Sie sind auf Seite 1von 28

MODUL IV BLOK 22 – HIV/AIDS

PRASYARAT (TIDAK ADA DI MODUL)


1. Imunologi dasar
• Sistem imunitas tubuh berperan dalam mekanisme
pertahanan terhadap benda asing/mikroba atau
perubahan/mutasi yang terdapat dalam tubuh sendiri
o Barrier natural tubuh:
▪ Kulit
▪ Membran mukosa
▪ Silia dan mucus pada saluran pernapasan
▪ Enzim dan asam pada GIT (HCl, enzim pancreas, empedu, sekresi
usus lain), aktivitas peristaltic GIT
▪ Mekanisme pengeluaran urin membantu membersihkan bakteri
dari urinary tract
▪ Keasaman (pH) pada vagina
o Respon imunitas
• Sistem imun harus mampu membedakan antara molekul/jaringan (antigen) self
atau non-self.
• Sistem imunitas dapat dibedakan menjadi:
o Imunitas natural/innate/native
▪ Termasuk kedalam respon imun natural yaitu:
✓ Sel-sel yang mampu memfagositosis
➢ Monosit
➢ Makrofag
➢ Neutrofil
✓ Sel-sel penghasil mediator inflamasi
➢ Basofil
➢ Sel Mast
➢ Eosinofil
✓ Sel NK yang mampu melisiskan sel (sitolisis)

1
➢ Aktivitas sel NK akan menyebabkan pelepasan isi
granula ke ekstraseluler  granula berisi mediator
memiliki killing effect terhadap sel target (virus,
tumor, sel-sel abnormal)
✓ Beberapa protein seperti komplemen, protein fase akut dan
sitokin
▪ Reaksi imunitas natural bersifat non spesifik
▪ Meskipun non spesifik, sel imun natural tetap memiliki reseptor
yang mengenali antigen tertentu dari mikroorganisme.
Reseptornya yaitu pattern recognition receptor
Antigennya yaitu pathogen associated molecular pattern
(PAMP)
Antigen tersebut tidak spesifik untuk mikroorganisme tertentu,
membantu imunitas natural untuk dapat membedakan sel host dan
sel pathogen
o Imunitas spesifik/acquired/didapat/adaptive
▪ Diperankan oleh limfosit B (humoral) dan limfosit T (seluler)
▪ Respon imun spesifik terjadi di kelenjar limfe, limpa dan jaringan
limfoid mukosa
▪ Sifat imunitas spesifik antara lain:
✓ Spesifik
➢ Limfosit mampu membedakan antara satu jenis
antigen dengan antigen lainnya menggunakan:
Surface immunoglobulin (sIg) limfosit B atau
T-cell receptor (TCR) limfosit T
✓ Mampu membedakan self dan non self
➢ Sistem imun spesifik tidak akan menghancurkan
sel/molekul tubuhnya sendiri
✓ Memori
➢ Limfosit T memori menimpan dan mengingat
antigen spesifik pada saat kontak pertama, sehingga

2
pada kontak kedua respon pembentuk IgG lebih
cepat dengan afinitas pengikatan lebih kuat

2. Defisiensi/gangguan pada sistem imun


• Gangguan imun dapat menyebabkan seseorang menjadi immunocompromised
• Gangguan imun dapat menyebabkan peningkatan fungsi imun secara berlebihan
seperti pada beberapa penyakit autoimun atau limfoproliferatif dan reaksi
hipersensitif
• Pembagian defisiensi sistem imun:
o Defisiensi imun non-spesifik
▪ Defisiensi komplemen
▪ Defisienei interferon dan lisozim
▪ Defisiensi sel NK
▪ Defisiensi sistem fagosit
o Defisiensi imun spesifik
▪ Defisiensi imun kongenital atau primer (sel B/sel T)
▪ Defisiensi imun fisiologik
▪ Defisiensi didapat atau sekunder  akibat malnutrisi, infeksi, obat,
trauma, tindakan kateterisasi dan bedah, penyinaran sakit berat,
kehilangan leukosit, stress, dll.
▪ Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

3. Respon imun terhadap infeksi virus


• Melibatkan sel T dan juga sel B
o Antibodi spesifik yang menetralisasi virus dan sel T sitotoksik spesifik
paling efisien
• Antigen virus yang terlibat dalam respon imun:
o Antigen envelop virus
o Protein virus yang diproduksi dalam sel terinfeksi

3
o Produksi berlebihan protein pejamu seperti protein respon stress
o Protein envelop virus yang diekspresikan pada membrane sel terinfeksi
• Respon imun non spesifik terhadap virus
o Prinsip imun non spesifik terhadap virus adalah mencegah infeksi
o Sel terinfeksi akan mensekresikan IFN tipe I  mencegah replikasi virus
dalam sel terinfeksi dan sel sekitarnya  menginduksi sistem antiviral
o Sel NK mengenal sel terinfeksi yang tidak mengekspresikan MHC-1, sel
NK kemudian membunuh sel tersebut
o Aktivasi komplemen meningkatkan eliminasi partikel virus oleh fagosit
• Respon imun spesifik terhadap virus
o Imunitas humoral
▪ Antibodi menempel ke virus (aantigen envelope/kapsid),
mencegah virus masuk ke sel dan berperan dalam opsonisasi oleh
fagosit
o Imunitas seluler
▪ Sel Tc membunuh sel terinfeksi melalui peptide yang
dipresentasikan sel terinfeksi dengan bantuan MHC-1

4. Siklus hidup virus


• Siklus hidup litik dan lisogenik (contoh pada bakteriofag yang menginfeksi
bakteri)

4
5. CD4
• CD4 merupakan co-receptor dari T cell receptor (TCR) yang membantu dalam
komunikasi sel T dengan APC. TCR complex dan CD4 masing-masing berikatan
pada daerah yang berbeda dari molekul MHC II
• Sel-sel yang mengekspresikan CD4:
o Sel T-helper (Th1 dan Th2)
▪ Membantu mengaktifkan sel-sel T efektor untuk respon imunitas
spesifik
o Sel T regulator/T suppressor
▪ Membantu dalam proses transformasi imun, menghasilkan sitokin
inhibitor (TGF beta, IL-35, IL-10) untuk mencegah reaksi imunitas
berlebihan
o Sel T memori
▪ Berperan dalam mekanisme imunitas yang lebih cepat pada infeksi
kedua dibandingkan pada infeksi primer

5
6
HIV/AIDS
DEFINISI

Virus HIV (secara awam): suatu virus yang menginfeksi sel darah putih dan menyebabkan
turunnya kekebalan tubuh manusia.

Infeksi HIV: Penyakit kronis yang disebabkan oleh Human immunodeficiency virus

AIDS (acquired immunodeficiency syndrome): kumpulan gejala klinik / penyakit yang timbul
akibat penurunan kekebalan tubuh akibat infeksi oleh HIV. AIDS merupakan tahap akhir infeksi
HIV

ETIOLOGI

Human Immunodeficiency Virus (HIV)

• Genus: Lentivirus,
Famili: Retroviridae
• Ada 2 jenis:
o HIV-1 (lebih sering ditemukan & lebih patogenik)
o HIV-2
• Sepasang single stranded positive sense RNA, mengandung:
o Gen structural
▪ Gag, pol, env
o 6 gen pengatur
• Bentuk capsid icosahedral
• Terdapat 2 protein penyusun envelope Gp 120 dan Gp41
• Kecepatan replikasi virus sangat tinggi (menunjang immune system escap)
• Transmisi:
o Horizontal: kontak dengan darah/produk darah/cairan tubuh (semen, saliva,
ASI) penderita HIV dengan kulit yang tidak intak, atau langsung ke dalam
aliran darah/mukosa atau intra partum/perinatal

7
o TIDAK MENULAR melalui kontak casual (seperti berciuman) atau gigitan
nyamuk

• Siklus hidup:
1) Binding and entry
▪ Proses invasi sel T dengan cara protein Gp 120 (HIV) berikatan dengan
receptor CD4 + yang aktif (attachment). Kemudian terjadi juga ikatan
dengan co-receptor CCR5 dan CXCR4 sehingga Gp 41 aktif dan
membantu fusi dari virus ke sel membrane. (ada sedikit tambahan supaya
bisa dimengerti)
▪ Masuk ssRNA dan 3 enzim (reverse transcriptase, intergrase, protease)
2) Reverse tanscription
▪ Enzim Reverse transcriptase merupakan Hallmark dari Virus HIV.
▪ Berfungsi transcripsi ssRNA menjadi Double Stranded DNA
3) Integration
▪ Mengintegrasikan DNA virus dengan genom sel host

8
▪ Terjadi hipermutasi kromosom sel inang HIV setiap terjadinya integrasi
sehingga secara molekuler sangar heterogen (high molecular
heterogeneity) menjadi salah satu cara untuk immune system escape
4) Replication
▪ Dimulai proses transkripsi dan translasi seperti biasa
▪ Protease memotong-motong protein virus hasil translasi supaya bisa
menjadi komponen virus
5) Budding
▪ Komponen virus RNA dan protein bergerak ke tepi sel host dan
membentuk HIV immature
▪ Terjadi budding terbungkus oleh lipid bilayer yang mengandung berbagai
protein sel inang
6) Maturasi

9
EPIDEMIOLOGI

• Seperti fenomena gunung es karena pengidap HIV dapat asimptomatik selama bertahun
tahun
• Di Indonesia ditemukan pertama di provinsi bali
• Prevalensi meroket akibat perilaku dan gaya hidup bebas
• Laporan Komisi Penanggulangan Aids (KPA) nasional:
o Kasus AIDS di Indonesia:
▪ 1987 : 5 kasus
▪ 1997 : 44 kasus
▪ 2007 : 2947 kasus
▪ 2009 : 17.699 kasus  3.586 meninggal
▪ 2014 : 501.400 kasus
o Terjadi penurunan jumlah kasus baru secara signifikan di 2016 setelah digalakan
program pengendalian HIV /AIDS dan PIMS sehingga Fasilitas Kesehatan
tinggkat pertama memiliki akses ARV
o Efektifitas dan kualitasnya belum merata di semua provinsi
o Jangkauan dan kepatuhan ODHA merupakan tantangan besar terutama di daerah
yang jauh dan tidak mudah di capai.
• Laporan Kemenkes RI triwulan 1 januari – maret 2017:
o Terdapat 10.376 kasus HIV dimana:
▪ Persentase usia 20 – 24 thn (17,6%); 25 – 49 thn (69,6%); > 50 thn
(6,7%)
▪ laki laki: perempuan = 2:1
▪ resiko tinggi HIV yaitu hubungan LSL (28%); heteroseks (24%); Penasun
(2%); lain lain (9%)
o Terdapat 673 orang kasus AIDS dimana:
▪ Usia 20 – 29 thn (29,3%); 30 -39 thn (38,6%); 40 – 49 % (16,4%)
▪ Laki – laki: perempuan = 2:1
▪ Resiko tinggi AIDS adalah hubungan heteroseks (67%); LSL (23%);
Perinatal (2%); Penasun (2%)

10
• HIV tertinggi ada di Jawa Barat (3.213); ke-2 DKI Jakarta (2.810); ke-3 jatim (2.753);
ke-4 Papua (2.605) kasus.
• Koinfeksi HIV-TB  penyebab kematian ODHA no.1 (1 dari 3 AIDS related deaths)
• Di 2015 diperkirakan ada 10.4 jt kasus TB global dengan 1.2 jt (11%) diantaranya ODHA
• Tuberculosis –related deaths pada ODHA turun sebanyak 33% antara tahun 2005 -2015,
tapi hampir 60% TB/HIV tidak terdiagnosis.
• Di Kota Bandung:
o Status epidemic HIV di Kota Bandung masuk pada kategori epidemi
terkonsentrasi  penularan HIV pada kelompok populasi beresiko > 5% dan ibu
hamil 1%
o Kasus HIV/AIDS di Dandung sampai September 2017 tercatat 4227 kasus, saat
ditemukan HIV 2303 kasus dan AIDS 1924 kasus (200 – 400 kasus baru per
tahun)
o Kasus HIV/AIDS terbanyak pada Pekerja swasta 27,34%; Wiraswasta 17,02;
tidak bekerja 14,39%
o Penularan HIV pada Ibu Rumah Tangga (IRT) melalui transmisi seks 11,91%
dari kasus HIV total  rata-rata 40 IRT/ tahun
▪ Infeksi HIV di IRT beresiko meningkatkan epidemiologi kota Bandung
menjadi Generalized epidemic
▪ Penularan HIV pada ibu hamil lebih dari 1%  meningkatkan transmisi
intrapartum ke anak (saat ini mencapai 2,79%)  Lost Generation 
kemampuan sosial/ekonomi menurun.
o Kasus HIV terbanyak pada pengguna NAPZA suntik 43,33% tapi menurun
sebanyak 3-4%/tahun
▪ Tingginya Penggunaan NAPZA suntik pada kelompok usia 20-29 tahun/
30-39 tahun (usia reproduksi/menikah)  memicu peningkatan kasus
penularan HIV baru melalui heteroseksual secara signifikan
o Transmisi seksual HIV meningkat:
▪ Homoseksual 11,47%  Naik 1-2% pertahun
▪ Heteroseksual 37,04%  Naik 3-4% pertahun
o Kelompok umur terbanyak adalah usia 20-29 th (47,65%) dan 30-39 th (34,19%).

11
KLASIFIKASI

12
PATOGENESIS

• Propagasi virus HIV akan selalu berfokus pada jaringan limfoid sebagai berikut:

13
• HIV viral load berkorelasi sebanding dengan penghancuran sel T CD4+. Sel-sel T CD4+
yang dirusak adalah:
o Sel T CD4+ matur dalam sirkulasi
o Sel progenitor CD4+ dalam sumsum tulang, timus, dan jaringan limfoid
o Sel T CD4+ sistem saraf (microglia)
Kerusakan sel T (T-cell failure)  imunosupresi
• Selain CD4+, HIV juga dapat menginfeksi sel-sel lain sbagai berikut:

PATOFISIOLOGI

• Febris  Pyrogen (IL-1, TNF-α)  Stimulasi area preoptic Hipotalamus anterior 


Pelepasan PGE2  aktivasi cAMP  Reset set point termoregulator > 37,1 0C 
penyimpanan & produksi panas meningkat  Febris
• Diare  infeksi primer HIV pada jaringan limfoid usus GALT (gut associated lymphoid
tissue) diikuri inflamasi kronik persisten mukosa usus  pelepasan sitokin-sitokin 
edem mukosa GIT (penyerapan terganggu)  anoreksia
• Penurunan berat badan signifikan  akibat diare dan enorexia karena infeksi kronis
HIV
• LED meningkat  muatan negatif zeta potensial eritrosit berkuran karena pengaruh fase
reaktan akut  eritrosit mudah membentuk rouleaux dan agregasi  cepat mengendap

14
• Oral thrush  penumpukan jaringan nekrotik akibat infeksi jamur candida spp. (infeksi
oportunistik akibat penurunan imunitas tubuh)
• Beberapa hal lain yang dapat terjadi:
o Aktivasi sistem imun secara aberrans:
▪ Replikasi virus semakin hebat (karena virus bereplikasi paling efisien pada
sel T CD4+ yang sudah aktif)
▪ Pada kasus akut dapat terjadi “cytokine storm” sebagai respon tubuh untuk
menghambat replikasi virus. Namun hal ini justru memberi virus HIV
tersebut lebih banyak inang sel potensial
o Gangguan integritas jaringan limfoid submucosa pada GIT karena infeksi HIV 
translokasi bakteri dari lumen usus  persistent immune activation  induced
immune dysfunction  (HIV associated) autoimmune phenomena
o Pada kasus koinfeksi TB atau malaria, aktivitas penyakit sebanding dengan laju
replikasi HIV, laju replikasi HIV juga berkurang apabila TB atau malaria tersebut
mendapatkan terapi yang efektif

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis HIV/AIDS dapat dilihat pada tabel WHO-SEARO 2007:


*Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV

Keadaan • Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar
umum • Demam (terus menerus atau intermiten, temperature oral > 37,5 0C) yang lebih dari
satu bulan
• Diare (terus menerus atau intermitten) yang lebih dari satu bulan
• Limfadenopati meluas

Kulit • PPE* dan kulit kering yang luas* merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa
kelainan seperti kulit genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis sering terjadi pada
ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV

15
Infeksi

Infeksi jamur • Kandidiasis oral*


• Dermatitis seboroik*
• Kandidiasis vagina berulang

Infeksi viral • Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu dermatome)*
• Herpes genital (berulang)
• Molluscum contagiosum
• Kondiloma

Gangguan • Batuk lebih dari satu bulan


pernapasan • Sesak nafas
• Tuberkulosis
• Pneumonia berulang
• Sinusitis kronis atau berulang

Gejala • Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak jelas penyebabnya)
neurologis • Kejang demam
• Menurunkan fungsi kognitif

Pembagian HIV berdasarkan stadium akut dan kronik

16
17
PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Pemeriksaan untuk mendiagnosis HIV harus disertai informed consent secara tertulis
dari orang yang akan diperiksa, bila tidak memungkinkan maka dapat dimintakan pada
keluarga terdekat
• Indikasi tes HIV yaitu:
o Setiap orang dewasa, anak dan remaja dengan kondisi medis yang diduga terjadi
infeksi HIV terutama dengan riwayat TB dan IMS
o Asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu berlain
o Laki-laki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan HIV
• Indikasi tes HIV pada bayi dan anak:
o Anak sakit (penyakit yang berhubungan dengan HIV seperti TB berat, malnutrisi,
pneumonia berulang, diare kronis/berulang)
o Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan tindakan
pencegahan penularan dari ibu ke anak
o Untuk mengetahui status bayi/anak kandung dari ibu yang terdiagnosis HIV
o Mengetahui status seorang anak setelah salah satu saudara kandungnya
didiagnosis HIV atau salah satu/kedua orang tua meninggal oleh sebab yang tidak
diketahui tetapi masih mungkin karena HIV
o Terpajan atau potensial terkena infeksi HIV dari jarum suntik yang
terkontaminasi, menerima transfusi dan sebab lain
o Anak yang mengalami kekerasan seksual
• Pemeriksaan HIV juga harus ditawarkan secara rutin pada:
o Populasi kunci (PSK, penasun, LSL, waria) dan diulang minimal setiap 6 bulan
o Pasangan ODHA
o Ibu hamil di wilayah epidemi meluas dan epidemi terkonsentrasi
o Pasien TB
o Semua orang yang berkunjung ke fasyankes di daerah epidemi HIV meluas
o Pasien IMS
o Pasien Hepatitis
o Warga Binaan Permasyarakatan

18
o Lelaki Beresiko Tinggi
• Pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis HIV:
o Pemeriksaan kultur virus dari BP penderita tersangka infeksi HIV
▪ Membiakkan limfosit penderita bersama dengan sel indikator yaitu sel
MN orang sehat setelah dibiakkan minimal 4 minggu.
▪ Pertumbuhan HIV dideteksi dengan aktivitas reverse transcriptase nya
atau adanya ag p24 dalam media kultur tersebut
▪ Kultur virus merupakan pemeriksaan rujukan untuk mengetahui adanya
infeksi HIV
o Deteksi antigen p24 HIV
▪ Dilakukan dengan teknik Enxyme linked immunosorbent assay (ELISA)
metode EIA, terdeteksi jika jumlah Ag p24 > antibodinya (2-3 minggu
pasca infeksi HIV, terdeteksi ± 6 hari lebih awal dari tes antibody HIV)
▪ Indikasi: diagnosis infeksi HIV pada bayi dan keamanan di Bank Daerah
▪ Dilakkan pada infeksi stadium dini (ketika ab p24 belum banyak) atau
pada stadium akhir (ketika ab p24 tak dibentuk lagi)
o Deteksi materi genetic provirus DNA/RNA dalam BP darah penderita HIV
▪ Diagnosis infeksi HIV bias ditegakkan bila dalam sel MN penderita
ditemukan DNA provirus.
▪ Deteksi materi genetic ini dilakukan dengan PCR dimana segmen DNA
provirus akan diamplifikasikan secara in vitro sehingga terdeteksi.
o Pemeriksaan imuno-serologi untuk mencari antibodi terhadap berbagai
komponen virion HIV untuk uji saring dan uji konfirmasi infeksi HIV.
3 metode berbeda uji antibody HIV-ELISA standar WHO (menjadi pilihan
pemeriksaan untuk strategi I-III):
▪ Metode I: ECLIA
▪ Metode II: Rapid-immunochromatography
▪ Metode III: CMIA

19
UNAIDS dan WHO membagi 3 strategi pemeriksaan antibodi terhadap HIV:
▪ Strategi I  strategi uji saring HIV dengan melakukan pemeriksaan
deteksi antibodi terhadap HIV sekali saja.
✓ Interpretasi:
➢ Terinfeksi HIV jika hasil pemeriksaan pertama reaktif
➢ Tidak terinfeksi HIV jika pemeriksaan pertama non
reaktif
▪ Strategi II  strategi pemeriksaan skrining yang dilakukan dua kali
untuk deteksi antibody terhadap HIV dalam serum penderita tersangka.
✓ Dilakukan bila pada pemeriksaan uji saring pertama reaktif
✓ Interpretasi:
➢ Terinfeksi HIV bila pemeriksaan 2 juga reaktif
Bila pemeriksaan 2 nonreaktif  ulang pemeriksaan
dengan reagen yang sama
➢ Indeterminate bila hasil pengulangan non reaktif
▪ Strategi III  pemeriksaan uji saring yang dilakukan tiga kali terhadap
serum tersangka.
✓ Dilakukan pada serum yang 2 pemeriksaan sebelumnya
menunjukkan hasil reaktif
✓ Interpretasi:

20
• Pemeriksaan konfirmasi infeksi HIV
o Dilakukan bila hasil pemeriksaan uji saring adalah “indeterminate” atau
“reaktif” dan klinisi merasa masih perlu dilakukan uji konfirmasi
o Dapat dilakukan dengan teknik:
▪ Line Immunoassay (LIA)
▪ Radio-Immuni-Precipitation Assay (RIPA)
▪ Immunofluorescent (IFA)

21
▪ Western Blot (WB)
✓ Kriteria positif menurut CDC:
ditemukan gambaran ≥ 2 pita antibodi terhadap antigen p23,
gp160, gp120 atau gp41
✓ Kriteria positif menurut WHO:
ditemukan gambaran ≥ 2 pita antibodi terhadap antigen yang
berasal dari komponen envelop virus
✓ Interpretasi:
➢ Bila pada membrane nitrocellulose tidak tampak pita-pita
 negative
➢ Bila pada membrane nitrocellulose tampak pita-pita lain
diluar kriteria positif  indeterminate
➢ Bila pada membran nitrocellulose tampak pita-pita sesuai
kriteria  positif
✓ Penderita WB indeterminate perlu mengulang WB setelah 3, 6 dan
12 bulan. Bila hasil tetap indeterminate setelah 12 bulan  negatif
• Pemeriksaan untuk monitoring terapi
o Hitung CD4 Absolut
o Presentase CD4
o Viral load (PCR HIV RNA)
• Pemeriksaan lab lain yang diperlukan:
o Hematologi
o Morfologi SADT
o Urinalisis
o Pemeriksaan kimia untuk memantau fungsi hepar dan ginjal
o Glukosa darah
o Profil lipid
o Skrining infeksi Hepatitis B dan C: HBsAg, anti HBsAg, anti HCV
o Foto rontgen thorax PA
o KOH dan kultur kerokan lidah/mukosa (pemeriksaan candidiasis)
o Analisis feses

22
PENATALAKSANAAN

• Terapi antiretroviral (ARV)


o Tujuan: memulihkan kekebalan tubuh dan mencegah penularan
o Indikasi:
▪ Semua pasien dengan stadium 3 dan 4 berapapun jumlah CD4 nya ATAU
▪ Semua pasien dengan CD4 < 350 sel/mL, apapun stadium klinisnya
▪ Semua pasien di bawah ini apapun stadium klinisnya dan berapapun
jumlah CD4 nya:
✓ Semua pasien ko infeksi TB
✓ Semua pasien ko infeksi HBV
✓ Semua ibu hamil
✓ ODHA yang memiliki pasangan dengan status HIV negative (sero
discordant)
✓ Populasi kunci (penasun, waria, LSL, WPS)
✓ Pasien HIV (+) yang tinggal pada daerah epidemi meluas seperti
(dulu) Papua dan Papua Barat
o Obat ARV lini pertama yang tersedia di Indonesia:
▪ Tenofovir (TDF) 300 mg
▪ Lamivudin (3TC) 150 mg
▪ Zidovudin (ZDV/AZT) 100 mg
▪ Efavirenz (EFV) 200 mg dan 600 mg
▪ Nevirapine (NVP) 200 mg
▪ Emtricitabine (FTC)
▪ Kombinasi dosis tetap (KDT)
✓ TDF + FTC 300/200 mg
✓ TDF + 3TC + EFV 300mg/150mg/600mg  KDT ini merupakan
obat pilihan utama, diberikan sekali sehari sebelum tidur.
o Regimen yang digunakan di tingkat FKTP adalah regimen lini pertama dengan
pilihan:
▪ TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
▪ TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
23
▪ AZT + 3TC + EFV
▪ AZT + 3TC + NVP
o ARV harus diminum seumur hidup dengan tingkat kepatuhan > 95%. Kepatuhan
pasien dapat dipengaruhi berbagai hal seperti:
▪ Prosedur di pelayanan
▪ Jarak
▪ Keuangan
▪ Sikap petugas
▪ Efek samping
Pasien yang tidak patuh perlu dicari penyebab ketidakpatuhannya dan dibantu
dengan konseling dan motivasi.

• Faktor yang memerlukan rujukan ke FKRTL/RS


o Sakit berat atau stadium 4 kecuali kandidiasis edofagus dan ulkus herpes simpleks
o Demam yang tidak diketahui penyebabnya
o Faktor penyulit lainnya seperti sakit ginjal, jantung, DM, dll.
o Riwayat pernah menggunakan obat ARV dan putus obat berulang sebelumnya
untuk melihat kemungkinan adanya kegagalan atau resistensi obat lini pertama

24
PENCEGAHAN

• Pencegahan umum:
o Mengadakan pemeriksaan donor darah sehingga darah yang bebas HIV saja yang
ditransfusikan.
o Menggunakan jarum suntik/alat kesehatan yang disterilisasi atau gunakan jarum
suntik sekali pakai.
o Melakukan perilaku seks yang sehat dan hindari seks bebas, homoseks, dan seks
tanpa pengaman.
o Menganjurkan bagi wanita yang positif HIV untuk tidak hamil agar tidak
menularkan kepada janin dalam kandungan.
o ABCDE:

• Upaya pemerintah:
o Program peningkatan pelayanan konseling dan testing sukarela (VCT)
o Melakukan promosi kondom bagi WTS atau pekerja seks lainnya dengan cara
menjelaskan fungsi dan cara pemakaian
o Membangun tempat-tempat rehabilitasi khusus untuk orang AIDS
o Meningkatkan pengetahuan petugas dalam rangka meningkatkan kualitas
pelayanan
o Berusaha agar pengidap HIV dan golongan resiko tinggi (WTS) diberi
keterampilan tertentu agar mampu bekerja di bidang lain dalam kehidupannya

25
o Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) baik di darah maupun pusat
o Menunjuk beberapa perusahaan farmasi untuk mendistribusikan terapi ARV
standar WHO berupa FDC
o Menunjuk 262 rumah sakit rujukan yang dilengkapi dengan kelompok kerja AIDS
(Pokja AIDS).  2 dokter 1 perawat dan konselor petugas administrasi
memberikan pelayanan secara cuma-cuma kepada penderita HIV/AIDS.
o Melakukan penyuluhan serta promosi kesehatan, pencegahan serta tatalaksana
HIV/AIDS
• Visi penanggulangan HIV/AIDS selaras dengan visi UNAIDS  Permenkes No.
21/2013 tentang Penanggulangan HIV/AIDS

PROGNOSIS

• Bervariasi tergantung kepatuhan penderita untuk berobat dan ada tidaknya resistensi obat.

ASPEK ETIKA MEDIS

Dokter harus mengetahui dan memberikan contoh nilai inti dari pengobatan terutama belas kasih,
kompeten dan otonomi.

Mengutip dari Deklarasi Geneva, dokter berjanji: “Kesehatan pasien saya akan selalu menjadi
pertimbangan pertama saya”

• Penghargaan dan perlakuan yang sama


o Semua manusia adalah sama dalam HAM. PBB dalam Universal Declaration
of Human Rights pasal 1 menyebutkan: “Semua manusia dilahirkan dalam
keadaan bebas dan sama dalam martabat dan hak-haknya. Dokter paham bahwa
tidak boleh membiarkan pertimbangan usia, penyakit atau kecacatan, keimanan,
etik, JK, nasionalitas, keanggotaan politik, orientasi seksual, atau posisi social
mengintervensi tugas saya dan pasien saya.

26
o Belas kasih, penghargaan terhadap kehormatan pasien, kerentanan pasien dalam
hal penyakit dan/atau kecacatan serta nilai yang ada  membangun kepercayaan
dalam hubungan dokter-pasien
o Dokter tidak boleh mengabaikan pasien yang perawatannya telah dilakukan,
satu-satunya alasan untuk mengakhiri hubungan dokter-pasien adalah jika pasien
memerlukan perawatan dokter lain untuk keahlian yang berbeda.
o Saat melakukan tindakan, dokter harus memperhatikan kode etik atau petunjuk
lain yang sesuai dan secara hati-hati meneliti motif mereka. Dokter harus
disiapkan untuk dapat membenarkan tindakan mereka baik kepada diri
sendiri, pasien atau pihak ketiga
o Dokter harus membantu pasien mencari dokter lain yang sesuai, bila tidak
mungkin, dokter harus memberitahukan pasien sebelumnya perihal
penghentian perawatan sehingga pasien dapat mencari alternatif perawatan
medis
o Fokus pada pasien HIV/AIDS bukan hanya pada penyaktnya namun juga
prasangka social yang diterima pasien.
Dokter meskipun takut tertular dalam prosedur invasif HIV/AIDS tetap tidak
boleh membeda-bedakan perlakuan terhadap pasien HIV/AIDS
• Statement on the Professional Responsibility of Physicians in Treating AIDS Patient
(dikeluarkan WMA):
o Pasien AIDS harus mendapatkan perawatan tepat dengan belas kasih dan
pengharapan martabat manusia
o Seorang dokter tidak boleh menolak secara etis untuk melakukan tindakan kepada
pasien yang kondisinya dalam kompetensi dokter, hanya karena pasien tersebut
seropositive
o Tidak membenarkan diskriminasi berdasarkan kategori tertentu terhadap pasien
seropositif tersebut
o Seorang yang menderita AIDS memerlukan perawatan tepat dengan belas kasih.
Apabila tidak sanggup dokter harus membuat rujukan yang sesuai untuk
memberikan pelayanan yang diperlukan. Sampai rujukan didapatkan, dokter harus
terus merawat pasien berdasarkan kemampuan terbaik yang dimilikinya

27
SELAMAT BELAJAR 😊

28

Das könnte Ihnen auch gefallen