Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
2.4. Uji untuk induksi resistensi S. moorei CCUG 39336 terhadap bakteriosin
dari S. salivarius K12
S. salivarius K12 penghasil bakteriosin dan strain indikator S. moorei
CCUG 39336 dibiakkan, digariskan ke dalam medium agar darah Columbia-
kalsium karbonat dan diinkubasi sebagaimana dijelaskan di atas untuk uji deferred
antagonisme modifikasi. Koloni S. moorei yang paling dekat dengan zona hambat
di subkultivasi ke dalam medium agar darah Columbia-kalsium karbonat dan diuji
kembali terhadap S. salivarius K12. Prosedur ini diulang selama 10 jalur (bagian).
3. Hasil
3.1. Aktivitas antimikroba S. salivarius K12
Semua strain indikator Gram-positif dihambat oleh S. salivarius K12
(Gambar 1), sedangkan B. fragilis, bakteri Gram-negatif, tidak dihambat (Gambar
2b). Ukuran rata-rata zona inhibisi untuk lima isolat S. moorei antara 5,3 mm
untuk S. Moorei CH1#23 dan 9,8 mm untuk strain tipe S. moorei CCUG 39336.
Zona inhibisi untuk E. saburreum dan P. micra berada dalam rentang yang sama,
sedangkan A. parvulum dan E. sulci lebih rentan terhadap S. salivarius K12
dengan masing-masing zona inhibisi sebesar 14,4 mm dan 16,7 mm. Variabilitas
tampak jelas pada sebagian besar spesies. E. saburreum, E. sulci dan P. micra
menunjukkan variasi terbesar dari hasil, sedangkan S. moorei CCUG 39336 dan S.
moorei CH1#23 memiliki variasi terkecil.
Strain S. salivarius MU non-penghasil bakteriosin tidak menghambat salah
satu strain indikator (Gambar 2c dan d). Inhibisi dari semua bakteri indikator
Gram-positif oleh S. salivarius K12 bermakna secara statistik (P <0,001) ketika
dibandingkan dengan strain S. salivarius MU non-penghasil bakteriosin (Tabel 1).
3.2. Uji resistensi S. moorei CCUG 39336 terhadap S. salivarius K12
Untuk menguji resistensi intrinsik S. moorei terhadap bakteriosin yang
diproduksi oleh S. salivarius K12, hingga lebih dari 9,1x107 sel-sel S. moorei
CCUG 39336 digariskan pada lempeng yang sebelumnya disemai dengan S.
salivarius K12 atau S. salivarius MU. Tidak ada pertumbuhan yang dapat
dideteksi pada lempeng yang sebelumnya diperlakukan dengan S. salivarius K12
bahkan setelah inkubasi dalam waktu lama, sementara itu terdapat pertumbuhan
konfluen S. moorei CCUG 39336 pada lempeng yang sebelumnya diperlakukan
dengan S. salivarius MU.
Tabel 1 - Hasil analisa statistik dari inhibisi bakteri indikator Gram-positif oleh S.
salivarius K12 dibandingkan dengan strain S. salivarius MU non-penghasil
bakteriosin. Yang ditampilkan adalah masing-masing strain indikator, perbedaan
mean estimasi (est.mean difference) dalam mm, interval kepercayaan atas dan
bawah 95% (95% confint) dalam mm dan nilai P yang sesuai.
Est.mean 95% confint
Strain indikator Nilai P
difference Bawah Atas
A. parvulum 14,38 12,40 16,35 <0,001
E. saburreum 8,59 6,52 10,66 <0,001
E. sulci 16,67 12,71 20,63 <0,001
P. micra 9,28 6,99 11,56 <0,001
S. moorei CCUG 9,75 7,33 12,17 <0,001
39.336
S. moorei CH1 # 23 5,29 3,31 7,27 <0,001
S. moorei CH3A # 9.17 6.88 11.45 <0,001
109A
S. moorei CH3 # 63 9.04 7.06 11.02 <0,001
S. moorei CH8 # 20 5,54 3,56 7,52 <0,001
3.3. Uji induksi resistensi pada S. moorei CCUG 39336 terhadap bakteriosin
dari S. salivarius K12
Zona inhibisi S. moorei CCUG 39336 menurun sedikit dengan masing-
masing jalur, dari 8,2 ± 0,6 mm pada awalnya menjadi 6,2 ± 0,3 mm setelah 10
jalur (Gambar. 3). Dengan membandingkan zona inhibisi dari masing-masing
jalur berturut-turut dengan yang berasal dari jalur pertama, model efek campuran
linier menunjukkan bahwa pengurangan ini bermakna secara statistik (Tabel 2).
Dari jalur ke 5, semua perbedaan adalah sangat nyata (P <0,001).
4. Diskusi
Untuk bersaing dengan spesies lain akan nutrisi dalam tempat ekologi yang sama,
banyak spesies bakteri berbeda, menghasilkan bakteriosin.
Tabel 2 - Hasil analisa statistik yang membandingkan ukuran zona inhibisi jalur
pertama dengan ukuran zona jalur-jalur berikutnya. Yang ditampilkan adalah
nomor masing-masing jalur, perbedaan mean estimasi (est.mean difference) dalam
mm, interval kepercayaan atas dan bawah 95% (95% confint) dalam mm dan nilai
P yang sesuai.
95% confint
Nomor jalur Est.mean difference Nilai-P
Bawah Atas
2 - 0.67 - 1.20 - 0.14 0.017
3 - 0.83 - 1.36 - 0.30 0.004
4 - 0.67 - 1.20 - 0.14 0.017
5 - 1.83 - 2.36 - 1.30 <0,001
6 - 2.00 - 2.53 - 1.47 <0,001
7 - 2.33 - 2.86 - 1.80 <0,001
8 - 1.67 - 2.20 - 1.14 <0,001
9 - 2.00 - 2.53 - 1.47 <0,001
10 - 2.00 - 2.53 - 1.47 <0,001
Gambar. 3 - Uji induksi resistensi pada S. moorei CCUG 39336 terhadap
bakteriosin dari S. salivarius K12. Yang ditampilkan adalah tingkat inhibisi (mm)
dalam jalur yang berbeda.
Peptida atau protein yang disintesa secara ribosom ini memiliki aktivitas
antibakteri. Karena potensinya sebagai pengawet makanan dan efek
antagonismenya terhadap patogen makanan yang penting, bakteriosin yang telah
dipelajari, paling banyak berasal dari bakteri asam laktat. Nisin lantibiotik, yang
diproduksi oleh Lactococcus lactis spp. yang berbeda, adalah bakteriosin terbaik
yang telah dipelajari dan, sejauh ini, hanya salah satu yang digunakan sebagai,
suatu aditif makanan. Namun, kultur pemula penghasil bakteriosin yang umum
digunakan dalam fermentasi makanan, dan bakteri probiotik, baru-baru ini
mendapatkan minat dan penerimaan yang tinggi karena potensi manfaat
kesehatannya. Produksi zat antimikroba terhadap patogen telah diusulkan sebagai
mekanisme yang penting dimana bakteri probiotik dapat memperbaiki kesehatan
manusia.
Ada beberapa upaya untuk meneliti efek dari bakteri probiotik dalam
rongga mulut. Ekosistem kompleks ini dihuni oleh lebih dari 700 spesies bakteri,
beberapa diantaranya telah terbukti menghasilkan zat antimikroba, termasuk
bakteriosin. Patogen karies Streptococcus mutans menghasilkan beberapa jenis
bakteriosin yang disebut mutasin. Efisiensi penggantian mutan streptokokus
kariogenik asal (indigen) oleh suatu strain S. mutans rekayasa genetika didasarkan
pada produksi mutacin lantibiotic 1140 spektrum luas. Uji hewan menunjukkan
bahwa suatu strain S. mutans avirulen yang memproduksi etanol sebagai
pengganti asam laktat dan yang menyimpan mutasin 1140 dapat secara sukses
menggantikan strain S. mutans lainnya dan menyebabkan pengurangan tingkat
karies yang signifikan. Uji keamanan fase I yang menggunakan suatu strain
auksotrofik direncanakan untuk menentukan tingkat penularan bakteri ini.
Beberapa penelitian lain telah meneliti efek bakteri probiotik, terutama
bakteri asam laktat, dalam jumlah bakteri saliva dan pencegahan karies. Studi-
studi awal ini memberikan hasil yang menjanjikan; pengurangan jumlah S.mutans
saliva dan pengurangan resiko karies ditemukan pada sebagian besar studi.
S. salivarius, salah satu bakteri komensal dominan dari rongga mulut,
diketahui menghasilkan bakteriosin dan unsur penghambat mirip bakteriosin,
yang membuat strain S. salivarius merupakan kandidat yang menjanjikan untuk
pengembangan probiotik oral terhadap penyakit infeksi mulut. Telah terbukti
bahwa S. salivarius dapat melawan kerja Streptococcus pyogenes, agen etiologi
utama bakteri faringitis pada anak-anak, memang, tablet hisap S. salivarius K12
telah dijual di beberapa negara sebagai probiotik oral untuk menjaga kesehatan
tenggorokan.
Oleh karena itu, kemungkinan skrining probiotik terhadap beberapa
bakteri yang terlibat dalam halitosis tampaknya sangat menjanjikan. Eksperimen
dalam penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan efek inhibisi probiotik S.
salivarius K12, yang memproduksi setidaknya dua bakteriosin lantibiotik, pada
strain-strain dari beberapa spesies bakteri Gram-positif.
Baru-baru ini, penggunaan S. salivarius K12 sebagai probiotik dalam
praktek klinis telah diuji. Dalam uji deferred antagonisme, Burton dkk.
melaporkan inhibisi kuat oleh S. salivarius K12 terhadap spesies Gram-positif
penyebab halitosis, termasuk E. saburreum dan P. micra (M. micros). Prosedur
yang diikuti dalam penelitian kami adalah terkait dengan uji yang digunakan oleh
Tagg dan Bannister. Hasilnya menunjukkan suatu inhibisi E. saburreum dan P.
micra, yang menunjukkan kondisi kultur yang adekuat untuk S. Salivarius
penghasil bakteriosin. Selain itu, bakteri Gram-negatif tidak menunjukkan adanya
inhibisi, yang konsisten dengan literatur yang sesuai. Dengan demikian,
pengaturan uji yang diterapkan bisa secara rutin digunakan untuk lebih lanjut
mempelajari spesies bakteri yang terlibat dalam halitosis.
S. moorei baru-baru ini teridentifikasi pada spesimen pasien yang
menderita halitosis. Inhibisi oleh S. salivarius K12 diperlihatkan terhadap strain
CCUG 39336 dan empat isolat klinis S. moorei (CH1 # 23, # 109A CH3A, CH3 #
63, CH8 # 20) yang berasal dari sampel yang diambil dari rongga mulut manusia.
A. Parvulum ATCC 33793 dan E. sulci ATCC 35585 digunakan untuk penelitian
ini karena bakteri ini diketahui terlibat dalam halitosis dan karena bakteri-bakteri
ini belum diuji dengan uji deferred antagonisme. Variasi dalam zona inhibisi E.
saburreum, E. sulci dan P. micra dapat dikaitkan dengan tuntutan kondisi
pertumbuhan dan tantangan kultur.
Perkembangan resistensi strain menjadi perhatian utama bagi aplikasi in
vivo dari strain probiotik, dan munculnya resistensi terhadap bakteriosin telah
terbaik didokumentasikan untuk nisin. Dalam lingkungan laboratorium, bakteri
resisten nisin dapat diperoleh melalui pemaparan strain sensitif secara berulang
kali terhadap meningkatnya jumlah nisin. Bakteri Gram-positif dan Gram-negatif
dapat menunjukkan resistensi terhadap nisin. Mekanisme molekular yang
menyebabkan ketidak-rentanan telah terbukti melibatkan perubahan dalam
membran sel bakteri atau dinding sel, meskipun sifat pasti dari faktor yang terlibat
dalam pengembangan resistensi masih sulit dipahami, dan bakteri dapat
menempuh beberapa strategi secara bersamaan untuk mendapatkan resistensi nisin
(ditinjau dalam Ref. 21).
Mekanisme yang mungkin mengarah kepada perolehan resistensi adalah
transfer gen horisontal dimana gen-gen ditransfer antara bakteri. Cara transfer gen
ini diperlihatkan pada S. salivarius K12 dimana plasmid besar yang menampung
lokus untuk produksi bakteriosin bisa ditransfer secara in vivo ke dalam strain S.
salivarius plasmid-negatif melalui transmisi oral. Sejauh ini, belum ada penelitian
yang telah dilakukan untuk menentukan rentang host berbagai plasmid ini atau
apakah terdapat transmisi untuk streptokokus oral lainnya atau bahkan untuk
patogen potensial.
Tidak ada resistensi terhadap bakteriosin yang dihasilkan melalui
pemberian S. salivarius K12 secara oral yang telah dilaporkan sejauh ini. Dalam
studi kami, tidak ada resistensi intrinsik S. moorei CCUG 39336 terhadap S.
salivarius K12 yang dapat terdeteksi, meskipun terdapat penurunan sensitivitas
ketika S. moorei CCUG 39336 berulang kali dipaparkan dengan S. salivarius K12
lebih dari 10 bagian. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah
resistensi mungkin juga terjadi secara in vivo.
Berbeda dengan antibiotik, dimana saat ini tidak ada resistensi antibiotik
dalam penggunaan klinis yang tidak berkembang, resistensi bakteriosin belum
menimbulkan masalah serius. Namun, resistansi silang antara bakteriosin telah
diamati dan dianggap mewakili mekanisme resistensi umum, dan ini menekankan
perlunya probiotik yang efisien dan aman.
5. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, penelitian kami menunjukkan bahwa strain S.
Salivarius K12 penghasil bakteriosin memperlihatkan aktivitas antimikroba
terhadap bakteri halitosis antara lain S. moorei, yang baru-baru ini telah
ditemukan menjadi kontributor utama terhadap bau mulut. Selain itu, strain tipe S.
moorei CCUG 39336 tampaknya tidak memiliki resistensi alami terhadap S.
salivarius K12, dan hanya terdapat sedikit penurunan sensitivitas setelah paparan
berulang S. salivarius K12. Berdasarkan hasil tersebut, S. salivarius K12 mungkin
merupakan kandidat yang menarik dan berharga untuk pengembangan terapi
antimikroba untuk mengobati bau mulut.