Sie sind auf Seite 1von 12

ANALISIS MANAJEMEN OPERASIONAL DI RUMAH SAKIT

DALAM HAL HAND OVER PASIEN OLEH TENAGA KESEHATAN

DOSEN : Dr. TH PETER BUDISUSETIJA, MARS

DISUSUN OLEH :
FATIMAH AZZAHRA , S.Kep.,NS

PROGRAM STUDI PASCASARJANA ADMINSTRASI RUMAH SAKIT


UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
JAKARTA ,2015
PENDAHULUAN

Patient Safety dewasa ini telah menjadi isu diperbincangkan diberbagai negara. Isu ini
berkembang karena masih banyaknya kejadian tidak diharapkan (KTD) dan kejadian
nyaris cedera (KNC) masih sering terjadi di rumah sakit. Hal ini terbukti pada tahun
2012, Institute of Medicine, Amerika Serikat dalam “TO ERR IS HUMAN, Building a
Safer Health System” melaporkan bahwa dalam pelayanan pasien rawat inap di rumah
sakit ada sekitar 3-16% Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang akhirnya
memerlukan perpanjangan lama hari rawat, atau menimbulkan kecacatan pasien paska
perawatan. Sehingga pada tahun 2004, WHO mencanangkan World Alliance for
Patient Safety, program bersama dengan berbagai negara untuk meningkatkan
keselamatan pasien di rumah sakit. WHO Collaborating Center for Patient Safety
pada tanggal 2 Mei 2007 resmi menerbitkan “Nine Life Saving Patient Safety
Solution”. Dengan diterbitkannya Nine Life Saving Patient Safety oleh WHO2, maka
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) mendorong rumah sakit di
Indonesia untuk menerapkan Sembilan Solusi “Life-Saving” Keselamatan Pasien
Rumah Sakit, langsung atau bertahap sesuai dengan kemampuan dan kondisi RS
masing-masing. Salah satu dari sembilan solusi tersebut, adalah komunikasi secara
benar saat serah terima/operan jaga.
Komunikasi serah terima pasien/operan jaga antar unit dan diantara petugas
pelayanan kesehatan kadang tidak menyertakan informasi yang penting, atau
informasi yang diberikan kurang tepat dan sulit dipahami sehingga terjadi
kesenjangan dalam komunikasi yang dapat menyebabkan kesalahan penafsiran atau
kesalahpahaman. Selain itu, bisa mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan,
pengobatan yang tidak tepat dan potensial dapat mengakibatkan cedera pada pasien.
Sehingga, perlu pendekatan untuk memudahkan sistematika operan jaga. Hal ini
ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien termasuk penggunaan protocol
dalam mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis, memberikan kesempatan
bagi para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada saat
serah terima dan melibatkan para pasien serta keluarga dalam proses operan jaga.
Menurut Swansburg (1990), bahwa lebih dari 80% waktu kerja dipakai untuk
komunikasi, 16% untuk membaca dan 4% untuk menulis sehingga peran komunikasi
sangat penting.
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian

Timbang terima memiliki beberapa istilah lain. Beberapa istilah itu


diantaranya handover, handoffs, shift report, signout, signover dan cross coverage.
Handover adalah komunikasi oral dari informasi tentang pasien yang dilakukan oleh
perawat pada pergantian shift jaga. Friesen (2008) menyebutkan tentang definisi dari
handover adalah transfer tentang informasi (termasuk tanggungjawab dan
tanggunggugat) selama perpindahan perawatan yang berkelanjutan yang mencakup
peluang tentang pertanyaan, klarifikasi dan konfirmasi tentang pasien. Handoffs juga
meliputi mekanisme transfer informasi yang dilakukan, tanggungjawab utama dan
kewenangan perawat dari perawat sebelumnya ke perawat yang akan melanjutnya
perawatan.

B. Tujuan Timbang Terima

1. Menyampaikan masalah, kondisi, dan keadaan klien (data fokus).


2. Menyampaikan hal-hal yang sudah atau belum dilakukan dalam
asuhankeperawatan kepada klien
3. Menyampaikan hal-hal penting yang perlu segera ditindaklanjuti oleh dinas
berikutnya.
4. Menyusun rencana kerja untuk dinas berikutnya.
Timbang terima (handover) memiliki tujuan untuk mengakurasi,
mereliabilisasi komunikasi tentang tugas perpindahan informasi yang relevan yang
digunakan untuk kesinambungan dalam keselamatan dan keefektifan dalam bekerja.
Timbang terima (handover) memiliki 2 fungsi utama yaitu:
1. Sebagai forum diskusi untuk bertukar pendapat dan mengekspresikan perasaan
perawat.
2. Sebagai sumber informasi yang akan menjadi dasar dalam penetapan
keputusan dan tindakan keperawatan.
C. Langkah-langkah dalam Timbang Terima
1. Kedua kelompok shift dalam keadaan sudah siap.
2. Shift yang akan menyerahkan perlu menyiapkan hal-hal yang akan
disampaikan.
3. Perawat primer menyampaikan kepada perawat penanggung jawab shift
selanjutnya meliputi:
a. Kondisi atau keadaan pasien secara umum
b. Tindak lanjut untuk dinas yang menerima operan
c. Rencana kerja untuk dinas yang menerima laporan
4. Penyampaian timbang terima diatas harus dilakukan secara jelas dan tidak
terburu-buru.
5. Perawat primer dan anggota kedua shift bersama-sama secara langsung
melihat keadaan pasien. (Nursalam, 2002)

D. Prosedur dalam Timbang Terima


1. Persiapan
a. Kedua kelompok dalam keadaan siap.
b. Kelompok yang akan bertugas menyiapkan buku catatan.
2. Pelaksanaan
Dalam penerapannya, dilakukan timbang terima kepada masing-masing
penanggung jawab:
a. Timbang terima dilaksanakan setiap pergantian shift atau operan.
b. Dari nurse station perawat berdiskusi untuk melaksanakan timbang
terima dengan mengkaji secara komprehensif yang berkaitan tentang
masalah keperawatan klien, rencana tindakan yang sudah dan belum
dilaksanakan serta hal-hal penting lainnya yang perlu dilimpahkan.
c. Hal-hal yang sifatnya khusus dan memerlukan perincian yang
lengkap sebaiknya dicatat secara khusus untuk kemudian
diserahterimakan kepada perawat yang berikutnya.
d. Hal-hal yang perlu disampaikan pada saat timbang terima adalah :
1) Identitas klien dan diagnosa medis
2) Masalah keperawatan yang kemungkinan masih muncul.
3) Tindakan keperawatan yang sudah dan belum dilaksanakan.
4) Intervensi kolaborasi dan dependen.
5) Rencana umum dan persiapan yang perlu dilakukan dalam
kegiatan selanjutnya, misalnya operasi, pemeriksaan
laboratorium atau pemeriksaan penunjang lainnya, persiapan
untuk konsultasi atau prosedur lainnya yang tidak
dilaksanakan secara rutin.
e. Perawat yang melakukan timbang terima dapat melakukan
klarifikasi, tanya jawab dan melakukan validasi terhadap hal-hal
yang kurang jelas Penyampaian pada saat timbang terima secara
singkat dan jelas
f. Lama timbang terima untuk setiap klien tidak lebih dari 5 menit
kecuali pada kondisi khusus dan memerlukan penjelasan yang
lengkap dan rinci.
g. Pelaporan untuk timbang terima dituliskan secara langsung pada
buku laporan ruangan oleh perawat. (Nursalam, 2002)

E. Metode dalam Timbang Terima


1. Timbang terima dengan metode tradisional
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kassesan dan Jagoo (2005) di
sebutkan bahwa operan jaga (handover) yang masih tradisional adalah:
a. Dilakukan hanya di meja perawat.
b. Menggunakan satu arah komunikasi sehingga tidak memungkin
kanmunculnya pertanyaan atau diskusi.
c. Jika ada pengecekan ke pasien hanya sekedar memastikan kondisi
secara umum.
d. Tidak ada kontribusi atau feedback dari pasien dan keluarga, sehingga
proses informasi dibutuhkan oleh pasien terkait status kesehatannya
tidak up to date.
2. Timbang terima dengan metode bedside handover
Menurut Kassean dan Jagoo (2005) handover yang dilakukan sekarang
sudah menggunakan model bedside handover yaitu handover yang
dilakukan di samping tempat tidur pasien dengan melibatkan pasien atau
keluarga pasien secara langsung untuk mendapatkan feedback. Secara
umum materi yang disampaikan dalam proses operan jaga baik secara
tradisional maupun bedside handover tidak jauh berbeda, hanya pada
handover memiliki beberapa kelebihan diantaranya:
a. Meningkatkan keterlibatan pasien dalam mengambil keputusan
terkait kondisi penyakitnya secara up to date.
b. Meningkatkan hubungan caring dan komunikasi antara pasien
dengan perawat.
c. Mengurangi waktu untuk melakukan klarifikasi ulang pada
kondisi pasien secara khusus.
Bedside handover juga tetap memperhatikan aspek tentang kerahasiaan
pasien jika ada informasi yang harus ditunda terkait adanya komplikasi
penyakit atau persepsi medis yang lain
Menurut Joint Commission Hospital Patient Safety, menyusun pedoman
implementasi untuk timbang terima, selengkapnya sebagai berikut:
1. Interaksi dalam komunikasi harus memberikan peluang untuk adanya
pertanyaan dari penerima informasi tentang informasi pasien.
2. Informasi tentang pasien yang disampaikan harus up to date meliputi
terapi, pelayanan, kodisi dan kondisi saat ini serta yang harus diantipasi.
3. Harus ada proses verifikasi tentang penerimaan informasi oleh perawat
penerima dengan melakukan pengecekan dengan membaca, mengulang
atau mengklarifikasi.
4. Penerima harus mendapatkan data tentang riwayat penyakit, termasuk
perawatan dan terapi sebelumnya.
5. Handover tidak disela dengan tindakan lain untuk meminimalkan
kegagalan informasi atau terlupa.

F. Faktor-faktor dalam Timbang Terima


1. Komunikasi yang objective antar sesama petugas kesehatan.
2. Pemahaman dalam penggunaan terminology keperawatan.
3. Kemampuan menginterpretasi medical record.
4. Kemampuan mengobservasi dan menganalisa pasien.
5. Pemahaman tentang prosedur klinik.
PEMBAHASAN

Analisis hand over di beberapa rumah sakit

Penelitian yang di lakukan oleh FatmaSiti Fatimah (2014), Data di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Unit II dimana IKP paling banyak adalah kesalahan
pemberian obat. Survei tanggal 1 Juli 2013 didapat data IKP paling banyak dilaporkan
adalah kesalahan pemberian obat dibanding dengan IKP lain, tahun 2012 ada 2
insiden kesalahan pemberian obat oleh perawat di ruang rawat inap, 1 insiden di
laboratorium salah pemberian label. Data tahun 2013 bulan Januari sampai Juni juga
didapatkan laporan terbanyak IKP yaitu 2 insiden kesalahan pemberian obat di ruang
rawat inap, masing-masing 1 kasus insiden pasien jatuh, kejadian nyaris cidera (KNC)
salah transfusi darah pada pasien dan salah infus. Hal ini menunjukkan masih
tingginya IKP terutama kesalahan pemberian obat injeksi, dimana seharusnya
kesalahan pemberian obat tidak boleh terjadi. Sistem pelaporan di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Unit II sudah baik namun, berdasarkan informasi dari
manajer keperawatan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II
belum pernah memberikan pelatihan terkait patient safety ataupun sejenis latihan lain
pada perawat untuk meningkatkan keselamatan pasien. Dari penelitian yang
dilakukan didapatkan hasil :

1. Jumlah persentase kejadian kesalahan pemberian obat injeksi sebelum


pelatihan patient safety : komunikasi S-BAR di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Unit II, berdasarkan kesalahan penerapan prinsip
10 benar yaitu pasien 59,4%, rute 18,8%, obat 6,2%, dosis 6,2%, waktu
21,9%, pengkajian 71,9%, informasi 53,1%, kadaluarsa 12,5%, evaluasi
87,5% dan dokumentasi 100%.
2. Jumlah persentase kejadian kesalahan pemberian obat injeksi setelah pelatihan
patient safety : komunikasi S-BAR di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta Unit II, berdasarkan kesalahan penerapan prinsip 10 benar yaitu
pasien 31,2%, rute 6,2%, obat 6,2%, waktu 3,1%, pengkajian 21,9%,
informasi 34,4%, kadaluarsa 9,4%, evaluasi 53,1% dan dokumentasi 100%.
3. Adanya efektifitas pelatihan patient safety : komunikasi S-BAR pada perawat
di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II dalam menurunkan
kesalahan pemberian obat injeksi berdasarkan prinsip benar pasien, rute, obat,
waktu, pengkajian, informasi dan evaluasi.

Cahyono (2008) Faktor penyebab IKP menurut Cahyono adalah kegagalan


komunikasi, komunikasi tidak efektif akan berdampak 80% menyebabkan kejadian
malpraktek, meningkatkan biaya operasional, biaya perawatan penyembuhan dan
menghambat proses pemberian asuhan keperawatan. Hasil penelitian menyebutkan
50% kejadian medical errors dan sampai 20% kejadian kesalahan pemberian obat
disebabkan karena komunikasi tidak efektif. Penerapan komunikasi efektif antar
perawat dan antar petugas kesehatan menjadi salah satu cara yang terbukti efektif
meningkatkan keselamatan pasien di Rumah Sakit didukung Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes).

Profesionalisme dalam pelayanan keperawatan dapat dicapai dengan mengoptimalkan


peran dan fungsi perawat yang dapat diwujudkan melalui komunikasi yang efektif
antar perawat, maupun dengan tim kesehatan lain. Salah satu bentuk komunikasi yang
harus ditingkatkan efektiftasnya adalah saat handover (pergantian shift ). Sebab jika
komunikasi dalam handover tidak efektif dapat menyebabkan kesalahan dalam
kesinambungan pelayanan juga bisa terjadi pengobatan yang tidak tepat dan potensi
kerugian bagi pasien sehingga, handover pasien di rumah sakit merupakan salah satu
penerapan pelayanan keperawatan yang harus diperhatikan.

WHO (2007) menerbitkan panduan solusi keselamatan pasien di rumah sakit yang
salah satunya adalah komunikasi yang benar saat handover. Kesenjangan dalam
komunikasi saat handover pasien, antara unit-unit pelayanan serta antar tim pelayanan
dalam satu unit, bisa mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan
yang tidak tepat, dan potensial risiko dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien.

The Joint Commission USA antara tahun 1995 - 2006 mencatat dari 25.000- 30.000
adverse events di Australia 11% adalah karena komunikasi yang salah dalam
handover (WHO, 2007). Tahun 2009 Agency for Health care Research and Quality
survey melaporkan hampir setengah dari 176.811 (49 %) staf rumah sakit yang jadi
responden mengatakan bahwa informasi penting tentang perawatan pasien sering
hilang pada saat pertukaran shif (Lee et al. ,2005). Dari kedua penelitian yang
dilaporkan diatas, dapat disimpulkan bahwa komunkasi efektif sangat penting
dilakukan oleh perawat pada saat handover.

Penelitian yang di lakukan oleh Nofita Dwi H,dkk (2014) , Komunikasi dalam proses
timbang terima dilakukan secara langsung dari dokter yang selesai dinas kepada
dokter yang akan dinas. Belum ada lembar timbang terima yang khusus digunakan
dalam proses tersebut, sehingga terjadi ketidakseragaman informasi yang disampaikan
pada saat timbang terima. Informasi yang seringkali tidak disampaikan pada saat
timbang terima pasien adalah: identitas pasien (nama pasien), rencana pelayanan
selanjutnya dari pasien yang ada di UGD, rencana penerimaan rujukan dari luar, dan
kondisi sarana dan prasarana di UGD. Informasi yang tidak disampaikan saat timbang
terima tersebut menyebabkan kebingungan bagi dokter yang bertugas selanjutnya.
Tidak jarang dokter harus menghubungi kembali dokter yang lepas dinas untuk
memperjelas pemeriksaan dan rencana tindakan terhadap pasien tersebut. Hal tersebut
akan memperlama waktu penanganan pasien di UGD. Tidak ada perbedaan proses
timbang terima saat jam dinas pagi, sore, maupun malam.

Farhan M, Brown R, Woloshynowych M, and Vincent C. The ABC of Handover: A


Qualitative Study to Develop a New Tool for Handover in the Emergency
Department. Emergency Medicine Journal. (2012) mengatakan keberhasilan timbang
terima pasien saat pergantian jam dinas dokter di UGD dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti: komunikasi antar dokter yang dapat dibentuk melalui pelatihan formal
tentang komunikasi, dan adanya lembar timbang terima yang berisi daftar informasi
yang harus disampaikan pada proses timbang terima. Lasswell HD. The Structure and
Function of Communication in Society, (2007) Komunikasi merupakan suatu proses
penyampaian pesan yang dapat berupa pesan informasi, ide, emosi, keterampilan dan
sebagainya melalui simbol atau lambang yang dapat menimbulkan efek berupa
tingkah laku yang dilakukan dengan media-media tertentu. Komunikasi meliputi lima
unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni komunikator, pesan,
media, komunikan, efek. Salah satu komunikasi yang terjadi di rumah sakit adalah
komunikasi antar profesi kesehatan. Komunikasi antar profesi kesehatan di rumah
sakit dapat berlangsung dalam beraneka ragam bentuk, baik antar individu maupun
antar departemen. Komunikasi bertujuan untuk menjaga kelangsungan proses
perawatan pada pasien. Salah satu komunikasi antar profesi di rumah sakit terjadi
pada saat timbang terima pasien. Payne CE, dkk , Avoiding Handover Fumbles: A
Controlled Trial of A Structured Handover Tool versus Traditional Handover
Methods (2012) Timbang terima pasien didefinisikan sebagai bentuk transfer
tanggung jawab perawatan dan tanggung jawab medis pasien dari satu tenaga
kesehatan ke tenaga kesehatan lainnya. Ye K, McD, dkk, Handover in the Emergency
Department (2007) Tujuan dari timbang terima pasien adalah terjadi komunikasi yang
akurat dan dapat diandalkan terkait informasi spesifik pasien, sehingga dapat
memastikan terbentuknya lingkungan kerja yang aman dan efektif secara terus
menerus demi tercapainya kontinyuitas perawatan pasien.

Penelitian yang dilakukan oleh Kaushalya Patidar (2014) , pada 60 perawat yang
sudah dan belum mendapat pelatihan tentang serah terima pasien di Rumah Sakit
Ujjain, didapatkan hasil bahwa pelatihan serah terima pasien sangat berpengaruh
dengan kualitas laporan serah terima pasien, dan tidak ada hubungan yang signifikan
antara perawat yang sudah memiliki pengalaman yang lama dalam merawat pasien
dengan kualitas laporan serah terima pasien. Dalam penelitian ini perawat yang belum
mendapat pelatihan tentang serah terima pasien masih menggunakan metode
tradisonal dalam pemberian informasi serah terima pasien. Sedangkan perawat yang
sudah mendapat pelatihan serah terima pasien walaupun pengalaman bekerjanya
masih terbilang baru sudah menggunakan model bedside handover yaitu handover
yang dilakukan di samping tempat tidur pasien dengan melibatkan pasien atau
keluarga pasien secara langsung untuk mendapatkan feedback.

Ada 3 hal yang menyebabkan pentingnya bentuk komunikasi pada serah terima
informasi pasien :

1. Isi informasi dan proses serah terima pasien dapat meningkatkan kualitas
komunikasi antar tenaga kesehatan dan dapat menjamin keamanan dalam
pemberina perawatan (former Australian Council on Safety and Quality in
Health Care, 2005)
2. Sebagai sebuah proses yang sangat penting karena dalam hal ini ada informasi
yang mengandung pertanggung jawaban perawatan yang diberikan kepada
pasein dari tenaga kesehatan yang satu dengan yang lainnya. (Australian
Medical Association (AMA), 2006)
3. Serah terima yang di lakukan oleh perawat dengan metode bedside handover
tidak hanya melibatkan petugas pemberi perawtan tetapi juga dapat
melibatkan pasien , sehingga komitmen untuk menerapkan Patient Center
tercapai. (Chaboyer et al.)

WHO memperkenalkan “High 5s Project” yang bertujuan untuk meningkatkan


keselamatan pasien di seluruh dunia , didalamnya ada 5 standar operational yang
berhubungan dengan masalah keselamatan pasien yang signifikan. Salah satu standar
ini melibatkan peningkatan komunikasi selama serah terima pasien. (Anwari 2002;
Obstfelder and Moen 2006) mengatakan keuntungan dari peningkatan kualitas serah
terima pasien yaitu dapat meningkatkan pengetahuan petugas pelayanan kesehatan
dan pengetahuan pasien itu sendiri, sehingga perawatan yang diberikan akurat, aman,
dan berkualitas tinggi.

Kesimpulan

Komunikasi bertujuan untuk menjaga kelangsungan proses perawatan pada pasien.


Salah satu komunikasi antar profesi di rumah sakit terjadi pada saat timbang terima
pasien. Timbang terima pasien adalah bentuk transfer tanggung jawab perawatan dan
tanggung jawab medis pasien dari satu tenaga kesehatan ke tenaga kesehatan lainnya.
Komunikasi selama proses timbang terima pasien merupakan periode kritis terhadap
kontinuitas dan keberhasilan perawatan pasien.

Profesionalisme dalam pemberian pelayanan dapat dicapai dengan mengoptimalkan


peran dan fungsi tenaga kesehatan yang dapat diwujudkan melalui komunikasi yang
efektif antar perawat, antar dokter maupun dengan tim kesehatan lain. Salah satu
bentuk komunikasi yang harus ditingkatkan efektiftasnya adalah saat handover
(pergantian shift ). Sebab jika komunikasi dalam handover tidak efektif dapat
menyebabkan kesalahan dalam kesinambungan pelayanan juga bisa terjadi
pengobatan yang tidak tepat dan potensi kerugian bagi pasien sehingga, handover
pasien di rumah sakit merupakan salah satu penerapan operasional pelayanan yang
harus diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA

Cemy Nur Fitria, (2013) Efektifitas Pelatihan Komunikasi SBAR dalam


Meningkatkan Motivasi dan Psikomotor Perawat di Ruang Medikal Bedah
RS PKU Muhammadiyah Surakarta, PROSIDING KONFERENSI
NASIONAL PPNI JAWA TENGAH

Cahyono. 2008. Membangun budaya keselamatan pasien dalam praktek kedokteran.


Yogyakarta: Kanisius.

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/145/jtptunimus-gdl-anitanuurl-7231-3-babii.pdf

DepKes, RI. 2008. Panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit (patient
safety). ed: 2. Jakarta.

Dewi, M. 2012. Pengaruh pelatihan timbang terima pasien terhadap penerapan


keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di RSUD Raden Mattaher
Jambi. Jurnal Health & Sport, Vol. 5, No. 3.

World Health Organization & Joint Comission International. 2007. Communication


during patient hand-overs. Diakses pada tanggal 22 Mei 2013. Dari:
http://www.who.int/patientsafety/solutions/patientsafety/PS- Solution3.pdf.

Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) . (2011). Keselamatan


Pasien Rumah Sakit. Diakses pada tanggal 5 Mei 2013. dari:
http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_permenkes/PMK%20No.%20169
1%20ttg%20Keselamatan%20Pasien%20Rumah%20Sakit.pdf.

Institute of medicine (IOM). 2012. Health IT and patient safety building safer
sysyems for better care. Wangsington DC: The National Academies.

http://eresources.pnri.go.id:2057/docview/1648623547/fulltextPDF?accountid=25704

Das könnte Ihnen auch gefallen