Sie sind auf Seite 1von 13

KONSEP FANA, BAQA DAN Al-ITTIHAD

SERTA PENGIMPLEMENTASIANNYA

Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur


Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Hj. Khusnul Khotimah, M.Ag.

Disusun Oleh :
Rakhman Prasetyo (1522103037)
Ridwan Ali Yulianto (1522103039)
Rijalul Haq (1522103040)
Rikza Abdillah (1522103042)
Rizal Ramadhan (1522103043)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dunia tasawuf adalah dunia rasa yang sarat dengan pengalaman
spiritual yang seringkali berada di luar lingkungan rasional. Perlu disadari
bahwa sebelum terjadinya ittihad, seorang sufi telah mengalami fana’ dan
baqa’. Dalam kondisi demikian tentu tidak bisa dipakai ukuran yang bisa
digunakan untuk menilai suatu ekspresi luar biasa (syathahat) yang keluar
dari mulut seseorang yang dalam keadaan sadar. Hanya sangat
disayangkan pengalaman sufistik seperti itu sering terungkap kepada
khalayak hingga dipandang sebagai ucapan yang menyesatkan karena
secara lahiriah melanggar prinsip tanzih dalam ajaran Islam.
Akhlak Tasawuf merupakan disiplin ilmu murni dalam Islam.
Akhlak dan Tasawuf mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebelum
bertasawuf, seseorang harus berakhlak sehingga bisa dikatakan
bahwasanya At tashawwufu nihayatul akhlaq sedangkan al akhlaqu
bidayatut tashawwuf. Dalam tasawuf, digunakan pendekatan suprarasional
yaitu dengan intuisi / wijdan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Fana, baqa dan Al-Ittihad?
2. Bagaimana Konsep Fana dan Baqa serta Al-Ittihad?
3. Siapa Tokoh Pengembang Fana Baqa dan Al-Tihad ?
4. Bagaimana implementasi Al-Fana, Al-Baqa, dan Al-Ittihad dalam
kehidupan sehari-hari?
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Fana dan Baqa


Fana (‫)الفناء‬ artinya hilang, hancur. Fana adalah proses
menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan.
Sedangkan Baqa (‫ )البقاء‬artinya tetap, terus hidup. Baqa adalah sifat yang
mengiringi dari proses fana dalam penghancuran diri untuk mencapai
ma’rifat. Seorang sufi untuk ma’rifat harus bisa menghancurkan diri
terlebih dahulu, dan proses penghancuran diri inilah di dalam tasawuf
disebut “Fana” yang diiringi oleh “Baqa”.1
Bagi sufi, Fana adalah tidak dikenalinya, sifat-sifat seseorang oleh
yang bersangkutan sendiri; dan Baqa adalah pengenalan hal serupa sebagai
sifat Tuhan, di dalam Fana, abdi tidak memiliki kesadaran tentang dirinya,
artinya, bagi dirinya sendiri yang bersangkutan merasa ada; tetapi hanya
menyadari sekedar sebagai “yang mewujudkan, yang diwujudkan, dan
perwujudan”.2
Dalam Al Risalatul Qusyairiyaha dinyatakan bahwa Fana adalah
menghilangkan sifat-sifat yang tercela dan Baqa artinya mendirikan sifat-
sifat yang terpuji. Barang siapa yang menghilangkan sifat tercela maka
timbullah sifat yang terpuji. Jika sifat tercela menguasai diri maka
tertutuplah sifat yang terpuji bagi seseorang.
Dari segi bahasa Al-Fana berarti hilangnya wujud sesuatu, sedangkan
Fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan
dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri.
Menurut pendapat lain Fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan
dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat
yang tercela.

1
http://elfalasy88.wordpress.com/2008/08/21/fana-dan-baqa diakses Tanggal 22 April
2018 Jam 18.00
2
Khan Sahib Khaya. Cakrawala Tasawuf. Jakarta. CV. Rajawali. 1987. Hlm. 91
Sedangkan Al ittihad yaitu, Jika tahap al baqa telah tercapai, maka
dengan sendirinya tercapai pula tahap ittihad. Dalam tingkatan ini seorang
sufi telah merasa bahwa dirinya bersatu dengan Tuhan, antara yang
mencintai dengan yang dicintai menyatu, baik jauhar (substansi) maupun
perbuatannya dalam keadaan demikian, maka penunjukan antara ia dengan
yang lain adalah sama. Lebih lanjut disebutkan, bahwa segala sesuatu yang
ada ini dilihat sebagai wujud yang satu itu sendiri. pada saat itu, maka
yang dilihat bahwa wujud hamba adalah wujud Tuhan itu sendiri,
demikian pula sebaliknya.3
2. Konsep Fana dan Baqa
Konsep fana dan baqa mulai dikembangkan oleh Abu Yazid Al
Bustami pada abad III Hijriyah yang dipandang sebagai cikal bakal
timbulnya ajaran kesatuan wujud atau ittihad (Asmaran AS, 1994: 151).
Dari segi bahasa fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda
maknanya dengan al-fasad yang berarti rusak. Fana artinya tidak
nampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada
sesuatu yang lain. Dalam kaitan ini Ibnu Sina ketika membedakan antara
benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda-benda yang bersifat
alam, mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasar
permulaannya, bukan atas perubahan bentuk yang satu kepada bentuk
yang lainnya, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana, bukan cara
rusak.
Adapun arti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya
kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim
digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-
sifat kemunusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula berarti
hilangnya sifat-sifat yang tercela.
Dalam pada itu Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud
fana adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni bersifat sebagai
manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah

3
Ris’an Rusli, Tasawuf Dan Tarekat, (Jakarta: Rajawali Press,2003), hlm.90-96.
diliputih hakikat ketuhanan, sehingga tidak lagi melihat daripada alam
baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka dikatakan telah fana dari
alam cipta atau dari alam makhluk (Mustafa Zahri, 1985: 234). Selain itu,
fana juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti
kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya
sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena
lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat
ilahiah. Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang beriringan,
sebagaimana dinyatakan oleh para ahli tasawuf: "Apabila nampaklah nur
kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal. "
Tasawuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan
Tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah (Mustafa Zahri,
1985: 234). Dengan demikian, dapatlah difahami bahwa yang dimaksud
dengan fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela,
kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa
adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu
pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai
baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti pertaubat, berzikir, beribadah,
dan menghias diri dengan akhlak yang terpuji. Selanjutnya fana yang
dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri (al-fana an al-nasf), yaitu
hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia.
Menurut al-Qusyairi, fana yang dimaksud adalah fananya seseorang dari
dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang
dirnya dan tentang makhluk lain itu.
Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain ada,
tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya. Kalau seorang sufi
telah mencapai al-fana al-nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tak ada lagi
(dalam arti tak disadarinya lagi), maka yang akan tinggal ialah wujud
rohaninya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara rohaniah.
Menurut Harun Nasution, kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadi
langsung setelah tercapainya al-fana al-nafs (Harun Nasution, 1983: 81).
Tak ubahnya dengan fana yang terjadi etika hilangnya kejahilan, maksiat
dan kelakuan buruk di atas. Dengan hancurnya hal-hal ini yang langsung
tinggal (baqa) ialah pengetahuan, takwa dan kelakuan baik.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju
dengan fana dan baqa ini adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan
batiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam
dirinya.
Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yang
demikian tidak terjadi terus-menerus dan juga karena dilimpahkan oleh
Tuhan. Fana merupakan keadaan dimana seseorang hanya menyadari
kehadiran Tuhan dalam dirinya, dan kelihatannya lebih merupakan alat,
jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan rohani dengan Tuhan).
Berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-ittihad,
yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari
fana dan baqa itu sendiri adalah ittihad itu. Hal yang demikian sejalan
dengan pendapat Mustafa Zahri yang mengatakan bahwa fana dan baqa
tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajaran
ittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagai dikatakan oleh al-
Baidawi, yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya yang ada
dua wujud yang berpisah dari yang lain. Karena yang dilhat dan yang
dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran
peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan)
atau tegasnya antara sufi dan Tuhan (Mustafa Zuhri, 1985: 236).
Dalam situasi ittihad yang demikian itu, seorang sufi telah merasa
dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan di mana yang mencintai dan
yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat
memanggil yang satu dengan kata-kata: “Hai Aku” Maka yang satu
kepada yang lainnya mengatakan “aku”. Dengan demikian jika seorang
sufi mengatakan misalnya mahasuci aku, maka yang dimaksud aku disitu
bukan sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan rohaninya
dengan Tuhan, melalui fana dan baqa.
3. Tokoh yang Mengebangkan Fana
Al-Bustami atau dalam beberapa tulisan disebut juga Bistomi,
Bustomi dan Bastomi sering juga disebut Bayazid. Nama lengkapnya
adalah Abu Yazid Taifur ibn Surusyam. Ia lahir diwilayah Qum di Persia
Barat Laut tahun 188-261 H/804 - 875 M. Ia adalah putra seorang ayah
yang menganut keyakinan Zoroastria. Ayahnya Isa ibn Surusyam adalah
pemuka masyarakat di Biston dan ibunya dikenal sebgai zahidah (orang
yang meninggalkan keduniaan) dan kakaknya Surusyam sebelum
memeluk Islam adalah penganut agama Majusi.
Al Bustami mempelajari ilmu fiqh terutama mazhab Hanafi lalu
kemudian mendalami tasawuf. Sebagian besar kehidupan “sufi” dan
“abid”nya dilaluinya di Biston. Ia selalu mendapat tekanan dari para
ulama Mutakallimin (Teolog) serta Penduduk di kota kelahirannya yang
tidak mengizinkan ia tinggal menyebabkan ia terusir dari negerinya
sampai akhirnya wafat pada tahun 261 H bertepatan dengan tahun 875 M.
Al-Bustami tidak meninggalkan karangan atau tulisan tetapi ia terkenal
lantaran ucapan-ucapannya. Terkadang ungkapannya dipandang sebagai
al-syathahat atau ungkapan ketuhanan misalnya ungkapannya : “Maha
suci Aku, Maha suci Aku, betapa besar keagungan-Ku” yang belakangan
dikumpulkan dalam kitab al-Luma (buku pancaran sinar) yang ditulis oleh
al-Sarraj.
Setelah ia wafat para ahli sufi masih banyak mengunjungi makam
al-Bustami, misalnya al-Hujwiri, bahkan sejumlah ahli sufi lainnya
menaruh hormat terhadap al-Bustami meski bukan berarti mereka
menerima kalimat-kalimatnya tanpa koreksi. Pengikut al-Bustami
kemuidian mengembangkan ajaran tasawuf dengan membentuk suatu
aliran tarikat bernama Taifuriyah yang diambil dari nisbah al-Bustami
yakni Taifur. Pengaruh terikat ini masih dapat dilihat dibeberapa dunia
Islam seperti Zaousfana’, Maghrib (meliputi Maroko, al-Jazair, Tunisia),
Chittagong dan Bangladesh.
Makam al-Bustami terletak ditengah kota Biston dan dijadikan
objek ziarah oleh masyarakat. Sebagian masyarakat mempercayai sebagai
wali atau orang yang memiliki kekaramatan. Sultan Moghul, Muhammad
Khudabanda memberi kubah pada makamnya pada tahun 713 H / 1313 M,
atas saran penasehat agama sultan bernama Syaikh Syafaruddin. Ahli sufi
berpendapat bahwa terdapat dua aliran tasawuf pada abad ketiga hijriah.
Pertama, aliran sufi yang pendapat-pendapatnya moderat, tasawufnya
selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah atau dengan kata lain
tasawuf yang mengacu kepada syari’at dan para sufinya adalah para ulama
terkenal serta tasawufnya didominasi oleh ciri-ciri normal.
Kedua, adalah aliran sufi yang terpesona dengan keadaan-keadaan
fana’ sering mengucapkan kata-kata yang ganjil yang terkenal dengan
nama syathahat, yaitu ucapan-ucapan ganjil yang dikeluarkan seorang sufi
ketika ia berada digerbang ittihad, Mereka menumbuhkan konsep-konsep
manusia melebur dengan Allah yang disebut ittihad ataupun hulul dan ciri-
ciri aliran ini cenderung metafisis. Diantara sufi yang berpendapat bahwa
manusia dapat bersatu dengan Tuhan adalah Abu Yazid al-Bustami yang
sekaligus dipandang sebagai pembawa faham al-Fana’, al-Baqa’, dan al-
ittihad.4
Dalam sejarah taswuf, Abu Yazid al-Bustami (w. 874 M/) disebut-
sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana dan
baqa ini. Nama kecilnya adalah Thaifur. Nama beliau sangat istimewa
dalam hati kaum sufi seluruhnya. Bermacam-macam pula anggapan orang
tentang pendiiriannya. Ia pernah mengatakan: “Kalau kamu lihat
seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar,
walaupun dia sanggup terbang di udara, maka janganlah kamu tertipu,

4
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, cet.III),
hlm.242.
sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syariat dan
menjauhi batas-batas yang dilarang syari’at.5
Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai baqa maka dari
mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati
memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku
dirinya sebagai Tuhan, padahal yang sesungguhnya ia tetap manusia, yaitu
manusia yang mengalami pengalaman batin bersatu dengan Tuhan. Di
antara ucapan ganjil yang keluar dari dirinya, misalnya: “Tidak ada Tuhan,
melainkan saya. Sembahlah saya, amat sucilah saya, alagkah besarnya
juasaku.”
Selanjutnya Abu Yazid mengatakan,
ْ ِ‫الَاِلَهَ اِالَّ اَنَا فَا ْعبُدْ ن‬
‫ي‬
Artinya: “Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku”.

‫ظ ُم شَأْنِ ْي‬
َ ‫ َما ا َ ْع‬,‫س ْب َحا نِ ْي‬
ُ ,‫س ْب َحا نِ ْي‬
ُ
Artinya: “Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku”.

Selanjutnya diceritakan yang berikut:


ِ ‫ْس فِى ْالبَ ْي‬
ِ‫ت َغي ُْرهللا‬ َ ‫ َم ْن ت َْطلُبُ ؟ قَا َل اَب ُْو يَ ِز ْيدَ قَا َل ُم َّر فَلَي‬:َ‫ب فَقَا ل‬
َ ‫اَت َى َر ُج ُل اَبَا يَ ِز ْيدَ َودَ َّق َعلَ ْي ِه اْلبَا‬
‫َع َّز َو َج َّل‬
Artinya: “Seorang lewat di rumah Abu Yazid dan mengetok pintu. Abu Yazid
bertanya: “Siapa yang engkau cari? “ Jawabnya: “Abu Yazid”. Lalu Abu
Yazid mengatakan: “Pergilah”. Di rumah ini tidak ada kecuali Allah Yang
Maha Kuasa dan Maha Tinggi”.

Pada lain kali Abu Yazid berkata,


ُ‫ْس فِى اْل ُجبَّ ِة اِالَّهللا‬
َ ‫لَي‬
Artinya: “Yang ada dalam baju ini hanyalah Allah”.6

Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yazid itu, bukanlah kata-kata sendiri
tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam ittihad yang

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984,


cet.XI), hlm.102.
6
Harun Nasution, op. Cit., hlm.86.
dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak
mengaku dirinya sebagai Tuhan.
Bagi orang yang bersikap toleran, ittihad dipandang sebagai
penyelewangan (inhiraf), tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama,
itu dipandang sebagai kekufuran. Paham ittihad ini selanjutnya dapat
mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud. Dengan demikian untuk
mencapai hulul dan wahdatul wujud pun sama dengan al-ittihad, yaitu melalui
fana dan baqa. Hulul dan wahdatul wujud ini akan dijelaskan pada bab
berikutnya.

4. Implemnetasi Al-Fana, Al-Baqa dan Al-Ittihad dalam Kehidupan


Sehari-hari
Paham fana dan baqa yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu
dipandang oleh sufi sebagai sejalan dengan konsep liqa al-rabbi menemui
Tuhan. Fana dan baqa merupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan.
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT yang berbunyi,
َ ً‫فَ َم ْن كَا نَ َي ْر ُج ْوا ِلقَآ َء َر ِب ِه فَ ْل َي ْع َم ْل َع َمال‬
)110 :‫صا ِل ًحا َّو الَ يُ ْش ِر ْك ِب ِع َبا دَ ِة َر ِب ِه اَ َحدًا (الكهف‬
Artinya: “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan
Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan
janganlah iamempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada-Nya”.
(QS. Al-Kahfi, 18:110)
Paham ittihad ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi
Musa ingin melihat Allah. Musa berkata: “Ya Tuhan, bagaimana supaya
aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman: Tinggallah dirimu
(lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu).
Ayat dan riwayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah SWT
telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan
secara rohaniah atau batiniah, yang caranya antara lain dengan beramal
saleh, dan beribadat semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat
dan akhlak yang buruk, menghilangkan kesadaran sebagai manusia,
meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan
sifat-sifat Allah, yang kesemuanya ini tercakup dalam konsep fana dan
baqa. Adanya konsep fana dan baqa ini dapat dipahami dari isyarat yang
terdapat dalam ayat berikut.
)26-27:‫ُك ُّل َم ْن َعلَ ْي َها فَا ٍن َّو يَبْقَ َوجْ هُ َر ِبكَ ذُاْل َجالَ ِل َواْ ِال ْك َر ِام (الرحمن‬
Artinya: “Semua yang ada di dunia ini akan binasa. Yang tetap kekal Dzat
Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”. (QS. Al-
Rahman,55:26-27)
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filosofi pembaharuan Islam dimulai ketika mereka sadar semakin
tertinggalnya Islam dengan peradaban yang tak bisa ternafikan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa, fana dalam pengertian harfiah adalah keadaan dari
syai (sesuatu) yang tidak berakhir, artinya apabila tetapnya suatu keadaan
telah berakhir, dikatakan ia telah mencapai fana’. Dengan demikian,
dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya
sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan
maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat
keTuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari
dosa dan maksiat. Dengan demikian maka doktrin sufi yang kita kenal
sebagai “ittihad” (kesatuan mistik), di mana sesorang manusia telah
berhasil melalui perjalanan yang panjang untuk bersatu dengan Tuhannya,
atau doktrin.
Abu Yazid al-Bustami adalah seorang yang dipandang sebagai
pambawa faham al-Fana’, al-Baqa, dan al-ittihad. Al-Qur’an juga
memberikan penjelasan tentang hal sufisme, dengan bukti diantaranya
penjelasan ayat diatas, berarti dapat kita simpulkan bahwa hal sufisme
juga sangat diperhatikan oleh Allah yang dapat kita lihat dari firmannya-
Nya.
DAFTAR PUSTAKA

Hamka, 1984, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka


Panjimas cet III.
Khaya sahib Khan, 1987, Cakrawala Tasawuf, Jakarta :CV. Rajawali
Nata Abudin , 2000, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,cet.III),
Rusli Ris’an, 2003, Tasawuf Dan Tarekat, Jakarta: Rajawali Press.
http://elfalasy88.wordpress.com/2008/08/21/fana-dan-baqa

Das könnte Ihnen auch gefallen