Sie sind auf Seite 1von 18

Anemia pada Ibu Hamil

Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)
Jalan Arjuna Utara No 6 – Jakarta Barat 11510

Ebram Nainggolan
102008222
nainggolan_ebram@yahoo.co.id

1. Pendahuluan
Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari
12 gr% (Wiknjosastro, 2002). Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu
dengan kadar haemoglobin dibawah 11 gr% pada trimester I dan III atau kadar <10,5 gr%
pada trimester II (Saifuddin, 2002). Anemia dalam kehamilan yang disebabkan karena
kekurangan zat besi, jenis pengobatannya relatif mudah, bahkan murah.
Darah akan bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut Hidremia atau
Hipervolemia. Akan tetapi, bertambahnya sel darah kurang dibandingkan dengan
bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah. Perbandingan tersebut adalah
sebagai berikut: plasma 30%, sel darah 18% dan haemoglobin 19%. Bertambahnya darah
dalam kehamilan sudah dimulai sejak kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya
dalam kehamilan antara 32 dan 36 minggu (Wiknjosastro, 2002). Secara fisiologis,
pengenceran darah ini untuk membantu meringankan kerja jantung yang semakin berat
dengan adanya kehamilan.
Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan
akut bahkan tidak jarang keduannya saling berinteraksi (Safuddin, 2002). Menurut
Mochtar (1998) penyebab anemia pada umumnya adalah sebagai berikut:

1
1. Kurang gizi (malnutrisi)
2. Kurang zat besi dalam diit
3. Malabsorpsi
4. Kehilangan darah banyak seperti persalinan yang lalu, haid dan lain-lain
5. Penyakit-penyakit kronik seperti TBC paru, cacing usus, malaria dan lain-lain
2. Anamnesis
Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian
pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan
dari anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang
bersangkutan. Informasi yang dimaksud adalah data medis organ biologis, psikososial,
dan lingkungan pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina
hubungan dokter pasien yang profesional dan optimal. Anamnesis merupakan bagian
yang sangat penting pada pemeriksaan neurologis. Pendekatan umum terhadap
anamnesis sering dilakukan pada semua keluhan. Bagian anamnesis mana yang paling
penting akan sangat beragam, bergantung pada keluhan tertentu. Apabila pasien tidak
dapat memberikan keterangan atau riwayat secara adekuat tentang dirinya seperti
keadaan gangguan bicara, anamnesis harus diperoleh dari orang lain seperti keluarga,
teman atau bahkan saksi mata. Dalam hal ini sebagai contoh adalah pasien pada anak –
anak atau bayi.
Pada anamnesis ditanya mengenai riwayat penyakit sekarang dan riwayat penyakit
dahulu,riwayat gizi, anamnesis mengenai lingkungan fisik sekitar, apakah ada
paparan terhadap b a h a n k i m i a a t a u f i s i k s e r t a r i w a ya t p e m a k a i a n o b a t .
R i w a ya t p e n ya k i t k e l u a r g a j u g a ditanya untuk mengetahui apakah ada faktor
keturunan
3. Pemeriksaan
 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dilakukan secara sistematik dan menyeluruh, antara lain:
a. Warna kulit : pucat, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning seperti jerami
b. Kuku : koilonychias (kuku sendok)
c. Mata : ikterus, konjugtiva pucat, perubahan pada fundus

2
d. Mulut : ulserasi, hipertrofi gusi, atrofi papil lidah
e. Limfadenopati, hepatomegali, splenomegali

 Pemeriksaan Laboratorium Hematologi


a. Tes penyaring
1. Kadar hemoglobin
2. Indeks eritrosit (MCV,MCH, dan MCHC)
3. Hapusan darah tepi
b. Pemeriksaan rutin
1. Laju endap darah
2. Hitung deferensial
3. Hitung retikulosit
c. Pemeriksaan sumsum tulang
d. Pemeriksaan atas indikasi khusus
1. Anemia defesiensi besi : serum iron, TIBC, saturasi transferin
2. Anemia megaloblastik : asam folat darah/eritrosit, vitamin B12
3. Anemia hemolitik : tes Coomb, elektroforesis Hb
4. Leukemia akut : pemeriksaan sitokimia
5. Diatesa hemoragik : tes faal hemostasis
 Pemeriksaan Laboratorium non Hematologi
Pemeriksaan faal ginjal, hati, endokrin, asam urat, kultur bakteri
 Pemeriksaan penunjang lainnya
a. Biopsy kelenjar dan PA
b. Radiologi : Foto Thoraks, bone survey, USG, CT-Scan

4. Diagnosis
Anemia dalam kehamilan yang paling sering adalah anemia akibat kekurangan
besi. Kekurangan ini dapat disebabkan karena kurang masuknya unsure besi makanan,
karena gangguan penggunaan, atau karena terlampau banyaknya besi ke luar badan,
misalnya pada perdarahan. Keperluan akan besi bertambah dalam kehamilan, terutama
dalam trimester terakhir. Apabila masuknya besi tidak di tambah dan kehamilan, maka

3
mudah terjadi anemia defisiensi besi, lenih-lenih apda kehamilan kembar. Lagi pula di
daerah khatulistiwa besi lebih banyak keluar melalui air peluh dan melalui kulit.
Masuknya besi setiap hari yang di anjurkan tidak sama dengan pelbagai negri. Untuk
wanita tidak hamil, wanita hamil, dan wanita yang menyusui di anjurkan di Amerika
Serikat masing-masing 12mg, 15mg, dan 15mg; di Indonesia masing-masing 12mg, dan
17mg, dan 17mg.
Diagnosis anemia defisiensi besi yang berat tidak sulit karena di tandai dengan
ciri-ciri yag khas bagi defisiensi besi, yakni mikrositosis dan hipokromasia. Anemia yang
ringan tidak selalu menunjukkan cirri-ciri khas itu, bahkan banyak yang bersifat
normositer dan normokrom. Hal itu disebabkan karena defisiensi besi dapat
berdampingan dengan defisiensi asam folik. Yang terakhir menyebabkan anemia
megaloblastik yang sifatnya makrositer dan hiperkrom, anemia ganda demikian lazin
disebut anemia dimorfis, yang dapat dibuktikan dengan kurva Price Jones. Sifat lain yang
khas bagi deifisiensi besi adalah: a) kadar serum rendah; b) daya ikat besi serum tinggi;
c) protoporfirin eritrosit tinggi; dan d) tidak ditemukan hemosiderin (stainable iron)
dalam sumsum tulang. Pengobatan percobaan (therapia ex juvantubus) dengan besi dapat
pula dipakai untuk membuktikan defisiensi besi: jikalau dengan pengobatan jumlah
retikulosit, kadar Hb dan besi serum naik sedang daya ikat besi serum dan protoporfin
eritrosit turun, maka anemia itu pasti disebabkan kekurangan besi. Pemeriksaan sum-sum
tulang menunjukkan eritropoiesis yang normoblastik tanpa tanda-tanda hipoplasia
eritropoiesis.

5. Etiologi

Penyebab anemia tersering adalah defisiensi zat-zat nutrisi. Seringkali defisiensinya


bersifat multipel dengan manifestasi klinik yang disertai infeksi, gizi buruk, atau kelainan
herediter seperti hemoglobinopati. Namun, penyebab mendasar anemia nutrisional
meliputi asupan yang tidak cukup, absorbsi yang tidak adekuat, bertambahnya zat gizi
yang hilang, kebutuhan yang berlebihan, dan kurangnya utilisasi nutrisi hemopoietik.

4
Sekitar 75% anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi yang
memperlihatkan gambaran mikrositik hipokrom pada apusan darah tepi. Penyebab
tersering kedua adalah anemia megaloblastik yang disebabkan defisiensi asam folat dan
defisiensi vitamin B12. Penyebab anemia lainnya yang jarang ditemui antara lain
hemoglobinopati, proses inflamasi, toksisitas zat kimia, dan keganasan.

1.1. Anemia defisiensi besi


Defisiensi besi merupakan defisiensi nutrisi yang paling sering ditemukan baik di negara
maju maupun negara berkembang. Risikonya meningkat pada kehamilan dan berkaitan
dengan asupan besi yang tidak adekuat dibandingkan kebutuhan pertumbuhan janin yang
cepat.3
Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang ditandai
oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferin yang
rendah, dan konsentrasi Hb atau nilai Ht yang menurun. Pada kehamilan, kehilangan zat
besi terjadi akibat pengalihan zat besi maternal ke janin untuk eritropoiesis, kehilangan
darah pada saat persalinan, dan laktasi yang jumlah keseluruhannya mencapai 900 mg
atau setara dengan 2 liter darah.3
Pada gestasi biasa dengan satu janin, kebutuhan akan besi yang dipicu oleh kehamilannya
rata-rata mendekati 800 mg; sekitar 300 mg untuk janin dan plasenta, dan sekitar 500 mg
jika tersedia untuk ekspansi masa hemoglobin ibu. Sekitar 200 mg atau lebih keluar
melalui usus, urin, dan kulit. Jumlah total ini 1000 mg, jelas melebihi cadangan besi pada
sebagian besar wanita. Keadaan ini dapat mengakibatkan anemia defisiensi besi.5
Dengan meningkatnya volume darah yang relatif pesat selama trimester kedua, maka
kekurangan besi sering bermanifesasi sebagai penurunan tajam konsentrasi hemoglobin.3
Walaupun pada trimester ketiga laju peningkatan volume darah tidak terlalu besar, namun
kebutuhan akan besi tetap meningkat karena peningkatan massa hemoglobin ibu berlanjut
dan banyak besi yang sekarang disalurkan ke janin. Karena jumlah besi yang dialihkan ke
janin dari ibu dengan defisiensi besi tidak jauh berbeda dari jumlah yang secara normal
dialihkan, neonatus dari ibu dengan anemia berat tidak menderita anemia defisiensi besi.
Secara morfologis, anemia defisiensi besi ditandai dengan hipokromia dan mikrositosis
eritrosit, namun keadaan ini tidak begitu menonjol pada wanita hamil.5

5
1.2. Anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik adalah kelompok penyakit darah yang ditandai oleh kelainan
darah dan sumsum tulang akibat gangguan sintesis DNA.

1.2.1. Anemia defisiensi asam folat


Pada kehamilan, kebutuhan folat meningkat lima sampai sepuluh kali lipat karena
transfer folat ibu ke janin yang menyebabkan dilepasnya cadangan folat maternal.
Peningkatan lebih besar dapat terjadi karena kehamilan multipel, diet yang buruk, infeksi,
adanya anemia hemolitik atau pengobatan antikonvulsi. Kadar estrogen dan progresteron
yang tinggi selama kehamilan tampaknya memiliki efek penghambatan terhadap absorbsi
asam folat. Defisiensi asam folat oleh karenanya sangat umum terjadi pada kehamilan
dan merupakan penyebab utama anemia megaloblastik pada kehamilan.3
Anemia ini biasanya dijumpai pada wanita yang tidak mengkonsumsi sayuran berwarna
hijau, polong-polongan, dan protein hewani. Wanita dengan anemia defisiensi asam folat
mungkin mengalami mual, muntah, dan anoreksia selama kehamilan. Seiring dengan
memburuknya defisiensi asam folat dan anemia, anoreksia semakin parah sehingga
defisiensi gizi juga semakin parah. Pada sebagian kasus, konsumsi etanol yang berlebihan
menjadi penyebab atau ikut berperan dalam timbulnya anemia ini.5
Pada wanita normal tidak hamil, kebutuhan asam folat harian adalah 50 sampai 100
µg/hari. Selama kehamilan, kebutuhan akan asam folat meningkat, asupan dianjurkan 400
µg/hari. Bukti biokimiawi yang paling awal ditemui adalah rendahnya aktivitas asam
folat di dalam plasma.5
Tanda morfologis paling dini biasanya adalah hipersegmentasi neutrofil. Seiring dengan
timbulnya anemia, eritrosit yang baru terbentuk akan menjadi makrositik. Apabila sudah
terdapat defisiensi besi, eritrosit makrositik tidak dapat terdeteksi dari pengukuran
volume rata-rata sel darah merah. Seiring dengan bertambah parahnya anemia, kadang-
kadang muncul eritrosit berinti di darah tepi. Pada saat yang sama, pemeriksaan sumsum

6
tulang akan mengungkapkan adanya eritrosit megaloblastik. Anemia kemudian akan
bertambah parah, dan dapat juga terjadi trombositopenia, leukopenia, atau keduanya.5
Janin dan plasenta mengekstrasi folat dari sirkulasi ibu sedemikian efektifnya sehingga
janin tidak mengalami anemia walaupun ibunya menderita anemia berat akibat defisiensi
folat.5
Defisiensi asam folat ringan juga telah dikaitkan dengan anomali kongenital janin,
terutama defek pada penutupan tabung neural (neural tube defect). Selain itu, defisiensi
asam folat dapat menyebabkan kelainan pada jantung, saluran kemih, alat gerak, dan
organ lainnya. Mutasi gen yang mempengaruhi enzim-enzim metabolisme folat, juga
berpredisposisi terhadap kelainan kongenital.3

1.2.2. Anemia defisiensi vitamin B12


Anemia jenis ini jarang terjadi selama kehamilan. Anemia ini ditandai oleh kegagalan
tubuh menyerap vitamin B12 karena tidak adanya faktor intrinsik. Ini adalah suatu
penyakit autoimun yang sangat jarang pada wanita usia subur, dan biasanya muncul pada
wanita berusia lebih dari 40 tahun. Defisiensi vitamin B12 pada wanita hamil lebih sering
dijumpai pada mereka yang menjalani reseksi lambung parsial atau total. Kausa lain
adalah penyakit Chorn, reseksi ileum, dan pertumbuhan bakteri berlebihan di usus halus.5
Selama kehamilan, kadar B12 serum normalnya lebih rendah daripada kadar nonhamil
karena berkurangnya konsentrasi protein pengangkut B12, transkobalamin.5

1.3. Anemia akibat perdarahan akut


Anemia akibat perdarahan yang baru terjadi lebih mungkin bermanifstasi pada masa
nifas. Solusio plasenta dan plasenta previa dapat menjadi sumber perdarahan serius dan
anemia sebelum atau setelah pelahiran. Pada awal kehamilan, anemia akibat perdarahan
sering terjadi pada kasus-kasus abortus, kehamilan ektopik, dan mola hidatidosa.5

1.4. Anemia pada penyakit kronik


Selama kehamilan, sejumlah penyakit kronik dapat menyebabkan anemia. Beberapa
diantaranya adalah penyakit ginjal kronik, supurasi, penyakit peradangan usus, lupus

7
eritematosus sistemik, infeksi granulomatosa, keganasan, dan arthritis rematoid. Anemia
biasanya semakin berat seiring dengan meningkatnya volume plasma melebihi ekspansi
massa sel darah merah. Wanita dengan pielonefritis akut berat sering mengalami anemia
yang nyata. Hal ini tampaknya akibat meningkatnya destruksi eritrosit dengan produksi
eritropoietin normal.5

1.5. Anemia hemolitik didapat


1.5.1. Anemia autoimun
Ini adalah penyakit yang jarang dan penyebab penyimpangan pembentukan antibodi tidak
diketahui. Anemia yang disebabkan oleh faktor-faktor ini mungkin disebabkan oleh
autoantibodi aktif-hangat (80 sampai 90%), antibodi aktif – dingin, atau kombinasinya.
Sindrom-sindrom ini juga dapat diklasifikasikan sebagai primer atau idiopatik, dan
separuhnya adalah sekunder akibat suatu penyakit atau faktor lain. Contoh dari keadaan
yang terakhir adalah limfoma dan leukemia, penyakit jaringan ikat, bebarapa infeksi, 24
penyakit peradangan kronik atau akibat obat (provan dan Watherall, 2000). Pada
sebagian kasus yang diklasifikasikan sebagai idiopatik, tindak lanjut yang cermat
mungkin dapat mengungkapkan adanya suatu penyakit yang mendasari.5
Pada anemia hemolitik autoimun, uji antiglobulin (Coombs) langsung dan tidak langsung
biasanya positif. Hemolisis dan uji antiglobulin yang positif mungkin merupakan
konsekuensi dari adanya antibodi lgM atau lgG antieritrosit. Sferositosis dan
retikulositosis merupakan gambaran khas pada sediaan apus darah tepi. Penyakit
aglutinin dingin (cold agglutinin disease) dapat dipicu oleh Mycoplasma pneumoniae
atau mononucleosis infeksiosa.5
Antibodi lgM tidak melewati plasenta sehingga sel darah merah janin tidak terpengaruh;
namun, antibodi lgG, khususnya subkelas lgG1 dan lgG3 menembus plasenta. Contoh
paling umum efek samping pada janin akibat antibodi lgG yang dibentuk oleh ibu adalah
isoimunisasi D maternal disertai penyakit hemolitik pada janin dan neonatus. Transfusi
sel darah merah untuk ibu hamil dengan penyakit hemolitik autiomun yang parah
dipersulit oleh adanya antibodi antieritrosit yang beredar dalam darah. Penghangatan sel-
sel donor hingga mencapai suhu tubuh akan mengurangi kerusakan sel-sel donor oleh
aglutinin dingin.5

8
1.5.2. Anemia hemolitik akibat obat
Hemolisis akibat obat yang dijumpai selama kehamilan harus dibedakan dari bentuk-
bentuk lain anemia hemolitik autoimun. Hemolosis yang terjadi biasanya ringan, mereda
setelah obat dihentikan, dan dapat dicegah dengan menghindari obat tersebut. Mekanisme
kerjanya berbeda-beda, tetapi umumnya terjadi karena cedera imunologis sel darah merah
yang diperantarai oleh obat. Obat yang bekerja sebagai hapten berafinitas tinggi dengan
suatu protein sel darah merah. Tempat melekatnya antibodi antiobat ini, contohnya
antibodi lgM antipenisilin. Obat dapat bekerja sebagai hapten berafinitas rendah dan
melekat keprotein membran sel.5
Gejala yang timbul tergantung pada derajat hemolisis. Biasanya terjadi hemolisis kronik
ringan sampai sedang, tetapi beberapa obat yang bekerja sebagai hapten berafinitas
rendah dapat memicu hemolisis akut yang parah. Uji antiglobulin langsung positif;
dijumpai sfrositosis dan retikulositosis; dan mungkin terjadi trombositopenia dan
leukopenia. Pada sebagian besar kasus, penghentian obat penyebab mengakibatkan
gejala-gejala lenyap. Efektivitas kortikosteriod masih dipertanyakan, dan transfusi
diberikan hanya apabila anemianya parah. Hemolisis akibat obat terutama pada wanita
Amerika – Afrika, jauh lebih sering berkaitan dengan defek enzim eritrosit kongenital,
misalnya defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenenese (G6PD) yang parah.5

1.5.3. Anemia hemolitik akibat kehamilan


Anemia hemolitik yang tidak jelas sebabnya pada kehamilan, jarang dijumpai tetapi
mungkin merupakan entitas tersendiri dan pada kelainan ini terjadi hemolisis berat yang
dimulai pada awal kehamilan dan reda dalam beberapa bulan setelah melahirkan.
Penyakit ini ditandai oleh tidak adanya bukti mekanisme imunologik atau defek intra atau
ekstraeritrosit (Starksen dkk 1983). Karena janin bayi juga mungkin memperlihatkan
hemolisis transien, diduga terdapat suatu kausa imunologis. Terapi kortikosteroid
terhadap ibu biasanya efektif.5

9
1.5.4. Hemoglobinuria nokturnal paroksismal
Walaupun sering dianggap sebagai suatu anemia hemolitik, ini adalah suatu gangguan sel
induk hemopoetik yang ditandai oleh terbentuknya trombosit, granulosit, dan eritrosit
yang cacat. Hemoglobinuria nokturnal paroksismal merupakan penyakit didapat dan
timbul dari satu klon sel yang abnormal, kurang lebih seperti neoplasma (Packham,1998).
Salah satu gen terkait–X yang mengalami mutasi dan berperan dalam penyakit ini disebut
PIG–A (fofatidilinositol glikan protein A). Protein-pretoin utama abnormal yang
terbentuk di membran eritrosit dan granulosit menyebabkan sel-sel tersebut sangat rentan
mengalami lisis oleh kemplemen.5
Gambaran klinisnya sama seperti anemia hemolitik di dapat dengan awitan perlahan dan
perjalan penyakit yang kronik. Hemoglobinuria terjadi dalam interval yang tidak teratur
dan tidak selalu malam hari. Hemolisis dapat dipicu oleh transfusi, infeksi, atau
pembedahan.5
Efek Pada Kehamilan yaitu dapat membahayakan kehamilan. Greene dkk (1983)
mengkaji 31 kasus pada kehamillan dan mendapatkan bahwa penyulit timbul pada lebih
dari tiga perempat kasus. Angka kematian ibu adalah 10 persen dan hampir separuh
wanita mengalami trombosis vena pascapartum, termasuk sindrom Budd – Chiari atau
trombosis vena serebri. Solal – Celigny dkk (1987) melaporkan penyulit pada dua pertiga
dari 38 kehamilan. Walaupun mereka tidak menjumpai kematian ibu, sering terjadi
penyulit yang mengancam nyawa, terutama akibat hemolisis dan perdarahan.5

1.5.5. Anemia didapat lainnya


Seperti diuraikan oleh Pritchard dkk (1976), walaupun jarang, hemolisis fragmentasi
(mikroangiopatik) yang nyata disertai hemoglinemia kadang-kadang menjadi penyulit
preeklamsia-eklamsia. Hal ini sering disebut sabagai sindrom HELP (Hemolysis,
Elevated Liver Ensym and Low Platelest). Anemia hemolitik didapat yang paling
fulminan pada kehamilan adalah yang disebabkan oleh eksotoksin Clostridium
perferingens atau streptokokus b-hemolitikus grup A. Akhirnya, endotoksin bakteri
gram-negatif, atau lipopolisakarida – terutama pada pielonefritis akut berat – mungkin
disertai oleh tanda-tanda hemolisis dan anemia ringan sampai sedang.5

10
1.6. Anemia hemolitik akibat defek eritrosith erediter
Gambaran eritrosit normal berbentuk seperti cakram bikonkaf, dan dibandignkan dengan
volumenya, luas permukaan membran lebih besar. Hal ini memungkinkan terjadinya
berbagai deformasi siklik reversible sewaktu eritrosit menghadapi gaya regangan yang
tercipta di arteri dan berjalan melalui celah-celah lien yang lebih kecil daripada diameter
melintangnya. Sejumlah defisiensi enzim atau kelainan herediter membran sel darah
merah menyebabkan destabilisasi lapis-ganda. Lemak berkurangnya luas permukaan, dan
sel yang kurang lentur sehingga mengalami hemolisis menyebabkan anemia dengan
derajat bervariansi. Beberapa diantara kelaianan herediter membran yang
mempercepatkan destruksi ini adalah sferositosis. herediter, piropoikilositesis dan
ovalositosis.5

1.6.1. Sferositosis herediter


Wanita dengan sferositosis herediter dapat menjalani kehamilan dengan baik. Dianjurkan
pemberian suplemen asam folat. Maberry dkk, (1992) melaporkan di Parkland Hospital
pada 50 kehamilan dari 23 wanita dengan sferositosis. Pada kehamilan tahap lanjut,
hematokrit bervarisi dari 23 sampai 41 dan dihitung retikulosit berkisar dari 1 sampai 23
persen. Morbiditas ibu minimal. Terjadi delapan abortus, dan empat dari 42 bayi lahir
preterm, tetapi tidak ada yang mengalami hambatan pertumbuhan. Infeksi pada empat
wanita memperparah hemolisis dan tiga orang memerlukan transfusi. Hasil-hasil serupa
dilaporkan oleh Pajor dkk (1993) pada 19 kehamilan dari delapan wanita Hongaria.5

1.6.2. Defisiensi enzim sel darah merah


Defisiensi piruvat kinase, walaupun jarang, mungkin merupakan defisiensi enzim kedua
tersering. Penyakit ini diwariskan sebagai sifat resesif autosom. Ghidini dan Korker
(1998) menjelaskan penanganan konservatif tanpa transfusi pada seorang wanita yang
kadar hemoglobinya mencapai nadir 6,8 g/dl pada pertengahan kehamilan. Gilsanz dkk,
(1993) melaporkan hidrops fetalis rekuren pada janin yang homozigot. Pada kehamilan

11
keempat, mereka mendiagnosis anemia janin dan tidak adanya defesiensi piruvat kinase
dengan menggunakan fungsi tali pusat (funipuncture).5

1.7. Anemia aplastik dan hipoplastik


Pada sebagian besar kasus, anemia aplastik dan kehamilan tampaknya terjadi bersamaan
secara kebetulan. Karena sekitar sepertiga wanita membaik setelah terminasi kehamilan,
dipostulasikan bahwa kehamilan melalui satuan cara memicu hipoplasia eritroid
(Aitchison,1989). Yang jelas, pada beberapa wanita, anemia hipoplastiknya pertama kali
diidentifikasi saat hamil dan kemudian membaik atau bahkan sembuh saat kehamilan
berakhir namun kambuh pada kehamilan berikutnya (Bourantas dkk, 1997, Snyder dkk,
1991).5
Rijhsinghani dan Wiechert (1994) melaporkan dua kehamilan pada wanita dengan
anemia Diamond-Blackfan. Aplasia sel darah merah murni yang jarang ini mungkin
diwariskan secara resesif autosom. Sebagian pasien berespons terhadap terapi
glukokortikoid, tetapi sebagian besar bergantung pada transfusi. Pengalaman kami
dengan dua wanita yang mempunyai penyakit ini serupa. Penyakit Gaucher adalah suatu
defisiensi enzim lisosom resesif autosom yang mengenai banyak sistem organ. Anemia
dan trombositopenia diperparah oleh kehamilan (Gronovsky- Grisaru dkk, 1995).
Kemudian, kelompok peneliti Israel ini membuktikan bahwa terapi sulih enzim
(algluserase) memperbaiki hasil kehamilan pada enam wanita (Elstin dkk, 1997).5
Dua risiko besar bagi wanita hamil dengan anemia aplastik adalah perdarahan dan infeksi
(Ascarelli dkk, 1998). Pada kasus-kasus yang dilaporkan sejak tahun 1960, angka
kematian selama atau setelah kehamilan adalah 50 persen, dan kematian hampir selalu
disebabkan oleh perdarahan atau sepsis. Anemia Fanconi tampaknya memiliki prognosis
yang lebih baik. Alter dkk (1991) mengkaji kepustakaan dan menyimpulkan bahwa
wanita yang menjadi hamil mengalami perbaikan penyakit.5
6. Komplikasi
Anemia dalam kehamilan member pengaruh kurang baik bagi ibu, baik dalam kehamilan,
persalinan maupun dalam nifas dan masa selanjutnya. Pelbagai penyulit dapat timbul
akibat anemia, seperti:
a) Abortus

12
b) Partus prematurus
c) Partus lama karena atonia uteri
d) Syok
e) Infeksi, baik intrapartum maupun postpartum
f) Anemia yang sangat berat dengan Hb kurang dari 4 g/100 ml dapat menyebabkan
dekompesasi kordis, seperti dilaporkan oleh Lie-Injo Luan eng dkk.
Hipoksia akibat anemia dapat menyebabkan syok dan kematian ibu pada persalinan sulit,
walaupun tidak terjadi perdarahan.
Juga hasil konsepsi anemia dalam kehamilan memeberi pengaruh kurang baik, seperti:
a) Kematian mudigah
b) Kematian perinatal
c) Prematuritas
d) Dapat terjadi cacat bawaan
jadi, anemia dalam kehamilan merupakan sebab potensial morbiditas serta mortalitas ibu
dan anak.

7. Penatalaksanaan
Apabila pada pemeriksaan kehamilan hanya Hb yang diperiksa dan Hb itu kurang dari
10g/100ml, maka wanita dapat dianggap menderita anemia deifisiensi besi, baik yang
murni maupun yang dimorfis, karena tersering anemia dalam kehamilan ialaha anemia
defisiensi besi.
Pengobatan dapat dimulai dengan preparat besi per os. Biasanya diberikan garam
besi sebanyak 600-1000 mg sehari, seperti sulfas-ferossus atau glukonas ferossus. Hb
dapat dinaikkan sampai 10 g/100 ml atau lebih asal masih ada cukup waktu sampai janin
lahir. Peranan vitamin C dalam pengobatan dengan besi masih diragukan oleh beberapa
penyelidik. Mungkin vitamin C mempunyai khasiat untuk mengubah ion ferri menjadi
ion ferro yang lebih mudah diserap oleh selaput usus.
Terapi parenteral baru diperlukan apabila penderita tidak tahan akan obat besi per
os, ada gangguan penyerapan, penyakit saluran pencernaan, atau apabila kehamilannya
sudah tua. Besi parenteral diberikan dalam bentuk ferri. Secara intramuscular dapat

13
disuntikkan dekstran besi (imferon) atau sorbitol besi (jectofer). Hasilnya lebih cepat
dicapai, hanya dengan merasa nyeri di tempat suntikkan.
Juga secara intravena perlahan-lahan besi dapat diberikan, seperti ferum oksidum
sakkaratum (ferrigen, ferrivenin, proferrin, vitis), sodium differat (ferronascin), dan
ekstran besi (imferon). Akhir-akhir ini imferon banyak pula diberikan dengan infuse
dalam dosis total antara 1000-2000 mg usur besi sekaligus, dengan hasil yang sangat
memuaskan. Walaupun besi intravena dan dengan infuse kadang-kadang menimbulkan
efek sampingan, namun apabila ada idikasi uang tepat, cara ini dapat
dipertanggungjawabkan. Komplikasi kurang berbahaya dibandingkan dnegan transfuse
darah.
Transfuse darah sebagai pengobatan anemia dalam kehamilan sangat jarang
diberikan walaupun Hbnya kurang dari 6g/100ml. apabila tidak terjadi perdarahan. Darah
secukupnya harus tersedia selama persalinan, yang segera harus diberikan apabila terjadi
perdarahan yang lebih dari biasa, walaupun tidak lebih dari 1000ml.

8. Pencegahan
Anemia dapat dicegah dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang dengan asupan
zat besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Zat besi dapat diperoleh dengan
cara mengonsumsi daging (terutama daging merah) seperti sapi. Zat besi juga dapat
ditemukan pada sayuran berwarna hijau gelap seperti bayam dan kangkung, buncis,
kacang polong, serta kacang-kacangan. Perlu diperhatikan bahwa zat besi yang terdapat
pada daging lebih mudah diserap tubuh daripada zat besi pada sayuran atau pada
makanan olahan seperti sereal yang diperkuat dengan zat besi.
Anemia juga bisa dicegah dengan mengatur jarak kehamilan atau kelahiran bayi. Makin
sering seorang wanita mengalami kehamilan dan melahirkan, akan makin banyak
kehilangan zat besi dan menjadi makin anemis. Jika persediaan cadangan Fe minimal,
maka setiap kehamilan akan menguras persediaan Fe tubuh dan akhirnya menimbulkan
anemia pada kehamilan berikutnya. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar jarak antar
kehamilan tidak terlalu pendek, minimal lebih dari 2 tahun.

14
9. Epidemiologi
Di seluruh dunia frekuensi anemia dalam kehamilan cukup tinggi, beriksar antara
10% dan 20%. Karena defisiensi makanan memegang peranan yang sangat penting dalam
timbulnya anemia makan dapat difahami bahwa frekuensi itu lebih tinggi lagi di negeri-
negeri yang sedang berkembang, dibandingkan dengan neger-negeri yang sudah maju.
Menurut penyelidikan Hoo Swie Tjiong frekuensi anemia dalam kehamilan setinggi
18,5%, pseudoanemia 57,9%, dan wanita hamil dengan Hb 12g/100 ml atau lebih
sebanyak 23,6%; Hb rata-rata 12,3g/ml dalam trimester I, 11,3g/100 ml dalam trimester
II, dan 10,8g/100 ml dalam trimester III. Hal itu disebabkan karena pengenceran darah
menjadi makin nyata dengan lanjutnya umur kehamilan, sehingga frekuensi anemia
dalam kehamilan meningkat pula
10. Patofisiologi
Kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu peningkatan produksi
eritropoietin. Akibatnya volume plasma bertambah dan sel darah merah (eritrosit)
meningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi dalam proporsi yang lebih besar
dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga terjadi penurunan konsentrasi Hb
akibat hemodilusi.
Darah bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut hidremia atau
hipervolemia, akan tetapi bertambahnya sel-sel darah kurang dibandingkan dengan
bertambahnya plasma, sehingga pengenceran darah. Pertambahan tersebut berbanding
plasma 30%, sel darah merah 18% dan Hemoglobin 19%. Tetapi pembentukan sel darah
merah yang terlalu lambat sehingga menyebabkan kekurangan sel darah merah atau
anemia.
Ekspansi volume plasma merupakan penyebab anemia fisiologik pada kehamilan.
Volume plasma yang terekspansi menurunkan hematokrit, konsentrasi Hb dan hitung
eritrosit tetapi tidak menurunkan jumlah absolute Hb atau eritrosit dalam sirkulasi.
Mekanisme yang mendasari perubahan ini belum jelas. Ada spekulasi bahwa anemia
fisiologik dalam kehamilan bertujuan menurunkan viskositas darah maternal sehingga
meningkatkan perfusi plasental dan membantu penghantaran oksigen serta nutrisi ke
janin.

15
Ekspansi volume plasma mulai pada minggu ke-6 kehamilan dan mencapai
maksimum pada minggu ke-24 kehamilan, tetapi dapat terus meningkat sampai minggu
ke 37. Pada titik puncaknya, volume plasma sekitar 40% lebih tinggi pada ibu hamil
dibandingkan dengan perempuan yang tidak hamil. Penurunan hematokrit, konsentrasi
Hb, dan hitung eritrosit biasanya tampak pada minggu ke-7 sampai ke-8 kehamilan dan
terus menurun sampai minggu ke-16 sampai ke-22 ketika titik keseimbangan tercapai.
Suatu penelitian memperlihatkan perubahan konsentrasi Hb sesuai dengan
bertambahnya usia kehamilan. Pada trimester pertama, konsentrasi Hb tampak menurun,
kecuali pada perempuan yang telah memiliki kadar Hb rendah (‹ 11.5 g/dl ). Konsentrasi
paling rendah di dapatkan pada trimester kedua yaitu pada usia kehamilan sekitar 30
minggu. Pada trimester ketiga terjadi sedikit peningkatan Hb, kecuali pada perempuan
yang sudah memiliki kadar Hb tinggi (› 14,6 g/dl) pada pemeriksaan pertama.
Pengenceran darah dianggap penyesuaian diri secara fisiologi dalam kehamilan
dan bermanfaat bagi wanita, pertama pengenceran dapat meringankan beban jantung
yang harus bekerja lebih berat dalam masa kehamilan, karena sebagai akibat hidremia
cardiac output untuk meningkatkan kerja jantung lebih ringan apabila viskositas rendah.
Resistensi perifer berkurang, sehingga tekanan darah tidak naik, kedua perdarahan waktu
persalinan, banyaknya unsur besi yang hilang lebih sedikit dibandingkan dengan apabila
darah ibu tetap kental. Tetapi pengenceran darah yang tidak diikuti pembentukan sel
darah merah yang seimbang dapat menyebabkan anemia. Bertambahnya volume darah
dalam kehamilan dimulai sejak kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya dalam
kehamilan 32 dan 36 minggu

11. Prognosis
Prognosis anemia defisiensi besi dalam kehamilan umumnya baik bagi ibu dan
anak. Persalinan dapat berlangsung seperti biasa tanpa perdarahan banyak atau
komplikasi lain. Anemia berat yang tidak dapat diobati dalam kehamilan muda dapta
menyebabkan abortus, dan dalam kehamilan tua dpat menyebabkan partus lama,
perdarahan post partum dan infeksi. Walaupun bayi yang dilahirkan dari ibu menderita
anemia defisiensi besi tidak menunjukkan hb yang rendah namun cadangan besinya
kurang, yang baru beberapa bulan kemudian tampak sebagai anemia infantum.

16
12. Kesimpulan
Kejadian anemia pada ibu hamil harus selalu diwaspadai mengingat anemia dapat
meningkatkan risiko kematian ibu, angka prematuritas, BBLR dan angka kematian bayi.
Untuk mengenali kejadian anemia pada kehamilan, seorang ibu harus mengetahui gejala
anemia pada ibu hamil, yaitu cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang, malaise,
lidah luka, nafsu makan turun (anoreksia), konsentrasi hilang, napas pendek (pada anemia
parah) dan keluhan mual muntah lebih hebat pada kehamilan muda.

17
Daftra Pustaka

1. Anemia dalam kehamilan. di unduh dari:


http://med.unhas.ac.id/obgin/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=855 Juni 2011
2. Adriaansz G. Asuhan Antenatal. Dalam: Prawiharjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: Bagian
Obstetri dan Ginekologi FKUI, 2008; 278-87.
3. Abdulmuthalib. Kelainan Hematologik. Dalam: Prawiharjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta:
Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI, 2011; 774-80.
4. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius FKUI. 2001.
5. Cunningham F. Gary … et al. Obstetri Williams. Edisi ke-21. Jakarta: EGC, 2005.
6. Kurnia Yasavati, et all. Buku Panduan Keterampilan Medik (Skill Lab). Jakarta: FK UKRIDA; 2010.h. 52-
4

7. Schwart E. Iron Deficiency Anemia. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
Penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia ; Saunders, 2000 :
1469-71.

18

Das könnte Ihnen auch gefallen