Sie sind auf Seite 1von 30

Meet The Expert

PROSEDUR INVASIF DIAGNOSTIK

Oleh:
Afnilia Rozana 1740312024
Azalia Karina 1740312049

Preseptor:
Dr.dr. Hj. Yusrawati, Sp.OG (K)

BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGIRSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2018
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Diagnosis prenatal pada trimester pertama bukanlah merupakan suatu konsep
baru. Diagnosis prenatal sering dilakukan pada pasien yang diketahui
Diagnosis prenatal adalah ilmu dan seni untuk mengidentifikasi kelainan struktur
dan fungsi pada perkembangan janin.Sekitar 2-3% bayi baru lahir mempunyai masalah
dengan kelainan kongenital mayor yang ditemukan pada saat lahir. Kelainan kongenital
mayor merupakan salah satu penyebab utama kematian neonatus, dan kelainan genetik
merupakan empat besar kasus rawat inap di bagian anak.1
Banyak kelainan pada janin dapat diidentifikasi saat prenatal dan kemajuan
teknologi dalam bidang kesehatan telah memungkinkan untuk melakukan pengobatan
prenatal, sehingga saat ini diagnosis prenatal merupakan jembatan penting antara obstetri
dan pediatrik.Terapi prenatal saat ini meliputi optimalisasi lingkungan intrauteri dan
kondisi pada saat persalinan, transfusi darah, pemberian obat-obatan, amnioreduksi,
pemasangan shunt dan operasi. Untuk masa yang akan datang akan memungkinkan untuk
melakukan transplantasi hematopeitic stem cell dan metode transfer gen yang lain.1,2
Diagnosis prenatal meliputi evaluasi terhadap tiga kategori pasien yaitu janin
dengan risiko tinggi untuk kelainan genetik dan kongenital, janin dengan risiko yang
tidak diketahui untuk kelainan kongenital umum, janin yang pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan mempunyai kelainan struktur dan perkembangan.1
Terdapat banyak modalitas dalam diagnostik ataupun skrining pranatal baik yang
secara invasif dan non invasif. Chorionic villus sampling (CVS) atau biopsi vili korialis
amniosentesis, dan amnioinfusi merupakan teknik diagnostik prenatal invasif yang dapat
digunakan untuk menilai gangguan kromosom, molekuler dan biokimiawi janin.3
1.2 Batasan Masalah
1. Mengetahui definisi, indikasi, kontraindikasi, teknik pengambilan sampel, dan
komplikasi Chorionic Villus Sampling (CVS).
2. Mengetahui definisi, indikasi, kontraindikasi, teknik pengambilan sampel, dan
komplikasi Amniosintesis.

2
3. Mengetahui definisi, indikasi, kontraindikasi, teknik pengambilan sampel, dan
komplikasi Amnioinfusi.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan sebagai dokter muda
mengenai Chorionic Villus Sampling (CVS), Amniosintesis, dan Amnioinfusi.

1.4 Metode Penelitian


Metode penulisan referat ini merupakan studi keperpustakaan yang merujuk ke
beberapa literatur.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Chorionic villus sampling (CVS)
2.1.1 Definisi
Chorionic villus sampling (CVS) merupakan suatu metode diagnosis invasive osedur
invasif yang dilakukan untuk mengetahui kelainan kromosom, molekuler, dan
biokimiawi janin pada trimester pertama. CVS biasanya dilakukan pada akhir trimester
pertama, antara usia kehamilan 10-13 minggu, dimana kantong gestasional belum
mengisi kavum uterus dan dilingkupi oleh membran korion yang tebal.4,5,6
Prosedur ini merupakan gold standard analisis kromosom janin yang dilakukan lebih
dini.Dalam prosedur ini, jaringan diambil dari villi (vascular fingers) korion, bagian
plasenta yang sedang tumbuh, dan diperiksa.Pemeriksaan ini dilakukan dibawah tuntunan
ultrasound. Hasil dari pemeriksaan CVS dapat mendeteksi anomali kromosom, defek gen
spesifik, dan aktivitas enzim yang abnormal dalam kehamilan terutama pada penyakit
keturunan.4,5,6

Gambar 2.1 Prosedur Chorionic Villus Sampling (CVS)

2.1.2 Anatomi Janin dalam Rahim


Saat usia kehamilan antara 9 sampai 12 minggu, gestasi belum memenuhi kavum
uterus. Kantung gestasi dikelilingi oleh membran korion tebal dan kasar yang didalamnya
terdapat kavum amniotik dan coelem ekstraembrionik. Kavum amniotik berisi embrio
dan ditutupi oleh membran amnion yang tipis dan mobile. Coelom ekstraembrionik
terletak antara membran korion dan membran amnion, berisi cairan seperti mukus dan

4
menghilang seiring berkembangnya kantung amnion menuju korion dan kedua membran
mendekat.6

Gambar 2.2 Anatomi Janin dalam Rahim

Sebelum 9 minggu, vili korion menutupi seluruh permukaan luar kantung


gestasional. Seiring berlanjutnya pertumbuhan, kantung mulai mengisi kavum uterus, dan
sebagian besar vili mengalami regresi kecuali di bagian yang menempel (implantasi),
berhubungan dengan desidua basalis (Lihat gambar 2.3). Vili di daerah ini berproliferasi
secara cepat membentuk korion frondosum, atau komponen fetus dari plasenta. Antara
usia gestasi 9-12 minggu, villi mengapung secara bebas di darah dalam ronga intervilus.6

Gambar 2.3 Diagram anatomi kehamilan trimester pertama

5
2.1.3 Indikasi
Bertahun-tahun, diagnosis prenatal bergantung pada analisis cairan amnion fibroblas
sebagai gambaran tidak langsung genetik fetus. Vilus korion menjadi sumber jaringan
yang tepat dan berguna untuk evaluasi penyakit genetik fetus. Properti sitogenetik,
molekular, dan biokemikalnya menggambar properti yang terdapat pada fetus. Vilus
sebagian terdiri dari sel sitotropoblas, yang menjadi sumber mitosis spontan yang dapat
digunakan pada analisis kromosomal. Vilus dapat diambil dengan mudah tanpa
membutuhkan puncture membran korion atau amnion.
Indikasi dilakukan CVS adalah :
1. Kehamilan pada wanita dengan usia ≥ 35 tahun.
Di Amerika CVS sering dilakukan pada wanita hamil berumur > 35 tahun karena
pada umur ini terdapat peningkatan kemungkinan resiko ibu melahirkan bayi
dengan down syndrome dan beberapa tipe aneuploidy.
Dalam penelitian didapatkan pada usia 35 tahun beresiko 1:385 kelahiran
beresiko mengalami kelianan janin, sedangkan pada usia 45 tahun sebanyak 1:30
kelahiran
2. Kehamilan sebelumnya menghasilkan keturunan yang mengalami kelainan
kromosom.
3. Adanya kelainan kromosom pada salah satu orang tua.
4. Adanya Down’s Syndrome atau kelainan kromosom lain pada anggota keluarga
dekat.
5. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan adanya abnormalitas janin.
6. Pada anak sebelumnya mengalami kelainan bawaan yang berat.
7. Ibu merupakan carrier untukpenyakit terkait kromosom seks (sex-linked
diseases).7

2.1.4 Kontraindikasi
Kontraindikasi untuk melakukan CVS adalah :
1. Ibu dengan infeksi aktif (sexual-transmitted disease).
2. Janin kembar, jika hasil CVS abnormal, tidak jelas fetus yang mana yang
terkena.

6
3. Riwayat perdarahan pervaginam selama kehamilan atau dengan perdarahan
pervaginam aktif/ bercak-bercak perdarahan .
4. Uterus antefleksi atau retrofleksi ekstrim dan habitus tubuh pasien yang
menghambat kemudahan akses ke uterus.8

Kontraindikasi untuk CVS transervikal meliputi :


1. Vaginismus
2. Kelainan anatomi kanalis servikalis, seperti: stenosis.
3. Infeksi vagina aktif
4. Polips serviks dan mioma besar pada segmen bawah uterus.8

Kontraindikasi untuk CVS transabdominal :


1. Terdapat usus diantara dinding abdomen dan plasenta (interceding bowel)
2. Plasenta terlalu jauh dari permukaan abdomen ibu (obesitas).8

2.1.5 Teknik Pengambilan Sampel


Ada dua jenis teknik pengambilan sampel pada CVS yaitu teknik transervikal (TC)
dan transabdominal (TA). teknik transervikal (TC) dan transabdominal (TA). American
College of Obstetriciansand Gynecologistsmenyatakan bahwa teknik transervikal (TC)
dan transabdominal (TA)sama sama aman dan efektif.
Sebelum tindakan, dilakukan pemeriksaan USG untuk mengkonfirmasi denyut
jantung janin dan letak plasenta. Tentukan posisi uterus dan serviks, bila uterus anteversi
maka tambahan pengisian kandung kemih dapat membantu untuk meluruskann posisi
uterus, namun hindari pengisian kandung kemih yang berlebihan karena dapat
mendorong uterus keluar dari rongga pelvis sehingga memperpanjang jarak untuk
mencapai tempat pengambilan sampel yang dapat mengurangi kelenturan yang
diperlukan untuk manipulasi kateter.6,8

7
Gambar 2.4 Lokasi plasenta

1. Prosedur Transervikal
Peralatan yang di gunakan diperlukan untuk tindakan ini adalah spekulum steril,
cairan antiseptik, kassa, tenakulum, kanul dengan panjang 26 cm dan diameter pipa
1,5mm, spuit 20 cc, cawan petri atau tabung spesimen steril, nutrient medium, gel
steril, USG.

Gambar 2.5 Peralatan yang digunakandalamprosedur CVS Transervikal

Dalam prosedur ini, menggunakan polietilen kateter melalui serviks dengan


tuntunan USG menuju plasenta yang paling tebal. Jaringan trofoblas diaspirasi
melalui kateter ke dalam syringe. Dilakukan pada usia kehamilan 10-12 minggu.

8
Pasien dibaringkan dengan posisi litotomi, antisepsis vulva dan vagina kemudian
masukkan spekulum dan lakukan hal yang sama pada serviks. Ujung distal kateter
(3-5 cm) sedikit ditekuk untuk membentuk lengkungan dan kateter dimasukkan ke
dalam uterus dengan tuntunan USG sampai pemeriksa melihat ujung kateter,
kemudian kateter dimasukkan sejajar dengan selaput korion ke tepi distal plasenta.
Keluarkan stylet dan pasang tabung penghisap 20 ml yang mengandung medium
kultur jaringan. Jaringan villi yang terhisap ke dalam tabung dapat dilihat dengan
mata telanjang sebagai struktur putih yang terapung dalam media. Kadang diperlukan
mikroskop untuk mengkonfirmasi jaringan vili. Sering jaringan desidua ibu juga ikut
terambil, namun mudah dikenali sebagai struktur yang amorf (tidak berbentuk).6,7,8

Gambar 2.6 Prosedur transervikal

9
Gambar 2.7 USG saatprosedur CVS transervikal
2. Prosedur Transabdominal
Peralatan yang diperlukan untuk melakukan tindakan ini diantaranya: kassa,
duksteril, cairan antiseptik, jarum spinal dengan panjang 9 cm atau 12 cm, spuit
20 cc beserta holder, cawan petri atautabungspesimensteril, nutrient medium, gel
steril, USG.

Gambar 2.8 Peralatan yang digunakandalamprosedur CVS transabdominal

10
Pasien dalam posisi supine. Desinfeksi lapangan kerja.Tutup paha dan bagian
pinggir abdomen dengan duk steril, tempatkan probe USG dibawahnya. Oleskan gel
steril diatas abdomen. Siapkan jarum dengan spuit 20 cc. Masukan jarum dengan
panduan dari USG pada sudut yang mempenetrasi placenta long axis. Jarum akan
melawati miometrium dan paralel terhadap membran chorion. Hindari jarum
mengenai usus dan vesika urinaria. Ketika jarum sudah pada posisi yang diinginkan,
berikan tekanan negatif pada spuit sambil menarik maju mundur jarum CVS namun
tetap di dalam plasenta.Setelah jaringan plasenta diaspirasi dan masuk kedalam spuit,
keluarkan jarum perlahan-lahan sambil mempertahankan tekanan negatif pada
spuit.Masukkan sampel kedalam botol spesimen.Dalam prosedur ini, jarum
dimasukkan melalui perut dan rahim ke plasenta untuk mendapatkan sampel jaringan
dengan panduan USG.Teknik transabdominal pertama kali diperkenalkan oleh Smid-
Jensen dan Hahnemann dari Denmark. Dengan tuntunan USG masukkan jarum
spinal ukuran 18 atau 20 ke dalamplasenta, karena jarum yang dipakai lebih kecil
dari kateter servikal maka perlu dilakukan 3-4 kali gerakan maju mundur pada ujung
jarum terhadap jaringan plasenta agar jaringan villi dapat terambil. Setelah stylet
dikeluarkan, aspirasi villi ke dalam tabung 20 ml yang berisi media kultur
jaringan.6,7,8

Gambar 2.9 Prosedur transabdominal

11
Gambar 2.10 USG pada Transabdominal CVS

Gambar 2.11Chorionic Villus Fragment

Jaringan villi dicuci dan dibersihkan dengan media yang segar dan disortir untuk
membuang bekuan darah dan dilihat dengan mikroskop untuk membuang semua
desidua yang berasal dari ibu. Villi korionik memiliki karakteristik halus, bewarna
putih dan terapung dalam media.Villi yang telah dibersihkan dibandingkan dengan
standart, kemudian dikirim ke laboratorium dalam medium saline. Di laboratorium
dilakukan analisis kromosom menggunakan metode direct menggunakan PCR
(polymerase chain reaction) dan kultur jaringan.6,9
Setelah dilakukan pemeriksaan CVS, ibu dan janin perlu pemantauan tanda vital
dan denyut jantung janin secara berkala 30 menit atau lebih. Pasien harus beristirahat
di rumah dan menghindari aktivitas berat selama minimal 24 jam setelah
pemeriksaan CVS dilakukan dan tidak boleh melakukan hubungan seksual selama 10
hari, untuk mencegah terjadinya abortus.9

12
Faktor yang dapat mengganggu prosedur CVS adalah :
1. Kehamilan lebih awal dari 7 minggu atau lebih dari 13 minggu.
2. Posisi bayi, plasenta, jumlah cairan ketuban atau panggul ibu.
3. Infeksi.
4. Sampel yang tidak memadai untuk pengujian atau yang mengandung jaringan
maternal.

Tabel 2.1 Perbandingan CVS Transervikal dan Transabdominal.10

2.1.6 Hasil Pemeriksaan CVS


CVS merupakan tes diagnostik yang dapat mendeteksi kelainan dan gangguan
genetik dengan akurasi yang tinggi (98-99%). Walaupun kemungkinan identifikasinya
tinggi, tes ini tidak dapat mengukur beratnya gangguan tersebut dan tes ini tidak dapat
mengidentifikasi defek tabung saraf (neural tube).11
Jika hasil CVS normal, artinya tidak terdapat tanda-tanda defek genetik. Jika
abnormal maka abnormalitas kromosom atau gangguan genetik yang dapat dideteksi
dapat berupa sindrom down, fibrosis kistik, hemoglobinopathies ( anemia sickle cell),
Tay-Sachs disease, sex linked disorders (distrofi muskular). CVS dapat mendeteksi lebih
dari 200 gangguan genetik.
Chorionic villus sampling juga dapat digunakan untuk tes paternitas (paternity test)
sebelum kelahiran. DNA diambil dari ayah potensial dan dibandingkan dengan DNA bayi
yang didapat dari CVS. Hasilnya akurat (99%) untuk menentukan paternitas.

13
False positif dapat ditemukan karena adanya mosaik plasenta atau terkontaminasi sel
ibu. CVS tidak dapat mendeteksi defek tabung saraf, inkompatibilitas Rh dan defek
kongenital.Kontaminasi jaringan desidua ibu pada sampel yang dikultur dapat
memberikan hasil negatif palsu, dan hal ini sering terjadi bila hanya sedikit sampel yang
terambil.

2.1.7 Komplikasi Tindakan


2.1.7.1 Komplikasi Fetal
1. Abortus
Tingkat kejadian abortus mulai dari waktu dilakukannya CVS sampai usia
kehamilan 28 minggu rata-rata adalah 2%-3%. Caughey and colleagues (2006)
menemukan frekuensi abortus pada CVS 2% dibandingkan dengan amniocintesis
<1%. Jika dikaitkan dengan tindakan prosedur, insiden abortus 1 per 400 prosedur.
Risiko abortus lebih tinggi pada pemeriksaan CVS transervikal karena prosedur
yang lebih invasif. Kejadian abortus biasanya terjadi dalam 7 hari setelah pemeriksaan
dilakukan.9
2. Cacat anggota tubuh pada bayi
Akhir-akhir ini, CVS diduga berhubungan dengan terjadinya malformasi fetus.
Beberapa malformasi yang dilaporkan terjadi adalah tallipes, deformitas ekstremitas,
labiopalatoskisis, gastroskisis, atresia usus dan club foot. Hal ini pertama kali
dilaporkan oleh Firth et al, pada 539 kehamilan yang menjalani prosedur CVS yang
dilakukan saat usia kehamilan 66 hari atau lebih awal, ditemukan 5 bayi dengan
abnormalitas ekstremitas yang parah. Empat dari bayi tersebut memiliki sindrom
hipogenesis limb oromandibular (oromandibular limb hypogenesis syndromes) dan
bayi yang ke lima mengalami defek reduksi limb transversal (limb reduction defect).
Abnormalitas limb ini terjadi pada TA CVS yang dilakukan pada usia kehamilan
antara 55 sampai 66 hari. Sementara itu, Brambati et al melaporkan pada kelompok
yang menjalani CVS setelah usia kehamilan 9 minggu tidak terjadi peningkatan
resiko defek limb dan pada kelompok yang menjalani CVS pada usia kehamilan 6-7
minggu dilaporkan terdapat peningkatan resiko defek limb sekitar 1,6%.9

14
Gambar 2.6 Oromandibular limb hypogenesis syndrome dan limb reduction defects
yang dapat terjadi setelah CVS sebelum usia gestasi 9 minggu.

Mekanisme bagaimana CVS menyebabkan defek limb masih belum sepenuhnya


dipahami, namun ada beberapa hipotesis yang diduga dapat menjelaskan. Salah satu
hipotesisnya adalah CVS dapat mengakibatkan trauma atau vasospasm yang
menyebabkan penurunan perfusi pada sirkulasi perifer fetus. Kemudian terjadi ruptur
dinding pembuluh darah di sirkulasi embrionik distal menyebabkan hipoksia, nekrosis
dan resorpsi struktur limb. CVS yang dilakukan pada kehamilan < 9 minggu mempunyai
resiko untuk reduksi anggota gerak 10-20 kali lebih besar dibandingkan dengan CVS
yang dilakukan setelah usia > 11 minggu. Pengambilan sampel sebelum usia kehamilan
10 minggu sebaiknya terbatas pada kasus tertentu dan pasien sebaiknya diberitahu adanya
resiko defek limb 1% atau lebih besar.7
3. Ketuban Pecah (Rupture of membrane)
Ketuban pecah akut diketahui baik dari keluarnya cairan banyak secara jelas atau
menurunnya cairan amnion pada evaluasi dengan USG. Ketuban pecah merupakan
komplikasi yang paling jarang. Ruptur dapat disebabkan trauma mekanik pada korion
saat pengambilan sampel atau iritasi dan inflamasi kronis yang disebabkan hematoma
pada infeksi tingkat rendah, yang dapat menyebabkan infeksi pada korion.9,10

15
4. Infeksi
American College of Obstetricians and Gynecologists, 2012 Insiden Infeksi
setelah prosedur CVS <0,5%.12 Pada penelitian terbaru di US infeksi, yang mungkin
menjadi penyebab abortus, hanya terjadi pada 0,3% dari 2000 kasus TC CVS.9,10
Sejak perkembangan awal TC CVS, sudah dipahami bahwa memasukkan
instrumen melalui transvaginal akan membuat flora vaginal masuk ke uterus.
Kemungkinan ini telah dikonfirmasi dengan kultur bakteri dari kateter yang digunakan
pada CVS.
Infeksi setelah TA CVS juga dapat terjadi pada beberapa kasus akibat masuknya
flora usus ke uterus melalui jarum. Namun, pada praktek klinis, insiden
korioamnionitis post-CVS sangat rendah.

2.1.7.2 Komplikasi Maternal


1. Efek Psikologis
Efek psikologis yang muncul setelah pemeriksaan CVS yaitu ketakutan
mengungkapkan kelainan pada kehamilan, dilemma dalam keputusan melanjutkan
kehamilan, dan ketakutan dalam mengakhiri kehamilan.9
2. Perdarahan
Perdarahan pervaginam tidak umum terjadi setelah TA CVS, namun ditemukan
7%-10% pada pasien dengan prosedur TC. Flek minimal biasa terjadi dan dapat terjadi
pada hampir sepertiga perempuan dengan prosedur transervikal. Pada kebanyakan
kasus, perdarahan bersifat self-limited dan outcome kehamilan baik.7,9
Hematoma subkorionik dapat terlihat segera setelah pengambilan sampel pada 4%
pasien. Hematoma biasanya menghilang sebelum kehamilan 16 minggu dan tidak
berdampak buruk pada kehamilan. Kasus perdarahan hebat dan menyebabkan
hematoma terjadi akibat tak sengaja menempatkan kateter TC ke dalam desidua
basalis yang mendasari korion frondosum. Menghindari manipulasi yang tidak penting
dapat mencegah perdarahan dan meminimalisir komplikasi ini.9

16
2.2 Amniosintesis 4
2.2.1 Definisi
Amniosintesis adalah pemeriksaan yang biasa digunakan untuk uji abnormalitas
kromosom, penyakit genetik dan infeksi pada fetus. Waktu pelaksanaan amniosintesis ini
adalah usia kehamilan 15-18 minggu. Amniosintesis yang dilakukan pada trimester II
tidak menunjukkan resiko yang signifikan terhadap terjadinya ELBW (Extremely Low
Birth Weight, Less Than 1000 gr) maupun VLBW ( Very Low Birth Weight, Less Than
1500 gr).
Secara teknis, pelaksanaan amniosintesis ini adalah dengan cara memasukkan
jarum menembus perut ibu, kemudian diambil 20 ml amnion. Selanjutnya dari amnion
tersebut dilakukan pemeriksaan sesuai dengan tujuannya.

2.2.2 Indikasi
Amniosintesis bisa dilaksanakan untuk keperluan diagnosis maupun terapi.
Diagnosis ini bisa dilakukan sejak usia kehamilan awal trimester kedua sampai dengan
akhir trimester ketiga, yakni untuk memperkirakan kesejahteraan janin didalam rahim
serta menilai maturasi paru janin.Amniosintesis sebagai terapi dimulai dengan untuk
tujuan terminasi kehamilan , untuk mengurangi ketegangan rahim pada kehamilan
dengan hidramnion sampai dengan transfusi janin didalam rahim .

Amniosentesis untuk tujuan diagnosis.


Diagnosis antenatal
Amniosentesis sebagai keperluan diagnosis prenatal dapat melihat adanya
kelainan bawaan janin.
1. Pemeriksan biokimiawi secara langsung dari cairan amnion.
Pengukuran kadar Alfa Fetoprotein ( AFP ). AFP tersebut adalah komponen
normal yang ada didalam serum janin, akan tetapi kadarnya didalam cairan
amnion akan meningkat bila ada kelainan bawaan janin pada susunan sistim
syaraf pusat misalnya spinabifida, anenchephalia, meningocele.
Pemeriksaan ini bila dikombinasikan dengan evaluasi dengan alat USG akan
mempunyai arti diagnostik yang lebih tinggi.
2. Kultur sel amnion untuk analisa kromosom.

17
2.1. Kelainan kromosom.
Misalnya adanya risiko mempunyai anak dengan Down Syndrome
pada ibu-ibu dengan usia lebih dari 35 tahun ( dilakukan pada 50% kasus )
atau yang pernah melahirkan bayi dengan Down Syndrome atau kelainan
kromosom yang lain pada kehamilan sebelumnya ( pada 20-25% kasus ).
2.2. Kelainan “ sex-linked “.
Pada kasus-kasus dengan sex-linked desease seperti Hemofilia atau
Ducheene’ s muscular dystrophy, penentuan jenis kelamin janin dalam
rahim bertujuan untuk mengetahui secara dini kelainan tersebut hingga bisa
dihindari kelahiran anak dengan kelainan kromosom diatas dalam arti bila
diperlukan terminasi bila kemungkinan besar janin mendapatkan kelainan
tersebut.
2.3. Gangguan metabolisme.
Kelainan metabolisme yang dibawa sejak lahir ini sekarang sudah bias
ditentukan pranatal ( misalnya , kelainan metabolisme lemak, karbohidrat &
protein ).
Kelainan tersebut biasanya autosom-resesive yang memberikan kelainan
bawaan dalam bentuk kemunduran fisik maupun mental dalam berbagai
tingkat.Akan tetapi oleh karena pemeriksaan ini mengukur aktifitas enzim
tertentu yang memerlukan sejumlah sel yang cukup banyak maka
memerlukan waktu yang lama untuk bisa mendapatkan hasil yang
sempurna.

Diagnostik menggunakan amniosintesis bertujuan untuk melihat kesejahteraan


janin dan maturasi janin. Kesejahteraan janin dalam rahim dapat diketahui dengan
melihat warna air ketuban, glukosa dan insulin, bilirubin serta estriol. Warna air ketuban
yang bercampur mekonium menandakan janin stress. Bilirubin yag meningkat
menandakan terdapatnya kelainan rhesus.
Maturasi janin diketahui dari sitologi, kreatinin, fosfolipid dan bilirubin. Pada
sitologi akan ditandai dengan ditemukannya sel epithel pipih yang jumlahnya berbeda –
beda berdasarkan usia kehamilan. Pada kehamilan < 34 minggu kadar sel ini < 1 %,

18
kehamilan 30-40 minggu 10-50% dan kehamilan > 40 minggu >50 %. Sejak usia
kehamilan 37 minggu , 94% kasus ditemukan kadar kreatinin 2 mg/dl. Kreatinin
meningkat sesuai dengan peningkatan masa dari otot janin dan maturasi ginjal
janin.Dalam kehamilan normal bila terjadi kenaikan bilirubin ( diatas nol ), akan
mencerminkanmaturasi hepar janin.
Sumber dari surfaktan yakni fosfatidil gliserol, fosfatidil inositoldan fosfatidil-
etanolamin.Pemeriksaan semikuantitatif untuk menentukan maturasi paru janin daricairan
amnion adalah dengan “ Shake Test “. Dengan tehnik ini bisa dinilaikemampuan dari
cairan amnion untuk mempertahankan tegangan permukaandalam bentuk buih yang
terbentuk pada permukaan cairan amnion dalam tabung bila ditambahkan etanol
kedalamnya.

Amniosentesis untuk tujuan pengobatan ( Terapi).


1. Mengurangi jumlah cairan amnion yang dilakukan secara bertahap pada kasus
kehamilan dengan hidramnion dengan tujuan untuk mengurangi keluhan napas sesak
napas karena desakan diafragma oleh rahim yang membesar.
2. Transfusi intra – uterinedengan melakukan transfusiintraperitoneal janin.
3. Terminasi kehamilan untuk tujuan terapi. Pada keadaan dimana diperlukan terminasi
pada trimester II , maka dimasukkan kedalam rongga amnion bahan-bahan
hipertonik seperti glukosa, saline,dan yangpaling baru adalah dimasukkannya bahan
prostaglandin. Mengingat risiko dari amniosentesis dan telah ditemukannya preparat
prostaglandin yangdimasukkan parenteral maupun vaginal maka tehnik ini makin
ditinggalkan.

2.2.3 Teknik Amniosintesis


Meskipun amniosentesis adalah suatu prosedur yang rutin, akan tetapi oleh karena
risiko-risiko yang bisa terjadi maka harus selalu dilakukan dengan pertimbangan dan
indikasi yang benar dan hati-hati.
1. Persiapan
Pemeriksaan USG sebelum amniosentesis untuk menentukan letak plasenta dan
identifikasi lokasi amniosentesis yang tepat untuk mengurangi komplikasi.

19
Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain , abortion, kebocoran cairan amnion,
perdarahan dalam rongga amnion. Bila perlu dipakai transduser khusus untuk
menuntun jarum yang bisa dimonitor dengan USG. Bila letak plasenta pada dinding
depan korpus uteri sampai denagn fundus maka perlu dipertimbangkan lagi apakah
indikasinya memang mutlak diperlukan amniosentesis mengingat risiko yang bisa
terjadi apabila menembus plasenta
2. Penentuan lokasi amniosentesis.
Penentuan lokasi tergantung pada usia hamil dan pemeriksaan USG sebelumnya
yang meliputi posisi anak, letak plasenta dan letak kantung ketuban yang terbanyak.
Hal tersebut diatas terutama bila dilakukan amniosentesis pada trimester I untuk
analisa genetik.Meskipun demikian pada trimester III pun USG sebelumnya masih
tetap harus dilakukan. Ada dua tempat yang paling sering dilakukan amniosentesis
adalah daerah leher janin ( hati-hati trauma pada leher janin ) dan pada daerah bagian
kecil janin ( hati-hati trauma pada tali-pusat dan plasenta ).
3. Prosedur pelaksanaan amniosentesis.
Pertama lakukan antiseptik ( Betadine Solution ), kemudian disuntikkan obat lokal
anestesi ditempat yang akan dilakukan pungsi.Jarum spinal dengan ukuran 20 - 22
dengan panjang 17 inci ( dengan stilet ) dipakai untuk amniosentesis pada kehamilan
trimester I, sedangakan untuk kehamilan yang lebih tua ( Trimester II- III )
digunakan ukuran yang sedikit lebih besar sehubungan cairan amnion saat itu sudah
mengandung lanugo/ vernix .
Masuknya jarum menembus lapisan dinding perut ibu dan dinding uterus bisa
dirasakan adanya tahanan dan saat masuk kedalam rongga amnion dirasakan tahanan
tersebut menghilang , saat ini stilet segera dibuka dan ditunggu secara pasif cairan
amnion akan mengalir keluar dengan sendirinya. Kadang- kadang aliran tersebut
tersendat , hal ini bisa terjadi bila kantung ketuban sempit atau ujung jarum
menempel pada membran atau bagian dari janin. Hal tersebut bisa diatasi dengan
sedikit memutar ujung jarum agar ujung jarum terbebas, atau memasukkan stilet
untuk memastikan bahwa jarum tidak tersumbat.
Beberapa keadaan apabila setelah stilet dilepas ternyata yang keluar adalah darah
maka ada dua kemungkinan yakni ujung jarum masih didalam otot rahim sehingga

20
perlu dimasukkan lebih dalam atau ujung jarum menembus plasenta didaman dalam
hal terakhir ini maka bisa diatasi dengan dua jalan yakni :
a. memasukkan jarum lebih dalam sesuai dengan tebal lapisan yang telah
diukursebelumnya dengan risiko terjadi kontaminasi darah kedalam cairan
amnionyang berasal dari perdarahan pada plasenta tersebut.
b. jarum dikeluarkan lagi kemudian dilakukan relokasi tempat amniosentesis.
Apabila sudah dilakukan prosedur tersebut masih juga berdarah maka sebaiknya
dipertimbangkan lagi agar tidak mengalami risiko yang lebih serius.
Pada kehamilan trimester I ( untuk keperluan analisa genetik ), apabila gagal
mendapatkan contoh air ketuban pada percobaan pertama , maka masih boleh dilakukan
sekali lagi pada saat itu . Akan tetapi bila tetap gagal untuk yang keduakalinya maka
hanya boleh diulang setelah 10 hari.
Pada kehamilan trimester II-III , setelah amniosentesis perlu dilakukan monitoring
beberapa saat untuk menentukan tidak ada trauma yang serius yang menyebabkan
gangguan pada kesejahteraan janin dalam rahim.
Pada kasus kehamilan post date kegagalan mendapatkan sejumlah cairan amnion
yang cukup bisa disebabkan oleh karena suatu oligohidramnion ( jumlah air ketuban yang
secara menyeluruh sangat berkurang ), dalam hal ini lebih baik tidak berusaha mencoba
lebih dari sekali oleh karena bahaya trauma pada janin.
Volume air ketuban yang dibutuhkan rata-rata antara 25-40 cc tergantung usia kehamilan
dan tujuan pemeriksaan. Untuk tujuan pemeriksaan genetik , 5 cc air ketuban yang
pertama didapat sebaiknya dibuang untuk mencegah kontaminasi sel ibu.
Contoh air ketuban yang didapat harus dijaga sterilitasnya ,dan yang paling baik
disimpan dalam tabung plastik untuk mencegah pecah. Untuk keperluan pemeriksaan
bilirubin , dipakai tabung yang terlindung dari sinar untuk mencegah fotokonversi dari
bilirubin ( yang paling baik dalam tabung yang berwarna coklat.
Contoh air ketuban yang bercampur darah harus segera dilakukan pemisahan dengan
jalan dilakukan sentrifuge sebelum mengalami hemolisis.
Untuk test maturitas harus dikerjakan segera, atau kalau tidak bisa diperiksa langsung
harus disimpan dalam keadaan beku ( dalam suhu - 80 derajat C ).

21
Observasi setelah amniosentesis paling tidak 20-30 menit dengan monitoring denjut
jantung janin paling sedikit 2 kali.
Yang penting diobservasi adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan penurunan
kesadaran, kontraksi uterus, nyeri, perdarahan / hematoma pada bekas tusukan jarum.

2.2.4 Komplikasi
Komplikasi tergantung pada usia hamil saat dilakukan amniosentesis dan bisa mengenai
ibu maupun janin didalam rahim.
Penyulit pada ibu.
1. Infeksi.
2. Perdarahan.
Perdarahan intraperitoneal oleh karena trauma pada vasa uterina selama dikerjakan
amniosentesis. Sebenarnya hal tersebut sangat jarang terjadi .Bisa terjadi bila
amniosentesis dilakukanj ditempat yang terlalu lateral. Sedangkan hematoma pada
dinding perut sering terjadi akan tetapi tidak menyebabkan akibat yang serius.
3. Kontraksi uterus dan persalinan preterm yang membakat.
Seringkali dirasakan kontraksi ringan yang terjadi segera setelah dilakukan
amniosentesis, akan tetapi segera menghilang setelah beberapa menit.Sebenarnya hal
ini sangat jarang terjadi , hanya apabila terjadi trauma yang serius terutama pada
plasenta atau saat memasukkan kontrast yang hipertonik kedalam rongga amnion.
Yang paling sering terjadinya persalinan yang membakat yakni bila dilakukan
amniosentesis untuk mengurangi volume cairan amnion pada hidramnion.
4. Kebocoran cairan amnion.
Hal ini bisa terjadi pada 4 dari 600 kasus amniosentesis dengan tujuan analisa
genetik.
5. Syncope.
Hal ini terjadi oleh karena penderita tidak siap dengan rasa nyeri akibat
amniosentesis.
6. Perdarahan feto-maternal dan kemungkinan terjadinya isoimunisasi.

22
Queenan dan Adam mengemukakan 50% amniosentesis terjadi pencampuran darah
maternal dalam air ketuban. Kejadian ini memungkinkan terjadinya isoimunisasi
pada kasus Rh-sentisized .
Komplikasi pada janin.
1. Infeksi.
Hal ini bisa dihindarkan bila prosedur amniosentesis dilakukan secara steril dan
menghindari trauma serius pada janin serta pemberian antibiotika pasca
amniosentesis.
2. Abortion.
Hal ini dikaitkan dengan amniosentesis dini untuk diagnosa antenatal ( 3-14% ).
Keadaan ini disebabkan oleh karena infeksi, trauma pada plasenta, perdarahan pada
janin atau trauma langsung pada janin.
3. Perdarahan pada janin.
Ini bisa terjadi bila terjadi trauma mengenai pembuluh darah fetal pada plasenta.
4. Trauma pada janin.
Tusukan langsung pada janin bisa disengaja misalnya pada kasus yang akan dilakukan
transfusi intra uterine atau prosedur intervesi intra uterine atau jumlah air ketuban
yang berkurang pada kasus oligohidramnion.

2.3 Amnioinfusi
2.3.1 Pengertian
Amnioinfusi merupakan suatu prosedur melakukan infusi larutan NaCl fisiologis
atau Ringer laktat ke dalam kavum uteri untuk menambah volume cairan
amnion.Tindakan ini dilakukan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat
berkurangnya volume cairan amnion, seperti deselerasi variabel berat dan sindroma
aspirasi mekonium dalam persalinan.Tindakan amnioinfusi cukup efektif, aman, mudah
dikerjakan, dan biayanya murah.

2.3.2 Indikasi
Amnioinfusi terutama ditujukan untuk mengurangi kejadian deselerasi variabel
akibat kompresi tali pusat, dan mencegah terjadinya aspirasi mekonium yang kental

23
selama persalinan.Amnioinfusi dilakukan pada deselerasi variabel yang berat dan
berulang, yang tidak menghilang dengan tindakan konvensional (perubahan posisi ibu
dan pemberian oksigen). Indikasi lain adalah untuk mencegah terjadinya
oligohidramnion.
1. Deselerasi variabel
Deselerasi variabel merupakan perubahan periodik denyut jantung janin
yangpaling sering dijumpai selama persalinan.Perubahan denyut jantung janin
tersebutterjadi sebagai respons terhadap berkurangnya aliran darah di dalam tali
pusat.
Deselerasi variabel merupakan refleks vagal yang disebabkam oleh
kompresi tali pusat yang terjadi akibat lilitan tali pusat di leher janin, terjepitnya
tali pusat oleh bagian ekstremitas janin, atau tali pusat yang terjepit di antara
badan janin dan dinding uterus.
Gambaran spesifik dari deselerasi variabel berupa penurunan denyut
jantungjanin, akibat kontraksi, yang gambarannya bervariasi dalam hal bentuk
maupun hubungan saat terjadinya deselerasi dengan kontraksi uterus.
Berdasarkan besar dan lamanya penurunan denyut jantung janin, yang terjadi,
makadeselerasi variabel dibedakan atas 3 jenis, yaitu12:
 Deselerasi variabel derajat ringan, bila penurunan denyut jantung janin,
mencapai 80 dpm., dan lamanya kurang dari 30 detik.
 Deselerasi variabel derajat sedang, bila penurunan denyut jantung janin,
mencapai 70-80 dpm., dan lamanya antara 30-60 detik.
 Deselerasi variabel derajat berat, bila penurunan denyut jantung janin,
sampai di bawah 70 dpm., dan lamanya lebih dari 60 detik.
Di samping itu dikenal juga pembagian deselerasi variabel berdasarkan gambaran
yang sifatnya tidak membahayakan (benign) dan yang membahayakan janin
(ominous) 13.
Tanda-tanda deselerasi variabel yang tidak membahayakan janin:
1. Deselerasi timbul dan menghilang dengan cepat.
2. Variabilitas denyut jantung janin, normal.

24
3.Terdapat “bahu” deselerasi (akselerasi pradeselerasi dan akselerasi
pascadeselerasi).
Tanda-tanda deselerasi variabel yang membahayakan janin:
1. Timbulnya deselerasi lebih lambat dari saat terjadinya kontraksi.
2. Menghilangnya deselerasi berlangsung lambat.
3.Variabilitas denyut jantung janin, abnormal (berkurang atau melebihi
variabilitas denyut jantung janin normal).
4. Takikardia.
5. Tidak terdapat “bahu” deselerasi.
6. Deselerasi semakin bertambah berat.
Deselerasi variabel yang ringan dan tidak berulang biasanya tidak
membahayakan janin. Tetapi selama masa persalinan, mungkin saja deselerasi
variabel yang semula ringan akan menjadi berat. Bila aliran darah di dalam tali
pusat berkurang cukup banyak, akan terjadi deselerasi variabel derajat sedang
atau berat, atau deselerasi variabel dengan tanda-tanda berbahaya. Gambaran
frekuensi denyut jantung janin, basal dan ada-tidaknya akselerasi harus
diperhatikan dalam penanganan deselerasi variabel.Bila frekuensi dan variabilitas
denyut jantung janin, tetap baik dan stabil, atau hanya berubah sedikit, maka
penanganan dilakukan secara konservartif, misalnya dengan merubah posisi ibu
dan pemberian oksigen untuk menghilangkan kompresi pada tali pusat dan
memperbaiki oksigenasi janin.Bila tindakan tersebut tidak menghilangkan
deselerasi variabel, maka perlu dilakukan amnioinfusi untuk mengurangi tindakan
operatif. Pada keadaan deselerasi variabel yang berat dan menetap, keadaan janin
akan semakin memburuk. Bila keadaan ini tidak dapat dikoreksi, maka tindakan
pengakhiran persalinan harus segera dilakukan.
Amnioinfusi cukup efektif dalam mencegah atau memperbaiki deselerasi
variabel.Manfaatnya yang paling menonjol adalah dalam menurunkan angka
tindakan seksio sesarea yang dilakukan atas indikasi gambaran denyut jantung
janin, yang membahayakan janin13.Amnioinfusi juga dapat menurunkan angka
persalinan pervaginam dengan tindakan (ekstraksi cunam atau vakum),
mengurangi kejadian nilai Apgar rendah, dan mengurangi kejadian endometritis14.

25
2. Mekonium yang kental dalam cairan amnion
Dikeluarkannya mekonium ke dalam cairan amnion akan menimbulkan
risikosindroma aspirasi mekonium. Sindroma aspirasi mekonium terjadi pada
sekitar 1.8-18 % bayi yang dilahirkan dengan amnion bercampur mekonium.
Angka mordibitasdan mortalitas perinatal akan meningkat15. Sekitar 2 % dari total
kematian perinataldisebabkan oleh sindroma aspirasi mekonium16.
Aspirasi mekonium umumnya terjadi intrauterin, meskipuin mungkin juga
terjadi pada waktu bayi dilahirkan dan bernafas pertama kali.Pada keadaan
oligohidramnion dan kompresi tali pusat, aspirasi mekonium terjadi akibat
hipoksia dan hiperkapnia pada janin. Keadaan ini akan merangsang janin
melakukan gerakan nafas (gasping)15.
Resiko aspirasi mekonium cukup tinggi pada janin dengan mekonium
yang kental, terutama bila janin mengalami hipoksia.Mekonium yang encer tidak
menyebabkan terjadinya sindroma aspirasi mekonium dan tidak menambah
mortalitas perinatal. Upaya untuk mengencerkan mekonium yang kental akan
mengurangi kejadian sindroma aspirasi mekonium17,18.
Mekonium yang kental biasanya terjadi pada keadaan oligohidramnion,
olehkarena mekonium tidak diencerkan oleh cairan amnion. Secara teoritis,
amnioinfusiakan menambah volume cairan amnion yang sedikit, melindungi tali
pusat dari kompresi, dan mengencerkan serta mengeluarkan mekonium yang
terhisap oleh janinmengalami hipoksia atau asfiksia19.
Banyak penelitian membuktikan bahwa amnioinfusi dapat mengurangi
kekentalan mekonium melarutkan mekonium yang melekat di bagian bawah pita
suara, mengurangi kejadian sindroma aspirasi mekonium, dan mengurangi
penggunaan alat ventilasi pada neonatus20.

2.3.3 Teknik Amnioinfusi 15


Amnioinfusi dapat dilakukan dengan cara transbdominal atau transservikal
(transvaginal). Pada cara transabdominal, amnioinfusi dilakukan dengan bimbingan
ultrasonografi (USG). Cairan NaCl fisiologis atau Ringer laktat dimasukkan melalui
jarum spinal yang ditusukkan ke dalam kantung amnion yang terlihat dengan

26
ultrasonografi. Pada cara transservikal, cairan dimasukkan melalui kateter yang dipasang
ke dalam kavum uteri melalui serviks uteri.
Selama tindakan amnioinfusi, denyut jantung janin dimonitor terus dengan alat
kardiotokografi (KTG) untuk melihat perubahan pada denyut jantung janin.Mula-mula
dimasukkan 250 ml bolus cairan NaCI atau Ringer laktat selama 20-30 menit.Kemudian
dilanjutkan dengan infus 10-20 ml/jam sebanyak 600 ml. Jumlah tetesan infusi
disesuaikan dengan perubahan pada gambaran KTG.Apabila deselerasi variabel
menghilang, infusi dilanjutkan sampai 250 ml, kemudian tindakan dihentikan, kecuali
bila deselerasi variabel timbul kembali.Jumlah maksimal cairan yang dimasukkan adalah
800-1000 ml. Apabila setelah 800-1000 ml cairan yang dimasukkan tidak menghilangkan
deselerasi variabel, maka tindakan dianggap gagal.
Selama amnioinfusi dilakukan monitoring denyut jantung janin, dan tonus
uterus.Bila tonus meningkat, infusi dihentikan sementara sampai tonus kembali normal
dalam waktu 5 menit.Bila tonus uterus terus meningkat sampai 15-30 mm/Hg di atas
tonus basal, maka tindakan harus dihentikan.Selama tindakan amnioinfusi seringkali
terjadi kebocoran cairan dari kavum uteri.

2.3.4 Kontraindikasi 14
Terdapat beberapa kontraindikasi untuk tindakan amnioinfusi, antara lain :
1. Amnionitis

27
2. Polihidramnion
3. Uterus hipertonik
4. Kehamilan kembar
5. Kelainan kongenital janin
6. Kelainan uterus
7. Gawat janin yang berat
8. Malpresentasi janin
9. pH darah janin <7.20
10. Plasenta previa atau solusi plasenta.

2.3.5 Komplikasi 14,21


Meskipun amnioinfusi cukup mudah dan aman dilakukan, beberapa komplikasi mungkin
terjadi selama tindakan, antara lain:
1. Prolapsus tali pusat
2. Ruptura pada jaringan parut bekas seksio sesarea
3. Polihidramnion iatrogenik
4. Emboli cairan amnion
5. Febris intrapartum

28
DAFTAR PUSTAKA
1 Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea. Prenatal
diagnosis and therapy. In: Williams Obstetrics. 21 st ed. New York: McGraw Hill;
2001. p. 973-1003.
2 Rossiter J, Blakemore K. Fetal genetic disorders. In: Winn H, Hobbins J, editors.
Clinical maternal-fetal medicine. 1 st ed. New York: Parthenon Publishing Group;
2000. p. 783-98
3 Purwaka BT, Aditiawarman. Diagnosis pranatal dan teknik inovatif pemantauan
janin. Dalam buku ilmu kebidanan sarwono prawirohardjo. Jakarta. 2010: 736-50.
4 Hariadi R. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi ke-1. Surabaya: Himpunan
Kedokteran Fetomaternal POGI. 2004.
5 Aditiawarman BTP. Diagnosis pranatal dan teknik inovatif pemantauan janin.
Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. 2014.
6 Royal Collage of Obstetricians and Gynaecologist. Amniocentesis and chorionic
Villus Sampling in RCOG Green-top Guideline No.8.RCOG. 2005.
7 Soon-Sup Shim. Chorionic Villus Sampling. J Genet Med 2014;11(2):43-48.
8 Milunsky Abraham and Milunsky Jeff. Genetic Disorders and The Fetus: Diagnosis,
Prevention, and Treatment. Edisi ke-6. United Kingdom: Wiley-Blackwell. 2010.
9 Oloyede OAO, Akinde JA, Emuveyan EE, Ihidapo MO, Adewale TA. Review of
Chorionic Villus Sampling in Prenatal Diagnosis. Niger J Clin Prac 2002;5(1):45-51.
10 Wapner RJ dan Toy EC. Chorionic Villus Sampling. Dalam: Management of High-
Risk Pregnancy: An Evidence-Based Approach. Edisi ke-6. United Kingdom: Wiley-
Blackwell. 2012.
11 Johns Hopkins Medicine. Chorionic Villus Sampling.Diakses pada tanggal 14
Oktober 2016. Tersedia dalam:
http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_procedures/gynecology/chorionic
_villus_sampling_cvs_92,p07769/
12 American Academy of Family Physicians. ALSO Course Syllabus, Kansas City,
1977.
13 Hofmeyr GJ, et al. Amnioinfusi, Eur J Obstet Gynaecol Reprod etiol 1996; 64; 159-

29
65.
14 Weismiller DG. Transcervical amnioinfusion.American Family Physicians. February
1,1998.
15 Katz VL, Bowes JA Jr. meconium aspiration syndrome; Reflection on a murky
subject. Am J Obstet Gynecol 1992; 166: 171-83.
16 Davis RO, et al. Fetal meconium aspiration syndrome accuming despite airway
management considered appropriate. Am J Obstet Gynecol 1985;151: 731-6.
17 Usta IM, et al. The impact of a policy of amnioninfusion for meconium-stained
amniotic fluid. Obstet Gynecol 1995;85: 237-41.
18 Macri CJ, et al. Prophylactic amnioinfusion improves outcome of pregnancy
complicated by thick meconium and oligohydramnios. Am J Obstet Gynecol 1992;
167: 117-21.
19 Rossi EM, et al. Meconium aspiration syndrome: Intrapartum and neonatal attributes,
Am J Obstet Gynecol 1989; 161: 1106-10.
20 Dye T, et. Amnioinfusion and the intrauterine prevention of meconium aspiration.
Am J Obstet Gynecol 1994; 171:1601-5.
21 Family Practice.com. Amnioinfusion.

30

Das könnte Ihnen auch gefallen