Sie sind auf Seite 1von 47

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) KATARAK

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kebutaan di Indonesia merupakan bencana Nasional. Sebab kebutaan menyebabkan kualitas sumber
daya manusia rendah. Hal ini berdampak pada kehilangan produktifitas serta membutuhkan biaya
untuk rehabilitasi dan pendidikan orang buta. Berdasarkan hasil survey nasional tahun 1993 – 1996,
angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5 %. Angka ini menempatkan Indonesia pada urutan
pertama dalam masalah kebutaan di Asia dan nomor dua di dunia pada masa itu.
Salah satu penyebab kebutaan adalah katarak. sekitar 1,5 % dari jumlah penduduk di
Indonesia, 78 % disebabkan oleh katarak. Pandangan mata yang kabur atau berkabut bagaikan
melihat melalui kaca mata berembun, ukuran lensa kacamata yang sering berubah, penglihatan
ganda ketika mengemudi di malam hari , merupakan gejala katarak. Tetapi di siang hari penderita
justru merasa silau karena cahaya yang masuk ke mata terasa berlebih.
Begitu besarnya resiko masyarakat Indonesia untuk menderita katarak memicu kita
dalam upaya pencegahan. Dengan memperhatikan gaya hidup, lingkungan yang sehat dan
menghindari pemakaian bahan-bahan kimia yang dapat merusak akan membuta kita terhindar dari
berbagai jenis penyakit dalam stadium yang lebih berat yang akan menyulitkan upaya penyembuhan.
Sehingga kami sebagai mahasiswa keperawatan memiliki solusi dalam mencegah dan
menanggulangi masalah katarak yakni dengan memberikan sebuah raangkuman makalah tentang
katarak sebagai bahan belajar dan pendidikan bagi mahasiswa keperawatan.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 Bagaimanakah konsep katarak?
1.2.2 Bagaimanakah konsep proses keperawatan pada katarak?

1.3 Tujuan instruksional umum


Menjelaskan konsep dan proses keperawatan pada katarak.

1.4 Tujuan instruksional khusus


1.4.1 Mengetahui definisi katarak
1.4.2 Mengetahui etiologi katarak
1.4.3 Mengetahui patofisiologi katarak
1.4.4 Mengetahui manifestasi klinis katarak
1.4.5 Mengetahui pemeriksaan dignostik pada katarak
1.4.6 Mengetahui asuhan keperawatan pasien dengan katarak
1.4 Manfaat

1. Mahasiswa mampu dan mengerti tentang katarak


2. Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien katarak
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Katarak


Katarak merupakan kekeruhan yang terjadi pada lensa mata, sehingga
menyebabkan penurunan/gangguan penglihatan (Admin,2009). Katarak menyebabkan
penglihatan menjadi berkabut/buram. Katarak merupakan keadaan patologik lensa dimana lensa
menjadi keruh akibat hidrasi cairan lensa atau denaturasi protein lensa, sehingga pandangan seperti
tertutup air terjun atau kabut merupakan penurunan progresif kejernihan lensa, sehingga ketajaman
penglihatan berkurang (Corwin, 2000). Definisi lain katarak adalah suatu keadaan patologik lensa di
mana lensa rnenjadi keruh akibat hidrasi cairan lensa, atau denaturasi protein lensa. Kekeruhan ini
terjadi akibat gangguan metabolisme normal lensa yang dapat timbul pada berbagai usia tertentu
(Iwan,2009)

Lensa mata merupakan bagian jernih dari mata yang berfungsi untuk menangkap cahaya dan gambar.
Retina merupakan jaringan yang berada di bagian belakang mata, bersifat sensitive terhadap cahaya.
Pada keadaan normal, cahaya atau gambar yang masuk akan diterima oleh lensa mata, kemudian
akan diteruskan ke retina, selanjutnya rangsangan cahaya atau gambar tadi akan diubah menjadi
sinyal / impuls yang akan diteruskan ke otak melalui saraf penglihatan dan akhirnya akan
diterjemahkan sehingga dapat dipahami. Tetapi bila jalan cahaya tertutup oleh keadaan lensa yang
katarak maka impuls tidak akan dapat diterima oleh otak dan tidak akan bisa diterjemahkan menjado
suatu gambaran penglihatan yang baik.
Katarak biasanya terjadi bertahap selama bertahun-tahun dan ketika katarak sudah sangat
memburuk lensa yang lebih kuat pun tidak akan mampu memperbaiki penglihatan. Orang dengan
katarak secara khas selalu mencari cara untuk menghindari silau yang berasal dari cahaya yang salah
arah. Misalnya dengan mengenakan topi berkelapak lebar atau kaca mata hitam dan menurunkan
pelindung cahaya saat mengendarai mobil pada siang hari.
Katarak dapat diklasifikasikan menurut umur penderita:

1. Katarak Kongenital, sejak sebelum berumur 1 tahun sudah terlihat disebabkan oleh infeksi
virus yang dialami ibu pada saat usia kehamilan masih dini (Farmacia, 2009). Katarak
kongenital adalah katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera setelah lahir dan bayi
berusia kurang dari 1 tahun. Katarak kongenital merupakan penyebab kebutaan pada bayi
yang cukup berarti terutama akibat penanganannya yang kurang tepat.

Katarak kongenital sering ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang menderita
penyakit rubela, galaktosemia, homosisteinuri, toksoplasmosis, inklusi sitomegalik,dan histoplasmosis,
penyakit lain yang menyertai katarak kongenital biasanya berupa penyakit-penyakt herediter seperti
mikroftlmus, aniridia, koloboma iris, keratokonus, iris heterokromia, lensa ektopik, displasia retina,
dan megalo kornea.
Untuk mengetahui penyebab katarak kongenital diperlukan pemeriksaan riwayat prenatal
infeksi ibu seperti rubela pada kehamilan trimester pertama dan pemakainan obat selama kehamilan.
Kadang-kadang terdapat riwayat kejang, tetani, ikterus, atau hepatosplenomegali pada ibu hamil. Bila
katarak disertai uji reduksi pada urine yang positif, mungkin katarak ini terjadi akibat galaktosemia.
Sering katarak kongenital ditemukan pada bayi prematur dan gangguan sistem saraf seperti retardasi
mental.
Pemeriksaan darah pada katarak kongenital perlu dilakukan karena ada hubungan katarak kongenital
dengan diabetes melitus, fosfor, dan kalsium. Hampir 50 % katarak kongenital adalah sporadik dan
tidak diketahui penyebabnya. Pada pupil bayi yang menderita katarak kongenital akan terlihat bercak
putih atau suatu leukokoria.

1. Katarak Juvenil, Katarak yang lembek dan terdapat pada orang muda, yang mulai
terbentuknya pada usia kurang dari 9 tahun dan lebih dari 3 bulan. Katarak juvenil biasanya
merupakan kelanjutan katarak kongenital. Katarak juvenil biasanya merupakan penyulit
penyakit sistemik ataupun metabolik dan penyakit lainnya
2. Katarak Senil, setelah usia 50 tahun akibat penuaan. Katarak senile biasanya berkembang
lambat selama beberapa tahun, Kekeruhan lensa dengan nucleus yang mengeras akibat usia
lanjut yang biasanya mulai terjadi pada usia lebih dari 60 tahun. (Ilyas, Sidarta: Ilmu
Penyakit Mata, ed. 3)

Katarak Senil sendiri terdiri dari 4 stadium, yaitu:

1. Stadium awal (insipien). Pada stadium awal (katarak insipien) kekeruhan lensa mata masih
sangat minimal, bahkan tidak terlihat tanpa menggunakan alat periksa. Pada saat ini
seringkali penderitanya tidak merasakan keluhan atau gangguan pada penglihatannya,
sehingga cenderung diabaikan. Kekeruhan mulai dari tepi ekuator berbentuk jeriji menuju
korteks anterior dan posterior ( katarak kortikal ). Vakuol mulai terlihat di dalam korteks.
Katarak sub kapsular posterior, kekeruhan mulai terlihat anterior subkapsular posterior, celah
terbentuk antara serat lensa dan dan korteks berisi jaringan degenerative(benda
morgagni)pada katarak insipient kekeruhan ini dapat menimbulkan poliopia oleh karena
indeks refraksi yang tidak sama pada semua bagian lensa. Bentuk ini kadang-kadang
menetap untuk waktu yang lama.
(Ilyas, Sidarta : Katarak Lensa Mata Keruh, ed. 2,)
2. Stadium imatur. Pada stadium yang lebih lanjut, terjadi kekeruhan yang lebih tebal tetapi
tidak atau belum mengenai seluruh lensa sehingga masih terdapat bagian-bagian yang jernih
pada lensa. Pada stadium ini terjadi hidrasi kortek yang mengakibatkan lensa menjadi
bertambah cembung. Pencembungan lensa akan mmberikan perubahan indeks refraksi
dimana mata akan menjadi mioptik. Kecembungan ini akan mengakibatkan pendorongan iris
kedepan sehingga bilik mata depan akan lebih sempit.( (Ilyas, Sidarta : Katarak Lensa Mata
Keruh, ed. 2,)
3. Stadium matur. Bila proses degenerasi berjalan terus maka akan terjadi pengeluaran air
bersama-sama hasil desintegrasi melalui kapsul. Didalam stadium ini lensa akan berukuran
normal. Iris tidak terdorong ke depan dan bilik mata depan akan mempunyai kedalaman
normal kembali. Kadang pada stadium ini terlihat lensa berwarna sangat putih
akibatperkapuran menyeluruh karena deposit kalsium ( Ca ). Bila dilakukan uji bayangan iris
akan terlihat negatif.( Ilyas, Sidarta : Katarak Lensa Mata Keruh, ed. 2,)
4. stadium hipermatur. Katarak yang terjadi akibatkorteks yang mencair sehingga masa lensa ini
dapat keluar melalui kapsul. Akibat pencairan korteks ini maka nukleus "tenggelam" kearah
bawah (jam 6)(katarak morgagni). Lensa akan mengeriput. Akibat masa lensa yang keluar
kedalam bilik mata depan maka dapat timbul penyulit berupa uveitis fakotoksik atau
galukoma fakolitik (Ilyas, Sidarta : Katarak Lensa Mata Keruh, ed. 2,)
5. Katarak Intumesen. Kekeruhan lensa disertai pembengkakan lensa akibat lensa degenerative
yang menyerap air. Masuknya air ke dalam celah lensa disertai pembengkakan lensa menjadi
bengkak dan besar yang akan mendorong iris sehingga bilik mata menjadi dangkal dibanding
dengan keadaan normal. Pencembungan lensa ini akan dapat memberikan penyulit glaucoma.
Katarak intumesen biasanya terjadi pada katarak yang berjalan cepat dan mengakibatkan
miopi lentikularis. Pada keadaan ini dapat terjadi hidrasi korteks hingga akan mencembung
dan daya biasnya akan bertambah, yang meberikan miopisasi. Pada pemeriksaan slitlamp
terlihat vakuol pada lensa disertai peregangan jarak lamel serat lensa. (Ilyas, Sidarta :
Katarak Lensa Mata Keruh, ed. 2,)
6. Katarak Brunesen. Katarak yang berwarna coklat sampai hitam (katarak nigra) terutama pada
lensa, juga dapat terjadi pada katarak pasien diabetes militus dan miopia tinggi. Sering tajam
penglihatan lebih baik dari dugaan sebelumnya dan biasanya ini terdapat pada orang berusia
lebih dari 65 tahun yang belum memperlihatkan adanya katarak kortikal posterior. (Ilyas,
Sidarta: Ilmu Penyakit Mata, ed. 3)

Tabel 1.1 Perbedaan karakteristik Katarak (Ilyas, 2001)


Insipien Imatur Matur Hipermatur
Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan Lensa Normal Bertambah Normal Berkurang
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik mata depan Normal Dangkal Normal Dalam
Sudut bilik mata Normal Sempit Normal Terbuka
Shadow test (-) (+) (-) +/-
Visus (+) < << <<<
Penyulit (-) Glaukoma (-) Uveitis+glaukoma

Klasifikasi katarak berdasarkan lokasi terjadinya:


1.) Katarak Inti ( Nuclear )
Merupakan yang paling banyak terjadi. Lokasinya terletak pada nukleus atau bagian tengah dari lensa.
Biasanya karena proses penuaan.
2.) Katarak Kortikal
Katarak kortikal ini biasanya terjadi pada korteks. Mulai dengan kekeruhan putih mulai dari tepi lensa
dan berjalan ketengah sehingga mengganggu penglihatan. Banyak pada penderita DM
3.) Katarak Subkapsular.
Mulai dengan kekeruhan kecil dibawah kapsul lensa, tepat pada lajur jalan sinar masuk. DM, renitis
pigmentosa dan pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama dapat mencetuskan
kelainan ini. Biasanya dapat terlihat pada kedua mata.

2.2 Etiologi Katarak


Berbagai macam hal yang dapat mencetuskan katarak antara lain (Corwin,2000):

1. Usia lanjut dan proses penuaan


2. Congenital atau bisa diturunkan.
3. Pembentukan katarak dipercepat oleh faktor lingkungan, seperti merokok atau bahan
beracun lainnya.
4. Katarak bisa disebabkan oleh cedera mata, penyakit metabolik (misalnya diabetes) dan obat-
obat tertentu (misalnya kortikosteroid).

Katarak juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor risiko lain, seperti:

1. Katarak traumatik yang disebabkan oleh riwayat trauma/cedera pada mata.


2. Katarak sekunder yang disebabkan oleh penyakit lain, seperti: penyakit/gangguan
metabolisme, proses peradangan pada mata, atau diabetes melitus.
3. Katarak yang disebabkan oleh paparan sinar radiasi.
4. Katarak yang disebabkan oleh penggunaan obat-obatan jangka panjang, seperti
kortikosteroid dan obat penurun kolesterol.
5. Katarak kongenital yang dipengaruhi oleh faktor genetik (Admin,2009).

2.3 Patofisiologi
Metabolisme Lensa Normal
Transparansi lensa dipertahankan oleh keseimbangan air dan kation (sodium dan kalium). Kedua
kation berasal dari humour aqueous dan vitreous. Kadar kalium di bagian anterior lensa lebih tinggi di
bandingkan posterior. Dan kadar natrium di bagian posterior lebih besar. Ion K bergerak ke bagian
posterior dan keluar ke aqueous humour, dari luar Ion Na masuk secara difusi dan bergerak ke
bagian anterior untuk menggantikan ion K dan keluar melalui pompa aktif Na-K ATPase, sedangkan
kadar kalsium tetap dipertahankan di dalam oleh Ca-ATPase Metabolisme lensa melalui glikolsis
anaerob (95%) dan HMP-shunt (5%). Jalur HMP shunt menghasilkan NADPH untuk biosintesis asam
lemak dan ribose, juga untuk aktivitas glutation reduktase dan aldose reduktase. Aldose reduktse
adalah enzim yang merubah glukosa menjadi sorbitol, dan sorbitol dirubah menjadi fructose oleh
enzim sorbitol dehidrogenase.
Lensa mengandung 65% air, 35% protein dan sisanya adalah mineral. Dengan bertambahnya usia,
ukuran dan densitasnya bertambah. Penambahan densitas ini akibat kompresi sentral pada kompresi
sentral yang menua. Serat lensa yang baru dihasilkan di korteks, serat yang tua ditekan ke arah
sentral. Kekeruhan dapat terjadi pada beberapa bagian lensa.
Kekeruhan sel selaput lensa yang terlalu lama menyebabkan kehilangan kejernihan secara progresif,
yang dapat menimbulkan nyeri hebat dan sering terjadi pada kedua mata.

2.4 Manifestasi Klinis


Gejala subjektif dari pasien dengan katarak antara lain:

1. Biasanya klien melaporkan penurunan ketajaman penglihatan dan silau serta gangguan
fungsional yang diakibatkan oleh kehilangan penglihatan tadi.
2. menyilaukan dengan distorsi bayangan dan susah melihat di malam hari

Gejala objektif biasanya meliputi:

1. Pengembunan seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina tak akan tampak dengan
oftalmoskop. Ketika lensa sudah menjadi opak, cahaya akan dipendarkan dan bukannya
ditransmisikan dengan tajam menjadi bayangan terfokus pada retina. Hasilnya adalah
pandangan menjadi kabur atau redup.

1. Pupil yang normalnya hitam akan tampak abu-abu atau putih. Pengelihatan seakan-akan
melihat asap dan pupil mata seakan akan bertambah putih.
2. Pada akhirnya apabila katarak telah matang pupil akan tampak benar-benar putih ,sehingga
refleks cahaya pada mata menjadi negatif.

Gejala umum gangguan katarak meliputi:

1. Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.


2. Gangguan penglihatan bisa berupa:

1. Peka terhadap sinar atau cahaya.


2. Dapat melihat dobel pada satu mata (diplobia).
3. Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca.
4. Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.

1) Kesulitan melihat pada malam hari


2) Melihat lingkaran di sekeliling cahaya atau cahaya terasa menyilaukan mata
3) Penurunan ketajaman penglihatan ( bahkan pada siang hari )

1. Gejala lainya adalah :

1)Sering berganti kaca mata


2)Penglihatan sering pada salah satu mata.
Kadang katarak menyebabkan pembengkakan lensa dan peningkatan tekanan di dalam mata
( glukoma ) yang bisa menimbulkan rasa nyeri.

2.5 Penatalaksanaan katarak


Gejala-gejala yang timbul pada katarak yang masih ringan dapat dibantu dengan
menggunakan kacamata, lensa pembesar, cahaya yang lebih terang, atau kacamata yang dapat
meredamkan cahaya. Pada tahap ini tidak diperlukan tindakan operasi.
Tindakan operasi katarak merupakan cara yang efektif untuk memperbaiki lensa
mata, tetapi tidak semua kasus katarak memerlukan tindakan operasi. Operasi katarak perlu
dilakukan jika kekeruhan lensa menyebabkan penurunan tajam pengelihatan sedemikian rupa
sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari. Operasi katarak dapat dipertimbangkan untuk dilakukan
jika katarak terjadi berbarengan dengan penyakit mata lainnya, seperti uveitis yakni adalah
peradangan pada uvea. Uvea (disebut juga saluran uvea) terdiri dari 3 struktur:

1. Iris : cincin berwarna yang melingkari pupil yang berwarna hitam


2. Badan silier : otot-otot yang membuat lensa menjadi lebih tebal sehingga mata bisa fokus
pada objek dekat dan lensa menjadi lebih tipis sehingga mata bisa fokus pada objek jauh
3. Koroid : lapisan mata bagian dalam yang membentang dari ujung otot silier ke saraf optikus
di bagian belakang mata.

Sebagian atau seluruh uvea bisa mengalami peradangan. Peradangan yang terbatas pada iris disebut
iritis, jika terbatas pada koroid disebut koroiditis.
Juga operasi katarak akan dilakukan bila berbarengan dengan glaukoma, dan retinopati diabetikum.
Selain itu jika hasil yang didapat setelah operasi jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan
risiko operasi yang mungkin terjadi. Pembedahan lensa dengan katarak dilakukan bila mengganggu
kehidupan social atau atas indikasi medis lainnya.( Ilyas, Sidarta: Ilmu Penyakit Mata, ed. 3)
Indikasi dilakukannya operasi katarak :

1. Indikasi sosial: jika pasien mengeluh adanya gangguan penglihatan dalam melakukan
rutinitas pekerjaan
2. Indikasi medis: bila ada komplikasi seperti glaucoma
3. Indikasi optik: jika dari hasil pemeriksaan visus dengan hitung jari dari jarak 3 m didapatkan
hasil visus 3/60

Ada beberapa jenis operasi yang dapat dilakukan, yaitu:


1. ICCE ( Intra Capsular Cataract Extraction)

yaitu dengan mengangkat semua lensa termasuk kapsulnya. Sampai akhir tahun 1960 hanya itulah
teknik operasi yg tersedia.

1. ECCE (Ekstra Capsular Cataract Extraction) terdiri dari 2 macam yakni


1. Standar ECCE atau planned ECCE dilakukan dengan mengeluarkan lensa secara
manual setelah membuka kapsul lensa. Tentu saja dibutuhkan sayatan yang lebar
sehingga penyembuhan lebih lama.
2. Fekoemulsifikasi (Phaco Emulsification). Bentuk ECCE yang terbaru dimana
menggunakan getaran ultrasonic untuk menghancurkan nucleus sehingga material
nucleus dan kortek dapat diaspirasi melalui insisi ± 3 mm. Operasi katarak ini
dijalankan dengan cukup dengan bius lokal atau menggunakan tetes mata anti nyeri
pada kornea (selaput bening mata), dan bahkan tanpa menjalani rawat inap. Sayatan
sangat minimal, sekitar 2,7 mm. Lensa mata yang keruh dihancurkan (Emulsifikasi)
kemudian disedot (fakum) dan diganti dengan lensa buatan yang telah diukur
kekuatan lensanya dan ditanam secara permanen. Teknik bedah katarak dengan
sayatan kecil ini hanya memerlukan waktu 10 menit disertai waktu pemulihan yang
lebih cepat.

Pascaoperasi pasien diberikan tetes mata steroid dan antibiotik jangka pendek. Kacamata baru dapat
diresepkan setelah beberapa minggu, ketika bekas insisi telah sembuh. Rehabilitasi visual dan
peresepan kacamata baru dapat dilakukan lebih cepat dengan metode fakoemulsifikasi. Karena
pasien tidak dapat berakomodasi maka pasien akan membutuhkan kacamata untuk pekerjaan jarak
dekat meski tidak dibutuhkan kacamata untuk jarak jauh. Saat ini digunakan lensa intraokular
multifokal. Lensa intraokular yang dapat berakomodasi sedang dalam tahap pengembangan
Apabila tidak terjadi gangguan pada kornea, retina, saraf mata atau masalah mata lainnya, tingkat
keberhasilan dari operasi katarak cukup tinggi, yaitu mencapai 95%, dan kasus komplikasi saat
maupun pasca operasi juga sangat jarang terjadi. Kapsul/selaput dimana lensa intra okular terpasang
pada mata orang yang pernah menjalani operasi katarak dapat menjadi keruh. Untuk itu perlu terapi
laser untuk membuka kapsul yang keruh tersebut agar penglihatan dapat kembali menjadi jelas.
DOWNLOAD : WOC ASKEP KATARAK
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN KATARAK

3.1 Pengkajian
3.1.1 Anamnesa
Anamnesa yang dapat dilakukan pada klien dengan katarak adalah :

1. Identitas / Data demografi


Berisi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan yang sering terpapar sinar matahari secara langsung,
tempat tinggal sebagai gambaran kondisi lingkungan dan keluarga, dan keterangan lain mengenai
identitas pasien.

1. Riwayat penyakit sekarang


Keluhan utama pasien katarak biasanya antara lain:

- Penurunan ketajaman penglihatan secara progresif (gejala utama katarak) .


- Mata tidak merasa sakit, gatal atau merah
- Berkabut, berasap, penglihatan tertutup film
- Perubahan daya lihat warna
- Gangguan mengendarai kendaraan malam hari, lampu besar sangat menyilaukan mata
- Lampu dan matahari sangat mengganggu
- Sering meminta ganti resep kaca mata
- Lihat ganda
- Baik melihat dekat pada pasien rabun dekat ( hipermetropia)
- Gejala lain juga dapat terjadi pada kelainan mata lain

1. Riwayat penyakit dahulu

Adanya riwayat penyakit sistemik yang di miliki oleh pasien seperti


- DM
- hipertensi
- pembedahan mata sebelumnya, dan penyakit metabolic lainnya memicu resiko katarak.
- Kaji gangguan vasomotor seperti peningkatan tekanan vena,
- ketidakseimbangan endokrin dan diabetes, serta riwayat terpajan pada radiasi, steroid /
toksisitas fenotiazin.
- Kaji riwayat alergi

1. Riwayat Kesehatan Keluarga


Apakah ada riwayat diabetes atau gangguan sistem vaskuler, kaji riwayat stress,

3.1.2 Pemeriksaan Fisik


Inspeksi
Dalam inspeksi, bagian-bagian mata yang perlu di amati adalah dengan melihat lensa mata melalui
senter tangan (penlight), kaca pembesar, slit lamp, dan oftalmoskop sebaiknya dengan pupil
berdilatasi. Dengan penyinaran miring ( 45 derajat dari poros mata) dapat dinilai kekeruhan lensa
dengan mengamati lebar pinggir iris pada lensa yang keruh ( iris shadow ). Bila letak bayangan jauh
dan besar berarti kataraknya imatur, sedang bayangan kecil dan dekat dengan pupil terjadi pada
katarak matur.
3.1.3 Pemeriksaan Diagnostik

1. Kartu mata Snellen / mesin telebinokular ( tes ketajaman penglihatan dan sentral
penglihatan) : mungkin terganggu dengan kerusakan lensa, system saraf atau penglihatan ke
retina ayau jalan optic.
2. Pemeriksaan oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, mencatat atrofi lempeng optic,
papiledema, perdarahan retina, dan mikroaneurisme.
3. Darah lengkap, laju sedimentasi (LED) : menunjukkan anemi sistemik / infeksi
4. EKG, kolesterol serum, dan pemeriksaan lipid : dilakukan untuk memastikan aterosklerosis.
5. Tes toleransi glukosa / FBS : menentukan adanya/ control diabetes.

3.1 Diagnosa Keperawatan yang mungkin terjadi (Doenges,2000):

1. Gangguan peersepsi sensori-perseptual penglihatan b.d gangguan penerimaan sensori/status


organ indera, lingkungna secara terapetik dibatasi. Ditandai dengan : Menurunnya ketajaman
penglihatan, perubahan respon biasanya terhadap rangsang.
2. Kecemasan b.d kurang terpapar terhadap informasi tentang prosedur tindakan pembedahan
3. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d prosedur invasive pengangkatan katarak
4. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan b.d tidak mengenal sumber
informasi, salah intrepetasi, kurangnya mengingat, keterbatasan kognitif

N Diagnosa Keperawatan NIC NOC Rasional


o
1 Gangguan peersepsi  Mandir Meningkatkan ketajaman  Mandiri
sensori-perseptual i penglihatan dalam batas
penglihatan b.d gangguan situasi individu, mengenal - Kebutuhan
penerimaan sensori/status - Tentukan gangguan sensori dan tiap individu dan
organ indera, lingkungna ketajaman berkompensasi terhadap pilihan intervensi
secara terapetik dibatasi. penglihatan, perubahan. bervariasi sebab
Ditandai dengan : catat apakah Kriteria Hasil : kehilangan
satu atau dua - Mengenal gangguan penglihatan terjadi
 menurunnyaketaja mata terlibat sensori dan berkompensasi lambat dan
man penglihatan - terhadap perubahan. progresif
 perubahan respon Orientasika - - Memberikan
biasanya terhadap n klien Mengidentifikasi/me peningkatan
rangsang. tehadap mperbaiki potensial bahaya kenyamanan dan
lingkungan dalam lingkungan. kekeluargaan,
- Observasi menuruknkan
tanda-tanda cemas dan
disorientasi. disorientasi pasca
- Pendekatan operasi
dari sisi yang - Terbangun
tak dioperasi, dalam lingkungan
bicara dengan yang tidak di kenal
menyentuh. dan mengalami
- Ingatkan keterbatasan
klien penglihatan dapat
menggunakan mengakibatkan
kacamata kebingungan
katarak yang terhadaap orang
tujuannya tua .
memperbesar - Memberikan
kurang lebih rangsang sensori
25 persen, tepat terhadap
pelihatan isolasi dan
perifer hilang menurunkan
dan buta titik bingung
mungkin ada. - Perubahan
- Letakkan ketajaman dan
barang yang kedalaman persepsi
dibutuhkan/po dapat menyebabkan
sisi bel bingung
pemanggil penglihatan dan
dalam meningkatkan
jangkauan/pos resiko cedera
isi yang tidak sampai pasien
dioperasi. belajar untuk
mengkompensa si.
3 Kecemasan b.d kurang  Mandir a. Pasien mengungkapkan  Mandiri
terpapar terhadap i dan mendiskusikan rasa
informasi tentang cemas/takutnya. - Derajat
prosedur tindakan - Kaji b. Pasien tampak rileks tidak kecemasan akan
pembedahan tingkat tegang dan melaporkan dipengaruhi
kecemasan kecemasannya berkurang bagaimana
pasien dan sampai pada tingkat dapat informasi tersebut
catat adanya diatasi. diterima oleh
tanda- tanda c. Pasien dapat individu.
verbal dan mengungkapkan keakuratan mengungkapkan
nonverbal. pengetahuan tentang rasa takut secara
- Beri pembedahan terbuka dimana
kesempatan - rasa takut dapat
Pasien untuk ditujukan.
mengungkapk - Mengetahui
an isi pikiran respon fisiologis
dan perasaan yang ditimbulkan
takutnya. akibat kecemasan.
-
Observa  Edukasi
si tanda vital
dan - Meningkatkan
peningkatan pengetahuan pasien
respon fisik dalam rangka
pasien mengurangi
kecemasan dan
kooperatif.
 Edukas -
i Mengurangikece
masan dan
- Beri meningkatkan
penjelasan pengetahuan
pasien tentang - Mengurangi
prosedur perasaan takut dan
tindakan cemas
operasi, -
harapan dan
akibatnya.
- Beri
penjelasan dan
suport pada
pasien pada
setiap
melakukan
prosedur
tindakan
- Lakukan
orientasi dan
perkenalan
pasien
terhadap
ruangan,
petugas, dan
peralatan yang
akan
digunakan

DAFTAR PUSTAKA

1. Khurna A.K. 2007. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology, fourth


edition, chapter 20, new delhi, new age limited publisher : 443-446.
2. Marylin E. Doenges. 2008. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
3. Ilyas, Sidarta. 2004. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. Nico A. Lumenta. 2008. Manajemen Hidup Sehat. Jakarta: Elek Media Komputindo
5. Fadhlur Rahman. 2009. Laporan Kasus Katarak Matur Pada Penderita Diabetes Mellitus.
6. Nova Faradilla. 2009. Glaukoma dan Katarak Senilis. Riau: Fakultas Kedokteran University of
Riau
7. Majalah Farmacia Edisi April 2008 , Halaman: 66 (Vol.7 No.9)
8. Sidarta, Ilyas. 2002. Ilmu Penyakit Mata Edisi ke-2. Jakarta: CV. Sagung Seto
9. Sidarta, Ilyas. Ihtisar ilmu Penyakit Mata. 2009. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI
10. 10. Hartono. Oftalmoskopi dasar & Klinis. 2007. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press
11. 11. Sidarta, Ilyas. Dasar-dasar Pemeriksaan dalam Ilmu Penyakit Mata Edisi ke-3. 2009.
Jakarta: Balai Pustaka FKUI
12. 12. Benjamin J. Phil. 2010. Acute Endhoptalmitis after Cataract Surgery : 250 Consecutive
Cases treated at the tertiary referral center in Netherland . American Journal of
ophthalmology. Volume 149 No.3

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP)


RETINOBLASTOMA
BAB 1
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Retinoblastoma adalah salah satu penyakit kanker primer pada mata yang paling sering dijumpai
pada bayi dan anak. Penyakit ini tidak hanya dapat mengakibatkan kebutaan, melainkan juga
kematian. Di negara berkembang, upaya pencegahan dan deteksi dini belum banyak dilakukan oleh
para orang tua. Salah satu sebabnya adalah pengetahuan yang masih minim mengenai penyakit
kanker tersebut.
Dalam penelitian menyebutkan bahwa 5-10% anak usia prasekolah dan 10% anak usia sekolah
memiliki masalah penglihatan. Namun seringkali anak-anak sulit menceritakan masalah penglihatan
yang mereka alami. Karena itu, skrining mata pada anak sangat diperlukan untuk mendeteksi
masalah penglihatan sedini mungkin. Skrining dan pemeriksaan mata anak sebaiknya dilakukan pada
saat baru lahir, usia 6 bulan, usia 3-4 tahun, dan dilanjutkan pemeriksaan rutin pada usia 5 tahun ke
atas. Setidaknya anak diperiksakan ke dokter mata setiap 2 tahun dan harus lebih sering apabila
telah ditemukan masalah spesifik atau terdapat faktor risiko.
Untuk itu kami menyusun makalah ini dengan tujuan berbagi pengetahuan tentang penyakit retina
blastoma ke masyarakat luas yang mana di negara Indonesia masih kurang di perhatikan. Dan kami
sebagai perawat perlu memahami dan mengetahui mengenai asuhan keperawatan terhadap pasien
dengan retino blastoma.

1. Rumusan Masalalah
1. Bagaimanakah konsep teori retino blastoma?
1. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan retinoblastoma?
2. Tujuan

Tujuan Umum:
Mengetahui secara umum mengenai penyakit retini blastoma serta asuhan keperawatan yang
tepat terhadap penyakit retino blastoma tersebut.
Tujuan khusus :

1. Mengetahui Pengertian dari penyakit retino blastoma.


2. Mengetahui etiologi dari penyakit retino blastoma.
3. Mengetahui manifestasi klinis dari penyakit retina blastoma.
4. Mengetahui patofisiologi dari penyakit retino blastoma.
5. Mengetahui penatalaksanaan terhadap pasien retino blastoma.
6. Mengetahui asuhan keperawatan yang tepat pada pasien retino blastoma
7. Mengetahui Web Of Caution (WOC) dari penyakit Retinoblastoma
8. Manfaat

Kita yang nantinya sebagai tenaga kesehatan dapat mengetahui dan faham akan asuhan
keperawatan yang tepat untuk pasien retina blastoma,sehinggga didunia rumah sakit nanti dapat
menerapkan asuhan keperawatan ke pasien retino blastoma dengan tepat.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Retinoblastoma adalah tumor endo-okular pada anak yang mengenai saraf embrionik retina. Kasus ini
jarang terjadi, sehingga sulit untuk dideteksi secara awal. Rata rata usia klien saat diagnosis adalah
24 bulan pada kasus unilateral, 13 bulan pada kasus kasus bilateral. Beberapa kasus bilateral tampak
sebagai kasus unilateral, dan tumor pada bagian mata yang lain terdeteksi pada saat pemeriksaan
evaluasi. ini menunjukkan pentingnya untuk memeriksa klien dengan dengan anestesi pada anak
anak dengan retinoblastoma unilateral, khususnya pada usia dibawah 1 tahun. (Pudjo Hagung
Sutaryo, 2006 ).

2.2 Etiologi
Retinoblastoma terjadi secara familiar atau sporadik. Namun dapat juga diklasifikasikan menjadi dua
subkelompok yag berbeda, yaitu bilateral atau unilateral dan diturunkan atau tidak diturunkan. Kasus
yang tidak diturunkan selalu unilateral, sedangkan 90 % kasus yang diturunkan adalah bilateral, dan
unilateral sebanyak 10%. Gen retinoblastoma (RBI) diisolasi dari kromosom 13q14, yang berperan
sebagai pengatur pertumbuhan sel pada sel normal. Penyebabnya adalah tidak
terdapatnya gen penekan tumor, yang sifatnya cenderung diturunkan. Kanker bisa menyerang salah
satu mata yang bersifat somatic maupun kedua mata yang merupakan kelainan yang diturunkan
secara autosom dominant. Kanker bisa menyebar ke kantung mata dan ke otak (melalu saraf
penglihatan/nervus optikus).

2.3 Manifestasi klinis


Gejala retinoblastoma dapat menyerupai penyakit lain dimata. Bila letak tumor dimakula, dapat
terlihat gejala awal strabismus. Massa tumor yang semakin membesar akan memperlihatkan gejala
leukokoria, tanda-tanda peradangan di vitreus (Vitreous seeding) yang menyerupai endoftalmitis. Bila
sel-sel tumor terlepas dan masuk ke segmen anterior mata , akan menyebabkan glaucoma atau
tanda-tanda peradangan berupa hipopion atau hifema. Pertumbuhan tumor ini dapat menyebabkan
metastasis dengan invasi tumor melalui nervus optikus ke otak, melalui sclera ke jaringan orbita dan
sinus paranasal, dan metastasis jauh ke sumsum tulang melalui pembuluh darah. Pada fundus terlihat
bercak kuning mengkilat, dapat menonjol kebadan kaca. Di permukaan terdapat neovaskularisasi dan
perdarahan. Warna iris tidak normal. Penyebaran secara limfogen, ke kelenjar limfe preaurikular dan
submandibula dan, hematogen, ke sumsum tulang dan visera, terutama hati.
Kanker retina ini pemicunya adalag faktor genetik atau pengaruh lingkungan dan infeksi virus. Gejala
yang ditimbulkan retinoblastoma adalah timbulnya bercak putih di bagian tengah mata atau retina,
membuat mata seolah-olah bersinar bila terkena cahaya. Kemudian kelopak mata menurun dan pupil
melebar, penglihatan terganggu atau mata kelihatan juling. Tapi apabila stadium berlanjut mata
tampak menonjol. Jadi apabila terihat tanda-tanda berupa mata merah, berair, bengkak, walaupun
sudah diberikan obat mata dan pada kondisi gelap terlihat seolah bersinar seperti kucing jadi anak
tersebut bisa terindikasi penyakit retinoblastoma.

2.4 Patofisiologi
Jika letak tumor di macula, dapat terlihat gejala awal strabismus. Massa tumor yang
semakin membesar akan memperlihatkan gejala leukokoria, tanda-tanda peradangan vitreus yang
menyerupai endoftalmitis. Jika sel-sel tumor terlepas dan masuk ke segmen anterior mata, akan
menyebabkan glaucoma atau tanda peradangan berupa hipopion atau hifema. Pertumbuhan tumor
ini dapat menyebabkan metastasis dengan invasi tumor melalui; nervus optikus ke otak, sclera ke
jaringan orbita dan sinus paranasal, dan metastasis jauh kesumsum tulang melalui pembuluh darah.
Pada fundus terlihat bercak kuning mengkilat, dapat menonjol ke badan kaca. Dipermukaan terdapat
neovaskularisasi dan perdarahan. Warna iris tidak normal. Penyebaran secara limfogen, ke kelenjar
limfe preaurikuler dan submandibula serta secara hematogen ke sumsum tulang dan visera , terutati.
2.5 Klasifikasi Stadium
Menurut Reese-Ellsworth, retino balastoma digolongkan menjadi
1. Golongan I
a. Tumor soliter/multiple kurang dari 4 diameter pupil.
b. Tumor multiple tidak lebih dari 4dd,dan terdapat pada atau dibelakang ekuator
2. Golongan II
a. Tumor solid dengan diameter 4-10 dd pada atau belakang ekuator
b. Tumor multiple dengan diameter 4-10 dd pada atau belakang ekuator
3. Golongan III
a. Beberapa lesi di depan ekuator
b. Tumor ada didepan ekuator atau tumor soliter berukuran >10 diameter papil
4. Golongan IV
a. Tumor multiple sebagian besar > 10 dd
b. Beberapa lesi menyebar ke anterior ke ora serrata
5. Golongan V
a. Tumor masif mengenai lebih dari setengah retina
b. Penyebaran ke vitreous

Tumor menjadi lebih besar, bola mata memebesar menyebabakan eksoftalmus kemudian dapt pecah
kedepan sampai keluar dari rongga orbita disertai nekrose diatasnya.
Menurut Grabowski dan Abrahamson, membagi penderajatan berdasarkan tempat utama dimana
retinoblastoma menyebar sebagai berikut :
1. Derajat I intraokular
a. tumor retina.
b. penyebaran ke lamina fibrosa.
c. penyebaran ke ueva.
2. Derajat II orbita
a. Tumor orbita : sel sel episklera yang tersebar, tumor terbukti dengan biopsi.
b. Nervous optikus.
2.6 Penatalaksanaan
Dua aspek pengobatan retinoblastoma harus diperhatikan, pertama adalah pengobatan local untuk
jenis intraocular, dan kedua adalah pengobatan sistemik untuk jenis ekstrokular, regional, dan
metastatic.
Hanya 17% pasien dengan retinoblastoma bilateral kedua matanya masih terlindungi. Gambaran
seperti ini lebih banyak pada keluarga yang memiliki riwayat keluarga, karena diagnosis biasanya
lebih awal. Sementara 13% pasien dengan retinoblastoma bilateral kedua matanya terambil atau
keluar karena penyakit intraocular yang sudah lanjut, baik pada waktu masuk atau setelah gagal
pengobatan local.

Jenis terapi

1. Pembedahan

Enukleasi adalah terapi yang paling sederhana dan aman untuk retinoblastoma. Pemasangan bola
mata palsu dilakukan beberapa minggu setelha prosedur ini, untuk meminimalkan efek kosmetik.
Bagaimanapun, apabila enukleasi dilakukan pada dua tahun pertama kehidupan, asimetri wajah akan
terjadi karena hambatan pertumbuhan orbita. Bagaimanapun, jika mata kontralateral juga terlibat
cukup parah, pendekatan konservatif mungkin bisa diambil.
Enukleasi dianjurkan apabila terjadi glaukoma, invasi ke rongga naterior, atau terjadi rubeosis iridis,
dan apabila terapi local tidak dapat dievaluasi karena katarak atau gagal untuk mengikuti pasien
secara lengkap atau teratur. Enuklasi dapat ditunda atau ditangguhkan pada saat diagnosis tumor
sudah menyebar ke ekstraokular. Massa orbita harus dihindari. Pembedahan intraocular seperti
vitrektomi, adalah kontraindikasi pada pasien retinoblastoma, karena akan menaikkan relaps orbita.

1. External beam radiotherapy (EBRT)

Retinoblastroma merupakan tumor yang radiosensitif dan radioterapi merupakan terapi efektif lokal
untuk khasus ini. EBRT mengunakan eksalator linjar dengan dosis 40-45 Gy dengan pemecahan
konvensional yang meliputi seluruh retina. Pada bayi mudah harus dibawah anestesi dan imobilisasi
selama prosedur ini, dan harus ada kerjasama yang erat antara dokter ahli mata dan dokter
radioterapi untuk memubuat perencanan. Keberhasilan EBRT tidak hanya ukuran tumor, tetapi
tergantung teknik dan lokasi. Gambaran regresi setelah radiasi akan terlihat dengan fotokoagulasi.
Efek samping jangka panjang dari radioterapi harus diperhatikan. Seperti enuklease, dapat terjadi
komplikasi hambatan pertumbuhantulang orbita, yang akhirnya akan meyebabkan ganguan kosmetik.
Hal yang lebih penting adalah terjadi malignasi skunder.

1. Radioterapi plaque

Radioaktif episkeral plaque menggunakan 60 Co, 106 Ro, 125 I sekarang makin sering digunakan
untuk mengobati retinoblastoma. Cara itu biasanya digunakan untuk tumoryang ukurannya kecil
sa,pai sedang yang tidak setuju dengan kryo atau fotokoagulasi, pada kasus yang residif setelah
EBRT, tetapi akhir-akhir ini juga digunakan pada terapi awal, khusunya setelah kemoterapi. Belum
ada bukti bahwa cara ini menimbulkan malignansi sekunder.

1. Kryo atau fotokoagulasi

Cara ini digunakan untuk mengobati tumor kecil (kurang dari 5 mm) dan dapat diambil. Cara ini
sudah secara luas digunakan dan dapat diulang beberapa kali sampai kontrol lokal terapi. Kryoterapi
biasanya ditujukan unntuk tumorbagian depan dan dilakukan dengan petanda kecil yang diletakkan di
konjungtiva. Sementara fotokoagulasi secara umum digunakan untuk tumor bagian belakang baik
menggunakan laser argon atau xenon. Fotokoagulasi tidak boleh diberikan pada tumor dekat makula
atau diskus optikus, karena bisa meninggalkan jaringan parut yang nantinya akan menyebabkan
ambliopi. Kedua cara ini tidak akan atau sedikit menyebabkan komplikasi jangka panjang.

1. Modalitas yang lebih baru

Pada beberapa tahun terakhir,banyak kelompok yang menggunakan kemoterapi sebagai terapi awal
untuk kasus interaokular, dengan tujuan untuk mengurabgi ukuran tumor dan membuat tumor bisa
diterapi secara lokal. Kemoterapi sudah dibuktikan tidak berguna untuk kasus intraocular, tetapi
dengan menggunakan obat yang lebih baru dan lebih bisa penetrasi ke mata, obat ini muncul lagi.
Pendekatan ini digunakan pada kasus-kasus yang tidak dilakukan EBICT atau enukleasi, khususnya
kasus yang telah lanjut. Carboplatin baaik sendiri atau dikombinasi dengan vincristine dan VP16 atau
VM26 setelah digunakan. Sekarang kemoreduksi dilakukan sebagai terspi awal kasus retinoblastoma
bilateral dan mengancam fungsi mata.

1. Kemoterapi

Protocol adjuvant kemoterapi masih kontrovensial. Belum ada penelitian yang luas, prospektif dan
random. Sebagian besar penelitian didasarkan pada sejumlah kecil pasien dengan perbedaan resiko
relaps. Selain itu juga karena kurang diterimanya secra luas sistem stadium yang dibandingkan
dengan berbagai macam variasi. Sebagian besar penelitian didasarkan pada gambaran factor risiko
secara histopatologi.
Penentuan stadium secara histopatologi setelah enukleasi sangat penting untuk menentukan risiko
relaps. Banyak peneliti memberikan kemoterapi adjuvant untuk pasien-pasien retinoblastoma
intraokular dan memiliki faktor risiko potensial seperti nervus optikus yang pendek (< 5 mm), tumor
undifferentiated, atau invasi ke nervus optikus prelaminar. Kemoterapi ingtratekal dan radiasi
intracranial untuk mencegah penyebaran ke otak tidak dianjurkan.
Apabila penyakitnya sudah menyebar ke ekstraokuler, kemoterapi awal dianjurkan. Obat yang
digunakan adalah carboplatin, cis;platin, etoposid, teniposid, sikofosfamid, ifosfamid, vinkristin,
adriamisin, dan akhir-akhir ini adalah dikombinasi dengan idarubisin. Meskipun laporan terakhir
menemukan bahwa invasi keluar orbita dan limfonodi preauricular dihubungkan dengan keluaran
yang buruk, sebagian besar pasien ini akan mencapai harapan hidup yang panjang dengan
pendekatan kombinasi kemoterapi, pembedahan, dan radiasi. Meskipun remisi bisa dicapai oleh
pasien dengan metastasis, biasanya mempunyai kehidupan pendek. Hal ini biasanya dikaitkan dengan
ekspresi yang belebihan p 170 glikoprotein pada retinoblastoma, yang dihubungkan dengan multidrug
resistance terhadap kemoterapi.
DOWNLOAD : WOC ASKEP RETINOBLASTOMA
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
RETINO BLASTOMA
Kasus Retino Blastoma Pada Anak
Anak T umur 3 tahun di diagnosa retino blastoma pada mata kanannya setahun yang lalu.
Lima bulan yang lalu, mata kanan anak T di lakukan oprasi pengangkatan tumor . Saat ini anak T
masuk rumah sakit karena di mata kirinya terdapat bercak putih di mata tengahnya.
Matanya menonjol terdapat stabismus. Anak T mata kirinya visusnya 1/60 dan dari hasil
pemriksaan patologi anatomi d temukan metastase ke otak dan mata kiri. Dari keterangan keluarga,
ternyata nenek pasien pernah menderita kanker servix.
3.1 Pengkajian
Anamnesa:
1. Identitas pasien
a. Nama : T
b. Usia : 3 Tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
2. Keluhan Utama :
Keluhan utama yang di rasakan pasien adanya penurunan fungsi penglihatan
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Satu tahun yang lalu pasien mengalami retino blastoma di mata sebelah kanan.
Kemudian dilakukan tindakan operasi pengangkatan mata. Saat ini di mata kiri pasien terdapat retino
blastoma. Terdapat bintik putih pada mata tepatnya pada retina, terjadi penonjolan,dan terdapat
stabismus.
4. Riwayat penyakit keluarga
Dari keterangan keluarga di temukan data bahwa nenek dari pasien pernah menderita
kanker servix.
5. Riwayat penyakit masa lalu

Pemeriksaan Fisik

 § B1 : Breathing (Respiratory System)

Normal

 § B2 : Blood (Cardiovascular system)

Normal

 B3 : Brain (Nervous system)nyeri kepala, visus 1/60, strabismus, bola mata


menonjol
 § B4 : Bladder (Genitourinary system)

Normal

 § B5 : Bowel (Gastrointestinal System)

Normal

 § B6 : Bone (Bone-Muscle-Integument)

Gejala : kelelahan, malaise, kelemahan, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas.

 § Biopsikososial spiritual

Gejala : Perasaan tidak percaya diri ,berbeda dengan teman sebayanya.


Tanda : murung, ansietas, takut, marah, mudah tersinggung
3.2 Analisis Data
No Data Etiologi Masalah
1. Data Subjektif : Gangguan penerimaan sensori Gangguan persepsi
pada lapisan fotoreseptor sensori penglihatan
 Pasien mengeluh buram saat ↓
melihat sesuatu. Ketajaman penglihatan
menurun
Data objektif :

 Visus mata kiri 1/60

2. Data subjektif: Keterbatasan lapang pandang Resiko cedera (trauma)



 Klien mengeluh pandanganya Resiko tinggi cedera
kabur

Data objektif :

 Tajam penglihatan menurun

3. Data subjektif : Retinoblastoma Nyeri Kronis



 Mengeluh nyeri di bagian
mata kiri Metastase lewat aliran darah
 Keluhan nyeri saat ↓
menggerakan mata Ke otak

Data objektif :

 Ekspresi meringis
 Sering menangis
 Bola mata menonjuol

4. Data subjektif : Perubahan penampilan setelah Gangguan citra diri


operasi
 Klien mengeluh malu ↓
 Klien mengeluh takut Malu

Data objektif :
Gangguan citra diri

 Rasa percaya diri berkurang


 Menutup diri
5. Data objektif : Pembatasan aktivitas Risiko keterlambatan
↓ perkembangan
 Kurang percaya diri Fungsi motorik terganggu
 Suka menyendiri ↓
Kurang percaya diri

Risiko keterlambatan
perkembangan

3.3 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan persepsi sensorik penglihatan berhubungan dengan gangguan penerimaan sensori


dari mata
2. Resiko tinggi cidera, berhubungan dengan keterbatasan lapang pandang
3. Nyeri berhubungan dengan metastase ke otak, penekanan tumor ke arah otak.
4. d. Gangguan citra diri berhubungan dengan perubahan penampilan pasca operasi
5. Risiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan pembatasan aktivitas.

3.4 Intervensi Keperawatan


No Diagnosa Goal Statement (NOC) Intervensi (NIC) Rasional
Keperawatan
1. Gangguan  Mempertahankan lapang
persepsi ketajaman penglihatan tanpa
sensori kehilangan lebih lanjut.  Orientasikan pasien terhadap  Dengan

penglihatan  Tentukan ketajaman lingkungan, staf, orang lain di mengeta

penglihatan, catat apakah satu areanya. ekspresi

atau kedua mata terlibat.  Letakkan barang yang pasien


dibutuhkan/posisi bel pemanggil memperm
dalam jangkauan. tindakan
 Dorong klien untuk keperawa
mengekspresikan perasaan selanjutn
tentang kehilangan/kemungkinan
kehilangan penglihatan.
 Lakukan tindakan untuk
membantu pasien untuk
menangani keterbatasan
penglihatan, contoh, atur
perabot/mainan, perbaiki sinar
suram dan masalah penglihatan
malam
o Ketajaman penglihatan
dapat digunakan untuk
mengetahui gangguan
penglihatan yang terjadi
o Orientasi akan
mempercepat penyesuaian
diri pasien di lingkungan
baru
o Mempermudah
pengambilan barang jika
dibutuhkan

2. Nyeri akut  Rasa nyeri yang ri rasakan


pasien berkurang / hilang
o Tentukan riwayat  Berikan tindakan kenyamanan

nyeri, misalnya lokasi dasar (misalnya: reposisi) dan  Persetuju

nyeri, frekuensi, aktifitas hiburan (misalnya: mudik, dan kelu

durasi, dan intensitas telefisi). memperm

(skala 0 – 10) dan  Bicarakan dengan individu dan pelaksan

tindakan penghilangan keluarga penggunaan terapi terapi

yang digunakan distraksi, serta metode pereda


nyeri lainnya.
 Ajarkan tindakan pereda nyeri Untuk selanjutn

 Beri individu pereda rasa sakit dapat melakukan


yang optimal dengan analgesik pereda nyeri

 Dengan mengetahui skala nyeri mandiri


penderita maka dapat ditentukan

tindakan yang sesuai untuk
menghilangkan rasa nyeri tersebut
 Tindakan kenyamanan dasar dapat
menurunkan rasa nyeri

3 Cemas  Kecemasan dapat segera


berhubungan teratasi.
dengan  Kaji tingkat ansietas, derajat
penyakit yang pengalaman nyeri/timbulnya
diderita klien. gejala tiba – tiba dan
pengetahuan kondisi saat ini.
 Berikan informasi yang akurat
dan jujur. Diskusikan dengan
keluarga bahwa pengawasan
dan pengobatan dapat
mencegah kehilangan
penglihatan tambahan.
 Dorong pasien untuk
mengakui masalah dan
mengekspresikan perasaan.
 Identifikasi sumber/orang
yang menolong.
 Untuk mempermudah rencana
tindakan keperawatan yang
akan diberikan selanjutnya
 Kolaborasi dengan keluarga
pasien akan mempercepat
proses penyembuhan.

4 Resiko cidera  Resiko cedera berkurang.


trauma.  Orientasikan pasien klien
terhadap lingkungan, staf, dan
orang lain yang ada di  Dukunga

areanya. keluarga

 Anjurkan keluarga dalam

memberikan mainan yang penyemb

aman (tidak pecah), dan pasien

pertahankan pagar tempat


tidur.
 Arahkan semua alat mainan
yang dibutuhkan klien pada
tempat sentral pandangan
klien dan mudah untuk
 Memperm
dijangkau.
pengamb
 Orientasi akan mempercepat
mainan
penyesuaian diri pasien di
lingkungan baru

5 Risiko  Proses perkembangan klien


keterlambatan berjalan dengan normal.
perkembangan  Berikan kesempatan anak
mengambil keputusan dan
melibatkan orang tua dalam
perencanaan kegiatan.
o Melibatkan orang tua  Orang

berperan aktif dalam berperan

perawatan anak dalam

o Lakukan pendekatan kembang

melalui metode  Cara pali

permainan. dan efe

o Buat jadwal untuk anak-ana

prosedur terapi dan


latihan.

o Upaya meningkatkan
pola pikir klien

BAB 4
PENUTUP

Kesimpulan
Retinoblastoma adalah suatu neoplasma yang berasal dari neuroretina (sel kerucut sel batang) atau
sel glia yang bersifat ganas. Merupakan tumor ganas intraokuler yang ditemukan pada anak-anak,
terutama pada usia dibawah lima tahun. Tumor berasal dari jaringan retina embrional. Dapat terjadi
unilateral (70%) dan bilateral (30%). Sebagian besar kasus bilateral bersifat herediter yang
diwariskan melalui kromosom.
Pasien dengan retinoblastoma harus diberikan perawatan secara intensif dan perlunya
pengetahuan dari pihak keluarga agar penyakit tersebut tidak mengalami komplikasi. Dan kita
sebagai perawat harus mampu memberikan edukasi tentang gejala dini retinoblastoma agar dapat
segera diobati.

Daftar Pustaka

(Anonim Oktober 2010,09:00)


(Anonim) retinoblastoma.com/retinoblastoma/frameset1.htm
(07 Oktobebr 2010,10:00)
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta: EGC.
Voughan, Dale. 2000. Oftalmologi umum. Jakarta :widya medika.
Permono, Bambang, dkk. 2006. Buku ajar hematologi-onkologi anak. Jakarta:Badan Penerbit IDAI.
ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) OMA DAN OMK
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otitis media juga merupakan salah satu penyakit langganan anak. Prevalensi terjadinya otitis media
di seluruh dunia untuk usia 10 tahun sekitar 62 % sedangkan anak-anak berusia 3 tahun sekitar
83 %. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75 % anak mengalami minimal 1 episode otitis media sebelum
usia 3 tahun dan hampir setengah dari mereka mengalaminya 3 kali atau lebih. Di Inggris, setidaknya
25 % anak mengalami minimal 1 episode sebelum usia 10 tahun ( Abidin, 2009. Di negara tersebut
otitis media paling sering terjadi pada usia 3-6 tahun
Mengingat masih tingginya angka otitis media pada anak-anak, maka diagnosis dini yang tepat dan
pengobatan secara tuntas mutlak diperlukan guna mengurangi angka kejadian komplikasi dan
perkembangan penyakit menjadi otitis media kronis.
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud dengan OMA dan OMK?
2) Bagaimana Etiologi pada OMA dan OMK ?
3) Bagaimana patofisiologi pada OMA dan OMK ?
4) Bagaimana manifestasi klinis pada OMA dan OMK ?
5) Bagaimana pemeriksaan diagnostik dan penatalaksanaan pada OMA dan OMK ?
6) Bagaimana komplikasi dan prognosis pada OMA dan OMK ?
7) Bagaimana asuhan keperawatan pada OMA dan OMK ?

1.1.Tujuan
Tujuan Umum : Menjelaskan asuhan keperawatan dengan klien OMA dan OMK
Tujuan khusus : Menjelaskan Konsep dasar dari penyakit OMA dan OMK

1. Menjelaskan definisi dari penyakit OMA dan OMK


2. Menjelaskan etiologi dari penyakit OMA dan OMK
3. Menjelaskan patofisiologi OMA dan OMK
4. Menjelaskan manifestasi klinis OMA dan OMK
5. Menjelaskan pemeriksaan diagnostik dan penatalaksanaan pada OMA dan OMK
6. Menjelaskan komplikasi dan prognosis pada OMA dan OMK

1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diambil sebagai berikut :
1. Mengetahui Penatalaksaan pada klien Otitis Media Akut dan Otitis Media Kronis
2. Mengetahui asuhan keperawatan pada klien Otitis Media Akut dan Otitis Media Kronis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Otitis adalah radang telinga, yang ditandai dengan nyeri, demam, hilangnya pendengaran, tinitus
dan vertigo.
Otitis berarti peradangan dari telinga, dan media berarti tengah. Jadi otitis media berarti peradangan
dari telinga tengah.
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustacheus,
antrum mastoid, dan sel-sel mastoid/( soepardi, iskandar ,1990)
Otitis media adalah infeksi atau inflamasi pada telinga tengah (mediastore,2009 )
2.1.1 Otitis Media Akut
Otitis media akut adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah dan
terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu (Kapita selekta kedokteran, 1999).
Otiitis media akut adalah proses infeksi yang ditentukan oleh adanya cairan di telinga atau gangguan
dengar, serta gejala penyerta lainnay tergantung berat ringannya penyakit, antara lain : demam,
iritabilitas, letargi, anoreksia, vomiting, bulging hingga perforasi membrana tympani yang dapat
diikuti dengan drainase purulen.
Otitis media akut bisa terjadi pada semua usia, tetapi paling sering ditemukan pada anak-anak
terutama 3 bulan-3 tahun.
Otitis media akut adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri pada ruang udara pada tulang temporal
(CMDT, edisi 3 , 2004 )
Otitis media akut adalah dari yang timbulnya cepat dan berdurasi pendek, otitis media akut biasanya
berhubungan dengan akumulasi cairan di telinga tengah bersama dengan tanda-tanda atau gejala-
gejala dari infeksi telinga, gendang telinga, yang menonjol biasanya disertai nyeri, atau gendang
telinga yang berlubang, seringkali dengan aliran dengan materi yang bernanah. Demam dapat hadir.

2.1.2 Otitis Media Kronis


Otitis media kronis adalah infeksi menahun pada telinga tengah. Kondisi yang berhubungan dengan
patologi jaringan irreversible dan biasanya disebabkan oleh episode berulang otitis media akut yang
tak tertangani. Otitis media adalah Proses peradangan di telinga tengah dan mastoid yang
menetap > 12 minggu.
Otitis media kronik adalah perforasi pada gendang telinga ( warmasif, 2009)
Otitis media kronis adalah peradangan teliga tengah yang gigih, secara khas untuk sedikitnya satu
bulan.Orang awam biasanya menyebut congek (Alfatih, 2007)
OMK dibagi dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu:
1. Tipe tubotimpani (tipe benigna/ tipe aman/ tipe mukosa)
Tipe ini ditandai adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala klinik yang bervariasi dari luas
dan keparahan penyakit. Proses peradangan pada OMK posisi ini terbatas pada mukosa saja,
biasanya tidak mengenai tulang, umumnya jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya dan tidak
terdapat kolesteatom. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba
eustachius, infeksi saluran nafas atas, kegagalan pertahanan mukosa terhadap infeksi pada penderita
dengan daya tahan tubuh yang rendah, campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat
perubahan mukosa serta migrasi sekunder dari epitel squamosa. Sekret mukoid berhubungan dengan
hiperplasi sel goblet, metaplasi dari mukosa telinga tengah
OMK tipe benigna berdasarkan aktivitas sekret yang keluar dikenal 2 jenis,yaitu

 OMK aktif ialah OMK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif
 OMK tenang apabila keadaan kavum timpani terlihat basah atau kering.

2. Tipe Atikoantral (tipe malignan/ tipe bahaya)


Tipe ini ditandai dengan perforasi tipe marginal atau tipe atik, disertai dengan kolesteatom dan
sebagian besar komplikasi yang berbahaya dan fatal timbul pada OMK tipe ini.
Kolesteatom adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). Deskuamasi
terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatom bertambah besar. Banyak teori mengenai
patogenesis terbentuknya kolesteatom diantaranya adalah teori invaginasi, teori migrasi, teori
metaplasi, dan teori implantasi. Kolesteatom merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman
(infeksi), terutama Proteus dan Pseudomonas aeruginosa. Infeksi akan memicu proses peradangan
lokal dan pelepasan mediator inflamasi yang dapat menstimulasi sel-sel keratinosit matriks
kolesteatom bersifat hiperproliferatif, destruksi, dan mampu berangiogenesis. Massa kolesteatom ini
dapat menekan dan mendesak organ disekitarnya sehingga dapat terjadi destruksi tulang yang
diperhebat oleh pembentukan asam dari proses pembusukan bakteri. Proses nekrosis tulang ini
mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirinitis, meningitis dan abses otak.
Kolesteatom dapat diklasifikasikan atas dua jenis:
a. Kolesteatom kongenital.
Kriteria untuk mendiagnosa kolesteatom kongenital menurut Derlaki dan Clemis (1965) adalah :
1. Berkembang dibelakang membran timpani yang masih utuh.
2. Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya.
3. Pada mulanya dari jaringan embrional dari epitel skuamous atau dari epitel undiferential yang
berubah menjadi epitel skuamous selama perkembangan.
Kongenital kolesteatom lebih sering ditemukan pada telinga tengah atau tulang temporal, umumnya
pada apeks petrosa. Kolesteatom ini dapat menyebabkan parese nervus fasialis, tuli saraf berat
unilateral, dan gangguan keseimbangan.1,2
b. Kolesteatom akuisital atau didapat

 Primary acquired cholesteatoma.

Kolesteatom yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membran timpani. Kolesteatom timbul
akibat proses invaginasi dari membran timpani pars flaksida akibat adanya tekanan negatif pada
telinga tengah karena adanya gangguan tuba (teori invaginasi). Kolesteatom yang terjadi pada
daerah atik atau pars flasida1,2
 Secondary acquired cholesteatoma.

Terbentuk setelah perforasi membran timpani. Kolesteatom terjadi akibat masuknya epitel kulit dari
liang telinga atau dari pinggir perforasi membran timpani ke telinga tengah (teori migrasi) atau terjadi
akibat metaplasi mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang berkangsung lama (teori
metaplasi).
Bentuk perforasi membran timpani adalah :
1. Perforasi sentral
Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan postero-superior, kadang-kadang
sub total. Pada seluruh tepi perforasi masih ada terdapat sisa membran timpani.
2. Perforasi marginal
Terdapat pada pinggir membran timpani dan adanya erosi dari anulus fibrosus. Perforasi marginal
yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi total. Perforasi pada pinggir postero-superior
berhubungan dengan kolesteatom.
3. Perforasi atik
Terjadi pada pars flaksida, berhubungan dengan primary acquired cholesteatoma.
2.2 Etiologi
2.2.1 Otitis Media Akut
Biasanya penyakit ini merupakan komplikasi dari infeksi saluran pernafasan atas (common cold).
Penyebab otitis media akut (OMA) dapat berupa virus maupun bakteri.
Virus atau bakteri dari tenggorokan bisa sampai ke telinga tengah melalui tuba eustakius atau kadang
juga melalui aliran darah. Otitis media akut juga bisa terjadi karena adanya penyumbatan pada sinus
atau tuba eustakius akibat alergi atau pembengkakan amandel.
Penyebab utama otitis media akut adalah masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga tengah yang
normalnya adalah steril. Paling sering terjadi bila terdapat disfungsi tuba eustachii seperti obstruksi
yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, inflamasi jaringan disekitarnya (sinusitis,
hipertrofi adenoid) atau reaksi alergik ( rhinitis alergika). Bakteri yang umum ditemukan sebagai
organisme penyebab adalah Streptococcus peneumoniae, Hemophylus influenzae, Streptococcus
pyogenes, dan Moraxella catarrhalis.
2.2.2 Otitis Media Kronis
Otitis media kronis terjadi akibat adanya lubang pada gendang telinga (perforasi) (Mediastore,2009).
Perforasi gendang telinga bisa disebabkan oleh: otitis media akut penyumbatan tuba eustakius cedera
akibat masuknya suatu benda ke dalam telinga atau akibat perubahan tekanan udara yang terjadi
secara tiba-tiba luka bakar karena panas atau zat kimia. Bisa juga disebabkan karena bakteri, antara
lain:

 Streptococcus.
 Stapilococcus.
 Diplococcus pneumonie.
 Hemopilus influens.
 Gram Positif : S. Pyogenes, S. Albus.
 Gram Negatif : Proteus spp, Psedomonas spp, E. Coli.
 Kuman anaerob : Alergi, diabetes melitus, TBC paru.

Penyebab OMK antara lain:


1. Lingkungan
Hubungan penderita OMK dan faktor sosioekonomi belum jelas, tetapi kelompok sosioekonomi
rendah memiliki insiden OMK yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan
dengan kesehatan secara umum, diet, dan tempat tinggal yang padat.
2. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMK berhubungan
dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih
kecil pada penderita otitis media, tapi belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.
3. Riwayat otitis media sebelumnya
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media akut dan/ atau
otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan satu telinga dan bukan
yang lainnya berkembang menjadi keadaan kronis
4. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir tidak bervariasi pada otitis
media kronik yang aktif. Keadaan ini menunjukkan bahwa metode kultur yang digunakan adalah
tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah bakteri Gram (-), flora tipe usus, dan beberapa
organisme lainnya.
5. Infeksi saluran nafas atas
Banyak penderita mengeluh keluarnya sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas.
Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya daya tahan
tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga tengah, sehingga memudahkan
pertumbuhan bakteri.
6. Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap OMK.
7. Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang bukan alergi.
Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita yang alergi terhadap antibiotik tetes telinga
atau bakteri atau toksin-toksinnya, namun hal ini belum terbukti kemungkinannya.
8. Gangguan fungsi tuba eustachius
Pada otitis media kronis aktif tuba eustachius sering tersumbat oleh edema tetapi apakah hal ini
merupakan fenomena primer atau sekunder masih belum diketahui. Pada telinga yang inaktif
berbagai metode telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi tuba eustachius dan umumnya
menyatakan bahwa tuba tidak mungkin mengembalikan tekanan negatif menjadi normal.
Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani yang menetap pada OMK
adalah:
 Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan produksi sekret
telinga purulen berlanjut.
 Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan pada perforasi.
 Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui mekanisme migrasi
epitel.
 Pada pinggir perforasi dari epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan yang cepat diatas
sisi medial dari membran timpani. Proses ini juga mencegah penutupan spontan dari
perforasi.

2.3 Patofisiologi
2.3.1 Otitis Media Akut
Terjadi akibat terganggunya faktor pertahanan tubuh yang bertugas menjaga kesterilan telinga
tengah. Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan
atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat bakteri melalui saluran
Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di
sekitar saluran, tersumbatnya saluran menyebabkan transudasi, dan datangnya sel-sel darah putih
untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri
mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan
jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah
terkumpul di belakang gendang telinga.
Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena gendang telinga dan
tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak
dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan
halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45
desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa nyeri.Dan yang paling berat,
cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya.

2.3.2 Otitis Media Kronis


Patofisiologi OMK belum diketahui secara lengkap, tetapi dalam hal ini merupakan stadium
kronis dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang sudah terbentuk diikuti dengan keluarnya
sekret yang terus menerus. Terjadinya OMK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang. OMK
disebabkan oleh multifaktor antara lain infeksi virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi,
kekebalan tubuh, lingkungan, dan social ekonomi.
Fokus infeksi biasanya terjadi pada nasofaring (adenoiditis, tonsillitis, rhinitis, sinusitis),
mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Kadang-kadang infeksi berasal dari telinga luar
masuk ke telinga tengah melalui perforasi membran timpani, maka terjadi inflamasi. Bila terbentuk
pus akan terperangkap di dalam kantung mukosa di telinga tengah. Dengan pengobatan yang cepat
dan adekuat serta perbaikan fungsi telinga tengah, biasanya proses patologis akan berhenti dan
kelainan mukosa akan kembali normal. Walaupun kadang-kadang terbentuk jaringan granulasi atau
polip ataupun terbentuk kantong abses di dalam lipatan mukosa yang masing-masing harus dibuang,
tetapi dengan penatalaksanaan yang baik perubahan menetap pada mukosa telinga tengah jarang
terjadi. Mukosa telinga tengah mempunyai kemampuan besar untuk kembali normal. Bila terjadi
perforasi membrane timpani yang permanen, mukosa telinga tengah akan terpapar ke telinga luar
sehingga memungkinkan terjadinya infeksi berulang. Hanya pada beberapa kasus keadaan telinga
tengah tetap kering dan pasien tidak sadar akan penyakitnya. Berenang, kemasukan benda yang
tidak steril ke dalam liang telinga atau karena adanya focus infeksi pada saluran napas bagian atas
akan menyebabkan infeksi eksaserbasi akut yang ditandai dengan secret yang mukoid atau
mukopurulen.
2.4 Manifestasi Klinis
2.4.1 Otitis Media Akut
Gejala klinis otitis media akut (OMA) tergantung pada stadium penyakit dan umur pasien.
Stadium otitis media akut (OMA) berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah :

1. 1. Stadium oklusi tuba Eustachius

Terdapat gambaran retraksi membran timpani akibat tekanan negatif di dalam telinga tengah.
Kadang berwarna normal atau keruh pucat. Efusi tidak dapat dideteksi. Sukar dibedakan dengan otitis
media serosa akibat virus atau alergi.

1. 2. Stadium hiperemis (presupurasi)

Tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani tampak
hiperemis serta edema. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat serosa sehingga
sukar terlihat.

1. 3. Stadium supurasi

Membrana timpani menonjol ke arah telinga luar akibat edema yang hebat pada mukosa telinga
tengah dan hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum
timpani.Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta nyeri di telinga bertambah
hebat.Apabila tekanan tidak berkurang, akan terjadi iskemia, tromboflebitis dan nekrosis mukosa
serta submukosa. Nekrosis ini terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan kekuningan pada
membran timpani. Di tempat ini akan terjadi ruptur.

1. 4. Stadium perforasi

Karena pemberian antibiotik yang terlambat atau virulensi kuman yang tinggi, dapat terjadi ruptur
membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Pasien yang semula
gelisah menjadi tenang, suhu badan turun, dan dapat tidur nyenyak.
1. 5. Stadium resolusi

Bila membran timpani tetap utuh maka perlahan-lahan akan normal kembali. Bila terjadi perforasi
maka sekret akan berkurang dan mengering. Bila daya tahan tubuh baik dan virulensi kuman rendah
maka resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan. Otitis media akut (OMA) berubah menjadi otitis media
supuratif subakut bila perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul
lebih dari 3 minggu. Disebut otitis media supuratif kronik (OMSK) bila berlangsung lebih 1,5 atau 2
bulan. Dapat meninggalkan gejala sisa berupa otitis media serosa bila sekret menetap di kavum
timpani tanpa perforasi.Pada anak, keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga dan suhu tubuh
yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya.Pada orang dewasa, didapatkan juga
gangguan pendengaran berupa rasa penuh atau kurang dengar.Pada bayi dan anak kecil gejala khas
otitis media anak adalah suhu tubuh yang tinggi (> 39,5 derajat celsius), gelisah, sulit tidur, tiba-tiba
menjerit saat tidur, diare, kejang, dan kadang-kadang memegang telinga yang sakit. Setelah terjadi
ruptur membran tinmpani, suhu tubuh akan turun dan anak tertidur.
2.4.2 Otitis Media Kronis
Gejala berdasarkan tipe Otitis Media Kronis:

1. OMK tipe benigna:

Gejalanya berupa discharge mukoid yang tidak terlalu berbau busuk , ketika pertama kali ditemukan
bau busuk mungkin ada tetapi dengan pembersihan dan penggunaan antibiotiklokal biasanya cepat
menghilang, discharge mukoid dapat konstan atau intermitten.
Gangguan pendengaran konduktif selalu didapat pada pasien dengan derajat ketulian tergantung
beratnya kerusakan tulang-tulang pendengaran dan koklea selama infeksi nekrotik akut pada awal
penyakit.
Perforasi membrane timpani sentral sering berbentuk seperti ginjal tapi selalu meninggalkan sisa
pada bagian tepinya . Proses peradangan pada daerah timpani terbatas pada mukosa sehingga
membrane mukosa menjadi berbentuk garis dan tergantung derajat infeksi membrane mukosa dapt
tipis dan pucat atau merah dan tebal, kadang suatu polip didapat tapi mukoperiosteum yang tebal
dan mengarah pada meatus menghalangi pandangan membrane timpani dan telinga tengah sampai
polip tersebut diangkat . Discharge terlihat berasal dari rongga timpani dan orifisium tuba eustachius
yang mukoid da setelah satu atau dua kali pengobatan local abu busuk berkurang. Cairan mukus
yang tidak terlalu bau datang dari perforasi besar tipe sentral dengan membrane mukosa yang
berbentuk garis pada rongga timpani merupakan diagnosa khas pada omsk tipe benigna.

1. OMK tipe maligna dengan kolesteatoma:

Sekret pada infeksi dengan kolesteatom beraroma khas, sekret yang sangat bau dan berwarna
kuning abu-abu, kotor purulen dapat juga terlihat keeping-keping kecil, berwarna putih mengkilat.
Gangguan pendengaran tipe konduktif timbul akibat terbentuknya kolesteatom bersamaan juga
karena hilangnya alat penghantar udara pada otitis media nekrotikans akut. Selain tipe konduktif
dapat pula tipe campuran karena kerusakan pada koklea yaitu karena erosi pada tulang-tulang kanal
semisirkularis akibat osteolitik kolesteatom.

Gejalanya bervariasi, berdasarkan pada lokasi perforasi gendang telinga:


1. Perforasi sentral (lubang terdapat di tengah-tengah gendang telinga). Otitis media
kronis bisa kambuh setelah infeksi tenggorokan dan hidung (misalnya pilek) atau karena telinga
kemasukan air ketika mandi atau berenang. Penyebabnya biasanya adalah bakteri. Dari telinga keluar
nanah berbau busuk tanpa disertai rasa nyeri. Bila terus menerus kambuh, akan terbentuk
pertumbuhan menonjol yang disebut polip, yang berasal dari telinga tengah dan melalui lubang pada
gendang telinga akan menonjol ke dalam saluran telinga luar. Infeksi yang menetap juga bisa
menyebabkan kerusakan pada tulang-tulang pendengaran (tulang-tulang kecil di telinga tengah yang
mengantarkan suara dari telinga luar ke telinga dalam) sehingga terjadi tuli konduktif.
2. Perforasi marginal (lubang terdapat di pinggiran gendang telinga). Bisa terjadi tuli konduktif
dan keluarnya nanah dari telinga.

2.5 Pemeriksaan Diagnostik


2.5.1 Otitis Media Akut
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan telinga dengan otoskop.
Timpanogram untuk mengukur kesesuaian dan kekakuan membran timpani. Untuk menentukan
organisme penyebabnya dilakukan pembiakan terhadap nanah atau cairan lainnya dari telinga.
2.5.2 Otitis Media Kronis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan telinga dengan otoskop. Untuk
mengetahui organisme penyebabnya, dilakukan pembiakan terhadap cairan yang keluar dari telinga.
Rontgen mastoid atau CT scan kepala dilakukan untuk mengetahui adanya penyebaran infeksi ke
struktur di sekeliling telinga. Tes Audiometri dilakukan untuk mengetahui pendengaran menurun. X
ray terhadap kolesteatoma dan kekaburan mastoid.
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Otitis Media Akut
Terapi bergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk
mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan
antipiretik.

1. 1. Stadium Oklusi

Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga
tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,25 % untuk anak < 12 tahun atau HCl
efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologis untuk anak diatas 12 tahun dan dewasa. Sumber infeksi lokal
harus diobati. Antibiotik diberikan bila penyebabnya kuman.
1. 2. Stadium Presupurasi

Diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Bila membran timpani sudah terlihat
hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin
atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau
sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di
dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala
sisa dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari.

1. 3. Stadium Supurasi

Selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih
utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur.

1. 4. Stadium Perforasi

Terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut. Diberikan obat cuci telinga H2O2 3%
selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan
perforasi akan menutup sendiri dalam 7-10 hari.

1. 5. Stadium Resolusi

Membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila
tidak, antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila tetap, mungkin telah terjadi mastoiditis.
a. Pemberian Antibiotik

1. OMA umumnya adalah penyakit yang akan sembuh dengan sendirinya.


2. Sekitar 80% OMA sembuh dalam 3 hari tanpa antibiotik. Penggunaan antibiotik tidak
mengurangi komplikasi yang dapat terjadi, termasuk berkurangnya pendengaran.
3. Observasi dapat dilakukan pada sebagian besar kasus. Jika gejala tidak membaik dalam 48-
72 jam atau ada perburukan gejala, antibiotik diberikan.

American Academy of Pediatrics (AAP) mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus
segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut:
Usia Diagnosis pasti Diagnosis meragukan
< 6 bln Antibiotik Antibiotik
6 bln – 2 th Antibiotik Antibiotik jika gejala berat,
observasi jika gejala ringan
2 thn Antibiotik jika gejala berat, Observasi
observasi jika gejala ringan
Yang dimaksud dengan gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam <39°C dalam 24 jam
terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang – berat atau demam 39°C.
Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan – dua tahun
dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun.
Untuk dapat memilih observasi, follow-up harus dipastikan dapat terlaksana. Analgesia tetap
diberikan pada masa observasi.
British Medical Journal memberikan kriteria yang sedikit berbeda untuk menerapkan observasi ini.10
Menurut BMJ, pilihan observasi dapat dilakukan terutama pada anak tanpa gejala umum seperti
demam dan muntah.
Jika diputuskan untuk memberikan antibiotik, pilihan pertama untuk sebagian besar anak adalah
amoxicillin.

 Sumber seperti AAFP (American Academy of Family Physician) menganjurkan pemberian 40


mg/kg berat badan/hari pada anak dengan risiko rendah dan 80 mg/kg berat badan/hari
untuk anak dengan risiko tinggi.
 Risiko tinggi yang dimaksud antara lain adalah usia kurang dari dua tahun, dirawat sehari-
hari di daycare, dan ada riwayat pemberian antibiotik dalam tiga bulan terakhir.
 WHO menganjurkan 15 mg/kg berat badan/pemberian dengan maksimumnya 500 mg.
 AAP menganjurkan dosis 80-90 mg/kg berat badan/hari.6 Dosis ini terkait dengan
meningkatnya persentase bakteri yang tidak dapat diatasi dengan dosis standar di Amerika
Serikat. Sampai saat ini di Indonesia tidak ada data yang mengemukakan hal serupa,
sehingga pilihan yang bijak adalah menggunakan dosis 40 mg/kg/hari. Dokumentasi adanya
bakteri yang resisten terhadap dosis standar harus didasari hasil kultur dan tes resistensi
terhadap antibiotik.
 Antibiotik pada OMA akan menghasilkan perbaikan gejala dalam 48-72 jam.
 Dalam 24 jam pertama terjadi stabilisasi, sedang dalam 24 jam kedua mulai terjadi perbaikan.
Jika pasien tidak membaik dalam 48-72 jam, kemungkinan ada penyakit lain atau pengobatan
yang diberikan tidak memadai. Dalam kasus seperti ini dipertimbangkan pemberian antibiotik
lini kedua. Misalnya:
 Pada pasien dengan gejala berat atau OMA yang kemungkinan disebabkan Haemophilus
influenzae dan Moraxella catarrhalis, antibiotik yang kemudian dipilih adalah amoxicillin-
clavulanate.6 Sumber lain menyatakan pemberian amoxicillin-clavulanate dilakukan jika
gejala tidak membaik dalam tujuh hari atau kembali muncul dalam 14 hari.

ü Jika pasien alergi ringan terhadap amoxicillin, dapat diberikan cephalosporin seperti cefdinir,
cefpodoxime, atau cefuroxime.
ü Pada alergi berat terhadap amoxicillin, yang diberikan adalah azithromycin atau clarithromycin
ü Pilihan lainnya adalah erythromycin-sulfisoxazole atau sulfamethoxazole-trimethoprim.
ü Namun kedua kombinasi ini bukan pilihan pada OMA yang tidak membaik dengan amoxicillin.
ü Jika pemberian amoxicillin-clavulanate juga tidak memberikan hasil, pilihan yang diambil adalah
ceftriaxone selama tiga hari.
ü Perlu diperhatikan bahwa cephalosporin yang digunakan pada OMA umumnya merupakan
generasi kedua atau generasi ketiga dengan spektrum luas. Demikian juga azythromycin atau
clarythromycin. Antibiotik dengan spektrum luas, walaupun dapat membunuh lebih banyak jenis
bakteri, memiliki risiko yang lebih besar. Bakteri normal di tubuh akan dapat terbunuh sehingga
keseimbangan flora di tubuh terganggu. Selain itu risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap
antibiotik akan lebih besar. Karenanya, pilihan ini hanya digunakan pada kasus-kasus dengan indikasi
jelas penggunaan antibiotik lini kedua.
ü Pemberian antibiotik pada otitis media dilakukan selama sepuluh hari pada anak berusia di bawah
dua tahun atau anak dengan gejala berat.
ü Pada usia enam tahun ke atas, pemberian antibiotik cukup 5-7 hari. Di Inggris, anjuran pemberian
antibiotik adalah 3-7 hari atau lima hari.
ü Tidak adanya perbedaan bermakna antara pemberian antibiotik dalam jangka waktu kurang dari
tujuh hari dibandingkan dengan pemberian lebih dari tujuh hari. Dan karena itu pemberian antibiotik
selama lima hari dianggap cukup pada otitis media. Pemberian antibiotik dalam waktu yang lebih
lama meningkatkan risiko efek samping dan resistensi bakteri.
b. Pemberian Analgesia/pereda nyeri

 Penanganan OMA selayaknya disertai penghilang nyeri (analgesia).


 Analgesia yang umumnya digunakan adalah analgesia sederhana seperti paracetamol atau
ibuprofen.
 Namun perlu diperhatikan bahwa pada penggunaan ibuprofen, harus dipastikan bahwa anak
tidak mengalami gangguan pencernaan seperti muntah atau diare karena ibuprofen dapat
memperparah iritasi saluran cerna.

c. Obat lain

 Pemberian obat-obatan lain seperti antihistamin (antialergi) atau dekongestan tidak


memberikan manfaat bagi anak.
 Pemberian kortikosteroid juga tidak dianjurkan.
 Myringotomy (myringotomy: melubangi gendang telinga untuk mengeluarkan cairan yang
menumpuk di belakangnya) juga hanya dilakukan pada kasus-kasus khusus di mana terjadi
gejala yang sangat berat atau ada komplikasi.
 Cairan yang keluar harus dikultur.
 Pemberian antibiotik sebagai profilaksis untuk mencegah berulangnya OMA tidak memiliki
bukti yang cukup.

2.6.2 Otitis Media Kronis


Penyebab penyakit telinga kronis yang efektif harus didasarkan pada faktor-faktor penyebabnya dan
pada stadium penyakitnya. Dengan demikian pada waktu pengobatan haruslah dievaluasi faktor-
faktor yang menyebabkan penyakit menjadi kronis, perubahan-perubahan anatomi yang menghalangi
penyembuhan serta menganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat ditelinga. Bila didiagnosis
kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat -obatan dapat digunakan untuk
mengontrol infeksi sebelum operasi.
Menurut Nursiah, prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luasnya infeksi, dimana
pengobatan dapat dibagi atas : Konservatif dan Operasi.
1. OMK BENIGNA
a. OMSK BENIGNA TENANG
Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan mengorek telinga, air
jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan segera berobat bila menderita infeksi
saluran nafas atas. Bila fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi
(miringoplasti,timpanoplasti) untuk mencegah infeksi berulang serta gangguan pendengaran.
b. OMSK BENIGNA AKTIF
Prinsip pengobatan OMSK adalah :
1. Pembersihan liang telinga dan kavum timpan ( toilet telinga)
Tujuan toilet telinga adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk perkembangan
mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang baik bagi perkembangan
mikroorganisme ( Fairbank, 1981).
Cara pembersihan liang telinga ( toilet telinga) :
• Toilet telinga secara kering ( dry mopping).
Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril, setelah dibersihkan dapat di beri antibiotik berbentuk
serbuk. Cara ini sebaiknya dilakukan diklinik atau dapat juga dilakukan oleh anggota keluarga.
Pembersihan liang telinga dapat dilakukan setiap hari sampai telinga kering.
• Toilet telinga secara basah ( syringing).
Telinga disemprot dengan cairan untuk membuang debris dan nanah, kemudian dengan kapas lidi
steril dan diberi serbuk antibiotik. Meskipun cara ini sangat efektif untuk membersihkan telinga
tengah, tetapi dapat mengakibatkan penyebaran infeksi ke bagian lain dan kemastoid ( Beasles,
1979). Pemberian serbuk antibiotik dalam jangka panjang dapat menimbulkan reaksi sensitifitas pada
kulit. Dalam hal ini dapat diganti dengan serbuk antiseptik, misalnya asam boric dengan Iodine.
• Toilet telinga dengan pengisapan (suction toilet)
Pembersihan dengan suction pada nanah, dengan bantuan mikroskopis operasi adalah metode yang
paling populer saat ini. Kemudian dilakukan pengangkatan mukosa yang berproliferasi dan polipoid
sehingga sumber infeksi dapat dihilangkan. Akibatnya terjadi drainase yang baik dan resorbsi mukosa.
Pada orang dewasa yang koperatif cara ini dilakukan tanpa anastesi tetapi pada anakanak diperlukan
anastesi. Pencucian telinga dengan H2O2 3% akan mencapai sasarannya bila dilakukan dengan
“ displacement methode” seperti yang dianjurkan oleh Mawson dan Ludmann.
2. Pemberian antibiotik topikal
Terdapat perbedaan pendapat mengenai manfaat penggunaan antibiotik topikal untuk OMSK.
Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan sekret yang banyak tanpa dibersihkan dulu,
adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang/tidak progresif lagi diberikan obat tetes yang mengandung
antibiotik dan kortikosteroid.
Rif menganjurkan irigasi dengan garam faal agar lingkungan bersifat asam dan merupakan media
yang buruk untuk tumbuhnya kuman. Selain itu dikatakannya, bahwa tempat infeksi pada OMSK sulit
dicapai oleh antibiotika topikal. Djaafar dan Gitowirjono menggunakan antibiotik topikal sesudah
irigasi sekret profus dengan hasil cukup memuaskan, kecuali kasus dengan jaringan patologis yang
menetap pada telinga tengah dan kavum mastoid. Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan
agar masuk sampai telinga tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya neomisin
dan lamanya tidak lebih dari 1 minggu.Cara pemilihan antibiotik yang paling baik dengan berdasarkan
kultur kuman penyebab dan uji resistesni.
Obat-obatan topikal dapat berupa bubuk atau tetes telinga yang biasanya dipakai setelah telinga
dibersihkan dahulu.
Bubuk telinga yang digunakan seperti :
a. Acidum boricum dengan atau tanpa iodine
b. Terramycin.
c. Asidum borikum 2,5 gram dicampur dengan khloromicetin 250 mg
Pengobatan antibiotik topikal dapat digunakan secara luas untuk OMK aktif yang dikombinasi
dengan pembersihan telinga, baik pada anak maupun dewasa. Neomisin dapat melawan kuman
Proteus dan Stafilokokus aureus tetapi tidak aktif melawan gram negatif anaerob dan mempunyai
kerja yang terbatas melawan Pseudomonas karena meningkatnya resistensi. Polimiksin efektif
melawan Pseudomonas aeruginosa dan beberapa gram negatif tetapi tidak efektif melawan
organisme gram positif (Fairbanks, 1984). Seperti aminoglokosida yang lain, Gentamisin dan
Framisetin sulfat aktif melawan basil gram negatif dan gentamisin kerjanya “sedang” dalam melawan
Streptokokus. Tidak ada satu pun aminoglikosida yang efektif melawan kuman anaerob.
Biasanya tetes telinga mengandung kombinasi neomisin, polimiksin dan hidrokortison, bila sensitif
dengan obat ini dapat digunakan sulfanilaid-steroid tetes mata.
Kloramfenikol tetes telinga tersedia dalam acid carrier dan telinga akan sakit bila diteteskan.
Kloramfenikol aktif melawan basil gram positif dan gram negative kecuali Pseudomonas aeruginosa,
tetapi juga efektif melawan kuman anaerob, khususnya B. fragilis ( Fairbanks, 1984). Pemakaian
jangka panjang lama obat tetes telinga yang mengandung aminoglikosida akan merusak foramen
rotundum, yang akan menyebabkan ototoksik.
Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada ot itis media kronik adalah :
1. Polimiksin B atau polimiksin E
Obat ini bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif, Pseudomonas, E. Koli Klebeilla,
Enterobakter, tetapi resisten terhadap gram positif, Proteus, B. fragilis Toksik terhadap ginjal dan
susunan saraf.
2. Neomisin
Obat bakterisid pada kuma gram positif dan negatif, misalnya : Stafilokokus aureus, Proteus sp.
Resisten pada semua anaerob dan Pseudomonas. Toksik terhadap ginjal dan telinga.
3. Kloramfenikol
Obat ini bersifat bakterisid terhadap :
Stafilokokus, koagulase positif, 99%
Stafilokokus, koagulase positif, 95%
Stafilokokus group A, 100%
E. Koli, 96%
Proteus sp, 60%
Proteus mirabilis, 90%
Klebsiella, 92%
Enterobakter, 93%
Pseudomonas, 5%
Dari penelitian terhadap 50 penderita OMSK yang diberi obat tetes telinga dengan ofloksasin dimana
didapat 88,96% sembuh, membaik 8,69% dan tidak ada perbaikan 4,53%
3. Pemberian antibiotik sistemik
Pemilihan antibiotik sistemik untuk OMSK juga sebaiknya berdasarkan kultur kuman penyebab.
Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus disertai pembersihan sekret profus. Bila
terjadi kegagalan pengobatan , perlu diperhatikan faktor penyebab kegagalan yang ada pada
penderita tersebut.
Dalam pengunaan antimikroba, sedikitnya perlu diketahui daya bunuhnya terhadap masing- masing
jenis kuman penyebab, kadar hambat minimal terhadap masing-masing kuman penyebab, daya
penetrasi antimikroba di masing jaringan tubuh, toksisitas obat terhadap kondisi tubuhnya . dengan
melihat konsentrasi obat dan daya bunuhnya terhadap mikroba, antimikroba dapat dibagi menjadi 2
golongan. Golongan pertama daya bunuhnya tergantung kadarnya. Makin tinggi kadar obat, makin
banyak kuman terbunuh, misalnya golongan aminoglikosida dengan kuinolon. Golongan kedua adalah
antimikroba yang pada konsentrasi tertentu daya bunuhnya paling baik. Peninggian dosis tidak
menambah daya bunuh antimikroba golongan ini, misalnya golongan beta laktam.
Terapi antibiotik sistemik yang dianjurkan pada Otitis media kronik adalah
Kuman aerob Antibiotik sistemik
Pseudomonas Aminoglikosida atau karbenisilin
P. Mirabilis Ampisilin atau sefalosforin
P. Morganii Aminoglikosida atau Karbenisilin
P. Vulgaris
Klebsiella Sefalosforin atau aminoglikosida
E. Koli Ampisilin atau sefalosforin
S. Aureus Anti-stafilikokus penisilin, Sefalosforin,
eritromosin, aminoglikosida
Streptokokus Penisilin, sefalosforin, eritromisin
Aminoglikosida
B. fragilis Klindamisin
Antibiotika golongan kuinolon ( siprofloksasin, dan ofloksasin) yaitu dapat derivat asam nalidiksat
yang mempunyai aktifitas anti pseudomonas dan dapat diberikan peroral. Tetapi tidak dianjurkan
untuk anak dengan umur dibawah 16 tahun. Golongan sefalosforin generasi III ( sefotaksim,
seftazidinm dan seftriakson) juga aktif terhadap pseudomonas, tetapi harus diberikan secara
parenteral. Terapi ini sangat baik untuk OMA sedangkan untuk OMK belum pasti cukup, meskipun
dapat mengatasi OMK.
Metronidazol mempunyai efek bakterisid untuk kuman anaerob. Menurut Browsing dkk metronidazol
dapat diberikan dengan dan tanpa antibiotik ( sefaleksin dan kotrimoksasol) pada OMSK aktif, dosis
400 mg per 8 jam selama 2 minggu atau 200 mg per 8 jam selama 2-4 minggu1.
2. OMK MALIGNA
Pengobatan yang tepat untuk OMK maligna adalah operasi. Pengobatan konservatif dengan
medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat
abses subperiosteal, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan
mastoidektomi.
Ada beberapa jenis pembedahan atau tehnik operasi yang dapat dilakukan pada OMK dengan
mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain (Soepardi, 2001):
• Mastoidektomi sederhana
Dilakukan pada OMK tipe benigna yang tidak sembuh dengan pengobatan konservatif. Pada tindakan
ini dilakukan pembersihan ruang mastoid dari jaringan patologik, dengan tujuan agar infeksi tenang
dan telinga tidak berair lagi.
• Mastoidektomi radikal
Dilakukan pada OMK maligna dengan infeksi atau kolesteatom yang sudah meluas.Pada operasi ini
rongga mastoid dan kavum timpani dibersihkan dari semua jaringan patologik. Dinding batas antara
liang telinga luar dan telinga tengah dengan rongga mastoid diruntuhkan, sehingga ketiga daerah
anatomi tersebut menjadi satu ruangan. Tujuan operasi ini adalah untuk membuang semua jaringan
patologik dan mencegah komplikasi ke intrakranial.
• Mastoidektomi radikal dengan modifikasi (Operasi Bondy)
Dilakukan pada OMK dengan kolesteatom di daerah attic, tetapi belum merusak kavum timpani.
Seluruh rongga mastoid dibersihkan dan dinding posterior liang telinga direndahkan. Tujuan operasi
adalah untuk membuang semua jaringan patologik dari rongga mastoid dan mempertahankan
pendengaran yang masih ada.
• Miringoplasti
Dilakukan pada OMK tipe benigna yang sudah tenang dengan ketulian ringan yang hanya disebabkan
oleh perforasi membran timpani. Operasi ini merupakan jenis timpanoplasti yang paling ringan,
dikenal juga dengan nama timpanoplasti tipe 1. Rekonstruksi hanya dilakukan pada membran timpani.
Tujuan operasi adalah untuk mencegah berulangnya infeksi telinga tengah ada OMSK tipe benigna
dengan perforasi yang menetap.
• Timpanoplasti
Dikerjakan pada OMK tipe benigna dengan kerusakan yang lebih berat atau OMSK tipe benigna yang
tidak bisa diatasi dengan pengobatan medikamentosa. Tujuan operasi adalah menyembuhkan
penyakit serta memperbaiki pendengaran. Pada operasi ini selain rekonstruksi membran timpani
seringkali harus dilakukan juga rekonstruksi tulang pendengaran. Berdasarkan bentuk rekonstruksi
tulang yang dilakukan maka dikenal istilah timpanoplasti tipe II, III, IV dan V.
• Timpanoplasti dengan pendekatan ganda (Combined Approach Tympanoplasty)
Dikerjakan pada kasus OMK tipe maligna atau OMK tipe benigna dengan jaringan granulasi yang luas.
Tujuan operasi untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran tanpa melakukan
teknik mastoidektomi radikal (tanpa meruntuhkan dinding posterior liang telinga). Yang dimaksud
dengan combined approach di sini adalah membersihkan kolesteatom dan jaringan granulasi di
kavum timpani melalui dua jalan, yaitu liang telinga dan rongga mastoid dengan melakukan
timpanotomi posterior. Namun teknik operasi ini pada OMK tipe maligna belum disepakati oleh para
ahli karena sering timbul kembali kolesteatoma.

2.7 Komplikasi
2.7.1 Otitis Media Akut
Komplikasi yang serius adalah:
· Infeksi pada tulang di sekitar telinga tengah (mastoiditis atau petrositis)
· Labirintitis (infeksi pada kanalis semisirkuler)

 Kelumpuhan pada wajah


 Tuli
 Peradangan pada selaput otak (meningitis)
 ·Abses Otak

Tanda-tanda terjadinya komplikasi:


v Sakit kepala
v Tuli yang terjadi secara mendadak
v Vertigo (perasaan berputar)
v Demam dan menggigil.
2.7.2 Otitis Media Kronis
OMK tipe benigna :
Omk tipe benigna tidak menyerang tulang sehingga jarang menimbulkan komplikasi,
tetapi jika tidak mencegah invasi (peristiwa masuknya bakteri ke dalam tubuh) organisme baru dari
nasofaring dapat menjadi superimpose otitis media supuratif akut eksaserbsi akut dapat menimbulkan
komplikasi dengan terjadinya tromboplebitis vaskuler
OMK tipe maligna :
Komplikasi dimana terbentuknya kolesteatom berupa :
1. erosi canalis semisirkularis
2. erosi canalis tulang
3. erosi tegmen timpani dan abses ekstradural
4. erosi pada permukaan lateral mastoid dengan timbulnya abses subperiosteal
5. erosi pada sinus sigmoid

Menurut Shanbough (2003) komplikasi OMK terbagi atas:

a. Komplikasi Intratemporal
- Perforasi membrane timpani.

- Mastoiditis akut.

- Parese nervus fasialis.

- Labirinitis.

- Petrositis.

b. Komplikasi Ekstratemporal.

- Abses subperiosteal.

c. Komplikasi Intrakranial.

- Abses otak.

- Tromboflebitis.

- Hidrocephalus otikus.

- Empiema subdural/ ekstradural

2.8 Prognosis
2.8.1 Otitis Media Akut
Prognosis pada Otitis Media Akut baik apabila diberikan terapi yang adekuat (antibiotik yang tepat
dan dosis yang cukup ).
2.8.2 Otitis Media Kronik
OMK tipe benigna
Prognosis dengan pengobatan local, otorea dapat mongering. Tetapi sisa perforasi sentral yang
berkepanjangan memudahkan infeski dari nasofaring atau bakteri dari meatus eksterna khususnya
terbawa oleh air, sehingga penutupan membrane timpani disarankan.

OMK tipe maligna


Prognosis kolesteatom yang tidak diobati akan berkembang menjadi meningitis, abes
otak, prasis fasialis atau labirintis supuratif yang semuanya fatal. Sehingga OMSK type maligna harus
diobati secara aktif sampai proses erosi tulang berhenti.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Asuhan Keperawatan pada Otitis Media Kronis
3.1 Pengkajian
1. Pengumpulan Data

 Identitas Pasien : Nama pasien, umur, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat
 Riwayat Penyakit Sekarang : Riwayat adanya kelainan nyeri pada telinga, penggunaan
minyak, kapas lidi, peniti untuk membersihkan telinga
 Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat infeksi saluran atas yang berulang, riwayat alergi, riwayat
OMA berkurang, riwayat penggunaan obat( sterptomisin, salisilat, kuirin, gentamisin ),
riwayat operasi
 Riwayat penyakit keluarga : Apakah keluarga klien pernah mengalami penyakit telinga, sebab
dimungkinkan OMK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor
genetik

2. Pengkajian Persistem
Tanda-tanda vital : Suhu meningkat, keluarnya otore
B2 ( Blood ) : Nadi meningkat
B3 (Brain) : Nyeri telinga, perasaan penuh dan pendengaran menurun, vertigo, pusing,
refleks kejut
B5 (Bowel) : Nausea vomiting
B6 (Bone) : Malaise, alergi
3. Pengkajian Psikososial

1. Nyeri otore berpengaruh pada interaksi


2. Aktivitas terbatas
3. Takut menghadapi tindakan pembedahan

4. Pemeriksaan diagnostik
a. Tes audiometri : pendengaran menurun
b. Xray : terhadap kondisi patologi, misal kolestetoma, kekaburan mastoid
5. Pemeriksaan pendengaran
- Tes suara bisikan, tes garputala
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan
2. Gangguan komunikasi berhubungan dengan efek kehilangan pendengaran
3. Perubahan persepsi / sensoris berhubungan dengan obstruksi, infeksi di telinga tengah atau
kerusakan di syaraf pendengaran
4. Cemas berhubungan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya
fungsi, kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi.
5. Isolasi sosial berhubungan dengan nyeri , otore berbau busuk
6. Kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan
3.3 Intervensi dan Rasional
1. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan
Tujuan : Nyeri yang dirasakan klien berkurang rasa
Kriteria hasil : Klien mengungkapkan bahwa nyeri berkurang, klien mampu melakukan metode
pengalihan suasana
Intervensi Keperawatan:
ü Ajarkan klien untuk mengalihkan suasana dengan melakukan metode relaksasi saat nyeri yang
teramat sangat muncul, relaksasi seperti menarik napas panjang
Rasional : Metode pengalihan suasana dengan melakukan relaksasi bisa mengurangi
nyeri yang diderita klien
ü Kompres dingin di sekitar area telinga
Rasional : Kompres dingin bertujuan mengurangi nyeri karena rasa nyeri teralihkan
oleh rasa dingin di sekitar area telinga
ü Atur posisi klien
Rasional : Posisi yang sesuai akan membuat klien merasa nyaman
ü Untuk kolaborasi, beri aspirin/analgesik sesuai instruksi, beri sedatif sesuai indikasi
Rasional : Analgesik merupakan pereda nyeri yang efektif pada pasien
untuk mengurangi sensasi nyeri dari dalam
2. Gangguan komunikasi berhubungan dengan efek kehilangan pendengaran
Tujuan : Gangguan komunikasi berkurang / hilang
Kriteria hasil : Klien memakai alat bantu dengar ( jika sesuai ), menerima pesan melalui metode
pilihan ( misal: komunikasi lisan, bahasa lambang, berbicara dengan jelas pada telinga yang baik
Intervensi keperawatan:
ü Dapatkan apa metode komunikasi yang diinginkan dan catat pada rencana perawatan metode
yang digunakan oleh staf dan klien, seperti : tulisan, berbicara, bahasa isyarat.
Rasional: Dengan mengetahui metode komunikasi yang diinginkan oleh klien maka
metode yang akan digunakan dapat disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan
klien
ü Pantau kemampuan klien untuk menerima pesan secara verbal.
a. Jika ia dapat mendengar pada satu telinga, berbicara dengan perlahan dan jelas langsung ke
telinga yang baik
- Tempatkan klien dengan telinga yang baik berhadapan dengan pintu
- Dekati klien dari sisi telinga yang baik
b. Jika klien dapat membaca ucapan:
- Lihat langsung pada klien dan bicaralah lambat dan jelas
- Hindari berdiri di depan cahaya karena dapat menyebabkan klien tidak dapat membaca bibir anda
c. Perkecil distraksi yang dapat menghambat konsentrasi klien
- Minimalkan percakapan jika klien kelelahan atau gunakan komunikasi tertulis
- Tegaskan komunikasi penting dengan menuliskannya
d. Jika ia hanya mampu berbahasa isyarat, sediakan penerjemah. Alamatkan semua komunikasi pada
klien, tidak kepada penerjemah. Jadi seolah-olah perawat sendiri yang langsung berbicara pada klien
dengan mengabaikan keberadaan penerjemah
Rasional : Pesan yang ingin disampaikan oleh perawat kepada klien dapat diterima
dengan baik oleh klien.
ü Gunakan faktor-faktor yang meningkatkan pendengaran dan pemahaman
a. Bicara dengan jelas menghadap individu
b. Ulangi jika kilen tidak memahami seluruh isi pembicaraan
c. Gunakan rabaan dan isyarat untuk meningkatkan komunikasi
d. Validasi pemahaman individu dengan mengajukan pertanyaan yang memerlukan jawaban lebih
dair ya dan tidak
Rasional : Memungkinkan komunikasi dua arah antara perawat dengan klien dapat
berjalan dengan baik dan klien dapat menerima pesan perawat secara tepat.
3. Perubahan persepsi / sensoris berhubungan dengan obstruksi, infeksi di telinga tengah atau
kerusakan di syaraf pendengaran
Tujuan : Persepsi / sensoris baik
Kriteria hasil : Klien akan mengalami peningkatan persepsi / sensoris pendengaran sampai pada
tingkat fungsional
Intervensi keperawatan :
ü Ajarkan klien menggunakan dan merawat alat pendengaran secara tepat
Rasional : Keefektifan alat pendengaran tergantung pada tipe gangguan / ketulian,
pemakaian serta perawatannya yang tepat.
ü Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik yang aman sehingga dapat mencegah
terjadinya ketulian lebih jauh
Rasional : Apabila penyebab pokok ketulian tidak progresif, maka pendengaran yang
tersisa sensitif terhadap trauma dan infeksi sehingga harus dilindungi
ü Observasi tanda-tanda awal kehilangan pendengaran yang lanjut
Rasional : Diagnosa dini terhadap keadaan telinga atau terhadap masalah-masalah
pendengaran rusak secara permanen
ü Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh dosis antibiotik ( baik itu antibiotik sistemik
maupun lokal )
Rasional : Penghentian terapi antibiotika sebelum waktunya dapat menyebabkan
organisme sisa berkembang biak sehingga infeksi akan berlanjut
4. Cemas berhubungan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya
fungsi, kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi.
Tujuan : Rasa cemas klien akan berkurang / hilang
Kriteria hasil : Klien mampu mengungakpkan ketakutan / kekhawatirannya
Intervensi keperawatan :
ü Mengatakan hal sejujurnya kepada klien ketika mendiskusikan mengenai kemungkinan kemajuan
dari fungsi pendengarannya untuk mempertahankan harapan klien dalam berkomunikasi
Rasional : Harapan-harapan yang tidak realistik tidak dapat mengurangi kecemasan,
justru malah menimbulkan ketidakkepercayaan klien terhadap perawat. Menunjukkan
kepada klien bahwa dia dapat berkomunikasi dengan efektif tanpa menggunakan alat
khusus sehingga dapat mengurangi rasa cemasnya
ü Berikan informasi tentang kelompok yang juga pernah mengalami gangguan seperti yang dialami
klien untuk memberikan dukungan kepada klien
Rasional : Dukungan dari beberapa orang yang memiliki pengalaman yang sama akan
sangat membantu klien
ü Berikan informasi mengenai sumber-sumber dan alat-alat yang tersedia yang dapat membantu
klien
Rasional : Agar klien menyadari sumber-sumber apa saja yang ada di sekitarnya yang
dapat mendukung dia untuk berkomunikasi
5. Isolasi sosial berhubungan dengan nyeri , otore berbau busuk
Tujuan : Tetap mengembangkan hubungan dengan orang lain
Kriteria Hasil : Klien tetap mengembangkan hubungan dengan orang lain
Intervensi keperawatan :
ü Bina hubungan saling percaya
Rasionalisasi : hubungan saling percaya dapat menjadi dasar terjadinya hubungan
sosial.
ü Yakinkan klien bahwa setelah dilakukan pengobatan / pembedahan cairan akan keluar dan bau
busuk akan hilang
Rasional : Klien akan kooperatif / berpartisipasi dalam persiapan
pembedahan ( tympanoplasti ) dan akan mulai mengajak bicara dengan perawat dan
keluarga
6. Kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan
Tujuan : Klien akan mempunyai pemahaman yang baik tentang pengobatan dan cara pencegahan
kekambuhan.
Kriteria hasil : Klien paham mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan
Intervensi keperawatan :
ü Ajarkan klien mengganti balutan dan menggunakan antibiotik secara kontinyu sesuai aturan.
Rasional : pendidikan kesehatan tenyang cara mengganti balutan dapat meningkatkan
pemahaman klien sehingga dapat berpartisipasi dalam pencegahan kekambuhan.
ü Beritahu komplikasi yang mungkin timbul dan bagaimana cara melaporkannya
Rasional : pemahaman tentang komplikasi yang dapat terjadi pada klien dapat
membantu klien dan keluarga untuk melaporkan ke tenaga kesehatan sehingga dapat
dengan cepat ditangani.
ü Tekankan hal-hal yang penting yang perlu ditindak lanjuti / evaluasi pendengaran.
Rasional : follow up sangat penting dilakukan oleh anak karena dapat mengetahui
perkembangan penyakit dan mencegah terjadinya kekambuhan.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam kasus ini , pada awalnya pasien mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan
tonsilitis. Akan tetapi, karena adanya perluasan infeksi di daerah auries media, maka pasien akan
mengalami otitis meda akut. Otitis media akut yang tidak diobati secara tuntas dapat berlanjut
menjadi Otitis media Kronik yang ditandai denagn adanya perforasi pada membran tympani.
4.2 Saran
Hendaknya dilakukan uji kultur pada pasien untuk mengetahui jenis bakteri yang menginfeksi dan
untuk pemberian antibiotik yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito,Lynda Juall.2006.Buku Saku Diagnosis Keperawatan.Edisi 10.EGC:Jakarta


George L, Adams.1997.Buku Ajar Penyakit THT.Edisi 6.EGC:Jakarta
Abidin, Taufik.2009.Otitis Media Akut.http:/library.usu.ac.id(10 September 2009)
Rothrock, C.J.(2000).Perencanaan Asuha

Das könnte Ihnen auch gefallen