Sie sind auf Seite 1von 13

AKTIVITAS ANTI MIKROBA STREPTOCOCCUS

SALIVARIUS K12 TERHADAP BAKTERI PENYEBAB BAU


MULUT (ORAL MALODOUR)

(ANTIMICROBIAL ACTIVITY OF STREPTOCOCCUS SALIVARIUS


K12 ON BACTERIA INVOLVED IN ORAL MALODOUR)

L. Masdeaa, EM Kulika, I. Hauser-Gerspacha,*, AM Ramseiera, A. Filippib, T.


Waltimoa
Abstrak
Tujuan: Untuk mengetahui aktivitas antimikroba strain Streptococcus salivarius
K12 yang memproduksi bakteriosin terhadap bakteri penyebab halitosis.
Desain: aktivitas inhibisi (inhibisi) S. salivarius K12 terhadap Solobacterium
moorei CCUG39336, empat isolat klinis S. moorei, Atopobium parvulum
ATCC33793 dan Eubacterium sulci ATCC35585 diperiksa dengan suatu uji
deferred antagonisme. Eubacterium saburreum ATCC33271 dan Parvimonas
micra ATCC33270, yang telah diuji dalam studi sebelumnya, ditempatkan
sebagai kontrol positif, dan strain Gram-negatif Bacteroides fragilis ZIB2800
ditempatkan sebagai kontrol negatif. Selain itu, adanya resistensi pada S. moorei
CCUG39336 terhadap S. salivarius K12 dianalisa baik melalui lempenging
langsung atau dengan passage (jalur) S. moorei CCUG39336 pada lempeng agar
yang mengandung S. salivarius K12 penginaktivasi kloroform.
Hasil: S. salivarius K12 menekan pertumbuhan semua bakteri Gram-positif yang
diuji, tetapi sejauh mana bakteri dihambat adalah bervariasi. E. sulci ATCC35585
adalah strain yang paling sensitif, sedangkan kelima isolat S. moorei dihambat
pada tingkat lebih rendah. Resistensi alami tampaknya sangat rendah pada S.
moorei CCUG39336, dan hanya terdapat sedikit penurunan sensitivitas setelah
terpapar S. salivarius K12 lebih dari 10 jalur.
Kesimpulan: Studi kami menunjukkan bahwa S. salivarius K12 memiliki aktivitas
antimikroba terhadap bakteri penyebab halitosis. Jenis strain ini mungkin
merupakan kandidat yang menarik dan berharga untuk pengembangan terapi
antimikroba bagi halitosis.
1. Pendahuluan
Bau mulut (oral malodour), juga disebut halitosis, mengenai proporsi
populasi orang dewasa yang signifikan dan merupakan kepentingan bersama
karena pengaruhnya terhadap lingkungan sosial dan pekerjaan. Kebanyakan
senyawa oral malodour halitosis dihasilkan dari metabolisme spesies bakteri oral
tertentu, terutama bakteri-bakteri di dorsum lidah. Senyawa ini terdiri dari VSC
(senyawa sulfur yang mudah menguap / volatil), asam valerik, asam butirat dan
putrescine. Bermacam-macam kelompok bakteri Gram-negatif dan Gram-positif
telah ditemukan berkontribusi terhadap masalah ini. Sebaliknya, spesies bakteri
tertentu yang dominan dalam mulut subyek “sehat” terlihat jelas tidak dijumpai
pada subyek dengan halitosis.
Perawatan saat ini berfokus pada penggunaan rejimen antibakteri berbahan
kimia atau fisik untuk mengurangi jumlah bakteri ini. Terapi biasanya hanya
memberikan penyembuhan jangka pendek karena serangan bakteri secara cepat
terjadi kembali setelah pengobatan dihentikan.
Penggunaan probiotik telah lama populer dalam industri makanan.
Organisasi Kesehatan Dunia mendefinisikan probiotik sebagai organisme hidup
yang bila diberikan dalam jumlah yang adekuat memberikan manfaat kesehatan
bagi host. Kegunaannya dalam praktek klinis sebelumnya telah didiskusikan.
Salah satu potensi dan penggunaan klinis penting dari probiotik adalah dalam
pencegahan karies gigi.
Dengan mencegah pertumbuhan kembali organisme penyebab bau mulut
melalui kolonisasi pre-emptive dari rongga mulut dengan kolonisasi non-odour,
mikroorganisme komensal mungkin merupakan suatu alternatif yang masuk akal
untuk rejimen antibakteri kimia atau fisik. Mengingat bahwa dorsum lidah
merupakan asal dari sebagian besar masalah halitosis, suatu kandidat probiotik
untuk mengatasi kondisi ini harus dapat bertahan dalam ekosistem tertentu.
Produksi molekul anti-kompetitor seperti bakteriosin juga tampaknya memberikan
keuntungan ekologis terhadap beberapa bakteri. Sebuah strain probiotik yang
secara efisien mengkolonisasi permukaan lidah dan yang tidak menghasilkan
produk sampingan odour metabolik, akan sangat menguntungkan.
Streptococcus salivarius yang dikenal sebagai pioner pengkolonisasi
permukaan oral dan ditemukan dominan pada manusia 'sehat', tidak dipengaruhi
oleh halitosis. Lozenges BLIS K12 Throat Guard (BLIS Technologies, Pusat
Inovasi, Dunedin, New Selandia) mengandung S. salivarius K12, yang telah
terbukti membantu menjaga kesehatan tenggorokan dengan mendukung
pertahanan terhadap bakteri yang tidak diinginkan. Bakteri ini tidak dimodifikasi
atau direkayasa secara genetik, dan produk ini tersedia dalam tiga rasa (vanili,
strawberi dan peppermint). Strain yang khusus digunakan, menghasilkan dua
peptida antibakteri alami, salivaricin A2 dan salivaricin B, yang merupakan
bakteriosin jenis lantibiotik. Dalam studi deferred antagonisme, S. salivarius K12
menghambat bakteri Gram-positif Streptococcus anginosis T29, Eubacterium
saburreum dan Micromonas mikros, yang terlibat dalam halitosis, dan secara
signifikan menghambat jenis koloni pigmentasi hitam yang terdapat dalam sampel
saliva.
Berdasarkan penelitian ini dan hasil yang menjanjikan lainnya, S.
salivarius K12 memiliki potensi yang sangat baik untuk digunakan sebagai suatu
probiotik yang menargetkan bakteri penyebab halitosis.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi sejauh mana spektrum
inhibisi S. salivarius K12 terhadap tiga tambahan spesies bakteri yang baru-baru
ini ditemukan terlibat dalam halitosis dan untuk menyelidiki perkembangan
resistensi bakteri terhadap S. salivarius K12.

2. Bahan dan metode


2.1. Strain bakteri dan kondisi pertumbuhan
Strain S. salivarius K12 penghasil bakteriosin dan S. salivarius MU yang
non-penghasil, disediakan dengan kebaikan Prof J. Tagg (Departemen
Mikrobiologi dan Imunologi, Universitas of Otago, Dunedin, Selandia Baru).
Strain indikator yang digunakan dalam penelitian ini termasuk berikut: E.
saburreum ATCC 33271; Parvimonas micra (sebelumnya dikenal sebagai
Micromonas micros atau Peptostreptococcus micros) ATCC 33270, yang
berperan sebagai kontrol positif dan Bacteroides fragilis ZIB 2800 (Fakultas
Kedokteran Gigi, Universitas Basel, Swiss), yang berfungsi sebagai kontrol
negatif. Uji strain meliputi Atopobium parvulum ATCC 33793, Eubacterium sulci
ATCC 35585, Solobacterium moorei CCUG 39336 dan empat isolat klinis S.
moorei, CH1 # 23, # 109A CH3A, CH3 # 63 dan CH8 # 20, yang sampai saat ini
belum diuji kerentanannya terhadap S. salivarius K12 secara in vitro.
Semua bakteri ditumbuhkan pada agar Columbia (Columbia Agar Base
[BBL Becton Dickinson, Allschwil, Swiss]) yang dilengkapi dengan 4 mg / l
hemin (Fluka, Buchs, Swiss), 1 mg / l menadione (VWR International, Dietikon,
Swiss) dan 50 ml darah manusia / l (Blutspendezentrum, Basel, Swiss) dalam
kondisi anaerob (Oxoid AnaeroGen Compact, Oxoid, Pratteln, Swiss) pada suhu
37oC selama 2-4 hari.

2.2. Aktivitas antimikroba S. salivarius K12


Aktivitas penghambat S. salivarius K12 dan S. salivarius MU non-
produsen salivaricin dianalisa dengan menggunakan uji deferred antagonisme
modifikasi. Kertas blotting steril (Inapa Schweiz AG, Regensdorf, Swiss)
dipotong dengan ukuran 9 cm x 1 cm dan secara hati-hati dicelupkan dalam kultur
S. salivarius dengan densitas standar 4-5 McFarland. Setelah menghapus
kelebihan cairan, kertas blotting ditempatkan di tengah lempeng Agar Columbia
yang mengandung darah manusia 5% dan kalsium karbonat0,1% (CaCO3) (E.
Merck, Darmstadt), didiamkan selama 2 detik dan kemudian diangkat. Lempeng
agar diinkubasi pada suhu 37oC di bawah kondisi anaerobik selama 24 jam.
Setelah inkubasi, pertumbuhan diangkat dengan kapas steril. Untuk membunuh
sisa sel bakteri pada permukaan medium, lempeng agar dipaparkan dengan uap
kloroform (E. Merck, Darmstadt) selama 30 menit pada suhu ruangan. Lempeng
ini kemudian diangin-anginkan selama 30 menit.
Beberapa koloni dari masing-masing strain indikator yang dibiakkan pada
medium agar darah Columbia-kalsium karbonat disuspensikan pada 3 ml kaldu
Todd-Hewitt dan dicoretkan (digariskan) pada sudut kanan terhadap zona kultur
S. salivarius asli dengan kapas steril. Lempeng diinkubasi pada kondisi anaerob
pada 37oC selama sekurang-kurangnya 48 jam, dan sejauh mana penginhibisi
dicatat dalam mm (jarak antara garis penghasil asli dengan garis penginhibisi
strain indikator). Setiap uji dilakukan setidaknya tiga kali.
2.3. Uji resistensi S. moorei CCUG 39336 terhadap S. salivarius K12
Sel S. salivarius K12 atau S. salivarius MU, masing-masing disuspensikan
dalam 3 ml kaldu Todd Hewitt dan di-swab ke dalam medium agar darah
Columbia-kalsium karbonat. Setelah itu, lempeng diinkubasi pada suhu 37oC
dalam kondisi anaerob selama 24 jam sampai pertumbuhan konfluen diamati. Sel
bakteri diangkat dari lempeng dengan swab kapas steril, dan permukaan agar-agar
dipaparkan dengan uap kloroform selama 30 menit dan diangin-anginkan selama
30 menit. Lempeng kontrol tanpa S. salivarius juga terpapar dengan kondisi yang
sama.
Untuk mendeteksi isolat S. moorei resisten bakteriosin, beberapa koloni S.
moorei CCUG 39336 diinokulasi dalam 2 ml kaldu Todd- Hewitt. Setelah
inkubasi pada suhu 37oC dalam kondisi anaerobik selama 24 jam, 1 ml suspensi
ini disentrifugasi pada 10.000 rpm selama 15 menit pada 15 oC dan disuspensi
ulang dalam 300 µl kaldu Todd-Hewitt. Densitas sel yang tepat ditentukan melalui
plating pengenceran darah yang tepat ke dalam medium agar darah Columbia-
kalsium karbonat. Seratus mikroliter suspensi S. moorei ini digariskan pada
lempeng agar yang diperlakukan sebelumnya dengan S. salivarius K12 dan 100 µl
ke dalam lempeng agar yang diperlakukan sebelumnya dengan S. salivarius MU.

2.4. Uji untuk induksi resistensi S. moorei CCUG 39336 terhadap bakteriosin
dari S. salivarius K12
S. salivarius K12 penghasil bakteriosin dan strain indikator S. moorei
CCUG 39336 dibiakkan, digariskan ke dalam medium agar darah Columbia-
kalsium karbonat dan diinkubasi sebagaimana dijelaskan di atas untuk uji deferred
antagonisme modifikasi. Koloni S. moorei yang paling dekat dengan zona hambat
di subkultivasi ke dalam medium agar darah Columbia-kalsium karbonat dan diuji
kembali terhadap S. salivarius K12. Prosedur ini diulang selama 10 jalur (bagian).

2.5. Analisis statistik


Aktivitas inhibisi S. salivarius K12 terhadap strain indikator diuji dengan
menggunakan model linier. Variabel dependen adalah ukuran zona inhibisi,
variabel independen adalah strain indikator. Untuk membandingkan zona inhibisi
dari masing-masing strain indikator terhadap S. salivarius MU non-penghasil
salivaricin, suatu model tanpa istilah pintas digunakan. Mean diestimasi dengan
interval kepercayaan (confidence interval) 95% dengan nilai-P yang sesuai.

Gambar. 1 - Mean zona inhibisi ± standar deviasi S. salivarius K12 terhadap


sembilan strain indikator Gram-positif (n = 3).

Gambar. 2 – Efek inhibisi S. salivarius K12 (a dan b) dibandingkan dengan S.


salivarius MU (c dan d). Suatu zona inhibisi yang jelas dihasilkan terhadap kultur
S. moorei CCUG 39336 (a), sedangkan pertumbuhan B. fragilis tidak dihambat
oleh S. salivarius K12 (b). Strain S. salivarius MU non-penghasil tidak
menghambat pertumbuhan S. moorei CCUG 39336 (c) maupun B. fragilis (d).

Untuk menganalisa induksi resistensi pada S. moorei CCUG 39336


terhadap salivaricins dari S. salivarius K12, model efek linear campuran (LME)
digunakan karena struktur data dengan seri dependen harus dijelaskan. Variabel
dependen adalah ukuran zona inhibisi dan variabel independen adalah jumlah
jalur. Unit eksperimental diperlakukan sebagai faktor acak.
Hasil disajikan sebagai perbedaan mean, dengan interval kepercayaan
95% dan nilai-P yang sesuai. Nilai P < 0,05 dianggap signifikan secara statistik.
Semua evaluasi statistik dan grafik dikerjakan dengan perangkat lunak R v
2.14.0 untuk Windows® yang tersedia untuk umum. Model linier ini dihitung
dengan menggunakan fungsi lm() dan korelasi interval kepercayaan dihitung
dengan menggunakan fungsi confint () (paket statistik). Model efek linier
campuran dihitung dengan menggunakan fungsi lme () dan interval kepercayaan
diestimasi dengan menggunakan fungsi interval () (paket-nlme). Uji normalitas
distribusi dilakukan dengam menggunakan fungsi qqPlot () dari mobil paket.
Tidak ada deviasi sistematis dari distribusi normal yang diamati. Untuk membuat
grafik, paket plotrix dan gplots digunakan.

3. Hasil
3.1. Aktivitas antimikroba S. salivarius K12
Semua strain indikator Gram-positif dihambat oleh S. salivarius K12
(Gambar 1), sedangkan B. fragilis, bakteri Gram-negatif, tidak dihambat (Gambar
2b). Ukuran rata-rata zona inhibisi untuk lima isolat S. moorei antara 5,3 mm
untuk S. Moorei CH1#23 dan 9,8 mm untuk strain tipe S. moorei CCUG 39336.
Zona inhibisi untuk E. saburreum dan P. micra berada dalam rentang yang sama,
sedangkan A. parvulum dan E. sulci lebih rentan terhadap S. salivarius K12
dengan masing-masing zona inhibisi sebesar 14,4 mm dan 16,7 mm. Variabilitas
tampak jelas pada sebagian besar spesies. E. saburreum, E. sulci dan P. micra
menunjukkan variasi terbesar dari hasil, sedangkan S. moorei CCUG 39336 dan S.
moorei CH1#23 memiliki variasi terkecil.
Strain S. salivarius MU non-penghasil bakteriosin tidak menghambat salah
satu strain indikator (Gambar 2c dan d). Inhibisi dari semua bakteri indikator
Gram-positif oleh S. salivarius K12 bermakna secara statistik (P <0,001) ketika
dibandingkan dengan strain S. salivarius MU non-penghasil bakteriosin (Tabel 1).
3.2. Uji resistensi S. moorei CCUG 39336 terhadap S. salivarius K12
Untuk menguji resistensi intrinsik S. moorei terhadap bakteriosin yang
diproduksi oleh S. salivarius K12, hingga lebih dari 9,1x107 sel-sel S. moorei
CCUG 39336 digariskan pada lempeng yang sebelumnya disemai dengan S.
salivarius K12 atau S. salivarius MU. Tidak ada pertumbuhan yang dapat
dideteksi pada lempeng yang sebelumnya diperlakukan dengan S. salivarius K12
bahkan setelah inkubasi dalam waktu lama, sementara itu terdapat pertumbuhan
konfluen S. moorei CCUG 39336 pada lempeng yang sebelumnya diperlakukan
dengan S. salivarius MU.

Tabel 1 - Hasil analisa statistik dari inhibisi bakteri indikator Gram-positif oleh S.
salivarius K12 dibandingkan dengan strain S. salivarius MU non-penghasil
bakteriosin. Yang ditampilkan adalah masing-masing strain indikator, perbedaan
mean estimasi (est.mean difference) dalam mm, interval kepercayaan atas dan
bawah 95% (95% confint) dalam mm dan nilai P yang sesuai.
Est.mean 95% confint
Strain indikator Nilai P
difference Bawah Atas
A. parvulum 14,38 12,40 16,35 <0,001
E. saburreum 8,59 6,52 10,66 <0,001
E. sulci 16,67 12,71 20,63 <0,001
P. micra 9,28 6,99 11,56 <0,001
S. moorei CCUG 9,75 7,33 12,17 <0,001
39.336
S. moorei CH1 # 23 5,29 3,31 7,27 <0,001
S. moorei CH3A # 9.17 6.88 11.45 <0,001
109A
S. moorei CH3 # 63 9.04 7.06 11.02 <0,001
S. moorei CH8 # 20 5,54 3,56 7,52 <0,001
3.3. Uji induksi resistensi pada S. moorei CCUG 39336 terhadap bakteriosin
dari S. salivarius K12
Zona inhibisi S. moorei CCUG 39336 menurun sedikit dengan masing-
masing jalur, dari 8,2 ± 0,6 mm pada awalnya menjadi 6,2 ± 0,3 mm setelah 10
jalur (Gambar. 3). Dengan membandingkan zona inhibisi dari masing-masing
jalur berturut-turut dengan yang berasal dari jalur pertama, model efek campuran
linier menunjukkan bahwa pengurangan ini bermakna secara statistik (Tabel 2).
Dari jalur ke 5, semua perbedaan adalah sangat nyata (P <0,001).

4. Diskusi
Untuk bersaing dengan spesies lain akan nutrisi dalam tempat ekologi yang sama,
banyak spesies bakteri berbeda, menghasilkan bakteriosin.

Tabel 2 - Hasil analisa statistik yang membandingkan ukuran zona inhibisi jalur
pertama dengan ukuran zona jalur-jalur berikutnya. Yang ditampilkan adalah
nomor masing-masing jalur, perbedaan mean estimasi (est.mean difference) dalam
mm, interval kepercayaan atas dan bawah 95% (95% confint) dalam mm dan nilai
P yang sesuai.
95% confint
Nomor jalur Est.mean difference Nilai-P
Bawah Atas
2 - 0.67 - 1.20 - 0.14 0.017
3 - 0.83 - 1.36 - 0.30 0.004
4 - 0.67 - 1.20 - 0.14 0.017
5 - 1.83 - 2.36 - 1.30 <0,001
6 - 2.00 - 2.53 - 1.47 <0,001
7 - 2.33 - 2.86 - 1.80 <0,001
8 - 1.67 - 2.20 - 1.14 <0,001
9 - 2.00 - 2.53 - 1.47 <0,001
10 - 2.00 - 2.53 - 1.47 <0,001
Gambar. 3 - Uji induksi resistensi pada S. moorei CCUG 39336 terhadap
bakteriosin dari S. salivarius K12. Yang ditampilkan adalah tingkat inhibisi (mm)
dalam jalur yang berbeda.

Peptida atau protein yang disintesa secara ribosom ini memiliki aktivitas
antibakteri. Karena potensinya sebagai pengawet makanan dan efek
antagonismenya terhadap patogen makanan yang penting, bakteriosin yang telah
dipelajari, paling banyak berasal dari bakteri asam laktat. Nisin lantibiotik, yang
diproduksi oleh Lactococcus lactis spp. yang berbeda, adalah bakteriosin terbaik
yang telah dipelajari dan, sejauh ini, hanya salah satu yang digunakan sebagai,
suatu aditif makanan. Namun, kultur pemula penghasil bakteriosin yang umum
digunakan dalam fermentasi makanan, dan bakteri probiotik, baru-baru ini
mendapatkan minat dan penerimaan yang tinggi karena potensi manfaat
kesehatannya. Produksi zat antimikroba terhadap patogen telah diusulkan sebagai
mekanisme yang penting dimana bakteri probiotik dapat memperbaiki kesehatan
manusia.
Ada beberapa upaya untuk meneliti efek dari bakteri probiotik dalam
rongga mulut. Ekosistem kompleks ini dihuni oleh lebih dari 700 spesies bakteri,
beberapa diantaranya telah terbukti menghasilkan zat antimikroba, termasuk
bakteriosin. Patogen karies Streptococcus mutans menghasilkan beberapa jenis
bakteriosin yang disebut mutasin. Efisiensi penggantian mutan streptokokus
kariogenik asal (indigen) oleh suatu strain S. mutans rekayasa genetika didasarkan
pada produksi mutacin lantibiotic 1140 spektrum luas. Uji hewan menunjukkan
bahwa suatu strain S. mutans avirulen yang memproduksi etanol sebagai
pengganti asam laktat dan yang menyimpan mutasin 1140 dapat secara sukses
menggantikan strain S. mutans lainnya dan menyebabkan pengurangan tingkat
karies yang signifikan. Uji keamanan fase I yang menggunakan suatu strain
auksotrofik direncanakan untuk menentukan tingkat penularan bakteri ini.
Beberapa penelitian lain telah meneliti efek bakteri probiotik, terutama
bakteri asam laktat, dalam jumlah bakteri saliva dan pencegahan karies. Studi-
studi awal ini memberikan hasil yang menjanjikan; pengurangan jumlah S.mutans
saliva dan pengurangan resiko karies ditemukan pada sebagian besar studi.
S. salivarius, salah satu bakteri komensal dominan dari rongga mulut,
diketahui menghasilkan bakteriosin dan unsur penghambat mirip bakteriosin,
yang membuat strain S. salivarius merupakan kandidat yang menjanjikan untuk
pengembangan probiotik oral terhadap penyakit infeksi mulut. Telah terbukti
bahwa S. salivarius dapat melawan kerja Streptococcus pyogenes, agen etiologi
utama bakteri faringitis pada anak-anak, memang, tablet hisap S. salivarius K12
telah dijual di beberapa negara sebagai probiotik oral untuk menjaga kesehatan
tenggorokan.
Oleh karena itu, kemungkinan skrining probiotik terhadap beberapa
bakteri yang terlibat dalam halitosis tampaknya sangat menjanjikan. Eksperimen
dalam penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan efek inhibisi probiotik S.
salivarius K12, yang memproduksi setidaknya dua bakteriosin lantibiotik, pada
strain-strain dari beberapa spesies bakteri Gram-positif.
Baru-baru ini, penggunaan S. salivarius K12 sebagai probiotik dalam
praktek klinis telah diuji. Dalam uji deferred antagonisme, Burton dkk.
melaporkan inhibisi kuat oleh S. salivarius K12 terhadap spesies Gram-positif
penyebab halitosis, termasuk E. saburreum dan P. micra (M. micros). Prosedur
yang diikuti dalam penelitian kami adalah terkait dengan uji yang digunakan oleh
Tagg dan Bannister. Hasilnya menunjukkan suatu inhibisi E. saburreum dan P.
micra, yang menunjukkan kondisi kultur yang adekuat untuk S. Salivarius
penghasil bakteriosin. Selain itu, bakteri Gram-negatif tidak menunjukkan adanya
inhibisi, yang konsisten dengan literatur yang sesuai. Dengan demikian,
pengaturan uji yang diterapkan bisa secara rutin digunakan untuk lebih lanjut
mempelajari spesies bakteri yang terlibat dalam halitosis.
S. moorei baru-baru ini teridentifikasi pada spesimen pasien yang
menderita halitosis. Inhibisi oleh S. salivarius K12 diperlihatkan terhadap strain
CCUG 39336 dan empat isolat klinis S. moorei (CH1 # 23, # 109A CH3A, CH3 #
63, CH8 # 20) yang berasal dari sampel yang diambil dari rongga mulut manusia.
A. Parvulum ATCC 33793 dan E. sulci ATCC 35585 digunakan untuk penelitian
ini karena bakteri ini diketahui terlibat dalam halitosis dan karena bakteri-bakteri
ini belum diuji dengan uji deferred antagonisme. Variasi dalam zona inhibisi E.
saburreum, E. sulci dan P. micra dapat dikaitkan dengan tuntutan kondisi
pertumbuhan dan tantangan kultur.
Perkembangan resistensi strain menjadi perhatian utama bagi aplikasi in
vivo dari strain probiotik, dan munculnya resistensi terhadap bakteriosin telah
terbaik didokumentasikan untuk nisin. Dalam lingkungan laboratorium, bakteri
resisten nisin dapat diperoleh melalui pemaparan strain sensitif secara berulang
kali terhadap meningkatnya jumlah nisin. Bakteri Gram-positif dan Gram-negatif
dapat menunjukkan resistensi terhadap nisin. Mekanisme molekular yang
menyebabkan ketidak-rentanan telah terbukti melibatkan perubahan dalam
membran sel bakteri atau dinding sel, meskipun sifat pasti dari faktor yang terlibat
dalam pengembangan resistensi masih sulit dipahami, dan bakteri dapat
menempuh beberapa strategi secara bersamaan untuk mendapatkan resistensi nisin
(ditinjau dalam Ref. 21).
Mekanisme yang mungkin mengarah kepada perolehan resistensi adalah
transfer gen horisontal dimana gen-gen ditransfer antara bakteri. Cara transfer gen
ini diperlihatkan pada S. salivarius K12 dimana plasmid besar yang menampung
lokus untuk produksi bakteriosin bisa ditransfer secara in vivo ke dalam strain S.
salivarius plasmid-negatif melalui transmisi oral. Sejauh ini, belum ada penelitian
yang telah dilakukan untuk menentukan rentang host berbagai plasmid ini atau
apakah terdapat transmisi untuk streptokokus oral lainnya atau bahkan untuk
patogen potensial.
Tidak ada resistensi terhadap bakteriosin yang dihasilkan melalui
pemberian S. salivarius K12 secara oral yang telah dilaporkan sejauh ini. Dalam
studi kami, tidak ada resistensi intrinsik S. moorei CCUG 39336 terhadap S.
salivarius K12 yang dapat terdeteksi, meskipun terdapat penurunan sensitivitas
ketika S. moorei CCUG 39336 berulang kali dipaparkan dengan S. salivarius K12
lebih dari 10 bagian. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah
resistensi mungkin juga terjadi secara in vivo.
Berbeda dengan antibiotik, dimana saat ini tidak ada resistensi antibiotik
dalam penggunaan klinis yang tidak berkembang, resistensi bakteriosin belum
menimbulkan masalah serius. Namun, resistansi silang antara bakteriosin telah
diamati dan dianggap mewakili mekanisme resistensi umum, dan ini menekankan
perlunya probiotik yang efisien dan aman.

5. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, penelitian kami menunjukkan bahwa strain S.
Salivarius K12 penghasil bakteriosin memperlihatkan aktivitas antimikroba
terhadap bakteri halitosis antara lain S. moorei, yang baru-baru ini telah
ditemukan menjadi kontributor utama terhadap bau mulut. Selain itu, strain tipe S.
moorei CCUG 39336 tampaknya tidak memiliki resistensi alami terhadap S.
salivarius K12, dan hanya terdapat sedikit penurunan sensitivitas setelah paparan
berulang S. salivarius K12. Berdasarkan hasil tersebut, S. salivarius K12 mungkin
merupakan kandidat yang menarik dan berharga untuk pengembangan terapi
antimikroba untuk mengobati bau mulut.

Das könnte Ihnen auch gefallen