Sie sind auf Seite 1von 13

KULTUR MIKROALGA PADA SKALA LABORATORIUM

Oleh :
Nama : Mohamad Rizya Sanjaya
NIM : B1J014022
Kelompok :1
Rombongan : IV
Asisten : Nur Rosyidah

LAPORAN PRAKTIKUM FIKOLOGI

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Alga merupakan produsen primer dalam suatu ekosistem perairan yang


uniseluler, memiliki filamen dan berkembang biak secara aseksual. Berdasarkan
ukurannya, alga dapat dibedakan menjadi mikroalga dan makroalga. Makroalga
adalah alga yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Sedangkan mikroalga adalah
alga yang berukuran sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan kasat mata.
Baik makroalga maupun mikroalga tersebar dalam perairan tawar dan laut (Feldman,
1951).
Mikroalga adalah kelompok tumbuhan berukuran renik, diameternya antara
3-30 μm berupa tanaman thalus serta memiliki klorofil sehingga sangat efisien dalam
menangkap dan memanfaatkan energi matahari dan CO2 untuk keperluan
fotosintesis. Mikroalga terdiri dari banyak spesies yang hampir semuanya adalah
organisme akuatik. Pertumbuhan mikroalga dalam media kultur dapat ditandai
dengan bertambah besarnya ukuran sel atau bertambah banyaknya jumlah sel
(Sasmita et al, 2004).
Mikroalga telah sejak lama dimanfaatkan sebagai bahan makanan, terutama
sebagai sumber makanan, anti oksidan, pewarna atau bahan aditif yang aman, serta
digunakan pula dalam industri farmakologi dengan skala besar. Mikroalga
mengambil peranan yang penting di alam sebagai akumulator logam berat, eliminator
CO2, dan juga berasosiasi dengan bakteri untuk mengikat nitrogen (Sheehan 1998).
Dalam biomassa mikroalga terkandung bahan-bahan penting yang sangat
bermanfaat, misalnya protein, karbohidrat, lemak dan asam nukleat. Persentase
keempat komponen tersebut bervariasi tergantung jenis alga. Sebagai contoh,
mikroalga Chlorella sp. memiliki 51-58% protein, 12-26% karbohidrat, 2-22%
lemak, 4-5% nucleic acid. Asam lemak yang terkandung dalam Chlorella sp. terdiri
dari linoleat sebanyak 45,068% dan 29,495 stearat (Becker 1994).

B. Tujuan
Tujuan dari praktikum kali ini adalah untuk mengetahui cara kultur mikroalga
Chlorella sp. dan Spirulina sp. menggunakan limbah cair tapioka pada skala
laboratorium.
C. Tinjauan Pustaka
Mikroalga adalah mikroorganisme fotosintetik dengan morfologi sel yang
bervariasi, baik uniselular maupun multiselular (membentuk koloni kecil). Sebagian
besar mikroalga tumbuh secara fototrofik, meskipun tidak sedikit jenis yang mampu
tumbuh secara heterotrofik Ganggang hijau-biru prokariotik (cyanobacteria) juga
termasuk dalam kelompok mikroalga. Dalam Bergey's Manual of Systematic
Bacteria, kelompok mikroorganisme ini ditempatkan bersama-sama dengan klas
Oxyphotobacteria, dalam divisi Gracilicutes (Kurniawan dan Gunarto, 1999).
Pertumbuhan yang baik dari suatu kultur mikroalga adalah merupakan
keseimbangan antara unsur-unsur nutrien esensial didalam air media baik nutrien
makro maupun mikro. Kekurangan nutrien didalam media kultur merupakan salah
satu faktor penting yang membatasi pertumbuhan dan kontrol kualitas nutrisi
produksi biomassa. Banyak kandungan zat penyubur yang tidak sesuai dengan
kebutuhan sel seperti jumlah nitrogen atau ketidak stabilan kandungan metal,
khususnya Fe akan menurunkan pertumbuhan yang sangat drastis. Didalam kondisi
larutan media kultur alkalin, Fe dan bentuk metal lainnya sering terjadi pengurangan
pada periode waktu tertentu sehingga aktifitas metabolisme baik proses fotosintesa
maupun respirasi sel algae menjadi menurun (Jati, 2012).
Mikroalga dari genus chlorella ini hijau ditempatkan di bawah
Chlorococcales dan Chlorellacese. Reproduksi menggunakan autospora non-motil
.Species dari genus ini tersebar luas di perairan tawar dan laut. Melalui kultur murni,
mikroorganisme tumbuh cepat dan dapat digunakan sebagai bahan percobaan yang
ideal untuk penelitian dalam fotosintesis. Chlorella sp. telah digunakan dalam
berbagai aplikasi yaitu di bidang pertanian, bioteknologi. Chlorella sp. digunakan
sebagai makanan yang kaya protein dan juga digunakan dalam proses oksidasi
limbah (Ponnuswamy, 2013)
Klasifikasi Chlorella sp. menurut Bold dan Wynne (1985) adalah sebagai
berikut:
Divisi : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Chlorococcales
Famili : Oocystaceae
Genus : Chlorella
Spesies : Chlorella sp
Mikroalga jenis Chlorella sp. dapat menghasilkan senyawa yang disebut
lutein. Lutein merupakan karotenoid alami berbentuk kristal padat berwarna kuning
yang dapat diproduksi oleh mikroalga tertentu. Kebutuhan akan lutein semakin
meningkat karena lutein merupakan satu-satunya senyawa antioksidan yang
berkaitan dengan kejadian katarak pada mata. Fungsi lain dari pigmen ini sebagai
anti penuaan dini (antiaging) pada kulit yang terkena radiasi sinar UVB matahari.
Mikroalga Chlorella pyrenoidosa galur INK menghasilkan senyawa lutein yang
dapat terlarut dalam etanol dan heksan. Mikroalga C. pyrenoidosa menghasilkan
ekstrak lutein crude sebesar 100 μg per gram berat basah sel mikroalga. Hasil
fraksinasi dan purifikasi diperoleh ekstrak lutein murni sebesar 0,878 μg per gram
berat basah sel mikroalga (Kusmiati et al. 2010).
Spirulina merupakan mikroorganisme autrotrof berwarna hijau-kebiruan
dengan sel berkolom membentuk filamen terpilin menyerupai spiral (helix), sehingga
disebut alga biru-hijau berfilamen (cyanobacterium) (Richmond, 1988). Bentuk
tubuh Spirulina sp yang menyerupai benang merupakan rangkaian sel yang
berbentuk silindris dengan dinding sel yang tipis, berdiameter 1-12 mikrometer.
Filamen Spirulina sp hidup berdiri sendiri dan dapat bergerak bebas (Richmond,
1988).
Klasifikasi Spirulina menurut Bold & Wyne (1985) yaitu :
Kingdom : Protista
Divisi : Cyanophyta
Kelas : Cyanophyceae
Ordo : Nostocales
Famili : Oscilatoriaceae
Genus : Spirulina
Spesies : Spirulina sp.
Industri tepung tapioka merupakan salah satu industri yang menghasilkan
limbah pada proses produksinya, produk limbah yang dihasilkan berupa limbah cair
dan limbah padat. Limbah cair industry tapioka dihasilkan dari proses produksi, baik
dari pencucian bahan baku sampai pada proses pemisahan pati dari airnya atau
proses pengendapan. Limbah cair dari hasil industri tepung tapioka apabila dibiarkan
atau dibuang ke aliran sungai akan dapat mencemari lingkungan, dan ekosistem di
dalam lingkungan tempat limbah tersebut dibuang (Putra et al., 2016).
II. MATERI DAN METODE
A. Materi

Bahan – bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah Chlorella sp.,
Spirulina sp. limbah cair tapioka, chlorin, tiosulfat, dan air.
Alat – alat yang digunakan pada praktikum ini adalah mikroskop, botol
kultur, pipet tetes, lampu TL 40 watt, selang aerasi, aerator, beaker glass,
haecytometer, sedgewich rapter, object glass dan cover glass.

B. Metode
1. Botol kultur disterilisasi dengan chorin selama 24 jsm.
2. Botol kultur dietralkan dengan tiosulfat selama 1 jam.
3. Botol kultur diidi media limbah cair
4. Bibit mikroalga dihitung kemudian bibit yang telah dihitung dimasukkan ke
dalam botol kultur.
5. Botol kultur diaerasi.
6. Biakan mikroalga diamati dan dihitung kepadatannya.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil

Tabel Kepadatan Spirulina sp. Rombongan IV

Kelompok Konsentrasi (%) Jumlah Sel (se/ml)


1 10 2.547,7
2 20 -
3 30 -
4 40 6.051
Perhitungan :

L1 = 5 , L2 = 7 , L1 = 2 , L2 = 4 , L1 = 7

Jumlah Kepadatan = Rata-rata x 2,5 x 104

= 25/5 x 2,5 x 104

= 2.547,7 sel/ml

Gambar 3. 1 Gambar 3. 2

Gambar 3. 3

Keterangan

3.1. Kultur Hari ke-1

3.2. Kultur Hari ke-4

3.3. Hasil pengamatan Spirulina sp.

A. Pembahasan

Hasil pengamatan kultur mikroalga menunjukkan perbedaan setelah


mengalami 4 hari masa kultur. Pada botol kultur terdapat endapan, warna berubah
namun tidak terlalu pekat dan tidak terdapat kontaminan.
Kultur merupakan usaha perbanyakan dengan kondisi lingkungan yang
terkendali atau disesuaikan. Teknik kultur mikroalga secara umum dapat dilakukan
dalam 3 tahap, yaitu skala laboratorium, skala semi massal, dan skala massal. Unit-
unit pembenihan ikan maupun udang biasanya hanya melakukan kultur skala semi
massal dan skala massal. Namun demikian keberhasilan dari tahapan kultur semi
massal dan massal tentunya tidak terlepas dari bibit yang dipergunakan (inokulum).
Sementara teknik kultur fitoplankton skala laboratorium banyak mengoleksi plankton
dari berbagai jenis/ strain yang tidak terkontaminasi (murni), sehingga dapat
digunakan sebagai bibit yang baik. Usaha pembenihan skala industri sudah mulai
melakukan kultur fitoplankton skala laboratorium untuk penyediaan bibit dalam
memenuhui kebutuhan pakan alami sebagai pakan awal (Suriadnyani, 2004).
Pembudidayaan mikroalga skala laboratorium dilakukan untuk
mempersiapkan kultur murni yang akan digunakan sebagai bibit dalam
pembudidayaan skala semi massal dan akan di lanjutkan pada skala massal.
Pembudidayaan mikroalga secara semi massal adalah kegiatan budidaya kultur murni
mikroalga dari skala laboratorium untuk dipersiapkan pada kultur mikroalga secara
massal. Pembudidayaan mikroalga secara massal dapat digunakan sebagai pakan
alami yang baik untuk larva udang.
Mikroalga yang dapat dikultur semi massal contohnya Nannochloropsis sp.,
Spirulina sp. dan Tetraselmis sp. Sedangkan mikroalga yang dapat dikultur massal
adalah B. braunii. Mikroalga yang biasa dikultur dalam skala lab adalah Nitzschia
sp. Chaetoceros calcitrans dan Nannochloropsis oculata. Mikroalga yang digunakan
dalam kultur skala lab adalah 5% dari media pertumbuhannya.
Menurut Bold dan Wynne (1985), perkembangbiakan Spirulina sp. dalam
kultur dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain media, nutrien atau unsur hara,
cahaya, suhu, serta salinitas. Media merupakan tempat hidup bagi kultur Spirulina
yang pemilihannya ditentukan pada jenis Spirulina yang akan dibudidayakan. Bahan
dasar untuk preservasi media yang dapat digunakan adalah agar-agar. Nutrien terdiri
atas unsur-unsur hara makro (makronutrien) dan unsur hara mikro (mikronutrien).
Contoh unsur hara makro untuk perkembangbiakan Spirulina adalah senyawa
anorganik seperti N, K, Mg, S dan P. Unsur hara mikro adalah Fe, Cu, Zn, Mn, B,
dan Mo (Basmi, 1995). Menurut George (2014) Variasi komposisi medium kultur
telah dapat mengubah komposisi biokimia mikroalga yang bisa dimanfaatkan untuk
produksi produk berharga seperti lipid, karbohidrat, protein dan pigmen. Media yang
berbeda memiliki variasi jumlah gizi yang secara signifikan dapat mengubah
kuantitas biomassa sel yang dihasilkan selama kultivasi. Karena itu, pengoptiman
komposisi medium sangat penting untuk mencapai produksi mikroalga yang lebih
tinggi.
Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
fitoplankton di kultur terbuka antara lain: cahaya, suhu, tekanan osmosis, pH air,
kandungan O2 dan aerasi (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Cahaya merupakan
sumber energi untuk melakukan fotosintesis. Cahaya matahari yang diperlukan oleh
fitoplankton dapat digantikan dengan lampu TL atau tungsten. Oh hama dan Miyachi
(1988) menyatakan bahwa intensitas cahaya saturasi untuk Chlorella berada pada
intensitas 4000 lux. Hal ini menunjukkan bahwa setelah titik intensitas tersebut
dicapai, maka fotosintesis tidak lagi meningkat sehubungan dengan peningkatan
porsi intensitas cahaya (Basmi 1995). Aerasi dalam kultur fitoplankton digunakan
dalam proses pengadukan media kultur. Pengadukan sangat penting dilakukan
bertujuan untuk mencegah terjadinya pengendapan sel, nutrien tersebar dengan baik
sehingga fitoplankton dalam kultur mendapatkan nutrien yang sama, mencegah
sratifikasi suhu, dan meningkatkan pertukaran gas dari udara ke media (Taw 1990).
Pertumbuhan Spirulina sp. dalam kultur dapat ditandai dengan bertambah
besarnya ukuran sel atau bertambah banyaknya jumlah sel. Hingga saat ini kepadatan
sel digunakan secara luas untuk mengetahui pertumbuhan Spirulinaa sp dalam kultur
pakan alami. Ada empat fase pertumbuhan mikroalga, yaitu:
1. Fase Lag
Sesaat setelah penambahan inokulum kedalam media kultur, populasi tidak
mengalami perubahan. Ukuran sel pada saat ini pada umumnya meningkat. Secara
fisiologis sel sangat aktif dan terjadi proses sintesis protein baru. Organisme
mengalami metabolism, tetapi belum terjadi pembelahan sel sehingga kepadatan
sel belum meningkat.
2. Fase Logaritmik/Eksponsial
Fase ini diawali oleh pembelahan sel dengan laju pertumbuhan tetap. Pada kondisi
kultur yang optimum, laju pertumbuhan pada fase ini mencapai maksimal.
3. Fase Stasioner
Pada fase ini, pertumbuhan mulai mengalami penurunan dibandingkan dengan
fase logaritmik. Pada fase ini laju reproduksi sama dengan laju kematian. Dengan
demikian penambahan dan pengurangan jumlah sel relatif sama atau seimbang
sehingga kepadatan sel tetap.
4. Fase Kematian
Pada fase ini laju kematian lebih cepat daripada laju reproduksi. Jumlah sel
menurun secara geometrik. Penurunan kepadatan sel ditandai dengan perubahan
kondisi optimum yang dipengaruhi temperature, cahaya, pH air, jumlah hara yang
ada, dan beberapa kondisi lingkungan yang lain.
Berdasarkan pola pertumbuhan mikroalga, maka pemanenan mikroalga harus
dilakukan pada saat yang tepat yaitu pada saat mikroalga mencapai puncak populasi.
Apabila pemanenan mikroalga terlalu cepat atau belum mencapai puncak populasi,
sisa zat hara masih cukup besar sehingga dapat membahayakan organism pemangsa.
Sedangkan apabila pemanenan terlambat maka sudah banyak terjadi kematian
mikroalga sehingga kualitasnya turun. Khusus untuk mikroalga jenis Chlorella sp.,
pemanenan dilakukan pada saat 4 hari karena mikroalga tersebut mencapai puncak
populasi pada saat hari ke 4 setelah pembibitan.
Menurut Prabowo (2009) awal kultur kandungan nutrien masih tinggi
sehingga dapat dimanfaatkan oleh populasi mikroalga dengan baik untuk reproduksi
dan pertumbuhan yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel. Jumlah populasi
meningkat namun tidak ada penambahan nutrien, sedangkan pemanfaatan nutrien
oleh alga terus berlanjut sehingga terjadi persaingan antara alga yang menyebabkan
terjadinya penurunan pertumbuhan.
Kami menghitung kepadatan mikroalga pada masa awal kultur. Alat yang
digunakan dalam proses penghitungan adalah hemositometer. Cara menghitung
kepadatan adalah jumlah sel yang ada pada 25 kotak hitung dikalikan 10 4 sel/ml
(BBPBL, 2013). Jumlah kepadatan sel dihitung dengan menggunakan rumus di
bawah ini: Kepadatan sel (sel/ml) N = Jumlah total sel x 104. Kotak tersebut
berbentuk bujur sangkar dengan sisi 1 mm dan tinggi 0,1 mm, sehingga bila ditutup
dengan cover glass, akan menghasilkan volume ruangan 0,1 mm3 atau 10-4 ml. Kotak
tersebut dibagi lagi menjadi dua puluh lima kotak bujur sangkar, yang masing
masing dibagi lagi menjadi enam belas kotak bujur sangkar yang lebih kecil Jumlah
kepadatan mikroalga kelompok kami adalah 1,25 X 105 sel/ml (Isnansetyo dan
Kurniastuty 1995).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:


1. Cara melakukan kultur pada mikroalga terdiri dari 3 tahap, yaitu kultur skala
laboratorium, kultur semi massal dan kultur massal.

B. Saran
Proses kultur harus dilakukan dengan pemantauan faktor lingkungannya,
seperti pemantauan cahaya atau aerasi secara berkala. Tidak berfungsinya aerasi
dapat menyebabkan kultur tidak berjalan dengan maksimal.
DAFTAR REFERENSI

Basmi. 1995. Planktonologi : Organisme Penyusun Plankton, Klasifikasi dan


Terminologi, Hubungan antara Fitoplankton dan Zooplankton, Siklus Produksi
umumnya di Perairan. Fakultas Perikanan IPB. Bogor.

Bold, H.C. dan M. J. Wynne.1985. Introduction To The Alga Structure And.


Reproduction. Prentice Hall Inc. Englewood. New Jersey.

Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. New York:


Cambridge University Press.

Feldman, Y. 1951. Ecology of Marine. California: Stanford University.

George, B., Imran Pancha, Chahana Desai, Kaumeel Chokshi, Chetan Paliwal,
Tonmoy Ghos & Sandhya Mishra. 2014. Effects of different media
composition, light intensity and photoperiod on morphology and physiology of
freshwater microalgae Ankistrodesmus falcatus – A potential strain for bio-fuel
production. Bioresource Technology, 171: 367–374.

Oh Hama, T. dan S. Miyachi. 1988. Chlorella. Ln: M. A. Borowitzka & L. J.


Borowitzka (Eds.) Microalga Biotechnology Cambridge Press

Kusmiati, Agustini NWS, Tamat SR, Irawati M. 2010. Ekstraksi dan purifikasi
senyawa lutein dari mikroalga Chlorella pyrenoidosa Galur Lokal Ink. J Kimia
Indonesia, 5: 30-34.

Ponnuswamy, Indhumathi., Soundararajan Madhavan and Syed Shabudeen. 2013.


Isolation and Characterization of Green Microalgae for Carbon Sequestration,
Waste Water Treatment and Bio-fuel Production. International Journal of Bio-
Science and Bio-Technology, 5(2), pp. 17-27.

Prabowo, Ambar Danang. 2009. Ostimasi Pengembangan Media Untuk Pertumbuhan


Chlorella sp. Skala Laboratorium. Skripsi IPB: Bogor.

Putra, H. H. P., Sutaryo & Endang Purbowati. 2016. Pengaruh Penggunaan Limbah
Cair Tepung Tapioka Dan Feses SapiSebagai Substrat Biogas Terhadap
pnecernaan Nitrogen, Total Ammonia Nitrogen Dan Konsentrasi Vfa.
AGROMEDIA, 34(1): 64-69.

Romimohtarto K. 2004. Meroplankton Laut : Larva Hewan Laut yang Menjadi


Plankton. Jakarta : Djambatan.

Richmond, A. 1988. Mass production of Spirulina - an overview. Biomass, 15(4):


233-48.

Sasmita et al. 2004. Pengembangan Teknik Ultrafiltrasi untuk Pemekatan Mikroalga.


[Prosiding Seminar]. Semarang: jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro.
Sheehan. 1998. A Look Back at the U.S. Department of Energy’s Aquatic Species
Program Biodiesel from Algae. National Renewable Energy Laboratory.

Suriadnyani, N. N. 2004. Teknik Kultur Fitoplankton Secara Tradisional. Buletin


teknik Litkayasa Akuakultur, 3(2), pp. 21-25.

Taw, N. 1990. Petunjuk Kultur Murni dan Massal Mikroalga. Proyek Pengembangan
Udang. United Nation Development Progamme Food and Agriculture
Organization of the United Station

Das könnte Ihnen auch gefallen