Sie sind auf Seite 1von 9

FRAKTUR PELVIS

A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh
rasanyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan,
dan krepitasi. Fraktur adalah terputusnya jaringan tulang/tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Sehingga fraktur pelvis
dapat dikatakan sebagai trauma tulang rawan pada pelvis yang
disebabkan oleh ruda paksa, misal : kecelakaan, benturan hebat yang
ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, dan lain-lain.
Fraktur pelvis merupakan 5 % dari seluruh fraktur. 2/3 trauma
pelvis terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. 10% diantaranya disertai
trauma pada alat-alat dalam rongga panggul seperti uretra, buli-buli,
rektum serta pembuluh darah.
Fraktur pelvis berhubungan dengan injuri arteri mayor, saluran
kemih bagian bawah, uterus, testis, anorektal dinding abdomen, dan
tulang belakang. Dapat menyebabkan hemoragic (pelvis dapat
menahan sebanyak ±4 liter darah) dan umumnya timbul manifestasi
klinis seperti hipotensi, nyeri dengan penekanan pada pelvis,
perdarahan peritoneum atau saluran kemih.
Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang
membahayakan jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur
pelvis relatif umum namun terutama lazim dengan fraktur
berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15–30% pasien dengan cedera pelvis
berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin
secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera
pelvis. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien
dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-
35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian besar.
B. Manifestasi Klinis
Fraktur panggul sering merupakan bagian dari salah satu trauma
multipel yang dapat mengenai organ-organ lain dalam panggul.
Keluhan berupa gejala pembengkakan, deformitas serta perdarahan
subkutan sekitar panggul. Penderita datang dalam keadaan anemia
dan syok karena perdarahan yang hebat.
Pengkajian awal yang perlu dilakukan adalah riwayat kecelakaan
sehingga luasnya trauma tumpul dapat diperkirakan. Sedangkan untuk
trauma penetrasi, pengkajian yang perlu dilakukan adalah posisi
masuknya dan kedalaman. Klien dapat menunjukkan trauma abdomen
akut. Pada kedua tipe trauma terjadi hemoragi baik baik internal
maupun eksternal. Jika terjadi rupture perineum, manifestasi
peritonitis berisiko muncul,seluruh drainase abdomen perlu dikaji
untuk mengetahui isi drainase tersebut.
Bilas abdomen umumnya dilakukan untuk mengkaji adanya
perdarahan diseluruh abdomen yang mengalami luka, dengan cara
memasukkan cairan kristaloid ke dalam rongga peritoneum diikuti
dengan paracentesis (rainase isi abdomen).Catat dan dokumentasikan
warna dan jumlah drainase.
C. Etiologi
1. Trauma langsung: benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur
pada tempat tersebut.
2. Trauma tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan dengan
terjadinya fraktur berjauhan.
3. Proses penyakit: kanker dan riketsia.
4. Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian
dapat mengakibatkan fraktur kompresi tulang belakang.
5. Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat
sehingga dapat menyebabkan fraktur (misal; elektrik shock dan
tetani).
D. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan
gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah
trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh
darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera
berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami
nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya
Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena
tekanan yang besar atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua
dengan osteoporosis dan osteomalasia dapat terjadi fraktur stress
pada ramus pubis.
E. Klasifikasi
Menurut Marvin Tile disruption of pelvic ring dibagi :
1. Stable (Tipe A)
2. Unstable (Tipe B)
3. Miscellaneous (Tipe C)
Fraktur Tipe A : pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa
nyeri bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal tetapi jarang
terdapat kerusakan pada visera pelvis. Fraktur Tipe B dan C: pasien
mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak dapat berdiri, serta juga
tidak dapat kencing. Kadang – kadang terdapat darah di meatus
eksternus. Nyeri tekan dapat bersifat lokal tetapi sering meluas, dan
jika menggerakkan satu atau kedua ala ossis ilium akan sangat nyeri.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologis:
a. Setiap penderita trauma panggul harus dilakukan pemeriksaan
radiologis dengan prioritas pemeriksaan rongent posisi AP.
b. Pemeriksaan rongent posisi lain yaitu oblik, rotasi interna dan
eksterna bila keadaan umum memungkinkan.
2. Pemeriksaan urologis dan lainnya:
a. Kateterisasi
b. Ureterogram
c. Sistogram retrograd dan postvoiding
d. Pielogram intravena
e. Aspirasi diagnostik dengan lavase peritoneal
G. Penatalaksanaan
1. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat – alat dalam rongga
panggul
2. Stabilisasi fraktur panggul, misalnya:
a. Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif
seperti istirahat, traksi, pelvic sling
b. Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan
operasi yang dikembangkan oleh grup ASIF
Berdasarkan klasifikasi Tile:
1. Fraktur Tipe A: hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur yang
dikombinasikan dengan traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu
pasien akan lebih nyaman dan bisa menggunakan penopang.
2. Fraktur Tipe B:
1. Fraktur tipe open book
Jika celah kurang dari 2.5cm, diterapi dengan cara beristirahat
ditempat tidur, kain gendongan posterior atau korset elastis. Jika
celah lebih dari 2.5cm dapat ditutup dengan membaringkan
pasien dengan cara miring dan menekan ala ossis ilii
menggunakan fiksasi luar dengan pen pada kedua ala ossis ilii.
2. Fraktur tipe close book
Beristirahat ditempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi
apapun bisa dilakukan, akan tetapi bila ada perbedaan panjang
kaki melebihi 1.5cm atau terdapat deformitas pelvis yang nyata
maka perlu dilakukan reduksi dengan menggunakan pen pada
krista iliaka.
3. Fraktur Tipe C
Sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi
dengan traksi kerangka yang dikombinasikan fiksator luar dan perlu
istirahat ditempat tidur sekurang – kurangnya 10 minggu. Kalau
reduksi belum tercapai, maka dilakukan reduksi secara terbuka dan
mengikatnya dengan satu atau lebih plat kompresi dinamis.
H. Komplikasi
1. Komplikasi segera
a. Trombosis vena ilio femoral : sering ditemukan dan sangat
berbahaya. Berikan antikoagulan secara rutin untuk profilaktik.
b. Robekan kandung kemih : terjadi apabila ada disrupsi simfisis
pubis atau tusukan dari bagian tulang panggul yang tajam.
c. Robekan uretra : terjadi karena adanya disrupsi simfisis pubis
pada daerah uretra pars membranosa.
d. Trauma rektum dan vagina
e. Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan
perdarahan masif sampai syok.
f. Trauma pada saraf :
1) Lesi saraf skiatik : dapat terjadi pada saat trauma atau pada
saat operasi. Apabila dalam jangka waktu 6 minggu tidak ada
perbaikan, maka sebaiknya dilakukan eksplorasi.
2) Lesi pleksus lumbosakralis : biasanya terjadi pada fraktur
sakrum yang bersifat vertikal disertai pergeseran. Dapat pula
terjadi gangguan fungsi seksual apabila mengenai pusat saraf.
2. Komplikasi lanjut
a. Pembentukan tulang heterotrofik : biasanya terjadi setelah suatu
trauma jaringan lunak yang hebat atau setelah suatu diseksi
operasi. Berikan Indometacin sebagai profilaksis.
b. Nekrosis avaskuler : dapat terjadi pada kaput femur beberapa
waktu setelah trauma.
c. Gangguan pergerakan sendi serta osteoartritis sekunder : apabila
terjadi fraktur pada daerah asetabulum dan tidak dilakukan
reduksi yang akurat, sedangkan sendi ini menopang berat badan,
maka akan terjadi ketidaksesuaian sendi yang akan memberikan
gangguan pergerakan serta osteoartritis dikemudian hari.
d. Skoliosis kompensator
I. Fokus Pengkajian
Menurut Doengoes, ME (2000) pengkajian fraktur meliputi :
1. Aktivitas/istirahat
Tanda : Keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
(mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau trjadi secara sekunder,
dari pembengkakan jaringan, nyeri)
2. Sirkulasi
Gejala : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap
nyeri/ansietas), atau hipotensi (kehingan darah)
3. Neurosensori
Gejala : Hilang gerak/sensasi,spasme otot, Kebas/kesemutan
(parestesis)
Tanda : Demormitas local; angulasi abnormal, pemendakan, ratotasi,
krepitasi (bunyi berderit, spasme otot, terlihat kelemahan atau
hilang fungsi).
4. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cidera (mungkin terlokalisasi
pada ara jaringan/kerusakan tulang; dapat berkurang pada
imobilisasi) tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
5. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : Lingkungan cidera
Pertimbangan : DRG menunjukkan rerata lama dirawat : femur 7-
8 hari, panggul/pelvis 6-7 hari, lain-lainya 4 hari bila memerlukan
perawatan dirumah sakit
6. Rencana pemulangan :
Membutuhkan dengan transportasi, aktivitas perawatan diri, dan
tugas/pemeliharaan rumah.
J. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (biologi, kimia, fisik,
psikologis), kerusakan jaringan
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan integritas
struktur tulang, gangguan metabolisme sel, kerusakan
muskuloskletal dan neuromuskuler, nyeri.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan dan
peningkatan paparan lingkungan, prosedur infasif, pertahanan
primer yang tidak adekuat (kerusakan kulit, trauma jaringan)
K. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut (00132)
Definisi : sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman
emosional yang timbul dari kerusakan jaringan aktual atau potensial
atau penggambaran dari kerusakan (International association for the
study of pain); yang terjadi tiba-tiba atau secara pelan-pelan dari
intensitas ringan hingga berat dengan diantisipasi atau dapat
diprediksi dan dalam waktu kurang dari 6 bulan.
Defining characteristics :
a. Perubahan respirasi (normalnya 12-20x/menit)
b. Laporan secara verbal dari pasien
NOC (Nursing Outcome Classifications) :
a. Comfort level (tingkat kenyamanan)
Definisi : Perasaan fisik dan psikologi yang tenang
Indikator :
1)Melaporkan kesejahteraan fisik
2)Melaporkan kepuasan dengan kontrol gejala
3)Melaporkan kesejahteraan psikologis
4)Mengekspresikan kepuasan dengan kontrol nyeri
b. Pain Control (kontrol nyeri)
Definisi : Tindakan seseorang untuk mengatasi nyeri
Indikator :
1) Mengenal penyebab nyeri
2) Mengenal onset nyeri
3) Menggunakan tindakan pencegahan
4) Menggunakan pertolongan non-analgetik
5) Menggunakan analgetik dengan tepat
6) Mengenal tanda-tanda pencetus nyeri untuk mencari
pertolongan
7) Menggunakan sumber-sumber yang ada
8) Mengenal gejala nyeri
9) Melaporkan gejala-gejala kepada tenaga kesehatan
profesional
10)Melaporkan kontrol nyeri
c. Pain Level (Tingkat nyeri)
Definisi : Gambaran nyeri atau nyeri yang ditunjukkan
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3 x 24
jam pada pasien dengan gangguannyeri akut dapat teratasi
dengan kriteria :
1)Melaporkan nyeri berkurang
2)Tidak menununjukkan ekspersi wajah menahan nyeri
3)Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan)
4)Tidak mual
5)Tanda vital dalam rentang normal
Nursing Intervention Classification (NIC) Pain Acute
Intervensi
a. Kaji secara komphrehensif tentang nyeri, meliputi: lokasi,
karakteristik dan onset, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor presipitasi
b. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan,
khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara
efektif
c. Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat
mengekspresikan nyeri
d. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas hidup: pola
tidur, nafsu makan, aktifitas kognisi, mood, relationship,
pekerjaan, tanggungjawab peran
e. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa lama
terjadi, dan tindakan pencegahan
f. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap ketidaknyamanan (ex: temperatur
ruangan, penyinaran, dll)
g. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (ex: relaksasi, guided
imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin, massase,
TENS, hipnotis, terapi bermain, terapi aktivitas, akupresusure)
h. Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
i. Modifikasi kontrol nyeri sesuai respon pasien
j. Kolaborasi : Beri analgetik sesuai dengan indikasi
2. Gangguan mobilitas fisik (00085)
Definisi : keterbatasan pada kemandirian, pergerakan fisik dari
tubuh dengan maksud tertentu atau dari salah satu atau lebih dari
ekstremitas.
Defining characteristics :
a. Keterbatasan pergerakan
b. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan gerak yang benar
Faktor yang berhubungan :
a. Intoleransi aktivitas
b. Kehilangan integritas dari struktur tulang
c. Gangguan musculoskeletal
d. Nyeri
e. Pembatasan bergerak sesuai medikasi dari medis
NOC (Nursing Outcome Classifications):
a. Joint Movement : Active, Range of Motion pada sendi
b. Mobility Level : Kemampuan untuk bergerak dengan tujuan
tertentu
c. Transfer performance
Setelah dilakukan tindakan keperawatan gangguan mobilitas fisik
teratasi dengan kriteria hasil :
1)Klien meningkat dalam aktivitas fisik
2)Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
3)Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan
dan kemampuan berpindah
4)Memperagakan penggunaan alat Bantu
untuk mobilisasi (walker)
Nursing Intervention Classification (NIC) Gangguan Mobilitas Fisik
a. Perawatan Bed Rest
Definisi: dukungan kenyamanan dan keamanan dan pencegahan
komplikasi pada pasien yang tidak mampu untuk turun dari
tempat tidur
Aktivitas
1) Jelaskan alasan mengapa pasien perlu bed rest
2) Jaga linen kasur tetap bersih, kering dan bebas dari kerutan
3) Gunakan perlengkapan pelindung bagi pasien pada bed
4) Monitor kondisi kulit
5) Melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif
6) Tingkatkan kebersihan
7) Bantu aktivitas sehari-hari pasien
8) Monitor fungsi perkemihan
9) Monitor terhadap konstipasi
10)Monitor status pernafasan
b. Pengaturan posisi
Definisi: penentuan penempatan pasien atau bagian tubuh pasien
untuk mendukung fisik dan psikologis yang baik
Aktivitas
1) Membantu pasien dalam perubahan posisi
2) Monitor status oksigen/pernafasan sebelum dan setelah
perubahan posisi dilakukan
3) Pemberian dukungan pada bagian tubuh yang perlu
diimobilisasikan
4) Fasilitasi posisi yang mendukung ventilasi/perfusi
5) Lakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif
6) Cegah penempatan pasien pada posisi yang dapat
meningkatkan nyeri
7) Minimalkan gesekan ketika positioning
8) Posisikan pasien pada posisi yang mendukung drainase
perkemihan
9) Posisikan pada posisi yang dapat mencegah penekanan pada
luka
10)Instruksikan pasien terkait bagaimana postur yang baik
11)Atur jadwal perubahan posisi pada pasien
3. Resiko infeksi (00004)
Definisi : terjadi peningkatan resiko terhadap terjangkitnya
organisme patogenik
Faktor resiko :
a. Pertahanan primer yang inadekuat (kerusakan kulit, jaringan
traumatis)
b. Prosedur invasif
c. Trauma
NOC (Nursing Outcome Classifications):
a. Immune Status : ketahanan (natural dan didapat) yang adekuat
terhadap antigen eksternal dan internal.
b. Knowledge : Infection control, Peningkatan
pemahaman mengenai pencegahan dan kontrol infeksi
c. Risk control : Tindakan untuk menghilangkan dan mengurangi
ancaman kesehatan yang aktual, personal, dan modifikasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien tidak mengalami
infeksi dengan kriteria hasil:
a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
b. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
c. Jumlah leukosit dalam batas normal
d. Menunjukkan perilaku hidup sehat
e. Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal
Nursing Intervention Classification (NIC) Resiko Infeksi
a. Kontrol Infeksi
Definisi: Meminimalkan paparan dan transmisi agen infeksi
Aktivitas
1) Bersikan lingkungan secara tepat setelah digunakan oleh
pasien
2) Ganti peralatan pasien setiap selesai tindakan
3) Gunakan sarung tangan steril
4) Lakukan perawatan aseptic pada semua jalur IV
5) Lakukan teknik perawatan luka yang tepat
6) Anjurkan istirahat
7) Berikan terapi antibiotik
b. Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
Definisi: Pencegahan dan deteksi dini infeksi pada pasien yang
beresiko
Aktivitas
1) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
2) Monitor angka granulosit, WBC dan hasil yang berbeda
3) Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko
4) Berikan perawatan kulit yang tepat pada area edematous
5) Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan,
panas, atau drainase
6) Ispeksi kondisi luka
7) Dukungan masukkan nutrisi yang cukup
8) Dukungan masukan cairan
9) Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
c. Skin surveillance/pengawasan terhadap kulit
Definisi: Mengkoleksi dan menganalisis data pasien untuk
mempertahankan integritas kulit dan membran mukosa
Aktivitas
1) Mengamati ekstremitas terhadap kemerahan, panas, bengkak,
tekanan, tekstur, edema dan ulserasi
2) Mengamati kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan,
panas yang ekstrim, atau drainase
3) Monitor terhadap sumber penekanan dan friksi/gesekan
4) Monitor terhadap infeksi
d. Perawatan luka
Definisi: Mencegah komplikasi luka dan meningkatkan
kesembuhan
Aktivitas
1) Monitor karakteristik luka meliputi drainase, warna, ukuran
dan bau
2) Pertahankan teknik steril dalam perawatan luka
3) Inspeksi luka setiap melakukan pergantian dreesing
4) Atur posisi untuk mencegah tekanan pada daerah luka
5) Tingkatkan intake cairan
6) Ajarkan pada pasien/anggota keluarga tentang prosedur
perawatan luka
7) Ajarkan pada pasien/anggota keluarga tentang tanda dan
gejala infeksi
8) Dokumentasikan lokasi luka, ukuran, dan penampakannya.

Das könnte Ihnen auch gefallen