Sie sind auf Seite 1von 5

Teori kepemimpinan

1. Teori Scientific Management (Taylor)

Scientific Management pertama kali diimplementasikan oleh Taylor pada tahun 1898
pada pekerjaan bongkar muat besi dan baja pada pabrik Bethlehem Steel. Dalam hal ini,
Taylor membuat standar waktu kerja sehingga ia bisa memprediksi berapa kapasitas jumlah
ton baja yang seharusnya bagi para pekerja. Dia juga menetapkan upah pekerja yang baru
dalam upaya untuk memenuhi standar kerja yang dia tetapkan.
Scientific Management adalah teori manajemen yang menganalisa dan menstandarkan
pekerjaan, merekrut dan melatih pekerja dengan spesifikasi tertentu, dan menyediakan
insentif yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas.
Pendekatan Scientific Management memiliki prinsip sebagai berikut:
1. Mengembangkan metode standar untuk menyelesaikan setiap pekerjaan.
Dalam setiap pekerjaan dibuat Standard Operation Procedure (SOP) yang
menjelaskan cara maupun urutan dalam melakukan sebuah pekerjaan, sehingga
pencapaian dari sebuah pekerjaan itu dapat terukur dan baku.
2. Memilih pekerja dengan kemampuan tertentu untuk mengerjakan pekerjaan
tertentu.
Setiap pekerjaan membutuhkan kemampuan tertentu dari seorang pekerja, sehingga
pemilihan pekerja harus disesuaikan dengan kriteria yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan pekerjaan tersebut.
3. Memberikan pelatihan standar metode kerja pada pekerja.
Untuk dapat mencapai hasil yang optimal, seorang pekerja dibekali dengan
pengetahuan tentang pekerjaannya melalui pelatihan kerja sehingga dapat menambah
keahlian pekerja tersebut.
4. Mendukung pekerja dalam bekerja.
Dilakukan dengan merencanakan pekerjaan dan menghilangkan gangguan.
5. Menyediakan upah insentif
baru bagi para pekerja yang mampu meningkatkan output. Hal ini dapat
dijadikan motivasi bagi para pekerja untuk dapat meningkatkan produktivitas pekerja.
Beberapa kritik muncul sebagai respon terhadap perkembangan scientific management.
Taylor dalam kesaksiannya saat diundang oleh komite khusus Dewan Perwakilan Rakyat
Amerika menyatakan bahwa scientific management bukanlah suatu metoda tetapi merupakan
cara pandang dan cara pikir yang berbasiskan pada pendekatan ilmiah dalam memecahkan
permasalahan produktivitas dan efisiensi sistem kerja.
2. Teori contingency (Fiedler)
Teori kontingensi menganggap bahwa kepemimpinan adalah suatu proses di mana
kemampuan seorang pemimpin untuk melakukan pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas
kelompok (group task situation) dan tingkat-tingkat daripada gaya kepemimpinannya,
kepribadiannya dan pendekatannya yang sesuai dengan kelompoknya. Dengan perkataan lain,
menurut Fiedler, seorang menjadi pemimpin bukan karena sifat-sifat daripada kepribadiannya,
tetapi karena berbagai faktor situasi dan adanya interaksi antara Pemimpin dan situasinya.
Model Contingency dari kepemimpinan yang efektif dikembangkan oleh Fiedler (1967) .
Menurut model ini, maka the performance of the group is contingen upon both the motivasional
system of the leader and the degree to which the leader has control and influence in a particular
situation, the situational favorableness (Fiedler, 1974:73). Dengan perkataan lain, tinggi
rendahnya prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh sistem motivasi dari pemimpin dan
sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi tertentu.
Untuk menilai sistem motivasi dari pemimpin, pemimpin harus mengisi suatu skala sikap dalam
bentuk skala semantic differential, suatu skala yang terdiri dari 16 butir skala bipolar. Skor yang
diperoleh menggambarkan jarak psikologis yang dirasakan oleh peminpin antara dia sendiri
dengan “rekan kerja yang paling tidak disenangi” (Least Prefered Coworker = LPC). Skor LPC
yang tinggi menunjukkan bahwa pemimpin melihat rekan kerja yang paling tidak disenangi
dalam suasana menyenangkan. Dikatakan bahwa pemimpin dengan skor LPC yang tinggi ini
berorientasi ke hubungan (relationship oriented). Sebaliknya skor LPC yang rendah
menunjukkan derajat kesiapan pemimpin untuk menolak mereka yang dianggap tidak dapat
bekerja sama. Pemimpin demikian, lebih berorientasi ke terlaksananya tugas (task oriented).
Fiedler menyimpulkan bahwa:
1. Pemimpin dengan skor LPC rendah (pemimpin yang berorientasi ke tugas) cenderung
untuk berhasil paling baik dalam situasi kelompok baik yang menguntungkan, maupun
yang sangat tidak menguntungkan pemimpin.
2. Pemimpin dengan skor LPC tinggi ( pemimpin yang berorientasi ke hubungan)
cenderung untuk berhasil dengan baik dalam situasi kelompok yang sederajat dengan
keuntungannya.
Sebagai landasan studinya, Fiedler menemukan 3 (tiga) dimensi kritis daripada situasi
lingkungan yang mempengaruhi gaya Pemimpin yang sangat efektif, yaitu:
a. Kekuasaan atas dasar kedudukan/jabatan (Position power)
Kekuasaan atas dasar kedudukan / jabatan ini berbeda dengan sumber kekuasaan
yang berasal dari tipe kepemimpinan yang kharismatis, atau keahlian (expertise power).
Berdasarkan atas kekuasaan ini seorang pemimpin mempunyai anggota-anggota
kelompoknya yang dapat diperintah / dipimpin, karena ia bertindak sebagai seorang
Manager, di mana kekuasaan ini diperoleh berdasarkan atas kewenangan organisasi
(organizational authority).

b. Struktur tugas (task structure)


Pada dimensi ini Fiedler berpendapat bahwa selama tugas-tugas dapat diperinci
secara jelas dan orang-orang diberikan tanggung jawab terhadapnya, akan berlainan
dengan situasi di mana tugas-tugas itu tidak tersusun (unstructure) dan tidak jelas.
Apabila tugas-tugas tersebut telah jelas, mutu daripada penyelenggaraan kerja akan lebih
mudah dikendalikan dan anggota-anggota kelompok dapat lebih jelas
pertanggungjawabannya dalam pelaksanaan kerja, daripada apabila tugas-tugas itu tidak
jelas atau kabur.

c. Hubungan antara Pemimpin dan anggotanya (Leader-member relations)


Dalam dimensi ini Fiedler menganggap sangat penting dari sudut pandangan
seorang pemimpin. Kekuasaan atas dasar kedudukan / jabatan dan struktur tugas dapat
dikendalikan secara lebih luas dalam suatu badan usaha / organisasi selama anggota
kelompok suka melakukan dan penuh kepercayaan terhadap kepimpinannya (hubungan
yang baik antara pemimpin-anggota).
Berdasarkan ketiga variabel ini Fiedler menyusun delapan macam situasi
kelompok yang berbeda derajat keuntungannya bagi pemimpin. Situasi dengan dengan
derajat keuntungan yang tinggi misalnya adalah situasi dimana hubungan pemimpin-
anggota baik, struktur tugas tinggi, dan kekuasaan kedudukan besar. Situasi yang paling
tidak menguntungkan adalah situasi dimana hubungan pemimpin-anggota tidak baik,
struktur tugas rendah dan kekuasaan kedudukan sedikit

Das könnte Ihnen auch gefallen