Sie sind auf Seite 1von 11

TERAPI ANTIBIOTI SECARA RASIONAL

PENDAHULUAN

Penggunaan antibiotik dalam pengobatan untuk manusia sudah dimulai sejak


tahun 1940. Selama 63 tahun, penggunaan antibiotik semakin luas. Hal ini
mengakibatkan meluasnya potensi resistensi bakteri.
Antibiotik memiliki dua efek utama, secara terapeutik obat ini menyerang
organisme infeksius dan juga mengeliminasi bakteri lain yang bukan penyebab
penyakit. Efek lainnya adalah menyebabkan perubahan keseimbangan ekosistem
antara strain yang peka dan yang resisten, konsekuensinya adalah gangguan ekologi
mikrobial alami. Perubahan ini menyebabkan timbulnya jenis bakteri yang berbeda
jenisnya atau varian resisten dari bakteri yang sudah ada.
Penggunaan antibiotik dalam jumlah yang banyak dan penggunaannya yang
salah diduga sebagai penyebab utama tingginya jumlah patogen dan bakteri
komensal resisten di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan
akan antibiotik-antibiotik baru. Pengurangan jumlah kejadian penggunaan antibiotik
yang tidak tepat merupakan cara terbaik untuk melakukan kontrol terjadinya
resistensi bakteri.

1. Definisi
Penggunaan antibiotik secara rasional diartikan sebagai “meresepkan obat
yang tepat, dalam dosis yang adekuat untuk durasi yang cukup dan sesuai dengan
kebutuhan klinis pasien serta dengan harga yang paling rendah”. Sedangkan
menurut World Health Organization (WHO) Global Strategy, penggunaan
antibiotik yang tepat adalah penggunaan antibiotik yang efektif dari segi biaya
dengan peningkatan efek terapeutik klinis, meminimalkan toksisitas obat dan
meminimalkan terjadinya resistensi.

2. Prinsip Kerja Antibiotik


Dalam penggunaan antibiotik pada kasus infeksi maka terdapat tiga aspek
yang saling berkaitan, yaitu aspek antibiotik, kuman dan host. Penggunaan
antimikroba secara prinsip berbeda dengan obat pada umumnya oleh karena target
antimikroba adalah sel kuman sedangkan obat lain adalah sel host. Dalam
penggunaannya, antibiotik diharapkan mampu mencapai lokasi infeksi dengan
kadar yang cukup (melebihi kadar hambat minimal/KHM), masuk/penetrasi ke
dalam sel bakteri dan bekerja mengganggu proses metabolisme bakteri sehingga
bakteri tersebut menjadi tidak aktif atau mati; namun efek toksik pada sel host
diharapkan seminimal mungkin.
Keberhasilan pengobatan antibiotik dipengaruhi oleh berbagai faktor. Selain
jenis antibiotik dan spektrum antimikroba, aspek farmakologis yaitu
farmakokinetik dan farmakodinamik merupakan faktor yang sangat penting.
Aspek farmakokinetik mencakup absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
obat. Sedangkan aspek farmakodinamik mencakup sifat bakteriostatik/bakterisid,
time-dependent/concentration dependent dan post-antibiotic effect (PAE).

3. Aspek Farmakologis Antibiotik


3.1. Farmakokinetik
Farmakokinetik merupakan aspek yang menjelaskan mengenai perjalanan dan
apa yang terjadi pada obat saat berada di dalam tubuh. Di antaranya termasuk
absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
Proses absorpsi umumnya dikaitkan dengan penyerapan obat di saluran cerna
pada pemberian oral. Setelah mencapai kadar puncak dalam darah, konsentrasi
obat akan menurun secara cepat dalam fase yang disebut dengan fase alfa (α).
Pada fase selanjutnya yaitu fase beta (β) maka konsentrasi antibiotik akan
menurun secara perlahan dan stabil. Pada fase beta ini yang menentukan waktu
paruh (t1/2) dari suatu antibiotik. Pada proses absorpsi ini, tidak semua obat akan
mencapai sirkulasi sistemik dalam keadaan utuh/aktif, dan jumlah persentase obat
yang mencapai sirkulasi sistemik dalam keadaan utuh atau aktif disebut
bioavailabilitas. Sedangkan kesetaraan jumlah obat dalam sediaan dengan kadar
obat dalam darah atau jaringan disebut bioekuivalensi.
Setelah diabsorpsi, obat akan berkaitan dengan albumin sebagai protein
dominan dalam serum dan kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh melalui
sirkulasi darah. Persentase antibiotik yang terikat secara reversibel terhadap
albumin serum digambarkan dengan istilah protein binding. Obat kemudian akan
melepaskan diri dari ikatannya dengan albumin, dan menembus beberapa
membran sel sesuai dengan gradien konsentrasi dan mencapai tempat infeksi lalu
berikatan dengan protein jaringan. Distribusi obat antara lain dipengaruhi oleh
aliran darah, pH, protein bin-ding, dan volume distribusi.
Pasca distribusi obat, obat kemudian akan mengalami metabolisme oleh
berbagai enzim dan yang terpenting di antaranya adalah enzim sitokrom P450,
sehingga pemberian obat-obatan yang dapat meningkatkan atau menghambat
kerja enzim ini dapat mempengaruhi aktivitas antibiotik.
Obat yang dalam keadaan aktif akan ditingkatkan kelarutannya sehingga
lebih mudah diekskresikan, dan umumnya obat menjadi inaktif. Sedangkan untuk
obat dalam bentuk prodrug, enzim akan mengaktivasi obat tersebut menjadi
bentuk yang aktif.
Antibiotik umumnya dieliminasi melalui ginjal dan diekskresikan melalui
urin dalam bentuk metabolit aktif dan inaktif. Antibiotik juga dapat dieliminasi
melalui empedu dan diekskresikan ke dalam usus. Dari dalam usus sebagian obat
akan dibuang melalui feses, dan sebagian akan kembali diserap dan dibuang
melalui ginjal. Sebagian kecil obat juga diekskresikan melalui keringat, liur, air
mata, dan air susu.

3.2. Farmakodinamik
Farmakodinamik menggambarkan efek kerja suatu obat. Secara umum,
aktivitas antibiotik dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bakteriostatik
(menghambat pertumbuhan mikroba) dan bakterisidal (membunuh mikroba).
Contoh antibiotik yang bersifat bakterisidal antara lain aminoglycoside, beta-
lactam, metronidazole, kuinolon, rifampicin, pirazinamide, vancomycin,
isoniazide, dan bacitracin. Sedangkan antibiotik yang memiliki sifat
bakteriostatik antara lain chloramphenicol, clindamycin, ethambutol, macrolide,
sulfonamide, tetracycline dan trimethoprim. Namun sifat bakteriostatik dan
bakterisid dari antimikroba tidak mutlak karena antibiotik dengan sifat
bakteriostatik dapat pula bersifat bakterisid bila kadarnya ditingkatkan.
Kadar antibiotik minimal yang diperlukan untuk menghambat
pertumbuhan atau membunuh mikroba dikenal dengan istilah kadar
hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Fungsi antibiotik
terhadap KHM dapat dibagi menjadi fungsi terhadap konsentrasinya
(concentration dependent) dan terhadap waktu (time dependent). Pada
antibiotik golongan concentration dependent maka semakin tinggi kadar obat
dalam darah maka semakin tinggi pula daya kerjanya sehingga kecepatan dan
efektivitas kerjanya dapat ditingkatkan dengan menaikkan kadar obat dalam
darah hingga jauh di atas KHM. Sedangkan pada antibiotik jenis time dependent,
selama kadarnya dapat dipertahankan sedikit di atas KHM sepanjang masa
kerjanya, kecepatan dan efektivitas kerja obat tersebut akan mencapai nilai
maksimal. Contoh antibiotik golongan concentration dependent adalah
quionolone dan aminoglycoside, sedangkan contoh antibiotik golongan time
dependent adalah beta-lactam.
Beberapa golongan antibiotik masih dapat menunjukkan aktifitas dalam
menghambat pertumbuhan mikroorganisme meskipun kadarnya lebih rendah
dari KHM. Fenomena ini disebut post-antibiotic effect. Efek ini dipengaruhi oleh
jenis antibiotik dan mikrooragnismenya sendiri, contohnya quionolone dan
aminoglycoside yang memiliki post-antibiotic effect yang cukup lama terhadap
kuman gram negatif.

3.3. Cara Kerja Antibiotik


Antibiotik memiliki cara kerja yang berbeda- beda dalam membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Klasifikasi berbagai antibiotik
dibuat berdasarkan mekanisme kerja tersebut, yaitu :
1) Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri. Contohnya
adalah penicilin, cephalosporin, carbapenem, monobactam dan vancomycin.
2) Antibiotik yang bekerja dengan merusak membran sel mikroorganisme.
Antibitoik golongan ini merusak permeabilitas membran sel sehingga terjadi
kebocoran bahan-bahan dari intrasel. Contohnya adalah polymyxin.
3) Antibiotik yang menghambat sintesis protein mikroorganisme dengan
mempengaruhi subunit ribosom 30S dan 50S. Antibiotik ini menyebabkan
terjadinya hambatan dalam sintesis protein secara reversibel. Contohnya
adalah chloramphenicol yang bersifat bakterisidal terhadap mikroorganisme
lainnya, serta macrolide, tetracycline dan clindamycine yang bersifat
bakteriostatik
4) Antibiotik yang mengikat subunit ribosom 30S. Antibiotik ini menghambat
sintesis protein dan mengakibatkan kematian sel. Contohnya adalah
aminoglycoside yang bersifat bakterisidal
5) Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba. Contohnya
adalah rifampicin yang menghambat sintesis RNA polimerase dan kuinolon
yang menghambat topoisomerase. Keduanya bersifat bakterisidal.
6) Antibiotik yang menghambat enzim yang berperan dalam metabolisme folat.
Contohnya adalah trimethoprime dan sulfonamide. Keduanya bersifat
bakteriostatik.
3.4. Kombinasi Antibiotik
Kombinasi antimikroba digunakan pada infeksi berat yang belum diketahui
dengan jelas kuman- kuman penyebabnya. Dalam hal ini pemberian kombinasi
antimikroba ditujukan untuk menca- pai spektrum antimikrobial yang seluas
mungkin. Selain itu, kombinasi antimikroba juga digunakan untuk mencapai efek
sinergistik dan juga untuk menghambat timbulnya resistensi terhadap obat-
obatan antimikroba yang digunakan.

3.5. Efek Samping Antibiotik


Efek samping dapat berupa efek toksik, alergi, atau biologis. Efek
samping seperti paralisis respiratorik dapat terjadi setelah instilasi neomicin,
gentamicin, tobramycin, streptomycin atau amikacin secara intraperitoneal
atau intrapleural. Erithromycin estolac sering menyebabkan hepatitis kolestatik.
Antibiotik seperti rifampicin, cotrimoxazole dan isoniazide potensial
hematotoksik dan hepatotoksik. Pemakaian chloramphenicol yang melampaui
batas keamanan akan menekan fungsi sumsum tulang dan berakibat anemia
dan neutropenia. Anemia aplastik secara eksplisit merupakan efek samping
yang dapat mengakibatkan kematian pasien setelah pemakaian
chloramphenicol.
Efek samping alergi terutama disebabkan oleh penggunaan penicilin dan
cephalosporin. Keadaan yang paling jarang adalah kejadian syok anafilaktik.
Kejadian yang lebih sering timbul adalah ruam dan urtikaria. Efek samping
biologis disebabkan karena pengaruh antibiotik terhadap flora normal di kulit
maupun di selaput-selaput lendir tubuh. Biasanya terjadi pada penggunaan
obat antimikroba berspektrum luas.
Di lingkungan rumah sakit selalu dikhawatirkan penyebaran dari jenis
kuman Meticillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA). Enterokolitis yang
berat dan yang membutuhkan pengobatan intensif dapat juga disebabkan
oleh penggunaan antibiotik seperti clindamycin, tetracycline dan obat antibiotik
berspektrum luas lainnya.

4. Aspek Mikrobiologik Kuman


Jenis kuman patogen hendaknya diidentifikasi sebelum dimulainya
terapi. Pemeriksaan biakan dan resistensi sebaiknya dilakukan sebelum
pemberian terapi, namun karena hasilnya membutuhkan waktu lama maka
terapi empirik dapat diberikan dengan panduan pemeriksaan yang lebih
sederhana seperti pewarnaan gram.
Dalam pemilihan antibiotik untuk terapi empirik, data mikrobiologi
khususnya mengenai pola kepekaan kuman dan data patogen resisten di
rumah sakit setempat merupakan hal yang sangat penting. Pola kepekaan
kuman yang berasal dari komunitas atau kuman nosokomial terhadap tiap jenis
antibiotik merupakan panduan untuk menentukan antibiotik yang akan
diberikan dalam terapi empirik. Semakin luas cakupan suatu antibiotik terhadap
patogen akan meningkatkan probabilitas keberhasilan pengobatan.
Selain data mengenai pola kepekaan, data surveilans patogen resisten
baik yang berasal dari komunitas (penicillin resistance S.pneumoniae/PRSP) atau
kuman nosokomial (methicillin resistance S.aureus/MRSA), extended spectrum
beta-lactamase/ESBL juga merupakan pertimbangan dalam menentukan
pilihan antibiotik.

5. Aspek Penderita
Beberapa aspek dari penderita perlu diperhatikan dalam pemberian
antibiotik, antara lain derajat infeksi, tempat infeksi, usia, berat badan, faktor
genetik, penyakit komorbid, status imunitas, adanya kehamilan atau laktasi,
riwayat alergi dan faktor sosio ekonomi.
Dari segi derajat infeksi pada penderita, perlu diperhatikan berat ringannya
infeksi dari gejala klinik, jenis dan patogenitas mikroba, serta status imunitas
penderita. Pada infeksi ringan, pemberian antibiotik tidak perlu diberikan
seketika. Penundaan pemberian antibiotik justru akan memberikan kesempatan
kepada tubuh untuk merangsang timbulnya mekanisme kekebalan tubuh.
Namun pada infeksi yang berat dan atau telah berlangsung lama, terapi
antibiotik dapat segera dimulai.
Tempat infeksi juga mempengaruhi pertimbangan pemberian antibiotik
seperti organ yang memiliki vaskularisasi sedikit seperti tulang, atau organ
yang memiliki sawar khusus seperti susunan saraf pusat. Pada organ tersebut,
pemberian antibiotik harus meliputi antibiotik yang dapat menembus lapisan
tersebut sehingga obat dapat bekerja secara efektif. Selain itu adanya abses,
jaringan nekrotik, mukus yang banyak, benda asing, dan sebagainya juga dapat
mengurangi efektifitas kerja antibiotik sehingga diperlukan tindakan seperti
pembersihan luka insisi dan sebagainya sebelum antibiotik diberikan.
Usia juga mempengaruhi pertimbangan dalam pemberian antibiotik.
Pada neonatus karena kerja berbagai organ seperti hepar dan ginjal yang belum
sempurna akan meningkatkan risiko terjadinya toksisitas dari obat. Demikian
pula pada usia lanjut dengan adanya penurunan berbagai fungsi organ karena
proses penuaan.
Adanya penyakit komorbid seperti kelainan hati atau ginjal juga harus
diperhatikan karena dapat menurunkan efektifitas obat dan memperberat efek
toksisitas. Selain itu, kelainan genetik seperti defisiensi enzim Glucose-6-
Phospate Dehydrogenase (G6PD) juga dapat menimbulkan anemia hemolitik
pada pemberian antibiotik tertentu seperti chloramphenicol dan sulfona- mide.
Status imunitas baik imunitas selular maupun humoral pada penderita harus
menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis antibiotik. Pada penderita yang
imunokompeten, antibiotik dengan efek bakteriostatik mungkin cukup efektif
untuk mengendalikan infeksi tertentu, sedangkan pada pasien dengan penurunan
status imun, pada infeksi yang sama mungkin diperlukan antibiotik dengan efek
bakterisidal untuk mengatasinya.
Adanya kehamilan dan laktasi akan mempengaruhi pemilihan antibiotik
karena beberapa antibiotik dapat menembus sawar darah plasenta dan masuk ke
peredaran darah janin serta menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti efek
teratogenik dan sebagainya. Ibu hamil juga pada umumnya lebih peka
terhadap pengaruh obat obat tertentu, termasuk antibiotik. Demikian pula
dengan laktasi, karena beberapa antibiotik juga dapat ditemukan dalam air
susu. Untuk itu, pertimbangan baik untuk ibu maupun janin harus diperhatikan
untuk meng- hindari efek yang tidak diinginkan.
Dalam pertimbangan biaya, selain harga obat harus pula diperhatikan lama
dan interval pemberian obat, sehubungan dengan jumlah obat yang diperlukan.
Biaya pengobatan tersebut merupakan salah satu aspek sosioekonomi dari suatu
penyakit.

6. Pola Pemberian Antimikroba


Berdasarkan ketiga aspek tersebut maka antibiotik dapat diberikan
berdasarkan beberapa pola tertentu, antara lain : direktif, kalkulatif, interventif,
omnisprektif dan profilaktif.
Pada terapi antibiotik direktif, kuman penyebab infeksi sudah diketahui dan
kepekaan terhadap antibiotik sudah ditentukan, sehingga dapat dipilih obat
antibiotik efektif dengan spektrum sempit. Kesulitan yang akan dihadapi adalah
tersedianya fasilitas pemeriksaan mikrobiologis yang cepat dan tepat.
Terapi antibiotik kalkulatif memberikan obat secara best guess. Dalam hal ini,
pemilihan harus didasarkan pada antibiotik yang diduga akan ampuh terhadap
mikroba yang sedang menyebabkan infeksi pada jaringan atau organ yang
dikeluhkan. Penilaian keadaan klinis yang tepat dan kemungkinan kuman penyebab
sangat penting dalam penerapan terapi antibiotik kalkulatif.
Pada infeksi tertentu metoda penggunaan antibiotik harus selalu berpedoman
pada sebuah protokol pemberian antibiotik dan dapat menambah kelompok obat
antibiotik lainnya. Bila respon yang didapat tidak memuaskan, maka protokol-
protokol ini akan menyesuaikan dengan perkembangan dan pengalaman terkini
tentang penggunaan berbagai jenis antibiotik baru. Cara pengobatan ini dikenal
sebagai terapi antimikrobial interventif.
Terapi antibiotik omnispektrif diberikan bila hendak dijangkau spektrum
antibiotik seluas-luasnya dan dapat diberikan secara empirik. Beberapa keadaan
yang membutuhkan terapi ini yaitu infeksi pada leukemia, luka bakar, peritonitis
dan syok septik.
Sebagai terapi profilaksis, obat antibiotik dapat digunakan untuk mencegah
infeksi baru pada seseorang atau untuk mencegah kekambuhan dan terutama
digunakan untuk mencegah komplikasi-komplikasi serius pada waktu dilakukan
tindakan pembedahan.

7. Rasionalitas Penggunaan Antibiotik dari Segi Kuantitas


Kuantitas dari penggunaan antibiotik dapat diukur dengan dua macam
pendekatan, yaitu secara retrospektif dengan melihat rekam medik yang ada di
rumah sakit dan secara prospektif dengan melakukan wawancara interpersonal
dengan pasien mengenai antibiotik apa yang diminum selama masa perawatan
kemudian membandingkannya dengan hasil wawancara dari petugas kesehatan.
Kelemahan dari pendekatan retrospektif adalah ketidaklengkapan data dari rekam
medik mengenai terapi antibiotik, sedangkan pada pendekatan prospektif,
terkadang pasien lupa jenis maupun jumlah antibiotik yang telah diminum.
Kuantitas dari penggunaan antibiotik diukur berdasarkan perhitungan
persentasi pasien yang menggunakan antibiotik atau jumlah anitbiotik yang
dinyatakan dalam suatu unit yang disebut Defined Daily Doses (DDD) tiap 100
populasi setiap harinya. DDD dari suatu obat diasumsikan sebagai rata-rata dosis
pemeliharaan per hari dari suatu obat yang digunakan sebagai indikasi suatu
penyakit pada orang dewasa atau biasa ditulis dengan DDD/100 patient-days.

8. Rasionalitas Penggunaan Antibiotik dari Segi Kualitas


Kualitas dari penggunaan antibiotik dapat diukur dari pendekatan retrospektif
dengan melihat dara-data relevan yang diambil dari rekam medik.
Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas
penggunaan antibiotik, yaitu kriteria Kunin dan Jones, dan kriteria Gyssens.
Kriteria Kunin terbagi menjadi 5 kategori, dengan pembagian sebagai berikut:
a. Kategori I : reviewer setuju dengan penggunaan terapi antimikroba /
profilaksis
b. Kategori II : reviewer setuju dengan penggunaan terapi antimikroba /
profilaksis, tetapi infeksi bakteri yang fatal tak dapat
disingkirkan
c. Kategori III : reviewer setuju dengan penggunaan terapi antimikroba /
profilaksis, tetapi jenis antimikroba lain telah
direkomendasikan
d. Kategori IV : reviewer setuju dengan penggunaan terapi antimikroba /
profilaksis, tetapi dosis obat sebaiknya disesuaikan
e. Kategori V : reviewer tidak setuju dengan penggunaan antimikroba /
profilaksis
Kategori I dan II mengindikasikan terapi yang tepat, sedangkan kategori III
dan IV mengindikasikan ada suatu kekurangan/kesalahan dalam
pemilihan/peresepan antibiotik oleh tenaga medis.
Adapun kategori hasil penilaian menurut kriteria Gyssens adalah sebagai
berikut:
a. Kategori I : penggunaan antibiotik tepat (rasional)
b. Kategori IIA : tidak rasional oleh karena dosis yang tidak tepat
c. Kategori IIB : tidak rasional oleh karena dosis interval yang tidak tepat
d. Kategori IIC : tidak rasional oleh karena rute pemberian yang salah
e. Kategori IIIA : tidak rasional karena pemberian antibiotik terlalu lama
f. Kategori IIIB : tidak rasional karena pemberian antibiotik terlalu singkat
g. Kategori IVA : tidak rasional karena ada antibiotik lain yang lebih efektif
h. Kategori IVB : tidak rasional karena ada antibiotik lain yang kurang toksik
i. Kategori IVC : tidak rasional karena ada antibiotik lain yang lebih murah
j. Kategori IVD : tidak rasional karena ada antibiotik lain yang spektrumnya
lebih sempit
k. Kategori V : tidak rasional karena tidak ada indikasi penggunaan antibiotik
l. Kategori VI : data tidak lengkap atau tidak dapat dievaluasi
Penggunaan Kriteria Gyssens dalam menilai kualitas penggunaan
antibiotik menggunakan flowchart standar yang ada pada gambar :

Gambar.Alur penilaian kualitas penggunaan antibiotik berdasarkan kriteria Gyssens


(dikutip dari Quality of antimicrobial drug prescription in hospital).
DAFTAR PUSTAKA

1. Barbosa TM, Levy SB. The Impact of Antibiotic use on Resistance


Development and Persistence. Drug Resistance Updates 2000; 3.303-311.
2. Sulastrianah, Badaruddin F, Massi N. Rasionalisasi Penggunaan Antibiotik di
RSUP.DR.Wahidin Sudirohusodo Periode November 2011–Januari 2012 dan
Maret – Mei 2012 [Tesis].Universitas Hasanuddin Makassar; 2012.
3. Brunton L. Parker K, Blumenthal D, Buxton I. Goodman & Gilman’s Manual
of Pharmacology and Therapeutics. International Edition. McGraw-Hill. New
York 2008:707-797.
4. Wax R et al. Bacterial Resistance to Antimicrobials, 2nd edition. Boca Raton,
FL:CRC Press 2008:46.
5. World Health Organization. Antibiotic resistance : syn thesis of
recommendation by expert policy groups-Alliance for the Prudent Use of
Antibiotics. WHO 2001.
6. Ambwani S, Mathur AK. Rational Drug Use. Health Ad- ministrator XIX
2006.
7. Pohan HT. Dasar-dasar Pemilihan Antibiotik pada Infeksi Komunitas. Dalam:
Setiati et al. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia 2005:50-55.
8. Nelwan RHH. Pemakaian Antimikroba Secara Rasional Di Klinik. Dalam :
Sudoyo AW et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna
Publishing. Cetakan kedua 2010:2896-2900.

Das könnte Ihnen auch gefallen