Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
PENDAHULUAN
1. Definisi
Penggunaan antibiotik secara rasional diartikan sebagai “meresepkan obat
yang tepat, dalam dosis yang adekuat untuk durasi yang cukup dan sesuai dengan
kebutuhan klinis pasien serta dengan harga yang paling rendah”. Sedangkan
menurut World Health Organization (WHO) Global Strategy, penggunaan
antibiotik yang tepat adalah penggunaan antibiotik yang efektif dari segi biaya
dengan peningkatan efek terapeutik klinis, meminimalkan toksisitas obat dan
meminimalkan terjadinya resistensi.
3.2. Farmakodinamik
Farmakodinamik menggambarkan efek kerja suatu obat. Secara umum,
aktivitas antibiotik dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bakteriostatik
(menghambat pertumbuhan mikroba) dan bakterisidal (membunuh mikroba).
Contoh antibiotik yang bersifat bakterisidal antara lain aminoglycoside, beta-
lactam, metronidazole, kuinolon, rifampicin, pirazinamide, vancomycin,
isoniazide, dan bacitracin. Sedangkan antibiotik yang memiliki sifat
bakteriostatik antara lain chloramphenicol, clindamycin, ethambutol, macrolide,
sulfonamide, tetracycline dan trimethoprim. Namun sifat bakteriostatik dan
bakterisid dari antimikroba tidak mutlak karena antibiotik dengan sifat
bakteriostatik dapat pula bersifat bakterisid bila kadarnya ditingkatkan.
Kadar antibiotik minimal yang diperlukan untuk menghambat
pertumbuhan atau membunuh mikroba dikenal dengan istilah kadar
hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Fungsi antibiotik
terhadap KHM dapat dibagi menjadi fungsi terhadap konsentrasinya
(concentration dependent) dan terhadap waktu (time dependent). Pada
antibiotik golongan concentration dependent maka semakin tinggi kadar obat
dalam darah maka semakin tinggi pula daya kerjanya sehingga kecepatan dan
efektivitas kerjanya dapat ditingkatkan dengan menaikkan kadar obat dalam
darah hingga jauh di atas KHM. Sedangkan pada antibiotik jenis time dependent,
selama kadarnya dapat dipertahankan sedikit di atas KHM sepanjang masa
kerjanya, kecepatan dan efektivitas kerja obat tersebut akan mencapai nilai
maksimal. Contoh antibiotik golongan concentration dependent adalah
quionolone dan aminoglycoside, sedangkan contoh antibiotik golongan time
dependent adalah beta-lactam.
Beberapa golongan antibiotik masih dapat menunjukkan aktifitas dalam
menghambat pertumbuhan mikroorganisme meskipun kadarnya lebih rendah
dari KHM. Fenomena ini disebut post-antibiotic effect. Efek ini dipengaruhi oleh
jenis antibiotik dan mikrooragnismenya sendiri, contohnya quionolone dan
aminoglycoside yang memiliki post-antibiotic effect yang cukup lama terhadap
kuman gram negatif.
5. Aspek Penderita
Beberapa aspek dari penderita perlu diperhatikan dalam pemberian
antibiotik, antara lain derajat infeksi, tempat infeksi, usia, berat badan, faktor
genetik, penyakit komorbid, status imunitas, adanya kehamilan atau laktasi,
riwayat alergi dan faktor sosio ekonomi.
Dari segi derajat infeksi pada penderita, perlu diperhatikan berat ringannya
infeksi dari gejala klinik, jenis dan patogenitas mikroba, serta status imunitas
penderita. Pada infeksi ringan, pemberian antibiotik tidak perlu diberikan
seketika. Penundaan pemberian antibiotik justru akan memberikan kesempatan
kepada tubuh untuk merangsang timbulnya mekanisme kekebalan tubuh.
Namun pada infeksi yang berat dan atau telah berlangsung lama, terapi
antibiotik dapat segera dimulai.
Tempat infeksi juga mempengaruhi pertimbangan pemberian antibiotik
seperti organ yang memiliki vaskularisasi sedikit seperti tulang, atau organ
yang memiliki sawar khusus seperti susunan saraf pusat. Pada organ tersebut,
pemberian antibiotik harus meliputi antibiotik yang dapat menembus lapisan
tersebut sehingga obat dapat bekerja secara efektif. Selain itu adanya abses,
jaringan nekrotik, mukus yang banyak, benda asing, dan sebagainya juga dapat
mengurangi efektifitas kerja antibiotik sehingga diperlukan tindakan seperti
pembersihan luka insisi dan sebagainya sebelum antibiotik diberikan.
Usia juga mempengaruhi pertimbangan dalam pemberian antibiotik.
Pada neonatus karena kerja berbagai organ seperti hepar dan ginjal yang belum
sempurna akan meningkatkan risiko terjadinya toksisitas dari obat. Demikian
pula pada usia lanjut dengan adanya penurunan berbagai fungsi organ karena
proses penuaan.
Adanya penyakit komorbid seperti kelainan hati atau ginjal juga harus
diperhatikan karena dapat menurunkan efektifitas obat dan memperberat efek
toksisitas. Selain itu, kelainan genetik seperti defisiensi enzim Glucose-6-
Phospate Dehydrogenase (G6PD) juga dapat menimbulkan anemia hemolitik
pada pemberian antibiotik tertentu seperti chloramphenicol dan sulfona- mide.
Status imunitas baik imunitas selular maupun humoral pada penderita harus
menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis antibiotik. Pada penderita yang
imunokompeten, antibiotik dengan efek bakteriostatik mungkin cukup efektif
untuk mengendalikan infeksi tertentu, sedangkan pada pasien dengan penurunan
status imun, pada infeksi yang sama mungkin diperlukan antibiotik dengan efek
bakterisidal untuk mengatasinya.
Adanya kehamilan dan laktasi akan mempengaruhi pemilihan antibiotik
karena beberapa antibiotik dapat menembus sawar darah plasenta dan masuk ke
peredaran darah janin serta menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti efek
teratogenik dan sebagainya. Ibu hamil juga pada umumnya lebih peka
terhadap pengaruh obat obat tertentu, termasuk antibiotik. Demikian pula
dengan laktasi, karena beberapa antibiotik juga dapat ditemukan dalam air
susu. Untuk itu, pertimbangan baik untuk ibu maupun janin harus diperhatikan
untuk meng- hindari efek yang tidak diinginkan.
Dalam pertimbangan biaya, selain harga obat harus pula diperhatikan lama
dan interval pemberian obat, sehubungan dengan jumlah obat yang diperlukan.
Biaya pengobatan tersebut merupakan salah satu aspek sosioekonomi dari suatu
penyakit.