang-orang atau
kelompok. Dengan status yang sama. Misalnya semua pegawai dengan kompetensi
akademis dan pengalaman kerja yang sama berhak mendapatkan gaji dan tunjangan
yang sama. Semua warga negara – sekalipun dengan status sosial – ekonomi – politik
yang berbeda-beda – mendapatkan perlakuan yang sama dimata hukum.

Dalam pengertian kedua, keadilan dapat diartikan dengan memberikan hak seimbang
dengan kewajiban, atau memberi seseorang sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya
orang tua yang adil akan membiayai pendidikan anak-anaknya sesuai dengan tingkat
kebutuhan masing-masing sekalipun secara nominal masing-masing anak tidak
mendapatkan jumlah yang sama. Dalam hukum waris misalnya, anak laki-laki
ditetapkan oleh Al-Qur’an (QS. An-Nisa’ 4:11) mendapatkan warisan dua kali bagian
anak perempuan. Hal itu karena anak laki-laki setelah berkeluarga menanggung
kewajiban membiayai hidup isteri dan anak-anaknya, sementara anak perempuan
setelah berkeluarga dibiayai oleh suaminya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil diartikan (1) tidak berat sebelah; tidak
memihak; (2) berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; dan (3)
sepatunya; tidak sewenang-wenang. Beberapa pengertian ini tetap berangkat dari
dua makna kata adil diatas. Dengan prinsip persamaan seorang yang adil tidak akan
memihak kecuali kepada yang benar. Dan dengan azas keseimbangan seorang yang
adil berbuat atau memutuskan sesuatu dengan sepatunya dan tidak bertindak
sewenang-wenang.
Disamping menggunakan kata ‘adl Al-Qur’an juga menggunakan kata qisbth dan
mizan untuk pengertian yang sama. Misalnya dalam dua ayat berikut ini :

“Katakanlah, “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan.”(QS. Al-A’raf 7: 29)

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti


yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksankan keadilan..”(QS. Al-Hadid 57:25).

Perintah Berlaku Adil

Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memerintahkan supaya manusia


berlaku adil dan menegakkan keadilan. Perintah itu ada yang bersifat umum dan ada
yang khusus dalam bidang-bidang tertentu. Yang bersifat umum misalnya :

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.” (QS. An-Nahl 16:90)

Sedangkan yang bersifat khusus misalnya bersikap adil dalam menegakkan hukum
(QS. An-Nisa’ 4: 58); adil dalam mendamaikan conflik (QS. Al-Hujurat 49:9); adil
terhadap musuh (QS. Al-Maidah : 8) adil dalam rumah tangga (QS. An-Nisa’ 4:3 dan
129); dan adil dalam berkata (QS. Al-An’am 6:152).

Keadilan Hukum

Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan
sederajat dalam hukum, tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit, status
sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Allah menegaskan :

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’4:58).

Keadilan hukum harus ditegakkan walaupun terhadap diri sendiri, atau terhadap
keluarga dan orang-orang yang dicintai. Tatkala seorang sahabat yang dekat dengan
Rasulullah SAW meminta “keistimewaan” hubungan untuk seorang wanita
bangsawan yang mencuri, Rasulullah menolaknya dengan tegas:

“Apakah anda hendak meminta “keistimewaan” dalam pelaksanaan hukum Allah?


Sesungguhnya kehancuran ummat yang terdahulu karena mereka menghukum
pencuri yang lemah, dan membiarkan pencuri yang elit. Demi Allah yang memelihara
jiwa saya, kaulah Fatimah binti Muhammad mencuri, pastilah Muhammad akan
memotong tangan puterinya itu.”(HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)

Mengingat pentingnya menengakkan keadilan itu menurut ajaran Islam, maka orang
yang diangkat menjadi hakim haruslah yang betul-betul memenuhi syarat keahlian
dan kepribadian. Kecuali mempunyai ilmu yang luas, dia juga haruslah seorang yang
taat kepada Allah, mempunyai akhlaq yang mulia, terutama kejujuran atau amanah.
Apabila hakim itu seorang yang lemah, maka dia mudah dipengaruhi, ditekan dan
disuap. Akibatnya orang-orang yang bersalah dibebaskan dari hukumnya, sekalipun
kesalahan atau kejahatannya sangat merugikan masyarakat dan negara.

Rasulullah SAW bersabda dari tiga orang hakim dua akan masuk neraka dan hanya
satu yang masuk sorga. Hakim yang masuk neraka adalah 1). Hakim yang
menjatuhkan hukuman dengan cara yang tidak adil, bertentangan dengan hati
nuraninya, bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, sedang dia sendiri
mengetahui dan menyadari perbuatannya itu; 2). Hakim yang menjatuhkan hukuman
yang tidak adil karena kebodohannya. Hakim yang masuk sorga adalah hakim yang
menjatuhkan hukuman berdasarkan keadilan dan kebenaran.

Keadilan dalam Segala Hal

Disamping keadilan hukum, islam memerintahkan kepada umat manusia, terutama


orang-orang yang beriman untuk bersikap adil dalam segala aspek kehidupan, baik
terhadap diri dan keluarganya sendiri, apalagi kepada orang lain. Bahkan kepada
musuh sekalipun setiap mukmin harus dapat berlaku adil. Mari kita perhatikan
beberapa nash berikut ini :

1. Adil terhadap diri sendiri

“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak
dan kaum kerabatmu. Jika ia (terdakwa atau tergugat itu) kaya atau miskin, maka
Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti bawa nafsu kamu
ingin menyimpang dari kebenaran...”(QS. An-Nisa’4:135)

2. Adil terhadap isteri dan anak-anak

“....Kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai dua, tiga, atau empat. Tapi jika kamu
khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja...”(QS. An-Nisa’ 4:3).

3. Adil dalam mendamaikan perselisihan

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah
antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap
golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga
golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada
perintah Allah) maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”(QS. Al-Hujurat 49:9).
4. Adil dalam berkata

“...Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia
adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu, diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat.” (QS. Al-An’am 6:152)
5. Adil terhadap musuh sekalipun

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-sekali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS.
Al-Maidah 5:8)

Tentu masih banyak nash Al-Qur’an dan Sunnah tentang keadilan dalam seluruh
aspek kehidupan yang belum penulis sebutkan dalam fasal ini karena keterbatasan
ruangan, tapi cukuplah kita menyimpulkan bahwa Islam menginginkan keadilan yang
komprehensif, yang mencakup keadilan politik, ekonomi, sosial dan lain-lainnya.

AMar Ma’ruf Nahi Munkar

Secara harfiah amar ma’ruf nahi munkar (al-amru bi ‘l-ma’ruf wa ‘n-nahyu ‘an ‘l-
munkar) berarti menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.

Ma’ruf secara etimologis berarti yang dikenal, sebaliknya munkar adalah sesuatu yang
tidak dikenal. Menurut Muhammad ‘Abduh, ma’ruf adalah apa yang dikenal (baik) oleh
akal sehat dan hati nurani (ma ‘arafathu al-‘uqul wa ath-thaba’ as-salimah), sedangkan
munkar adalah apa yang ditolak oleh akal sehat dan hati nurani (ma ankarathu al-‘uqul
wa ath-thaba’ as-salimah).

Berbeda dengan Abduh, Muhammad ‘Ali ash-Shabuni mendefinisikan ma’ruf dengan


“apa yang diperintahkan syara’ (agama) dan dinilai baik oleh akal sehat” (ma amara
bibi asy-syara’ wa ‘stabsanahu al-‘aqlu as-salim), sedangkan munkar adalah “apa
yang dilarang syara’ dan dinilai buruk oleh akal sehat” (ma naha ‘anhu asy-syara’
wa’staqbahahu al-‘aqlu as-salim).

Terlihat dari dua definisi diatas, bahwa yang menjadi ukuran ma’ruf atau munkarnya
sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal sehat atau hati nurani. Bisa kedua-duanya
sekaligus atau salah satunya. Semua yang diperintahkan oleh agama adalah ma’ruf,
begitu juga sebaliknya, semua yang dilarang oleh agama adalah munkar.

Hal-hal yang tidak ditentukan oleh agama ma’ruf dan munkarnya ditentukan oleh akal
sehat atau hati nurani. Jadi waw dalam definisi Shabuni diatas berarti aw
sebagaimana yang didefinisikan oleh al-Ishfahani: “Ma’ruf adalah sebuah anma untuk
semua perbuatan yang dikenal baiknya melalui akal atau syara’, dan munkar adalah
apa yang ditolak oleh keduanya” (Wa al-ma’ruf ismun likulli fi’lin yu’rafu bi al-‘aqli aw
as-syari’ husnuhu, wa al-munkar ma yunkaru bihima.

Dengan pengertian diatas tentu ruang lingkup yang ma’ruf dan munkar sangat luas
sekali, baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun mu’amalat (sosial, politik,
ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya, dlsb). Tauhidullah, mendirikan
shalat, membayar zakat, amanah, toleransi beragama, membantu kaum dhu’afa’ dan
mustadh’afin, disiplin, transparan dan lain sebagainya adalah beberapa contoh sikap
dan perbuatan yang ma’ruf. Sebaliknya bahu-membahu dalam menjalankannya.
Dalam hal ini Allah menjelaskan :
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan
mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah 9:71)

Dalam ayat diatas juga dapat kita lihat bahwa kewajiban amar ma’ruf nahi munkar
tidak hanya dipikulkan kepada kaum laki-laki tapi juga kepada kaum perempuan,
walaupun dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kodrat dan fungsi masing-
masing.

Jika umat Islam ingin mendapatkan kedudukan yang kokoh di atas permukaan bumi,
disamping mendirikan shalat dan membayar zakat mereka harus melakukan amar
ma’ruf nahi munkar. Allah SWT berfirman :

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi,
niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf
dan mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala
urusan.”(QS. Al-Haji 22:41)

Muhammad Asad, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syafii Maarif, mengartikan


ungkapan in makkannahum fi ‘l ardhi dengan if We firmly establish them on earth”
(manakala Kami kokohkan posisi mereka di muka bumi”. Kedudukan yang kokoh
artinya punya kekuasaan politik maupun ekonomi.

Jika umat Islam mengabaikan amar ma’ruf nahi munkar, maka hal itu tidak hanya akan
membuat mereka kehilangan posisi yang kokoh diatas permukaan bumi, tapi juga
akan mendapat kutukan dari Allah SWT sebagaimana Allah dulu mengutuk Bani Israil.
Allah berfirman :

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan “Isa putera
Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalul melampaui
batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka
perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al-
Maidah 5: 78-79)

Mereka dikutuk terutama karena mereka satu sama lain tidak melarang tindakan
munkar yang mereka lakukan, bukan karena mereka Bani Israil. Sebab Bani Israil
(Ahlul Kitab) yang masuk Islam dan setelah itu melakukan amar ma’ruf nahi munkar
dipuji oleh Allah sebagai ornag-orang yang saleh. Allah berfirman :

“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus,
mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang
mereka juga bersujud. Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan bersegera
kepada pelbagai kebajikan. Mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ali
Imran : 113-114).

Nahi Munkar
Dibandingkan dengan amar ma’ruf, nahi munkar lebih berat karena berisiko tinggi,
apalagi bila dilakukan terhadap penguasa yang zalim. Oleh karena itu Rasulullah SAW
sangat memuliakan orang-orang yang memiliki keberanian menyatakan kebenaran di
hadapan penguasa yang zalim. Beliau bersabda:
“Jihad yang paling utama ialah menyampaikan al-baq terhadap penguasa yang zalim.”
(HR. Abu Daud, Trimizi dan Ibn Majah)

Nahi munkar dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Bagi yang


mampu melakukan dengan tangan (kekuasaannya) dia harus menggunakan
kekuasaannya itu, apalagi tidak bisa dengan kata-kata, dan bila dengan kata-kata juga
tidak mampu paling kurang menolak dengan hatinya. Dalam hal ini Rasulullah SAW
bersabda :

“Barangsiapa diantara kamu melihat kemunkaran, hendaklah dia merobahnya dengan


tangannya. Kalau tidak sanggup (dengan tangan, maka robahlah) dengan lisannya.
Dan apabla tidak sanggup (dengan lisan), maka robahlah dengan hatinya. Yang
demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim).

D. Hubungan Pemimpin Dan Yang Dipimpin

Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin orang-orang yang


beriman :

“Allah Pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari


kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pemimpin-pemimpin mereka
adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka
itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah 2:257)

Azh-zhulumat (kegelapan) dalam ayat diatas adalah simbol dari segala bentuk
kekufuran, kemusyrikan, kefasikan dan kemaksiatan. Atau dalam bahasa sekarang
azh-zhulumat adalah bermacam-macam ideologi dan isme-isme yang bertentangan
dengan ajaran Islam seperti komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalisme,
materialisme, hedonisme dan lain sebagainya. Sedangkan an-Nur adalah simbol dari
ketauhidan, keimanan, ketaatan dan segala kebaikan lainnya.

At-thaghut adalah segala sesuatu yang disembah (dipertuhan) selain dari Allah SWT
dan dia suka diperlakukan sebagai Tuhan tersebut. Menurut Sayyid Qutub, Thaghut
adalah segala sesuatu yang menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah
digariskan oleh Allah SWT untuk hamba-Nya. Dia bisa berbentuk pandangan hidup,
peradaban dan lain-lain yang tidak berlandaskan ajaran Allah SWT.
Secara operasional kepemimpinan Allah SWT itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW,
dan sepeninggal beliau kepemimpinan itu dilaksanakan oleh orang-orang yang
beriman. Hal itu dinyatakan di dalam Al-Qur’an :

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang


beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk
(kepada Allah). (Al – Maidah : 55 )

a. Kriteria Pemimpin dalam Islam


Pemimpin umat atau dalam ayat diatas di istilahkan dengan waliy dan dalam ayat lain
(Q.S An-Nisa 4:59) disebut dengan Ulil Amri adalah penerus kepemimpinan
Rasulullah SAW setelah beliau meninggal dunia .
Orang – orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal
harus memenuhi empat kriteria sebagaimana dijelaskan dalam surat Al – Maidah ayat
55 .

1. Beriman kepada Allah SWT

Karena Ulil Amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah SAW , sedangkan


Rasulullaj sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah SWT , maka tentu saja yang
pertama kali harus dimiliki penerus beliau adalah Keimanan . Tanpa Keimanan
kepada Allah dan Rasul-Nya bagaimana mungkin pemimpin dapat diharapkan
memimpin umat menempuh jalan Allah diatas permukaan bumi ini .

2. Mendirikan Shalat

Shalat adalah ibadah Vertikal langsung kepada Allah SWT . Seorang pemimpin yang
mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertical yang baik dengan Allah SWT
. Diharapkan nilai – nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat dalam shalat dapat
tercermin dalam kepemimpinannya.

3. Membayarkan Zakat

Zakat adalah ibadah madhdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian
social . Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan
hati dan hartanya . Dia tidak mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak
halal (mis : Korupsi , Kolusi , dan Nepotisme ) . Dan lebih dari pada itu dia memiliki
kepedulian social yang tinggi terhadap kaum dhu’afa dan mustadh’afin . Dia akan
menjadi pembela orang – orang yang lemah .

4. Selalu Tunduk Patuh kepada Allah SWT

Dalam ayat diatas disebutkan pemimpin itu haruslah orang selalu ruku’ . Ruku’ adalah
simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yang secara
konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kaffah , baik dalam
aspek aqidah , ibadah , akhlaq maupun muamalat . Aqidahnya benar , ibadahnya tertib
, dan sesuai tuntutan Nabi , akhlaknya terpuji , dan muamalatnya tidak bertentangan
dengan syariat .

b. Konsep Leader is a Ladder

Konsep ini merupakan konsep Hubungan Pemimpin dan yang dipimpin yang
merupakan hasil ijtihad dari penulis , dimana Konsep Leader is a Ladder merupakan
konsep dimana seorang pemimpin merupakan sebuah tangga yang akan menjadi
perantara atau jembatan bagi calon pemimpin selanjutnya .

Pemimpin yang baik disini adalah pemimpin yang mencetak sebanyak mungkin calon
Pemimpin , yang nantinya dapat melanjutkan kepemimpinan selanjutnya dengan lebih
baik dan lebih matang .

Konsep ini diterapkan agar pemimpin menjadi panutan dan teladan bagi bawahannya
dan Menurut James A.F Stonen, terdapat tujuh tugas utama seorang pemimpin adalah
:

1. Pemimpin bekerja dengan orang lain : Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk
bekerja dengan orang lain, salah satu dengan atasannya, staf, teman sekerja atau
atasan lain dalam organjsasi sebaik orang diluar organisasi.

2. Pemimpin adalah tanggung jawab dan mempertanggungjawabkan (akontabilitas):


Seorang pemimpin bertanggungjawab untuk menyusun tugas menjalankan tugas,
mengadakan evaluasi, untuk mencapai outcome yang terbaik. Pemimpin bertanggung
jawab untuk kesuksesan stafhya tanpa kegagalan.

3. Pemimpin menyeimbangkan pencapaian tujuan dan prioritas : Proses


kepemimpinan dibatasi sumber, jadi pemimpin hanya dapat menyusun tugas dengan
mendahulukan prioritas. Dalam upaya pencapaian tujuan pemimpin harus dapat
mendelegasikan tugas- tugasnya kepada staf. Kemudian pemimpin harus dapat
mengatur waktu secara efektif,dan menyelesaikan masalah secara efektif.

4. Pemimpin harus berpikir secara analitis dan konseptual : Seorang pemimpin harus
menjadi seorang pemikir yang analitis dan konseptual. Selanjutnya dapat
mengidentifikasi masalah dengan akurat. Pemimpin harus dapat menguraikan seluruh
pekerjaan menjadf lebih jelas dan kaitannya dengan pekerjaan lain.

5. Manajer adalah forcing mediator : Konflik selalu terjadi pada setiap tim dan
organisasi. Oleh karena itu, pemimpin harus dapat menjadi seorang mediator
(penengah).

6. Pemimpin adalah politisi dan diplomat: Seorang pemimpin harus mampu mengajak
dan melakukan kompromi. Sebagai seorang diplomat, seorang pemimpin harus dapat
mewakili tim atau organisasinya.

7. Pemimpin membuat keputusan yang sulit : Seorang pemimpin harus dapat


memecahkan masalah.

Dari ketujuh hal inilah yang harusnya pemimpin terapkan dalam tugasnya memimpin
orang - orang , dan setelah hal ini diimplementasikan maka seorang pemimpin wajib
untuk 'menurunkan ilmu' nya ini kepada bawahannya . Agar bawahannya ini kelak
akan menjadi pemimpin yang dapat menjalankan tugasnya kelak.

Adapun hambatan yang dihadapi ketika ingin menerapkan


1. Egois : kenapa Egois , karena kebanyakan para pemimpin hanya mau dia sajalah
merasakan bangku kepemimpinan tersebut , tanpa harus memikirkan orang
setelahnya yang akan menduduki posisi pimpinan tersebut . Sehingga mereka terlalu
'masa bodoh' dengan bawahannya.

2. Sombong : penyakit kekuasaan yang satu ini tentunya telah mengakar sejak zaman
dahulu kala , penyakit kesombongan karena merasa sudah diatas sehingga
melupakan bawahannya . Hal ini menggambarkan bahwa seorang pemimpin tidak
sepantasnya bersikap sombong , karena pemimpin bagaikan tangga maka pemimpin
harus menjadi fasilitator.

3. Iri dan Dengki : walaupun sudah menjadi pemimpin , penyakit iri dan dengki masih
saja menjangkiti para pemimpin . Sebagian kecil dari pemimpin tersebut masih saja iri
melihat bawahannya yang mendapatkan jatah lebih banyak dari dirinya . Maka si
pemimpin akan iri terhadap bawahannya , dan mengambil jatah bawahannya.

c. Persaudaraan antara Pemimpin dan yang Dipimpin

Sekalipun dalam struktur bernegara ada hirarki kepemimpinan yang mengharuskan


umat atau takyat patuh kepada pemimpinnya , tetapi dalam pergaulan sehari – hari
hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin tetaplah dilandaskan kepada prinsip –
prinsip ukhuwah islamiyah , bukan prinsip – prinsip atasan dengan bawahan .
Demikianlah yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Kaum Muslimin yang berada di sekitat beliau waktu itu dipanggil dengan sebutan
sahabat – sahabat , suatu panggilan yang menujukkan hubungan yang horizontal ,
sekalipun ada kewajiban patuh secara mutlak kepada beliau sebagai seorang Nabi
dan Rasul .

Hubungan persaudaraan seperti itu dalam praktiknya tidaklah melemahkan


kepemimpinan Rasulullah SAW , tetapi malah memperkokoh , karena tidak hanya
didasari hubungan Formal , tapi juga hubungan hati yang dipenuhi kasih sayang .
Bab III
Penutup

A. Kesimpulan

Dari keempat pembahasan pokok diatas , ialah Kepemimpinan merupakan sesuatu


yang sangat penting dan sangat esensial dalam sikap yang ditunjukkan dalam Akhlak
Bernegara ini . Adapun kriteria pemimpin yang sangat dibutuhkan disini adalah
pemimpin yang ideal , dimana kriteria pemimpin ideal telah diungkapkan dalam surat
Al – Maidah ayat 55 , yang tentunya menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri
tauladan kepemimpinan yang terbaik .

Dalam memahami materinya , hendaknya kita memahami secara keseluruhan tidak


secara terpisah . Dikarenakan materi ini sangat terkait satu sama lain dan saling
mendukung . Seorang Pemimpin yang baik dan mempunyai Akhlak adalah Pemimpin
yang suka bermusyawarah , perbuatan dan tindakannya Ma’ruf Nahi Mungkar ,
senantiasa menegakkan keadilan , dan tentunya mempunyai hubungan yang baik
dengan bawahannya .

Komponen – komponen inilah yang mendasari kokohnya Akhlak seorang Negarawan


, yang tentunya apabila diterapkan dengan sungguh – sungguh akan menjadi
Rahmatan Lil Alamin.
Sumber :
Asy – Syawi , Taufiq . Syura bukan Demokrasi , terjemahan Djamaluddin Z.S. Jakarta
L Gema Insani Press , 1997.
Ilyas Yunahar , Drs. ,Lc. , M.A. Kuliah Akhlaq . Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset ,
2000.
Mukti , Takdir dkk. (ed.) . Membangun Moralitas Bangsa . Yogyakarta : LPPI UMY ,
1998.
Zulfikar , Achmad.2010.Konsep Leader is a Ladder.

Das könnte Ihnen auch gefallen