Sie sind auf Seite 1von 28

ASUHAN KEPERAWATAN

APENDISITIS

Dosen Mata Kuliah :

Ns Sri Yulianti, S.Kep., M.Kep

Di Susun Oleh :

Kelompok 1

Jihan Rizki Annisa 201601067


Diah Kurniaty 2016010

Novitasari 2016010

STIKes WIDYA NUSANTARA PALU


2018
LAPORAN

PENDAHULUAN

A. Defenisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur
baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-
30 tahun (Mansjoer, 2010).
Menurut Gruendemann (2006) (cit Arif dan Kumala, 2013), Apendiks (umbai
cacing) merupakan perluasan sekum yang rata-rata panjangnya adalah 10cm. Ujung
apendiks dapat terletak di berbagai lokasi, terutama di belakang sekum. Arteri
apendisialis mengalirkan darah ke apendiks dan merupakan cabang dari arteri
ileokolika.
Apendisitis adalah kasus bedah abdomen darurat yang paling sering
terjadi. Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering terjadi. Apendiks disebut juga
umbai cacing (Andran & Yessie. 2013, p. 88). Menurut Price (2006) apendisitis adalah
peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut yang
disebabkan oleh agen infeksi.
Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena
usus yang buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalam
system imun sektorik di saluran pencernaan, namun pengangkatan apendiks tidak
menimbulkan efek fungsi system imun yang jelas (Syamsyuhidayat, 2005).
Peradangan pada apendiks selain mendapat intervensi farmakologik juga
memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi dan memberikan
implikasi pada perawat dalam bentuk asuhan keperawatan
B. Anatomi dan Fisiologi Appendix
1. Anatomi Appendix
Appendix adalah suatu pipa tertutup yang sempit yang melekat pada
secum (bagian awal dari colon). Bentuknya seperti cacing putih. Secara anatomi
appendix sering disebut juga dengan appendix vermiformis atau umbai cacing.
Appendix terletak di bagian kanan bawah dari abdomen. Tepatnya di ileosecum dan
merupakan pertemuan ketiga taenia coli. Muara appendix berada di sebelah
postero-medial secum. Penentuan letak pangkal dan ujung appendix yang normal
adalah sebagai berikut :
a) Menurut garis Monroe Pichter
Garis yang menghubungkan SIAS dan umbilicus. Pangkal appendix terletak
pada 1/3 lateral dari garis ini (titik Mc Burney).
b) Menurut garis Lanz
Diukur dari SIAS dextra sampai SIAS sinistra. Ujung appendix adalah pada
titik 1/6 lateral dextra.
Seperti halnya pada bagian usus yang lain, appendix juga mempunyai
mesenterium. Mesenterium ini berupa selapis membran yang melekatkan
appendix pada struktur lain pada abdomen. Kedudukan ini memungkinkan
appendix dapat bergerak. Selanjutnya ukuran appendix dapat lebih panjang
daripada normal. Gabungan dari luasnya mesenterium dengan appendix yang
panjang menyebabkan appendix bergerak masuk ke pelvis (antara organ-organ
pelvis pada wanita). Hal ini juga dapat menyebabkan appendix bergerak ke
belakang colon yang disebut appendix retrocolic.
Appendix dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterica superior
dan a. appendicularis. Sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. thoracalis X.
Karena itu nyeri viseral pada appendicitis bermula disekitar umbilicus.
Vaskularisasinya berasal dari a.appendicularis cabang dari a.ileocolica, cabang
dari a. mesenterica superior.
2. Fisiologi Appendix
Fungsi appendix pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga
berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix
menghasilkan lendir. Lendir ini secara normal dialirkan ke appendix dan secum.
Hambatan aliran lendir di muara appendix berperan pada patogenesis appendicitis.
Appendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml perhari yang bersifat basa
mengandung amilase, erepsin dan musin. Lendir itu secara normal dicurahkan ke
dalam bumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara
appendiks berperan pada patofisiologi appendiks.
Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks,
ialah Ig A. Imunglobulin itu sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi
tapi pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem Imunoglobulin tubuh
sebab jaringan limfe kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah disaluran cerna
dan seluruh tubuh.

3. Fisiologi Gerakan Usus


a) Pergerakan Usus Halus
1) Kontraksi pencampuran (kontraksi segmentasi)
Bila bagian tertentu usus halus teregang oleh kimus, peregangan
dinding usus menyebabkan kontraksi konsentris local dengan jarak interval
tertentu sepanjang usus dan berlangsung sesaat dalam semenit. Kontraksi ini
membagi usus menjadi segmen-segmen ruang yang mempunyai bentuk
rantai sosis. Bila satu rangkaian kontraksi segmentasi berelaksasi maka
timbul rangkaian baru, kontraksi terutama pada titik baru di antara kontraksi
sebelumnya. Frekuensi kontraksi maksimum pada duodenum dan jejunum
12 kontraksi per menit dan pada ileum 8 sampai 9 kontraksi per menit.
Kontraksi segmentasi menjadi sangat lemah bila aktivitas perangsangan
system saraf enteric dihambat oleh atropine.
2) Gerakan propulsive
Kimus didorong melalui usus halus oleh gerakan peristaltic. Ini dapat
terjadi pada bagian usus manapun, dan bergerak menuju anus dengan
kecepatan 0,5 sampai 2,0 cm/detik, lebih cepat di bagian usus proksimal
daripada distal. Pengaturan peristaltic dilakukan oleh sinyal saraf dan
hormone. Aktivitas usus meningkat setelah makan karena timbul reflex
gastroenterik. Factor hormone meliputi gastrin, CCK, insulin, motilin dan
serotonin, semuanya meningkatkan motilitas usus dan disekresikan selama
berbagai fase pencernaan makanan. Sebaliknya, sekretin dan glucagon
menghambat motilitas usus. Gerak peristaltic secara normal bersifat halus
dan lemah. Gerak yang sangat kuat terjadi pada diare infeksi yang berat
akibat iritasi kuat mukosa usus.

b) Pergerakan Kolon
Pergerakan normal dari kolon sangat lambat, pergerakannya masih
mempunyai karakteristik yang serupa dengan pergerakan usus halus.
1) Gerakan mencampur (haustrasi)
Pada setiap konstriksi kira kira 2,5 cm otot sirkuler akan
berkontraksi, kadang menyempitkan kolon sampai hamper tersumbat. Pada
saat yang sama, otot longitudinal kolon yang terkumpul menjadi taenia cli
akan berkontraksi. Kontraksi gabungan ini menyebabkan bagian usus besar
yang tidak terangsang menonjol keluar memberikan bentuk serupa kantung
(haustrasi).

2) Gerakan mendorong (pergerakan massa)


Pergerakan massa adalah jenis peristaltik yang dimodifikasi yang
ditandai oleh rangkaian peristiwa sebagai berikut : pertama, timbul sebuah
cicicn konstriksi sebagai respon dari tempat yang teregang atau teriritasi di
kolon, biasanya pada kolon transversum. Kemudian dengan cepat kolon
sepanjang 20 cm atau lebih pada bagian distal cincin konstriksi tadi akan
kehilangan haustrasinya an justru berkontraksi sebagai satu unit, mendorong
maju materi feses pada segmen ini sekaligus untuk lebih menuruni kolon.

C. Aspek Epidemiologi
Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi dari pada di negara berkembang.
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang terjadi. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
menurun. Insidens pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih banyak dari pada wanita
(Sandy, 2010).
Angka kejadian apendisitis di dunia mencapai 3442 juta kasus tiap tahun
(Stacroce, 2013). Statistik di Amerika mencatat setiap tahun terdapat 30 – 35
juta kasus apendisitis (Departemen Republik Indonesia, 2013). Penduduk di
Amerika 10% menjalani apendektomy (pembedahan untuk mengangkat apendiks).
Afrika dan Asia prevalensinya lebih rendah akan tetapi cenderung meningkat oleh
karena pola dietnya yang mengikuti orang barat.
Survey di 15 provinsi di Indonesia tahun 2014 menunjukan jumlah apendisitis
yang dirawat dirumah sakit sebanyak 4.351 kasus. Jumlah ini meningkat drastis
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 3.236 orang. Awal tahun
2014, tercatat 1.889 orang di Jakarta yang dirawat di rumah sakit akibat apendisitis
(Depkes RI, 2013).

D. Etiologi
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun
terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi
yang terjadi pada lumen apendiks yang biasanya disebabkan karena adanya timbunan
tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda
asing dalam tubuh, tumor primer pada dinding apendiks dan striktur. Penelitian
terakhir menemukan bahwa ulserasi mukosa akibat parasit seperti E Hystolitica,
merupakan langkah awal terjadinya apendisitis pada lebih dari separuh kasus, bahkan
lebih sering dari sumbatan lumen. Beberapa penelitian juga menunjukkan peran
kebiasaan makan (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya apendisitis akut ditinjau dari teori
Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor lingkungan, faktor
pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku. Faktor biologi antara lain usia, jenis kelamin,
ras sedangkan untuk faktor lingkungan terjadi akibat obstruksi lumen akibat infeksi
bakteri, virus, parasit, cacing dan benda asing dan sanitasi lingkungan yang kurang
baik. Faktor pelayanan kesehatan juga menjadi resiko apendisitis baik dilihat dari
pelayan keshatan yang diberikan oleh 13 layanan kesehatan baik dari fasilitas maupun
non-fasilitas, selain itu faktor resiko lain adalah faktor perilaku seperti asupan rendah
serat yang dapat mempengaruhi defekasi dan fekalit yang menyebabkan obstruksi
lumen sehingga memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi (Sjamsuhidajat, De Jong,
2004).
Ada beberapa factor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :
1. Faktor sumbatan

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%)


yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia
jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing
dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi
yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis
akut diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus
sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90%
pada kasus apendisitis akut dengan rupture.

2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis
akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk
dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%.

3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari
organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya
yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan
makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan
terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.
Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko
lebih tinggi dari Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat
sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan
mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya
memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko
apendisitis yang lebih tinggi.

5. Faktor infeksi saluran pernapasan


Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi
influenza dan pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat. Namun,
hati-hati karena penyakit infeksi saluran pernapasan dapat menimbulkan seperti
gejala permulaan

E. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat
aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi apendistis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium (Price,
2005).
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah, keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding 12
apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi
(Mansjoer, 2010).
F. Pathway
G. Manifestasi klinis
1. Nyeri kudran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual,
muntah, dan hilangnya nafsu makan.
2. Nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum
lokal di titik McBurney (nyeri tekan, nyeri lepas, defans muskuler)
3. Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung yaitu:
a) Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (tanda Rovsing)
b) Nyeri kanan bawah bila tekanan sebelah kiri dilepaskan (tanda Blumberg)
c) Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti napas dalam, berjalan,
batuk, mengedan.
4. Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5oC Bila suhu lebih
tinggi mungkin sudah terjadi perforasi (Sjamsuhidayat, R & Jong Win De,
1997).
5. Bila apendiks berada dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di
daerah lumbar.
6. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada di dekat rectum
7. Nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan
kandung kemih atau ureter.
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya
rewel dan tidak mau makan. Anak biasanya tidak bisa melukiskan rasa nyerinya.
Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak menjadi
lemah dan letargi. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui
setelah perforasi. Pada bayi, 80-90% apendisitis baru diketahui setelah terjadi
perforasi.
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak
ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia
lanjut yang gejalanya sering samar-samar saja sehingga lebih dari separuh penderita
baru dapat didiagnosis setelah perforasi.
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual dan
muntah. Yang perlu diperhatikan adalah, pada kehamilan trimester pertama sering
juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong
ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan diperu kanan bawah tetapi lebih
ke regio lumbal kanan. (De Jong, 2005)
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-
tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses
penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami
ruptur apendiks. Insiden perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena
banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat
pasien-pasien yang lebih muda (Brunner and Suddart, 2001).

H. Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun
tidak disertai rangsang peritonieum lokal.
Gejala apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai
mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri
akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
Apendisitis akut dibagi menjadi :
a) Apendisitis Akut Sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa
disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen 9 appendiks
dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran
limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali
dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise dan
demam ringan (Rukmono, 2011).
b) Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada
apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam
dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi
suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan mesoappendiks
terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri
tekan, nyeri lepas di titik Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada gerak
aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut
disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum (Rukmono, 2011).

c) Apendisitis Akut Gangrenosa


Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-
tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding
apendiks berwarna ungu, hijau 10 keabuan atau merah kehitaman. Pada
apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan
peritoneal yang purulen (Rukmono, 2011).

d) Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan
peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat
erat satu dengan yang lainnya (Rukmono, 2011).
e) Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal
dan pelvikal (Rukmono, 2011).

f) Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren
yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi
peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi
oleh jaringan nekrotik (Rukmono, 2011).

2. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik
adalah fibrosis menyeluruh dinding 11 apendiks, sumbatan parsial atau total
lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel
inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik
kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik dengan
eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan ikat
(Rukmono, 2011).

I. Pencegahan

J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operatif.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita apendisitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik (Oswari, 2000).
2. Operatif
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks. Penundaan appendektomi
dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada
abses apendiks dilakukan drainase (Oswari, 2000).

K. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga
berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum dan keluk usus.
1. Perforasi
Perforasi disebabkan keterlambatan penanganan terhadap paslen apendisitis
akut. Perforasi disertai dengan nyeri yang lebih hebat dan demam tinggi (sekitar
38,3 0C). Biasanya perforasi tidak terjadi pada 12 jam pertama. Pada
apendiktektomi yang dilakukan pada pasien usia kurang dari 10 tahun dan lebih dari
50 tahun, ditemukan 50 % nya telah mengalami perforasi . Akibat perforasi ini
sangat bervariasi mulai dari peritonitis umum, sampai hanya berupa abses kecil
yang tidak akan mempengaruhi manifestasi kliniknya.

2. Peritonitis
Peritonitis lokal dapat disebabkan oleh mikroperforasi sementara peritonitis
umum dikarenakan telah terjadinya perforasi yang nyata. Bertambahnya nyeri dan
kekakuan otot, ketegangan abdomen dan adinamic ileus dapat ditemui pada pasien
apendisitis dengan perforasi.

3. Apendikal abses (massa apendikal)


Perforasi yang bersifat lokal dapat terjadi saat infeksi periapendikal diliputi
oleh omentum dan viseral yang berdekatan . Manifestasi kliniknya sarna dengan
apendisitis biasa disertai dengan ditemukannya massa di kwadran kanan bawah.
Pemeriksaan USG dan CT scan bermanfaat untuk menegakan diagnosis.

4. Pielofleblitis
Pielofleblitis adalah trombofleblitis yang bersifat supuratif pada sistem vena
portal. Dernam tinggi, menggigil, ikterus yang samar-samar, dan nantinya dapat
ditemukan abses hepar, merupakan pertanda telah tetjadinya komplikasi ini.
Pemeriksaan untuk menemukan trombosis dan udara di vena portal yang paling baik
adalah CT scan.

Pada beberapa keadaan apendisitis akut agak sulit di diagnosis sehingga


tidak ditangani pada waktunya dan terjadi kornplikasi misalnya:
a) Pada anak, biasanya diawali dengan rewel, tidak mau makan, tidak bisa melukiskan
nyerinya, sehingga dalam beberapa jam kemudian terjadi muntah-muntah, lemah
dan letargi. Gejala ini tidak khas pada anak sehingga apendisitis diketahui setelah
terjadi komplikasi.
b) Pada wanita hamil, biasanya keluhan utamanya adalah nyeri perut mual dan
muntah. Pada wanita hamil trimester pertama juga terjadi mual muntah. Pada
kehamilan lanjut sekum dengan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga
keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi ke regio lumbal kanan.
c) Pada usia lanjut, gejalanya sering samar-samar sehingga sering terjadi terlambat
diagnosis. Akibatnya lebih dari separuh penderita yang datang mengalami perforasi.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Menurut Perry Potter (2007) pengkajian pada penderita post operasi adalah:
1. Jalan Napas dan Pernapasan
Agen anestesi tertentu menyebabkan depresi pernafasan. Waspadai
pernapasan dangkal, lambat, dan batuk lemah. Kaji patensi jalan napas, laju napas,
irama, kedalaman ventilasi, simetri gerakan dinding dada, suara napas, dan warna
mukosa. Nilai normal oksimeter pulsa berkisar antara 92% dan 100%
saturasi. Kebingungan pasca operasi merupakan efek sekunder dari hipoksia
terutama pada lansia.
2. Sirkulasi
Penderita berisiko mengalami komplikasi kardiovaskular yang disebabkan
oleh hilangnya darah aktual atau potensial dari tempat pembedahan, efek samping
dari anestesi, ketidakseimbangan elektrolit, dan depresi mekanisme yang mengatur
sirkulasi normal. Pengkajian yang telah diteliti terhadap denyut dan irama jantung,
bersama dengan tekanan darah, mengungkapkan status kardiovaskular
penderita. Kaji sirkulasi kapiler dengan mencatat pengisian kembali kapiler,
denyut, serta warna kuku dan temperatu kulit.Masalah umum awal sirkulasi adalah
perdarahan. Kehilangan darah dapat terjadi secara eksternal melalui saluran atau
sayatan internal. Kedua tipe ini menghasilkan perdarahan dan penurunan tekanan
darah, jantung, dan laju pernapasan meningkat, nadi terdengar lemah, kulit dingin,
lembab, pucat, dan gelisah.
3. Kontrol Suhu
4. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Kaji status hidrasi dan pantau fungsi jatung dan saraf untuk tanda-tanda
perubahan elektrolit. Monitor dan bandingkan nilai-nilai laboratorium dengan nilai-
nilai dasar dari penderita. Catatan yang akurat dari asupan dan keluaran dapat
menilai fungsi ginjal dan peredaran darah. Ukur semua sumber keluaran, termasuk
urine, keluaran dari pembedahan, drainase luka dan perhatikan setiap keluaran yang
tidak terlihat dari diaforesis.
5. Fungsi Neurologi
Kaji refleks pupil dan muntah, cengkeraman tangan, dan gerakan
kaki. Jika penderita telah menjalani operasi melibatkan sebagian sistem saraf,
lakukan pengkajian neurologi secara lebih menyeluruh.
6. Integritas Kulit dan Kondisi Luka
Perhatikan jumlah, warna, bau dan konsistensi drainase diperban. Pada
penggantian perban pertama kalinya perlu dikaji area insisi, jika tepi luka
berdekatan dan untuk perdarahan atau drainase.
7. Fungsi Perkemihan
Anestesi epidural atau spinal sering mencegah penderita dari sensasi
kandung kemih yang penuh. Raba perut bagian bawah tapat di atas simfisis pubis
untuk mengkaji distensi kandung kemih. Jika penderita terpasang kateter urine,
harus ada aliran urine terus-menerus sebanyak 30-50 ml/jam pada orang dewasa.
Amati warna dan bau urine, pembedahan yang melibatkan saluran kemih biasanya
akan menyebabkan urine berdarah paling sedikit selama 12 sampai 24 jam,
tergantung pada jenis operasi.
8. Fungsi Gastrointestinal
Inspeksi abdomen untuk memeriksa perut kembung akibat akumulasi
gas. Perawat perlu memantau asupan oral awal penderita yang berisiko
menyebabkan aspirasi atau adanya mual dan muntah. Kaji juga kembalinya
peristaltik setiap 4 sampai 8 jam. Auskultasi perut secara rutin untuk mendeteksi
suara usus kembali normal, 5-30 bunyi keras per menit pada masing-masing
kuadran menunjukkan gerak peristaltik yang telah kembali. Suara denting tinggi
disertai oleh distensi perut menunjukkan bahwa usus tidak berfungsi dengan
baik. Tanyakan apakah penderita membuang gas (flatus), ini merupakan tanda
penting yang menunjukkan fungsi usus normal.
9. Kenyamanan
Penderita merasakan nyeri sebelum mendapatkan kembali kesadaran
penuh. Nyeri insisi akut menyebabkan penderita menjadi gelisah dan mungkin
bertanggungjawab atas perubahan sementara pada tanda vital. Kaji nyeri penderita
dengan skala nyeri, evaluasi respons terhadap analgesik.

Pengkajian nyeri peradangan apendiks dengan pendekatan PQRST

Variabel Deskripsi dan pernyataan Hasil pengkajian


Provoking Pengkajian untuk mengidentifikasi faktor apendisitis sering muncul
incident yang menjadi predisposisi nyeri. dengan gejala khas yang di
 Bagaimana peristiwa sehingga dasari oleh radang
terjadi nyeri? mendadakyang memberikan
 Faktor apa saja yang bisa tanda setempat, disertai maupun
menurunkan nyeri? tidak disertai rangsang
peritoneum lokal.
Gejala apendisitis akut pada
anak tidak spesifik. Gejala
awalnya sering hanya rewel dan
tidak mau makan. Anak sering
tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya dalam beberapa jam
kemudian akan timbul muntah-
muntah dan anak menjadi lemah
dan letargik. Oleh karena gejala
yang tidak khas tadi, apendisitis
sering di ketahui setelah
perforasi. Pada bayi, 80-90%
apendisitis baru diketahui
setelah terjadi perforasi
(Sjamsuhidayat, 2005).

Quality of pain Pengkajian untuk menilai bagaimana rasa keluhan klasik apendisitis ialah
nyeri dirasakan secara subjektif. Ingat nyeri samar-samar dan tumpul
sebagian besar deskripsi sifat dari nyeri yang merupakan nyeri viseral di
sulit di tafsirkan. daerah epigastrium disekitar
 Seperti apa rasa nyeri yang umbilikus. Keluhan ini sering
dirasakan pasien? disertai mual dan kadang ada
 Bagaimana sifat nyeri yang muntah. Umumnya nafsu makan
digambarkan pasien? menurun. Dalam beberapa jam,
nyeri akan berpindah ke kanan
bawah ke titik McBurney (lihat
pemeriksaan fisik). Pada bagian
ini nyeri dirasakan lebih tajam
dan letaknya lebih jelas
sehingga merupakan nyeri
somatik setempat. Terkadang
tidak ada nyeri epigastrium,
tetapi terdapat konstipasi
sehingga pasien merasa
memerlukan obat pencahar.
Tindakan itu dianggap
berbahaya karena bisa
mempermudah terjadi perforasi.
Bila terdapat perangsanganp
peritoneum, biasanya pasien
mengeluh sakit perut bila
berjalan atau batuk.
Region Pengkajian untuk mengidentifikasi letak Bila letak apendiks retrosekal
radiation, relief nyeri secara tepat, adanya radiasi dan retroperitoneal, karena letaknya
penyebaran nyeri. terlindung oleh sekum, tanda
 Di mana (dan tunjukan dengan nyeri perut kanan bawah tidak
satu jari) rasa nyeri paling hebat begitu jelas dan tidak ada tanda
mulai dirasakan? rangsangan peritoneal. Rasa
 Apakah rasa nyeri menyebar pada nyeri lebih ke arah perut sisi
area sekitar nyeri? kanan atau nyeri timbul pada
saat berjalan karena kontraksi
otot psoas yang menegang dari
dorsal.
Apendiks yang terletak di
rongga pelvis, bila meradang
dapat menimbulkan gejala dan
tanda rangsangan sigmoid atau
rektum sehingga peristaltis
meningkat, serta pengosongan
rektum akan menjadi lebih cepat
dan berulang-ulang. Jika
apendiks tadi menempel ke
kandung kemih, dapat terjadi
peningkatan frekuensi BAK
karena adanya rangsangan pada
dindingnya.
Severity (scale) Pengkajian untuk menentukan seberapa Skala nyeri pada pasien ulkus
of pain jauh rasa nyeri yang dirasakan pasien. peptikum bervariasi pada
Pengkajian ini dapat dilakukan rentang 3-4 (nyeri berat sampai
berdasarkan skala nyeri/gradasi dan nyeri tak tertahankan).
pasien menerangkan seberapa jauh rasa Perbedaan skala nyeri ini
sakit memengaruhi kemampuan dipengaruhi oleh berbagai faktor
fungsinya. Berat ringannya suatu keluhan , meliputi: tingkat kerusakan
nyeri bersifat subjektif. mukosa akibat peradangan
 Seberapa berat keluhan nyeri yang apendiks dan bagaimana pola
dirasakan. pasien dalam menurunkan
 Dengan menggunakan rentang 0-4 respons nyeri.
biarkan pasien akan menilai
seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan.
Keterangan:
0 = tidak ada nyeri
1 = nyeri ringan
2 = nyeri sedang
3 = nyeri berat
4 = nyeri berat sekali/tidak tertahankan.
Time Pengkajian untuk mendeteksi berapa lama Keluhan nyeri terjadi pada
nyeri berlangsung, kapan, apakah beberapa pasien bervariasi.
bertambah buruk pada malam hari atau Onset nyeri biasanya mulanya
siang hari. samar-samar seperti perasaan
 Kapan nyeri muncul (onset)? tidak nyaman pada abdomen
 Tanyakan apakah gejala timbul dan pasien sulit memprediksi
mendadak, perlahan-lahan atau keluhan samar-samar mulai
seketika itu juga? dirasakan. Pada keluhan nyeri
 Tanyakan apakah gejala-gejala akut, pasien dapat menjelaskan
timbul secara terus-menerus atau kapan mulai dirasakan.
hilang timbul (intermiten). Keluhan nyeri akut biasanya
 Tanyakan kapan terakhir kali mendadak, nyeri hebat para
pasien merasa nyaman atau paraumbilikal tanpa ada batasan
merasa sangat sehat. waktu.

Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang di dapatkan adanya keluhan lain yaitu
efek sekunder dari peradangan apendiks, berupa gangguan gastrointestinal seperti mual,
muntah, ketidaknyamanan abdomen, diare, dan anoreksia. Kondisi muntah dihubungkan
dengan inflamasi dan iritasi dari apendiks dengan nyeri menyebar ke bagian dekat
doudenum, yang menghasilkan mual dan muntah (Atassi, 2002). Keluhan sistemik biasanya
berhubungan dengan kondisi inflamasi di mana didapatkan adanya peningkatan suhu tubuh.
Pengkajian riwayat penyakit dahulu diperlukan sebagai sarana dalam pengkajian
preoperatif untuk menurunkan risiko pembedahan, seperti pengkajian adanya DM,
hipertensi, tuberkulosis, atau kelainan hematologis.

Pengkajian psikososial biasanya didapatkan kecemasan kecemasan akan nyeri hebat


atau akibat respons pembedahan. Pada beberapa pasien juga didapatkan mengalami
ketidakefektifan koping berhubungan dengan perubahan peran dalam keluarga.

Pada pemeriksaan fisik, survei umum akan di dapatkan adanya aktivitas kesakitan
hebat sekunder dari ketidaknyamanan abdominal. Pada pemeriksaan TTV didapatkan
takikardi dan peningkatan frekuensi napas. Sementara itu, pada kondisi pediatrik
didapatkan perubahan fisik yang lebih berat daripada orang dewasa.

B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan respons inflamasi apendiks, kerusakan jaringan lunak
pascabedah.
2. Pemenuhan informasi berhubungan dengan adanya evaluasi diagnostik, rencana
pembadahan apendektomi.
3. Aktual/risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kurangnya asupan makanan yang adekuat.
4. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya port de entree luka pascabedah.
5. Hipertensi berhubungan dengan respon sistemik dari inflamasi gastrointestinal.
6. Kecemasan berhubungan dengan prognosis penyakit, rencana pembedahan.
C. Intervensi

Nyeri berhubungan dengan respons inflamasi apendiks, kerusakan jaringan pascabedah


Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jan nyeri berkurang/hilang atau teradaptasi
Kriteria evaluasi:
- Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi.
- Skala nyeri 0-1 (0-4).
- Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri; pasien
tidak gelisah.
Intervensi Rasional
Kaji respon nyeri dengan pendekatan Pendekatan komprehensif untuk menentukan
PQRST rencana intervensi
Lakukan manajemen nyeri keperawatan :
 Istirahatkan pasien pada saat nyeri - Istirahat secara fisiologis akan
muncul menurunkan kebutuhan oksigen yang di
perlukan untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme basal.

 Atur posisi semifowler - Posisi ini mengurangi tegangan pada


insisi dan organ abdomen yang
membantu mengurangi nyeri.

 Dorong ambulasi dini - Meningkatkan normalisasi fungsi organ


(merangsang peristaltik dan flatus) dan
menurunkan ketidaknyamanan abdomen.

 Beli oksigen nasal - Pada fase nyeri hebat skala nyeri 3 (0-4),
pemberian oksigen nasal 3 liter/menit
dapat meningkatkan intake oksigen
sehingga akan menurunkan nyeri
sekunder dari iskemia pada intestinal.

 Ajarkan teknik distraksi pada saat - Distraksi (pengalihan perhatian) dapat


nyeri menurunkan stimulus internal.

 Manajemen lingkungan tenang, - Lingkungan tenang akan menimbulkan


batasi pengunjung, dan istirahatkan stimulus nyeri eksternal dan pembatasan
pasien. pengunjung akan membantu
meningkatkan kondisi oksigen ruangan
yang akan berkurang apabila banyak
pengunjung yang berada di ruangan.
Istirahat akan menurunkan kebutuhan
oksigen jaringan perifer.
- Manajemen sentuhan pada saat nyeri
 Lakukan manajemen sentuhan. berupa sentuhan dukungan psikologis
dapat membantu menurunkan nyeri.

Tingkatkan pengetahuan tentang: sebab- Pengetahuan yang akan di rasakan membantu


sebab nyeri dan menghubungkan berapa mengurangi nyerinya dan dapat membantu
lama nyeri akan berlangsung mengembangkan kepatuhan pasien terhadap
rencana terapeutik
Kolaborasi dengan tim medis pemberian Analgetik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri
analgetik akan berkurang.

Pemenuhan informasi berhubungan dengan adanya rencana pembedahan, dan rencana


perawatan rumah
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam informasi kesehatan terpenuhi
Kriteria evaluasi:
- Pasien mampu menjelaskan kembali pendidikan kesehatan yang di berikan
- Pasien termotivasi untuk melaksanakan penjelasan yang telah di berikan
Intervensi Rasional
Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang Tingkat pengetahuan di pengaruhi oleh kondisi
pembedahan apendiktomi dan rencana sosial ekonomi pasien. Perawat menggunakan
perawatan rumah. pendekatan yang sesuai dengan kondisi individu
pasien. Dengan mengetahui tingkat pengetahuan
tersebut perawat dapat lebih terarah dalam
memberikan pendidikan yang sesuai dengan
pengetahuan pasien secara efisien dan efektif.
Cari sumber yang meningkatkan penerimaan Keluarga terdekat dengan pasien perlu dilibatkan
informasi dalam pemenuhan informasi untuk menurunkan
resiko misinterpretasi terhadap informasi yang di
berikan khususnya pada pasien yang mengalami
pendarahan sekunder dari perforasi ulkus
pepetikum.
Jelaskan dan lakukan pemenuhan atau
persiapan pembedahan, meliputi:
 Jelaskan tentang pembedahan - Apendektomi merupakan suatu intervensi
apendektomi bedah yang mempunyai tujuan bedah
ablatif atau melakukan pengangkatan
bagian tubuh yang mengalami masalah
atau mempunyai penyakit

 Diskusikan jadwal pembedahan - Pasien dan keluarga harus diberitahu


waktu di mulainya pembedahan. Apabila
rumah sakit mempunyai jadwal kamar
operasi yang padat, lebih baik pasien dan
keluarga diberitahu tentang banyaknya
jadwal operasi yang telah ditetapkan
sebelum pasien.

 Lakukan pendidikan kesehatan - Setiap pasien di ajarkan sebagai seorang


preoperatif. individu, dengan mempertimbangkan
segala keunikan ansietas, kebutuhan dan
harapan-harapannya.
Beritahu persiapan pembedahan, meliputi:
 Pencukuran area operasi - Pencukuran area operasi dilakukan
apabila protokol lembaga atau ahli bedah
mengharuskan kulit untuk dicukur,
pasien di beritahu tentang prosedur
mencukur, di baringkan dalam posisi
yang nyaman, dan tidak memajan bagian
yang tidak perlu.

 Persiapan puasa - Puasa preoperatif idealnya 6-8 jam


sebelum intervensi bedah.

 Persiapan istirahat dan tidur - Istirahat merupakan hal yang penting


untuk penyembuhan normal.
Perawat harus memberi lingkungan yang
tenang dan nyaman untuk pasien.

 Persiapan administrasi dan informed - Pasien sudah menyelesaikan administrasi


consent dan mengetahui secara finansial biaya
pembedahan. Pasien sudah mendapat
penjelasan dan menandatangani informed
consent.
Beritahu pasien dan keluarga kapan pasien Pasien akan mendapat manfaat bila mengetahui
sudah bisa di kunjungi kapan keluarganya dan temannya dapat
berkunjung setelah pembedahan.
Beri informasi tentang manajemen nyeri Manajemen nyeri dilakukan untuk peningkatan
keperawatan kontrol nyeri pada pasien
Berikan informasi pada pasien yang akan
menjalani perawatan rumah, meliputi:
 Hindari merokok - Pasien yang sebelum pembedahan telah
terbiasa merokok. Setelah pulang
kerumah akan mengulangi kebiasaan ini.
Penjelasan bahwa dampak dari asap
rokok akan memperlambat proses
penyembuhan mungkin akan dapat
diterimaoleh pasien.

 Beri penyuluhan terhadap pasien - Apabila apendiktomi tidak mengalami


pasca-apendektomi tanpa komplikasi komplikasi, pasien dapat di pulangkan
pada hari itu juga bila suhu dalam batas
normal dan area operatif terasa nyaman.
Penyuluhan saat pulang untuk pasien dan
keluarga sangat penting. Pasien
diinstruksikan untuk membuat janji
menemui ahli bedah yang akan
mengangkat jahitan antara hari kelima
dan ketujuh. Perawatan insisi dan
pedoman aktivitas didiskusikan.
Aktivitas normal biasanya dapat
dilakukandalam 2-4 minggu.

 Ajarkan pasien dan keluarga untuk - Apabila pasien siap untuk pulang, pasien
melakukan pergantian balutan dan keluarga dapat diajarkan untuk
pascabedah merawat luka dan melakukan pergantian
balutan, serta irigasi sesuai program.
Perawat kesehatan di rumah mungkin
diperlukan untuk membantu perawatan
ini dan memantau pasien terhadap adanya
komplikasi dan penyembuhan luka.

 Anjurkan untuk semampunya - Beberapa agen nyeri farmakologik


melakukan manajemen manajemen biasanya memberikan reaksi negatif pada
nyeri nonfarmakologik pada saat gastrointestinal.
nyeri muncul
 Beritahu pasien dan keluarga apabila - Pasca-apendiktomi tanpa komplikasi,
di dapatkan perubahan klinik atau pasien akan langsung pulang setelah
komplikasi untuk segera fungsi usus dan kesadaran normal. Pasien
memeriksakan diri dan keluarga di ajarkan untuk memeriksa
sendiri mengenai nadi dan kondisi
balutan dirumah. Apabila ada perubahan
pada denyut nadi dan perubahan warna
pada balutan ini merupakan suatu tanda
komplikasi yang harus segera
mendapatkan intervensi medis.
Komplikasi pasca-apendiktomi utama
adalah infeksi luka bedah dengan
ditandai kemerahan sekitar luka, nyeri
abdomen, muntah, dan peningkatan
denyut nadi.

Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya port den entree dari luka pembedahan
Tujuan: Dalam waktu 12 x 24 jam tidak terjadi infeksi, terjadi perbaikan pada integritas jaringan
lunak.
Kriteria evaluasi:
 Jahitan di lepas pada hari ke-12 tanpa adanya tanda-tanda infeksi dan peradangan pada
area luka pembedahan, leukosit dalam batas normal, TTV dalam batas normal.
Intervensi Rasional
Kaji jenis pembedahan, hari pembedahan, Mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan
dan apakah ada order khusus dari tim dokter dari tujuan yang diharapkan.
bedah dalam melakukan perawatan luka
Buat kondisi balutan dalam keadaan bersih Kondisi bersih dan kering akan menghindari
dan kering. kontaminasi komensal dan akan menyebabkan
respons inflamasi lokal dan akan memperlama
penyembuhan luka.
Lakukan perawatan luka:
 Lakukan perawatan luka steril pada Perawatan luka sebaiknya tidak setiap hari untuk
hari kedua pascabedah dan diulang menurunkan kontak tindakan dengan luka yang
setiap 2 hari dalam kondisi steril sehingga mencegah
kontaminasi kuman ke luka bedah.

 Bersihkan luka dan drainase dengan Pembersian debris (sisa fagositosis, jaringan
cairan antiseptik jenis iodine mati)dan kuman sekita luka dengan
providum dengan cara swabbing dari mengoptimalkan kelebihan dari iodine providum
arah dalam ke luar. sebagai antiseptik dan dengan arah dari dalam ke
luar dapat mencegah kontaminasi kuman dari
jaringan luka.

 Bersikan bekas sisa iodine providum Antiseptik iodine providum mempunyai


dengan alkohol 70% atau normal kelemahan dalam menurunkan proses epitalisasi
salin dengan cara swabbing dari arah jaringan sehingga memperlambat pertumbuhan
dalam keluar. luka, maka harus di bersihkan dengan alkohol
atau normal salin.

 Tutup luka dengan kasa steril dan Penutupan secara menyeluruh dapat menghindari
tutup dengan plester adhesif yang kontaminasi dari benda atau udarayang
menyeluruh menutupi kasa. bersentuhan dengan luka bedah.
Kolaborasi penggunaan antibiotik. Antibiotik injeksi diberikan selama satu hari
pascabedah yang kemudian di lanjutkan
antibiotik oral sampai jahitan dilepas.
Peran
DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Hlm 827-829.

Teddy Septianto, dkk. 2010. Buku Panduan Praktikum Anatomi. Surakarta: Laboratorium
Anatomi dan Embriologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Andra & Yessie. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Dewasa Teori dan
Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika

Carpenito J.L. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10 Jakarta: EGC

Dermawan, Deden, dkk. 2010. Keperawatan Medikal Bedah (Sistem Pencernaan).


Yogyakarta : Gosyen Publishing

Muttaqin, Arif dkk. 2013. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Keperawatan


Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika

Price, Sylvia Anderson.2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses - proses Penyakit. Jilid
6. Jakarta: EGC

Price, Sylvia A & Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Edisi 6. Volume 2. Jakarta :EGC

Smeltzer, S. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2
Edisi 8. Jakarta : EGC

Tamsuri. 2006. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC

Das könnte Ihnen auch gefallen