Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Assalamu’alaikum w.w
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan yang menciptakan manusia dan menambah ilmu
pengetahuan bagi mereka yang berusaha mendapatkannya. Salawat dan salam senantiasa
tercurahkan kepada Rasulullah, penghulu dan mahaguru bagi kita semua. Alhamdulillah
Pedoman Kerja Pelayanan HIV AIDS Tahun 2017 RSUD Prof.DR.M.Ali Hanafiah SM
Batusangkartelah kita miliki. Pedoman ini diharapkan menjadi acuan dalam peningkatan
mutu pelayanan di lingkungan RSUD.Prof.DR.M.Ali Hanafiah SM Batusangkaryang kita
cintai ini.
Ucapan terimakasih kepada Tim HIV – AIDS yang telah menyelesaikan Pedoman
Kerja Pelayanan HIV AIDS Tahun 2017 di RSUD Prof.DR.M.Ali Hanafiah SM Batusangkar
ini. Kami percaya bahwa tidak ada yang sempurna kecuali Allah SWT, saran dan masukan
dari kita sangat diharapkan untuk kesempurnaan pedoman ini untuk masa yang akan
datang.
Wassalamu’alaikum w. w.
HIV dan AIDS adalah masalah darurat global. Di seluruh dunia lebih dari 20 juta
orang meninggal sementara 40 juta orang telah terinfeksi. Fakta yang lebih memprihatinkan
adalah bahwa di seluruh dunia setiap hari virus HIV menular kepada sekitar 2000 anak di
usia 15 tahun, terutama berasal dari penularan ibu-bayi, menewaskan 1400 anak di bawah
15 tahun, dan menginfeksi lebih dari 6000 orang muda dalam usia produktif antara 15-24
tahun yang juga merupakan mayoritas dari orang-orang yang hidup dengan HIV dan AIDS
(ODHA). Estimasi yang dilakukan pada tahun 2003 diperkirakan di Indonesia terdapat
sekitar 90.000-130.000 orang terinfeksi HIV, sedangkan data yang tercatat oleh Departemen
Kesehatan RI sampai dengan Maret 2005 tercatat 6.789 orang hidup dengan HIV/AIDS.
Untuk mengantisipasi dan menghadapi ancaman epidemi ini Indonesia telah
menyusun dan melaksanakan Strategi Penanggulangan HIV dan AIDS melalui dua periode
yang dimuat dalam Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 1994-2003 dan tahun
2003-2007.
Di tahun-tahun mendatang tantangan yang dihadapi dalam upaya penanggulangan
HIV dan AIDS semakin besar dan rumit. Mengembangkan hasil-hasil yang telah dicapai dan
menjabarkan paradigma baru dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS menjadi upaya
yang komprehensif, terpadu, dan diselenggarakan secara sinergis oleh semua pemangku
kepentingan (stakeholders). Akselerasi upaya perawatan, pengobatan dan dukungan
kepada ODHA dijalankan bersamaan dengan akselerasi upaya pencegahan baik di
lingkungan sub-populasi berperilaku risiko tinggi maupun yang berperilaku risiko rendah dan
masyarakat umum.
Tingginya tingkat penyebaran HIV dan AIDS pada kelompok manapun berarti bahwa
semakin banyak orang menjadi sakit, dan membutuhkan jasa pelayanan kesehatan. Melihat
tingginya prevalensi di atas maka masalah HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang sangat luas. Oleh karena itu penanganan tidak hanya dari segi medis
tetapi juga dari psikososial dengan berdasarkan pendekatan kesehatan kesehatan
masyarakat melalui upaya pencehan primer, sekunder, dan tertier.
Mengetahui status HIV lebih dini memungkinkan pemanfaatan pelayanan HIV AIDS
terkait dengan pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan merupakan salah satu
upaya dalam penanggulangan HIV AIDS. Perubahan perilaku seseorang dari beresiko
menjadi kurang beresiko terhadap kemungkinan tertular HIV memerlukan bantuan
perubahan emosional dan pengetahuan dalam suatu proses yang mendorong nurani dan
logika. Proses mendorong ini sangat unik dan membutuhkan pendekatan individual.
Oleh karena itu perlu adanya program-program pencegahan HIV AIDS yang efektif
dan memiliki jangkauan layanan yang semakin luas seperti, program pengobatan,
perawatan dan dukungan yang komprehensif bagi ODHA untuk meningkatkan kualitas
hidupnya. Sehubungan dengan permasalahan tersebut maka TIM HIV AIDS RSUD Prof DR
M Ali Hanafiah SM Batusangkarperlu menyusun pedoman pelayanan terkait dengan
Pelayanan HISV AIDS.
1.2. TUJUAN
a. Umum :
Meningkatkan mutu layanan di RSUD Prof.DR.M.Ali Hanafiah SM Batusangkar
berkaitan dengan Pelayanan HIV AIDS di Rumah Sakit
b. Khusus :
1. Sebagai Pedoman bagi semua jajaran pelaksana pelayanan di RSUD
Prof.DR.M.Ali Hanafiah SM Batusangkardalam hal pelayanan HIV AIDS di RS.
2. Menurunkan angka kesakitan HIV di RS terkait dengan MDG’s 6 .
1.3. SASARAN
3.1. KEBIJAKAN
Program Pelayanan HIV AIDS di RSUD Prof.DR.M.Ali Hanafiah SM Batusangkar
berdasarkan pada SK Direktur RSUD Prof.DR.M.Ali Hanafiah SM Batusangkar tentang
kebijakan pelayanan HIV AIDS dengan kebijakan‐kebijakan sebagai berikut :
1. Peningkatan penyelenggaraan pelayanan atau perawatan kesehatan HIV -AIDS
yang berkesinambungan yang berfokus kepada pasien, RSUD Prof.DR.M.Ali
Hanafiah SM Batusangkar melihat kebutuhan pasien selama perawatan, baik di
rawat jalan maupun rawat inap.
2. Untuk pasien yang sedang dirawat inap dan melihat ada gejala gejala infeksi
opportunistik , maka RSUD Prof.DR.M.Ali Hanafiah SM Batusangkar melalui tim
medis atau keperawatan dapat melakukan pemeriksaan rapid test tanpa melalui
konseling dengan menggunakan konsep Test Inisiatif Petugas Kesehatan (TIPK)
3. Untuk pasien yang sudah di diagnosa dengan Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA)
atau pun pasangannya yang ingin mempunyai keturunan maka dianjurkan untuk
mengikuti Program Pencegahan Penularan Ibu Anak (PPIA)
4. Untuk pasien yang mendapat layanan ke rumah sakit, maka RSUD Prof.DR.M.Ali
Hanafiah SM Batusangkar akan memberi konseling, informasi dan edukasi kepada
pasien dan keluarga yang tepat tentang tindak lanjut pelayanan atau perawatan
5. Untuk pasien yang tidak langsung dirujuk ke rumah sakit lain, maka RSUD
Prof.DR.M.Ali Hanafiah SM Batusangkar akan memberi informasi dan edukasi
kepada pasien dan keluarga yang tepat tentang tindak lanjut pelayanan atau
perawatan
6. Untuk merujuk pasien kerumah sakit RSUD Prof.DR.M.Ali Hanafiah SM Batusangkar
menentukan bahwa rumah sakit penerima dapat menyediakan kebutuhan pasien
yang akan dirujuk
7. Untuk pasien yang sudah didiagnosis orang dengan HIV-AIDS (ODHA), maka setiap
kunjungan dilakukan skrening TB
8. Untuk pasien yang sudah didiagnosa dengan ODHA maka konselor / petugas RSUD
Prof.DR.M.Ali Hanafiah SM Batusangkar harus merujuk ke kelompok dukungan
sebaya/ pendamping (LSM) yang sudah bekerjasama degan RS.
9. Untuk peningkatan mutu layanan diperlukan monitoring dan evaluasi serta pelaporan
kegiatan dan dilaksanakan pertemuan triwulan.
10. Kebijakan ini secara teknis pelaksanaannya dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk
Standar Prosedur Operasional (SPO)
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Acquired artinya
tidak diturunkan tetapi ditularkan dari satu ke orang lainnya; Immune adalah sistem daya
tahan tubuh atau kekebalan tubuh terhadap penyakit; Deficiency artinya tidak cukup atau
kurang; dan Syndrome adalah kumpulan tanda dan gejala penyakit. Acquired Immune
Deficiency Syndrome adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV. AIDS merupakan kumpulan
gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang
mengakibatkan rusaknya/menurunnya sistem kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit.
Apabila HIV ini masuk ke dalam peredaran darah seseorang, maka HIV tersebut menyerap
sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih ini adalah bagian dari sistem kekebalan tubuh yang
berfungsi melindungi tubuh dari serangan penyakit. HIV secara berangsur-angsur merusak
sel darah putih hingga tidak bisa berfungsi dengan baik.
Masyarakat yang membutuhkan pemahaman diri akan status HIV agar dapat
mencegah dirinya dari penularan infeksi penyakit yang lain dan penularan kepada orang
lain. Masyarakat yang datang ke pelayanan VCT disebut dengan klien. Sebutan klien dan
bukan pasien merupakan salah satu pemberdayaan dimana klien akan berperan aktif
dalam proses konseling. Tanggung jawab klien dalam konseling adalah bersama
mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan informasi akurat dan lengkap tentang HIV/AIDS,
perilaku berisiko, testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan hasil negative atau
positif .
Perencanaan Rawatan
Psikososial anjutan
Konseling Pasca-testing
Konseling
KoselingPasca-testing
Pra-testing
Informasi Dasar HI
Tahapan Penatalaksanaan :
1. Penerimaan klien :
a. Informasikan kepada klien tentang pelayanan tanpa nama (anonimus) sehingga
nama tidak ditanyakan
b. Pastikan klien datang tepat waktu dan usahakan tidak menunggu
c. Jelaskan tentang prosedur VCT .
d. Buat catatan rekam medik klien dan pastikan setiap klien mempunyai nomor
kodenya sendiri.
Kartu periksa Konseling dan Testing
Klien mempunyai kartu dengan nomor kode.
Data ditulis oleh konselor. Untuk meminimalkan kesalahan, kode harus
diperiksa ulang oleh konselor dan perawat/pengambil darah.
2. Konseling pra testing HIV/AIDS
a. Periksa ulang nomor kode klien dalam formulir.
b. Perkenalan dan arahan
c. Membangun kepercayaan kilen pada konselor yang merupakan dasar utama
bagi terjaganya kerahasiaan sehingga terjalin hibungan baik dan terbin sekap
saling memahami.
d. Alasan kunjungan dan klarisifikasi tentang fakta dan mitos tentang HIV/AIDS
e. Penilaian risko untuk membantu klien mengetahui factor resiko dan menyiapkan
diri untuk pemeriksaan darah
f. Memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan
memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV
g. Di dalam konseing pra testing seorang konselor VCT harus dapat membuat
keseimbangan antara pemberian informasi, penilaian resiko dan merespon
kebutuhan emosi klien.
h. Konselor VCT melakukan penilaian sistem dukunagn
i. Klien memberika persetujuan tertulisnya (Informed Consent) sebelum
dilakukannya testing HIV/AIDS.
Konseling Pra testing HIV/AIDS dalam keadaan khusus atau sedang dirawat inap di
RSUD Prof DR M Ali Hanafiah SM Batusangkar:
a. Dalam keadaan klien sedang dalam rawat inap maka konseling dapat dilakukan
di ruangan pasien dirawat oleh konselor samping tempat tidur atau dengan
memindahkan tempat tidur klien ke ruang yang nyaman dan terjaga
kerahasiaanya
b. Dalam keadaan klien tidak stabil maka VCT dapat dilakukan langsung kepada
klien dengan prinsip Provider‐initiated HIV testing and counselling (PITC) yaitu
suatu tes HIV dan konseling yang diprakarsai oleh petugas kesehatan kepada
pasien sebagai bagian dari standar pelayanan medis. Tujuan utamanya adalah
untuk membuat keputusan klinis dan/atau menentukan pelayanan medis khusus
yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV pasien. Apabila
pasien yang datang atau dirawat inap menunjukkan adanya gejala yang
mengarah ke HIV maka tanggung jawab dasar dari petugas kesehatan adalah
menawarkan tes dan konseling HIV kepada pasien tersebut sebagai bagian dari
tatalakasana klinis. Sebagai contoh petugas kesehatan memprakarsai tes dan
konseling HIV kepada pasien TB dan pasien suspek TB, pasien IMS, pasien gizi
buruk, pasien dengan gejala atau tanda IO lainnya.
3. Informed Concent
a. Semua klien sebelum menjalani testing HIV harus memberikan persetujuan
tertulisnya.
b. Informed Consent pada anak yaitu orangtua dapat memberikan persetujuan konseling
dan testing HIV/AIDS untuk anaknya
4. Testing HIV dalam VCT
Prinsip testing HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiaannya. Testing dimaksud untuk
menegakkan diagnose. Terdapat serangkaian testing yang berbeda-beda karena perbedaan
prinsip metoda yang di gunakan. Testing yang digunakan adalah testing serologis untuk
mendeteksi antibody HIV dalam serum atau plasma. Spesimen adalah darah klien yang di
ambil secara intravena, plasma atau serumnya. Penggunaan metode testing cepat (rapid
testing) memungkinkan klien mendapatkan hasil testing pada hari yang sama. Tujuan testing
HIV ada 4 yaitu untuk membantu menegakkan diagnosis, pengamanan darah donor
(skrining), untuk surveilans, dan untuk penelitian. Hasil testing yang disampaikan kepada
klien adalah benar milik klien. Petugas laboratorium harus menjaga mutu dan kofidensialitas.
Hindari terjadinya kesalahan, baik teknis (technical error) maupun manusia (human error).
Petugas laboratorium (perawat) (mengambil) darah setelah klien menjalani konseling pra
testing.
Rumah Sakit Pelayanan bagi ODHA yang diberikan di RS oleh dokter, perawat, konselor,
pekerja sosial dan pelayanan pendidikan.
Dampak buruk dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila:
1. Terdeteksi dini
2. Terkendali (ibu melakukan prilaku hidup sehat, ibu mendapatkan ARV profilaksis
secara teratur, ibu melakukan ANC secara teratur, petugas kesehatan menerapkan
pencegahan infeksi sesuai Kewadaan Standar).
3. Penatalaksanaan persalinan yang aman.
4. Pembarian makanan bayi yang aman dan sesuai (PASI atau susu formula), dengan
konseling mengenai manfaat risiko pemberian ASI dan susu formula. Perlu
dukungan bagi ibu mengenai keputusan terhadap pilihan pemberian makanan bayi.
Jika pilihan ibu adalah ASI ekslusif, maka diberikan konseling manajeman laktasi;
jika pilihan ibu susu formula ekslusif, maka dijelaskan mengenai AFASS.
5. Pemantauan ketat tumbung-kembang bayi dang balita dari ibu dengan HIV.
6. Adanya dukungan dan perhatian yang berkesinambungan kepada ibu, bayi dan
keluarganya.
Menurut WHO ada empat prog yang perlu diupayakan untuk mencegah terjadinya
penularan HIV dari ibu ke anak, meliputi.
a. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi.
b. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV.
c. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya.
d. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV
beserta bayi dan keluarganya.
D. Memberikan dukungan psiokologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV,
beserta bayi dan kerluarganya
Upaya PMTCT tidak berhenti setelah ibu melahirkan, karena ibu tersebut terus
menjalani hidup dengan HIV di tubuhya, maka dukungan psikologis, sosial dan perawatan
sepanjang waktu tetap dibutuhkan. Jika bayi dari ibu tersebut tidak terinfeksi HIV, masa
depanya tetap perlu dipikirkan, karena adanya kemungkinan orang tua bayi meninggal
dunia. Sedangkan bila bayi terinfeksi HIV, pengobatan ARV diperlukan seperti odha lainya.
Dengan dukungan prikososial yang baik, ibu dengan HIV akan bersikap optimis dan
bersemangat mengisi kehidupanya, sehingg ia akan betindak bijak dan positif untuk
senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya, dan berperilaku sehat agar tidak terjadi
penularan HIV dari dirinya ke orang lain.
Jenis-jenis metode pemberian makanan pada bayi dari ibu dengan HIV
a. Tersedia pengganti ASI yang memenuhi syarat AFASS (affordable, feasible,
acceptable, sustainable, safe).
b. Bila kondisi AFASS tidak terpenuhi, maka dapat dipertimbangkan pemberian ASI
ekslusif yang jangka pemberianya singkta atau alternatif ASI lainya, yaitu:
Pasteusasi/memanaskan ASI perah.
Mencari ibu Susu (perempuan lain untuk menyusui bayinya) yang telah
dibuktikan HIV negatif.
c. Bila ibu memilih menyusui bayi, ibu harus memahami teknik menyusui yang benar
untuk menhindarkan peradangan payudara (mastitis) dan lecet pada puting yang
dapat mempertinggi risiko bayi tertular HIV.
Situasi ini membutuhkan pendekatan yang penuh dengan inovasi baru. Pendekatan
program tidak hanya menjangkau pekerja seks perempuan tetapi juga menyasar kepada
kelompok berisiko lainnya, termasuk waria, laki-laki yang seks dengan laki-laki (LSL) dan
laki-laki berisiko tinggi (LBT) sebagai pembeli seks. LBT kita kenal sebagai 4 M (mobile
man with money in macho environment), yaitu kelompok laki-laki yang karena pekerjaan
atau profesinya berada jauh dari keluarga. Hal ini dikarenakan LBT dikhawatirkan akan
terjadi peningkatan penularan HIV melalui hubungan heteroseksual di tahun-tahun
mendatang.
Perubahan pendekatan yang sudah lama berjalan ke pendekatan baru
membutuhkan kerja keras, kesungguhan dan dedikasi tinggi. Namun, apabila kita yakin
bahwa perjuangan meningkatkan kesehatan masyarakat adalah suatu tujuan yang mulia
dan kita berupaya mencegah dan lebih banyak orang tidak tertular, maka tak ada kata
menyerah. Buku pedoman ini menjadi panduan untuk membuat perubahan tersebut
menjadi lebih lancar dan berhasil. Pada akhirnya epidemi HIV dapat terkendali sehingga
mampu mencapai nol infeksi HIV baru, nol kematian karena AIDS dan nol stigma dan
diskriminasi.
Manfaat ARV
Antiretroviral merupakan suatu revolusi dalam perawatan ODHA. Terapi dengan
antiretroviral atau disingkat ARV telah menyebabkan penurunan angka kematian dan
kesakitan bagi ODHA. Manfaat terapi antiretroviral adalah sebagai berikut :
1. Menurunkan morbiditas dan mortalitas
2. Pasien dengan ARV tetap produktif
3. Memulihkan sistem kekebalan tubuh sehingga kebutuhan profilaksis infeksi
oportunistik berkurang atau tidak perlu lagi
4. Mengurangi penularan karena viral load menjadi rendah atau tidak terdeteksi, namun
ODHA dengan viral load tidak terdeteksi, namun harus dipandang tetap menular
5. Mengurangi biaya rawat inap dan terjadinya yatim piatu
6. Mendorong ODHA untuk meminta tes HIV atau mengungkapkan status HIV-nya
secara sukarela
Protease inhibitors (PI): Pada saat inti sel tubuh manusia membuat materi HIV,bagian
tersebut harus dipotong dan disatukan kembali sebelum membentuk HIVyang baru keluar
dari sel. PI mencegah proses “pemotongan dan penyatuan kembali”, sehingga bagian-
bagian virus yang baru saja terbentuk tidak dapat dipotong untuk membentuk ‘badan virus’.
Paduan di bawah ini dapat digunakan sebagai alternatif dari paduan di atas.
a. mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan konseling
kepatuhan, sehingga pasien paham benar akan manfaat, cara penggunaan, efek
samping obat, tanda-tanda bahaya dan lain sebagainya yang terkait dengan terapi
ARV
b. Pasien yang akan mendapat terapi ARV harus memiliki pengawas minum obat
(PMO), yaitu orang dekat pasien yang akan mengawasi kepatuhan minum obat.
c. Pasien yang mendapat terapi ARV harus menjalani pemeriksaan untuk pemantauan
klinis dengan teratur.
Pengetahuan Dasar Penggunaan ARV
ART atau antiretroviral sampai saat ini merupakan satu-satu obat yang memberikan
manfaat besar dalam pengobatan ODHA. Namun penggunaan ARV menuntut adherence
dan kesinambungan berobat yang melibatkan peran pasien, dokter atau petugas kesehatan,
pendamping dan ketersediaan obat. Beberapa hal khusus yang harus diperhatikan dalam
penggunaan antiretroviral adalah sebagai berikut:
1. Replikasi HIV sangat cepat dan terus menerus sejak awal infeksi, sedikitnya
terbentuk sepuluh milyar virus setiap hari,namun karena waktu paruh (half life) virus
bebas (virion) sangat singkat, maka sebagian besar virus akan mati. Walau ada
replikasi yang cepat, sebagian pasien merasa tetap sehat tanpa ART selama
kekebalan tubuhnya masih berfungsi dengan baik.
2. Replikasi yang terus menerus mengakibatkan kerusakan sistem kekebalan tubuh
semakin berat, sehingga semakin rentan terhadap infeksi oportunistik (IO), kanker,
penyakit saraf, kehilangan berat badan secara nyata (wasting) dan berakhir dengan
kematian.
3. Viral load menunjukkan tingginya replikasi HIV sehingga penurunan CD4
menunjukkan kerusakan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV.
4. Nilai viral load menggambarkan progresivitas penyakit dan risiko kematian.
Pemeriksaan secara berkala jumlah CD4 dan viral load (jika memungkinkan) dapat
menentukan progresivitas penyakit dan mengetahui syarat yang tepat untuk memulai
atau mengubah rejimen ART
5. Tingkat progresivitas penyakit pada ODHA dapat berbeda-beda. Keputusan
pengobatan harus berdasarkan pertimbangan individual dengan memperhatikan
gejala klinik, hitung limfosit total dan bila memumgkinkan jumlah CD4.
6. Terapi kombinasi ART dapat menekan replikasi HIV hingga di bawah tingkat yang
tidak dapat dideteksi oleh pemeriksaan yang peka (PCR). Penekanan virus secara
efektif ini mencegah timbulnya virus yang resisten terhadap obat dan memperlambat
progresivitas penyakit. Jadi tujuan terapi adalah menekan perkembangan virus
secara maksimal.
7. Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV secara terus menerus adalah
memulai pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang dipakai
harus dimulai pada saat yang bersamaan pada pasien yang baru. Pada pasien yang
tidak pernah diterapi, tidak boleh menggunakan obat yang memiliki resistensi silang
dengan obat yang pernah dipakai.
8. Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadwal yang tepat.
9. Prinsip pemberian ART diperlakukan sama pada anak maupun dewasa, walaupun
pengobatan pada anak perlu perhatian khusus.
10. Walaupun viral load tidak terdeteksi, ODHA yang mendapat ART harus tetap
dianggap menular. Mereka harus dikonseling agar menghindari seks yang tidak
aman, atau penggunaan NAPZA suntik yang dapat menularkan HIV atau patogen
menular lain.
11. Untuk menghindari timbulnya resistensi, ART harus dipakai terus menerus dengan
kepatuhan (adherence) yang sangat tinggi, walaupun sering dijumpai efek samping
ringan.
12. Pemberian ART harus dipersiapkan secara baik dan matang dan harus digunakan
seumur hidup.
13. Disamping ART, maka infeksi oportunistik harus pula mendapat perhatian dan harus
diobati.
Memulai ARV
Sebelum memulai terapi, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Penggalian riwayat penyakit secara lengkap
2. Pemeriksaan fisik lengkap
3. Pemeriksaan laboratorium rutin
4. Hitung limfosit total (Total Lymphocite Count/TLC) dan bila mungkin pemeriksaan
CD4.
Penilaian klinis yang mendukung adalah sebagai berikut:
1. Menilai stadium klinis infeksi HIV
2. Mengidentifikasi penyakit yang berhubungan erat dengan HIV di masa lalu
3. Mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkan
pengobatan
4. Mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi
pemilihan terapi
Riwayat Penyakit
Pertanyaan tentang riwayat penyakit meliputi :
1. Kapan dan dimana diagnosis HIV ditegakkan
2. Kemungkinan sumber infeksi HIV
3. Gejala dan keluhan pasien saat ini
4. Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterima termasuk
infeksi oportunistik
5. Riwayat penyakit dan pengobatan TB termasuk kemungkinan kontak dengan TB
sebelumnya
6. Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)
7. Riwayat dan kemnugkinan adanya kehamilan
8. Riwayat penggunaan ART termasuk riwayat rejimen untuk PMTCT sebelumnya
9. Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan
10. Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual
11. Riwayat penggunaan NAPZA suntik
Pemeriksaan Fisik
1. Berat badan, tanda vital
2. Kulit : herpes zoster, sarkoma Kaposi, dermatitis HIV, pruritic papular eruption (PPE),
dermatitis saborik berat, jejas suntikan (needle track) atau jejas sayatan
3. Limfadenopati
4. Selaput lendir orafaringeal, kandidiasis, sarkoma kaposi, hairy leukiplakia, HSV
5. Pemeriksaan jantung, paru dan abdomen
6. Pemeriksaan sistem saraf dan otot rangka ; keadaan kejiwaan, berkurangnyafungsi
motoris dan sensoris
7. Pemeriksaan fundus mata : retinitis dan papil edema
8. Pemeriksaan saluran kelamin/ alat kandungan
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan sebelum memulai terapi dengan
antiretroviral adalah :
1. Pemeriksaan serologi untuk HIV dengan menggunakan strategi 2 atau strategi 3
sesuai pedoman
2. Limfosit total atau CD4 (jika tersedia)
3. Pemeriksaan darah lengkap (terutama HB) dan kimia darah (terutama fungsi hati)
dan fungsi ginjal
4. Pemeriksaan kehamilan
Indikasi ART
ODHA dewasa seharusnya segera mulai ART manakala infeksi HIV telah ditegakkan
secara laboratoris disertai salah satu kondisi berikut :
1. Secara klinis sebagai penyakit tahap lanjut dari infeksi HIV :
2. Infeksi HIV stadium IV, tanpa memandang jumlah CD4
3. Infeksi HIV stadium III dengan jumlah CD4<350/mm3
4. Infeksi stadium I atau II dengan jumlah CD4<200 mm3
Artinya bahwa ART untuk penyakit stadium IV (kriteria WHO disebut AIDS klinik)
tidak seharusnya tergantung pada jumlah CD4. Untuk stadium III, bila tersedia sarana
pemeriksaan CD4 akan sangat membantu untuk menentukan saat pemberiaan terapi yang
lebih tepat. Tuberkulosis paru dapat timbul pada tahapan dengan jumlah CD4 berapapun,
bila jumlah CD4 tersebut dapat terjaga dengan baik (misalnya >350/mm3), maka terapi
dapat ditunda dengan meneruskan pemantauan pasien secara klinis. Nilai ambang untuk
kondisi Stadium III adalah 350/mm3 karena pada nilai nilai dibawahnya biasanyakondisi
pasien mulai menunjukkan perkembangan penyakit yang cepat memburuk dan sesuai
dengan pedoman yang ada. Bagi pasien dalam stadium I atau II, maka jumlah
CD4<200/mm3 merupakan indikasi pemberian terapi. Apabila tidak ada sarana pemeriksaan
CD4, maka yang digunakan sebagai indikator pemberian terapi pada infeksi HIV
simptomatik adalah jumlah limfosit total 1200/mm3 atau kurang (misalnya pada stadium II).
Sedangkan pada pasien asimptomatik jumlah limfosit total kurang berkorelasi dengan
jumlah CD4. Namun bila dalam stadium simptomatik baru akan bermanfaat sebagai petanda
prognosis dan harapan hidup. Pemeriksaan viral load (misalnya dengan menggunakan
kadar RNA HIV-1 dalam plasma) tidak dianggap perlu sebelum dimulainya ART dan tidak
direkomendasikan oleh WHO sebagai tindakan rutin untuk memandu pengambilan
keputusan terapi karena mahal dan pemeriksaannya rumit. Diharapkan pada masa
mendatang dapat berkembang cara pemeriksaan viral load yang lebih terjangkau sehingga
cara memantau pengobatan tersebut
dapat diterapkan secara luas.Perlu diperhatikan bahwa sistem pentahapan infeksi HIV
menurut WHO bagi orang dewasa tersebut dikembangkan pada beberapa tahun yang lalu
dan memiliki keterbatasan tetapi masih bermanfaat untuk membantu menetapkan indikator
saat memulai terapi.
BAB VI
MONITORING DAN EVALUASI
Komisi pengendalian AIDS (KPA). Stanas Penanggulangan HIV AIDS 2007-2010. Jakarta
2007
Kementerian Kesehatan RI. Estimasi dan Proyeksi HIV AIDS Tahun 2011-2016. Kemeterian
kesehatan RI. Jakarta 2013