Sie sind auf Seite 1von 54

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN RESPIRATORY

PADA DEWASA
MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Oleh
Albertus Budi Arianto (30120110001)

Yunda Putri Indraswari (301200110024)

Claudia Olivia (301200110026)

Ferina Santi (301200110028)

Malvin Paula Batlolona (301200110038)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU


KESEHATAN SANTO BORROMEUS

BANDUNG

2011
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit saluran pernapasan merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian yang
paling sering dan penting pada anak, terutama pada bayi, karena saluran pernafasannya masih
sempit dan daya tahan tubuhnya masih rendah. Disamping faktor organ pernafasan , keadaan
pernafasan bayi dan anak juga dipengaruhi oleh beberapa hal lain, seperti suhu tubuh yang
tinggi, terdapatnya sakit perut, atau lambung yang penuh.
Banyak teori yang menerangkan patogenesis dari syndrom yang berhubungan dengan
kerusakan awal paru-paru yang terjadi dimembran kapiler alveolar.
Adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan akibat masuknya cairan ke dalam ruang
interstitial, seolah-olah dipengaruhi oleh aktifitas surfaktan. Akibatnya terjadi tanda-tanda
atelektasis. Cairan juga masuk dalam alveoli dan mengakibatkan oedema paru. Plasma dan sel
darah merah keluar dari kapiler-kapiler yang rusak, oleh karena itu mungkin perdarahan
merupakan manifestasi patologi.

B. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:

1. Mahasiswa mampu mendiskripsikan mengenai Lower Respiratory Problems

2. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi atau masalah keperawatan pada pasien


dengan gangguan respirasi khususnya pada Lower Respiratory Problem

C. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan makalah ini, yaitu: Mahasiwa dapat mendeskripsikan berbagai
penyakit dengan gangguan sistem respiratory, khususnya pada Lower Respiratory Problem.
D. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisna makalah ini, yaitu studi pustaka, mencari bahan di
perpustakaan dan internet.
BAB II

LANDASAN TEORI
A. Inflamasi dan Infeksi Pada Masalah Respirasi Bawah

1. Bronchitis Akut
a. Definisi
Bronkitis digambarkan sebagai inflamasi dari pembuluh bronkus. Inflamasi
menyebabkan bengkak pada permukaannya, mempersempit pembuluh dan
menimbulkan sekresi dari cairan inflamasi.
Bronchitis adalah suatu penyakit yang ditandai adanya dilatasi (ektasis)
bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik. Perubahan bronkus
tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa
destruksi elemen-elemen elastis dan otot-otot polos bronkus. Bronkus yang terkena
umumnya bronkus kecil (medium size), sedangkan bronkus besar jarang terjadi. Hal
ini dapat memblok aliran udara ke paru-paru dan dapat merusaknya.

Bronkitis Akut adalah batuk yang tiba-tiba terjadi karena infeksi virus yang
melibatkan jalan nafas yang besar. Bronkitis akut pada umumnya ringan.
Berlangsung singkat (beberapa hari hingga beberapa minggu), rata-rata 10-14 hari.
Meski ringan, namun adakalanya sangat mengganggu, terutama jika disertai sesak,
dada terasa berat, dan batuk berkepanjangan.

b. Etiologi
Bronkitis Akut selalu terjadi pada anak yang menderita Morbilli, Pertusis dan
infeksi Mycoplasma Pneumonia. Belum ada bukti yang meyakinkan bahwa bakteri
lain merupakan penyebab primer Bronkitis Akut pada anak.
 Seringkali disebabkan infeksi virus yang menyebabkan permukaan dalam
pembuluh bronkus menjadi inflamasi. Virus yang biasa menyerang adalah
rhinovirus, respiratory syncytial virus (RSV), dan influenza virus.
 Bakteri juga dapat menyebvabkan bronkitis seperti Mycoplasma,
Pneumococcus, Klebsiella, Haemophilus.
 Iritan kima seperti asap rokok gastric refluks yang dapat mengenai jalan nafas
atas, gasoline.

c. Patofisiologi
Virus dan bakteri biasa masuk melalui port d’entre mulut dan hidung “dropplet
infection” yang selanjutnya akan menimbulkan viremia/bakterimia dan gejala atau
reaksi tubuh untuk melakukan perlawanan.

Alergen Invasi kuman ke jalan nafas

Aktivasi IG.E Fenomena infeksi

Peningkatan Iritasi Mukosa Bronkus


pelepasan histamin
Penyebaran bakteri/virus ke
Edema mukosa sel seluruh tubuh.
goblet memproduksi
Bakterimia/viremia
mukus

Bersihan jalan Hipertemi Peningkatan laju


nafas tdk Peningkatan akumulasi
metabolisme
efektif sekret tubuh umum.
Demam

Batuk produktif Penyempitan jalan Malaise


nafas Gangg.keseimban
gan cairan
nyeri Intoleran aktivitas
Shortness of
breath
Tidak nafsu
makan Penggunaan
Nyeri pada
otot nafas
retrosternal
tambahan
Gang. Kebutuhan
nutrisi: kurang
dari kebutuhan Gang.pola
nafas

Patofisiologi bronkitis yang mengarah pada terjadinya masalah keperawatan (Mutaqin, 2008)
d. Manifestasi Klinik
Gejala utama bronkitis adalah timbulnya batuk produktif (berdahak) yang
mengeluarkan dahak berwarna putih kekuningan atau hijau. Dalam keadaan normal
saluran pernapasan kita memproduksi mukus kira-kira beberapa sendok teh setiap
harinya. Apabila saluran pernapasan utama paru (bronkus) meradang, bronkus akan
menghasilkan mukus dalam jumlah yang banyak yang akan memicu timbulnya
batuk. Selain itu karena terjadi penyempitan jalan nafas dapat menimbulkan
shortness of breath.
Menurut Gunadi Santoso dan Makmuri (1994), tanda dan gejala yang ada yaitu :
 Biasanya tidak demam, walaupun ada tetapi rendah
 Keadaan umum baik, tidak tampak sakit, tidak sesak
 Mungkin disertai nasofaringitis atau konjungtivitis
 Pada paru didapatkan suara napas yang kasar
Menurut Ngastiyah (1997), yang perlu diperhatikan adalah akibat batuk yang lama,
yaitu :
 Batuk siang dan malam terutama pada dini hari yang menyebabkan anak
kurang istirahat.
 Daya tahan tubuh anak yang menurun.
 Anoreksia sehingga berat badan anak sukar naik.
 Kesenangan anak untuk bermain terganggu.
 Konsentrasi belajar anak menurun.

e. Test Diagnostik
1. Foto Thorax : Tidak tampak adanya kelainan atau hanya hyperemia
2. Laboratorium : Leukosit > 17.500.
Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan:
1. Tes fungsi paru-paru
2. Gas darah arteri
3. Rontgen dada.

f. Penatalaksanaan

Pada bronkitis akut, tidak ada terapi spesifik, sebagian besar penderita
sembuh tanpa banyak masalah.

1. Tindakan Perawatan
Pada tindakan perawatan yang penting ialah mengontrol batuk dan mengeluarakan
lendir :
 Sering mengubah posisi
 Banyak minum
 Inhalasi
 Nebulizer
 Untuk mempertahankan daya tahan tubuh, setelah muntah dan tenang perlu
diberikan minum susu atau makanan lain

2. Tindakan Medis :
 Jangan beri obat antihistamin berlebih
 Beri antibiotik bila ada kecurigaan infeksi bakterial
 Dapat diberi efedrin 0,5 – 1 mg/KgBB tiga kali sehari
 Chloral hidrat 30 mg/Kg BB sebagai sedatif

2. Pneumonia
a. Definisi
Pneumonia adalah suatu peradangan atau inflamasi pada parenkim paru
yang umumnya disebabkan oleh agent infeksi.
Pneumonia adalah penyakit inflamasi pada paru yang dicirikan dengan
adanya konsolidasi akibat eksudat yang masuk dalam area alveoli. (Axton & Fugate,
1993).
) Pneumonia adalah inflasi parenkim paru, biasanya berhubungan dengan
pengisian cairan di dalam alveoli. Hal ini terjadi ini terjadi akibat adanya invaksi
agen atau infeksius adalah adanya kondisi yang mengganggu tahanan saluran.
Trakhabrnkialis, adalah pun beberapa keadaan yang mengganggu mekanisme
pertahanan sehingga timbul infeksi paru misalnya, kesadaran menurun, umur tua,
trakheastomi, pipa endotrakheal, dan lain-lain. Dengan demikian flora endogen yang
menjadi patogen ketika memasuki saluran pernafasan. ( Ngasriyal, Perawatan Anak
Sakit, 1997

b. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti:
1. Bakteri: stapilokokus, streplokokus, aeruginosa, eneterobacter
2. Virus: virus influenza, adenovirus
3. Micoplasma pneumonia
4. Jamur: candida albicans
5. Aspirasi: lambung
c. Patofisiologi
Sebagian besar pneumonia didapat melalui aspirasi partikel infektif. Ada
beberapa mekanisma yang pada keadaan normal melindungi paru dari infeksi.
Partikel infeksius difiltrasi di hidung, atau terperangkap dan dibersihkan oleh mukus
dan epitel bersilia di saluran napas. Bila suatu partikel dapat mencapai paru-paru,
partikel tersebut akan berhadapan dengan makrofag alveoler, dan juga dengan
mekanisme imun sistemik, dan humoral. Bayi pada bulan-bulan pertama kehidupan
juga memiliki antibodi maternal yang didapat secara pasif yang dapat melindunginya
dari pneumokokus dan organisme-organisme infeksius lainnya. Perubahan pada
mekanisme protektif ini dapat menyebabkan anak mudah mengalami pneumonia
misalnya pada kelainan anatomis kongenital, defisiensi imun didapat atau kongenital,
atau kelainan neurologis yang memudahkan anak mengalami aspirasi dan perubahan
kualitas sekresi mukus atau epitel saluran napas. Pada anak tanpa faktor-faktor
predisposisi tersebut, partikel infeksius dapat mencapai paru melalui perubahan pada
pertahanan anatomis dan fisiologis yang normal. Ini paling sering terjadi akibat virus
pada saluran napas bagian atas. Virus tersebut dapat menyebar ke saluran napas
bagian bawah dan menyebabkan pneumonia virus.
Kemungkinan lain, kerusakan yang disebabkan virus terhadap mekanisme
pertahanan yang normal dapat menyebabkan bakteri pathogen menginfeksi saluran
napas bagian bawah. Bakteri ini dapat merupakan organisme yang pada keadaan
normal berkolonisasi di saluran napas atas atau bakteri yang ditransmisikan dari satu
orang ke orang lain melalui penyebaran droplet di udara. Kadang-kadang pneumonia
bakterialis dan virus (contoh : varisella, campak, rubella, CMV, virus Epstein-Barr,
Virus Herpes Simpleks) dapat terjadi melalui penyebaran hematogen baik dari
sumber terlokalisir atau bakteremia/viremia generalisata.
Setelah mencapai parenkim paru, bakteri menyebabkan respons inflamasi
akut yang meliputi eksudasi cairan, deposit fibrin, dan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear di alveoli yang diikuti infitrasi makrofag. Cairan eksudatif di
alveoli menyebabkan konsolidasi lobaris yang khas pada foto toraks. Virus,
mikoplasma, dan klamidia menyebabkan inflamasi dengan dominasi infiltrat
mononuklear pada struktur submukosa dan interstisial. Hal ini menyebabkan
lepasnya sel-sel epitel ke dalam saluran napas, seperti yang terjadi pada bronkiolitis.

d. Manifestasi Klinik
 Secara khas diawali dengan awitan menggigil, demam yang timbul dengan cepat
(39,5 ºC - 40,5 ºC).
 Nyeri dada yang ditusuk-tusuk yang dicetuskan oleh bernafas dan batuk.
 Takipnea (25 – 45 kali/menit) disertai dengan pernafasan mendengur, pernafasan
cuping hidung
 Nadi cepat dan bersambung
 Bibir dan kuku sianosis
 Sesak nafas

e. Test Diagnostik
1. Sinar X: mengidentifikasikan distribusi struktural (misal: lobar, bronchial); dapat
juga menyatakan abses)
2. Pemeriksaan gram/kultur, sputum dan darah: untuk dapat mengidentifikasi semua
organisme yang ada.
3. Pemeriksaan serologi: membantu dalam membedakan diagnosis organisme
khusus.
4. Pemeriksaan fungsi paru: untuk mengetahui paru-paru, menetapkan luas berat
penyakit dan membantu diagnosis keadaan.
5. Biopsi paru: untuk menetapkan diagnosis
6. Spirometrik static: untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi
7. Bronkostopi: untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda asing

8. Penatalaksanan
Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tapi karena hal
itu perlu waktu dan pasien pneumonia diberikan terapi secepatnya:
 Penicillin G: untuk infeksi pneumonia staphylococcus.
 Amantadine, rimantadine: untuk infeksi pneumonia virus
 Eritromisin, tetrasiklin, derivat tetrasiklin: untuk infeksi pneumonia
mikroplasma.
 Menganjurkan untuk tirah baring sampai infeksi menunjukkan tanda-tanda
 Pemberian oksigen jika terjadi hipoksemia.
 Bila terjadi gagal nafas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup.

3. TBC
a. Definisi
Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan
oleh Mycobakterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma
pada jaringan yang terinfeksi. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob
yang dapat hidup terutama di paru / berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan
parsial tinggi. Penyakit tuberculosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat
menyebar ke hampir seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus
limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan. Individu
kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan
respon imun.
b. Etiologi
TB paru disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang merupakan
batang aerobic tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitive terhadap panas dan
sinar UV. Bakteri yang jarang sebagai penyebab, tetapi pernah terjadi adalah M.
Bovis dan M. Avium.

c. Patofisiologi
Pada tuberculosis, basil tuberculosis menyebabkan suatu reaksi jaringan
yang aneh di dalam paru-paru meliputi : penyerbuan daerah terinfeksi oleh makrofag,
pembentukan dinding di sekitar lesi oleh jaringan fibrosa untuk membentuk apa yang
disebut dengan tuberkel. Banyaknya area fibrosis menyebabkan meningkatnya usaha
otot pernafasan untuk ventilasi paru dan oleh karena itu menurunkan kapasitas vital,
berkurangnya luas total permukaan membrane respirasi yang menyebabkan
penurunan kapasitas difusi paru secara progresif, dan rasio ventilasi-perfusi yang
abnormal di dalam paru-paru dapat mengurangi oksigenasi darah.

Individu dengan Resiko


penyakit TBC infeksi

Paru-paru Jaringan paru Membentuk jaringan Berkurangnya luas total


terinfeksi
di invasi makrofag fibrosa permukaan membran
Metabolisme Batuk dan nyeri dada Pola nafas tidak efektif Penurunan kapasitas

meningkat difusi paru


Berkurangnya

Gangguan nutrisi Gangguan keseimbangan cairan oksigenasi darah

kurang dari kebutuhan kurang dari kebutuhan malasie

Iritasi jaringan paru Kurang perawatan diri Intoleransi


cemas
aktivitas
Batuk darah

Gangguan pertukaran gas


Peningkatan sekresi Bersihan jalan nafas tidak efektif
d. Manifestasi Klinik
Tanda
1. Penurunan berat badan
2. Anoreksia
3. Dispneu
4. Sputum purulen/hijau, mukoid/kuning.
Gejala
1. Demam
Biasanya menyerupai demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi
oleh daya tahan tubuh penderita dengan berat-ringannya infeksi kuman TBC
yang masuk.
2. Batuk
Terjadi karena adanya infeksi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk
kering kemudian setelah timbul peradangan menjadi batuk produktif
(menghasilkan sputum). Pada keadaan lanjut berupa batuk darah karena
terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada ulkus
dinding bronkus.
3. Sesak nafas.
Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana
infiltrasinya sudah setengah bagian paru.
4. Nyeri dada
Timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura (menimbulkan pleuritis)
5. Malaise
Dapat berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, berat badan turun, sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam.

5. Test Diagnostik

Pembacaan hasil tuberkulin dilakukan setelah 48 – 72 jam; dengan hasil


positif bila terdapat indurasi diameter lebih dari 10 mm, meragukan bila 5-9 mm. Uji
tuberkulin bisa diulang setelah 1-2 minggu. Pada anak yang telah mendapt BCG,
diameter indurasi 15 mm ke atas baru dinyatakan positif, sedangkan pada anak
kontrak erat dengan penderita TBC aktif, diameter indurasi ≥ 5 mm harus dinilai
positif. Alergi disebabkan oleh keadaan infeksi berat, pemberian immunosupreson,
penyakit keganasan (leukemia), dapat pula oleh gizi buruk, morbili, varicella dan
penyakit infeksi lain.

Gambaran radiologis yang dicurigai TB adalah pembesaran kelenjar nilus,


paratrakeal, dan mediastinum, atelektasis, konsolidasi, efusipieura, kavitas dan
gambaran milier. Bakteriologis, bahan biakan kuman TB diambil dari bilasan
lambung, namun memerlukan waktu cukup lama. Serodiagnosis, beberapa
diantaranya dengan cara ELISA (enzyime linked immunoabserben assay) untuk
mendeteksi antibody atau uji peroxidase – anti – peroxidase (PAP) untuk
menentukan Ig G spesifik. Teknik bromolekuler, merupakan pemeriksaan sensitif
dengan mendeteksi DNA spesifik yang dilakukan dengan metode PCR (Polymerase
Chain Reaction). Uji serodiagnosis maupun biomolekular belum dapat membedakan
TB aktif atau tidak.

Tes tuberkulin positif, mempunyai arti :

1. Pernah mendapat infeksi basil tuberkulosis yang tidak berkembang menjadi


penyakit.
2. Menderita tuberkulosis yang masih aktif
3. Menderita TBC yang sudah sembuh
4. Pernah mendapatkan vaksinasi BCG
5. Adanya reaksi silang (“cross reaction”) karena infeksi mikobakterium atipik.

6. Penatalaksanaan
a. Promotif
1. Penyuluhan kepada masyarakat mengenai TBC
2. Pemberitahuan baik melalui spanduk/iklan tentang bahaya TBC, cara
penularan, cara pencegahan, faktor resiko
3. Mensosialisasiklan BCG di masyarakat.
b. Preventif
1. Vaksinasi BCG
2. Menggunakan isoniazid (INH)
3. Membersihkan lingkungan dari tempat yang kotor dan lembab.
4. Bila ada gejala-gejala TBC segera ke Puskesmas/RS, agar dapat diketahui
secara dini.
c. Kuratif
Pengobatan tuberkulosis terutama pada pemberian obat antimikroba
dalam jangka waktu yang lama. Obat-obat dapat juga digunakan untuk
mencegah timbulnya penyakit klinis pada seseorang yang sudah terjangkit
infeksi. Penderita tuberkulosis dengan gejala klinis harus mendapat minuman
dua obat untuk mencegah timbulnya strain yang resisten terhadap obat.
Kombinasi obat-obat pilihan adalah isoniazid (hidrazid asam isonikkotinat =
INH) dengan etambutol (EMB) atau rifamsipin (RIF). Dosis lazim INH untuk
orang dewasa biasanya 5-10 mg/kg atau sekitar 300 mg/hari, EMB, 25 mg/kg
selama 60 hari, kemudian 15 mg/kg, RIF 600 mg sekali sehari. Efek samping
etambutol adalah Neuritis retrobulbar disertai penurunan ketajaman penglihatan.
Uji ketajaman penglihatan dianjurkan setiap bulan agar keadaan tersebut dapat
diketahui. Efek samping INH yang berat jarang terjadi. Komplikasi yang paling
berat adalah hepatitis. Resiko hepatitis sangat rendah pada penderita dibawah
usia 20 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 60 tahun keatas. Disfungsi
hati, seperti terbukti dengan peningkatan aktivitas serum aminotransferase,
ditemukan pada 10-20% yang mendapat INH. Waktu minimal terapi kombinasi
18 bulan sesudah konversi biakan sputum menjadi negatif. Sesudah itu masuk
harus dianjurkan terapi dengan INH saja selama satu tahun.

Baru-baru ini CDC dan American Thoracis Societty (ATS)


mengeluarkan pernyataan mengenai rekomendasi kemoterapi jangka pendek
bagi penderita tuberkulosis dengan riwayat tuberkulosis paru pengobatan 6 atau
9 bulan berkaitan dengan resimen yang terdiri dari INH dan RIF (tanpa atau
dengan obat-obat lainnya), dan hanya diberikan pada pasien tuberkulosis paru
tanpa komplikasi, misalnya : pasien tanpa penyakit lain seperti diabetes, silikosis
atau kanker didiagnosis TBC setelah batuk darah, padahal mengalami batu dan
mengeluarkan keringat malam sekitar 3 minggu.

4. Abses Paru
a. Definisi
Infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang terlokalisir
sehingga membentuk kavitas yg berisi nanah (pus) dalam parenkim paru pada satu
lobus atau lebih.

b. Etiologi
Beberapa penyebab dari abses paru adalah :
1. Pseudomonas aeruginosa.
2. Klebsiella pneumoniae.
3. Staphylococcus aureus (dapat menyebabkan beberapa abscesses).
4. Streptococcal pneumonia.
5. spesies Nocardia.
6. spesies Fungal.

c. Patofisiologi
Menurut Prof. dr . Hood Alsagaff (2006) adalah, bila terjadi aspirasi, kuman
Klebsiela Pneumonia sebagai kuman komensal disaluran pernapasan atas ikut masuk
ke saluran pernapasan bawah, akibat aspirasi berulang, aspirat tidak dapat
dikeluarkan dan pertahanan saluran napas menurun sehingga terjadi keradangan.
Proses keradangan dimulai dari bronki atau bronkiol, menyebar ke parenchim paru
yang kemudian dikelilingi jaringan granulasi. Perluasan ke pleura atau hubungan
dengan bronkus sering terjadi, sehingga pus atau jaringan nekrotik dapat dikeluarkan.
Drainase dan pengobatan yang tidak memadai akan menyebabkan proses abses yang
akut akan berubah menjadi proses yang kronis atau menahun.
d. Manifestasi Klinik
 Malaise umum
 Kurangnya berat badan
 Demam
Ketika abses paru berhubungan dengan pneumonia atau infeksi melalui darah :
 Merasa kesakitan
 Batuk dengan sputum purulen sering ditemukan

e. Test Diagnostik
1. Laboratorium
 Pemeriksaan darah rutin :
 Ditemukan leukositosis, meningkat lebih dari 12.000/mm3 atau
bahkan pernah dilaporkan sampai 32.700/mm3
 Laju endapan darah ditemukan meningkat >58 mm/1 jam
 Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH
merupakan pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan antibiotik
secara tepat.
 Pemeriksaan kultur bakteri dan tes kepekaan antibiotika merupakan cara
terbaik dalam menegakkan diagnosa klinis dan etiologis serta tujuan
terapi.
 Pemeriksaan AGD menunjukan penurunan tekanan angka O2 dalam
darah arteri
2. Bronkoskopi  akurasi >80%.
3. Aspirasi jarum per kutan.
4. Radiologi
5. Foto dada PA dan lateral.
6. CT scan.
7. DD: TBC, bulla infeksi, emboli septik, keganasan, nodul reumatoid, vaskulitis,
sarkoidosis, infark paru, kongenital.

f. Penatalaksanaan
1. Terapi antimikroba intravena tergantung pada hasil kultur sputum dan
sensitivitas yang diberikan untuk periode yang lama. Pengobatan pilihan
tergantung pada organisme yang diisolasi.
2. Klindamisin merupakan obat pilihan, diikuti penisilin dengan metronidasol.
Seftasidim ditambah aminoglikosida atau sefoperazon digunakan jika organisme
penyebabnya adalah Pseudomonas Aeruginosa. S.Aureus diobati dengan
oksasilin, nafsilin, atau sefalosporin (sefuroksim) generasi pertama. Dosis
inravena yang banyak biasanya diperlukan, karena antibiotik harus menembus
jaringan nekrotik dan cairan dalam abses. Pengobatan ini dilanjutkan dengan
terapi jangka panjang preparat oral.
3. Drainase adekuat abses paru sering dicapai melalui drainase postural dan
fisioterapi dada. Penggunaan bronkoskopi untuk mengalirkan abses merupakan
hal yang kontroversial. Tindakan ini akan sangat berguna untuk menyingkirkan
benda asing atau tumor atau untuk mencari letak saat drainase bronkus.
4. Diet tinggi protein dan kalori penting karena infeksi kronis berkaitan dengan
keadaan katabolik, yang memerlukan peningkatan masukan kalori dan protein
untuk mempercepat penyembuhan.
5. Antibiotik oral menggantikan terapi intravena, setelah pasien menunjukan tanda-
tanda perbaikan, dalam 3-4 hari, seperti yang ditunjukkan dengan suhu tubuh
yang normal, penurunan hitung sel darah putih, dan perbaikan dalam gambaran
hasil rontgen dada ( resolusi infiltrat sekitarnya, penurunan ukuran kavitas, dan
tidak terdapat cairan). Jika pengobatan dihentikan terlalu cepat, dapat terjadi
relaps. Lamanya terapi antobiotik mungkin akan berkisar 6-16 minggu.
6. Intervensi bedah jarang dilakukan. Namun, reseksi paru (lobektomi) dilakukan
jika terjadi hemoptisis masif, malignansi, atau tidak memberikan respon
terhadap penatalaksanaan medik.

B. Emboli Paru
a. Definisi
Emboli paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis (arteri paru-paru) oleh
embolus secara tiba-tiba terjadi ( Perisai Husada Klinik Specialis penyakit dalam dan
syaraf)
Emboli paru adalah obstruksi salah satu atau lebih arteri pulmonalis oleh
trombus yang berasal dari suatu tempat. ( brunner dan suddarth, 1996, 620)

b. Etiologi
Kebanyakan kasus emboli paru ( brunner dan suddarth, 1996, 620) disebabkan oleh :
1. Bekuan darah
2. Gelembung udara
3. Lemak
4. Gumpalan parasit
5. Sel tumor

c. Patofisiologi
Satu dari komponen trias virchow ( stasis, hiperkoagulabilitas dan cedera
intimal ), menggambarkan hampir semua pasien dengan emboli paru. Risiko penyakit
meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Faktor idiopatik ikut terlibat dalam
salah satu faktor yang menyebabkan keadaan protrombotik. Trombosis vena dalam
paling sering berasal dari vena yang berasal dari tungkai bawah dan biasanya
menyebar ke bagian proksimal sebelum akhirnya mengalami embolisasi. Ada
beberapa emboli yang berasal langsung dari trombus vena yang terdapat di tungkai
bawah, sekitar 95% trombus mengalami embolisasi ke paru-paru dan melepaskan diri
dari vena dalam bagian proksimal bagian bawah kaki ( termasuk bagian atas vena
poplitea). Trombosis yang berkembang di vena subklavia aksilaris disebabkan oleh
munculnya kateter pada vena sentral, biasanya terdapat pada pasien dengan penyakit
yang ganas dan trombosis pada ekstremitas atas yang diinfuksi oleh aktivitas.
Kejadian hipoksemia menstimulasi saraf-saraf simpatik yang mengakibatkan
vasokonstriksi di pembuluh-pembuluh darah sistemik, meningkatkan vena balik dan
strok volume. Pada emboli yang masih masif, kardiak output biasanya berkurang
akan tetapi terus-menerus meningkat tekanan pada atrium kanannya. Peningkatan
resistensi pembuluh darah pulmonal menghalangi aliran darah ventrikel kanan
sehingga mengurangi beban dari ventrikel kiri. Sekitar 25% hingga 30% oklusi dari
vaskular oleh emboli berhubungan dengan peningkatan tekanan di arteri pulmonalis.
Dengan keadaan lebih lanjut seperti obstruksi pembuluh darah, hipoksemia yang
memburuk, stimulasi vasokonstriksi dan peningkatan tekanan arteri pulmonalis.
Lebih dari 50% obstruksi yang terdapat pada arteri pulmonalis biasanya muncul
sebelum terdapat peningkatan yang besar dari tekanan arteri pulmonalis. Ketika
obstruksi yang terdapat pada sirkulasi arteri pulmonalis makin membesar, ventrikel
kanan harus menghasilkan tekanan sistolik lebih dari 50mmHg dan rata-rata tekanan
arteri pulmonalis lebih dari 40 mmHg untuk mempertahankan perfusi pulmonal.
Pasien dengan penyakit kardiopulmonal sering terjadi kerusakan substansial pada
kardiak outputnya dibandingkan dengan orang dengan kondisi tubuh yang normal.

d. Manifestasi Klinik
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik baik trombosis vena dalam maupun
emboli paru biasanya tidak spesifik. Pasien dengan trombosis pada vena ekstremitas
bawah biasanya tidak disertai dengan eritema, demam, nyeri, dan bengkak. Ketika
tanda-tanda tersebut muncul, biasanya tanda tersebut tidaklah spesifik akan tetapi bila
dievaluasi kembali bisa dinilai. Nyeri dengan dorsi eksi pada bagian kaki (tanda
homans) akan muncul pada trombosis vena dalam, akan tetapi kadang tanda ini juga
kurang sensitif. Gejala yang paling sering terjadi emboli paru yaitu sesak napas, lalu
nyeri dada pleuritik dan muntah darah yang terjadi pada infark pulmonal yang
disebabkan oleh emboli yang lebih kecil di bagian perifer. Palpitasi, batuk,
kecemasan biasanya merupakan gejala-gejala yang tidak spesifik pada emboli
pulmonal akut. Sinkop biasanya muncul pada emboli pulmonal yang masih masiv.
Takipneu dan takikardi merupakan tanda dari emboli paru yang paling umum, akan
tetapi memang masih tidak spesifik. Gejala-gejala lain yang muncul juga meliputi
demam, wheezing, nyeri pada pleura, serta pengangkatan ventrikel kanan. Sesak
napas, takipneu serta hipoksemia pada pasien biasanya diikuti pada pasien-pasien
dengan penyakit kardiopulmonal.

e. Test Diagnostik
Kelainan laboratorium ( darah tepi, kimia darah, analisis gas darah,
elektrokardiografi, dan radiologi) yang ditemukan pada pasien emboli paru
merupakan kelainan yang tidak spesifik, serta tidak dapat menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan laboratorium tersebut penting dilakukan dengan tujuan atau dapat
dimanfaatkan untuk menyingkirkan penyakit lainnya.
1. Pemeriksaan darah tepi
Kadang-kadang ditemukan leukositosis dan laju endap darah yang
sedikit meninggi.

2. Pemeriksaan D-dimer
D-dimer plasma, produk hasil degradasi dari fibrin yang berikatan
silang (cross-linked fibrin), telah diteliti secara bertahun-tahun. Kadar D-
dimer yang meningkat di plasma yang terdapat pemebkuan akut didalamnya
karena aktivasi terus menerus dari pembekuan dan fibrinolisis. Karena itu
nilai normal D-dimer pada fase akut dari PE dan DVT tidaklah mungkin,
dengan kata lain nilai duga negatif D dimer tinggi. Sebaliknya, meskipun D-
dimer sangat spesifik untuk fibrin, spesifitas untuk fibrin karena
tromboempolisme vena rendah karena fibrin di produksi oleh banyak faktor
seperti penuaan, kanker, atau peradangan, infeksi, nekrosis, diseksi aorta
karena itu nilai duga positif untuk D-dimer rendah. Karena itu, D-dimer tidak
berguna ntuk menegakkan diagnosis PE.
Ada berbagai macam tes D-dimer, beberapa di antaranya tidak cocok
sebagai tes diagnostik untuk emboli paru. D-dimer tes yang telah disahkan
sebagai tes untuk emboli paru bervariasi dalam sensitivitas dan spesifisitas,
sebagian karena perbedaan dalam akurasi mereka dan sebagian lagi karena
nilai cutoff yang mereka gunakan untuk mendefinisikan normalitas (yaitu,
trade-off antara sensitivitas dan spesifisitas) . Dalam prakteknya, sebagian
besar tergantung pada sensitivitas dan terkait rasio kemungkinan negatif.

3. Kimia darah
Pada emboli paru masih dapat ditemukan peningkatan kadar enzim
SGOT, LDH dan CPK yang arti klinisnya masih belum jelas. Terdapat
peningkatan kadar FDP yang mencapai puncaknya pada hari ketiga serangan.
Parameter laboratorium ini lebih mempunyai arti klinis mengingat angka
negatif atau positif palsunya relatif kecil.

4. Analisis gas darah


Biasanya didapatkan PaO2 rendah, tetapi tidak jarang ditemukan
pasien dengan serangan emboli paru mempunyai PaO2 lebih dari 80mmHg.
Menurunnya PaO2 disebabkan gagalnya fungsi perfusi dan ventilasi paru.
PaCO2 umumnya dibawah 40mmHg dan penurunan PaCO2 ini terjadi karena
reaksi kompensasi hiperventilasi sekunder.

5. Elektrokardiografi
Kelainan yang ditemukan pada EKG juga tidaklah spesifik untuk
emboli paru, tetapi tidak dapat dipakai sebagai petanda pertama dugaan
adanya emboli paru, terlebih kalau digabungkan dengan keluhan dan
gambaran klinis lainnya. Pada emboli paru masif kira-kira 77% kasus akan
menunjukkan gambaran EKG seperti pada pasien korpulmonal akut sebagai
berikut :
 Adanya strain ventrikel kanan
 Perputaran searah jarum jam dan ditemukannya gambaran rS atau RS
pada V1 sampai V5/V6 dan juga qR pada V1 dan V2
 Terdapat tanda klasik korpulmonal akut S1Q3 atau S1 Q3 T3 juga QR
pada aVF dan III serta elevasi segmen ST menyerupai infark miokard
akut
 Terdapat RBBB komplet atau inkomplet
 Gelombang P pulmonal pada II, III, dan aVF
 Lain-lain : aritmia, takikardi dan gelepar atrial

6. Kelainan radiologis
Pada pemeriksaan foto rongent dada pasien emboli, biasanya
ditemukan kelainan, yang sering berhubungan adanya kelainan penyakit
kronik paru atau jantung. Memang tidak ada gambaran patognomonik untuk
emboli paru pada hasil foto dada. Pada pasien emboli paru tanda radiologik
yang sering didapatkan adalah pembesaran arteri pulmonalis desendens,
peninggian diafragma bilateral, pembesaran jantung kanan, densitas paru
daerah terkena dan tanda western mark. Pembesaran arteri pulmonalis
desendens disebabkan karena peningkatan terkanan arteri tersebut dan
menyebabkan dilatasi pembuluh darah diatas obstruksi. Pembesaran jantung
kanan bervariasi besarnya, sering-sering sulit dideteksi. Tanda western mark
yaitu suatu hiperlusens paru dan ini dianggap paling khas pada emboli paru.
f. Penatalaksanaan
Menurut Brunner dan Suddarth (1996, 623) tujuan pengobatan adalah untuk
menghancurkan (lisis) emboli yang ada dan mencegah pembentukan yang baru.
Pengobatan emboli paru dapat mencakup beragam modalitas :
1. Terapi antikoagulan, meliputi heparin, natrium warfarin telah menjadi
metode tradisional untuk mengatasi trombosis vena profunda akut dan
embolisme paru.
2. Terapi trombolitik, meliputi urokinase, streptokinase mungkin juga
digunakan untuk mengatasi embolisme paru, terutama pada pasien yang
sangat terganggu. Terapi trombolitik menghancurkan trombus atau
emboli lebih cepat dan memulihkan fungsi hemodinamik sirkulasi paru
lebih besar, karena mengurangi hipertensi paru dan memperbaiki
perfusi, oksigenasi, dan cardiac output.
3. Tindakan umum untuk meningkatkan status pernapasan dan vaskuler.
Terapi oksigen diberikan untuk memperbaiki hipoksia dan untuk
menghilangkan vasokontriksi vaskular paru dan mengurangi hipertensi
paru.
4. Intervensi bedah. Intervensi bedah yang dilakukan adalah embolektomi
paru, tetapi embolektomi paru dapat diindikasikan dalam kondisi
berikut:
a. Jika pasien mengalami hipotensi persisten, syok, dan gawat
panas.
b. Jika tekanan arteri pulmonal sanggat tinggi.
c. Jika anngiogram menunjukan obstruksi bagian besar pembuluh
darah paru

C. Edema Paru
a. Definisi
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat
peningkatan tekanan intravaskular.

b. Etiologi
Ketidak-seimbangan Starling Forces :
A. Peningkatan tekanan kapiler paru :
1. Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel
kiri (stenosis mitral).
2. Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi
ventrikel kiri.
3. Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan
tekanan arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
B. Penurunan tekanan onkotik plasma.
1. Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-
losing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.
C. Peningkatan tekanan negatif intersisial :
1. Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
2. Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas
akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
D. Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
1. Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.

Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress


Syndrome)

A. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).


B. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb).
C. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-
naphthyl thiourea).
D. Aspirasi asam lambung.
E. Pneumonitis radiasi akut.
F. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
G. Disseminated Intravascular Coagulation.
H. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
I. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
J. Pankreatitis Perdarahan Akut.

Insufisiensi Limfatik :
A. Post Lung Transplant.
B. Lymphangitic Carcinomatosis.
C. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).

Tak diketahui/tak jelas


A. High Altitude Pulmonary Edema.
B. Neurogenic Pulmonary Edema.
C. Narcotic overdose.
D. Pulmonary embolism.
E. Eclampsia
F. Post Cardioversion.
G. Post Anesthesia.
H. Post Cardiopulmonary Bypass.
c. Patofisiologi
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi
ketika cairan dari bagian dalam pembuluh-pembuluh darah merembes keluar
pembuluh darah kedalam jaringan-jaringan sekelilingnya, menyebabkan
pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu banyak tekanan dalam pembuluh-
pembuluh darah atau tidak ada cukup protein-protein dalam aliran darah untuk
menahan cairan dalam plasma (bagian dari darah yang tidak megandung segala sel-
sel darah).
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-
paru. Area yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru
ditempati oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini
adalah dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon
dioksida dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli
normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara
ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dindig ini kehilangan
integritasnya. Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan
yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya
udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran gas (oksigen
dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah
yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air dalam paru-paru” ketika
menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien. Pulmonary edema dapat disebabkan
oleh banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat dihubungkan pada gagal jantung,
disebut cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan pada sebab-sebab lain,
dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary edema.

d. Manifestasi Klinik
Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini
mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang
secara perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari
pulmonary edema akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah,
lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas yang biasa
(dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea), kepeningan, atau kelemahan.
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada
pasien-pasien dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru
dengan stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal,
sepeti rales atau crackles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang
berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernapas).

e. Test Diagnostik

Untuk mengidentifikasi penyebab dari pulmonary edema, penilaian


keseluruhan dari gambar klinis pasien adalah penting. Sejarah medis dan
pemeriksaan fisik yang saksama seringkali menyediakan informasi yang tidak
ternilai mengenai penyebab.
 Pemeriksaan Fisik

 Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
 Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh
lapangan paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang
akibat bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale. Takikardia
dengan S3 gallop. Murmur bila ada kelainan katup.

 Elektrokardiografi Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi
atrium, tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri
atau aritmia bisa ditemukan

 Laboratorium
 Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian
hiperkapnia.
 Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
 Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG,
enzim jantung (CK-MB, Troponin T), angiografi koroner.

 Foto thoraks Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada.
Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang
menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang
dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-
bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur
tulang dari dinding dada.

 X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak
tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang
lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan)
yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang
paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari
pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang
penyebab yang mungkin mendasarinya.

Gambaran Radiologi yang ditemukan :

1. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)


2. Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
3. Kranialisasi vaskuler
4. Hilus suram (batas tidak jelas)
5. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier)
f. Penatalaksanaan
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika
memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada
4. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 –
10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin
intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka
dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak
memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan
klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya
mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital.
5. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya dihindari).
6. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan
tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1
ml/kgBB/jam.
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan
hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil
dengan oksigen.
10. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
11. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur
dinding ventrikel / corda tendinae.

2. Ca-Paru
a. Definisi
 Kanker adalah pertumbuhan sel abnormal yang cenderung menyerang
jaringan disekitarnya dan enyebar ke organ tubuh lain yang letaknya jauh.
(Elizabeth J. Corwin. 2009: 66)
 Kanker paru adalah Sebagian besar kanker paru-paru berasal dari sel-sel di
dalam paru-paru; tetapi kanker paru-paru bisa juga berasal dari kanker di
bagian tubuh lainnya yang menyebar ke paru-paru. (Radenbeletz,
http://medicastore.com/penyakit/6/Kanker_Paru.html)
 Kanker paru adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup keganasan
yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari luar paru (metastasis
tumor di paru).( Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)
 kanker paru adalah sebuah bentuk perkembangan sel yang sangat cepat
(abnormal) di dalam jaringan paru yang disebabkan oleh perubahan bentuk
jaringan sel atau ekspansi dari sel itu sendiri. (artikel kesehatan dan info
penyakit ,http://www.spesialis.info/?waspadai-gejala-penyakit-kanker-paru-
paru,308)

Kesimpulan: Kanker paru adalah pertumbuhan sel kanker yang tidak terkendali
yang terjadi di jaringan paru dan menyerang jaringan biologis didekatnya serta
bermetastasis melalui sirkulasi darah dan limfatik.

b. Etiologi
Meskipun etiologi sebenarnya dari kanker paru belum diketahui, teteapi ada beberapa
factor yang bertanggung jawab dalam peningkatan insiden kanker paru:
1. Merokok
Tak diragukan lagi merupakan factor utama, suatu hubungan statistik yang
definitive telah ditegakkan antara perokok berat (lebih dari 20 batang perhari) dari
kanker paru (karsinoma bronkogenik). Perokok seperti ini mempunyai
kecendrungan 10 kali lebih besar dari pada perokok ringan. Selanjutnya orang
perokok berat yang sebelumnya dan telah meninggalkan kebiasaannya akan
kembali pada pola resiko bukan perokok dalam waktu sekitar 10 tahun.
Hidrokarbon karsinogenik telah ditemukan dalam tar dari tembakau rokok. Yang
jika dikenakan pada kulit hewan, menimbulkan tumor.
2. Radiasi
Efek radiasi pengion berkaitan dengan efek mutageniknya; radiasin ini
menyababkan pemutusan, translokasi, dan yang lebih jarang mutasi titik pada
kromosom. Secara biologis, pemutusan DNA untaiganda tampaknya merupakan
hal terpenting dalam karsinogenesis radiasi.
3. Kanker paru akibat kerja
Terdapat insiden yang tinggi dari pekerja yang terpapar dengan karbonil nikel
(pelebur nikel) dan arsenic (pembasmi rumput). Pekerja pemecah hematite (paru
– paru hematite) dan orang – orang yang bekerja dengan asbestos dan dengan
kromat juga mengalami peningkatan insiden.
4. Polusi udara
Mereka yang tinggal di kota mempunyai angka kanker paru yang lebih dari pada
mereka yang tinggal di desa dan walaupun telah diketahui adanya karsinogen dari
industri dan uap diesel dalam atmosfer dikota.
5. Genetik
Terdapat perubahan / mutasi beberapa gen yang berperan dalam kanker paru,
yakni:
a. Proton onkogen
b. Tumor suppressor gen
c. Gene encoding enzymem

c. Patofisiologi
Ada tiga langkah perkembangan kanker, yaitu insiasi, promosi dan progresi.
Insiasi atau tahap awal yang dimulai dengan sel-sel yang normal mengadakan kontak
dengan karsinogen. Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen atau sub-
bronkus menyebabkan silia hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan
karsinogen. Tahap kedua yaitu promosi, dengan adanya pengendapan karsinogen
maka menyebabkan metaplasia, hiperplasia, dan displasia. Termasuk dalam faktor-
faktor promosi yaitu rokok, penyalahgunaan alkohol, dan komponen makanan yang
terus menerus mempengaruhi sel-sel yang sudah mengadakan mutasi atau perubahan.
Faktor-faktor promotor ini menambah perubahan struktur sel, sehingga kecepatan
mutasi spontan juga bertambah. Selain itu jumlah sel-sel yang tidak normal juga
meningkat. Pada tahap akhir yaitu progresi: bila lesi perifer yang disebabkan oleh
metaplasia, hiperplasia, dan displasia menembus ruang pleura biasa timbul efusi
pleura, dan bisa di ikuti invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra. Lesi yang
letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi ini
menyebabkan obstruksi dan ulserasi bronkus di ikuti dengan supurasi dibagian distal.
Gejala-gejala yang timbul dapat berupa batuk, hemoptisis, dipsnea, demam dan
dingin. Wheezing unilateral dapat terdengar pada auskultasi. Pada stadium lanjut,
penurunan berat badan biasanya menunjukkan adanya metastase, khususnya pada
hati. Kanker paru dapat bermetastase ke struktur-struktur terdekat seperti kelenjar
limfe, dinding esofagus, perikaarrdium, otak, tulang rangka.
Karsinoma bronkhogenik berawal sebagai lesi mukosa kecil yang biasanya
padat dan berwarna abu-abu putih. Lesi dapat membentuk massa intralumen,
menginvasi mukosa bronchus, atau membentuk massa besar yang mendorong
parenkim paru di dekatnya. Beberap tumor besar mengalami kavitasi akibat nekrosis
sentral atau terbentuknya focus perdarahan. Akhirnya, tumor ini dapat meluas ke
strukutur intrathoraks di dekatnya. Penyebaran yang lebih jauh dapat terjadi melalui
limfatik atau darah.
Karsinoma bronkhogenik biasanya dibedakan menjadi karsinoma paru –
paru sel kecil (SCLC), yaitu karsinoma oat cell. Sedangkan karsinoma paru – paru sel
tidak kecil (NSCLC), yaitu karsinoma sel skuamosa, adenokarsinoma, dan karsinoma
sel besar.
Karsinoma sel oat (oat cell), biasanya terletak di tengah di sekitar
percabangan utama bronchi. Tumor ini timbul dari sel – sel Kulchitsky, kompnen
norma dari epitel bronkus. Secara mikroskopis, tumor ini terbentuk dari sel – sel kecil
dengan inti hiperkromatik pekat dan sitoplasma sedikit. Karsinoma oat cell memiliki
waktu pembelahan yang tercepat dan prognosis yang terburuk dibandingkan dengan
semua karsinoma bronkogenik. Metastasis dini ke mediastinum dan kelenjar limfe
hilus, demikian pula dengan penyebaran hematogen ke organ – organ distal, sering
dijumpai.
Karsinoma sel skuamosa berasal dari permukaan epitel bronkus. Perubahan
epitel termasuk metaplasia, atau displasia akibat merokok jangka panjang, secara khas
mendahului timbulnya tumor. Tumor ini cenderung timbul di bagian tengah bronkus
utama dan akhirnya menyebar ke kelenjar hilus local, tetapi tumor ini lebih lambat
menyebar keluar thoraks dibandingkan dengan tipe histologik lain. Karsinoma sel
skuamosa seringkali disertai batuk dan hemoptisis akibat iritasi atau ulserasi,
pneumonia, dan pembentukan abses akibat abstruksi dan infeksi sekunder.
Adenokarsinoma, memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronchus
dan dapat mengandung mucus. Biasanya timbul di bagian perifer segmen bronkus dan
kadang – kadang dapat dikaitkan denga jaringan parut local pada paru – paru dan
fibrosis interstitial kronik. Lesi seringkali meluas melalui pembuluh darah dan limfe
pada stadium dini, dan secara klinis tetap tidak menunjukan gejala – gejala sampai
terjadi metastasis yang jauh.
Karsinoma sel besar adalah sel – sel ganas yang besar dan berdifferensiasi
sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam – macam. Sel –
sel ini cenderung untuk timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan
penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat – tempat yang jauh.
Secara keseluruhan, NSCLC memiliki prognosis lebih baik daripada SCLC. Jika
NSCLC ( karsinoma sel skuamosa atau adenokarsinoma) terdeteksi sebelum
metastasis atau penyebaran local dapat dicapai kesembuhan dengan lobektomi atau
pneumonektomi.

d. Manifestasi Klinik
Gejala paling umum yang ditemui pada penderita kanker paru adalah :
1. Batuk yang terus menerus atau menjadi hebat
2. Dahak berdarah, berubah warna dan maikn banyak
3. Nafas sesak dan pendek – pendek
4. Sakit kepala, nyeri atau retak tulang dengan sebab yang tidak jelas
5. Kelelahan kronis
6. Kehilangan selera makan atau turunnya berat badan
7. Suara serak atau parau
8. Pembengkakan di wajah atau leher
e. Test Diagnostik
1. Foto Rontgen Dada secara Posterior-Anterior (PA) dan Lateral
Pola foto rontgen dada berdasarkan gambaran histology
Squamous Small Adeno- largecell
cell cell carsinoma
carcinoma
Masa hilar atau prihilar 40 % 78% 17% 32%
Lesi parenkim
< 4,0 cm 9% 21% 45% 18%
> 4,0 cm 19% 8% 26% 41%
Obstruksi, pneumonitis, 31% 32% 74% 65%
kolaps/kontriksi daerah
peripleural
Mediastinal 2% 13% 3% 10%
enlargement

Pada kanker paru, pemeriksaan foto rontgen dada ulang diperlukan juga untuk
menilai doubling time-nya. Dilaporkan bahwa, kebanyakan kanker paru
mempunyai doubling time 37-65 hari. Bila doubling time >18 bulan berarti
tumornya benigna. Tanda-tanda tumor benigna lainnya adalah lesi berbentuk bulat
konsentris, solid dan adanya kalsifikasi yang tegas.

2. Pemeriksaan Computed Tomography dan Magnetic Resonance Imaging


Pemeriksaan CT Scan pada torak, lebih sensitive dari pada pemeriksaan foto dada
biasa, karena bisa mendeteksi kelainan nodul dengan diameter minimal 3mm,
walaupun positif palsu untuk kelainan sebesar itu mencapai 25-60%.
Pemeriksaan MRI torak tidak lebih superior dibandingkan CT Scan torak. Saat ini
sedang dikembangkan teknik imaging yang lebih akurat yakni, Positron Emmision
Tomography (PET) yang dapat membedakan tumor jinak dan ganas berdasarkan
perbedaan biokimia dalam metabolism zat-zat seperti glukosa, oksigen, protein,
asam nukleat. Contoh zat yang dipakai : methionine 11 C dan F-18
flurodeoxyglucose (FD6).Beberapa positif palsu untuk tanda malignan ditemukan
juga pada lesi inflamasi dan infeksi seperti aspergilosis dan tuberculosis.

3. Pemeriksaan Bone Scanning


Pemeriksaan ini diperlukan bila diduga ada tanda-tanda metastasis ke tulang.
Insiden tumor NSCLC ke tulang dilaporkan sebesar 15%.
4. Pemeriksaan Sitologi
Pemeriksaan sitologi sputum rutin dikerjakan terutama bila pasien ada keluhan
seperti batuk. Pemeriksaan sitologi tidak selalu memberikan hasil positif karena
tergentung dari :
a. Letak tomor terhadap bronkus
b. Jenis tumor
c. Teknik mengeluarkan sputum
d. Jumlah sputum yang diperiksa. Dianjurkan 3-5 hari berturut-turut.
e. Waktu pemeriksaan sputum (sputum harus segar)
Pada kanker yang letaknya sentral, pemeriksaan sputum yang baik dapat
memberikan hasil positif sampi 67-85% pada karsinoma sel skuamosa.
Pemeriksaan sitologi lain untuk mendiagnostik kanker paru dapat dilakukan pada
cairan pleura, aspirasi kelenjar getah bening servikal, supraklavikula, bilasan dan
sikatan bronkus pada bronkoskopi.

5. Pemeriksaan Hispatologi
Merupakan standard emas diagnosis kanker paru, untuk mendapatkan spesimennya
dapat dengan cara biopsy melalui :
a. Bronkoskopi
b. Transtorakal biopsy
c. Torakoskopi
d. Mediastinoskopi

6. Pemeriksaan Serologi
Sampai saat ini belum ada penanda tumor-tumor (tumor-marker) untuk diagnostic
kanker paru yang spesifitasnya tinggi. Beberapa tes yang dipakai adalah :
a. CEA (Carcinoma Embryonic Antigen)
b. NSE (Neuro-Spesific enolase)
c. Cyfra 21-1 (Cytokeratin fragments 19)

f. Penatalaksanaan

1. Manajemen tanpa pembedahan


a. Terapi oksigen
Diberikan jika pasien mengalami hipoksemia, perawat dapat memnerikan
oksigen via masker atau nasal sesuai dengan permintaan
b. Terapi obat
Jika pasien mengalami bronkospasme dapat diberikan bronkodilator dan
kortikosteroid untuk mengurangi bronkospasme, inflamasi, dan edema.
Opiat diberikan terutama untuk membantu mengurangi nyeri dan dyspnea.
c. Kemoterapi
Kemoterapi digunakan untuk mengganggu pola pertumbuhan tumor, untuk
menangani pasien dengan tumor paru sel kecil atau dengan metastasis luas, dan
untuk melengkapi bedah atau terapi radiasi. Agen kemoterapi yang biasa
diberikan untuk menangani kanker, termasuk kombinasi dari :
1) Cyclophosphanide, deoxorubicin, methotrexate, dan procarbazine.
2) Etoposide dan cisplatin
3) Mitomycin, vinblastine, dan cisplatin
d. Imunoterapi
Banyak pasien dengan kanker paru – paru mengalami gangguan imun. Agen
imunoterapi ( cytokin ) biasa diberikan.
e. Terapi radiasi
Indikasi :
1) Pasien dengan tumor paru – paru yang operable, tetapi berisiko jika
dilakukan operasi pembedahan.
2) Pasien dengan kanker adenokarsinoma atau sel skuamosa inoperable
di mana terdapat pembesran kelenjar getah bening pada hilus
ipsilateral dan mediastinal.
3) Pasien kanker bronkus dengan oat cell
4) Pasien kambuahn sesudah lobektomi atau pneumonektomi.
Komplikasi :
1) Esofagitis, hilang satu minggu atau sepuluh hari sesudah pengobatan
2) Penumonitis : pada rontgen terlihat bayangan eksudat sesudah
penyinaran
f. Terapi laser
g. Torasentesis dan pleurodosis
1) Efusi pleura dapat menjadi masalah bagi pasien dengan kanker paru –
paru
2) Efusi timbul akibat adanya tumor pada pleura visceralis dan parietalis
dan obstruksi kelenjar limfe mediastinal
3) Tujuan akhir : mencegah dan mengeluarkan cairan

2. Manajemen pembedahan
Reseksi bedah adalah metoda yang lebih dipilih untuk pasien dengantumor
setempat tanpa adanya penyebaranmetastatik dan mereka yang fungsi jantung paru
yang baik.

Tiga tipe reseksi paru mungkin dilakukan :


a. Lobektomi ( satu lobus paru diangkat)
b. Lobektomi sleeve (lobus yang mengalami kanker diangkat dan segmen
bronkus besar direseksi)
c. Pneumonektomi (pengangkatan seluruh paru)
 Pembedahan
a. Dikerjakan pada tumor dengan stadium I serta stadium II jenis karsinoma
sel skuamosa , adenokarsinoma, dan karsinoma sel besar tidak dapat
dibedakan (undifferentiated)
b. Dilakukan khusus pada stdium III secara individual yang mencakup tiga
criteria :
1) Karakteristik biologis tumor
a) Hasil baik : tumor dari sel skuamosa dan epidermoid
b) Hasil cukup baik : adenokarsinoma dan karsinoma sel besar tak
terdifferensiasi
c) Hail buruk : oat cell
2) Letak tumor dan pembagian stadium klinik untuk menentukan letak
pembedahan terbaik
3) Keadaan fungsional penderita

3. Penyakit paru obstrusi

1. Asma
a. Definisi
Asma bronchial adalah gangguan fungsi aliran udara paru yang ditandai oleh
kepekaan saluran nafas terhadap berbagai rangsangan dengar karakteristik
bronkospasme, hiper sekresimukosa dan infeksi saluran pernafasan.
Sedangkan mernurut Manahutu E.Y (1992) bahwa Asma bronchial adalah
penyakit dengan karakteristik peningkatan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai
rangsangan. Dengan manifestasi penyempitan trachea dan bronkus yang luas dan
menyeluruh dengan derajat yang berubah, karena pengobatan maupun secara
spontan,bronkospasme.

b. Etiologi

Etiologi yang pasti dari asma belum diketahui, dari hasil penelitian yang
dilakukan, menjelaskan bahwa saluran nafas penderita asma mempunyai sifat yang
sangat khas, yaitu sangat peka terhadap berbagai rangsangan.

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan asma adalah sebagai berikut :

1. Faktor pencetus
1. Alergen (makanan, bumbu masak, bulu binatang, debu,dll)
2. Asap rokok
3. Zat-zat di tempat kerja (woll, debu, tepung, serbuk kayu)
4. Obat-obatan : Aspirin, penicilin
5. Infeksi terutama oleh virus
6. Emosi
7. Lingkungan dan cuaca, udara yang terlalu lembab, terlalu panas, atau dingin.
8. Aktivitas fisik yang berlebihan
9. Aktor yang sulit dihindarkan: bau tajam
10. Penyakit tertentuyang memperberat : infeksi hidung (sinusitis).

2. Faktor Keturunan

3. Patofisiologi
Dasar kelainan pada asma adalah suatu hiperaktivitas bronkus yaitu sindroma
klinik yang ditandai oleh kepekaan saluran nafas terhadap berbagai rangsangan, baik
rangsangan dari dalam maupun dari luar.

Dengan manifestasi penyempitan saluran nafas yang menyeluruh dengan derajat


yang berubah-ubah secara spontan atau dengan pengobatan (faisal yunus;1990).

Ada 2 komponen penyempitan saluran nafas pada asma yaitu :

a. Bronkospasme
Disebabkan karena kontraksi otot polos bronkus.

b. Inflamasi dinding mukosa saluran nafas


Menyebabkan edema dan hiopersekresi mukosa. Hal tersebut menyebabkan obstruksi
aliran udara.

Secara skematis patofisiologi asma bronkial dapat dijelaskan sebagai berikut :

Kien terpajan alergen / faktor pencetus

Sel mast mensekresi berbagai mediator :

→ Histamin, prostaglandin leucotrin, plcitelet activating faktor

Otot polos kontraksi → bronkokonstriksi.

Pembuluh darah kapiler dilatasi (vasodilatasi kapiler sekitar bronkus)


- Spasme otot polos

- Edema mukosa

- Hipersekresi

Obstruksi saluran nafas

Tanda dan gejala asma bronkial :

- sesak
- batuk
- wheezing

Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan
sukar bernapas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhiolus terhadap benda-benda
asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai
berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig
E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan
antigen spesifikasinya. (Tanjung, 2003) Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast
yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil.
Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi
dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan
berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan
leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin.

Efek gabungan dari semua faktor - faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada
dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan
spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat
meningkat. (Tanjung, 2003) Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi
daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan
bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya
adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi.
Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-
kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume
residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan
udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest. (Tanjung, 2003)

4. Manifestasi Kinik
 Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan/tanpa stetoskop
 Batuk produktif, sering pada malam hari
 Nafas atau dada seperti tertekan, ekspirasi memanjang

5. Test Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada penderita asma adalah

a. Uji Foal Paru (spirometri)


Volume ekspirasi paksa detik 1 (Vep-1) dan kapasitas vital paksa
b. Lab

1) Darah tepi : Eosinovilia

2) Uji kulit : Dengan alergen pada asma alergi (uji prick)

3) serum : Iqe spesifik meningkat

4) Sputum : Terdapat eosinofil, spiral, curschumann dan kristal,


chardet layden.

6. Penatalaksanaan
Usaha Pencegahan
1. Usaha menghindari faktor pencetus
2. Imunoterapi : hanya pada kasus tertentu. Alergen secara periodik dimulai dari
dosis kecil, kemudian ditingkatkan dengan tujuan menimbulkan kekebalan
terhadap alergen pencetus serangan.
Obat-obatan untuk pencegahan
1. Korti kosteroid
Tipikal yang mempunyai manfaat anti inflamasi yang kuat.
2. Kromolin
Bekerja menstabilkan sel mast dan mengurangi pelepasan mediator penyebab
bronkospasme.
3. Cetotiven
Mempunyai efek menghambat pelepasan mediator dari sel mast dan efek
profilaksis pada asma ekstrinsik terutama pada anak.
Pengobatan pada serangan asma
1. Bronkodilator
Obat pelega, melebarkan jalan nafas terutama dengan jalan merelaksasikan
otot polos bronkus, contohnya antagonis beta 2, metilkantin, anti kolinergik.
2. Kortikostroid
3. Anti biotik : bila ada infeksi
4. Terapi cairan melalui infus
5. Terapi oksigen : 2-4 L/menit
6. Fisioterapi dada dan terapi intalasi

2. COPD
a. Definisi
COPD adalah sekresi mukoid bronchial yang bertambah secara menetap
disertai dengan kecenderungan terjadinya infeksi yang berulang dan penyempitan
saluran nafas , batuk produktif selama 3 bulan, dalam jangka waktu 2 tahun berturut-
turut (Ovedoff, 2002). Sedangkan menurut Price & Wilson (2005), COPD adalah
suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama dan ditandai dengan obstruksi aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya.

Menurut Alsagaff & Mukty (2006), COPD dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Asma Bronkhial: dikarakteristikan oleh konstruksi yang dapat pulih dari otot
halus bronkhial, hipersekresi mukoid, dan inflamasi, cuaca dingin, latihan,
obat, kimia dan infeksi.
2. Bronkitis kronis: ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai
pengeluaran dahak sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu
tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Gejala ini perlu dibedakan dari
tuberkulosis paru, bronkiektasis, tumor paru, dan asma bronkial.
3. Emfisema: suatu perubahan anatomis paru-paru yang ditandai dengan
melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkus terminal,
disertai kerusakan dinding alveolus.

b. Etiologi
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko munculnya COPD (Mansjoer, 1999)
adalah:

1. Kebiasaan merokok
2. Polusi udara
3. Paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
4. Riwayat infeksi saluran nafas.
5. Bersifat genetik yaitu defisiensi -1 antitripsin.

c. Patofisiologi

d. Manifestasi Klinik
Berdasarkan Brunner & Suddarth (2005) adalah sebagai berikut :
1. Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.
2. Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat
banyak.
3. Dispnea.
4. Nafas pendek dan cepat (Takipnea).
5. Anoreksia.
6. Penurunan berat badan dan kelemahan.
7. Takikardia, berkeringat.
8. Hipoksia, sesak dalam dada.

e. Test Diagnostik
1. Anamnesis :
Riwayat penyakit ditandai 3 gejala klinis diatas dan faktor-faktor penyebab.

2. Pemeriksaan fisik :
 Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shapped chest (diameter
anteroposterior dada meningkat).
 Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada.
 Perkusi pada dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru
hati lebih rendah, pekak jantung berkurang.
 Suara nafas berkurang.

3. Pemeriksaan radiologi
Foto thoraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow
berupa bayangan garis-garisyang pararel keluar dari hilus menuju ke apeks
paru dan corakan paru yang bertambah.
Pada emfisema paru, foto thoraks menunjukkan adanya overinflasi
dengan gambaran diafragma yang rendah yang rendah dan datar, penciutan
pembuluh darah pulmonal, dan penambahan corakan kedistal.

4. Tes fungsi paru


Dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea untuk menentukan
penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah
obstimulasi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk
mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator.

5. Pemeriksaan gas darah.

6. Pemeriksaan EKG

7. Pemeriksaan Laboratorium darah : hitung sel darah putih.

f. Penatalaksanaan
1. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi dan polusi udara.
2. Terapi ekserbasi akut dilakukan dengan :
 Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi :
a. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S.
Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0,25 – 0,5 g/hari atau
aritromisin 4 x 0,5 g/hari.

b. Augmentin (amoxilin dan asam klavuralat) dapat diberikan jika


kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B.
Catarhalis yang memproduksi B. Laktamase. Pemberian
antibiotic seperti kotrimoksosal, amoksisilin atau doksisilin pada
pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat
penyembuhan dan membantu mempererat kenaikan peak
flowrate. Namun hanya dalam 7 – 10 hari selama periode
eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antiobiotik yang lebih kuat.

 Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena


hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas CO2.

 Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.

3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :


 Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4 x 0,25
– 0,5/hari dapat menurunkan ekserbasi akut.
 Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas
tiap pasien, maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan
obyektif fungsi foal paru.
 Fisioterapi.
 Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi akivitas fisik.
 Mukolitik dan ekspekteron.
 Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas
Tip II dengan PaO2 <>
 Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatna sosialisasi agar terhindar
dari depresi. Rehabilitasi untuk pasien PPOK/COPD: a) Fisioterapi b)
Rehabilitasi psikis c) Rehabilitasi pekerjaan.
4. Restriktif
1. Empisema
a. Definisi
 Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara diluar
bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. (Bruner & Suddarth,
2002)
 Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh
pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan (WHO).

b. Etiologi
 Merokok
 Keturunan
 Infeks
 hipotesis elastase-antielastase
c. Patofisiologi
Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu :
inflamasi dan pembengkakan bronki; produksilendir yang berlebihan; kehilangan
rekoilelastik jalannapas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli
yang berfungsi.
Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar
yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan
peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat
terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen
mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida
mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam
darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius.
Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring kapiler
pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa
untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri pulmonal. Dengan
demikian, gagal jantung sebelah kanan (korpulmonal) adalah salah satu komplikasi
emfisema.Terdapatnya kongesti, edema tungkai, distensi vena leher atau nyeri pada
region hepar menandakan terjadinya gagal jantung.
Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan individu tidak mampu untuk
membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan
kronis dengan demikian menetap dalam paru yang mengalami emfisema
memperberat masalah.
Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik kealiran masuk dan aliran
keluar udara dari paru. Paru-paru dalam keadaan heperek spansikronik. Untuk
mengalirkan udara kedalam dan keluar paru-paru, dibutuhkan tekanan negatif
selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat harus dicapai dan
dipertahankan selama ekspirasi. Posisi selebihnya adalah salah satu inflasi. Dari
pada menjalani aksi pasif involunter, ekspirasi menjadi aktif dan membutuhkan
upaya otot-otot. Sesak napas pasien terus meningkat, dada menjadi kaku, dan iga-
iga terfiksaksi pada persendiannya. Dada seperti tong (barrel chest) pada banyak
pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas paru karena adanya kecenderungan
yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.

d. Manifestasi Klinik
1. Dispnea
2. Takipnea
3. Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan
4. Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang paru
5. Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan ekspirasi
6. Hipoksemia
7. Hiperkapnia
8. Anoreksia
9. Penurunan BB
10. Kelemahan

e. Test Diagnostik
 Rontgen dada
Menunjukkan hiperinflasi, pendataran diafragama, pelebaran margin
intercosta, dan jantung normal.
 Spirometri
Pemeriksaan fungsi pulmonary, biasanya menunjukkan peningkatan kapasitas
paru total dan volume residual, penurunan dalam kapsitas vital dan volume
ekspirasi kuat.
 Pemeriksaan gas-gas darah arteri
Dapat menunjukkan hipoksia ringan dengan hiperkapnia.
 Hitung darah lengkap (HDL).

f. Penatalaksanaan
 Bronkodilator
adrenergik dan  Untuk mendilatasi jalan nafas. Mencakup agonis
metilxantin, yang menghasilkan dilatasi bronchial melalui mekanisme yang
berbeda.
 Terapi Aerosol
Aerosolisasi dari bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan
untuk membantu dalam bronkodilatasi.
Aerosol yang dinebuliser menghilangkan brokospasme, menurunkan edema
mukosa, dan mengencerkan sekresi bronchial. Hal ini memudahkan proses
pembersihan bronkiolus, membantu mengendalikan proses inflamasi, dan
memperbaiki fungsi ventilasi.
 Pengobatan Infeksi
Pasien dengan emfisema rentan terjadap infeksi paru dan harus diobati pada
saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi. Terapi antimikroba dengan
tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin, atau trimetroprim-sulfametoxazol biasanya
diresepkan.
 Kortikosteroid
Digunakan setelah tindakan lain untuk melebarkan bronkiolus dan membuang
sekresi. Prednison biasanya diresepkan.

 Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan
emfisema berat.

8. Efusi Pleura
a. Definisi
 Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari
dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat
berupa cairan transudat atau cairan eksudat ( Pedoman Diagnosis danTerapi /
UPF ilmu penyakit paru, 1994, 111).
 Efusi pleura adalah jumlah cairan ion purulen yang berlebihan dalam rongga
pleura, antara lain visceral dan parietal. ( tucker : 1998 : 265 )
 Efusi pleura adalah akumulas cairan didalam rongga pleura ( Al-segaf : 1995
: 143 )
 Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dalam
pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan karena terjadinya
ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi di kapiler dan pleura
viseralis. Efusi pleura bukanlah suatu disease entity tapi merupakan suatu
gejala penyakit yang serius yang dapat mengancam jiwa penderita (Hood
Alsaggaff, 1995).

Dari berbagai definisi diatas maka efusi pleura adalah akumulasi cairan yang
berlebihan pada rongga pleura, cairan tersebut mengisi ruangan yang mengelilingi
paru. Cairan dalam jumlah yang berlebihan dapat mengganggu pernapasan dengan
membatasi peregangan paru selama inhalasi.

b. Etiologi
Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk, cairan pleura dibagi menjadi transudat,
eksudat dan hemoragis
1. Transudat dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif (gagal jantung
kiri), sindroma nefrotik ( hipoproteinemia ), asites (oleh karena sirosis
hepatis), syndroma vena cava superior, tumor, sindroma meig, dialisis
peritoneal, atelektasis akut, pasca bedah abdomen.
2. Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, preumonia dan sebagainya, tumor,
infark paru, radiasi, penyakit kolagen.
3. Efusi hemoragis dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru,
tuberkulosis.

Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, efusi dibagi menjadi unilateral dan
bilateral.
1. Efusi yang unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan penyakit
penyebabnya.
2. Akan tetapi efusi yang bilateral bisa ditemukan juga pada penyakit-penyakit
dibawah ini :
 Kegagalan jantung kongestif,
 sindroma nefrotik,
 asites,
 infark paru,
 lupus eritematosus systemic,
 tumor dan tuberkulosis.

Timbulnya efusi pleura dapat juga disebabkan oleh kondisi – kondisi :


1. Gangguan reabsobsi cairan pleura ( misalnya karena adanya tumor )
2. Peningkatan produksi cairan pleura ( misalnya akibat infeksi pada pleura )

Secara patologis, efusi pleura disebabkan oleh keadaan – keadaan :


1. Meningkatnya tekanan hidrotastik ( misalnya akibat gagal jantung )
2. Menurunnya tekanan osmotik koloid plasma ( misalnya hipoproteinemia )
3. Meningkatnya permeabilitas kapiler ( misalnya infeksi bakteri )
4. Berkurangnya absorbsi limfatik

c. Patofisiologi
Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura
melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera direabsorpsi oleh
saluran limfe, sehingga terjadi keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi, tiap
harinya diproduksi cairan kira-kira 16,8 ml (pada orang dengan berat badan 70 kg).
Kemampuan untuk reabsorpsinya dapat meningkat sampai 20 kali. Apabila antara
produk dan reabsorpsinya tidak seimbang (produksinya meningkat atau
reabsorpsinya menurun) maka akan timbul efusi pleura.
Diketahui bahwa cairan masuk kedalam rongga melalui pleura parietal dan
selanjutnya keluar lagi dalam jumlah yang sama melalui membran pleura parietal
melalui sistem limfatik dan vaskular. Pergerakan cairan dari pleura parietalis ke
pleura visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan
tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan diabsorpsi oleh sistem limfatik dan
hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh sistem kapiler pulmonal. Hal yang
memudahkan penyerapan cairan pada pleura visceralis adalah terdapatnya banyak
mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial.

Akumulasi cairan pleura dapat terjadi bila:

1. Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura meningkatkan pembentukan


cairan pleura melalui pengaruh terhadap hukum Starling.Keadaan ni dapat
terjadi pada gagal jantung kanan, gagal jantung kiri dan sindroma vena kava
superior.
2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis, baik
karena obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis
3. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih banyak
cairan masuk ke dalam rongga pleura
4. Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan
transudasi cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura
5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe bermuara pada
vena untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena sistemik akan menghambat
pengosongan cairan limfe.

d. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik efusi pleura akan tergantung dari jumlah cairan yang ada
serta tingkat kompresi paru.
Jika jumlah efusinya sedikit (misalnya <250 ml), mungkin belum menimbulkan
manifestasi klinik dan hanya dapat dideteksi dengan X-ray foto thorakks. Dengan
membesarnya efusi akan terjadi restriksi ekspansi paru dan pasien mungkin
mengalami :
1. Dispneu bervariasi
2. Nyeri pleuritik biasanya mendahului efusi sekunder akibat penyakit pleura
3. Trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami efusi
4. Ruang interkostal menonjol (efusi yang berat)
5. Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena
6. Perkusi meredup di atas efusi pleura
7. Egofoni di atas paru-paru yang tertekan dekat efusi
8. Suara nafas berkurang di atas efusipleura
9. Fremitus vokal dan raba berkurang

e. Test Diagnostik
1. Sinar tembus dada
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk
bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada
bagian medial. Bila permukaannya horizontal dari lateral ke medial, pasti terdapat
udara dalam rongga tersebut yang dapat berasal dari luar atau dari dalam paru-
paru itu sendiri. Hal lain yang bisa terlihat dalam foto dada efusi pleura adalah
terdorongnya mediastinum pada sisi yang berlawanan dengan cairan. Namun, bila
terdapat atelektasis pada sisi yang bersamaan dengan cairan, mediastinum akan
tetap pada tempatnya.

2. Torakosintesis
Aspirasi cairan pleura berguna sebagai sarana untuk diagnosis maupun
terapeutik. Pelaksanaan sebaiknya dilakukan pad posisi duduk. Aspirasi dilakukan
pada bagian paru-paru di sela iga IX garis axila posterior dengan memakai jarum
abocath nomor 14 atau 16. pengeluaran cairan sebaikna tidak lebih dari 1000-
1500 cc pada setiap kali aspirasi. Aspirasi banyak sekaligusakan menimbulkan
pleura shock (hipotensi) atau edema paru-paru. Edema paru-paru terjadi karena
paru-paru terlalu cepat mengembang.

3. Biopsi pleura
Pemerikasaan histologis satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat
menunjukkan 50-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis atau tumor pleura.
Bila hasil biopsi pertama tidak memuaskan dapat dilakukan biopsi ulangan.
Komplikasi biopsi adalah pneumothoraks, hemotoraks, dam penyabaran infeksi
atau tumor pada dinding dada.

4. Pemeriksaan tambahan :
Bronkoskopi, scanning isotop, torakoskopi.

f. Penatalaksanaan

Penatalaksanan tergantung pada penyakit yang mendasari terjasinya efusi


pleura. Aspirasi cairan menggunakan jarum dapat dilakukan untuk mengeluarkan
cairan pleura, apabila jumlah cairan banyak dapat dilakukan pemasangan drainase
interkostalis atau pemasangan WSD. Efusi pleura yang berulang mungkin
memerlukan tambahan medikamentosan atau dapat dilakukan tidakan operatif yaitu
pleurodesis, dimana kedua permukaan pleura ditempelkan sehingga tida ada lagi
ruangan yang akan terisi oleh cairan.

Asuhan Keperawatan pada pasien dengan COPD

A. Pengkajian
1. Identitas klien
Nama, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, agama/suku, warga Negara, bahasa
yang digunakan, penanggung jawap meliputi : nama, alamat, hubungan dengan klien.

2. Pola persepsi kesehatan-pemeliharaan kesehatan.


Kaji status riwayat kesehatan yang pernah dialami klien, apa upaya dan dimana kliwen
mendapat pertolongan kesehatan, lalu apa saja yang membuat status kesehatan klien
menurun.

3. Pola nutris metabolik.


Tanyakan kepada klien tentang jenis, frekuensi, dan jumlah klien makan dan minnum
klien dalam sehari. Kaji selera makan berlebihan atau berkurang, kaji adanya mual
muntah ataupun adanyaterapi intravena, penggunaan selang enteric, timbang juga berat
badan, ukur tinggi badan, lingkaran lengan atas serta hitung berat badan ideal klien untuk
memperoleh gambaran status nutrisi.

4. Pola eliminasi.
o Kaji terhadap rekuensi, karakteristik, kesulitan/masalah dan juga pemakaian alat
bantu seperti folly kateter, ukur juga intake dan output setiap sift.
o Eliminasi proses, kaji terhadap prekuensi, karakteristik,
kesulitan/masalah defekasi dan juga pemakaian alat bantu/intervensi dalam Bab.

5. Pola aktivitas dan latihan


Kaji kemampuan beraktivitas baik sebelum sakit atau keadaan sekarang dan juga
penggunaan alat bantu seperti tongkat, kursi roda dan lain-lain. Tanyakan kepada klien
tentang penggunaan waktu senggang. Adakah keluhanpada pernapasan, jantung seperti
berdebar, nyeri dada, badan lemah.

6. Pola tidur dan istirahat


Tanyakan kepada klien kebiasan tidur sehari-hari, jumlah jam tidur, tidur siang. Apakah
klien memerlukan penghantar tidur seperti mambaca, minum susu, menulis,
memdengarkan musik, menonton televise. Bagaimana suasana tidur klien apaka terang
atau gelap. Sering bangun saat tidur dikarenakan oleh nyeri, gatal, berkemih, sesak dan
lain-lain.

7. Pola persepsi kogniti


Tanyakan kepada klien apakah menggunakan alat bantu pengelihatan, pendengaran.
Adakah klien kesulitan mengingat sesuatu, bagaimana klien mengatasi tak nyaman :
nyeri. Adakah gangguan persepsi sensori seperti pengelihatan kabur, pendengaran
terganggu. Kaji tingkat orientasi terhadap tempat waktu dan orang.

8. Pola persepsi dan konsep diri


Kaji tingkah laku mengenai dirinya, apakah klien pernah mengalami putus
asa/frustasi/stress dan bagaimana menurut klien mengenai dirinya.

9. Pola peran hubungan dengan sesama


Apakah peran klien dimasyarakat dan keluarga, bagaimana hubungan klien di masyarakat
dan keluarga dn teman sekerja. Kaji apakah ada gangguan komunikasi verbal dan
gangguan dalam interaksi dengan anggota keluarga dan orang lain.

10. Pola produksi seksual


Tanyakan kepada klien tentang penggunaan kontrasepsi dan permasalahan yang timbul.
Berapa jumlah anak klien dan status pernikahan klien.

11. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress.


Kaji faktor yang membuat klien marah dan tidak dapat mengontrol diri, tempat klien
bertukar pendapat dan mekanisme koping yang digunakan selama ini. Kaji keadaan klien
saat ini terhadap penyesuaian diri, ugkapan, penyangkalan/penolakan terhadap diri
sendiri.

12. Pola system kepercayaan


Kaji apakah klien dsering beribadah, klien menganut agama apa?. Kaji apakah ada nilai-
nilai tentang agama yang klien anut bertentangan dengan kesehatan.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan gangguan peningkatan produksi secret, sekresi tertahan, tebal dan kental.

2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen berkurang. (obstruksi jalan napas oleh secret, spasme
bronkus).

3. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada selaput paru-paru.

Perencanaan
No Diagnosa keperawatan Rasional
Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
1. Bersihan jalan napas Tujuan : Ventilasi/oksigenisasi 1. Kaji/pantau frekuensi 1. Takipnea biasanya ada
tak efektif berhubungan adekuat untuk kebutuhan pernapasan, catat rasio beberapa derajat dan dapat
inspirasi/ekspirasi ditemukan pada penerimaan
dengan gangguan individu.
atau selama stress/adanya
peningkatan produksi proses infeksi akut.
secret, sekresi tertahan, Kriteria hasil : Mempertahankan Pernapasan dapat melambat
dan frekuensi ekspirasi
tebal dan kental. jalan napas paten dan bunyi napas
memanjang disbanding
. bersih/jelas. inspirasi

2. Kaji pasien untuk 2. Peninggian kepala tempat


posisi yang nyaman, tidur mempermudah
misalnya peninggian pernapasan dan
kepala tempat tidur, menggunakan gravitasi.
duduk dan sandaran Namun pasien dengan
tempat tidur.
distress berat akan mencari
posisi yang lebih mudah
untuk bernapas. Sokongan
tangan/kaki dengan meja,
bantal dan lain-lain
membantu menurunkan
kelemahan otot dan dapat
sebagai alat ekspansi dada
3. Auskultasi bunyi napas,
catat adanya bunyi 3. Beberapa derajat spasme
napas misalnya : bronkus terjadi dengan
mengi, krokels dan obstruksi jalan napas dan
ronki. dapat/tidak
dimanifestasikan dengan
adanya bunyi napas
adventisius, misalnya :
penyebaran, krekels basah
(bronchitis), bunyi napas
redup dengan ekspirasi
mengi (emfisema), atau
tidak adanya bunyi napas
(asma berat).
4. Catat adanya /derajat
disepnea, misalnya : 4. Disfungsi pernapasan
keluhan “lapar udara”, adalah variable yang
gelisah, ansietas, tergantung pada tahap
distress pernapasan, proses kronis selain proses
dan penggunaan obat akut yang menimbulkan
bantu. perawatan di rumah sakit,
misalnya infeksi dan reaksi
alergi.
5. Dorong/bantu latihan
napas abdomen atau 5. Memberikan pasien
bibir. beberapa cara untuk
mengatasi dan mengontrol
dispnea dan menurunkan
6. Observasi karakteristik jebakan udara.
batuk, misalnya : 6. Batuk dapat menetap tetapi
menetap, batuk pendek, tidak efektif, khususnya bila
basah, bantu tindakan pasien lansia, sakit akut,
untuk memperbaiki atau kelemahan. Batuk
keefektifan jalan napas. paling efektif pada posisi
duduk paling tinggi atau
kepala dibawah setelah
perkusi dada.
7. Tingkatkan masukan
cairan sampai 3000 7. Hidrasi membantu
ml/hari sesuai toleransi menurunkan kekentalan
jantung. secret, mempermudah
pengeluaran. Penggunaan
air hangat dapat
menurunkan spasme
bronkus. Cairan selama
makan dapat meningkatkan
distensi gaster dan tekanan
pada diafragma.
8. Berikan Bronkodilator,
misalnya, β-agonis, 8. Merilekskan otot halus dan
efinefrin (adrenalin, menurunkan kongesti local,
vavonefrin), albuterol menurunkan spasme jalan
(proventil, ventolin), napas, mengi dan produksi
terbutalin (brethine, mukosa. Obat-obatan
brethaire), isoeetrain mungkin per oral, injeksi
(brokosol, atau inhalasi. dapat
bronkometer). meningkatkan distensi
gaster dan tekanan pada
diafragma.
(Doenges, 1999. hal 156).

2 Kerusakan pertukaran Tujuan : Mempertahankan tingkat 1. Kaji frekuensi, 1. Berguna dalam evaluasi
gas berhubungan oksigen yang adekuat untuk kedalaman pernapasan, derajat distress pernapasan
keperluan tubuh. catat pengguanaan otot dan kronisnya proses
dengan gangguan suplai
aksesorius, napas bibir, penyakit.
oksigen berkurang. Kriteria hasil : ketidakmampuan
(obstruksi jalan napas 1. Tanpa terapi oksigen, SaO2 95 bicara/berbincang.
% dan klien tidan mengalami
oleh sekret, spasme
sesak napas. 2. Kaji/awasi secara rutin 2. Sianosis mungkin perifer
bronkus). 2. Tanda-tanda vital dalam batas kulit dan warna (terlihat pada kuku) atau
normal membrane mukosa. sentral (terlihat sekitar bibir
3. Tidak ada tanda-tanda sianosis. atau danun telinga). Keabu-
abuan dan dianosis sentral
mengindikasikan beratnya
hipoksemia

3. Tinggikan kepala 3. Pengiriman oksigen dapat


tempat tidur, bantu diperbaiki dengan posisi
pasien untuk memilih duduk tinggi dan laithan
posisi yang mudah napas untuk menurunkan
untuk bernapas. kolaps jalan napas, dispnea
Dorong napas dalam dan kerja napas.
perlahan atau napas
bibir sesuai dengan
kebutuhan/toleransi
individu.

4. Dorong mengeluarkan 4. Kental tebal dan banyak


sputum, pengisapan sekresi adalah sumber
bila diindikasikan utama gangguan pertukaran
gas pada jalan napas kecil,
dan pengisapan dibuthkan
bila batuk tak efektif.

5. Auskultasi bunyi napas, 5. Bunyi napas mungkin redup


catat area penurunan karena penurunan aliran
aliran udara dan/atau udara atau area konsolidasi.
bunyi tambahan. Adanya mengi
mengindikasikan spasme
bronkus/ter-tahannya
sekret. Krekles basah
menyebar menunjukan
cairan pada
interstisial/dekompensasi
jantung

6. Awasi tanda-tanda vital 6. Takikardi, disiretmia dan


dan irama jantung. perubahan tekanan darah
dapat menunjuak efek
hipoksemia sistemik pada
fungsi jantung.

3. Gangguan rasa Tujuan : Rasa nyeri berkurang 1. Tentukan karakteristik 1. Nyeri dada biasanya ada
nyaman : nyeri sampai hilang. nyeri, misalnya ; tajam, dalam beberapa derajat
konsisten, di tusuk, pneumonia, juga dapat
berhubungan dengan
Kriteria hasil : selidiki perubahan timbul komplikasi seperti
proses peradangan pada 1. Klien mengatakan rasa nyeri karakter/intensitasnyeri perikarditis dan
selaput paru-paru. berkurang/hilang. /lokasi. endokarditis.
2. Ekspresi wajah rileks.
2. Pantau tanda-tanda 2. Perubahan frekuensi
vital. jantung atau TD
menunjukan bahwa pasien
mengalami nyeri,
khususnya bila alasan lain
untuk perubahan tanda-
tanda vital.

3. Tindakan non-analgetik
3. Berikan tindakan
diberikan dengan sentuhan
nyaman, misalnya ;
lembut dapat
pijatan punggung,
menghilangkan
perubahan posisi,
ketidaknyamanan dan
musik
memperbesar efek terapi
tenang/perbincangan,
analgesic.
relaksasi/latihan napas.

4. Tawarkan pembersihan
4. Pernapasan mulut dan terapi
mulut dengan sering. oksigen dapat mengiritasi
dan mengeringkan
memberan mukosa,
potensial ketidaknyamanan
umum.
5. Anjurkan dan bantu
pasien dalam teknik 5. Alat untuk mengontrol
menekan dada selama ketidaknyamanan dada
episode batuk. sementara meningkatkan
keefektifan upaya batuk.
6. Berikan analgesic dan
antitusif sesuai 6. Obat ini dapat digunakan
indikasi. untuk menekan batuk non
produktif/proksimal atau
menurunkan mukosa
berlebihan, meningkatkan
kenyamanan/istirahat
umum.
(Doenges, 1999. hal 171).
BAB II

PENUTUP

a. Kesimpulan
Bernafas merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Jika
hal ini tidak terpenuhi, maka akan menghambat proses kimiawi dan mekanik dalam tubuh
dimana oksigen (H2O) merupakan komponen yang penting dalam proses metabolisme
tubuh.
Asuhan keperawatan pada sistem respirasi bagian bawah ditujukan untuk mengatasi
masalah-masalah respirasi pada sistem respirasi bagian bawah yang menghambat jalannya
sistem pernapasan khususnya pada masalah kebutuhan dasar manusia pada pemenuhan
Oksigenisasi dalam berbagai langkah-langkah yang sistematis
Daftar Pustaka

Diana Kristanti , dkk.Sistem Respirasi. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha,


Bandung 2007.

www.medicastore.com

Anonim.2009. Bronkitis (akut and kronik). http://www.MayoClinic.com.

http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf

Bare Brenda G, Smeltzer Suzan C. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 1, EGC, Jakarta

Das könnte Ihnen auch gefallen