Sie sind auf Seite 1von 6

PORTOFOLIO

KASUS ETIK
Missed Diagnosis dan Pelanggaran Autonomy
dan Beneficence Pasien

Disusun sebagai syarat kelengkapan program dokter intership

Oleh:
Dr. Citra Aminah Purnamasari

PENDAMPING :

dr. Wiji Kusbiah


dr. Muhammad Kartikanuddin

RSUD dr. Soedomo Trenggalek


Trenggalek – Jawa Timur
2017
Portofolio Kasus

No. ID dan Nama Peserta : dr. Citra Aminah Purnamasari


No. ID dan Nama Wahana: RSUD dr. Soedomo Trenggalek
Topik : Pelanggaran Kode Etik Kedokteran (missed diagnosis dan pelanggaran
autonomy dan benefincene pasien)
Tanggal (kasus): 16 Februari 2015
Nama Pasien: An. P No RM:-
Tanggal Presentasi: 28 Agustus 2017 Pendamping: dr. Wiji Kusbiah
dr. Muhammad Kartikanuddin

Obyektif Presentasi:
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi:
Seorang anak berinisial anak P, disarankan rawat inap di sebuah Rumah Sakit di
daerah Ponorogo karena panas tinggi hari pertama. Hasil pemeriksaan laboratorium
saat itu menunjukkan trombosit dalam jumlah normal. Pasien didiagnosis Observasi
febris H-1. Hari kedua, kondisi pasien belum membaik, masih panas. Orang tua
pasien meminta diperiksa darah ulang. Tim medis mengatakan bahwa kondisi pasien
tidak apa-apa, hanya radang biasa. Tidak perlu diperiksa darah ulang. Malam hari
ke-3 perawatan, pasien mengalami penurunan kesadaran. Kaki dan tangan pasien
dingin dan basah. Perawat jaga saat itu mengatakan pasien berkeringat tanda akan
sembuh. Pasien tetap dalam keadaan seperti itu sampai keesokan harinya. Pagi hari
ke-4 pasien diperiksa darah ulang, dan dinyatakan menderita DHF (trombosit
menurun) dalam masa kritis. Tim medis bermaksud memasang infus tambahan,
tetapi vena pasien collaps dan pecah. Pasien mengalami shock berat dengan
penurunan kesadaran. Pasien dipindahkan ke ruang ICU. Orang tua pasien meminta
pasien dirujuk ke Rumah Sakit yang lebih tinggi. Tim medis saat itu menyarankan
untuk menunggu 24 jam untuk melihat respon imun pasien, dan mengatakan bahwa
pasien akan segera keluar dari masa kritis. Keesokan harinya, pasien meninggal
dunia.
Tujuan : Mengetahui bagaimana aspek etik dan medikolegal dalam penegakan
diagnosis dan menghormati autonomy serta beneficence pasien dan keluarganya.
Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
bahasan Pustaka
Cara Diskusi Presentasi dan E-mail Pos
membahas diskusi
Data pasien Nama: An. P No RM:
Nama RS: RSU PKU Telp: (-) Terdaftar sejak 16 Februari
Muhammadiyah 2015
Data utama untuk bahan diskusi
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Seorang anak berusia 3 tahun berinisial anak P datang dengan keluhan panas
tinggi hari pertama, muntah (-), diare (-), makan minum tidak mau, rewel
(+). Hasil pemeriksaan laboratorium saat itu menunjukkan trombosit dalam
jumlah normal. Pasien didiagnosis Observasi febris H-1
2. Riwayat Pengobatan : Obat penurun panas
3. Riwayat Kesehatan : -
4. Riwayat Keluarga : -
5. Riwayat Pekerjaan : -
6. Perjalanan Penyakit :
Hari kedua, kondisi pasien belum membaik, masih panas. Orang tua pasien
meminta diperiksa darah ulang. Tim medis mengatakan bahwa kondisi
pasien tidak apa-apa, hanya radang biasa. Tidak perlu diperiksa darah ulang.
Malam hari ke-3 perawatan, kaki dan tangan pasien dingin dan basah. Pasien
tampak terus mengantuk. Perawat jaga saat itu mengatakan pasien
berkeringat tanda akan sembuh. Pasien tetap dalam keadaan seperti itu
sampai keesokan harinya. Pagi hari ke-4 pasien diperiksa darah ulang, dan
dinyatakan menderita DHF (trombosit menurun) dalam masa kritis. Tim
medis bermaksud memasang infus tambahan, tetapi vena pasien collaps dan
pecah. Pasien mengalami shock berat dengan penurunan kesadaran. Pasien
dipindahkan ke ruang ICU. Orang tua pasien meminta pasien dirujuk ke
Rumah Sakit yang lebih tinggi. Tim medis saat itu menyarankan untuk
menunggu 24 jam untuk melihat respon imun pasien, dan mengatakan bahwa
pasien akan segera keluar dari masa kritis. Keesokan harinya, pasien
meninggal dunia.
Hasil Pembelajaran
1. Definisi Pelanggaran Kode Etik Kedokteran
2. Dasar bioetik dan hak pasien
3. Pentingnya menguasai IPTEK kedokteran yang sudah berlaku umum di
kalangan profesi kedokteran
4. Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi (tidak lege
artis)
5. Melakukan kelalaian yang berat atau meberikan pelayanan dengan tidak
hati-hati.

Pembahasan

Dasar – Dasar Bioetik


Kitchener (1984) telah mengidentifikasi dasar-dasar bioetika yang terdiri dari :
• Autonomy : prinsip tentang kemandirian, kebebasan, dan bebas menentukan
pilihan dan tindakan yang di inginkan.
• Nonmaleficence : konsep untuk tidak menyakiti. Prinsip ini oleh beberapa ahli
disebut prinsip paling penting dalam bioetika yaitu “diatas segalanya, jangan
menyakiti”.
• Beneficence : tanggung jawab untuk memberikan pelayanan demi kebaikan
pasien, melakukan hal baik, menjadi proaktif dan mencegah kerusakan.
• Justice : keadilan, memperlakukan pasien secara setara.

Hak Pasien
UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan
• Hak atas informasi
• Hak untuk memberikan persetujuan untuk dilakukan tindakan medis tertentu
• Hak untuk memillih pemberi jasa
• Hak untuk memilih sarana kesehatan
• Hak atas rahasia medik
• Hak untuk menolak perawatan
• Hak untuk menghentikan pengobatan

Malpraktek Medis
Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat
keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati
pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.

Malpraktek Bila Dokter :


 Kurang menguasai IPTEK kedokteran yang sudah berlaku umum di
kalangan profesi kedokteran
 Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi (tidak lege artis)
 Melakukan kelalaian yang berat atau meberikan pelayanan dengan tidak hati-
hati.
 Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum
 Bila yang dilanggar dokter etika kedokteran  Malpraktek etik

Malpraktek Medik Murni (Criminal Malpractice)


Kesengajaan dokter melakukan suatu tindakan yang sebenarnya tidak perlu
dilakukan dan semata-mata demi mengeruk keuntungan pribadi, misalnya
melakukan pembedahan tanpa indikasi. Hal ini tidak banyak dijumpai namun dapat
menjadi imbas dari perkembangan masyarakat ke arah materialistis, hedonistis dan
konsumtif.

UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan


Pasal 11b:
Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam KUHP dan peraturan
perundang undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan
tindakan-tindakan administratif dalam hal sebagai berikut:
a. Melalaikan kewajiban
b. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang
tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya, maupun mengingat sumpah
sebagai tenaga kesehatan
Dapat disimpulkan:
Melalaikan kewajiban  tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan
Melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan
Kelalaian
a. Dapat diterima orang lain / tidak merugikan  bukan pelanggaran hukum /
kejahatan
b. Mengakibatkan kerugian materi sampai merenggut nyawa orang lain 
kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminil.
Tolak ukur culpa lata:
o Bertentangan dengan hukum
o Akibatnya dapat dibayangkan
o Akibatnya dapat dihindarkan
o Perbuatannya dapat dipersalahkan
Malpraktek medik  kelalaian yang berat dan pelayanan kedokteran dibawah
standar

Bila Malpraktek medik telah terjadi maka sebelum dapat menuntut ganti rugi harus
membuktikan 4 unsur:
1. Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien
2. Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan
3. Penggugat telah menderita kerugian yang dimintakan ganti-ruginya
4. Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar

Di negara-negara maju terdapat Dewan Medis (Medical Council) yang bertugas


melakukan pembinaan etika profesi dan menanggulangi pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan terhadap etik kedokteran.
Di Negara kita IDI telah mempunyai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK), baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang. Walaupun demikian,
MKEK ini belum lagi dimanfaatkan dengan baik oleh para dokter maupun
masyarakat.

Jadi instansi pertama yang akan menangani kasus-kasus malpraktek etik ialah
MKEK cabang atau wilayah. Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh MKEK
dirujuk ke P3EK Propinsi dan jika P3EK Propinsi tidak mampu menanganinya maka
kasus tersebut diteruskan ke P3EK Pusat.

Tentulah jika sesuatu pelanggaran merupakan malpraktek hukum pidana atau


perdata, maka kasusnya diteruskan kepada pengadilan. Dalam hal ini perlu dicegah
bahwa oleh karena kurangnya pengetahuan pihak penegak hukum tentang ilmu dan
teknologi kedokteran menyebabkan dokter yang ditindak menerima hukuman yang
dianggap tidak adil.

Dokter telah melakukan :

a. Pelanggaran etika

• Kode Etik Kedokteran (KODEKI) Bab-I pasal 2


Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya dalam ukuran
tertinggi.

• Pelanggaran dasar bioetik yaitu autonomy dan beneficence.

b. Pelanggaran hukum

• UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan

Hak pasien untuk memilih pemberi jasa dan untuk memilih sarana kesehatan.

KESIMPULAN

1. Pada kasus ini dokter telah melakukan pelanggaran Kode Etik Kedokteran
(KODEKI) Bab-I pasal 2 dan UU No. 23 tahun 1992, serta dasar bioetik
autonomy dan beneficence.

2. Walaupun dalam KODEKI telah tercantum tindakan-tindakan yang


selayaknya tidak dilakukan oleh seorang dokter dalam menjalankan
profesinya, akan tetapi sanksi bila terjadi pelanggaran etik tidak dapat
diterapkan dengan seksama.

SARAN

1. Dalam menegakkan diagnosis seorang dokter tidak boleh underdiagnosiss


ataupun missdiagonis karena akan merugikan keselamatan pasien hingga
dapat menyebabkan kematian.

2. Dalam menjalankan tugas sebagai dokter harus bertindak sesuai dengan


peraturan yang berlaku dalam Kode Etik Kedokteran (KODEKI).

Das könnte Ihnen auch gefallen