Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
PENDAHULUAN
Antibiotik yang pertama kali ditemukan oleh Paul Eclrich pada tahun 1910
sampai saat ini masih menjadi obat pilihan dalam penanganan kasus-kasus infeksi
(Utami, 2012). Penggunaan antibiotik yang tidak rasional merupakan masalah global.
Diperkirakan kurang dari 50% semua obat diresepkan, diserahkan (dispensed) atau dijual
tidak sesuai aturan, dan kurang dari 50% pasien mendapatkan obat dari peresepan atau
dispensed. Penggunaan obat secara tidak rasional dapat membahayakan masyarakat
karena dapat menimbulkan pengobatan kurang efektif, risiko efek samping dan tingginya
biaya pengobatan (Kementeian Kesehatan RI, 2011).
Menurut Abimbola (2013) pada International Journal of Infection Control,
dalam banyak negara berkembang, antibiotik tersedia tanpa resep sehingga individu
menggunakan antibiotik dengan sewenang-wenang. Antibiotik tersebut digunakan
dengan dosis yang tidak tepat, indikasi yang tidak tepat, cara pemberian dengan interval
waktu yang tidak tepat, dan lama pemakaian yang tidak tepat. Penggunaan antibiotik
yang tidak tepat dapat menyebabkan berbagai masalah, di antaranya meluasnya
resistensi, timbulnya kejadian infeksi yang sulit diobati, meningkatkan beban ekonomi
pelayanan kesehatan, efek samping yang lebih toksik, dan kematian (Johnston, 2012).
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional adalah alasan utama untuk
peningkatan dan penyebaran resistensi antibiotik (Suaifan et al, 2012). Orang yang
terinfeksi dengan organisme resisten antibiotik lebih sering masuk rumah sakit dan
membutuhkan pengobatan dengan obat lini kedua atau ketiga yang mungkin kurang
efektif, lebih toksik, dan biayanya tinggi (Sun et al, 2011). Studi menunjukkan bahwa
resistensi antibiotik meningkat dengan peningkatan konsumsinya yang dapat didorong
oleh penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan pendidikan yang tidak memadai (Lim
dan Teh, 2012).
Pengetahuan dan pemahaman mengenai penggunaan antibiotik secara rasional
juga sangat penting untuk para dokter dan juga tenaga kesehatan lainnya. Oleh karena
itu diperlukan pembahasan dan pemahaman lebih lanjut mengenai antibiotik yang
1
meliputi prinsip kerja dari antibiotik, farmakologi antibiotik, cara kerja antibiotik,
interaksi antibiotik, resistensi antibiotik, serta efek samping dari antibiotik.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Antibiotik
Antibiotik adalah zat-zat kimia oleh yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang
memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman serta
membunuh pertumbuhan kuman dengan toksisitasnya yang relatif kecil bagi
manusia. Pada awalnya antibiotik hanya dibatasi pada zat yang dihasilkan oleh
bakteri alami, tetapi sekarang zat sintetik dan semisintetik dengan efek serupa juga
dapat digolongkan sebagai antibiotik (Utami, 2011).
Penggunaan antibiotik pada kasus infeksi terdapat tiga aspek yang saling
berkaitan, yaitu aspek antibiotik, kuman dan host. Penggunaan antimikroba secara
prinsip berbeda dengan obat pada umumnya oleh karena target antimikroba adalah
sel kuman, sedangkan obat lain adalah sel host. Dalam penggunaannya, antibiotik
diharapkan mampu mencapai lokasi infeksi dengan kadar yang cukup (melebihi
kadar hambat minimal/KHM), penetrasi ke dalam sel bakteri dan bekerja
mengganggu proses metabolisme bakteri sehingga bakteri tersebut menjadi tidak
aktif atau mati, namun efek toksik pada sel host diharapkan seminimal mungkin
(Amin, 2014).
Keberhasilan pengobatan antibiotik dipengaruhi oleh berbagai faktor. Selain
jenis antibiotik dan spektrum antimikroba, aspek farmakologis yaitu farmakokinetik
dan farmakodinamik merupakan faktor yang sangat penting. Aspek farmakokinetik
mencakup absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat. Sedangkan aspek
farmakodinamik mencakup sifat bakteriostatik atau bakterisid, time dependent atau
concentration dependent dan post-antibiotic effect (PAE) antibiotic (Amin,2014)
3
C. Aspek Farmakologis Antibiotik
1. Farmakokinetik
4
Obat yang dalam keadaan aktif akan ditingkatkan kelarutannya sehingga
lebih mudah diekskresikan, dan umumnya obat menjadi inaktif. Sedangkan untuk
obat dalam bentuk prodrug, enzim akan mengaktivaasi obat tersebut menjadi
bentuk yang aktif.
Antibiotik umumnya dieliminasi melalui ginjal dan diekskresikan
melalui urin dalam bentuk metabolit aktif dan inaktif. Antibiotik juga dapat
dieliminasi melalui empedu dan diekskresikan ke dalam usus. Dari dalam usus
sebagian obat akan dibuang melalui feses, dan sebagian akan kembali diserap
dan dibuang melalui ginjal. Sebagian kecil obat juga diekskresikan melalui
keringat, liur, air mata, dan air susu (Amin, 2014).
Tiga parameter farmakokinetika (PK) yang harus dipertimbangkan
dalam penggunaan antibiotik:
a. Kadar puncak atau kadar maksimum (Cmax)
b. Waktu paruh (t1/2) yang berbanding lurus dengan kecepatan
eliminasi
c. Area Under the Curve (AUC) adalah jumlah obat yang ada dalam
sirkulasi sistemik, dapat menunjukkan bioavailabilitas obat yang
diberikan per oral
5
2. Farmakodinamik
6
aminoglycoside yang memiliki post-antibiotic effect yang cukup lama terhadap
kuman gram negative (Amin, 2014).
D. Penggolongan Antibiotik
1) Penisilin
7
Tabel 1. Antibiotik Golongan Penisilin (Kementrian Kesehatan
RI,2011)
– b. Basitrasin
– c. Vankomisin
8
Tabel 2. Parameter-parameter Farmakokinetik untuk Beberapa Penisilin (Kementrian
Kesehatan RI,2011)
9
2) Sefalosporin
10
11
Tabel IV. Parameter-parameter Farmakokinetik untuk Beberapa Sefalosporin
12
13
3) Monobaktam(beta-laktammonosiklik)
serebrospinal. Waktu paruh: 1,7 jam. Ekskresi: sebagian besar obat diekskresi
14
utuh melalui urin.
4) Karbapenem
Ketiganya sangat tahan terhadap beta- laktamase. Efek samping: paling sering
adalah mual dan muntah, dan kejang pada dosis tinggi yang diberi pada pasien
dengan lesi SSP atau dengan insufisiensi ginjal. Meropenem dan doripenem
5) Inhibitorbeta-laktamase
Inhibitor beta-laktamase melindungi antibiotik beta-laktam dengan cara
menginaktivasi beta-laktamase. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah asam
klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam. Asam klavulanat merupakan suicide
inhibitor yang mengikat beta- laktamase dari bakteri Gram-positif dan Gram-negatif
secara ireversibel. Obat ini dikombinasi dengan amoksisilin untuk pemberian oral
ampisilin untuk penggunaan parenteral, dan kombinasi ini aktif terhadap kokus
Gram-positif, termasuk S. aureus penghasil beta-laktamase, aerob Gram-negatif (tapi
tidak terhadap Pseudomonas) dan bakteri anaerob. Sulbaktam kurang poten
dibanding klavulanat sebagai inhibitor beta-laktamase. Tazobaktam dikombinasi
dengan piperasilin untuk penggunaan parenteral. Waktu paruhnya memanjang
b. Basitrasin
Basitrasin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotik polipeptida, yang utama
adalah basitrasin A. Berbagai kokus dan basil Gram-positif, Neisseria, H. influenzae,
dan Treponema pallidum sensitif terhadap obat ini. Basitrasin tersedia dalam bentuk
15
salep mata dan kulit, serta bedak untuk topikal. Basitrasin jarang menyebabkan
hipersensitivitas. Pada beberapa sediaan, sering dikombinasi dengan neomisin
dan/atau polimiksin. Basitrasin bersifat nefrotoksik bila memasuki sirkulasi sistemik.
c. Vankomisin
2. Obat yang Memodifikasi atau Menghambat Sintesis Protein Obat antibiotik yang
spektinomisin.
a. Aminoglikosid
Spektrum aktivitas: Obat golongan ini menghambat bakteri aerob Gram-
negatif. Obat ini mempunyai indeks terapi sempit, dengan toksisitas serius pada
ginjal dan pendengaran, khususnya pada pasien anak dan usia lanjut. Efek
samping: Toksisitas ginjal, ototoksisitas (auditorik maupun vestibular), blokade
neuromuskular (lebih jarang).
Tabel V. Karakteristik aminoglikosid (Kementrian Kesehatan RI,2011)
16
b. Tetrasiklin
c. Kloramfenikol
17
50S.
Efek samping: supresi sumsum tulang, grey baby syndrome, neuritis optik
2) Azitromisin
Lebih stabil terhadap asam jika dibanding eritromisin. Sekitar 37% dosis
diabsorpsi, dan semakin menurun dengan adanya makanan. Obat ini dapat
3) Klaritromisin
Absorpsi per oral 55% dan meningkat jika diberikan bersama makanan.
Obat ini terdistribusi luas sampai ke paru, hati, sel fagosit, dan jaringan lunak.
Metabolit klaritromisin mempunyai aktivitas antibakteri lebih besar daripada
obat induk. Sekitar 30% obat diekskresi melalui urin, dan sisanya melalui
feses.
4) Roksitromisin
Roksitromisin mempunyai waktu paruh yang lebih panjang dan aktivitas
yang lebih tinggi melawan Haemophilus influenzae. Obat ini diberikan dua
18
ini memiliki komposisi, struktur kimia dan mekanisme kerja yang sangat
mirip dengan eritromisin, azitromisin atau klaritromisin. Roksitromisin
mempunyai spektrum antibiotik yang mirip eritromisin, namun lebih efektif
melawan bakteri gram negatif tertentu seperti Legionella pneumophila.
Antibiotik ini dapat digunakan untuk mengobati infeksi saluran nafas, saluran
pseudomembranosa.
f. Mupirosin
Mupirosin merupakan obat topikal yang menghambat bakteri Gram- positif dan
penggunaan di kulit (lesi kulit traumatik, impetigo yang terinfeksi sekunder oleh
S. aureus atau S. pyogenes) dan salep 2% untuk intranasal. Efek samping: iritasi
g. Spektinomisin
19
Obat ini diberikan secara intramuskular.
Dapat digunakan sebagai obat
alternatif untuk infeksi gonokokus bila obat lini pertama tidak dapat digunakan.
Obat ini tidak efektif untuk infeksi Gonore faring. Efek samping: nyeri lokal,
Folat
a. SulfonamiddanTrimetoprim
a. Kuinolon
1) Asam nalidiksat
2) Fluorokuinolon
d. Nitrofuran
20
melalui saluran cerna 94% dan tidak berubah dengan adanya makanan.
Nitrofuran
E. Antibiotik Rasional
Sejak tahun 1940 penggunaan antibiotik dalam pengobatan untuk manusia sudah
dimulai. Selama 63 tahun, penggunaan antibiotik semakin luas. Hal ini mengakibatkan
meluasnya potensi resistensi bakteri (Amin, 2014).
Penggunaan antibiotik dalam jumlah yang banyak dan penggunaannya yang salah
diduga sebagai penyebab utama tingginya jumlah patogen dan bakteri komensal
resisten di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan akan
antibiotik-antibiotik baru. Pengurangan jumlah kejadian penggunaan antibiotik yang
tidak tepat merupakan cara terbaik untuk melakukan kontrol terjadinya resistensi
bakteri. Konsep mengontrol penggunaan obat ini sering disebut dengan pengobatan
yang rasional. Atau secara sederhana diartikan sebagai “meresepkan obat yang tepat,
dalam dosis yang adekuat untuk durasi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan klinis
pasien serta dengan harga yang paling rendah”(Amin, 2014).
Penggunaan obat rasional termasuk antibiotika adalah pasien mendapatkan
pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan
kebutuhannya, dalam satu kurun waktu yang adekuat dan harga terendah baginya dan
masyarakat sekitarnya
Kriteria pemakaian obat yang rasional:
1. Sesuai dengan indikasi penyakit
2. Pengobatan didasarkan atas keluhan individual dan hasil pemeriksaan fisik
yang akurat
3. Diberikan dengan dosis yang tepat melalui perhitungan usia, berat badan dan
kronologis penyakit
4. Cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat
5. Jarak minum obat sesuai dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan
6. Lama pemberian yang tepat
21
7. Pada kasus tertentu memerlukan pemberian obat dalam jangka waktu tertentu.
8. Obat yang diberikan harus efektif dengan mutu terjamin
9. Hindari pemberian obat yang kedaluarsa dan tidak sesuai dengan jenis keluhan
penyakit
10. Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau
11. Jenis obat mudah didapatkan dengan harganya relatif murah.
12. Meminimalkan efek samping dan alergi obat
F. Penggunaan antibiotik
22
• Leukosit < 4.000 sel/dl atau > 12.000 sel/dl (tidak ada neutropeni)
(Kemenkes, 2011).
F. Dosis antibiotik
1. Penggunaan antibiotik pada usia lanjut
Hal yang harus diperhatikan pada pemberian antibiotik pada usia lanjut:
23
a) Pada umumnya pasien usia lanjut (>60 tahun) mengalami mild renal
impairement (gangguan fungsi ginjal ringan) sehingga penggunaan
antibiotik tertentu yang eliminasinya terutama melalui ginjal
memerlukan penyesuaian dosis atau perpanjangan interval pemberian.
b) Komorbiditas pada usia lanjut yang sering menggunakan berbagai
jenis obat memerlukan pertimbangan terjadinya interaksi dengan
antibiotik.
2. Penggunaan antibiotik pada penurunan fungsi ginjaldan gangguan fungsi
hati
a) Penyesuaian dosis pada penurunan fungsi hati
Pedoman penyesuaian dosis insufisiensi fungsi liver tergantung dari
kondisi fungsi hati tersebut. Secara umum dikatakan bahwa penyesuaian
dosis hanya dilakukan pada insufisiensi hati serius sehingga insufisiensi
ringan sampai sedang tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis. Strategi
praktis sebagai berikut:
1) Dosis total harian diturunkan sampai 50% bagi obat yang
tereliminasi melalui liver pada pasien sakit hati serius -
2) Sebagai alternatif, dapat menggunakan antibiotik yang
tereliminasi melalui ginjal dengan dosis regular
b) Penyesuaian Dosis pada Gangguan Fungsi Ginjal
1) Pada pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal, dosis
antibiotik disesuaikan dengan bersihan kreatinin (Creatinine
clearance). Penyesuaian dosis penting untuk dilakukan terhadap obat
dengan rasio toksik–terapetik yang sempit, atau obat yang dikonsumsi
oleh pasien yang sedang mengalami penyakit ginjal.
2) Usahakan menghindari obat yang bersifat nefrotoksis.
(Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Berikut adalah beberapa acuan yang dapat digunakan dalam
penyesuaian dosis:
24
i. Jika bersihan kreatinin (Clearance creatinine = ClCr) obat yang
tereliminasi melalui ginjal 40-60 ml/menit, dosis diturunkan 50%
dengan interval waktu regular
ii. Jika clearance creatinine (Clcr) 10-40ml/menit, dosis obat yang
eliminasi utamanya melalui ginjal diturunkan 50% dan interval
waktu pemberian diperpanjang dua kali lebih lama dari interval
regular
iii. Sebagai alternatif, dapat menggunakan antibiotik yang eliminasi
utamanya melalui hati dengan dosis reguler
iv. Clearance creatinine (Clcr) digunakan sebagai gambaran fungsi
ginjal. Perhitungan dapat menggunakan formula sebagai berikut:
[(140-Umur(th)]x BB(kg)
Laki-laki : Clcr (ml/menit) =---------------------------------
2 x Srcr (mg/dl)
Perempuan = 0.85 x ClCr (laki-laki)
v. Dosis muatan (loading dose) dan dosis rumatan (maintenance dose)
insufisiensi ginjal. Kalkulasi dosis muatan obat yang rute eliminasi
utama melalui ginjal tidak ada perubahan dosis, sedangkan dosis
rumatan disesuaikan dengan kalkulasi bersihan kreatinin
vi. Pada antibiotik golongan aminoglikosida (misalnya: Amikasin,
Gentamisin, Netimisin, Tobramisin dan lain-lain), penggunaan
dosis tunggal setelah dosis muatan telah terbukti menurunkan risiko
potensial toksisitas ginjal. Strategi ini direkomendasikan bagi
semua pasien termasuk pasien kritis (critically ill) (Kementerian
Kesehatan RI, 2011).
H. Resistensi Antibiotik
25
membebankan biaya yang besar pada individu dan masyarakat (Ambwani dan
Mathur, 2006).
Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan
salah satu atau lebih mekanisme berikut:
1. Bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur antibiotika.
Misalnya Stafilokoki, resisten terhadap penisilin G menghasilkan beta-
laktamase, yang merusa obat tersebut. Beta-laktamase lain dihasilkan oleh
bakteri batang Gram-negatif.
2. Bakteri mengubah permeabilitasnya terhadap obat.
Misalnya tetrasiklin, tertimbun dalam bakteri yang rentan tetapi tidak pada
bakteri yang resisten.
3. Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat.
Misalnya resistensi kromosom terhadap aminoglikosida berhubungan
dengan hilangnya (atau perubahan) protein spesifik pada subunit 30s
ribosom bakteri yang bertindak sebagai reseptor pada organisme yang
rentan.
4. Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung
dihambat oleh obat.
Misalnya beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak
membutuhkan PABA ekstraseluler, tetapi seperti sel mamalia dapat
menggunakan asam folat yang telah dibentuk. Bakteri mengembangkan
perubahan enzim yang tetap dapat melakukan fungsi metabolismenya
tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat dari pada enzim pada kuman
yang rentan. Misalnya beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid,
dihidropteroat sintetase, mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi
terhadap sulfonamid dari pada PABA (Jawetz, 2005).
Beberapa penyebab dari krisis resistensi antibiotik adalah (Ventola,
2015):
1. Pemakaian yang berlebihan
Di banyak negara, antibiotik tidak terregulasi dan dapat dibeli tanpa resep.
Kekurangan regulasi tersebut menyebabkan antibiotik sangat mudah dibeli,
26
berjumlah banyak, harganya murah, sehingga dapat menyebabkan
pemakaian yang berlebihan. Pembelian yang dapat dilakukan secara online
juga semakin memudahkan akses pembelian antibiotik di negara yang telah
memiliki regulasi.
2. Peresepan yang tidak sesuai
Peresepan antibiotik yang tidak sesuai memiliki manfaat terapeutik yang
masih dipertanyakan dan dapat menyebabkan pasien berpotensi untuk
mengalami komplikasi dari terapi antibiotik.
3. Penggunaan pada agrikultural yang luas
Dalam negara yang telah dan sedang berkembang, antibiotik digunakan
secara luas sebagai suplemen pertumbuhan dalam perternakan. Antibiotik
yang digunakan dalam peternakan dicerna oleh manusia saat memakan
makanan. Perpindahan bakteri yang resisten dari hewan ternak ke manusia
pertama kali dicatat lebih dari 35 tahun yang lalu ketika nilai yang tinggi
dari resistensi antibiotik ditemukan di flora usus peternak dan hewan
ternak.
4. Tersedianya antibiotik baru yang sedikit
Perkembangan dari antibiotik yang baru oleh industri farmasi yang selama
ini menjadi salah satu strategi efektif dalam memerangi bakteri yang
resisten pada dasarnya menjadi semakin lambat karena hambatan ekonomi
dan regulasi. Pengembangan antibiotik dianggap tidak lagi menjadi suatu
investasi yang bijak secara ekonomi dalam bidang industri farmasi karena
antibiotik bekerja untuk waktu yang relatif singkat dan sering sebagai
bentuk kuratif, antibiotik tidak membuat banyak keuntungan seperti obat-
obatan untuk penyakit kronis, seperti diabetes, asma, dan gangguan
psikiatri.
5. Pembatas regulasi
Meskipun ada beberapa perusahaan yang optimis terhadap perjuangan
dalam menemukan antibiotik yang baru, mendapatkan persetujuan regulasi
sering menjadi hambatan. Kesulitan dalam mengejar persetujuan regulasi
yang telah dicatat meliputi: birokrasi, tidak adanya kejelasan, perbedaan
27
persyaratan uji coba klinis antar negara, perubahan peraturan regulasi dan
perizinan, dan jalur komunikasi yang tidak efektif. Perubahan standar untuk
uji coba klinis yang dilakukan oleh Food and Drug Administration (FDA)
Amerika Serikat selama dua dekade terakhir telah membuat uji klinis
antibiotik menjadi sangat menantang.
Salah satu kekhawatiran terbesar dari resistensi antibiotik adalah sistem
kesehatan modern dan pengobatan yang sangat bergantung pada antibiotik
dapat sangat mengacaukan. Saat operasi dilakukan, pasien diberikan antibiotik
sebagai profilaksis untuk menurunkan risiko infeksi bakteri. Banyak prosedur,
seperti operasi panggul yang saat ini mengizinkan orang-orang untuk hidup
secara aktif lebih lama dan dapat membuat mereka tetap bekerja menjadi terlalu
berisiko untuk dilakukan (O’Neill, 2014).
Pengobatan kanker secara modern sering menekan sistem imunitas
pasien, membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi. Oleh sebab itu, tanpa
antibiotik yang efektif untuk mencegah atau mengobati infeksi, kemoterapi
menjadi masalah yang jauh lebih berisiko (O’Neill, 2014)
Penelitian awal, melihat hanya dari dampak dari resistensi antibiotik
menunjukkan bahwa resistensi yang terus meningkat hingga tahun 2050 dapat
menyebabkan kematian 10 juta orang setiap tahun dan penurunan Produk
Domestik Bruto hingga 2% sampai 3,5% (O’Neill, 2014).
28
Gambar 4. Perkiraan jumlah kematian yang disebabkan oleh resistensi antibiotik
dibandingkan dengan penyebab kematian lainnya pada 2050 (O’Neill, 2014)
29
Gambar 5. Timeline penemuan antibiotik dan resistensi antibiotik (Ventola,
2015)
30
Era modern dari antibiotik dimulai dengan penemuan penicillin oleh
Alexander Fleming pada tahun 1928. Semenjak itu, antibiotik telah mengubah
pengobatan modern dan menyelamatnya jutaan nyawa. Penicillin telah berhasil
mengontrol infeksi bakteri pada tentara-tentara di Perang Dunia Ke-II. Namun,
tidak lama setelah itu resistensi penicillin menjadi salah satu masalah klinis
yang penting. Sebagai respon masalah tersebut, antibiotik beta-lactam yang
baru ditemukan, dikembangkan, dan disebarkan. Akan tetapi, kasus pertama
dari methicillin-resistant Staphylococcus auerus (MRSA) teridentifikasi di
dekade yang sama di Inggris pada tahun 1962 dan di Amerika pada tahun 1968
(Ventola, 2015).
Resistensi antibiotik dapat ditemukan di hampir semua jenis antibiotik
yang telah dikembangkan. Sejak akhir tahun 1960 hingga awal tahun 1980,
industri farmasi telah mengenalkan banyak jenis antibiotik yang baru untuk
menangani masalah resistensi antibiotik tetapi setelah itu semakin lama
semakin sedikit antibiotik baru yang dikenalkan. Hal itu menyebabkan pada
tahun 2015, beberapa dekade setelah pasien pertama diobati dengan antibiotik,
infeksi bakteri kembali menjadi suatu ancaman (Ventola, 2015).
31
BAB III
PENUTUP
32
33
DAFTAR PUSTAKA
34
Lampiran 1
Rekomendasi Antibiotik empiris
35
OR Aztreonam susceptibility results.
[2]ID-R:
SFGH [3] 2 g
IV q8h ALL
WITH OR
WITHOUT:
Metronidazole
[2] 500 mg IV
q8h (if patient
critically ill)
Enterobacter Ciprofloxacin
iaceae ID-
(rarely) R: VASF 400
mg IV q12h
OR
Levofloxacin
ID-
R:VASF 500
mg IV daily
OR
36
AztreonamID-
R: SFGH 2 g
IV q8h if
gonococcus is
strongly
suspected
Gastrointestinal
37
Secondary E. coli Ertapenem
or severe PCN allergy:
Peritonitis 1g IV daily
Klebsiella Vancomycin
Mild- OR
B. fragilis PLUS
Moderate intra-
Piperacillin/ta
abdominal StreptococciAztreonamID-R: SFGH 2 g IV q8h
zobactamID-
abscess spp
PLUSR: SFGH3.375
S. aureus g IV q6h - 4.5g
Metronidazole 500 mg IV q8h
IV q6h
Gynecologic
38
Endometritis Bacteroides 1st line: For severe If test for chlamydia is
PCN allergy: positive add azithromycin
Prevotella Cefoxitin 2 g
or doxycycline.
bivia IV q6h Vancomycin
Continue antibiotics until
Group B & PLUS
afebrile for 24-48 hours.
Astreptococc
2nd line: Gentamicin
i If still febrile > 48 hours
Ertapenem 1 PLUS and on cefoxitin or
Enterobacter
g IV daily clindamycin/gentamicin
iaceae Metronidazol
postpartum, switch to
e 500 mg IV
M. hominis ertapenem.
q12h
3rd line:
Wait 48 hours on an
Ampicillin/sul antibiotic regimen before
bactam 3 g IV considering regimen
q6h failed.
39
Ertapenem 1 R: VASF 400 *Consider vancomycin use
g IV daily mg IV q12h for patients at high risk for
MRSA
WITH OR OR
WITHOUT*
LevofloxacinI
Vancomycin D-
R: VASF 500
mg IV daily
Alternatively:
Metronidazol
e 500 mg
IV/PO q8h
PLUS
Ceftriaxone1
g IV q24h
WITH OR
WITHOUT*
Vancomycin
40
Gram- Piperacillin/ta WITH OR *Consider Gram-negative
negative zobactam WITHOUT* coverage for
rods* one of: immunocompromised
ID-R:SFGH
patients or those with
Yeast** Aztreonam
prolonged hospitalization,
ID-R: SFGH 2
4.5 g IV q6h recent antibiotic exposure
g q8h
or sepsis.
OR
CefepimeID-
R:SFGHVASF **Contact ID or ID
2 g IV q8h Pharmacy if yeast is
present.
Respiratory Infection
41
(alcoholics) fluoroquinolone regimen,
and vice versa).
S. aureus
See HCAP for risk factors
for infection
with Pseudomonas
aeruginosa.
42
Hospital- S. aureus Vancomycin Mini-BAL recommended
acquired at UCSF.
S.pneumonia PLUS one of
pneumonia
e
Levofloxacin
EARLY
H.influenzae 750 mg IV *Risk factors include
ONSET
daily recent antibiotic exposure
including (within 30 days).
OR
ventilator- Antibiotic
associated or less sensitive Ertapenem 1
than 5 days of enteric gram g IV daily Consider influenza testing
hospitalization, negative and treatment with
no risk factors for bacilli: oseltamivir when influenza
drug-resistant is known to be circulating.
E. coli
organisms*
Enterobacter
aerogenes
Klebsiella
pneumoniae
Proteus
mirabilis
Serratia
marcesans
43
LATE ONSET Enterobacter Piperacillin/ta Vancomycin2
aerogenes zobactamID-
including PLUS *Risk factors include
R: SFGH 4.5 g
ventilator- P. recent antibiotic exposure
IV q6h AztreonamID-
associated OR ≥ aeruginosa (within 30 days).
R:SFGH2 g IV
5 days of OR
Klebsiella q8h
hospitalization or
pneumoniae CefepimeID-
risk factors for WITH OR **Consider use in patients
R:SFGH VAS
resistant S. aureus WITHOUT*** with current or recent use
F 2 g IV q8-
organisms* : (< 7 days) of
12h
piperacillin/tazobactam or
Tobramycin
cefepime and in patients
with recent infection with
Alternatively:
multidrug resistant gram-
Vancomycin negative bacteria.
PLUS
44
tuberculosis PLUS for non-first-
line regimens
Rifampin 600 Notify the SF Department
mg PO daily of Public Health
Tuberculosis Control at
PLUS
415-206-8524 within one
Pyrazinamide working day.
25 mg/kg/day
PO daily
Guidelines for hospital
PLUS
discharge and follow-up
Ethambutol and other resources
15 mg/kg/day at: http://www.sftbc.org/
PO daily
PLUS
Rifampin has numerous
Pyridoxine (V clinically significant drug
itamin B-6) 50 interactions. Medication
mg PO daily lists should be reviewed
for potential drug-drug
interactions with rifampin.
45
TazobactamI Metronidazol
D-R: SFGH4.5 e 500 mg
g IV q8h IV/PO q8h
OR PLUS one of
Ertapenem 1 AztreonamID-
g IV daily R: SFGH 2
g IV q8h
OR
Tobramycin
WITH OR
WITHOUT:
46
Tobramycin At UCSF Medical Center,
refer to the UCSFMC
Code Sepsis Guidelines.
Vancomycin
Plus
MeropenemID-
R: SFGHVASF 1-2 g IV
q8h
47
and drainage and once
patient is stable, switch to
oral antibiotics based on
culture and susceptibility
results.
48
OR PLUS Group A streptococci
and Clostridium
Ertapenem 1 Clindamycin I
perfringens. Discontinue
g IV daily D-
clindamycin once adequate
R:VASF 600-
ALL WITH: surgical debridement is
900 mg IV q8h
achieved.
ClindamycinI
D-
R: VASF600 –
900 mg IV q8h
Alternatively if
infection is
health-care
associated:
Vancomycin
PLUS
MeropenemI
D-
R: SFGHVAS
F 1-2 g IV q8h
PLUS
ClindamycinI
D-
R: VASF600-
900 mg IV q8h
49
Asymptomatic Enterobacter No treatment Pyuria alone is not an
bacteriuria iaceae required indication for treatment.
OR OR
Ertapenem 1g Aztreonam
IV daily ID-R:SFGH
2 g IV q8h
(UCSF, 2013)
50
51