Sie sind auf Seite 1von 9

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/305189048

KENYAMANAN TERMAL DALAM ARSITEKTUR


TROPIS

Article · June 2010

CITATIONS READS

0 4,792

2 authors, including:

Tri Harso Karyono


Tanri Abeng University
74 PUBLICATIONS 221 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Air conditioning and the neutral temperature of the Indonesian university students View project

All content following this page was uploaded by Tri Harso Karyono on 12 July 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KENYAMANAN TERMAL DALAM ARSITEKTUR TROPIS
Tri Harso Karyono
Artikel dalam buku Arsitektur dan Kota Tropis Dunia Ketiga: Suatu Bahasan tentang Indonesia,
PT Raja Grafindo

Pengertian arsitektur tropis (lembab) pada umumnya mengarah pada dominasi bentuk atap

yang lebar yang berfungsi sebagai penahan cucuran hujan dan radiasi langsung sinar matahari,
di manan keduanya dianggap sebagai faktor-faktor dominan iklim tropis lembab. Pemikiran
semacam ini tidaklah terlalu keliru meskipun belum cukup memberikan pengertian menyeluruh
tentang arsitektur tropis.
Arsitektur tropis harus diartikan sebagai rancangan spesifik suatu karya arsitektur yang
mengarah pada pemecahan problematik iklim tropis. Iklim tropis sendiri dicirikan oleh berbagai
karakteristik, misalnya kelembaban udara yang tinggi, dapat mencapai angaka di atas 90%,
suhu udara relatif tinggi, antara 15 hingga 35oC, radiasi matahari yang menyengat dan
mengganggu, serta curah hujan tinggi yang dapat mencapai angka di atas 3000 mm/tahun.
Faktor-faktor iklim tersebut berpengaruh sangat besar terhadap aspek kenyamanan fisik
manusia terutama aspek kenyamanan termal (termis).

Sumber: Tri H. Karyono

Gambar 13.1. Pasar Kranggan, Jogja: Kenyamanan termal dicapai


dengan cara alamiah tanpa menggunakan peralatan mekanis, tanpa
memerlukan energi

1
Produktifitas manusia cenderung menurun atau rendah pada kondisi udara yang tidak
nyaman seperti halnya terlalu dingin atau terlalu panas. Penelitian Idealistina [2]
memperlihatkan fenomena semacam itu, bahwa produktifitas manusia meningkat pada kondisi
suhu (termal) yang nyaman.
Arsitektur tropis diharapkan mampu menjawab seluruh persoalan iklim tersebut dengan
bentuk rancangan yang hampir tanpa batas. Bukan sebatas pada penyelesaian atap yang lebar
saja. Aspek kenyamanan visual (pencahayaan) serta kenyamanan termal (termis) merupakan
dua hal dominan yang perlu dipecahkan agar penghuni bangunan tropis dapat mencapai
kebutuhan kenyamanan secara fisik. Atap lebar memang diperlukan pada bangunan tropis
berlantai rendah. Namun rancangan ini tidak merupakan jaminan bahwa penghuni akan mampu
mencapai kenyamanan fisik secara visual dan termal sebagaimana diharapkan seperti di atas.
Tidak tersedianya bukaan-bukaan sebagai sarana ventilasi dalam bangunan secara
memadai, mengakibatkan ruang dalam bangunan tropis terasa panas. Hal ini dapat
disebabkan oleh adanya radiasi dinding atau langit-langit, atau disebabkan oleh meningkatnya
kelembaban dalam ruang tersebut akibat minimnya aliran udara. Banyak faktor lain yang dapat
menghambat pencapaian kenyamanan fisik bagi pengguna bangunan yang pada umumnya
disebabkan oleh rancangan arsitektur yang tidak tepat di mana kondisi iklim setempat (tropis)
tidak diperhitungkan dalam proses perancangan.

Suhu Nyaman Manusia Tropis


Disadari atau tidak, aspek ‘kenyamanan termal’ sesungguhnya telah mendominasi kehidupan
manusia dalam rangka berinteraksi dengan lingkungan fisiknya. Hampir pada setiap
kesempatan manusia selalu membicarakan masalah sensasi termisnya terhadap udara di
sekitarnya, seperti misalnya ‘terlalu panas’ atau ‘terlalu dingin’, atau mungkin sekadar
mengatakan bahwa pada saat tertentu mereka merasa ‘kepanasan’, ‘kedinginan’, dan
sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa aspek kenyamanan termal sangat berpengaruh
terhadap kehidupan manusia sehari-hari.
Dalam teori kenyamanan termal dinyatakan bahwa rasa panas atau dingin yang dirasakan
oleh tubuh manusia sesungguhnya merupakan wujud respon dari sensor perasa yang terdapat
pada kulit terhadap stimuli suhu yang ada di sekitarnya. Sensor perasa berperan
menyampaikan informasi rangsangan rasa kepada otak di manan otak akan memberikan
perintah kepada bagian-bagian tubuh tertentu agar melakukan antisipasi guna
o
mempertahankan suhu tubuh agar tetap berada pada sekitar 37 C, di mana hal ini diperlukan
agar organ dalam tubuh dapat menjalankan fungsinya secara baik.
Standar Internasional (ISO 7730:1994) menyatakan bahwa sensasi termis yang dialami
manusia merupakan fungsi dari empat faktor iklim yakni, suhu udara, suhu radiasi, kelembaban
udara, kecepatan angin, serta dua faktor individu yakni, tingkat aktifitas yang berkaitan dengan

2
laju metabolisme tubuh, serta jenis pakaian yang dikenakan. Standar ISO 7730 menyatakan
bahwa kenyamanan termal tidak dipengaruhi secara nyata oleh hal-hal lain misalnya,
perbedaan jenis kelamin, tingkat kegemukan, faktor usia, suku bangsa, adaptasi, tempat tinggal
geografis, faktor kepadatan, warna, dan sebagainya.
Salah satu hal yang menonjol dari teori Fanger adalah dihasilkannya suatu rumusan bahwa
‘kenyamanan termal’ merupakan fungsi dari 4 (empat) faktor iklim (climatic factors) yakni: suhu
udara (oC), suhu radiasi (oC), kelembaban udara (%) dan kecepatan angin (m/s), serta fungsi
dari 2 (dua) faktor individu yakni: jenis aktifitas (yang dinyatakan dengan laju metabolisme
tubuh, met) serta jenis pakaian (yang dinyatakan dalam unit clo) yang dikenakan oleh
seseorang.

Sumber: Tri H. Karyono

Gambar 13.2. Siswa sekolah menengah di Kupang: Dengan suhu


udara yang relatif tinggi, jenis pakaian akan menentukan tingkat
kenyamanan termal manusia

Sebagai indikator atau alat untuk memperkirakan apakah suatu kondisi dari sekelompok
manusia yang melakukan aktifitas tertentu serta mengenakan pakaian tertentu dapat nyaman
pada suatu ruang tertentu, Fanger memperkenalkan suatu formula, dalam bentuk persamaan
matematik yang mengkaitkan antara Perkiraan Sensasi Termis Rata-Rata terhadap
sekelompok manusia yang berada di suatu ruang yang sama, yang disebut dengan PMV
(Predicted Mean Vote) dengan mengkaitkan keenam faktor kenyamanan termal tersebut.
Dari berbagai penelitian kenyamanan termal yang dilakukan di daerah iklim tropis lembab,
seperti halnya Mom dan Wiesebron di Bandung, Webb, Ellis, de Dear di Singapore, Busch di
Bangkok, Ballantyne di Port Moresby , kemudian Karyono di Jakarta, memperlihatkan rentang
suhu antara 24 hingga 30oC yang dianggap nyaman bagi manusia yang berdiam pada daerah
iklim tersebut.

3
Sementara itu di dalam buku Standar Tata Cara Perencanaan Teknis Konservasi Energi
pada Bangunan Gedung yang diterbitkan oleh Yayasan LPMB – PU dinyatakan bahwa suhu
nyaman untuk orang Indonesia adalah sebagai berikut:
- Sejuk nyaman antara 20,5 - 22,8 oC ET (suhu efektif)
- Suhu nyaman optimal antara 22,8 -25,8 oC ET
- Hangat nyaman antara 25,8 - 27,1 oC ET
Sedangkan hasil penelitian Karyono di Jakarta memperlihatkan angka suhu nyaman optimal
o
atau suhu netral pada 25,3 CTeq (suhu ekuivalen), di mana sekitar 95% responden
diperkirakan nyaman. Sedangkan rentang suhu nyaman, yakni antara ‘sejuk nyaman’ hingga
‘hangat nyaman’ adalah antara 23,6 hingga 27,0 oCTeq. Seandainya digunakan parameter lain,
yakni suhu udara (Ta) sebagai unit skala, suhu nyaman optimal (netral) tersebut menjadi 26,7
o
C Ta, sedangkan rentang antara ‘sejuk nyaman’ hingga ‘hangat nyaman’ adalah antara 25,1
hingga 28,3oC.

Sumber: Tri H. Karyono

Gambar 13.3. Penjual bunga Sirih dan buah Pinang di Kabupaten Kupang,
NTT: Manusia mengenakan pakaian disesuaikan dengan kondisi iklim
setempat, dan ini merupakan salah satu bentuk adaptasi manusia terhadap
kondisi lingkungan termal di mana mereka berada

Angka suhu nyaman manusia tropis tersebut di atas ternyata memiliki perbedaan dengan
penelitian dari wilayah iklim sub tropis. Suhu nyaman manusia tropis sesuai dengan teori
Adaptasi (Humphreys) berada di atas rata-rata suhu nyaman mereka yang tinggal di daerah
dingin.

4
Strategi Pencapaian Suhu Nyaman pada Arsitektur Tropis

Masalah yang harus dipecahkan di wilayah iklim tropis seperti Indonesia adalah bagaimana
menciptakan suhu ruang agar berada di bawah 28,3oC, yakni batas atas untuk sensasi hangat
nyaman, ketika suhu udara luar siang hari berkisar 32oC. Secara sederhan ada dua strategi
pencapaian suhu nyaman di dalam bangunan, pertama, dengan pengkondisian udara mekanis,
kedua, dengan perancangan pasif memanfatkan secara optimal ventilasi alamiah.
Penggunaan mesin pengkondisian udara mekanis, AC, memudahkan pencapaian suhu
ruang di bawah 28,3oC, di mana kanyamanan akan dicapai. Penggunaan AC mengecilkan
peran arsitek dalam perancangan, karena dengan rancangan apapun, ruang dapat dibuat
nyaman dengan penempatan mesin AC. Modifikasi iklim luar yang tidak nyaman menjadi
nyaman dengan cara mekanis lebih merupakan tugas para engineer dibanding arsitek.
Pencapaian kenyamanan dengan mengoptimalkan pengkondisian udara secara alamiah
merupakan tantangan bagi arsitek. Bagaimana arsitek melalui karya arsitektur mampu
memodifikasi udara luar yang tidak nyaman, dengan suhu sekitar 32 oC, menjadi nyaman
dengan suhu di bawah 28,3oC.
Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam kaitannya dengan modifikasi iklim secara
alamiah adalah sebagai berikut:
1. Penanaman pohon
Penanaman pohon lindung di sekitar bangunan sebagai upaya menghalangi radiasi matahari
langsung pada material keras sperti halnya atap, dinding, halaman parkir atau halaman yang
ditutup dengan material keras, seperti beton dan aspal, akan sangat membantu untuk
menurunkan suhu lingkungan. Dari berbagai penelitian yang dilakukan, di antaranya oleh
Akbari dan Parker memperlihatkan bahwa penurunan suhu hingga 3 oC bukan merupakan suatu
hal mustahil dapat dicapai dengan cara penanaman pohon lindung di sekitar bangunan.
2. Pendinginan malam hari
Simulasi komputer terhadap efek pendinginan malam hari (night passive cooling) yang
dilakukan oleh Cambridge Architectural research Limited memperlihatkan bahwa penurunan
suhu hingga 3oC (pada siang hari) dapat dicapai pada bangunan yang menggunakan material
dengan massa berat (beton, bata) apabila perbedaan suhu antara siang dan malam tidak
kurang dari 8oC (perbedaan suhu siang dan malam di kota-kota di Indonesia umumnya berkisar
sekitar 10 oC.
3. Meminimalkan perolehan panas (heat gain) dari radiasi matahari pada bangunan
Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, menghalangi radiasi matahari
langsung pada dinding-dinding transparan yang dapat mengakibatkan terjadinya efek rumah
kaca, yang berarti akan menaikkan suhu dalam bangunan. Kedua, mengurangi transmisi panas
dari dinding-dinding masif yang terkena radiasi matahari langsung, dengan melakukan
penyelesaian rancangan tertentu, di antaranya:

5
a. membuat dinding lapis (berongga) yang diberi ventilasi pada rongganya.
b. menempatkan ruang - ruang service (tangga, toilet, pantry, gudang, dsb.) pada sisi-sisi
jatuhnya radiasi matahari langsung (sisi timur dan barat)
c. memberi ventilasi pada ruang antara atap dan langit -langit (pada bangunan rendah) agar
tidak terjadi akumulasi panas pada ruang tersebut. Seandainya tidak, panas yang terkumpul
pada ruang ini akan ditransmisikan kebawah, ke dalam ruang di bawahnya. Ventilasi atap ini
sangat berarti untuk pencapaian suhu ruang yang rendah.
4. Memaksimalkan pelepasan panas dalam bangunan.
Hal ini dapat dilakukan dengan pemecahan rancangan arsitektur yang memungkinkan
terjadinya aliran udara silang secara maksimum di dalam bangunan. Alirang udara sangat
berpengaruh dalam menciptakan ‘efek dingin’ pada tubuh manusia, sehingga sangat membantu
pencapaian kenyamanan termal.
5. Rancangan Kota Tropis
Dengan karakter iklim yang berbeda, setiap tempat di dunia seharusnya memiliki rancangan
kota yang berbeda disesuaikan dengan kondisi iklim setempat. Hal ini dimaksudkan untuk
mengantisipasi kebutuhan manusia terhadap kenyamanan fisik, terutama kenyamanan termal.
Suhu udara, radiasi matahari, serta kelembaban yang tinggi perlu di atasi karena tidak
diharapkan bagi pencapaian kenyamanan termal manusia tropis.
Kota tropis memerlukan banyak ruang terbuka yang hijau untuk menurunkan suhu kota
dan sekaligus meningkatkan aliran udara, di mana kecepatan angin di wilayah kota tropis
lembab umumnya rendah. Bangunan perlu diletakkan sedemikian rupa antara yang satu
dengan lainnya agar udara dapat bergerak di antara bangunan. Penempatan massa-massa
bangunan secara rapat tidak mencirikan pemecahan problematik iklim tropis, karena pada
akhirnya akan memperkecil terjadinya aliran udara secara silang di dalam bangunan.
Ruas-ruas jalan yang didominasi oleh perkerasan bahan aspal dan beton perlu
dilindungi dari radiasi matahari langsung dengan penanaman pohon sepanjang tepi jalan yang
dimungkinkan. Langkah ini dimaksudkan untuk mengurangi pemanasan udara di kawasan
tersebut, yang akhirnya akan menaikkan suhu kota. Demikian pula halaman-halaman parkir
perlu diberi perlindungan serupa. Jika peneduhan terhadap permukaan tanah yang diperkeras
dapat diwujudkan, suhu kota tidak akan naik. Hal ini akan membantu pada penurunan suhu
udara di sekitar bangunan yang secara langsung atau tidak langsung akan mempermudah
pencapaian suhu nyaman di dalam bangunan.

Sumber Bacaan
Akbari, H. et al (1990), Summer Heat Island, Urban Trees and White Surfaces, ASHRAE
Transactions, pp. 1381 - 1388.
ANSI/ASHRAE 55-1992, ASHRAE Standard Thermal Environmenttal Conditions for Human
Occupancy, American Society of Heating Refrigeration and Air Conditioning Engineer
(ASHRAE), Atlanta, USA.

6
Baker, N.V. (1994), Energy and Environment in No-Domestic Buildings A Technical Design
Guide, Cambridge Architectural Research Limited and The Martin Centre for Architectural
and Urban Studies, University of Cambridge, United Kingdom.
Ballantyne, E.R., et al (1967), Environment Assessment of Acclimatized Caucasian Subjects at
Port Moresby, Papua New Guinea, 3rd Australian Building Research Congress, no. 400,
Sydney, Australia.
Ballantyne, E.R., et al (1979), A Survey of Thermal Sensation in Port Moresby, Papua New
Guinea, Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization, no. 32, pp. 1-28,
Melbourne, Australia.
Busch, J.F. (1990), Thermal Responses to the Thai Office Environment, ASHRAE Transactions,
pp. 859-872, USA.
de Dear, R.J. and Auliciems, A. (1985), validation of the Predicted Mean Vote Model of Thermal
Comfort in Six Australian Field Studies, ASHRAE Transactions, vol. 81, part 2B, pp.452-
468, USA.
de Dear, R.J., et al (1991), Thermal Comfort in the Humid Tropics - Part I: Climate Chamber
Experiments on Temperatures Preferences in Singapore, ASHRAE Transactions, vol. 97,
part 1, pp. 875-879, USA.
de Dear, R.J., et al (1991), Thermal Comfort in the Humid Tropics - Part II: Climate Chamber
Experiments on Thermal Acceptability in Singapore, ASHRAE Transactions, vol. 97, part 1,
pp. 880-886, USA.
de Dear, R.J., et al (1991), Thermal Comfort in the Humid Tropics: Field Experiments in Air
Conditioned and Naturally Ventilated Buildings in, International Journal of Biometeorology,
vol. 34, pp. 259-265, UK.
Departemen Pekerjaan Umum (1993), Standar Tata Cara Perencanan Teknis Konservasi
Energi pada Bangunan Gedung, Yayasan LPMB, Bandung.
Ellis, F.P. (1952), Thermal Comfort in Warm Humid Atmosphere- Observation in A Warship in
the Tropics, Journal of Hygiene, vol. 50, pp. 415-432, Cambridge, UK.
Ellis, F.P. (1953), Thermal Comfort in Warm Humid Atmosphere- Observation on Groups and
Individuals in Singapore Warship in the Tropics, Journal of Hygiene, vol. 51, pp. 386-404,
Cmbridge, UK.
Fanger, P.O. (1970), Thermal Comfort Analysis and Applications in Environmental Engineering,
Danish Technical Press, Copenhagen, Denmark.
Humphreys, M . A . (1992), Thermal Comfort Requirements, Climate and Energy, The Second
World Renewable Energy Congress, Reading, UK.
Humphreys, M.A. (1976), Field Studies of Thermal Comfort Compared and Applied, Building
Service Engineering, vol. 44, pp. 6-23, UK.
Idealistina, F. (1991), Model Termoregulasi Tubuh untuk Penentuan Besaran Kesan Termal
Terbaik dalam kaitannya dengan Kinerja Manusia, disertasi doktor, Institut Teknologi
Bandung.
ISO 7730:1994 (E), Moderate Thermal Environments-Determination of the PMV and PPD
Indices and Specification of the Conditions for Thermal Comfort, 2nd edition, 1994,
International Organization for Standardization, Geneva, Switzerland.
Karyono, T.H. (1996), Discrepancy between actual and predicted thermal votes of the
Indonesian workers in Jakarta, Indonesia, International Journal of Ambient Energy, vol. 17,
no.2, UK.
Karyono, T.H. (1996), Thermal Comfort and Energy Studies in Multi-Storey Office Buildings in
Jakarta, Indonesia, thesis doktor, School of Architectural Studies, University of Sheffield,
UK.
Karyono, T.H. (1996), Thermal Comfort in the Tropical South East Asia Region, Architectural
Science Review, vol. 39, no. 3, pp. 135- 139, Sydney, Australia.
Karyono, T.H. (1997), Arsitektur Tropis dan Bangunan Hemat Energi, majalah KALANG, no1,
vol.1, 1997.
Karyono, T.H. (1997), The Applicability of ISO 7730 and the Adaptive Model of Thermal Comfort
in Jakarta, Indonesia, paper for the CLIMA 2000 Conference, Brussel, 30 August to 2 Sept.,
Belgium.

7
Karyono, T.H. (2001), Teori dan Acuan Kenyamanan Termis dalam Arsitektur, Penerbit Catur
Libra Optima, Percetakan Olta Printings, Maret 2001, Jakarta
Nicol, F.J. (1993), Thermal Comfort A Handbook for Field Studies toward an Adaptive Model,
University of East London, UK.
Oseland, N. A. (1990), A Comparison of the predicted and reported thermal sensation vote in
homes during winter and summer, Energy and Buildings, vol. 21, pp. 45 - 54, USA.
Parker, J. (1981), Uses of Landscaping for Energy Conservation, Florida International University
and the Governnor’s Energy Office of Florida.
Soegiyanto, R . M . (1981), Pengendalian Kondisi Lingkungan Thermis dan Penerangan
Alami Siang Hari di Dalam Rumah Sederhana Type Perumnas di Daerah Jakarta dan
Bandung, disertasi program doktor, ITB, Bandung.
Webb, C.G. (1952), On Some Observation of Indoor Climate in Malaya, Journal of the Institution
of Heating and Ventilating Engineers, August, pp. 189-195, UK.
Wieseborn, J.A. (1940), Psychrometrischonderzoekaan gaande het behaaglijkbeids gebied in
Nederlandsch-Indie, N.V. Drukkerij V/H, A.C. Nix & Co.

View publication stats

Das könnte Ihnen auch gefallen