Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
LP BPH
LP BPH
A. Pengertian
Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai
hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormone prostat. (Yuliana elin, 2011)
Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran
kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih sehingga urin tidak
bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing
terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi yang sangat
mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa adanya gejala
obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis),
atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid.
Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan miksi sehingga mengakibatkan
tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak padanpasien BPH, pada
pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia,
mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan
retensi kronis dan volume residual yang besar.
C. Pohon Masalah
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan
prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml
Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas atas dapat
dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak dapat diraba dan
sisa volum urin lebih dari 100ml.
E. Etiologi
F. Penatalaksanaan
1. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan untuk
mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi nokturia,
menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak
diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk
menghindari mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar
sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk menghindari
distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan untuk
melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok
dubur (Purnomo, 2011).
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur dengan cara
melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin dibagi dengan
lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran
grafik pancaran urin.
2. Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH adalah :
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo (2011)
diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka.
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan
ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil.
Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada
prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru menunjukkan
perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila dilakukan terus
menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat
ini diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
3) Fitofarmaka/fitoterapi
3. Terapi bedah
1) Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Insisi dibuat
dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik demikian dapat
digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah
pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak dibanding dengan metode lain, kerugian lain
yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah
abdomen mayor.
2) Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.
Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi
luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rectum. Komplikasi yang
mungkin terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
3) Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen rendah
mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki
kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis.
Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah
dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat
dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan
dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume
prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam
lobus medial yang langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway.
Irigasi kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah pembekuan darah.
Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu
operasi dan waktu tinggal dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak
pada kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus menerus, adanya perdarahan, infeksi,
fertilitas (Baradero dkk, 2007).
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan apabila volume
prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP adalah keluhan
sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang
dilakukan adalah dengan memasukan instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat
pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi
konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi retrograde (0-
37%) (Smeltzer dan Bare, 2002).
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
I. Pengkajian
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita BPH merujuk pada
teori menurut Smeltzer dan Bare (2002) , Tucker dan Canobbio (2008) ada berbagai macam,
meliputi:
a. Demografi
Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit hitam memiliki
resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status social ekonomi memili peranan
penting dalam terbentuknya fasilitas kesehatan yang baik. Pekerjaan memiliki pengaruh
terserang penyakit ini, orang yang pekerjaanya mengangkat barang-barang berat memiliki resiko
lebih tinggi.
Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia, urgensi, disuria,
pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, hesistensi ( sulit memulai miksi), intermiten
(kencing terputus-putus), dan waktu miksi memanjang dan akhirnya menjadi retensi urine
Kaji apakah memilki riwayat infeksi saluran kemih (ISK), adakah riwayat mengalami
kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani pembedahan prostat / hernia sebelumnya.
Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit BPH.
e. Pola kesehatan fungsional
1) Eliminasi
Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu, menetes, jumlah
pasien harus bangun pada malam hari untuk berkemih (nokturia), kekuatan system perkemihan.
Tanyakan pada pasien apakah mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran kemih. Pasien
ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari prostrusi prostat
kedalam rectum.
Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah minum tiap hari, jenis
minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang mengganggu nutrisi seperti anoreksia, mual,
muntah, penurunan BB.
Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang berkurang karena frekuensi miksi yang sering
pada malam hari ( nokturia ).
4) Nyeri/kenyamanan
Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat, nyeri punggung bawah
6) Pola aktifitas
Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu senggang, kebiasaan
berolah raga. Pekerjaan mengangkat beban berat. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan
selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana
pasien masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.
7) Seksualitas
Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksual akibat adanya
penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan oleh pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau dirasakan pasien sebelum
pembedahan dan sesudah pembedahan pasien biasa cemas karena kurangnya pengetahuan
terhadap perawatan luka operasi.
f. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan pada penderita BPH meliputi :
1) Laboratorium
a) Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk melihat adanya sel
leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk menegtahui kuman
penyebab infeksi dan sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba.
b) Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang menegenai
saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi
dasar dari fungsin ginjal dan status metabolic.
c) Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya
biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA <4ng/ml tidak perlu dilakukan biopsy.
Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate specific antigen density (PSAD) lebih
besar sama dengan 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsy prostat, demikian pula bila nila PSA >
10 ng/ml.
2) Radiologis
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan untuk memperkirakan volume BPH,
menentukan derajat disfungsi bulibuli dan volume residu urin serta untuk mencari kelainan
patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak berhubungan dengan BPH.
a) Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di saluran kemih,
adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh dengan urin sebagai
tanda adanya retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari
keganasan prostat, serta osteoporosis akbibat kegagalan ginjal.
c) Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat, memeriksa masa
ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli, mengukur sisa urin dan
batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin ada dalam
buli-buli.
Diagnosa keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007) dan Tucker dan Canobbio
(2008) adalah :
1. Pre Operasi
b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung kemih,
infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat dan obstruksi uretra.
c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status kesehatan,
kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur bedah.
2. Post Operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema, trauma,
prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada
pembedahan
c. Risiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler ( tindakan pembedahan) ,
reseksi bladder, kelainan profil darah.
d. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter,
irigasi kandung kemih.
e. Risiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten akibat dari
pembedahan.
III. Intervensi
Pemberian analgetik
- Evaluasi kemampuan
pasien untuk berpartisipasi
dalam pemilihan jenis
analgetik, rute, dan dosis
yang akan digunakan.
- Dokumentasikan respon
analgetik dan efek yang
muncul.
- Kolaborasikan dengan
dokter jika obat, dosis, dan
rute pemberian, atau
perubahan interval
diindikasikan, buat
rekomendasi spesifik berdasar
pada prinsip kesamaan
analgetik
5. menunjukkan perilaku
hidup sehat.
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
Oleh:
P07120215031
JURUSAN KEPERAWATAN