Sie sind auf Seite 1von 32

PRESENTASI KASUS

DM TIPE II DENGAN NEFROPATI DAN NEUROPATI DM

Disusun oleh :

Pembimbing :
dr. Much. Maschun, Sp.PD

Tri Anindita P G4A017019


Dias Kurniawan G4A017024
Oktaviano Satria Perdana 1610221096

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

DM TIPE II DENGAN NEFROPATI DAN NEUROPATI DM

Disusun oleh :
Tri Anindita P G4A017019
Dias Kurniawan G4A017024
Oktaviano Satria Perdana 1610221096

Diajukan untuk memenuhi syarat


mengikuti Kepaniteraan Klinik
di bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui
Pada Tanggal, Maret 2018

Mengetahui
Pembimbing :

dr. Much. Maschun, Sp.PD

1
I. Status Pasien

A. Identitas Pasien
a. Nama : Tn. W
b. Umur : 59 Tahun
c. Jenis kelamin : Laki-laki
d. Status : Sudah menikah
e. Suku bangsa : Jawa
f. Agama : Islam
g. Pekerjaan : Pensiunan PNS
h. Alamat : Ajibarang kulon
i. Tanggal Masuk : 12 03 2018
j. Anamnesis : 13 03 2018
k. No. CM : 02024513

B. Anamnesis
a. Keluhan Utama : Bengkak pada kedua kaki.
b. Keluhan Tambahan : Lemas, mudah lelah, mual, cepat haus, sering
BAK, sesak nafas, sulit tidur.
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poli RSMS dengan keluhan bengkak pada kedua
kaki, keluhan dirasakan semakin memberat sejak 1 minggu yang lalu,
keluhan tersebut dirasakan terus menerus sepanjang hari, semakin
memberat saat pasien duduk atau berdiri lama, tidak berkurang dengan
istirahat, pasien juga mengeluhkan sesak nafas, badan terasa lemas, mudah
lelah, mual, cepat haus, cepat lapar, dan sering buang air kecil saat malam
hari sekitar 6 kali setiap malam. Pasien juga mengeluhkan kedua kaki dan
tangan sering terasa kebas dan kesemutan. Keluhan tersebut dirasakan terus
menerus, tidak menghilang walaupun pasien mengibaskan tangannya.

2
d. Riwayat Penyakit dahulu :
1. Riwayat keluhan yang sama :
a) Riwayat keluhan sebelumnya (+).
b) Riwayat keluhan mudah lelah, sering BAK, mudah haus, mudah
lapar dan kebas pada tangan dan kaki drasakan sejak sekitar 5
tahun yang lalu.
2. Riwayat hipertensi : Diakui sekitar 5 tahun yang lalu.
3. Riwayat DM : Diakui pertama kali terdiagnosis DM
sejak 17
tahun yang lalu, rutin minum obat dan
kontrol.
2. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
3. Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
4. Riwayat HD : Disangkal
5. Riwayat alergi / asma : Disangkal
6. Riwayat OAT : Disangkal
e. Riwayat Penyakit Keluarga :
1. Riwayat keluhan yang sama : Disangkal
2. Riwayat hipertensi : Disangkal
3. Riwayat DM : Disangkal
4. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
5. Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
f. Riwayat Sosial dan Ekonomi
1. Keluarga
Pasien tinggal bersama dua anaknya. Pasien berasal dari keluarga
dengan sosial ekonomi menengah. Sumber pembiayaan kesehatan
berasal dari BPJS Non PBI.
2. Rumah

3
Pasien tinggal di sebuah rumah bersama dengan keluarganya. Rumah
yang dihuni terdiri dari 4 kamar, ruang tamu, dapur, 1 kamar mandi, dan
ruang makan.
3. Pekerjaan
Pasien bekerja sebagai pensiunan.
4. Kebiasaan
Pasien jarang berolahraga dan melakukan aktivitas fisik lain. Pasien
mengaku senang mengkonsumsi makanan manis namun sudah mulai
mengurangi sejak terdiagnosis DM 17 tahun lalu.

C. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Sedang
b. Kesadaran : Compos mentis dengan
GCS 15
(E=4, V=5, M=6)
c. Status Gizi : BB 60 kg, TB 151 cm,
BMI
26.31 (obese 1)
d. Tanda Vital
1) Tekanan Darah : 160/100 mmHg
2) Nadi : 68 x/menit
3) Pernapasan : 23 x/menit
4) Suhu (Peraksiller) : 36,9 °C
e. Status Generalis
1) Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala : Simetris, mesocephal
Rambut : Distribusi merata
2) Pemeriksaan mata
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)

4
Palpebra : Oedem (-/-)
Reflek cahaya langsung/tidak langsung : (+/+) / (+/+)
3) Pemeriksaan telinga
Simetris
Kelainan bentuk : (-)
Discharge : (-)
4) Pemeriksaan Hidung
Discharge : (-)
Nafas Cuping Hidung : (-)
5) Pemeriksaan mulut
Bibir sianosis : (-)
Lidah sianosis : (-)
Lidah kotor : (-)
6) Pemeriksaan leher
Deviasi trakea : (-)
Perbesaran kelenjar tiroid : (-)
Perbesaran limfonodi : (-)
JVP : 5 + 2 cm H2O
7) Pemeriksaan Ekstremitas
Superior dekstra/sinistra : Oedem (-/-), akral hangat (-/-), sianosis (-/-)
Inferior dekstra/sinistra : Oedem (+/+), akral hangat (-/-), sianosis (-/-)
f. Status Lokalis
Pulmo
Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru, batas paru hepar di SIC V LMCD.
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+)
Suara tambahan wheezing (-), RBH (-), RBK(-)

5
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis terlihat di SIC V, 2 jari medial LMCS
Palpasi : Ictus Cordis teraba SIC V, 2 jari medial LMCS,
kuat angkat (-)
Perkusi : Batas kanan atas SIC II LPSD
Batas kanan bawah SIC IV LPSD
Batas kiri atas SIC II LPSS
Batas kiri bawah SIC V, 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1 > S2 di apeks reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Cembung, jejas (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : Nyeri tekan (-)
hepar tidak teraba
lien tidak teraba
undulasi (-)
Perkusi : Timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)

D. Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium (12 03 2018)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Lengkap
 Hemoglobin 7,0 g/dL (L) 12,0 – 16,0
 Leukosit 8310 /uL 4800 – 10800
 Hematokrit 22 % (L) 37 – 47
 Eritrosit 2.4 ^6/uL (L) 4,2 – 5,4
 Trombosit 243.000 / uL 150.000 – 450.000

6
 MCV 92.1 fL 79 – 99
 MCH 29.3 pg 27 – 31
 MCHC 31.8 % (L) 33 – 37
 RDW 15.0 % (H) 11,5 – 14,5
 MPV 10,5 fL 7,2 – 11,1
Hitung Jenis Leukosit
 Basofil 0,0 % 0,0 – 1,0
 Eosinofil 3,9 % 2,0 – 4,0
 Batang 0,5 % (L) 2,0 – 5,0
 Segmen 67.6 % 40,0 – 70,0
 Limfosit 22,9 % (L) 25,0 – 40,0
 Monosit 5,1 % 2,0 – 8,0
Kimia Klinik
 Ureum darah 169,9 U/L (H) 14,98 – 38,52
 Kreatinin darah 6,20 U/L (H) 0,60 – 1,00
 Glukosa sewaktu 208 mg/dL (H) ≥ 200
 Total protein 6,69 g/dL 6,40 – 8,20
 Albumin 2,57 g/dL (L) 3.40 – 5.00
 Globulin 4.12 g/dL (H) 2.70 – 3.20
 SGOT 35 35 U/L 15-37
 SGPT 56 U/L 16-63

Tanggal 14 Maret 2018


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
 Glukosa sewaktu 202 mg/dL (H) <= 200 mg/dl
 Asam Urat 5.9 mg /dL 3.5 – 7.2
 Kolestrol total 175 mg/dL (L) < 200

7
Tanggal 13 Maret 2018
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Fisis
 Warna Kuning Kng Muda – Kng Tua
 Kejernihan Agak keruh Jernih
 Bau Khas Khas
Kimia
 Berat Jenis 1.020 1.010 – 1.030
 PH 6,5 4,6 – 7,8
 Leukosit 50 Negatif
 Nitrit Negatif Negatif
 Protein 300 Negatif
 Glukosa 500 Negatif
 Keton Negatif Negatif
 Urobilinogen Normal Normal
 Bilirubin Negatif Negatif
 Eritrosit 0 Negatif
Sedimen
 Eritrosit 2–5 Negatif
 Leukosit 0–2 Negatif
 Epitel 0–1 Negatif
 Silinder Hialin Negatif Negatif
 Silinder Lilin Negatif Negatif
 Silinder Halus 0-1 Negatif
 Silinder Kasar 0-1 Negatif
 Kristal Negatif Negatif
 Bakteri 10-20 Negatif
 Trikomonas Negatif Negatif

8
 Jamur Negatif Negatif

E. Resume (Kesimpulan Pemeriksaan)


a. Anamnesis :
1) Bengkak pada kedua kaki.
2) Badan lemas, mudah lelah
3) Cepat haus (polidipsi).
4) Sering BAK terutama malam hari (poliuri).
5) Mual .
6) Sesak nafas.

b. Pemeriksaan Fisik :
1) KU : sedang

c. Pemeriksaan Laboratorium :
1) Anemia, MCV (N) MCH (N)
2) Hipoalbumin
3) Proteinuria

F. Diagnosis Kerja
 Diabetes Melitus tipe 2 dengan neuropati dan nefropati.
 Anemia normositik normokromik
 Hipertensi

G. Diagnosis Banding
 Diabetes Melitus tipe 1

H. Terapi

9
a. Non Farmakologis
1) Istirahat
2) Diet bergizi seimbang
3) Menghindari makanan yang terlalu banyak mengandung gula
4) Meningkatkan aktivitas fisik dan olahraga
5) Edukasi penyakit kepada pasien dan keluarga meliputi pencetus, terapi,
komplikasi penyakit, prognosis penyakit.
b. Farmakologi
1) IVFD NACL 12 tpm
2) Inj. Furosemid 2x1 amp iv
3) Inj. Ranitidin 2x1 amp iv
4) Inj. Levemir 1x22 unit sc
5) Inj. Humalog 3x14 unit sc
6) Inj. Megalbal 1x1 caps
7) Po Asam Folat 3x1 tap
8) Po Prorenal 3x1 caps
9) Po Ambroxol syr 3x1 tab
10) Po Irbesartan 1x300 mg
11) Po Vip albumin 3x1
12) Po Clonidin 0.15 mg 2x1

I. Prognosis
 Ad Vitam : Dubia ad malam
 Ad Fungsionam : Dubia ad malam
 Ad Sanastionam : Dubia ad malam

II. TINJAUAN PUSTAKA

10
A. Definisi
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya (PERKENI, 2015). Nefropati diabetik atau penyakit ginjal
diabetik adalah sindrom yang memiliki karakteristik adanya kelainan jumlah
ekskresi albumin lewat urin, lesi glomerular diabetik, dan hilangnya laju filtrasi
glomerulus pada penderita diabetes (Lim, 2014).

B. Epidemiologi
Saat ini penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah
penyandang DM yang menjadi salah satu ancaman kesehatan global. Pada buku
pedoman ini, hiperglikemia yang dibahas adalah yang terkait dengan DM tipe-2.
WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta
pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini
menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat
pada tahun 2035. Sedangkan International Diabetes Federation (IDF) memprediksi
adanya kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014
menjadi 14,1 juta pada tahun 2035. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia diatas 20
tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan mengacu pada pola pertambahan penduduk,
maka diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia
diatas 20 tahun. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh
Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi DM di daerah
urban untuk usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil terdapat di
Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan terbesar di Propinsi Maluku Utara dan Kalimantan
Barat yang mencapai 11,1%. Sedangkan prevalensi toleransi glukosa terganggu

11
(TGT), berkisar antara 4,0% di Propinsi Jambi sampai 21,8% di Propinsi Papua
Barat dengan rerata sebesar 10.2% (PERKENI, 2015).
Epidemi diabetes menyebabkan nefropati diabetik menjadi penyebab tersering
end-stage renal disease (ESRD) di banyak negara. Pada tahun 2009-2011, diabetes
adalah penyebab utama ESRD pada 60% pasien di Malaysia, Meksiko, dan
Singapura (Lim, 2014). Jumlah pasien yang mengawali terapi ESRD terkait diabetes
meningkat 18 kali lipat dari tahun 1980 yakni menjadi sebanyak 48.374
(Manikowski, 2015).

C. Etiologi
Klasifikasi tipe diabetes mellitus dan etiologinya (PERKENI, 2015):

Gambar 2.1. Klasifikasi DM beserta etiologi (PERKENI, 2015)

12
D. Faktor Risiko
Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk intoleransi glukosa yaitu
(PERKENI, 2015) :
1. Faktor Risiko yang Tidak Bisa Dimodifikasi
a. Ras dan etnik
b. Riwayat keluarga dengan DM
c. Umur: Risiko untuk menderita intolerasi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia >45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.
d. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram atau riwayat
pernah menderita DM gestasional (DMG).
e. Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir
dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi
yang lahir dengan BB normal.
2. Faktor Risiko yang Bisa Dimodifikasi
a. Berat badan lebih (IMT ≥23 kg/m2).
b. Kurangnya aktivitas fisik
c. Hipertensi (>140/90 mmHg)
d. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan/atau trigliserida >250 mg/dl)
e. Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi glukosa dan rendah serat
akan meningkatkan risiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa dan
DMT2.
3. Faktor Lain yang Terkait dengan Risiko Diabetes Melitus
a. Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang
terkait dengan resistensi insulin
b. Penderita sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya.
c. Penderita yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, PJK,
atau PAD (Peripheral Arterial Diseases)

13
E. Patofisiologi
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan
diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan
lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha
pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2 (PERKENI, 2015).

Gambar 2.2. Delapan organ yang berperan dalam pathogenesis pada DM tipe 2
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal
(omnious octet) beriku (PERKENI, 2015) :
1. Kegagalan sel beta pancreas
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang.
2. Liver
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat.

14
3. Otot
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa.
4. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas
(FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga
akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini
disebut sebagai lipotoxocity.
5. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1
dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat
yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat
melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi
monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan
glukosa darah setelah makan.
6. Sel Alpha Pancreas
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang
dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan

15
ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan
dibanding individu yang normal.
7. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM
tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh
persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2
(Sodium Glucose coTransporter) pada bagian convulated tubulus proksimal.
Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus
desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada
penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2.
8. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga
terjadi di otak.
Pada nefropati diabetik, pada ginjal mempunyai gambaran histologi yang
memperlihatkan adanya penebalan membran basal glomerulus, ekspansi mesangial
glomerulus yang akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri
eferen dan eferen serta fibrosis tubulo interstitial. Tampaknya berbagai faktor
berperan dalam terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa yang menahun
(glukotoksisitas) pada penderita yang mempunyai predisposisi genetik merupakan
faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati.
Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat melalui 2 jalur (Andy, 2014) :
1. Alur metabolik (metabolic pathway):
Faktor metabolik diawali dengan hiperglikemia,glukosa dapat bereaksi
secara proses non enzimatik dengan asam amino bebas menghasilkan AGE’s
(advance glycosilation end-products). Peningkatan AGE’s akan menimbulkan
kerusakan pada glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol.

16
Pada alur poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan sorbitol dalam
jaringan akibat meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose
reduktase. Peningkatan sorbitol akan 19 mengakibatkan berkurangnya kadar
inositol yang menyebabkan gangguan osmolaritas membran basal ginjal. Aldose
reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang merupakan sitosolik
monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa NADPH-dependent reduction
dari senyawa karbon, termasuk glukosa.
Aldose reduktase mereduksi aldehid yang dihasilkan oleh ROS (Reactive
Oxygen Species) menjadi inaktif alkohol serta mengubah glukosa menjadi
sorbitol dengan menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Pada sel, aktivitas
aldose reduktase cukup untuk mengurangi glutathione (GSH) yang merupakan
tambahan stres oksidatif. Sorbitol dehydrogenase berfungsi untuk mengoksidasi
sorbitol menjadi fruktosa menggunakan NAD – sebagai kofaktor

Gambar 2.3. Polyol Pathway


2. Alur Hemodinamik
Hiperglikemia memicu terjadinya kerusakan ginjal, sehingga
menimbulkan perubahan hemodinamik, metabolisme, disfungsi endotel, aktifasi
sel inflamasi, perubahan ekspresi faktor vaskuler (Murnah, 2011) 23 Gangguan
hemodinamik sistemik dan renal pada penderita DM terjadi akibat
glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel pembuluh darah.
Faktor hemodinamik diawali degan peningkatan hormon vasoaktif seperti

17
angiotensin II. angiotensin II juga berperan dalam perjalanan ND. Angiotensin II
berperan baik secara hemodinamik maupun non-hemodinamik. Peranan tersebut
antara lain merangsang vasokontriksi sistemik, meningkatkan tahanan kapiler
arteriol glomerulus, pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein
matriks ekstra selular, serta stimulasi chemokines yang bersifat fibrogenik
Hipotesis ini didukung dengan meningkatnya kadar prorenin, aktivitas
faktor von Willebrand dan trombomodulin sebagai penanda terjadinya gangguan
endotel kapiler. Hal ini juga yang dapat menjelaskan mengapa pada penderita
dengan mikroalbuminuria persisten, terutama pada DM tipe 2, lebih banyak
terjadi kematian akibat kardiovaskular dari pada akibat penyakit ginjal terminal.
Dari kedua faktor diatas maka akan terjadi peningkatan TGF beta yang
akan menyebabkan proteinuria melalui peningkatan permeabilitas vaskuler. TGF
beta juga akan meningkatkan akumulasi ektraceluler matrik yang berperan dalam
terjadinya nefropati diabetik.

Gambar 2.4. Mekanisme alur hemodinamik


F. Penegakan Diagnosis
1. Riwayat Penyakit

18
a. Usia dan karakteristik saat onset diabetes.
b. Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat perubahan berat
badan.
c. Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.
d. Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk
terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM
secara mandiri.
e. Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan
makan dan program latihan jasmani.
f. Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia,
hipoglikemia).
g. Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus
urogenital. Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal,
mata, jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan, dll.
h. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
i. Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin
lain).
j. Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.
k. Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi
(PERKENI, 2015)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tinggi dan berat badan.
b. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi
berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik.
c. Pemeriksaan funduskopi.
d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
e. Pemeriksaan jantung.
f. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.

19
g. Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan vaskular, neuropati,
dan adanya deformitas).
h. Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka, hiperpigmentasi,
necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan bekas lokasi penyuntikan insulin).
i. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain (PERKENI,
2015)
3. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria
(PERKENI, 2015).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti (PERKENI, 2015).:
a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Gambar 2.5. Kriteria Penegakan DM


Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) (PERKENI, 2015).

20
a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam
<140 mg/dl.
b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -
jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100
mg/dl
c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
d. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Gambar 2.6. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes

Gambar 2.7. Cara pelaksanaan TTGO

21
Gambar 2.8. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring
dan diagnosis DM (mg/dl)

Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin >30


mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3- 6
bulan, tanpa penyebab albuminuria lainnya. Klasifikasi nefropati diabetik tidak
lagi menggunakan istilah ‘mikroalbuminuria’ dan ‘makroalbuminuria’ tetapi
albuminuria saja. Nefropati diabetik dibagi atas albuminuria persisten pada level
30-299mg/24 jam dan albuminuria persisten pada level ≥300mg/24 jam.
Pemeriksaan lainnya adalah rasio albumin kreatinin. Nilai diagnosis adalah
(PERKENI, 2015):
a. Normal : <30 mg/g
b. Rasio albumin kreatinin 30-299 mg/g
c. Rasio albumin kreatinin > 300 mg/g

G. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes, yang meliputi (PERKENI, 2015):
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan

22
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif. Langkah-langkah penatalaksanaan umum yaitu dengan menggali
riwayat penyakt, pemeriksaan fisik, laboratorium, serta penapisan komplikasi.
Langkah-langkah penatalaksanaan khusus dilakukan dengan edukasi, terapi nutrisi
medis, latihan jasmani, serta intervensi farmakologis (PERKENI, 2015). Pilar
penatalaksanaan Diabetes Melitus terdiri dari (PERKENI, 2015) :
a. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :
- Perjalanan penyakit DM
- Penyulit DM dan risikonya
- Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan
- Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral
atau insulin serta obat-obatan lain
- Cara pemantauan glukosa darah
- Pentingnya latihan jasmani yang teratur
b. Terapi gizi medis (TGM)
Prinsip pengaturan makan pada penderita DM yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Selain itu,
perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis
dan jumlah makanan.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari (PERKENI, 2015) :
 Karbohidrat
Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi dengan sukrosa tidak
lebih dari 10% total asupan energi.
 Lemak
Dianjurkan sekitar 20 – 25% kebutuhan kalori dengan lemak jenuh < 7%
kebutuhan kalori. Perlu adanya pembatasan terhadap makanan yang

23
banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain : daging
berlemak dan susu penuh (whole milk). Selain itu, dianjurkan juga untuk
mengkonsumsi kolesterol < 300 mg/hari.
 Protein
Dibutuhkan sebesar 15 – 20% total asupan energi. Sumber protein yang
baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk
susu rendah lemak, kacang dan kacang-kacangan, tahu, tempe. Pada
pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/kg BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi.
 Garam
Dianjurkan untuk mengkonsumsi garam tidak lebih dari 3000 mg atau
sama dengan 6 – 7 g (1 sendok teh) garam dapur. Selain itu, natrium
dibatasi sampai 2400 mg atau sama dengan 6g/hari terutama pada
penderita hipertensi.
 Serat
Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
c. Intervensi farmakologis
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan (PERKENI, 2015):
1. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid
a. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu sekresi insulin oleh
sel beta pankreas.
b. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat
ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
2. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan Tiazolidindion
(TZD)

24
a. Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2.
b. Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti termasuk di sel
otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Obat ini dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC IIIIV) karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan
bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang
masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
3. Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan bila GFR
≤30ml/min/1,73 m2 , gangguan faal hati yang berat, irritable bowel
syndrome.
4. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-
IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi
insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah
(glucose dependent).
5. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal
dengan cara menghambat transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk
golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin,
Ipragliflozin.

25
Gambar 2.9. Profil obat antihipergilikemia oral di Indonesia

Gambar 2.10. Algoritma pengelolaan DM tipe 2

26
Pada kasus nefropati diabetik, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut
(PERKENI, 2015):
1. Optimalisasi kontrol glukosa untuk mengurangi resiko ataupun menurunkan
progresi nefropati.
2. Optimalisasi kontrol hipertensi untuk mengurangi resiko ataupun menurunkan
progresi nefropati.
3. Pengurangan diet protein pada diet pasien diabetes dengan penyakit ginjal kronik
tidak direkomendasikan karena tidak mengubah kadar glikemik, resiko kejadian
kardiovaskuler, atau penurunan GFR.
4. Terapi dengan penghambat ACE atau obat penyekat reseptor angiotensin II tidak
diperlukan untuk pencegahan primer.
5. Terapi Penghambat ACE atau Penyekat Reseptor Angiotensi II diberikan pada
pasien tanpa kehamilan dengan albuminuria sedang (30-299 mg/24 jam) dan
albuminuria berat (>300 mg/24 jam). Perlu dilakukan monitoring terhadap kadar
serum kreatinin dan kalium serum pada pemberian penghambat ACE, penyekat
reseptor angiotensin II, atau diuretik lain.
6. Diuretik, Penyekat Kanal Kalsium, dan Penghambat Beta dapat diberikan
sebagai terapi tambahan ataupun pengganti pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi penghambat ACE dan Penyekat Reseptor Angiotensin II.
7. Apabila serum kreatinin ≥2,0 mg/dL sebaiknya ahli nefrologi ikut dilibatkan.
8. Pertimbangkan konsultasi ke ahli nefrologi apabila kesulitan dalam menentukan
etiologi, manajemen penyakit, ataupun gagal ginjal stadium lanjut

Pada kasus ulkus maupun neuropati perifer atau peripheral arterial disease,
perlu diberikan edukasi perawatan kaki secara rinci sebagai berikut (PERKENI,
2015):
1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air.
2. Periksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada dokter apabila kulit terkelupas,
kemerahan atau luka.
3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.

27
4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan krim
pelembab pada kulit kaki yang kering.
5. Potong kuku secara teratur.
6. Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki secara teratur setelah dari kamar mandi.
7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada
ujung-ujung jari kaki.
8. Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur.
9. Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kai yang dibuat khusus.
10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi.
11. Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk
menghangatkan kaki.

H. Komplikasi
Komplikasi dari diabetes terbagi menjadi (WHO, 2017):
1. Komplikasi mikrovaskular (kerusakan saluran darah kecil):
a. Retinopati
Retinopati dapat menyebabkan penurunan penglihatan dan kebutaan. Hal ini
disebabkan oleh kerusakan saluran darah kecil di retina

b. Nefropati
Nefropati diabetikum disebabkan oleh kerusakan saluran darah kecil di ginjal.
Proses jangka panjang akan menyebabkan gagal ginjal dan bahkan kematian.
c. Neuropati
Diabetes dapat menyebabkan kerusakan pada saraf karena mekanisme dari
hiperglikemi dan penurunan aliran darah ke saraf akibat kerusakan saluran
darah kecil. Kerusakan pada saraf dapat mengakibatkan penurunan kepekaan
sensoris bahkan impotensi pada pria
d. Kaki diabetikum
Perubahan akibat kerusakan saluran darah kecil dan saraf dapat
mengakibatkan ulserasi pada ekstremitas yang memerlukan amputasi.

28
Komplikasi ini merupakan komplikasi tersering dari diabetes, terutama pada
masyarakat yang tidak sering menggunakan alas kaki.
2. Komplikasi makrovaskular (saluran darah besar):
Cardiovascular disease. Hiperglikemi dapat menyebabkan kerusakan saluran
darah yang prosesnya dinamakan atherosclerosis. Penyempitan arteri dapat
menurunkan aliran darah ke otot jantung yang dapat mengakibatkan infark
miokard, sedangkan penurunan darah ke otak dapat mengakibatkan stroke

I. Prognosis
Diabetes dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular bahkan
kematian, namun hal ini tergantung pada onset penderita, terkontrolnya glukosa,
terkontrolnya tekanan darah, terkontrolnya lipid, merokok, fungsi ginjal dan faktor-
faktor lainnya. Apabila diabetes pada pria didapatkan di usia 40 tahun, terjadi
penurunan angka harapan hidup 5,8 tahun, sedangkan pada wanita terjadi penurunan
6,8 tahun angka harapan hidup. Angka mortalitas pada penderita diabetes tipe 2
sekitar 15% lebih tinggi, namun angka ini dapat meningkat menjadi 60% pada
penderita dewasa muda dengan gula tidak terkontrol dan penurunan fungsi ginjal
(Epocrates, 2017).

29
I. KESIMPULAN

1. Pasien didiagnosis Nefropati DM karena terdapat proteinuria.


2. Nefropati diabetik atau penyakit ginjal diabetik adalah sindrom yang memiliki
karakteristik adanya kelainan jumlah ekskresi albumin lewat urin, lesi glomerular
diabetik, dan hilangnya laju filtrasi glomerulus pada penderita diabetes.
3. Tujuan penatalaksanaan pada pasien nefropati adalah kontrol gula darah untuk
mengurangi proses nefropati DM.
4. Diabetes dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular bahkan kematian,
namun hal ini tergantung pada onset penderita, terkontrolnya glukosa, terkontrolnya
tekanan darah, terkontrolnya lipid, merokok, fungsi ginjal dan faktor-faktor lainnya.

30
DAFTAR PUSTAKA

Epocrates. 2017. Type 2 Diabetes Mellitus in Adults. USA.

Lim, AKH. 2014. Diabetic nephropathy-complications and treatmen. Int J Nephrol


Renovasc Disc. 7 : 361-381.

Manikowski, ST., Mohamed GA. 2015. Diabetic Kidney Disesase : Pathophysiology


and Therapeutic Targets. Journal of Diabetes Research. 2015 : 1-16.

Perkeni. 2015. Konsesus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia 2015. Jakarta : Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(PB Perkeni.

WHO. 2017. About Diabetes. USA.

31

Das könnte Ihnen auch gefallen