Sie sind auf Seite 1von 14

Pola Asuh Orang tua dan Analisis Studi Kasus

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang berkepribadian baik, sikap mental
yang sehat serta akhlak yang terpuji. Orang tua sebagai pembentuk pribadi yang pertama dalam
kehidupan anak, dan harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Sebagaimana yang dinyatakan
oleh Zakiyah Daradjat, bahwa Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup merupakan unsur-unsur
pendidikan yang secara tidak langsung akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang tumbuh.[1]
Dalam mendidik anak, terdapat berbagai macam bentuk pola asuh yang bisa dipilih dan digunakan oleh
orang tua.

Keluarga merupakan pendidik yang pertama dan utama dalam kehidupan anak, karena dari merekalah
anak mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya serta menjadi dasar perkembangan dan kehidupan
anak di kemudian hari. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan
pendidikan anak. Anak lahir dalam pemeliharaan orang tua dan dibesarkan dalam keluarga. Orang tua
bertugas sebagai pengasuh, pembimbing, pemelihara dan sebagai pendidik terhadap anak-anaknya.
Setiap orang tua pasti menginginkan anak-anaknya menjadi manusia yang pandai, cerdas dan berakhlak.
Akan tetapi banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa cara mereka mendidik membuat anak merasa
tidak diperhatikan, dibatasi kebebasannya, bahkan ada yang merasa tidak disayang oleh orang tuanya.
Perasaan-perasaan itulah yang banyak mempengaruhi sikap, perasaan, cara berpikir bahkan kecerdasan
mereka.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian pola asuh orang tua?

2. Apa saja macam-macam pola asuh orang tua dan bagaimana ciri-cirinya?

3. Faktor apa saja yang mempengaruhi pola asuh orang tua?

4. Bagaimana studi kasus mengenai pola asuh orang tua beserta analisisnya?

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Pola Asuh

Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola berarti
corak, model, sistem, cara kerja, dan bentuk (struktur) yang tetap. Sedangkan kata asuh dapat berati
menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih dan sebagainya), dan
memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga. Lebih jelasnya, kata asuh
adalah mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan, dan
bantuan sehingga orang tetap berdiri dan menjalani hidupnya secara sehat.[2]

Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari
waktu kewaktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif dan positif. Orang tua
memiliki cara dan pola tersendiri dalam mengasuh dan membimbing anak. Cara dan pola tersebut tentu
akan berbeda antara satu keluarga dengan keluarga yang lainnya. Pola asuh orangtua merupakan
gambaran tentang sikap dan perilaku orangtua dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama
mengadakan kegiatan pengasuhan.Dalam kegiatan memberikan pengasuhan ini, orangtua akan
memberikan perhatian, peraturan, disiplin, hadiah dan hukuman, serta tanggapan terhadap keinginan
anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orangtua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang
kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar akan diresapi kemudian menjadi kebiasaan pula bagi
anak-anaknya.

B. Macam-Macam Pola Asuh dan Ciri-cirinya

1. Pola Asuh Demokratis

Demokrasi merupakan proses dan mekanisme sosial yang dinilai akan lebih mendatangkan kebaikan
bersama bagi orang banyak.[3] Sedangkan bila dikaitkan dengan istilah pemimpin, maka pemimpin
demokratis adalah pemimpin yang memberikan penghargaan dan kritik secara objek dan positif. Dengan
tindakan-tindakan demikian, pemimpin demokratis itu berpartisipasi ikut serta dengan kegiatan-kegiatan
kelompok. Ia bertindak sebagai seorang kawan yang lebih berpengalaman dan turut serta dalam
interaksi kelompok dengan peranan sebagai kawan.[4] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
demokrasi diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan
kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.[5] Dengan demikian pola asuh
demokratis paling tidak mencerminkan pola asuh yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi, antara lain
kebebasan, maksudnya memberikan kebebasan kepada anak dalam hal yang bersifat positif.

Sementara itu bentuk pola asuh demokratik berdasarkan teori convergence yaitu bahwa perkembangan
manusia itu bergantung pada faktor dari dalam dan luar, maksudnya bahwa pendidikan dalam hal ini
mengasuh itu bersifat maha kuasa dan mengasuh juga tidak dapat bersifat tidak berkuasa.[6] Oleh sebab
itu mengasuh anak harus seimbang, yaitu tidak boleh membiarkan dan memberi kebebasan sebebas-
bebasnya dan juga jangan terlalu menguasai anak, tetapi mengasuh harus bersikap membimbing ke arah
perkembangan anak.

Oleh karena itu yang dimaksud dengan pola asuh demokratis adalah pola asuh orang tua yang ditandai
dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak
selalu tergantung kepada orang tua. Orang tua sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih
apa yang terbaik bagi dirinya, anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama
yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan
kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggungjawab kepada diri sendiri.
Anak dilibatkan dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya.[7]

Ciri-cirinya :

a. Komunikasi orang tua dan anak yang ditandai dengan prinsip-prinsip :

- Menyediakan waktu,

- Berkomunikasi secara pribadi,

- Menghargai anak,

- Mengerti anak,

- Mempertahankan hubungan.

b. Menerima kritik yang akan berpengaruh pada sifat dan kepribadian anak, diantaranya :

- Bersikap bersahabat,

- Percaya kepada diri sendiri,

- Mampu mengendalikan diri,

- Memiliki rasa sopan,

- Mau bekerja sama,

- Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi,

- Mempunyai tujuan dan arah hidup yang jelas,

- Berorientasi terhadap prestasi.

2. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh ototriter adalah pola asuh yang ditandai dengan cara mengasuh anak-anaknya dengan aturan-
aturan ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk
bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita-
cerita, bertukar pikiran dengan orang tua, orang tua malah menganggap bahwa semua sikapnya yang
dilakukan itu dianggap sudah benar sehingga tidak perlu anak dimintai pertimbangan atas semua
keputusan yang menyangkut permasalahan anak-anaknya. Pola asuh yang bersifat otoriter ini juga
ditandai dengan hukuman-hukuman tersebut sifatnya hukuman badan dan anak juga diatur yang
membatasi perilakunya. Perbedaan seperti sangat ketat dan bahkan masih tetap diberlakukan sampai
anak tersebut menginjak dewasa.

Ciri-ciri pola asuh otoriter di antaranya :

- Hukuman yang keras,

- Suka menghukum secara fisik ,

- Bersikap mengomando,

- Bersikap kaku (keras),

- Cenderung emosional dalam bersikap menolak ,

- Harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh membantah.

Akibatnya anak cenderung memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

- Mudah tersinggung,

- Penakut,

- Pemurung tidak bahagia,

- Mudah terpengaruh dan mudah stress,

- Tidak mempunyai masa depan yang jelas,

- Tidak bersahabat ,

- Gagap (rendah diri).

3. Pola Asuh Permisif

Pola asuh ini adalah pola asuh dengan cara orang tua mendidik anak secara bebas, anak dianggap orang
dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran seluas-luasnya apa saja yang dikehendaki.[8] Kontrol orang tua
terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberikan bimbingan pada anaknya. Semua apa yang
dilakukan oleh anak adalah benar dan tidak perlu mendapat teguran, arahan atau bimbingan.

Ciri-ciri pola asuh permisif yaitu :

- Kontrol orag tua terhadap anak sangat lemah,

- Memberikan kebebasan kepada anak untuk dorongan atau keinginannya,

- Anak diperbolehkan melakukan sesuatu yang dianggap benar oleh anak,

- Hukuman tidak diberikan karena tidak ada aturan yang mengikat,


- Kurang membimbing,

- Anak lebih berperan dari pada orang tua,

- Kurang tegas dan kurang komunikasi.

Sebagai akibat dari pola asuh ini terhadap kepribadian anak kemungkinannya adalah:

- Agresif,

- Menentang atau tidak dapat bekerja sama dengan orang lain,

- Emosi kurang stabil,

- Selalu berekspresi bebas,

- Selalu mengalami kegagalan karena tidak ada bimbingan.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh

Faktor yang mempengaruhi pola asuh adalah (Edwards, 2006)[9] :

a. Pendidikan orang tua

Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka
menjalankan pengasuhan, seperti terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu
dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak dan
menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak.

b. Lingkungan

Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut
serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya.

c. Budaya

Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak,
kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak, karena pola-pola tersebut dianggap
berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan.

D. Study Kasus dan Analisanya

1. Kasus 1 Pola Asuh Orang Tua Karir

Orang tua karir merupakan orang tua yang sibuk bekerja mencari uang untuk keluarga terutama
anaknya. Seorang istri yang memiliki peran ganda baik sebagai ibu yang harus menjaga anaknya maupun
sebagai wanita karir yang bekerja diluar rumah untuk membantu meringankan beban suami mungkin
dapat memberikan pola asuh yang baik bagi anak-anaknya. Seorang suami mungkin dapat menerapkan
pola asuh yang baik dengan keterbatasan waktu. Orang tua karir mungkin lebih serius dalam mendidik
anaknya dengan memberi perhatian yang lebih dan tidak terlintas untuk melalaikannya. Kebiasaan yang
diterapkan orang tua dalam mengelola keluarga (family management practice) yang keliru seperti
kelalaian orang tua dalam memonitor kegiatan anak dapat menimbulkan dampak lebih buruk lagi
misalnya cenderung berperilaku menyimpang seperti anti sosial.[10]

a) Analisis

Verulyin mengemukakan ada tiga tugas dan panggilan orang tua karir terhadap anak sebagai mana yang
dikutip oleh Abu Ahmadi yaitu :[11]

1) Mengurus keperluan material anak

Ini merupakan tugas pertama dimana orang tua harus memberi makan, tempat perlindungan, dan
pakaian terhadap anak-anak. Dalam hal ini, Jalaludin mengkategorikannya sebagai pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan primer, yaitu jasmaniyah, seperti makan, minum, seks, pakaian, dan tempat
tinggal.[12]

2) Menciptakan suasana Home bagi anak

Home disini berarti bahwa di dalam keluarga itu anak-anak dapat berkembang dengan subur, merasakan
kemesraan dan kasih sayang, keramahan-tamahan, dan merasa aman terlindung serta merasa tentram
dan tidak merasa kesepian dan selalu bahagia. Namun, untuk para orang tua karir yang memiliki
keterbatasan waktu untuk dekat dengan anak-anaknya bisa menggunakan waktu liburnya untuk
berkomunikasi lebih dekat kepada anak-anaknya.

3) Tugas Pendidikan terhadap anak

Fungsi pendidikan ini berhubungan erat dengan masalah tanggung jawab orang tua sebagai pendidik
pertama dari anak-anaknya. Otang tua bertanggung jawab untuk mengembangkan anak-anak yang
dilahirkannya untuk berkembang menjadi orang yang diharapkan oleh bangsa, negara, dan agamanya.
Orang tua bertugas dalam menanamkan dasar pendidikan moral, memberikan dasar pendidikan sosial
dan meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi anak.[13]

Faktor yang menyebabkan orang tua bekerja antara lain :

Ø Gaya hidup yang mahal

Keadaan hidup keluarga mendorong untuk menganut pola hidup konsumtif dan materialistis. Hal ini
banyak disebabkan oleh banyaknya kebutuhan yang harus dicapai dalam mempertahankan gaya hidup
yang lebih mahal, sehingga tidak cukup ditanggung oleh satu gaji saja. Akibatnya ibu sama sibuknya
dengan ayah dalam mencari uang.

Ø Mencari kepuasan hidup


Secara ekonomis, perempuan adalah sumber daya. Karena itu keterlibatannya akan membawa pengaruh
terhadap target tertentu yang hendak dicapai. Jika target tersebut adalah peningkatan pendapatan
ekonomi sebuah rumah tangga, maka perempuan yang bersangkutan harus didorong ke dalam lapangan
kerja yang penghasilannya sudah jelas mendatangkan keuntungan material. Dan jika target tersebut
adalah peningkatan kualitas mental sebuah keluarga, maka perempuan harus didorong untuk mendalami
hal-hal yang berhubungan dengan peningkatan kualitas mental dan tata nilai, sehingga dapat menjadikan
perempuan bermentalitas unggul sekaligus pendidik yang unggul.

Ø Tuntutan sosiologis kemasyarakatan

Masyarakat memerlukan tenaga wanita untuk bidang-bidang yang sesuai dengan karakter wanita. Tidak
diragukan lagi bahwa masyarakat membutuhkan tenaga wanita untuk difungsikan sebagai dokter, guru,
dan dosen, serta pembimbing sosial, dan lain sebagainya.

2. Kasus 2 Pola Asuh Ibu Single Parents

Menjadi single parents dan menjalankan peran ganda bukan merupakan hal yang mudah bagi seorang
wanita, terutama dalam hal membesarkan anak . Hal ini dikarenakan, di satu sisi harus memenuhi
kebutuhan psikologis dan fisik anaknya. Artinya, wanita yang berstatus sebagai single parents harus
mampu mengkombinasikan antara pekerjaan domestik dan publik demi tercapainya tujuan yang utama
yakni membentuk anak yang berkualitas, karena orang tua tunggal ini tidak mempunyai pasangan untuk
saling menopang (Ratri, 2006).[14]

a) Analisis

Faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku kekerasan menurut Mu’tadin (2002) yaitu sebagai berikut :
[15]

1) Faktor Marah

Rasa marah sering kali menjadi pemicu timbulnya perilaku agresif, meskipun perilaku semacam itu juga
dapat terjadi tanpa adanya rasa marah. Marah bisa dipahami sebagai reaksi tekanan perasaan. Artinya
bahwa orang cenderung menjadi marah dan terdorong menjadi agresif jika harus menghadapi
keadaan yang menggangu.

2) Faktor Biologis

Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi (Davidoff,1991) yaitu :[16]

· Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi.
Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah
dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai
jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.

· Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit
neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau ditingkatkan
dengan merangsang sistem limbic (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga
muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman.

3) Kesenjangan generasi

Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat
dalam bentuk hubungan komunikas yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan
komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada
anak. Permasalahan generation gap ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain agresi,
masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti masalah ketergantungan narkotik,
kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.

4) Faktor frustasi

Frustasi bisa menjadi sumber agresi yang diekspresikan secara langsung terhadap orang atau benda
lainnya. Atau dengan kata lain agresi merupakan salah satu bentuk respon terhadap frustasi. Ketika
dalam situasi frustasi, biasanya seseorang tampak gelisah dan tidak senang, mereka menggerutu, resah,
dan lain sebagainya. Sebagian diantara mereka mengungkapkan perasaan marah, mereka menendang
dan memukul, bahkan seringkali merusaknya.

5) Faktor lingkungan

Faktor-faktor yang disebabkan oleh lingkungan meliputi :

· Kemiskinan

Bila seseorang dibesarkan dalam lingkungan miskin, perilaku agresi mereka secara alami mengalami
penguatan. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di kota-kota besar di Indonesia.
Persaingan ekonomi semakin ketat sementara sumber daya manusianya terbatas. Sehingga potensi
meledaknya tingkat agresi semakin besar dan kesulitan mengatasinya semakin kompleks.

· Anominitas

Kondisi-kondisi seperti di kota-kota besar di Indonesia yang serba kompleks dapat mengarahkan
seseorang bersifat Impersonal dan individualis. Artinya, antara satu orang dengan yang lainnya bisa
saling tidak mengenal dan mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung anonim
yaitu tidak mempunyai identitas diri. Jika yang terjadi demikian, seseorang akan cenderung berperilaku
semaunya sendiri, karena merasa tidak lagi terikat dengan norma dan kurang bersimpati pada orang lain.

· Suhu Udara yang Panas

Biasanya, kekerasan yang terjadi seperti tawuran yang terjadi di Indonesia dan belahan dunia lainnya
timbul pada waktu siang hari di saat cuaca panas. Ketika cuaca dingin kejadian-kejadian tersebut relative
menurun. Hal tersebut sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki
dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas.
6) Proses pendisiplinan yang keliru

Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan
hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja. Pendidikan disiplin
seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan
membeci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya
melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.

Menurut Dini (1996)[17], kekerasan dibedakan dalam dua jenis yaitu sebagai berikut :

· Kekerasan Verbal

Kekerasan verbal adalah kekerasan yang ditunjukkan oleh orang tua dengan bentuk kemarahan
menggunakan makian, ataupun kritik tajam. Orang tua menyebut anak sebagai anak bodoh, nakal, anak
kurang ajar, anak tidak tahu diri, anak tidak berguna dan segala bentuk kata-kata yang merendahkan diri
anak. Kekerasan jenis ini, tidak begitu mudah untuk dikenali. Akibat yang dirasakan oleh korban tidak
memberikan bekas yang nampak jelas bagi orang lain. Dampak kekerasan jenis ini akan berpengaruh
pada situasi perasaan tidak aman dan nyaman, menurunkan harga diri serta martabat korban. Wujud
konkrit kekerasan atau pelanggaran jenis ini adalah penggunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan
kepercayaan, mempermalukan orang di depan orang lain atau di depan umum, melontarkan ancaman
dengan katakata dan sebagainya. Akibat adanya perilaku tersebut biasanya korban akan merasa rendah
diri, minder, merasa tidak berharga dan lemah dalam membuat keputusan.

· Kekerasan Non Verbal

Adapun kekerasan non verbal adalah kekerasan yang ditunjukkan oleh orang tua dengan bentuk
kekerasan terhadap fisik baik menggunakan alat ataupun tidak. Orang tua melakukannya dalam bentuk
tamparan, pukulan, tendangan, dan segala bentuk kekerasan yang menyebabkan luka fisik, yaitu
tindakan ini merupakan penyerangan yang biasa menimbulkan luka fisik, seperti memaksa, memukul,
mencubit, menendang, dan mencekik. Kekerasan jenis ini biasanya tampak secara langsung pada fisik
korban seperti; luka memar, berdarah, patah tulang, pingsan dan bentuk lain yang kondisinya lebih
berat.

3. Kasus 3 Pola Asuh Ibu Muda[18]

Perkawinan usia muda masih banyak terjadi, terutama di daerah pedesaan, banyak konsekuensi yang
timbul karena perkawinan usia muda, baik itu secara psikologis karena belum dewasa pikiran mereka,
kesiapan ekonomi yang kurang mapan dan kesiapan pasangan muda dalam pengasuhan anak.

Wanita yang menikah di usia muda lebih disebabkan karena dorongan dari orang tua. Pasangan yang
menikah pada usia muda masih kurang dalam kematangan psikologis ataupun materi sehingga masih
membutuhkan bantuan dari keluarga besarnya. Sehingga dalam mengasuh anaknya masih sangat kurang
berpengalaman dan masih butuh bantuan dari keluarga besar.

a) Analisis
Banyaknya orang yang menikah pada usia muda disebabkan oleh beberapa faktor :

· Faktor lingkungan sosial budaya, yaitu adanya pandangan dari masyarakat jika anak perempuan yang
sudah dewasa belum mendapat jodoh maka akan dianggap perempuan tidak laku atau perawan tua.

· Faktor dari orang tua, yaitu masih adanya perjodohan antara anak-anak karena orang tua sudah
sama-sama sepakat. Hal ini membuat orang tua memaksa anaknya untuk menikah.

· Faktor dari diri sendiri, karena mereka merasa sudah mapan untuk segera menikah. Kemudian
karena mereka ingin segera memiliki keturunan.

Pola pengasuhan anak yang dilakukan oleh ibu berusia muda di mulai dari bagaimana cara pengasuhan
bayi, proses sosialisasi yang dilakukan ibu untuk mendidik anak, pemberian penghargaan dan hukuman
kepada anak ketika anak mulai berinteraksi.

Faktor pendukung dalam pola pengasuhan anak adalah besarnya keinginan untuk mempunyai anak,
ikatan emosional yang kuat dan dukungan dari keluarga besar. Faktor pengahambat dalam pola
pengasuhan anak adalah minimnya persiapan dan pengetahuan ibu tentang cara-cara mendidik anak
yang tepat, penerapan cara pengasuhan yang kurang tepat, kurangnya kesiapan ekonomi dan faktor
pendidikan pasangan muda yang masih rendah.

4. Kasus 4 Pola Asuh Masyarakat Pesisir Pantai

Karakteristik masyarakat di pesisir pantai secara umum mempunyai karakteristik yaitu sebagian besar
penghasilan pas-pasan, tergolong keluarga miskin yang disebabkan oleh faktor alamiah, yaitu semata-
mata bergantung pada hasil tangkapan dan bersifat musiman, rendahya pendapatan, ketersediaan
rumah yang layak, pendidikan yang minimal untuk anak-anaknya. (Kusnadi 2003)[19]

a) Analisis

Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua pada masyarakat pesisir pantai yaitu :

· Faktor pendidikan yaitu terlihat dari orang tua yang memiliki latar belakang pendidikan rendah
menjadikan orangtua tidak mengetahui atau menelantarkan tentang perkembangan pendidikan sekolah
anak-anaknya, sedangkan lingkungan seperti menyuruh anak-anaknya untuk bekerja mencari uang
secara lebih dini yaitu dari usia lima tahun menjadi hal yang biasa di lingkungan pesisir, lain hal dengan
budaya seperti masyarakat yang bersuku Melayu menganggap bahwa suku tersebut adalah beragama
Islam maka mereka pun beraktivitas dan mendidik anak-anaknya dengan unsur-unsur keislaman.

· Faktor budaya atau lingkungan yaitu secara garis besarnya mereka memandang bahwa anak adalah
aset dalam membantu pekerjaaan orangtua di rumah dan membantu mencari nafkah. Sebagian
orangtua merasa senang bila memiliki anak laki-laki sebab bisa membantu ayahnya mencari nafkah dan
bisa meneruskan pekerjaan ayahnya, sedangkan anak perempuan dapat membantu ibunya dalam
pekerjaan rumah tangga. Kebanyakan orangtua pesisir juga mempelajari pengasuhan anak dari orangtua
mereka sebelumnya, mereka sering menganggap praktek pengasuhan yang diberikan orangtua mereka
adalah pengasuhan yang membawa anak-anak mereka menjadi positif.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

. Pola asuh orangtua merupakan gambaran tentang sikap dan perilaku orangtua dan anak dalam
berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Setiap orang tua memiliki pola
pengasuhan yang berbeda-beda dalam mendidik anaknya. Pola perilaku orang tua dapat dirasakan oleh
anak, dari segi negatif dan positif.

Ada 3 macam pola asuh orang tua, yang pertama yaitu pola asuh demokratis dimana anak diberi
kebebasan untuk mengungkapkan gagasannya terhadap hal apapun, yang kedua pola asuh otoriter
dimana anak diberi aturan-aturan yang ketat dan tidak diberi kebebasan untuk mengungkapkan
gagasannya, dan yang ketiga adalah pola asuh permisif dimana anak dianggap sebagai orang dewasa
atau muda, ia diberi kelonggaran seluas-luasnya apa saja yang dikehendaki dan kontrol orang tua
terhadap anak sangat lemah, dan juga tidak memberikan bimbingan pada sang anak.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh yaitu pendidikan orang tua dan pengalaman
orangtua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan.
Lingkungan juga banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga
ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya. Serta budaya
orang tua dengan mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak,
kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak, karena pola-pola tersebut dianggap
berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan.

DAFTAR PUSTAKA

Irmawati. (2002). Motivasi Berprestasi & Pola Pengasuhan Pada Suku Bangsa Batak Toba & Suku
Bangsa Melayu (tesis). Jakarta : Fakultas Pasca UI.

Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), Cet ke-15, h. 56

Nuryoto, Sartini. Pola Asuh Anak. (disampaikan dalam sarasehan “Pola Asuh Anak yang Adil Gender ”, 24
Juli 1998 di Benteng Vredeberg. Yogyakarta.

Edwards, D. (2006). Ketika Anak Sulit Diatur:Panduan Bagi Para Orang Tua Untuk Mengubah
Masalah Perilaku Anak. Bandung: Kaifa PT Mizan Pustaka.

Nur Alfianti, Rizki. 2010. Pola Pengasuhan Anak Ibu Berusia Muda (Studi Kasus di Desa Sawojajar
Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes). Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang. 76 h
Kusnadi. (2003). Akar Kemiskinan Nelayan,LkiS, Yogyakarta.

Ratri S. (2006). Orang Tua Tunggal. http://kompas.com/ html

Mu’tadin,Z. (2002). Penyebab Agresi. www.e.psikologi.com/remaja/10062.html

Davidoff. (1991). Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.

Dini P. D.S. (1996). Metode Mengajar di Taman Kanak-Kanak (Bagian II). Depdikbud Dirjen Dikti :
Jakarta

[1] Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : Bulan Bintang, hlm. 56.

[2] Elaine Donelson, Asih, Asah, Asuh Keutamaan Wanita. Yogyakarta : Kanisius, 1990, hlm. 5.

[3] Sa’id Aqiel Siradj, et. al., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi
Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, hlm. 166.

[4] Geurngan W.A., Psikologi Sosial, (Bandung: PT. Eresco, 1996), hlm. 132-133.

[5] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 31.

[6] Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 1982), hlm. 2.

[7] Chabib Thoha, op.cit., hlm. 111.

[8] Mansur, Pendidikan Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 356.

[9] Edward, Ketika Anak Sulit Diatur:Panduan Bagi Para Orang Tua Untuk Mengubah Masalah
Perilaku Anak. Bandung: Kaifa PT Mizan Pustaka. 2006.

[10] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Grafindoperksa, 2006), hlm. 156.

[11] Abu Ahmadi, Psikologi Sosia, (Jakarta: Rhineka Cipta, 2002), hlm. 245-246.

[12] M. Nipan Abdul Hakim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), hlm. 39.

[13] Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan IslamI, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 38.

[14] Ratri S. Orang Tua Tunggal. http://kompas.com/ html 2006.

[15] Mu’tadin, Z. Penyebab Agresi. www.e.psikologi.com/remaja/10062.html. 2002.

[16] Davidoff, Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga. 1991.


[17] Dini P.D.S. Metode Mengajar di Taman Kanak-Kanak (Bagian II). Depdikbud Dirjen Dikti : Jakarta.
1996.

[18] Nur Alfianti, Rizki. Pola Pengasuhan Anak Ibu Berusia Muda (Studi Kasus di Desa Sawojajar
Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes). Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang. 2010, hlm. 76.

[19] Kusnadi. Akar Kemiskinan Nelayan,LkiS, Yogyakarta. 2003.

Das könnte Ihnen auch gefallen