Sie sind auf Seite 1von 15

RANGKUMAN MATERI KULIAH

I. Materialitas
A. Materialitas Dalam Konteks Audit
Kerangka pelaporan keuangan seringkali membahas konsep materialitas dalam konteks
penyusunan dan penyajian laporan keuangan. Walaupun kerangka pelaporan keuangan
mungkin membahas materialitas dengan menggunakan istilah yang berbeda-beda, kerangka
tersebut secara umum menjelaskan bahwa:
 Salah saji, termasuk penghilangan, dianggap material bila salah saji tersebut, secara
individual atau agregat, diperkirakan dapat memengaruhi keputusan ekonomi yang
diambil berdasarkan laporan keuangan oleh pemakai laporan keuangan tersebut;
 Pertimbangan tentang materialitas dibuat dengan memerhitungkan berbagai kondisi yang
melingkupinya dan dipengaruhi oleh ukuran atau sifat salah saji, atau kombinasi
keduanya; dan
 Pertimbangan tentang hal-hal yang material bagi pemakai laporan keuangan didasarkan
pada pertimbangan kebutuhan informasi keuangan yang umum yang diperlukan oleh
pemakai laporan keuangan sebagai suatu grup.2 Kemungkinan dampak salah saji
terhadap pemakai laporan keuangan individual tertentu, yang kebutuhannya beragam,
tidak dipertimbangkan.
Konsep materialitas diterapkan oleh auditor pada tahap perencanaan dan pelaksanaan
audit, serta pada saat mengevaluasi dampak kesalahan penyajian yang teridentifikasi dalam
audit dan kesalahan penyajian yang tidak dikoreksi, jika ada, terhadap laporan keuangan dan
pada saat merumuskan opini dalam laporan auditor.
Penentuan materialitas oleh auditor membutuhkan pertimbangan professional, dan
dipengaruhi oleh persepsi auditor tentang informasi keuangan oleh para pengguna laporan
keuangan. Dalam konteks ini, adalah masuk akal bagi auditor untuk mengasumsikan bahwa
pengguna laporan keuangan :
a. Memiliki suatu pengetahuan memadai tentang aktivitas bisnis dan ekonomi serta
akuntansi dan kemauan untuk mempelajari informasi yang ada dalam laporan
keuangan dengan cermat.
b. Memahami bahwa laporan keuangan disusun; disajikan dan diaudit berdasarkan
tingkat materialitas tertentu;

1
c. Mengakui adanya ketidakpastian bahwa dalam pengukuran suatu jumlah yang
ditentukan berdasarkan penggunaan estimasi, pertimbangan dan pertimbangan masa
depan;
d. Membuat keputusan ekonomi yang masuk akal berdasarkan informasi dalam laporan
keuangan.

B. Tahapan Dalam Penerapan Materialitas


Konsep materialitas diterapkan oleh auditor pada tahap perencanaan dan pelaksanaan
audit, serta pada saat mengevaluasi dampak kesalahan penyajian yang teridentifikasi dalam
audit dan kesalahan penyajian yang tidak dikoreksi, jika ada, terhadap laporan dan pada saat
merumuskan opini dalam laporan auditor.
Auditor biasanya melakukan lima langkah dalam menerapkan materialitas sebagai
berikut :
1. Menetapkan materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan
2. Menentukan materialitas pelaksanaan
3. Memperkirakan total kesalahan penyajian dalam segmen
4. Memperkirakan keseluruhan kesalahan penyajian
5. Membandingkan taksiran keseluruhan dengan kebijakan awal materialitas
Menetapkan materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan
Standar auditing (SA 320.10) menyatakan bahwa “pada saat penetapan strategi audit
secara keseluruhan, auditor harus menentukan materialitas untuk laporan keuangan keuangan
secara keseluruhan”. Hal ini disebut pertimbangan awal materialitas. Disebut demikian
karena meskipun opini ditetapkan secara profesioanl, namun hal itu bisa berubah ketika
pengauditan sedang berlangsung. Alasan penetapan suatu pertimbangan awal tentang tingkat
materialitas adalah untuk membantu auditor merencanakan bukti audit yang memadai yang
harus dikumpulkan.
Auditor seringkali mengubah kembali pertimbangan awalnya tentnag tingkat materialitas
selama berlangsungnya proses audit. Ketika hal tersebut dilakukan, pertimbangan yang baru
itu disebut revisi atas pertimbangan tentang materialitas. Alasan-alasan dipergunakannya
revisi pertimbangan dapat mencakup karena adanya perubahan salah satu faktor yang
dipergunakan dalam menetukan pertimbangan awal atau karena adanya kebijaksanaan akibat
dari auditor bahwa pertimbangan awal ternyata bernilai terlalu besar atau terlalu rendah.

2
Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Pada Kebijakan Awal Materialitas
Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi pada kebijakan awal materialitas yang ditetapkan
auditor untuk laporan keuangan yang akan diauditnya. Beberapa faktor terpenting adalah :
1. Materialitas lebih merupakan Konsep yang Relatif bukannya Absolut  Kesalahan
penyajian atas besaran tertentu mungkin saja bersifat material bagi perusahaan skala
kecil, sedangkan kesalahan penyajian dengan jumlah dolar yang sama, bagi perusahaan
lainnya yang berskala besar, dapat bersifat tidak material. Oleh karena itu tidaklah
mungkin menetapkan panduan atas beberapa nilai dolar untuk pertimabngan awal
tentang tingkat materialitas yang dapat diterapkan bagi semua klien audit.
2. Sejumlah Dasar Pertimbangan Diperlukan untuk Mengevaluasi Tingkat Materialitas 
Karena tingkat materialitas ini bersifat relatif, adalah hal yang wajib untuk memiliki
sejumlah dasar pertimbangan agar dapat menentukan apakah kesalahan penyajian
tersebut bernilai material. Laba bersih sebelum pajak umumnya merupakan dasar
pertimbangan utama yang digunakan untuk menetukan tingkat materialitas karena item
ini dianggap sebagai item penting dalam penyediaan informasi kepada para pengguna
laporan keuangan. Contoh-contoh item yang dijadikan dasar pertimbangan lainnya
adalah nilai penjualan bersih, laba kotor, serta total aktiva. Dalam membangun suatu
dasar pertimbangan, merupakan hal yang penting pula untuk memutuskan apakah
kesalahan saji yang ada, secara material, dapat mempengaruhi kewajaran dari berbagai
dasar pertimbangan lainnya yang mungkin dipilih seperti aktiva lancar, total aktiva
lancar, total aktiva, kewajiban lancar dan modal pemegang saham.
3. Faktor-faktor Kualitatif pun Mempengaruhi Tingkat Materialitas  Beberapa jenis
salah saji tertentu seringkali lebih penting bagi para pengguna laporan dibandingkan
dengan sejumlah salah saji jenis lainnya, walaupun jika ternyata nilai dolar dari seluruh
salah saji tersebut sama nilainya, contoh:
 Nilai-nilai yang melibatkan kecurangan seringkali dianggap lebih penting daripada
sejumlah nilai yang sama tetapi diakibatkan oleh kekeliruan yang tidak disengaja
karena perbuatan kecurangan tersebut merefleksikan kejujuran serta reliabilitas
manajemen atau karyawan lainnya yang terlibat
 Kesalahan penyajian yang kecil dapat bersifat material jika terdapat kemungkinan
timbulnya berbagai konsekuensi atas sejumlah kewajiban kontrak.
 Kesalahan penyajian yang sebenarnya tidak material dapat berubah menjadi material
jika kesalahan penyajian tersebut mempengaruhi tren pendapatan.

Penggunaan Tolak Ukur Dalam Menetukan Materialitas Untuk Laporan Keuangan Secara
Keseluruhan

3
Penentuan materialitas membutuhkan penggunaan pertimbangan professional. Sebagai
langkah awal dalam menentukan materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan,
presentase tertentu seringkali diterapkan pada suatu tolak ukur yang telah dipilih. Faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi proses identifikasi suatu tolak ukur yang dapat mencakup :
 Unsur-unsur laporan keuangan (sebagai contoh, asset, liabilitas, ekuitas, pendapatan,
beban)
 Apakah terdapat unsur-unsur yang menjadi perhatian khusus para pengguna laporan
keuangan suatu entitas tertentu (sebagai contoh, untuk pengevaluaisan kinerja keuangan,
penggunaan laporan keuangan cenderung akan focus pada laba, pendapatan, maupun
asset bersih)
 Sifat entitas, posisi entitas dalam siklus hidupnya, dan industry serta lingkungan ekonomi
yang didalamnya entitas tersebut beroperasi
 Struktur kepemilikan dan pendanaan entitas ( sebagai contoh, jika pendanaan sebuah
entitas hanya dari utang dan bukan dari ekuitas, maka penggunaan laporan keuangan
akan lebih menekannkan pada asset dan kliam atas asset tersebut daripada pendapatan
ekuitas)
 Fluktuasi relative tolak ukur tersebut.
Menetukan materialitas pelaksanaan
Standar auditing (SA 320.9) merumuskan materialitas pelaksanan sebagai berikut :
Materialitas pelaksanaan (performance materiality) adalah suatu jumlah yang ditetapkan oleh
auditor, pada tingkat yang lebih rendah daripada materialitas untuk laporan keuangan secara
keseluruhan, untyk mengurangi ke tingkat rendah yang semestinya kemungkinan kesalahan
penyajian yang tidak dikoreksi dan yang tidak terdeteksi yang secara agreget melebihi
materialitas untuk laporan keuangan ecara keseluruhan. Jika berlaku, materialitas
pelaksanaan dapat ditetapkan oleh auditor pada jumlah yang lebih endah daripada
materialitas golongan transaksi, saldo akun atau pengungkapan tertentu.
Penentuan materialitas pelaksaan diperlukan karena auditor mengumpulkan bukti per
segmen bukan untyk laporan keuangan secara keseluruhan, dan tingkat meterialitas
pelaksanaan membantu dalam menetukan bukti audit yang tepat yang harus dikumpulan.
Materialitas pelaksanaan berhubungan terbalik dengan jumlah bukti yang harus dikumpulkan
auditor. Proses penentuan materialitas pelaksanaan disebut sebagai proses pengalokasian
pertimbangan awal tentang meterialitas le segmen-segmen.

4
Alokasi pertimbangan awal tingkat materialitas ke segmen-segmen (tahap ke-2 dalam
penerapan materialitas) merupakan hal yang wajib dilakukan karena bukti-bukti audit
terkumpul berdasarkan segmen bukannya terkumpul berdasarkan laporan keuangan secara
keseluruhan. Jika auditor telah memiliki pertimbangan awal tentang tingkat materialitas tiap
segmen, pertimbangannya tersebut akan sangat membantu auditor dalam memutuskan bukti
audit apa yang yang tepat untuk dikumpulkan.
Mayoritas praktisi mengaokasikan tingkat materialitas ke akun-akun neraca daripada
mengalokasikannya ke akun-akun laporan laba rugi. Sebagian besar slah saji yang terkandung
dalam laporan laba rugi memiliki tingkat pengaruh yang sama besar dengan akun-akun
neraca, akibat dari berlakunya sistem pembukuan double-entry. Oleh karena itu, auditor dapat
mengalokasikan tingkat materialitas baik ke akun-akun laporan laba rugi atau ke akun-akun
neraca.
Terdapat tiga kesulitan utama dlam upaya mengalokasikan tingkat materialitas ke akun-
akun neraca (segmen-segmen): auditor memiliki ekspektasi bahwa sejumlah akun tertentu
mengandung lebih banyak salah saji daripada akun-akun lainnya, baik salah saji lebih
(overstatment) maupun salah saji kurang (understatement) harus tetap dipertimbangkan, dan
biaya-biaya audit secara relatif mempengaruhi pengalokasian ini.
Memperkirakan kesalahan penyajian dan membandingkan dengan kebijakan awal
Dua tahap pertama dalam penerapan materialitas berkaitan dengan perencanaan. Tiga
tahapan lainnya merupakan pelaksanaan pengujian audit.
Pada saat auditor melaksanakan prosedur audit untuk setiap segmen audit, auditor
mendokumentasikan semua kesalahan penyajian yang ditemukannya. Kesalahan penyajian
dalam satu akun bisa terdiri dari dua tipe, yaitu kesalahan penyajian diketahui (known
misstatement) dan kesalahan penyajian diperkirakan (likely misstatement). Kesalahan
penyajian diketahui adalah kesalahan penyajian dalam akun yang bisa ditentukan jumlahnya.
Sebagai contoh, ketika mengaudit asset tetap, auditor menjumpai adanya leaset aset yang
dikapitalisasi, padahal seharusnya diperlakuakan sebagai beban karena merupakan operating
asset. Ada dua tipe kesalahan penyajian diperkirakan, petama adalah kesalahan penyajian
yang timbul dari perbedaan pertimbangan yang dibuat auditor dengan pertimbangan
manajemen dalam menaksir saldo akun. Sebagai contoh adalah perbedaan daalam menaksir
cadangan kerugian piutang atau kewajiban garansi. Kedua adalah proyeksi kesalaha
penyajian yang didasarkan pada pengujian auditor atas suatu sampel dari populasi. Sebagai
contoh, misalnya auditor menemukan 6 kesalahan penyajian yang dibuat klien dalam suatu
smapel yang terdiri dari 200 dalam pengujian harga perolehan persediaan. Auditor
5
menggunakan temuan kesalahan penyajian ini untuk menaksir total perkiraan kesalahan
penyajian dalam persedian (tahap 3). Jumlah total ini disebut suatu “proyeksi” atau
“ekstrapolasi” karena yang diaudit hanya suatu sampel, tidak keseluruhan populasi. Jumlah
proyeksi kesalahan penyajian untuk setiap akun dikumpulkan dalam kertas kerja (tahap 40,
dan selanjutnya gabungan seluruh kesalahan penyajian ini dibandingkan dengan materialitas
(tahap 5).

II. Risiko Audit


Standar audit (SA 315) mewajibkan auditor untuk mendapatkan pemahaman tentang
entitas dan lingkungannya, termasuk pengendalian internal, untuk menetapkan risiko
kesalahan penyajian material dalam laporan keuangan klien.
Auditor yang efektif mengakui tentang adanya risiko dan mengelola risiko tersebut
dengan cara yang tepat. Banyak risiko yang sulit diukur dan membutuhkan pertimbangan
yang cermat sebelum auditor dapat menanggulangi dengan tepat. Tanggapan terhadap risiko-
risiko secara tepat adalah sesuatu yang kritikal untuk mencapai audit berkualitas tinggi.
A. Model Risiko Audit Untuk Perencanaan
Resiko kesalahan material didefinisikan dalam standar audit (SA 200.13. (n)) sebagai
berikut : risiko bahwa laporan keuangan mengandung kesalahan penyajian material sebelum
audit dilakukan. Risiko kesalahan penyajian material dapat terjadi di dua tingkat :
1. Tingkat laporan keuangan secara keseluruhan
2. Tingkat asersi untuk golongan transaksi, saldo, akun, dan pengungkapan
Risiko kesalahan penyajian material pada tingkat laporan keuangan secara keseluruhan
mengacu ke risiko kesalahn penyajian material yang berdampak luas terhadap laporan
keuangan secara keseluruhan dan berpontensi memengaruhi banyak asersi.
Risiko kesalahan penyajian material pada tingkat sersi diniali untuk menentukan sifat,
saat, dan luas prosedur audit yang diperlukan untuk memperoleh bukti audit yang cukup dan
tepat. Bukti audit tersebut memungkinkan auditor untuk menyatakan opini atas laporan
keuangan pada tingkay rendah yang diterima. Risiko kesalahan material pada tingkat asersi
terdiri dari dua komponen, yaitu: risiko inheren dan risiko pengendalian.
Penilaian risiko auditor atas risiko kesalahan penyajian material pada tingkay asersi
dapat berubah selama pelaksanaan audit, sejalan dengan diperolehnya bukti audit tambahan.
Dalam kondisi ketika auditor memperoleh bukti audit dari prosedur audit lanjutan, atau ketika
informasi baru diperoleh, yang kedua bukti tersebut tidak konsisten dengan bukti audit awal

6
yang menjadi dasar penilaian, auditor harus merevisi penilaian tersebut, dan oleh karena itu
memodifikasi prosedur audit lanjutan yang direncanakan sebelumnya.
Auditor menggunakan beberapa pendekatan untuk mencapai tujuan penilaian risiko
kesalahan penyajian material. Salah satu pendekatan yang banyak digunakan para auditor
adalah dengan menggunakan suatu model yang menggambarkan hubungan umum berbagai
komponen risiko audit dalam istilah matematis untuk mencapai tingkay risiko deteksi yang
dapat diteriman yang disebut model risiko audit. Model tersebut berguna untuk
merencanakan prosedur audit.
Model risiko audit membnatu auditor dalam menentukan berapa banyak dan jenis bukti
apa yang harus dikumulkan pada setiap siklus. Model rsiko audit biasanya dinyatakan sebagai
berikut.
Keterangan :
AR = IR x CR x DR AR = Risiko Audit
Atau IR = Risiko Inheren

AR CR = Risiko Pengendalian
DR = DR = Risiko Deteksi
IR x CR

B. Komponen-Komponen Model Risiko Audit


1. Risiko Deteksi
Standar audit {SA 200.13(e)} mendefinisikan risiko deteksi sebagai berikut : Risiko
deteksi adalah risiko bahwa prosedur yang dilaksanakan oleh auditor untuk menurunkan
risiko audit ke tingkat rendah yang dapat diteriman tidak dapat mendeteksi suatu kesalahan
penyajian yang ada dan yang mungkin material, baik secara individual maupun secara
kolektif ketika digabungkan dengan kesalahan penyajian lainnya. Terdapat dua poin utama
tentang risiko deteksi yaitu sebagai berikut :

1. Risiko ini tergantung pada ketiga faktor lainnya yang terdapat dalam model. Risiko
deteksi terencana hanya akan berubah jika auditor melakukan perubahan pada salah
satu dari ketiga faktor lainnya tersebut.

2. Risiko ini menentukan nilai substantif yang direncanakan oleh auditor untuk
dikumpulkan, yang merupakan kebalikan dari ukuran risiko deteksi terencana itu
sendiri.

Jika nilai risiko deteksi terencana berkurang, maka auditor harus mengumpulkan lebih
banyak bukti audit untuk mencapai nilai risiko deteksi yang berkurang ini.

7
2. Risiko Inheren
Standar audit {SA 200.13(n)} mendefinisikan risiko inheren sebagai berikut : Risiko
inheren adalah kerentanan suatu aserti tentang suatu golongan transaksi, saldo akun, atau
pengungkapan terhadap suatu kesalahan penyajian yang mungkin material, baik secara
individual maupun secara kolektif ketika digabungkan dengan kesalahan penyajian lainnya,
sebelum mempertimbangkan pengendalian internal yang terkait.
Dengan kata lain, risiko inheren adalah penilaian auditor mengenai kemungkinan adanya
kesalahan penyajian material yang disebabkan karena kekeliruan atau kecurangan sebelum
mempertimbangkan efektivitas pengendalian internal. Apabila auditor bekesimpulan bahwa
kemungkinan besar terdapat kesalahan penyajian, maka auditor akan berkesimpulan bahwa
risiko inherennya tinggi. Pada saat mempertimbangkan risiko inheren, pengendalian internal
kitakesampingkan karena dalam model risiko audit, pengendalian internal dipertimbangkan
tersendiri sebagai risiko pengendlaian.
3. Risiko Pengendalian
Standar audit {SA 200.13 (n)} mendefinisikan risiko pengendalian sebagai berikut :
Risiko pengendalian: Risiko bahwa suatu kesalahan penyajian yang mungkin terjadi dalam
suatu asersi tentang suatu golongan transaksi, saldo akun, ayau pengungkapan yang mungkin
material, baik secara individual maupun secara kolektif ketika digabungkan dengan kesalahan
penyajian lainnya, tidak akan dapat dipecah, atau dideteksi atau dikoreksi, secara tepat waktu
oleh pengendalian internal entitas.
Dengan kata lain, risiko pengendalian mengukur penilaian auditor tentang apakah
kesalahan penyajian yang melebihi jumlah kesalahan penyajian bisa ditoleransi pada suatu
segmen akan dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh sistem pengendalian
internal klien.
4. Risiko Audit
Standar audit {SA 200.13 (c)} mendefinisikan risiko audit sebagai berikut : Risiko audit:
risiko bahwa auditor menyatakan suatu opini audit yang tidak tepat ketika laporan keuangan
mengandung kesalahan penyajian material. Risiko audit merupakan suatu fungsi kesalahn
penyajian material dan risiko deteksi.
Dengan perkataan lain, risiko audit adalah ukuran tentang seberapa besar auditor
bersedia meneriman bahwa laporan keuangan mungkin mengandung kesalahan penyajian
material setelah audit selesai dikerjakan dan memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian.
Apabila auditor memutuskan untuk menurunkan risiko audit, hal itu berarti bahwa auditor
ingin lebih pasti bahwa laporan keuangan tidak mengandung kesalahan penyajian material.
8
Perbedaan antara risiko-risiko dalam model risiko audit
Ada perbedaan besar dalam hal bagaimana auditor menilai keempat faktor risiko audit
dalam model risiko tunggal. Untuk risiko audit yang bisa diterima, auditor memutuskan nya
sesuai dengan kesediaan kantor akuntan menerima risiko bahwa laporan keuangan
mengandung kesalahan penyajian setelah audit selesai dikerjakan, berdasarkan beberapa
faktor yang menyangkut klien.
Risiko inheren dan risiko pengendalian didasarkan pada dugaan auditor atau prediksi
tentang kondisi klien. Risiko deteksi sepenuhnya adalan dependen dari ketiga risiko yang
lain, dan karenanya hanya dapat ditentukan setelah auditor menetapkan ketiga risiko lainnya.

C. Menetapkan Risiko Audit Bisa Diterima


Auditor harus memutuskan risiko audit yang bisa diterima untuk suatu audit, terutama
pada tahap perencanaan audit. Pertama-tama auditor harus menetapkan risiko penugasan dan
selanjutnya menggunakan risiko penugasan untuk menetapkan risiko audit.
Dampak Risiko Penugasan Terhadap Risiko Audit Bisa Diterima
Risiko penugasan adalah risiko yang harus ditanggung auditor atau kantor akuntan setelah
suatu audit diselesaikan, walaupun laporan audit yang dibuat sudah benar. Risiko penugadan
berkaitan erat dengan risiko bisnis klien sebagaimana telah disinggung pada bab 6. Perlu
dicatat bahwa para auditor berbeda pendapat tentang apakah risiko penugasan perlu
dipertimbangkan atau tidak dalam perencanaan audit. Para penentang berargumentasi bahwa
auditor tidak memberi pendapat audit untuk berbagai tingkat keyakinan sehingga oleh
karenanya tidak perlu memberi keyakinan lebih atau kurang karena adanya risiko penugasan.
Para pendukung berargumentasi bahwa auditor seyogyanya mengumpulkan bukti tambahan,
menugaskan auditor yang lebih berpengalaman, dan meriew audit lebih cermat dalam audit
yang berpotensi besar digugat secara hukum atau tindakan perlawanan lain yang
mempengaruhi keberadaan auditor, sepanjang tingkat keyakinan tidak berada di bawah suatu
tingkat tinggi tertentu manakala terdapat risiko penugasan yang rendah.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko Audit Bisa Diterima
Apabila auditor memodifikasi bukti untuk risiko penugasan, hal itu dilakukan dengan
mengelola risiko audit. Suatu tingkat risiko audit yang rendah selalu didambakan, tetapi
dalam keadaan tertentu diperlukan risiko yang lebih rendah karena adanya faktor-faktor risiko
penugasan. Ada tiga faktor yang mempengaruhi risiko penugasan dan yang selanjutnya
berpengaruh pula pada risiko audit, yaitu :
1. Seberapa Jauh Pengguna Eksteren Mengandalkan Laporan Keuangan Auditan
9
Apabila pengguna eksteren sangat mengandalkan laporan keuangan auditan, sebaliknya
tingkat risiko audit ditetapkan lebih rendah. Apabila laporan sangat diandalkan, bisa timbul
sejumlah bahaya sebagai akibat adanya kesalahan penyajian signifikan yang tetap tidak
terdeksi dalam laporan keuangan. Auditor akan bersedia untuk mengeluarkan biaya lebih
banyak untuk mendapatkan bukti tambahan apabila kerugian bagi pemakai sebagi akibat
kesalahan penyajian material diperkirakan substansial. Beberapa faktor bisa menjadi indicator
tentang seberapa jauh laporan diandalkan oleh pengguna eksteren :
 Ukuran Entitas  Semakin besar entitas yang diaudit, semakin besar pula kemungkinan
laporan digunakan.
 Distribusi Kepemilikan  Laporan keuangan entitas-entitas public biasanya menjadi
andalan lebih banyak pemakai dibandingkan dengan entitas tertutup.
 Sifat dan Jumlah Kewajian (Utang)  Apabila laporan berisi jumah utang yang besar,
laporan tersebut kemungkinan besar akan banyak digunakan oleh para kreditur
dibandingkan dengan apabila tidak berisi banyak utang.
2. Kemungkinan Klien Mengalami Kesulitan Keuangan Setelah Laporan Audit Diterbitkan
Apabila klien terpaksa mengalami kebangkrutan atau menderita kerugian besar setelah
audit diselesaikan, auditor kemungkinan besar akan berhadapan dengan tuntutan untuk
membuktikan kualitas audit yang telah dilakukannya. Tendensi yang sering terjadi pada
mereka yang kehilangan uang karena bangkrut adalah melakukan tuntutan kepada auditor.
Hal ini bisa diakibatkan oleh kualitas audit yang tidak memenuhi standar minimum atau bisa
juga karena niat pemakai laporan untuk menutup kerugian yang dideritanya walaupun audit
telah dilakukannya dengan baik.
Dalam situasi di mana auditor yakin bahwa terdapat kemungkinan besar terjadi kerugian
besar dan dengan demikian meningkatkan risiko penugasan, maka risiko audit bisa dikurangi.
Tidak mudah bagi auditor untuk memprediksi kegagalan keuangan sebelum hal itu terjadi,
tetapi beberapa faktor bisa menjadi indicator yang baik tentang kemungkinan terjadinya hal
tersebut.
 Posisi Likuiditas. Apabila klien sering mengalami kekurangan kas dan modal kerja, hal
itu menunjukkan kemungkinan terjadinya kesulitan membayar utang di masa depan.
 Laba (Rugi) Tahun-Tahun Lalu. Apabila perushaan mengalami penurunan laba yang
drastic, auditor harus menyadari kemungkinan terjadinya masalah solvabilitas yang akan
dihadapi klien.

10
 Metode Pendanaan. Semakin besar ketergantungan klien pada pinjaman untuk
memenuhi kebutuhan dananya, semakin besar pula risiko terjadinya kesulitan keuangan
apabila keberhasilan operasi perusahaan menurun.
 Sifat Operasi Klien. Jenis-jenis entitas tertentu memiliki risiko inheren yang besar
dibandingkan perusahaan lainnya.
 Kompetensi Manajemen. Manajemen yang kompeten akan selalu waspada terhadap
kesulitan keuangan potensial dan segera memodifikasi metode operasinya untuk
meminimumkan pengaruh masalah jangka pendek.
3. Evaluasi Auditor Tentang Integritas Manajemen
Perusahaan dengan integritas rendah sering melakukan kegiatan bisnis yang memicu
terjadinya konflik dengan pemegang saham, regulator, dan konsumen. Konflik-konflik
semaam itu bisa mempengaruhi kualitas audit yang diinginkan para pemakai laporan dan bisa
mengakibatkan tuntutan hukum serta percekcokan lainya. Manajemen yang pernah dihukum
karena tindakan kriminal di masa lampau adalah contoh yang jelas tentang integritas
manajemen yang dipertanyakan.
Membuat Keputusan Tentang Risiko Audit Bisa Diterima
Untuk menetapkan risiko audit bisa diterima, pertama-tama auditor harus menilai setiap
faktor yang mempengaruhi risiko audit bisa diterima. Setelah itu, dapt disimpulkan bahwa
penilaian atas setiap faktor sangat subyektif yang berarti bahwa penetapan risiko audit bisa
diterima juga sangat subyektif. Risiko audit biasanya dinyatakan dengaan istilah tinggi,
medium, dan rendah. Risiko audit yang rendah mengandung arti bahwa klien sangat berisiko
yang membutuhkan bukti lebih banyak, mengandung lebih banyak staf audit berpengalaman,
dan/atau review atas kerja audit yang lebih mendalam. Setelah audit berjalan, auditor akan
mendapatkan informasi lebih banyak tentang klien, dan risiko audit bisa diterima bisa
dimodifikasi.

D. Menilai Risiko Inheren


Dimasukannya risiko inheren kedalam model risiko audit merupakan konsep paling
penting dalam pengauditan. Hal itu berarti bahwa auditor harus berusaha memprediksi
dimana kesalahan penyajian paling mungkin dan mana yang paling kecil kemungkinannya
dalam laporan keuangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko inheren adalah :

11
1. Sifat bisnis klien. Risiko inheren untuk akun tertentu dipengruhi oleh sifat bisnis klien.
Sebagai contoh, pabrik peralatan elektronik berhadapan dengan kemungkinan keusangan
persediaan lebih besar dari pada pabrik baja.
2. Hasil dari audit sebelumnya. Kesalahan penyajian yang ditemukan dalam audit tahun
sebelumnya memiliki kemungkinan besar untuk terjadi lagi dalam audit tahun ini, karena
banyak tipe kesalahan penyajian yang sifatnya sistematik, dan organisasi seringkali
lambat melakukan perubahn untuk meniadakan kesalahan penyajian seperti itu.
3. Penugasan baru atau penugasan ulangan. Auditor mendapatkan pengalaman dan
pengetahuan tentang kemungkinan terjadinya kesalahan penyajian setelah mengaudit
klien selama beberapa tahun. Apabila tidak ada hasil audit tahun lalu, sebagian besar
auditor akan menilai risiko inheren yang tinggi pada audit yang pertama kali dilakukan
dibandingkan dengan penugasan ulang yang pada waktu lalu tidak ditemukan kesalahan
peyajian material.
4. Pihak-pihak yang berelasi. Contoh transaksi dengan pihak-pihak yang berelasi adalah
transaksi antara perusahaan induk dengan perusahaan anak, dan antara manajemen
dengan entitas perusahaan. Karena transaksi semacam ini tidak terjadi antara dua pihak
yang independen yang melakukan tawar-menawar secara bebas, maka terdapat
kemungkinan besar bahwa transaksi demikian direkayasa yang menyebabkan risiko
inheren.
5. Transaksi-transaksi non rutin. Transaksi-transaksi yang tidak biasa trejadi pada
perusahaan klien mempunyai kemungkinan besar dicatat secara salah dibandingkan
dengn tarnsaksi rutin, karena klien tidak berpengalaman dalam mencatatnya.
6. Pertimbangan yang diperlukan untuk mencatat saldo akun dan transaksi dengan benar.
Banyak saldo akun yang memerlukan estimasi dan sarat dengan pertimbangan
manajemen, karena hal-hal itu membutuhkan pertimbangan tertentu, krmungkinan
kesalahan penyajiannya cukup tinggi, dan akibatnya auditor biasanya menetapkan risiko
inheren yang tinggi
7. Pembentuk populasi. Auditor biasanya akan menggunkan risiko inheren yang lebih tinggi
untuk piutang usaha apabila sebagian nesar tagihan telah lewat waktu dibangdingkan
dengan apabila sebagian besar belum jatuh tempo.
8. Faktor-fakto yang berhubungan dengan kecurangan pelaporan keuangan dan
penyalahgunan asset.

12
Menetapkan Risiko Inheren
Auditor harus mengevaluasi informasi-informasi yang mempengaruhi risiko inheren
dan menetapkan tingkat risiko inheren untuk setiap siklus, dan untuk setiap tujuan audit.
Dalam standar audit (SA 200. A38) disebutkan bahwa risiko inheren dapat lebih tinggi untuk
beberapa asersi dan golongan transaksi, saldo akun, serta pengungkapan tertentu.
Mendapatkan Informasi Untuk Menetapkan Risiko Inheren
Auditor memulai penetapan risiko inheren pada tahap perencanaan dan memutahirkan
penetapan tersebut selama audit berlangsung. Sebagai contoh, untuk mendapatkan
pemahaman tentang bisnis dan bidang usaha klien, auditor bisa melakukan peninjauan
mengelilingi perusahaan dan mengidentifikasi pihal-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa.

E. Hubungan Antara Risiko Dengan Bukti Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi


Risikoyang mempengaruhi risiko
Faktor-faktor Risiko Bukti audit

Sejauh mana diandalkan oleh


pengguna laporan eksternal Risiko audit
Kemungkinan kesulitan keuangan bisa diterima
Integritas manajemen

Sifat bisnis
Hasil audit tahun lalu
Audit pertama kali atau audit ulangan L L
Hubungan istimewa K
Transaksi non rutin
Kebutuhan pertimbangan K Risiko deteksi K Bukti audit
Risiko inheren
Pembentuk populasi direncanakan direncanakan
Faktor-faktor kesalahan dari penyajian
yang timbul kecurangan pelaporan
keuangan K L

Kerentan asset untuk di salahgunakan

Efektifitas pengendalian internal Risiko


Keandalan direncanakan pengendalian

13
Gambar 1. Hubungan antara risiko dengan bukti dan faktor-faktor yang mempengaruhi risiko

Gambar 1. Melukiskan faktor-faktor yang menentukan masing-masing risiko, pengaruh dari


ketiga komponen terhadap penentuan risiko deteksi direncanakan, dan hubungan antara
keempat risiko terhadap bukti audit direncanakan. Tanda “L” menunjukan hubungan
langsung antara suatu komponen risiko dengan risiko deteksi direncanakan atau bukti yang
direncanakan. Tanda “K” menunjukkan hubungan berkebaliakan.
Risiko Audit Per Segmen
Risiko inheren dan risiko pengendalian tidak ditetapkan untuk audit sebagai
keseluruhan, melaikna ditetapkan untuk setiap siklus, setiap akun dalam suatu siklus, bahkan
kadang-kadang untuk setiap tujuan audit pada suatu akun. Oleh karena itu, merupakan hal
yang normal apabila risiko inheren berbeda untuk berbagai akun pada audit yang sama.
Mengaitkan Materialitas Pelaksanaan Dan Risiko Dengan Tujuan Audit Atas Saldo
Meskipun dalam praktek lazim untuk menetapkan risiko inheren dan risiko
pengendalian untuk setiap tujuan audit saldo akun, namun tidak lazim untuk mengalokasikan
materialitas pada tujuan-tujuan tersebut. Auditor akan lebih efektif untuk menggunakan risiko
yang berbeda-beda untuk tujuan yang berbeda, dan biasanya tidaklah sulit untuk
menghubngkan risiko dengan satu atau dua tujuan.
Keterbatasan Pengukuran
Salah satu keterbatasan paling besar dalam penerapan model risiko audit adalah
adanya kesulitan dalam pengukuran komponen-komponen dalam model. Disamping kerja
keras auditor dalam membuat perencanaan audit, penetapan risiko audit bisa diterima, risiko
inheren, risiko pengendalian dan selajutnya risiko deteksi direncanakan sangat bersifat
subyektif dan hanya merupakan perikatan.
Hubungan Antara Risiko Dan Materialitas Dengan Bukti Audit
Konsep materialitas dan risiko dalam pengauditan berhubungan erat satu sama lain
dan tidak dapt dipisahkan. Risiko adalah pengukuran ketidakpastian, sedangkan materialitas
adalah pengukuran besarnya atau ukurannya. Namun, apabila keduanya digabungkan akan
mengukur besaran ketidakpastian dari suatu jumlah tertentu.
Merevisi Penilaian Risiko dan Bukti
SA 315. 31 menegaskan bahwa penilaian risiko auditor atas risiko kesalahan penyajian
material dapat berubah selama pelaksanaan audit, sejalan dengan diperolehnya bukti audit
tambahan. Dalam kondisi ketika auditor memperoleh bukti audit dari pelaksanaan prosedur
audit lanjutan, atau ketika informasi baru diperoleh, yang kedua bukti tersebut tidak konsisten
14
dengan bukti audit awal yang menjadi landasan penialain, auditor harus merevisi penilaian
tersebut, dan oleh karena itu, memodifikasi prosedur audit lanjutan yang direncanakan
sebelumnya. Auditor harus cermat dalam memutuskan, berdasarkan bukti yang terkumpul,
apakah penetapan awal risiko pengendalian dan risiko inheren telah dilakukan terlalu rendah,
atau risiko audit bisa diterima telah ditetapkan terlalu tinggi. Dalam situasi demikian, auditor
dapat melakukan dua tahap pendekatan sebagai berikut :
1. Auditor harus merevisi penetapan awal risiko
2. Auditor harus mempertimbangkan pengaruh revisi terhadap bukti yang diperlukan,
tanpa menggunakan model risiko audit.
Risiko Signifikan
Risiko signifikan adalah suatu risiko kesalahan penyajian material yang diidentifikasi dan
dinilai yang dalam pertimbangan auditor, memerlukan pertimbangan audit khusu {SA
315.4(e)}. Risiko signifikan sering berkaitan dengan transaksi non rutin yang signifikan atau
hal-hal yang memrlukan pertimbangan.
Risiko kesalahan penyajian material mungkin lebih besar untuk transaksi nonrutin yang
signifikan yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Intervensi manajemen yang lebih besar dalam menentukan perlakuan akuntansi
b. Intervensi manual yang lebih besar dalam pengumpulan dan pengolahan data
c. Perhitungan atau prinsip akuntansi yang kompleks

15

Das könnte Ihnen auch gefallen