Sie sind auf Seite 1von 51

BAB I

PENDAHULUAN

Antibiotik yang pertama kali ditemukan oleh Paul Eclrich pada tahun 1910
sampai saat ini masih menjadi obat pilihan dalam penanganan kasus-kasus infeksi
(Utami, 2012). Penggunaan antibiotik yang tidak rasional merupakan masalah global.
Diperkirakan kurang dari 50% semua obat diresepkan, diserahkan (dispensed) atau dijual
tidak sesuai aturan, dan kurang dari 50% pasien mendapatkan obat dari peresepan atau
dispensed. Penggunaan obat secara tidak rasional dapat membahayakan masyarakat
karena dapat menimbulkan pengobatan kurang efektif, risiko efek samping dan tingginya
biaya pengobatan (Kementeian Kesehatan RI, 2011).
Menurut Abimbola (2013) pada International Journal of Infection Control,
dalam banyak negara berkembang, antibiotik tersedia tanpa resep sehingga individu
menggunakan antibiotik dengan sewenang-wenang. Antibiotik tersebut digunakan
dengan dosis yang tidak tepat, indikasi yang tidak tepat, cara pemberian dengan interval
waktu yang tidak tepat, dan lama pemakaian yang tidak tepat. Penggunaan antibiotik
yang tidak tepat dapat menyebabkan berbagai masalah, di antaranya meluasnya
resistensi, timbulnya kejadian infeksi yang sulit diobati, meningkatkan beban ekonomi
pelayanan kesehatan, efek samping yang lebih toksik, dan kematian (Johnston, 2012).
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional adalah alasan utama untuk
peningkatan dan penyebaran resistensi antibiotik (Suaifan et al, 2012). Orang yang
terinfeksi dengan organisme resisten antibiotik lebih sering masuk rumah sakit dan
membutuhkan pengobatan dengan obat lini kedua atau ketiga yang mungkin kurang
efektif, lebih toksik, dan biayanya tinggi (Sun et al, 2011). Studi menunjukkan bahwa
resistensi antibiotik meningkat dengan peningkatan konsumsinya yang dapat didorong
oleh penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan pendidikan yang tidak memadai (Lim
dan Teh, 2012).
Pengetahuan dan pemahaman mengenai penggunaan antibiotik secara rasional
juga sangat penting untuk para dokter dan juga tenaga kesehatan lainnya. Oleh karena
itu diperlukan pembahasan dan pemahaman lebih lanjut mengenai antibiotik yang

1
meliputi prinsip kerja dari antibiotik, farmakologi antibiotik, cara kerja antibiotik,
interaksi antibiotik, resistensi antibiotik, serta efek samping dari antibiotik.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Antibiotik

Antibiotik adalah zat-zat kimia oleh yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang
memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman serta
membunuh pertumbuhan kuman dengan toksisitasnya yang relatif kecil bagi
manusia. Pada awalnya antibiotik hanya dibatasi pada zat yang dihasilkan oleh
bakteri alami, tetapi sekarang zat sintetik dan semisintetik dengan efek serupa juga
dapat digolongkan sebagai antibiotik (Utami, 2011).

B. Prinsip Kerja Antibiotik

Penggunaan antibiotik pada kasus infeksi terdapat tiga aspek yang saling
berkaitan, yaitu aspek antibiotik, kuman dan host. Penggunaan antimikroba secara
prinsip berbeda dengan obat pada umumnya oleh karena target antimikroba adalah
sel kuman, sedangkan obat lain adalah sel host. Dalam penggunaannya, antibiotik
diharapkan mampu mencapai lokasi infeksi dengan kadar yang cukup (melebihi
kadar hambat minimal/KHM), penetrasi ke dalam sel bakteri dan bekerja
mengganggu proses metabolisme bakteri sehingga bakteri tersebut menjadi tidak
aktif atau mati, namun efek toksik pada sel host diharapkan seminimal mungkin
(Amin, 2014).
Keberhasilan pengobatan antibiotik dipengaruhi oleh berbagai faktor. Selain
jenis antibiotik dan spektrum antimikroba, aspek farmakologis yaitu farmakokinetik
dan farmakodinamik merupakan faktor yang sangat penting. Aspek farmakokinetik
mencakup absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat. Sedangkan aspek
farmakodinamik mencakup sifat bakteriostatik atau bakterisid, time dependent atau
concentration dependent dan post-antibiotic effect (PAE) antibiotic (Amin,2014)

3
C. Aspek Farmakologis Antibiotik

1. Farmakokinetik

Farmakokinetik merupakan aspek yang menjelaskan mengenai


perjalanan dan apa yang terjadi pada obat saat berada di dalam tubuh. Di
antaranya termasuk absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
Proses absorpsi umumnya dikaitkan dengan penyerapan obat di saluran
cerna pada pemberian oral. Setelah mencapai kadar puncak dalam darah,
konsentrasi obat akan menurun secara cepat dalam fase yang disebut dengan fase
alfa (α). Pada fase selanjutnya yaitu fase beta (β) maka konsentrasi antibiotik
akan menurun secara perlahan dan stabil. Pada fase beta ini yang menentukan
waktu paruh (t1/2) dari suatu antibiotik. Pada proses absorpsi ini, tidak semua
obat akan mencapai sirkulasi sistemik dalam keadaan utuh atau aktif. Jumlah
persentase obat yang mencapai sirkulasi sistemik dalam keadaan utuh atau aktif
disebut bioavailabilitas. Sedangkan kesetaraan jumlah obat dalam sediaan
dengan kadar obat dalam darah atau jaringan disebut bioekuivalensi.
Setelah diabsorpsi, obat akan berkaitan dengan albumin sebagai protein
dominan dalam serum dan kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh melalui
sirkulasi darah. Persentase antibiotik yang terikat secara reversibel terhadap
albumin serum digambarkan dengan istilah protein binding. Obat kemudian akan
melepaskan diri dari ikatannya dengan albumin, dan menembus beberapa
membran sel sesuai dengan gradien konsentrasi dan mencapai tempat infeksi lalu
berikatan dengan protein jaringan. Distribusi obat antara lain dipengaruhi oleh
aliran darah, pH, protein binding, dan volume distribusi. Pasca distribusi obat,
obat kemudian akan mengalami metabolisme oleh berbagai enzim dan yang
terpenting di antaranya adalah enzim sitokrom P450, sehingga pemberian obat
obatan yang dapat meningkatkan atau menghambat kerja enzim ini dapat
mempengaruhi aktivitas antibiotik (Amin, 2014).

4
Obat yang dalam keadaan aktif akan ditingkatkan kelarutannya sehingga
lebih mudah diekskresikan, dan umumnya obat menjadi inaktif. Sedangkan untuk
obat dalam bentuk prodrug, enzim akan mengaktivaasi obat tersebut menjadi
bentuk yang aktif.
Antibiotik umumnya dieliminasi melalui ginjal dan diekskresikan
melalui urin dalam bentuk metabolit aktif dan inaktif. Antibiotik juga dapat
dieliminasi melalui empedu dan diekskresikan ke dalam usus. Dari dalam usus
sebagian obat akan dibuang melalui feses, dan sebagian akan kembali diserap
dan dibuang melalui ginjal. Sebagian kecil obat juga diekskresikan melalui
keringat, liur, air mata, dan air susu (Amin, 2014).
Tiga parameter farmakokinetika (PK) yang harus dipertimbangkan
dalam penggunaan antibiotik:
a. Kadar puncak atau kadar maksimum (Cmax)
b. Waktu paruh (t1/2) yang berbanding lurus dengan kecepatan
eliminasi
c. Area Under the Curve (AUC) adalah jumlah obat yang ada dalam
sirkulasi sistemik, dapat menunjukkan bioavailabilitas obat yang
diberikan per oral

Gambar 1. Profil kadar obat dalam darah dan Parameter Farmakokinetik


(Kemenkes, 2011)

5
2. Farmakodinamik

Farmakodinamik menggambarkan efek kerja suatu obat. Secara umum,


aktivitas antibiotik dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bakteriostatik
(menghambat pertumbuhan mikroba) dan bakterisidal (membunuh mikroba).
Contoh antibiotik yang bersifat bakterisidal antara lain aminoglycoside, beta-
lactam, metronidazole, kuinolon, rifampicin, pirazinamide, vancomycin,
isoniazide, dan bacitracin. Sedangkan antibiotic yang memiliki sifat
bakteriostatik antara lain chloramphenicol, clindamycin, ethambutol, macrolide,
sulfonamide, tetracycline dan trimethoprim. Namun sifat bakteriostatik dan
bakterisid dari antimikroba tidak mutlak karena antibiotic dengan sifat
bakteriostatik dapat pula bersifat bakterisid bila kadarnya ditingkatkan.
Kadar antibiotik minimal yang diperlukan untuk menghambat
pertumbuhan atau membunuh mikroba dikenal dengan istilah kadar hambat
minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Fungsi antibiotik terhadap
KHM dapat dibagi menjadi fungsi terhadap konsentrasinya (concentration
dependent) dan terhadap waktu (time dependent).
Pada antibiotik golongan concentration dependent maka semakin tinggi
kadar obat dalam darah maka semakin tinggi pula daya kerjanya sehingga
kecepatan dan efektivitas kerjanya dapat ditingkatkan dengan menaikkan kadar
obat dalam darah hingga jauh di atas KHM. Sedangkan pada antibiotik jenis time
dependent, selama kadarnya dapat dipertahankan sedikit di atas KHM sepanjang
masa kerjanya kecepatan dan efektivitas kerja obat tersebut akan mencapai nilai
maksimal. Contoh antibiotik golongan concentration dependent adalah
quionolone dan aminoglycoside. Sedangkan contoh antibiotik golongan time
dependent adalah beta-lactam.
Beberapa golongan antibiotik masih dapat menunjukkan aktifitas dalam
menghambat pertumbuhan mikroorganisme meskipun kadarnya lebih rendah
dari KHM. Fenomena ini disebut post-antibiotic effect. Efek ini dipengaruhi oleh
jenis antibiotik dan mikrooragnismenya sendiri, contohnya quionolone dan

6
aminoglycoside yang memiliki post-antibiotic effect yang cukup lama terhadap
kuman gram negative (Amin, 2014).

D. Penggolongan Antibiotik

Antibiotik bisa diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:

1. menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, seperti beta-laktam


(penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor beta-laktamase),

 basitrasin, dan vankomisin. 

2. memodifikasi atau menghambat sintesis protein, misalnya aminoglikosid,

 kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin),

 klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin. 

3. menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat, misalnya

 trimetoprim dan sulfonamid. 

4. mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat, misalnya kuinolon,

 nitrofurantoin. 


Penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme kerja:


1. Obat yang Menghambat Sintesis atau Merusak Dinding Sel Bakteri


a. Antibiotik Beta-Laktam
Antibiotik beta-laktam terdiri dari berbagai golongan obat yang
mempunyai struktur cincin beta-laktam, yaitu penisilin, sefalosporin,
monobaktam, karbapenem, dan inhibitor beta-laktamase. Obat-obat
antibiotik beta-laktam umumnya bersifat bakterisid, dan sebagian besar
efektif terhadap organisme Gram -positif dan negatif. Antibiotik beta- laktam
mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah
terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan
stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri.

1) Penisilin


Golongan penisilin diklasifikasikan berdasarkan spektrum aktivitas


antibiotiknya.

7
Tabel 1. Antibiotik Golongan Penisilin (Kementrian Kesehatan
RI,2011)
– b. Basitrasin

– c. Vankomisin


8
Tabel 2. Parameter-parameter Farmakokinetik untuk Beberapa Penisilin (Kementrian
Kesehatan RI,2011)

9
2) Sefalosporin


Sefalosporin menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan


mekanisme serupa dengan penisilin. Sefalosporin diklasifikasikan
berdasarkangenerasinya.

Tabel 3. Klasifikasi dan Aktivitas Sefalosporin

10
11
Tabel IV. Parameter-parameter Farmakokinetik untuk Beberapa Sefalosporin

12
13
3) Monobaktam(beta-laktammonosiklik)

Contoh: aztreonam.
 Aktivitas: resisten terhadap beta-laktamase yang dibawa

oleh bakteri Gram- negatif. Aktif terutama terhadap bakteri Gram-negatif.


Aktivitasnya sangat baik terhadap Enterobacteriacease, P. aeruginosa, H. influenzae
dan gonokokus.
Pemberian: parenteral, terdistribusi baik ke seluruh tubuh, termasuk cairan

serebrospinal.
 Waktu paruh: 1,7 jam.
 Ekskresi: sebagian besar obat diekskresi

14
utuh melalui urin.

4) Karbapenem 


Karbapenem merupakan antibiotik lini ketiga yang mempunyai aktivitas


antibiotik yang lebih luas daripada sebagian besar beta- laktam lainnya. Yang

termasuk karbapenem adalah imipenem, meropenem dan doripenem. 
 Spektrum

aktivitas: Menghambat sebagian besar Gram-positif, Gram- negatif, dan anaerob.

Ketiganya sangat tahan terhadap beta- laktamase.
 Efek samping: paling sering

adalah mual dan muntah, dan kejang pada dosis tinggi yang diberi pada pasien
dengan lesi SSP atau dengan insufisiensi ginjal. Meropenem dan doripenem

mempunyai efikasi serupa imipenem, tetapi lebih jarang menyebabkan kejang. 


5) Inhibitorbeta-laktamase
Inhibitor beta-laktamase melindungi antibiotik beta-laktam dengan cara
menginaktivasi beta-laktamase. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah asam
klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam. Asam klavulanat merupakan suicide
inhibitor yang mengikat beta- laktamase dari bakteri Gram-positif dan Gram-negatif
secara ireversibel. Obat ini dikombinasi dengan amoksisilin untuk pemberian oral

dan dengan tikarsilin untuk pemberian parenteral. 
 Sulbaktam dikombinasi dengan

ampisilin untuk penggunaan parenteral, dan kombinasi ini aktif terhadap kokus
Gram-positif, termasuk S. aureus penghasil beta-laktamase, aerob Gram-negatif (tapi
tidak terhadap Pseudomonas) dan bakteri anaerob. Sulbaktam kurang poten
dibanding klavulanat sebagai inhibitor beta-laktamase. Tazobaktam dikombinasi
dengan piperasilin untuk penggunaan parenteral. Waktu paruhnya memanjang

dengan kombinasi ini, dan ekskresinya melalui ginjal. 


b. Basitrasin
Basitrasin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotik polipeptida, yang utama
adalah basitrasin A. Berbagai kokus dan basil Gram-positif, Neisseria, H. influenzae,
dan Treponema pallidum sensitif terhadap obat ini. Basitrasin tersedia dalam bentuk

15
salep mata dan kulit, serta bedak untuk topikal. Basitrasin jarang menyebabkan
hipersensitivitas. Pada beberapa sediaan, sering dikombinasi dengan neomisin
dan/atau polimiksin. Basitrasin bersifat nefrotoksik bila memasuki sirkulasi sistemik.

c. Vankomisin


Vankomisin merupakan antibiotik lini ketiga yang terutama aktif terhadap


bakteri Gram-positif. Vankomisin hanya diindikasikan untuk infeksi yang
disebabkan oleh S. aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA). Semua basil
Gram-negatif dan mikobakteria resisten terhadap vankomisin. Vankomisin diberikan
secara intravena, dengan waktu paruh sekitar 6 jam. Efek sampingnya adalah reaksi
hipersensitivitas, demam, flushing dan hipotensi (pada infus cepat), serta gangguan

pendengaran dan nefrotoksisitas pada dosis tinggi. 


2. Obat yang Memodifikasi atau Menghambat Sintesis Protein
 Obat antibiotik yang

termasuk golongan ini adalah aminoglikosid, tetrasiklin, kloramfenikol, makrolida


(eritromisin, azitromisin, klaritromisin), klindamisin, mupirosin, dan

spektinomisin.


a. Aminoglikosid
Spektrum aktivitas: Obat golongan ini menghambat bakteri aerob Gram-

negatif.
 Obat ini mempunyai indeks terapi sempit, dengan toksisitas serius pada

ginjal dan pendengaran, khususnya pada pasien anak dan usia lanjut. Efek
samping: Toksisitas ginjal, ototoksisitas (auditorik maupun vestibular), blokade
neuromuskular (lebih jarang).
Tabel V. Karakteristik aminoglikosid (Kementrian Kesehatan RI,2011)

16
b. Tetrasiklin


Antibiotik yang termasuk ke dalam golongan ini adalah tetrasiklin, doksisiklin,


oksitetrasiklin, minosiklin, dan klortetrasiklin. Antibiotik golongan ini mempunyai
spektrum luas dan dapat menghambat berbagai bakteri Gram-positif, Gram-
negatif, baik yang bersifat aerob maupun anaerob, serta mikroorganisme lain
seperti Ricketsia, Mikoplasma, Klamidia, dan beberapa spesies mikobakteria.

Tabel VI. Beberapa Sifat Tetrasiklin dan Obat-obat Segolongan

c. Kloramfenikol


Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas, menghambat bakteri Gram-


positif dan negatif aerob dan anaerob, Klamidia, Ricketsia, dan Mikoplasma.
Kloramfenikol mencegah sintesis protein dengan berikatan pada subunit ribosom

17
50S.
 Efek samping: supresi sumsum tulang, grey baby syndrome, neuritis optik

pada anak, pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan timbulnya ruam.


d. Makrolida(eritromisin,azitromisin,klaritromisin,roksitromisin)
Makrolida aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat menghambat
beberapa Enterococcus dan basil Gram-positif. Sebagian besar Gram-negatif aerob
resisten terhadap makrolida, namun azitromisin dapat menghambat Salmonela.
Azitromisin dan klaritromisin dapat menghambat H. influenzae, tapi azitromisin
mempunyai aktivitas terbesar. Keduanya juga aktif terhadap H. pylori. Makrolida
mempengaruhi sintesis protein bakteri dengan cara berikatan dengan subunit 50s
ribosom bakteri, sehingga menghambat translokasi peptida.
1) Eritromisin
Eritromisin dalam bentuk basa bebas dapat diinaktivasi oleh asam,
sehingga pada pemberian oral, obat ini dibuat dalam sediaan salut enterik.
Eritromisin dalam bentuk estolat tidak boleh diberikan pada dewasa karena

akan menimbulkan liver injury. 


2) Azitromisin
Lebih stabil terhadap asam jika dibanding eritromisin. Sekitar 37% dosis
diabsorpsi, dan semakin menurun dengan adanya makanan. Obat ini dapat

meningkatkan kadar SGOT dan SGPT pada hati. 


3) Klaritromisin
Absorpsi per oral 55% dan meningkat jika diberikan bersama makanan.
Obat ini terdistribusi luas sampai ke paru, hati, sel fagosit, dan jaringan lunak.
Metabolit klaritromisin mempunyai aktivitas antibakteri lebih besar daripada
obat induk. Sekitar 30% obat diekskresi melalui urin, dan sisanya melalui

feses. 


4) Roksitromisin
Roksitromisin mempunyai waktu paruh yang lebih panjang dan aktivitas
yang lebih tinggi melawan Haemophilus influenzae. Obat ini diberikan dua

kali sehari. 
 Roksitromisin adalah antibiotik makrolida semisintetik. Obat

18
ini memiliki komposisi, struktur kimia dan mekanisme kerja yang sangat
mirip dengan eritromisin, azitromisin atau klaritromisin. Roksitromisin
mempunyai spektrum antibiotik yang mirip eritromisin, namun lebih efektif
melawan bakteri gram negatif tertentu seperti Legionella pneumophila.
Antibiotik ini dapat digunakan untuk mengobati infeksi saluran nafas, saluran

urin dan jaringan lunak. 


Roksitromisin hanya dimetabolisme sebagian, lebih dari separuh


senyawa induk diekskresi dalam bentuk utuh. Tiga metabolit telah
diidentifikasi di urin dan feses: metabolit utama adalah deskladinosa
roksitromisin, dengan N-mono dan N-di-demetil roksitromisin sebagai
metabolit minor. Roksitromisin dan ketiga metabolitnya terdapat di urin dan
feses dalam persentase yang hamper sama.
Efek samping yang paling sering terjadi adalah efek pada saluran cerna:
diare, mual, nyeri abdomen dan muntah. Efek samping yang lebih jarang
termasuk sakit kepala, ruam, nilai fungsi hati yang tidak normal dan
gangguan pada indra penciuman dan pengecap.
e. Klindamisin
Klindamisin menghambat sebagian besar kokus Gram-positif dan sebagian besar
bakteri anaerob, tetapi tidak bisa menghambat bakteri Gram-negatif aerob seperti
Haemophilus, Mycoplasma dan Chlamydia. Efek samping: diare dan enterokolitis

pseudomembranosa. 


f. Mupirosin
Mupirosin merupakan obat topikal yang menghambat bakteri Gram- positif dan

beberapa Gram-negatif.
 Tersedia dalam bentuk krim atau salep 2% untuk

penggunaan di kulit (lesi kulit traumatik, impetigo yang terinfeksi sekunder oleh

S. aureus atau S. pyogenes) dan salep 2% untuk intranasal.
 Efek samping: iritasi

kulit dan mukosa serta sensitisasi. 


g. Spektinomisin

19
Obat ini diberikan secara intramuskular.
 Dapat digunakan sebagai obat

alternatif untuk infeksi gonokokus bila obat lini pertama tidak dapat digunakan.

Obat ini tidak efektif untuk infeksi Gonore faring.
 Efek samping: nyeri lokal,

urtikaria, demam, pusing, mual, dan insomnia. 


3. Obat Antimetabolit yang Menghambat Enzim-Enzim Esensial dalam Metabolisme

Folat


a. SulfonamiddanTrimetoprim

Sulfonamid bersifat bakteriostatik.
 Trimetoprim dalam kombinasi

dengan sulfametoksazol, mampu menghambat sebagian besar patogen saluran


kemih, kecuali P. aeruginosa dan Neisseria sp. Kombinasi ini menghambat S.
aureus, Staphylococcus koagulase negatif, Streptococcus hemoliticus, H .
influenzae, Neisseria sp, bakteri Gram- negatif aerob (E. coli dan Klebsiella sp),
Enterobacter, Salmonella, Shigella, Yersinia, P. carinii.

4. Obat yang Mempengaruhi Sintesis atau Metabolisme Asam Nukleat

a. Kuinolon

1) Asam nalidiksat


Asam nalidiksat menghambat sebagian besar Enterobacteriaceae.

2) Fluorokuinolon


Golongan fluorokuinolon meliputi norfloksasin, siprofloksasin,


ofloksasin, moksifloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan lain-lain.
Fluorokuinolon bisa digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh Gonokokus,
Shigella, E. coli, Salmonella, Haemophilus, Moraxella catarrhalis serta
Enterobacteriaceae dan P. aeruginosa.

d. Nitrofuran


Nitrofuran meliputi nitrofurantoin, furazolidin, dan nitrofurazon.
 Absorpsi

20
melalui saluran cerna 94% dan tidak berubah dengan adanya makanan.
 Nitrofuran

bisa menghambat Gram-positif dan negatif, termasuk E. coli, Staphylococcus sp,


Klebsiella sp, Enterococcus sp, Neisseria sp, Salmonella sp, Shigella sp, dan Proteus
sp.

E. Antibiotik Rasional
Sejak tahun 1940 penggunaan antibiotik dalam pengobatan untuk manusia sudah
dimulai. Selama 63 tahun, penggunaan antibiotik semakin luas. Hal ini mengakibatkan
meluasnya potensi resistensi bakteri (Amin, 2014).
Penggunaan antibiotik dalam jumlah yang banyak dan penggunaannya yang salah
diduga sebagai penyebab utama tingginya jumlah patogen dan bakteri komensal
resisten di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan akan
antibiotik-antibiotik baru. Pengurangan jumlah kejadian penggunaan antibiotik yang
tidak tepat merupakan cara terbaik untuk melakukan kontrol terjadinya resistensi
bakteri. Konsep mengontrol penggunaan obat ini sering disebut dengan pengobatan
yang rasional. Atau secara sederhana diartikan sebagai “meresepkan obat yang tepat,
dalam dosis yang adekuat untuk durasi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan klinis
pasien serta dengan harga yang paling rendah”(Amin, 2014).
Penggunaan obat rasional termasuk antibiotika adalah pasien mendapatkan
pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan
kebutuhannya, dalam satu kurun waktu yang adekuat dan harga terendah baginya dan
masyarakat sekitarnya
Kriteria pemakaian obat yang rasional:
1. Sesuai dengan indikasi penyakit
2. Pengobatan didasarkan atas keluhan individual dan hasil pemeriksaan fisik
yang akurat
3. Diberikan dengan dosis yang tepat melalui perhitungan usia, berat badan dan
kronologis penyakit
4. Cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat
5. Jarak minum obat sesuai dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan
6. Lama pemberian yang tepat

21
7. Pada kasus tertentu memerlukan pemberian obat dalam jangka waktu tertentu.
8. Obat yang diberikan harus efektif dengan mutu terjamin
9. Hindari pemberian obat yang kedaluarsa dan tidak sesuai dengan jenis keluhan
penyakit
10. Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau
11. Jenis obat mudah didapatkan dengan harganya relatif murah.
12. Meminimalkan efek samping dan alergi obat

F. Penggunaan antibiotik

1. Pembatasan penggunaan antibiotik

Kebijakan pembatasan penggunaan antibiotik meliputi restriksi dan saving


antibiotik. Jenis antibiotik yang dibatasi tergantung pada pola medan kuman di
ruangan atau rumah sakit yang bersangkutan. Pembatasan ini mencakup
pengelompokan/kelas antibiotik. Pengelompokan/kelas antibiotik tersebut
meliputi:

a. Kelas antibiotik pilihan pertama.


b. Pembatasan antibiotik berdasarkan pola kuman di rumah sakit.
c. Antibiotik yang sangat dibatasi (restriksi antibiotik), yang penggunaannya
harus melalui prosedur tertentu (Kemenkes, 2011).

2. Penggantian terapi antibiotik intravena ke antibiotik oral

Antibiotik intravena dapat diganti peroral, apabila setelah 24-48 jam:


a. Kondisi klinis pasien membaik.
b. Tidak ada gangguan fungsi pencernaan (muntah, malabsorpsi, gangguan
menelan, diare berat).
c. Kesadaran baik.
d. Tidak demam (suhu> 36C dan < 38C),
disertai tidak lebih dari satu kriteria berikut:
• Nadi > 90 kali/menit
• Pernapasan > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
• Tekanan darah tidak stabil

22
• Leukosit < 4.000 sel/dl atau > 12.000 sel/dl (tidak ada neutropeni)
(Kemenkes, 2011).

3. Pemilihan terapi antibiotik


Berdasarkan penggunaannya, antibiotik dibagi menjadi dua yaitu antibiotik
terapi dan antibiotik profilaksis. Antibiotik terapi digunakan pada pasien dengan
kasus infeksi dan penggunaannya dapat bersifat empiris atau definitif.
a. Terapi secara definitif hanya digunakan untuk mengobati infeksi karena
bakteri. Untuk mengetahui apakah infeksi tersebut disebabkan karena bakteri,
dapat dilakukan kultur bakteri, uji sensitivitas, tes serologi, ataupun tes lainnya.
Berdasarkan laporan yang ada, antibiotik dengan spektrum sempit, toksisitas
rendah, harga terjangkau, dan juga efektivitas tertinggi harus diresepkan pada
terapi definitif.
b. Terapi antibiotik empiris merupakan regimen antibiotik pertama yang
diberikan dalam waktu 24 jam. Pada terapi secara empiris, pemberian antibiotik
diberikan pada kasus infeksi yang belum diketahui secara jelas jenis kumannya
seperti pada kasus gawat karena sepsis, pasien imunokompromise dan
sebagainya. Terapi antibiotik pada kasus ini diberikan dengan berdasarkan data
epidemiologi kuman yang ada (Lampiran. 1)
c. Terapi antibiotik profilaksis adalah terapi antibiotik yang diberikan untuk
pencegahan pada pasien yang rentan terkena infeksi. Infeksi pada luka pasca
pembedahan merupakan infeksi nosokomial tersering pada pasien pasca bedah,
hal tersebut dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas, biaya perawatan
dan lama pasien dirawat di rumah sakit. Pemberian antibiotik profilaksis dapat
mengurasi resiko terjadinya infeksi dengan menyediakan agen antimikrobial
yang adekuat pada lokasi luka pembedahan dan jaringan pada saat dilakukan
insisi selama pembedahan (Hall et al, 2012).

F. Dosis antibiotik
1. Penggunaan antibiotik pada usia lanjut
Hal yang harus diperhatikan pada pemberian antibiotik pada usia lanjut:

23
a) Pada umumnya pasien usia lanjut (>60 tahun) mengalami mild renal
impairement (gangguan fungsi ginjal ringan) sehingga penggunaan
antibiotik tertentu yang eliminasinya terutama melalui ginjal
memerlukan penyesuaian dosis atau perpanjangan interval pemberian.
b) Komorbiditas pada usia lanjut yang sering menggunakan berbagai
jenis obat memerlukan pertimbangan terjadinya interaksi dengan
antibiotik.
2. Penggunaan antibiotik pada penurunan fungsi ginjaldan gangguan fungsi
hati
a) Penyesuaian dosis pada penurunan fungsi hati
Pedoman penyesuaian dosis insufisiensi fungsi liver tergantung dari
kondisi fungsi hati tersebut. Secara umum dikatakan bahwa penyesuaian
dosis hanya dilakukan pada insufisiensi hati serius sehingga insufisiensi
ringan sampai sedang tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis. Strategi
praktis sebagai berikut:
1) Dosis total harian diturunkan sampai 50% bagi obat yang
tereliminasi melalui liver pada pasien sakit hati serius -
2) Sebagai alternatif, dapat menggunakan antibiotik yang
tereliminasi melalui ginjal dengan dosis regular
b) Penyesuaian Dosis pada Gangguan Fungsi Ginjal
1) Pada pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal, dosis
antibiotik disesuaikan dengan bersihan kreatinin (Creatinine
clearance). Penyesuaian dosis penting untuk dilakukan terhadap obat
dengan rasio toksik–terapetik yang sempit, atau obat yang dikonsumsi
oleh pasien yang sedang mengalami penyakit ginjal.
2) Usahakan menghindari obat yang bersifat nefrotoksis.
(Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Berikut adalah beberapa acuan yang dapat digunakan dalam
penyesuaian dosis:

24
i. Jika bersihan kreatinin (Clearance creatinine = ClCr) obat yang
tereliminasi melalui ginjal 40-60 ml/menit, dosis diturunkan 50%
dengan interval waktu regular
ii. Jika clearance creatinine (Clcr) 10-40ml/menit, dosis obat yang
eliminasi utamanya melalui ginjal diturunkan 50% dan interval
waktu pemberian diperpanjang dua kali lebih lama dari interval
regular
iii. Sebagai alternatif, dapat menggunakan antibiotik yang eliminasi
utamanya melalui hati dengan dosis reguler
iv. Clearance creatinine (Clcr) digunakan sebagai gambaran fungsi
ginjal. Perhitungan dapat menggunakan formula sebagai berikut:
[(140-Umur(th)]x BB(kg)
Laki-laki : Clcr (ml/menit) =---------------------------------
2 x Srcr (mg/dl)
Perempuan = 0.85 x ClCr (laki-laki)
v. Dosis muatan (loading dose) dan dosis rumatan (maintenance dose)
insufisiensi ginjal. Kalkulasi dosis muatan obat yang rute eliminasi
utama melalui ginjal tidak ada perubahan dosis, sedangkan dosis
rumatan disesuaikan dengan kalkulasi bersihan kreatinin
vi. Pada antibiotik golongan aminoglikosida (misalnya: Amikasin,
Gentamisin, Netimisin, Tobramisin dan lain-lain), penggunaan
dosis tunggal setelah dosis muatan telah terbukti menurunkan risiko
potensial toksisitas ginjal. Strategi ini direkomendasikan bagi
semua pasien termasuk pasien kritis (critically ill) (Kementerian
Kesehatan RI, 2011).

H. Resistensi Antibiotik

Resistensi antibiotik terjadi ketika mikroorganisme mengalami


perubahan menyebabkan obat yang diberikan dengan tujuan untuk
menyembuhkan infeksi oleh mikroorganisme menjadi tidak efektif lagi. Hal ini
menjadi perhatian serius karena dapat menyebabkan kematian, menyebar, dan

25
membebankan biaya yang besar pada individu dan masyarakat (Ambwani dan
Mathur, 2006).
Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan
salah satu atau lebih mekanisme berikut:
1. Bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur antibiotika.
Misalnya Stafilokoki, resisten terhadap penisilin G menghasilkan beta-
laktamase, yang merusa obat tersebut. Beta-laktamase lain dihasilkan oleh
bakteri batang Gram-negatif.
2. Bakteri mengubah permeabilitasnya terhadap obat.
Misalnya tetrasiklin, tertimbun dalam bakteri yang rentan tetapi tidak pada
bakteri yang resisten.
3. Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat.
Misalnya resistensi kromosom terhadap aminoglikosida berhubungan
dengan hilangnya (atau perubahan) protein spesifik pada subunit 30s
ribosom bakteri yang bertindak sebagai reseptor pada organisme yang
rentan.
4. Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung
dihambat oleh obat.
Misalnya beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak
membutuhkan PABA ekstraseluler, tetapi seperti sel mamalia dapat
menggunakan asam folat yang telah dibentuk. Bakteri mengembangkan
perubahan enzim yang tetap dapat melakukan fungsi metabolismenya
tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat dari pada enzim pada kuman
yang rentan. Misalnya beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid,
dihidropteroat sintetase, mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi
terhadap sulfonamid dari pada PABA (Jawetz, 2005).
Beberapa penyebab dari krisis resistensi antibiotik adalah (Ventola,
2015):
1. Pemakaian yang berlebihan
Di banyak negara, antibiotik tidak terregulasi dan dapat dibeli tanpa resep.
Kekurangan regulasi tersebut menyebabkan antibiotik sangat mudah dibeli,

26
berjumlah banyak, harganya murah, sehingga dapat menyebabkan
pemakaian yang berlebihan. Pembelian yang dapat dilakukan secara online
juga semakin memudahkan akses pembelian antibiotik di negara yang telah
memiliki regulasi.
2. Peresepan yang tidak sesuai
Peresepan antibiotik yang tidak sesuai memiliki manfaat terapeutik yang
masih dipertanyakan dan dapat menyebabkan pasien berpotensi untuk
mengalami komplikasi dari terapi antibiotik.
3. Penggunaan pada agrikultural yang luas
Dalam negara yang telah dan sedang berkembang, antibiotik digunakan
secara luas sebagai suplemen pertumbuhan dalam perternakan. Antibiotik
yang digunakan dalam peternakan dicerna oleh manusia saat memakan
makanan. Perpindahan bakteri yang resisten dari hewan ternak ke manusia
pertama kali dicatat lebih dari 35 tahun yang lalu ketika nilai yang tinggi
dari resistensi antibiotik ditemukan di flora usus peternak dan hewan
ternak.
4. Tersedianya antibiotik baru yang sedikit
Perkembangan dari antibiotik yang baru oleh industri farmasi yang selama
ini menjadi salah satu strategi efektif dalam memerangi bakteri yang
resisten pada dasarnya menjadi semakin lambat karena hambatan ekonomi
dan regulasi. Pengembangan antibiotik dianggap tidak lagi menjadi suatu
investasi yang bijak secara ekonomi dalam bidang industri farmasi karena
antibiotik bekerja untuk waktu yang relatif singkat dan sering sebagai
bentuk kuratif, antibiotik tidak membuat banyak keuntungan seperti obat-
obatan untuk penyakit kronis, seperti diabetes, asma, dan gangguan
psikiatri.
5. Pembatas regulasi
Meskipun ada beberapa perusahaan yang optimis terhadap perjuangan
dalam menemukan antibiotik yang baru, mendapatkan persetujuan regulasi
sering menjadi hambatan. Kesulitan dalam mengejar persetujuan regulasi
yang telah dicatat meliputi: birokrasi, tidak adanya kejelasan, perbedaan

27
persyaratan uji coba klinis antar negara, perubahan peraturan regulasi dan
perizinan, dan jalur komunikasi yang tidak efektif. Perubahan standar untuk
uji coba klinis yang dilakukan oleh Food and Drug Administration (FDA)
Amerika Serikat selama dua dekade terakhir telah membuat uji klinis
antibiotik menjadi sangat menantang.
Salah satu kekhawatiran terbesar dari resistensi antibiotik adalah sistem
kesehatan modern dan pengobatan yang sangat bergantung pada antibiotik
dapat sangat mengacaukan. Saat operasi dilakukan, pasien diberikan antibiotik
sebagai profilaksis untuk menurunkan risiko infeksi bakteri. Banyak prosedur,
seperti operasi panggul yang saat ini mengizinkan orang-orang untuk hidup
secara aktif lebih lama dan dapat membuat mereka tetap bekerja menjadi terlalu
berisiko untuk dilakukan (O’Neill, 2014).
Pengobatan kanker secara modern sering menekan sistem imunitas
pasien, membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi. Oleh sebab itu, tanpa
antibiotik yang efektif untuk mencegah atau mengobati infeksi, kemoterapi
menjadi masalah yang jauh lebih berisiko (O’Neill, 2014)
Penelitian awal, melihat hanya dari dampak dari resistensi antibiotik
menunjukkan bahwa resistensi yang terus meningkat hingga tahun 2050 dapat
menyebabkan kematian 10 juta orang setiap tahun dan penurunan Produk
Domestik Bruto hingga 2% sampai 3,5% (O’Neill, 2014).

28
Gambar 4. Perkiraan jumlah kematian yang disebabkan oleh resistensi antibiotik
dibandingkan dengan penyebab kematian lainnya pada 2050 (O’Neill, 2014)

29
Gambar 5. Timeline penemuan antibiotik dan resistensi antibiotik (Ventola,
2015)

30
Era modern dari antibiotik dimulai dengan penemuan penicillin oleh
Alexander Fleming pada tahun 1928. Semenjak itu, antibiotik telah mengubah
pengobatan modern dan menyelamatnya jutaan nyawa. Penicillin telah berhasil
mengontrol infeksi bakteri pada tentara-tentara di Perang Dunia Ke-II. Namun,
tidak lama setelah itu resistensi penicillin menjadi salah satu masalah klinis
yang penting. Sebagai respon masalah tersebut, antibiotik beta-lactam yang
baru ditemukan, dikembangkan, dan disebarkan. Akan tetapi, kasus pertama
dari methicillin-resistant Staphylococcus auerus (MRSA) teridentifikasi di
dekade yang sama di Inggris pada tahun 1962 dan di Amerika pada tahun 1968
(Ventola, 2015).
Resistensi antibiotik dapat ditemukan di hampir semua jenis antibiotik
yang telah dikembangkan. Sejak akhir tahun 1960 hingga awal tahun 1980,
industri farmasi telah mengenalkan banyak jenis antibiotik yang baru untuk
menangani masalah resistensi antibiotik tetapi setelah itu semakin lama
semakin sedikit antibiotik baru yang dikenalkan. Hal itu menyebabkan pada
tahun 2015, beberapa dekade setelah pasien pertama diobati dengan antibiotik,
infeksi bakteri kembali menjadi suatu ancaman (Ventola, 2015).

31
BAB III
PENUTUP

Antibiotik menjadi salah satu terapi farmakologi yang sangat membantu


dibidang kesehatan. Penggunaan antibiotik memiliki peran penting dalam mengatasi
berbagai penyakit yang berkaitan dengan infeksi bakteri. Berdasarkan penggunaannya,
antibiotik dibagi menjadi dua yaitu antibiotik terapi dan antibiotik profilaksis. Antibiotik
terapi digunakan pada pasien dengan kasus

32
33
DAFTAR PUSTAKA

Abimbola, I. O. 2013. Knowledge and practices in the use of antibiotiks among a


group of Nigerian university students.International Journal of Infection
Control. 9 (7), 1-8.
Amin ZL. 2014. Pemilihan antibiotic rasional. Medicinus Vol 27 No 03, Desember
2014.
Hall C, Allen J, Barlow G. 2012. Antibiotic prophylaxis. Surgery ;30(12):651–
658. [Ref list]
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Buku panduan hari kesehatan
sedunia. Keputusan Menteri Kesehatan tentang standard pelayanan farmasi
di Rumah Sakit No 1197/MENKES/SK/X/2004.
Labnotesweek .2013. Modes of action for antimicrobial Agents.
http://lifesci.rutgers.edu/skelly/spring/labnotesweek4.htm [Citation
Time(s):1].
Lim, K. K., Teh, C. C. 2012. A Cross Sectional Study of Public Knowledge and
Attitude towards Antibiotiks in Putrajaya, Malaysia. Southern Med Review.
5 (2), 26-33.
O’Neill, Jim. 2014. The Review on Antimicrobial Resistance: Tackling a crisis for the
health and wealth of nations. United Kingdom.
Utami, ER. 2011. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Malang: Fakultas
Sains dan Tekhnologi UIN Maliki.
Ventola, C. Lee. 2015. The Antibiotic Resistance Crisis Part 1: Causes and Threats.
PubMed Vol. 40 No. 4
USCF. 2013. Guidelines for Empiric Antimicrobial Therapy
http://idmp.ucsf.edu/guidelines-empiric-antimicrobial-
therapy?mag_q=printpdf/191 diakses tanggal 6 Maret 2018.

34
Lampiran 1
Rekomendasi Antibiotik empiris

Diagnosis Common Drug(s) of First Alternative Comments


Pathogens Choice Drug(s)

Bone & Joint Infections

Osteomyelitis S. aureus Vancomycin Vancomycin If S. aureus is


Presumed [1] [1] methicillinsusceptible then
hematogenous cefazolin [1] 2 g IV q8h or
source or nafcillin [1] 2 g IV q4h are
contiguous the antibiotics of choice.
without vascular Obtain bone biopsy to
insufficiency determine microbiologic
cause prior to initiation of
antimicrobial therapy if
blood cultures are negative
and patient clinically
stable.

Osteomyelitis S. aureus Vancomycin Vancomycin Other organisms are


With vascular Enterobacter [1] PLUS ONE [1] PLUS ONE possible, esp. with
insufficiency or iaceae OF: OF: hardware microbiologic
diabetes mellitus Anaerobes Piperacillin/ Ciprofloxacin diagnosis and ID
(e.g. severe Tazobactam [2]ID-R: consultation recommended
diabetic foot [2]ID-R: VASF [4] 400 Obtain bone biopsy to
ulcer) SFGH [3] 4.5 g mg IV q12h determine microbiologic
IV q6- 8h OR OR cause prior to initiation of
Ertapenem [2] Levofloxacin antimicrobial therapy if
1 g IV daily [2]ID-R: patient clinically stable
VASF [4] 750 Once stable, switch to oral
mg IV daily antibiotics based on

35
OR Aztreonam susceptibility results.
[2]ID-R:
SFGH [3] 2 g
IV q8h ALL
WITH OR
WITHOUT:
Metronidazole
[2] 500 mg IV
q8h (if patient
critically ill)

Septic Arthritis S. aureus Vancomycin For severe PC Gram stain recommended


N allergy: to guide therapy.
Streptococci PLUS
spp. Vancomycin Narrow coverage to
Ceftriaxone1
microbiologically
N. g IV daily PLUS ONE
confirmed pathogens.
gonorrhoeae OF:

Enterobacter Ciprofloxacin
iaceae ID-
(rarely) R: VASF 400
mg IV q12h

OR

Levofloxacin
ID-
R:VASF 500
mg IV daily

OR

36
AztreonamID-
R: SFGH 2 g
IV q8h if
gonococcus is
strongly
suspected

Central Nervous System Infections

Meningitis S. aureus CefepimeID- For severe PC ID consultation

R: SFGH VAS N allergy: recommended


Post- Coagulase
neurosurgical or negative F2 g IV q8h
AztreonamID-
device associated PLUS R: SFGH 2 g
Staphylococ
IV q6h-q8h
ci Vancomycin
PLUS
Gram
negative rods Vancomycin

Gastrointestinal

Spontaneous E. coli Ceftriaxone 1 For severe Gram stain recommended.


Bacterial g IV daily x 5 PCN allergy:
Peritonitis Klebsiella days
spp. Vancomycin
In patients who received
Streptococci. PLUS previous courses of
Primary spp. antibiotics, consider
Peritonitis AztreonamID-
expanding coverage.
R: SFGH 2 g
IV q8h

37
Secondary E. coli Ertapenem
or severe PCN allergy:
Peritonitis 1g IV daily
Klebsiella Vancomycin
Mild- OR
B. fragilis PLUS
Moderate intra-
Piperacillin/ta
abdominal StreptococciAztreonamID-R: SFGH 2 g IV q8h
zobactamID-
abscess spp
PLUSR: SFGH3.375
S. aureus g IV q6h - 4.5g
Metronidazole 500 mg IV q8h
IV q6h

Secondary E. coli Vancomycin For severe ID consultation


Peritonitis PCN allergy: recommended.
Klebsiella PLUS
Severe (major Vancomycin
B. fragilis Piperacillin/ta
peritoneal
zobactamID- PLUS For hemodynamically
soilage, large or P.
R: SFGH 4.5 g unstable health-care
multiple aeruginosa Aztreonam
IV q6h associated infection,
abscesses, patient ID-R: SFGH 2
Enterococcu consider meropenem.
hemodynamicall g IV q8h
s spp.
y unstable)
PLUS
Streptococcu
s spp Metronidazol
e 500 mg IV
S. aureus
q8h

Gynecologic

38
Endometritis Bacteroides 1st line: For severe If test for chlamydia is
PCN allergy: positive add azithromycin
Prevotella Cefoxitin 2 g
or doxycycline.
bivia IV q6h Vancomycin
Continue antibiotics until
Group B & PLUS
afebrile for 24-48 hours.
Astreptococc
2nd line: Gentamicin
i If still febrile > 48 hours
Ertapenem 1 PLUS and on cefoxitin or
Enterobacter
g IV daily clindamycin/gentamicin
iaceae Metronidazol
postpartum, switch to
e 500 mg IV
M. hominis ertapenem.
q12h
3rd line:
Wait 48 hours on an
Ampicillin/sul antibiotic regimen before
bactam 3 g IV considering regimen
q6h failed.

Head and Neck infection

Peritonsillar Group A Ampicillin/sul For severe Often polymicrobial


abscess,deep streptococci bactam 3 g IV PCN allergy:
neck infections q6h
Anaerobes ClindamycinI
Combinations of
WITH OR D-
S. aureus piperacillin/tazobactam,
WITHOUT* R: VASF 600 –
ampicillin/sulbactam, or
900 mg IV q8h
Vancomycin ertapenem PLUS
PLUS metronidazole should not
be used.
Ciprofloxacin
Alternatively:
ID-

39
Ertapenem 1 R: VASF 400 *Consider vancomycin use
g IV daily mg IV q12h for patients at high risk for
MRSA
WITH OR OR
WITHOUT*
LevofloxacinI
Vancomycin D-
R: VASF 500
mg IV daily
Alternatively:

Metronidazol
e 500 mg
IV/PO q8h

PLUS

Ceftriaxone1
g IV q24h

WITH OR
WITHOUT*

Vancomycin

Intravascular catheter related infection

Line-related S. Vancomycin For severe Remove the offending


bacteremia epidermidis PCN allergy: intravascular device
WITH OR
immediately, if possible.
S. aureus WITHOUT* Vancomycin
one of:
Enterococci
spp.

40
Gram- Piperacillin/ta WITH OR *Consider Gram-negative
negative zobactam WITHOUT* coverage for
rods* one of: immunocompromised
ID-R:SFGH
patients or those with
Yeast** Aztreonam
prolonged hospitalization,
ID-R: SFGH 2
4.5 g IV q6h recent antibiotic exposure
g q8h
or sepsis.
OR

CefepimeID-
R:SFGHVASF **Contact ID or ID
2 g IV q8h Pharmacy if yeast is
present.

Respiratory Infection

Community- S. No Recent For severe ID consultation is


Acquired pneumoniae antibiotic PCN allergy: recommended if ICU
Pneumonia therapy:* admission or high level
Mycoplasma Levofloxacin
PCN-resistant
Immunocompet pneumoniae Ceftriaxone 1 750 mg PO/IV
pneumococci documented.
ent patient – g IV daily daily
Chlamydia
Medical Ward
pneumoniae PLUS OR
*If patient has had recent
H. influenzae Doxycycline MoxifloxacinI
antibiotic therapy,
100 mg PO/IV D-
Legionella antibiotics from a different
q12h R:SFGH 400
pneumophili class should be selected
mg PO/IV
a (i.e. recent use of a
daily
fluoroquinolone should
Klebsiella
dictate selection of a non-
pneumoniae

41
(alcoholics) fluoroquinolone regimen,
and vice versa).

Consider influenza testing


and treatment with
oseltamivir.

Community- S. Ceftriaxone 1 For severe * MRSA risk factors: prior


Acquired pneumoniae g IV daily PCN allergy: influenza, presence
Pneumonia cavitary disease,
Mycoplasma PLUS Vancomycin
empyema.
Immunocompet pneumoniae
Azithromycin PLUS one of:
ent patient –
Chlamydia 500 mg IV
ICU Levofloxacin
pneumoniae daily Consider influenza testing
750 mg IV
and treatment with
H. influenzae WITH OR daily
oseltamivir.
WITHOUT*:
Legionella OR
pneumophili Vancomycin
MoxifloxacinI
a If no microbiologic
D-
confirmation of MRSA
Klebsiella R:SFGH 400
then discontinue
pneumoniae mg IV daily
vancomycin.
(alcoholics)

S. aureus
See HCAP for risk factors
for infection
with Pseudomonas
aeruginosa.

42
Hospital- S. aureus Vancomycin Mini-BAL recommended
acquired at UCSF.
S.pneumonia PLUS one of
pneumonia
e
Levofloxacin
EARLY
H.influenzae 750 mg IV *Risk factors include
ONSET
daily recent antibiotic exposure
including (within 30 days).
OR
ventilator- Antibiotic
associated or less sensitive Ertapenem 1
than 5 days of enteric gram g IV daily Consider influenza testing
hospitalization, negative and treatment with
no risk factors for bacilli: oseltamivir when influenza
drug-resistant is known to be circulating.
E. coli
organisms*
Enterobacter
aerogenes

Klebsiella
pneumoniae

Proteus
mirabilis

Serratia
marcesans

Hospital- E. coli Vancomycin For severe Mini-BAL recommended


acquired PCN allergy3: at UCSF.
PLUS one of:
pneumonia

43
LATE ONSET Enterobacter Piperacillin/ta Vancomycin2
aerogenes zobactamID-
including PLUS *Risk factors include
R: SFGH 4.5 g
ventilator- P. recent antibiotic exposure
IV q6h AztreonamID-
associated OR ≥ aeruginosa (within 30 days).
R:SFGH2 g IV
5 days of OR
Klebsiella q8h
hospitalization or
pneumoniae CefepimeID-
risk factors for WITH OR **Consider use in patients
R:SFGH VAS
resistant S. aureus WITHOUT*** with current or recent use
F 2 g IV q8-
organisms* : (< 7 days) of
12h
piperacillin/tazobactam or
Tobramycin
cefepime and in patients
with recent infection with
Alternatively:
multidrug resistant gram-
Vancomycin negative bacteria.

PLUS

MeropenemI ***Weigh risks and


D- benefits of adding
R: SFGHVAS aminoglycoside for critical
F 1-2 g IV illness,
q8h** immunocompromise, or
history of infection or
colonization with drug-
resistant Gram-negative
rods.

Suspected or Mycobacteri Isoniazid 300 ID consultation ID consultation is


documented um mg PO daily strongly recommended.
active tuberculosis recommended

44
tuberculosis PLUS for non-first-
line regimens
Rifampin 600 Notify the SF Department
mg PO daily of Public Health
Tuberculosis Control at
PLUS
415-206-8524 within one
Pyrazinamide working day.
25 mg/kg/day
PO daily
Guidelines for hospital
PLUS
discharge and follow-up
Ethambutol and other resources
15 mg/kg/day at: http://www.sftbc.org/
PO daily

PLUS
Rifampin has numerous
Pyridoxine (V clinically significant drug
itamin B-6) 50 interactions. Medication
mg PO daily lists should be reviewed
for potential drug-drug
interactions with rifampin.

Severe Sepsis, Source Unknown

Septic Shock Enterobacter Vancomycin For severe


iaceae PCN allergy:
Community PLUS one of:
onest, no recent S. aureus Vancomycin
Piperacillin/
healthcare
Streptococci PLUS
exposure
spp.

45
TazobactamI Metronidazol
D-R: SFGH4.5 e 500 mg
g IV q8h IV/PO q8h

OR PLUS one of

Ertapenem 1 AztreonamID-
g IV daily R: SFGH 2
g IV q8h

OR

Tobramycin

Healthcare- Enterobacter Vancomycin For severe For hospital-acquired


associated iaceae PCN allergy: infection ID consultation is
and/or previous PLUS
recommended.
antibiotic S. aureus Vancomycin
Piperacillin/
therapy Streptococci PLUS
Tazobactam I
spp. Weigh risks and benefits of
D-R: SFGH4.5 Metronidazol
adding aminoglycoside for
P. g IV q6h e 500 mg IV
critical illness,
aeruginosa q8h
OR immunocompromise, or
AND history of infection or
CefepimeID-
colonization with drug-
R: SFGHVAS AztreonamID-
resistant Gram-negative
F 2 g IV q8h R: SFGH 2 g
rods.
IV q8h

WITH OR
WITHOUT:

46
Tobramycin At UCSF Medical Center,
refer to the UCSFMC
Code Sepsis Guidelines.

For patients with


neutropenia, organ
transplant, severe hepatic
failure, or current/recent
(<7 days)
piperacillin/tazobactam or
cefepime:

Vancomycin

Plus

MeropenemID-
R: SFGHVASF 1-2 g IV
q8h

Skin and Soft-Tissue Infections

Abscess S.aureus Vancomycin Empirical Gram-negative


and/or anaerobic coverage
is not routinely indicated.

Incision and drainage is


primary therapy for
abscesses. After incision

47
and drainage and once
patient is stable, switch to
oral antibiotics based on
culture and susceptibility
results.

Cellulitis Group A Vancomycin Empirical Gram-negative

streptococci and/or anaerobic coverage


Alternatively: is not routinely indicated.
Other beta-
Cefazolin 1 g
hemolytic
IV q8h if
streptococci
patient is stable
S.aureus and cellulitis is
not associated
with an abscess
or other
purulent focus
of infection

Necrotizing Group A Vancomycin For severe Emergent ID and surgical


fasciitis or streptococci PCN allergy: consultation
suspected deep PLUS ONE
recommended.
tissue extension S. aureus OF: Vancomycin

Anaerobes Piperacillin/ta PLUS


zobactamID- Clindamycin added for
Gram- AztreonamID-
R: SFGH 4.5 g anti-toxin properties.
negative rods R: SFGH 2 g
IV q6-8h Limited data support use
IV q8h
for infections caused by

48
OR PLUS Group A streptococci
and Clostridium
Ertapenem 1 Clindamycin I
perfringens. Discontinue
g IV daily D-
clindamycin once adequate
R:VASF 600-
ALL WITH: surgical debridement is
900 mg IV q8h
achieved.
ClindamycinI
D-
R: VASF600 –
900 mg IV q8h

Alternatively if
infection is
health-care
associated:

Vancomycin

PLUS

MeropenemI
D-
R: SFGHVAS
F 1-2 g IV q8h

PLUS

ClindamycinI
D-
R: VASF600-
900 mg IV q8h

Urinary Tract Infections

49
Asymptomatic Enterobacter No treatment Pyuria alone is not an
bacteriuria iaceae required indication for treatment.

Enterococcu Exceptions: pregnant


s species women, patients having
traumatic urologic
procedures, recent kidney
transplant .

Catheter- Candida spe No treatment Pyuria alone is not an


associated cies required indication for treatment.
candiduria

Community- Enterobacter Ceftriaxone For severe PC Switch to oral therapy


acquired iaceae (E. N allergy: when susceptibilities
Pyelonephritis coli) 1 g IV q24h
known and patient stable.
Vancomycin
OR
Duration of therapy 7-14
PLUS ONE OF
Cefazolin 1g days based on clinical
EITHER:
IV q8h (VASF response.
only) Gentamicin

OR OR

Ertapenem 1g Aztreonam
IV daily ID-R:SFGH

2 g IV q8h

(UCSF, 2013)

50
51

Das könnte Ihnen auch gefallen