Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
ABSTRAK
Perhutanan sosial merupakan salah satu program pemberdayaan yang diharapkan bisa menjadi
penyeimbangantara laju pembangunan dan masalah pengentasan kemiskinan. Makalah ini mengkaji
efektifitas penerapan skema perhutanan sosial, melalui skema Hutan Desa (HD) Namo. Penilaian
efektivitas penerapan program HD menggunakan metode skoring dan dianalisis secara deskriptif
kualitatif. Penelitian ini menujukan bahawa penerapan program HD masih dinilai kurang efektif,
terutama terkait proses perizinan untuk memperoleh hak akses pemanfaatan kawasan hutan. Hal ini
mengindikasikan bahawa prosedur administratif cenderung lebih diutamakan dibandingkan proses
verifikasi di lapangan, sehingga kejelasan status dan penguasaan hak akses di kawasan hutan menjadi
tidak jelas. Hal ini berdampak terhadap menurunya motivasi masyarakat dalam mengelola HD. Lebih
jauh, menyebabkan munculnya potensi konflik agraria di wilayah Desa Namo.
PENGENALAN
Fenomena kemiskinan di desa sekitar hutan selalu dikaitkan dengan masalah kerusakan
hutan yang terjadi (Hajjar et al. 2013). Dampaknya pun cukup luas, bukan saja terhadap
lingkungan namun juga terhadap munculnya konflik sosial. Banyak faktor pemicunya,
antara lain: akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang terbatas, kapasitas dan
kapabilitas sumberdaya manusia yang rendah (Pandey et al. 2014), potensi sumberdaya
hutan yang terbatas (Golar 2007, Golar & Muis 2009, Golar 2014), dukungan pemerintah
daerah yang belum optimal (Sirait 2005), dan program pemberdayaan yang tidak tepat
sasaran (Pandey et al. 2014).
Pemerintah daerah mengalami tantangan besar dalam upaya menanggulangi kemiskinan,
terutama pada desa-desa yang berbatasan dengan kawasan hutan. Salah satunya adalah
kesulitan dalam mengatasi masalah pola pemukiman yang terpencar-pencar, infrastruktur yang
buruk, dan lemahnya kepercayaan (trust) masyarakat desa hutan terhadap pemerintaah
(Paudyal et al. 2015, Yadav et al. 2014, Ming’ate et al. 2014). Selain itu, pemerintah sulit
dalam menyeimbangkan pembangunan ekonomi, pengurangan kemiskinan dan akses terhadap
pengelolaan sumberdaya alam (Golar 2014).
Program-program pemberdayaan masyarakat, baik yang diprakarsai pemeritah maupun
pihak donor yang ada diharapkan mampu untuk menjadi jembatan di dalam menyeimbangkan
laju pembangunan dan pengentasan masalah kemiskinan. Namun faktanya belum sesuai dengan
harapan. Minimnya media komunikasi dan terbatasnya informasi atau data rill tentang
keberadaan masyarakat, mengakibatkan pemahaman terhadap masalah dan prioritas yang
dihadapi oleh masyarakat miskin menjadi semakin tidak jelas. Dibutuhkan skema
pemberdayaan yang paling sesuai dengan karakteristik masyarakat dan sumberdaya hutannya.
Di Indonesia terdapat sejumlah skema pemberdayaan yang secara khusus diperuntukan
bagi masyarakat desa hutan. Hanya saja, penerapannya belum berjalan secara optimal, sehingga
dinilai belum mampu memberikan hasil sesuai yang diharapkan. Hasil evaluasi yang dilakukan
52 Golar et al.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyimpulkan bahwa salah salah satu
penyebabnya adalah program-program tersebut belum tepat sasaran, sehingga tidak sesuai
dengan kebutuhan mereka. Häyrinen et al. (2016) dan Ming’ate et al. (2014) menjelaskan
bahwa peningkatan akses masyararakat melalui skema-skema pemberdayaan menjadi hal yang
penting untuk diperhatikan. Melalui pemberian akses maka peluang peningkatan kesejahteraan
masyarakat akan semakin besar.
Makalah ini fokus pada penilaian efektifitas penerapan skema pemberdayaan masyarakat
di sekitar hutan melalui program Perhutanan Sosial (Social Forestry), khususnya pembangunan
Hutan Desa (HD) berdasarakan karakteristik masyarakat dan sumberdaya hutannya.
KAEDAH PENELITIAN
Rajah 1. Lokasi Pembangunan Hutan Desa Namo, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi
(Nomor SK: 90.SK.64/Menhut-11/2011. Tanggal 28 Pebruari 2011)
Malaysian Journal of Environmental Management 16 (1) (2017): 51-59
Golar et al. 53
Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari
hasil observasi dan wawancara dengan informan, terdiri atas: (1) data program pemberdayaan
yang telah dilakukan, (2) kendala-kendala pelaksanaan program, (3) capaian program dan (4)
efektifitas pelaksanaan program. Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran dokumen
berupa studi literatur dan dokumen dari berbagai pihak yang diamati sebagai data penunjang.
Data tentang efektifitas penerapan skema HD diperoleh melalui wawancara dengan
informan, menggunakan metode purposive sampling. Pemilihan informan didasarkan pada
pertimbangan bahwa informan merupakan masyarakat Desa Namo dan Desa Bakubakulu, yang
memiliki kriteria: terlibat dalam program pemberdayaan; memiliki pengetahuan dasar/mengerti
tentang hutan desa dan atau hutan kemasyarakatan. Untuk konfirmasi data, ditetapkan beberapa
orang informan kunci. Penentuan terhadap informan kunci penelitian ini menggunakan metode
snowball sampling, dimana informan ditentukan berdasarkan rekomendasi dan petunjuk
informan pertama.
Analisis data mengacu pada model Miles dan Huberman (1999), yang dilakukan secara
interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas. Tahapan yang dilakukan terdiri
atas: (a) Pengumpulan data; (b) mereduksi data; (c) penyajian data; (d) verifikasi dan penarikan
kesimpulan. Adapun Rajahan tahapan teknik analisis data, sebagaimana disajikan pada Rajah
2.
Pengumpulan data
Penyajian data
Reduksi data
Skema pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, telah dilakukan sejak lama. Bukan saja
program yang dilahirkan oleh pemerintah, namun juga yang diprakarsai oleh lembaga donor
dan difasilitasi oleh sejumlah lembaga swadaya yang ada di Sulawesi Tengah. Meskipun
demikian, keberhasilan program pemberdayaan belum sebanding dengan biaya, waktu, dan
tenaga yang telah dikeluarkan. Informasi yang diperoleh melalui penelitian ini menjelaskan
bahwa terdapat sejumlah faktor penyebab, diantaranya: kesiapan masyarakat yang tergolong
rendah; perencanaan yang lemah, atau kurang melibatkan peran aktif masyarakat; program
lebih dominan pada orientasi output bukan proses; dan dilakukan secara parsial (Rajah 3).
Kesiapan masyarakat
5
4
3
2 perencanaan yang
parsial
lemah
1
0
pelibatan masyarakat
orientasi output
rendah
Hutan Desa (HD) adalah skema pemberdayaan yang dilakukan di dalam kawasan hutan,
dimana desa diberikan hak kelola agar kesejahteraan desa meningkat. Skema ini bisa dilakukan
di kawasan hutan produksi dan hutan lindung, asalkan kawasan tersebut belum memiliki hak
pengelolaan atau izin pemanfaatan dari pihak lain. Izin pengelolaan HD diberikan kepada
lembaga desa yang telah dibentuk oleh desa, bertugas mengelola hutan tanpa mengubah status
dan fungsi hutannya.
Di Desa Namo skema HD telah ada sejak tahun 2011, namun baru mendapatkan surat
keputusan penetapan areal kerja HD. Meskipun izin ini telah ada sejak tahun 2011, namun
lembaga desa baru bisa mengelolanya pada tahun 2014. Melalui izin pemanfaatan hasil hutan
non kayu tersebut, mereka mengelola rotan, dengan didampingi oleh salah satu lembaga
swadaya masyarakat. Tercatat produksi rotan dari Februari-Mei 2016, sebanyak 29,380 ton
dengan jenis batang, tohiti, dan lambang. Izin pengelolaan rotan setiap tahun diajukan per
orang ke Dinas Kehutanan Sigi dengan koordinator unit pengelola ROLES Namo.
Beragam respon masyarakat terhadap program Hutan Desa, mulai dari fungsinya terhadap
resolusi konflik, memberikan keadilan manfaat sumberdaya alam, dan peningkatan nilai
ekonomi (Rajah 4). Di antara ketiganya, fungsi HD dalam memberikan keadilan manfaat dinilai
cukup efektif bila dibandingkan ke dua fungsi lainnya. Hal utama yang dirasakan masyarakat
adalah terbukanya peluang akses ke dalam kawasan hutan untuk memanfaatkan hasil hutan
yang ada. Terbukanya akses memberikan peluang bagi masyarakat untuk meninmgkatkan
ekonomi keluarga mereka, melalui perizinan HD.
Di satu sisi, perizinan HD dijadikan salah satu strategi untuk mengamankan hak-hak
komunal, sekaligus memproteksi sumberdaya hutan dari ancaman pihak luar. Namun,
prosedur-prosedur administratif sering menjadi penghambat bagi lembaga desa. Selain itu,
pengutamaan aspek administrasi dibandingkan aktifitas verifikasi di lapangan menyebabkan
tidak semua perizinan HD yang telah disetujui secara formal, mempunyai kejelasan (clear and
clean). Beberapa lokasi sering dijumpai status tanah dan pemangku hak yang tidak jelas
(Moeliono et al. 2015).
Resolusi k onflik
5
4
3
2
Keadilan manfaat
1
0
Peningkatan
lainnya
ekonomi
Terkait dengan ketidak jelasan status lahan, penetapan status HD tanpa proses verifikasi
yang layak, berpotensi di dalam memicu konflik antara institusi lokal dan institusi pemerintah.
Selain itu pula, penetapan badan usaha desa untuk mengelola sumberdaya hutan selalu
diasumsikan sebagai usaha dengan tujuan keuntungan (profit), sehingga dapat menimbulkan
konflik kepentingan bisnis dan proses tata kelola yang baik atas sumberdaya hutan. Padahal,
tidak semua sumberdaya hutan desa bisa atau layak dikelola untuk tujuan ekonomi semata.
Secara akumulasi, masalah tersebut menimbulkan penilaian masyarakat terhadap program HD.
Pada umumnya informan menilai program HD kurang efektif (Rajah 5) di dalam mencapai
tujuan utamanya, yaitu memberdayakan lembaga desa dalam rangka peningkatan kesejahteraan
masyarakat melalui akses pemanfaatan sumberdaya hutan. Sistem administratif (Rajah 6) yang
masih menjadi pertimbangan utama di dalam pelaksanaan program ini menjadi hambatan
utama bagi masyarakat di Namo. Akhirnya, mereka lebih memilih untuk memanfaatkan
sumberdaya hutan secara individu dan illegal, bila harus melakukan serangkaian tahapan
adminitrasi perizinan untuk memperoleh hak pemanfaatan sumberdaya hutan.
sangat efektif
4
2
sangat tidak efektif efektif
1
Rajah 6. Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah No 40 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan dan
Standar Operasional Perizinan dan non Perizinan pada Badan Penanaman Modal dan Pelayanan
Perizinan Terpadu Satu Pintu Daerah Provinsi Sulawesi Tengah
KESIMPULAN
Program pemberdayaan melalui skema HD masih dinilai tidak efektif oleh masyarakat Namo,
terutama terkait proses administrasi perizinan untuk memperoleh hak kelola. Prosedur
administratif cenderung lebih diutamakan bila dibandingkan proses verifikasi kejelasan status
dan penguasaan hak di lapangan, menyebabkan munculnya potensi konflik agraria di wilayah
Desa Namo. Situasi ini berdampak pula terhadap menurunya motivasi di dalam pengelolaan
HD, dan cenderung memilih untuk memanfaatkan sumberdaya hutan secara langsung, tanpa
melalui skema perhutanan sosial.
PENGHARGAAN
Makalah ini merupakan sebahagian daripada Hibah Penelitian Strategis Nasional, yang dibiayai oleh
Kementerian Riset Dikti, pelaksanaan Tahun 2017. Ucapan terima kasih kepada Kementerian Riset Dikti
atas bantuan pendanaan yang telah diberikan. Penghargaan turut diberikan kepada masyarakat Desa
Namo, yang telah memberikan informasi sehingga peneltian ini dapat dilakukan.
RUJUKAN
Bruggeman, D., Meyfroidt, P. & Eric F. Lambin, E. F. 2015. Land Use Policy Production Forests as a
Conservation Tool : Effectiveness of Cameroon's Land Use Zoning Policy. Land Use Policy 42:
151–64.
Figueroa, F., Caro-Borrero, A., Revollo-Fernández, D., Merino, L., Almeida-Leñero, L., Paré, L.,
Espinosa, D. & Mazari-Hiriart, M. 2016. I like to Conserve the Forest , but I Also like the Cash’.
Socioeconomic Factors Influencing the Motivation to Be Engaged in the Mexican Payment for
Environmental Services Programme. Journal of Forest Economics 22: 36–51.
Golar. 2007. Adaptation Strategy on Maintaining Forest Sustainability: Jurnal Agrisains. Palu:
Universitas Tadulako.
Golar & Muis, H. 2009. Analisis Faktor-Faktor Dominan yang Mempengaruhi Aktivitas Perambahan di
Taman Nasional Lore Lindu: Jurnal Foresains. Palu: Universitas Tadulako.
Golar. 2014. Resolusi Konflik dan Pemberdayaan Komunitas Peladang di Taman Nasional Lore Lindu.
Prosiding Seminar Nasional Komunitas Manajemen Hutan (KOMHINDO). Makassar: Universitas
Hasanuddin. 4 – 5 September.
Hajjar, R, Kozak, R, Eel-Lakany & H, Innes, J. 2013. Community Forests For Forest Communities:
Integrating Community-Defined Goal and Practices in the Design of Forestry Initiatives. Land Use
Policy 34: 158-167.
Häyrinen, L., Mattila O, Berghäll S & Toppinen A. 2016. Lifestyle of health and sustainability of forest
owners as an indicator of multiple use of forests. Forest Policy and Economics 67: 10–19.
Leeuwen, M. V. 2014. Land Use Policy Renegotiating Customary Tenure Reform – Land Governance
Reform and Tenure Security in Uganda. Land Use Policy 39:292–300.
Mazunda, J. & Shively, G. 2015. Measuring the Forest and Income Impacts of Forest User Group
Participation under Malawi’s Forest Co-Management Program. Ecological Economics 119: 262–73.
Miles, M. B. & Huberman.A. M. 1999. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Ming’ate, F. L. M., Rennie H. G. & Memon A. 2014. Potential for co-management approaches to
strengthen livelihoods of forest dependent communities: A Kenyan case. Land Use Policy 4: 304-
312.
Moeliono M, Mulyana A, Adnan H, Manalu P, Yuliani EL & Balang. 2015. Village forests (hutan desa):
empowerment, business or burden? Brief 51. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre
(ICRAF) Southeast Asia Regional Program.
Paudyal, K., Baral, H., Burkhard, B., Bhandari S. P. & Keenan R. J. 2015. Participatory assessment and
mapping of ecosystem services in a data-poor region: Case study of community-managed forests in
central Nepal. Ecosystem Services (In Press). http://dx.doi.org/10.1016/j.ecoser.2015.01.007 2212-
0416.
Pandey, S.S., Maraseni, T.N., Cockfield, G. & Gerhard, K., 2014. Tree Species Div Diversity in
Community Managed and National Park Forests in the Mid – Hills of Central Nepal. J. Sustain. For
33(8): 796-813
1
Fakultas Kehutanan,
Universitas Tadulako (UNTAD),
Jalan Soekarno Hatta,
KM 9, 94117 Palu, Sulawesi Tengah,
INDONESIA
2
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Tadulako (UNTAD),
Jalan Soekarno Hatta,
KM 9, 94117 Palu, Sulawesi Tengah,
INDONESIA