Sie sind auf Seite 1von 18

ILMU KULIAH

Kamis, 15 September 2016

MASA PEMERINTAHAN ABU BAKAR AS-SHIDDIQ DAN UMAR BIN KHATTAB

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, beliau tidak meninggalkan wasiat tentang yang akan menggantikan
posisi beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Tampaknya Nabi Muhammad
SAW menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum Muslimin itu sendiri untuk menentukannya. Karena
beliau sendiri tidak pernah menunjuk di antara sahabatnya yang akan menggantikannya sebagai
pemimpin umat Islam, bahkan tidak pula membentuk suatu dewan yang dapat menentukan siapa
penggantinya.

Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat bahkan jenazahnya belum dimakamkan, sejumlah tokoh
Muhajirin dan Anshar berkumpul di Balai Kota Bani Saidah Madinah untuk memusyawarahkan siapa
yang akan dipilih menjadi pemimpin. Dalam musyawarah tersebut cukup berjalan alot, karena dari
masing-masing pihak, baik dari Muhajirin maupun Anshar sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin
umat Islam.

Namun dengan semangat ukhuwah Islamiyyah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar secara demokratis terpilih
menjadi pemimpin umat Islam menggantikan setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Rasa semangat
ukhuwah Islamiyah yang dijiwai sikap demokratis tersebut dapat dibuktikan adanya masing-masing pihak
menerima dan mau membaiat Abu Bakar sebagai pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW.
[1]

Sebelum Abu Bakar wafat, memanggil beberapa sahabat untuk dimintai pendapat tentang rencana
penunjukan khalifah yang akan menggantikannya. Umar merupakan calon tunggal. Abu Bakar dan
sahabat setuju dengan pilihan itu. Pada tahun 13 H / 634 M akhirnya Umar di baiat menjadikhalifah
kedua dengan gelar Amirul Mukminin artinya panglima orang-orang beriman.

Umar bin Khattab merupakan pimpinan yang ideal. Hidupnya bersama keluarganya sangat sederhana.
Beliau juga sangat adil dan dekat dengan rakyat. Pada malam hari beliau sering keliling kampung untuk
mengamati keadaan rakyatnya.

Umar sebagai khalifah membuat kebijakan dalam pemerintahan . Beliau melakukan ekspansi besar-
besaran sehingga periodenya dikenal dengan nama futuhat al islamiyyah artinya perluasan wilayah
Islam. Dan pembagian propinsi Islam. Beliau juga membentuk badan-badan pemerintahan dan membuat
prinsip-prinsip peradilan.[2]

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas,maka yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pembentukan khilafah pada masa khalifah Abu bakar?

2. Bagaimana perkembangan islam sebagai kekuatan politik pada pemerintahan khalifah Abu Bakar?

3. Bagaimana pembentukan khilafah pada masa khalifah Umar bin Khattab?

4. Bagaimana perkembangan islam sebagai kekuatan politik pada pemerintahan Umar bin Khattab?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembentukan Khilafah pada khalifah Abu Bakar

1. Khalifah Abu Bakar

Nama lengkapnya adalah Abdullah Ibn Abi Quhafah al-Taimiy. Sebelum masuk Islam ia bernama ‘Abd. Al-
Ka’bah, kemudian setelah ia memeluk Islam nama tersebut diganti oleh Rasulullah dengan Abdullah yang
Akrab dipanggil dengan Abu Bakar. Ada pendapat yang mengatakan bahwa gelar tersebut melekat
sebagai nama penggilan karena beliau termasuk orang yang mula-mula memeluk Islam.[3]Sedangkan
gelar ash-shiddiq merupakan julukan yang diberikan kepadanya karena ia termasuk orang pertama
membenarkan peristiwa Isra Mi’raj Nabi pada saat sejumlah masyarakat Arab tidak mempercayainya
karena mengukur peristiwa tersebut dengan logika murni.[4]

Abu Bakar dilahirkan pada tahun 573 M. (dua tahun setelah kelahiran Rasulullah).[5] Ia termasuk
golongan orang yang memeluk Islam tanpa banyak pertimbangan. Sebelum memeluk Islam, ia
merupakan seorang saudagar kaya yang mempunyai pengaruh yang cukup besar dikalangan bangsa
Arab. Namun setelah ia memeluk Islam, perhatiannya sepenuhnya dicurahkan kepada Islam sehingga
aktivitas perdagangan yang dilakukannya hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari.[6]

Selain daripada itu, beliau juga dikenal sebagai orang yang jujur dan dermawan serta senang beramal
untuk kepentingan perjuangan Islam. Bukti kedermawanan tersebut sebagaimana dilukiskan dalam
sejarah bahwa ketika Rasulullah SAW. Mempersiapkan pasukan menuju Tabuk, Abu Bakar
menyumbangkan semua harta yang dimilikinya dan tidak ada lagi yang tersisa.[7]

Ketika terjadi peristiwa hijrah, Abu Bakar merupakan sahabat yang setia mengawal perjalanan Nabi
hingga tiba di Madinah. Penderitaan yang dialaminya dalam peristiwa tersebut serta ancaman maut yang
mengintainya setiap saat tidak pernah menyurutkan semangat kesetiaannya terhadap Nabi SAW. Dan
agama yang dibawanya. Demikian pula, Abu Bakar senantiasa ikut bertempur dalam hampir semua
peperangan bersama Rasulullah.[8]
2. Proses Pengangkatan Abu Bakar

Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa setiap makhluk yang bernyawa pasti mengalami kematian,
tak terkecuali kekasih-Nya sendiri yang bernama Muhammad SAW (QS 3: 144). Namun kematiannya
ternyata disikapi dengan emosional oleh sahabat-sahabatnya yang tidak percaya akan kematian Nabinya,
seakan mereka lupa bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia seperti mereka pula. Abu Bakar
dengan imannya yang hampir mendekati sempurna tampil sebagai pemecah kekalutan sekaligus
menebarkan ketentraman kaum muslimin saat itu dengan membacakan firman Allah SWT QS Al-Imran
(3): 144 sebagai berikut:

$tBur JptèC žwÎ) ×Aqß™u‘ ô‰s% ôMn=yz `ÏB Ï&Î#ö7s% ã@ß™” 9$# 4 û'ïÎ*sùr& |N$¨B ÷rr& Ÿ@ÏFè%
÷Läêö6n=s)R$##’n?tã öNä3Î6»s)ôãr& 4 `tBur ó=Î=s)Ztƒ 4’n?tã Ïmø‹t6É)tã `n=sù §ŽÛØtƒ ©!$# $\«ø‹x© 3
“Ì“ôfu‹y™ur ª!$# tûï̍Å6»¤±9$# ÇÊÍÍÈ

Terjemahannya:

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang
rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang
berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah
akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.[9]

Ayat itu merupakan bentuk penyadaran yang dilakukan Abu Bakar untuk menghilangkan keragu-raguan
atas wafatnya Rasulullah SAW. Abu Bakar nampaknya sangat memahami kondisi spritual kaum muslimin
saat itu terutama para sahabat. Sehingga pendekatan retorika yang digunakan adalah pendekatan nash
Al-Qur’an, apalagi pendekatan ditopang oleh pengetahuan para sahabat tentang Al-Qur’an dan hadis
sebagai pedoman hidup umat Islam.

Setelah Abu Bakar melantunkan ayat tersebut, Umar Ibn Khattab pun tersungkur dan menyadari
kekeliruannya ternyata Muhammad saw adalah sama dengan Nabi-nabi sebelumnya yang mempunyai
hak kematiannya. Demikian juga dengan para sahabat yang lain seperti Ibn Abbas yang tersentak
kesadarannya jika ayat itu pernah diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.[10]

Kesadaran para sahabat atas wafatnya Nabi Muhammad SAW tidak menyebabkan mereka terlalu larut
dalam kedukaan. Mereka pun menyadari bahwa saat ini tidak ada lagi wahyu yang akan turun dan tidak
ada lagi hadist yang terbit dari perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan yang tersisa
hanyalah iman dan menjadi harta diri yang tak ternilai harganya, bahkan kelak menjadi pemicu dan
pemacu keberhasilan perjuangan kaum muslimin dalam mengembangkan syiar agamanya.

Naluri ketergantungan pada sesuatu yang suprioritas atas dirinya mendorong kaum Anshar untuk
mengambil prakarsa pembentukan khilafah dengan menetapkan salah seorang dari mereka sebagai
khalifah atau pengganti peran Nabi SAW. Dalam mengatur Madinah dan upaya pengembangan syiar
Islam.[11]

Sungguh menarik prakarsa pembentukan khilafah justru atas inisiatif kaum Anshar yang terdiri dari suku
Aus dan Khazraj merupakan penduduk asli Madinah.[12]Kondisi demikian disebabkan oleh dua faktor,
yaitu pertama, kaum Anshar adalah penduduk asli Madinah yang banyak menolong Nabi SAW. Dan kaum
muslimin dari Mekkah. Sedangkan faktor kedua adalah sense of crisis(kepekaan terhadap Krisis) yang
dimiliki kaum Anshar dalam menyikapi kevakuman kepemimpinan. Kaum Anshar nampaknya menyadari
sepenuhnya bahaya dari sebuah kevakuman yaitu hilangnnya kontrol atau kendali atas pengaruh syiar
Islam pada diri kaum muslimin yang terbesar didalam berbagai suku di kota Mekkah, Madinah dan
sebagian kecilnya Jazirah Arab.

Ketika kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah terjadi perdebatan tentang calon
khalifah. Masing-masing mengajukan argumentasinya tentang siapa yang layak sebagai khalifah.

Selanjutnya Abu Bakar menawarkan pola dualisme kepemimpinan sekedar mewujudkan keadilan di
antara keduanya dan demi menjaga persatuan umat Islam. Semula pendapat ini diterima oleh kaum
Anshar, namun Umar bin Khattab tidak menyetujui adanya dualisme kepemimpinan di kalangan suku
Arab, karena Nabinya bukan berasal dari kaum Anshar. Pendapat Umar bin Khattab mendapat
perlawanan keras dari al-Hubab bin al-Munzir bin al-Jamur (kaum Anshar), dan sempat terjadi
perkelahian kecil diantara keduanya.[13]Di tengah perdebatan tersebut, Abu Bakar mengajukan dua
calon yaitu Abu Ubaidah bin Jahrah dan Umar bin Khattab. Pengajuan dua calon ternyata menimbulkan
kegaduhan dan perselisihan karena diantara keduanya terdapat perbedaan kualitas, terutama
menyangkut wibawa dan kedudukan.

Tetapi Umar bin Khattab tidak membiarkan perselisihan itu terus terjadi, maka dengan suaranya yang
lantang beliau membaiat Abu Bakar sebagai khalifah yang diikuti oleh Abu Ubaidah. Kemudian proses
pembaitan terus berlanjut seperti yang dilakukan oleh Basyir bin Sa’ad beserta pengikutnya dan kaum
muslimin dari suku Aus.[14]

Proses pembaitan Abu Bakar sebagai khalifah ternyata tidak sepenuhnya mulus karena ada beberapa
orang yang belum memberikan ikrar seperti Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Muthalib, Fadl bin al-
Abbas, Zubair bin al-Awwam bin al-As, Khalid bin Sa’id, Miqdad bin Amir, Salman al-farisi, Abu Zar al-
Gifari, Ammar bin Yasir, Bara’bin Azib dan Ubai bin Ka’ab. Telah terjadi pertemuan sebagian kecil kaum
Anshar dengan Ali bin Abi Thalib di rumah Fatimah mereka bermaksud membaiat Ali, dengan anggapan
Ali lebih patut menjadi khalifah karena Ali berasal dari Bani Hasyim yang berarti AhlulbaitRasulullah saw.
[15]

Keengganan Ali bin Abi Thalib serta kemungkinan adanya segelintir kaum Muhajirin dari Bani Hasyim
ditepis sebagian ahli sejarah dengan kesaksian Sa’ad bin Zaid tentang tidak adanya orang yang tertinggal
dalam proses pembaitan Abu Bakar sebagai khalifah.[16]

Setelah Abu Bakat terpilih menjadi khalifah, Abu Bakar kemudian menyampaikan pidato yang memuat
pernyataan antara, bahwa :
1. Dia mengakui[17]bahwa dirinya bukanlah orang terbaik.

2. Dia harus dibantu hanya selama dirinya berbuat baik dan harus diluruskan bila dia berbuat tidak
baik (in asa'tu).

3. Dia akan memberikan hak setiap orang tanpa membedakan yang kuat dengan yang lemah.

4. Ketaatan kepadanya tergantung pada ketaatannya kepada Allah.

Dijumpai fenomena menarik dari proses pembaitan Abu Bakar, bahwa isu menjaga persatuan dan
menghindarkan perpecahan di kalangan umat Islam saat itu menjadi argumentasi Abu Bakar untuk
meyakinkan kekhalifahannya. Argumentasi ini cukup efektif karena kondisi sosial umat Islam saat itu di
ambang krisis persatuan. Hal itu ditandai dengan munculnya orang-orang murtad, keengganan sejumlah
suku membayar zakat dan pajak.

B. Perkembangan Islam Sebagai Kekuatan Politik

Masa kakhalifahan Abu Bakar merupakan masa kritis perjalanan syiar Islam karena dihadapkan sejumlah
masalah seperti ridatatau kemurtadan dan ketidaksetiaan. Beberapa anggota suku muslim menolak
untuk membayar zakat kepada khalifah untuk Baitul Mal (perbendaharaan publik). Kemudian masalah
berikutnya adalah munculnya beberapa kafir yang menyatakan dirinya sebagai Nabi, serta sejumlah
pemberontakan-pemberontakan kecil yang merupakan bibit-bibit perpecahan.[18]

Semasa hidupnya, Rasulullah saw pernah mengirimkan satu ekspedisi ke Syria di bawah pimpinan
Usamah bin Zaid, putera dari Zaid bin Harits ra yang gugur pada perang Mut’ah di tahun 8 Hijriah.
Pengiriman ekspedisi ini sempat diusulkan para sahabat untuk ditarik kembali ke Madinah guna
membantu mengatasi masalah dalam negeri seperti memerangi orang-orang murtad, orang-orang yang
enggan membayar zakat dan memadamkan pemberontakan-pemberontakan kecil.

Namun usulan ini ditolak dengan tegas oleh Abu bakar karena pengiriman ekspedisi ini merupakan
amanah dari Rasulullah saw. Sikap tegas yang ditunjukkan oleh Abu Bakar kelak membuahkan hikmah
tersendiri bagi usaha penyelesaian konflik sosial di dalam negeri.

Selama 40 hari berperang melawan orang-orang Romawi di Syria, akhirnya ekspedisi usamah meraih
kemenangan. Keberhasilan ini menimbulkan opini positif bahwa Islam tetap jaya, tidak akan hilang
seiring dengan wafatnya Rasulullah saw. Akhirnya satu persatu suku-suku yang semula meninggalkan
Islam kembali memeluk Islam dan loyal terhadap kekhalifahan Abu Bakar al-Shiddiq.

Kini persoalan dalam negeri yang terakhir dan perlu segera dipadamkan adalah pemberontakan yang
digerakkan oleh nabi-nabi palsu seperti Aswad ‘Ansi dari Yaman, Tsulaiha dari suku bani Asad di Arab
Utara, Sajah binti al Harits di Suwaid,dan Musailamah al-Kadzdzab, anggota suku Arab Tengah.

Abu Bakar mengirim Khalid bin Walid ra untuk manumpas pemberontakan-pemberontakan tersebut dan
berhasil memadamkannya. Demikian juga terhadap gerakan kemurtadan dan suku-suku yang enggan
membayar zakat dapat diselesaikan dengan baik oleh Abu Bakar melalui perantaraan panglima
perangnya, Khalid bin Walid ra.

Setelah permasalahan besar dalam negeri dapat diatasi dengan baik, abu Bakar memfokuskan pada
kebijakan luar negeri yakni menyelamatnya suku-suku Arab dari penganiayaan pemerintahan Persia.
Untuk misi ini, Abu bakar kembali mengirimkan Khalid bin Walid ra dengan pasukannya ke Iraq dan
akhirnya bertempur dengan tentara Persia di Hafir, pada tahun 12 H (633 M).[19]

Pada 15 Dzulqa’idah 12 H, Khalid bin Walid ra, mengalahkan musuhnya secara total dan menduduki
seluruh Iraq Selatan. Ekspedisi berikutnya adalah ke Syria membantu perjuangan Usamah bin Zaid untuk
mengamankan daerah perbatasan dari serangan orang-orang Romawi. Karena perbatasan merupakan
jalur-jalur perdagangan bangsa Arab.

Sekitar bulan Rabi’uts-Tsani 13 H yang bertepatan dengan 31 Juli 634 M. Akhirnya kekaisaran Romawi
dapat ditumbangkan melalui perang Ajnadin.[20]Padahal dari sekian banyak pertempuran-pertempuran
pasukan muslim jauh lebih kecil dari pasukan lawan. Keberhasilan pasukan muslim mengalahkan
pasukan lawan tidak terlepas dari spiritual yang tinggi kaum muslimin seperti tersirat dalam opsi yang
disampaikan Khalid bin Walid ra maupun utusan-utusan muslim lainnya kepada Kaisar Persia dan
Panglima Perang Romawi.

Apa yang dilukiskan Khalid bin Walid ra tentang kondisi mental spritual pasukan muslim memang tepat,
karena mati syahid adalah dambaan setiap muslim dengan ganjaran surga dan kekal didalamnya, apalagi
kaum muslimin saat itu yang berada dalam barisan pasukan muslim memiliki kualitas keimanan yang
tinggi dengan kesadaran akhirat yangtak tertandingi, sehingga kematian bukanlah sesuatu yang
menakutkan melainkan sesuatu yang didambakan karena yakin akan adanya hari perhitungan atas segala
amal yang diperbuat dan kehidupan akhirat setelah kehidupan di dunia ini.

Di saat kemenangan demi kemenangan diraih pasukan muslim di Ajnadin. Abu Bakar dikabarkan jatuh
sakit tepatnya pada tanggal 7 Jumadil Akhir, 13 H, dan akhirnya meninggal dunia setelah menderita sakit
selama dua minggu. Beliau meninggal dunia pada usia 61 tahun pada hari Selasa, 22 Jumadil akhir, 13 H
(23 Agustus 634 M).[21]

Meskipun Abu Bakar menjabat khalifah relatif singkat yakni dua tahun tiga bulan, beliau berhasil
membina dan mempertahankan ekstensi persatuan dan kesatuan umat Islam yang berdomisili di
berbagai suku dan bangsa. Wibawa umat Islam pun semakin terangkat dengan ditaklukannya dua
imperium terbesar dunia saat itu, yaitu Romawi dan Persia. Kedua imperium ini menjadi poros
kebudayaan dan peradaban dunia. Karena penaklukan atau peletakan kedaulatan umat Islam di kedua
imperium itu menjadi aset yang sangat berpengaruh bagi pembangunan peradaban dunia Islami. Hal itu
terbukti dengan peradaban Islam yang pernah jaya berabad-abad lamanya di Jaziarh Arab dan benua
Eropa.

Implikasi sejarah semacam ini tentu tidak teranalisis pada masa kekhalifahan Abu Bakar, karena beliau
berperang bukan dengan tujuan kekuasaan melainkan semata-mata menegakkan syariat Islam dan
menciptakan kedamaian di mana pun umat Islam berada, pekerjaan besar semacam ini tentu menguras
energi tenaga dan pikiran yang sangat besar. Usia Abu Bakar yang mencapai 60 tahun ketika dilantik
menjadi khalifah, dan kerja keras yang dilakukannya beresiko bagi kesehatan fisiknya, Abu Bakar pun
jatuh sakit dan meninggal dunia.

Prestasi lainnya adalah upaya pengumpulan Qur’an. Dari dialog Umar bin khattab dengan Abu bakar
bahwa begitu banyak para huffazQur’an yang syahid di medan pertempuran sehingga dikhawatirkan oleh
Umar dapat merusak kelestarian Qur’an itu sendiri di masa yang akan datang.

Melalui kesaksian sejumlah sahabat yang pernah mendapat pengajaran Al-Qur’an dari Rasulullah saw,
dikumpulkan dan disalin kembali oleh Zaid bin Tsabit ra atas instruksi khalifah Abu Bakar. Akhirnya
Qur’an terhimpun dalam bentuk mushaf yang dikenal dengan nama Mushaf al-Imam (Mushaf Usman).
[22]

Dari sekian prestasi yang terukir pada masa kekhalifahan Abu Bakar, maka jasa terbesar Abu Bakar yang
dapat dinikmati oleh peradaban manusia sekarang adalah usaha pengumpulan Qur’an yang kelak
melahirkan mushaf Usmani dan selanjutnya menjadi acuan dasar dalam penyalinan ayat-ayat suci Al-
Qur’an hingga menjadi kitab Al-Qur’an yang menjadi pedoman utama kehidupan umat Islam bahkan bagi
seluruh umat yang ada di permukaan bumi ini.

C. Pembentukan Khilafah Pada Masa Umar Bin Khattab

1. Umar bin Khattab

Umar lahir dari keturunan yang mulia, Ia berasal dari suku Quraisy. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah
pada leluhur mereka yang kesembilan. Pohon keturuan Umar dapat ditelusuri sebagai berikut: Umar
adalah putra Khattab, putra Nufail, putra Abd al-‘Uzza, putra Riya, putra Abdullah, putra Qarth, putra
Razah, putra ‘Adiy, putra Ka’ab, putra Lu’ay, putra Ghalib al-‘Adawi al-Quraisyi. Nasab Umar bertemu
dengan nasab Nabi Muhammad SAW pada Ka’ab. Sementara itu, ibunda Umar adalah Hantamah putri
Hasyim, putra al-Mughirah al-Makhzumiyah.[23]

Ath-Thabari meriwayatkan bahwa Umar dilahirkan di Makkah kira-kira empat tahun sebelum perang Fijar
dan dia telah tumbuh dengan sehat. Sedangkan Ibnu al-Atsir dalam Usul al-Ghabah meriwayatkan bahwa
Umar dilahirkan tiga belas tahun sesudah kelahiran Rasulullah SAW. Umar adalah figur kefasihan dalam
berbicara dan dalam balaghah, juga merupakan figur ketegasan dalam menyatakan dan membela hak.
Semasa kecil dia suka menggembala kambing milik ayahnya, kemudian aktif berdagang ke Syam. Dia
adalah seorang yang berasal dari keluarga dimana kemuliaan pada zaman jahiliah bermuara kepada
mereka, disamping sebagai duta besar bagi puaknya pada masa itu.[24]

Umar bin Khattab memeluk agama Islam pada tahun kelima dari kenabian.[25]sebelum menjadi muslim,
beliau termasuk pemimpin Quraiys yang sangat gigih menentang Islam. Oleh karena itu dengan
masuknya beliau kedalam agama Islam sangat berpengaruh terhadap kaum Quraiys. Apalagi Umar
adalah salah seorang yang disegani di kalangan kaum Quraiys.

Setelah Islam, Umar menjadi salah seorag sahabat Nabi Muhammad SAW. yang terdekat. ia digelari oleh
Nabi Muammad SAW. denganal-Faruq, artinya pembeda/pemisah. Maksudnya ,Allah telah memisahkan
dalam dirinya antara yang hak dan yan bathil. Hanya Umar yang begitu berani mengemukakan pikiran-
pikiran dan pendapatnya di hadapan NAbi SAW.[26]

Namun, sebagian kalangan mengartikan al-Faruqsebagai penjaga Rasulullah dan pencerai berai barisan
kaum kafir, musuh yang senantiasa membangkan dan melawan dakwah Rasul. Pada masa-masa awal
memeluk Islam, Umar bertanya Kepada Rasul, “wahai Rasulullah, bukankah hidup dan mati kita dalam
kebenaran?” Rasul Menjawab, “Ya, demi Allah, hidup dan mati kita dalam kebenaran.” Kemudian
kembali Umar berkata,”jika demikian mengapa kita sembunyi-sembunyi dalam mendakwakan ajaran
agama kita? Demi zat yang mengutusmu atas nama kebenaran, sudah saatnya kita keluar.[27]

Umar juga dicatat sebagai orang yan pertama kali digelari Amir al-Mu’minin-pemimpin orang beriman.
Seorang utusan dari Irak datang menghadap kepada Umar untuk memberitakan keadaan wilayah
pemerintahan Irak. Saat tiba di Madinah, utusan itu masuk ke masjid dan bertemu dengan Amr bin Ash.
Ia bertanya tentang Khalifah Umar, “wahai Amr , maukah kau mengantarku menghadpa Amirul
Mukminin?” Amr balik bertanya, “mengapa engkau memanggil Khalifah dengan Amirul Mukminin?”
utusan itu menjawab , “ya, karena Umar adalah pemimpin (amir), sementara kita adalah orang-orang
beriman (mu’minin).” Amr menilai panggilan itu sangat baik. “Demi Allah, tepat sekali engkau
mnyebutkannya.” Sejak itu, gelar Amirul Mukminin lekat pada Umar dan para khalifah sesudahnya[28].

Diantara kelebihan Umar bin Khattab ialah beliau memiliki sifat yang tegas yang ia warisi dari bapaknya,
selain itu beliau adalah seorang pemimpin yang shaleh, adil, jujur dan sederhana serta selalu
mendahulukan kepentingan dan kemaslahatan orang banyak. Karakter-karakter tersebut menjadi modal
utama beliau dalam mensukseskan politik pemerintahannya .

2. Proses Pengangkatan Umar bin Khattab

Sebelum Abu Bakar meninggal, ditunjuklah Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Menurutnya hanya
Umar bin Khattablah yang mampu untuk meneruskan tugas kepemimpinan umat Islam yang waktu itu
berada pada saat-saat yang paling menentukan dalam sejarahnya yang akan mempengaruhi keberadaan
Islam dan umatnya yang masih muda usianya, khususnya dengan banyaknya penaklukan-penaklukan
umat Islam.[29]

Sebelum Abu Bakar memutuskan untuk menetapkan Umar bin Khattab sebagai penggantinya, terlebih
dahulu beliau berkonsultasi dengan tokoh-tokoh masyarakat yang datang menjenguknya, antara lain :
Abd al-Rahman bin Auf, Usman bin Affan, Usaid bin Hudlair al-Anshary, Said bin Zaid dan lain-lain dari
kaum Muhajirin dan Anshar. Ternyata mereka tidak keberatan atas maksud Khalifah untuk mencalonkan
Umar bin Khattab sebagai penggantinya.[30]

Melihat kondisi umat Islam waktu itu, penunjukan Abu Bakar terhadap Umar sebagai penggantinya
merupakan pilihan yang sangat tepat. Umar adalah seorang yang berkharisma tinggi, dan mempunyai
sifat yang adil amat disegani terutama terhadap orang yang mengenalnya. Salah satu bukti atas besarnya
kharisma dan keadilan Umar dihadapan pengikutnya adalah kebijaksanaannya ketika memecat Khalid
bin Walid yang digelari Rasulullah saw dengan gelar pedang Allah yang amat dikagumi kawan maupun
lawan. Pemecatan itu sendiri dilakukan sewaktu umat Islam sangat membutuhkan seorang panglima
perang sehebat Khalid bin Walid. Tunduknya Khalid kepada kebijakan Umar itu menunjukkan betapa
hebatnya kharisma Umar bin Khattab di mata kaum muslimin.[31]

Umar yang namanya dalam tradisi Islam adalah yang terbesar pada masa awal Islam setelah
Muhammad SAW. telah menjadi idola para penulis Islam karena keshalehan, keadilan dan
kesederhanaannya. Mereka juga mengannggapnya sebagai personifikasi semua nilai yang harus dimiliki
oleh seorang khalifah. Wataknya yang yang terpuji menjadi teladan bagi para penerusnya.[32]

Para ilmuwan Barat pun mengakui ketokohan Umar bin Khattab dalam panggung sejarah Islam. Michael
H. Hart menempatkannya pada urutan ke-51 dari seratus tokoh yang dianggap sangat berpengaruh di
dunia.[33]

Meskipun pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah merupakan fenomena yang baru yang
menyerupai penobatan putra mahkota, tetapi harus dicatat bahwa proses peralihan kepemimpinan
tersebut tetap dalam bentuk musyawarah yang tidak memakai sistem otoriter. Sebab Abu Bakar tetap
meminta pendapat dan persetujuan dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar.

D. Perkembangan Islam Sebagai Kekuatan Politik

Setelah Abu Bakar menyelesaikan tugas kekhalifaannya dan menyusul kepergian Rasulullah SAW.
Kehadirat Allah SWT. Umar meneruskan langkah-langkahnya untuk membangun kedaulatan Islam sampai
berdiri tegak. Kemampuannya dalam melaksanakan pembangunan ditandai dengan keberhasilannya
diberbagai bidang.

Pemerintahan dibawah kepemimpinan Umar dilandasi prinsip-prinsip musyawarah. Untuk melaksanakan


prinsip musyawarah itu dalam pemerintahannya, Umar senantiasa mengumpulkan para sahabat yang
terpandang dan utama dalam memutuskan sesuatu bagi kepentingan masyarakat. Karena pemikiran dan
pendapat mereka sangat menentukan bagi perkembangan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan.
Umar menempatkan mereka dalam kedudukan yang lebih tinggi dari semua pejabat negara lainnya. Hal
ini tidak lain karena dilandasi rasa tanggung jawab kepada Allah SWT.[34]

Di zaman Umar gelombang ekspansi secara besar-besaran pertama terjadi, ibukota Syiria,
Damaskus ditaklukkan dan setahun kemudian (636 M), setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran
Yarmuk, seluruh daerah Syiriah jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syiria sebagai basis,
ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan Amr bin Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa’ad bin
Abi Waqash. Iskandaria ditaklukkan pada tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh di bawah
kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah ibukota dekat Hirah di Irak, ditaklukkan pada tahun 637 M, dari
sana serangan dilanjutkan ke ibukota Persia, al-Madain ditaklukkan pada tahun itu juga. Pada tahun 641
M, Musol dapat dikuasai. Pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab ra, wilayah kekuasaan Islam sudah
meliputi jazirah Arabiah, Palestina, Syiriah, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir.[35]

Umar mengajak dunia memeluk Islam dengan ajakan yang baik dan penuh hikmah. Setelah pasukan
muslim menaklukkan Persia, Umar berwasiat kepada Sa’ad ibn Abi Waqash, ”kuperintahkan engkau
untuk mengajak mereka memeluk Islam; ajakla mereka dengan cara yang baik, sebelum memulai
pertempuran. Umar juga berwasiat kepada para pemimpin pasukan agar tidak memaksa penduduk
setempat untuk mengganti agama mereka dengan Islam. Umar justru berwasiat agar umat Islam dapat
memuliakan mereka dan tidak mengganggu praktik-praktik ibadah mereka.[36]

Seiring dengan berkembang dan meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa Khalifah Umar bin
Khattab mengharuskan ia mengatur adminstrasi pemerintahannya dengan cermat. Dalam sejarah umat
Islam, Umar bin Khattab dipandang sebagai Khalifah yang cukup berhasil mengembangkan dan
mewujudkan tata pemerintahan dan sistem adminstrasi kenegaraan yang baik. Baik dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan, politik, hukum maupun ekonomi.

Adapun sistem yang beliau terapkan dalam keihidupan sosial kemasyarakatan ialah menerapakan
perlunya menghargai hak-hak individu dalam kehidupan masyarakat. Hal itu tampak pada masyarakat
yang ditaklukkannya. Beliau memberikan kelonggaran dalam menjalankan ibadah menurut ajaran
agamanya masing-masing.

Dalam bidang pemerintahan, kemasyarakatan dan kenegaraan, Umar menyelesaikan tiap permasalahan
yang dihadapi tidak cukup dengan pengamatan fisik semata-mata. Semua diselesaikan dengan peelitian
yang cermat, teliti dan seksama. Kebijakan ini diberlakukan ke seluruh wilayah yang menjadi tanggung
jawab kekhalifaannya. [37]

Lebih jauh lagi, Umar berhasil menghapuskan sistem feodal Roma yang diterapkan di Suria, dan
kemudian membagi-bagikan tanah di situ kepada penggarap yang asli, yang memang penduduk
Suriah[38]

Wilayah kekuasaan yang sangat luas itu mendorong Umar untuk segera mengatur administrasi negara.
Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi, yaitu: Mekah, Madinah, Syiriah,
Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir, dan yang menjadi pusat pemerintahannya adalah Madinah.
Sehingga dapat dikatakan bahwa Umar bin Khatab telah menciptakan sistem desentralisasi dalam
pemerintahan Islam.[39]

Sejak pemerintahan Umar, telah dilengkapi adminstrasi pemerintahan dengan beberapa jawatan yang
diperlukan sesuai dengan perkembangan negara pada waktu itu. Jawatan-jawatan penting itu antara lain
adalah; Dewan al-Kharaj (jawatan pajak) yang mengelolah adminstrasi pajak tanah di daerah-daerah
yang telah ditaklukkan. Dewan al-Hadts (jawatan kepolisian) yang berfungsi untuk memelihara
ketertiban dan menindak pelanggar-pelanggar hukum yang nantinya akan diadili oleh qadhi. Beliau juga
telah merintis jawatan pekerjaan umum (Nazarat al-Nafiah), Jawatan ini bertangung jawab atas
pembangunan dan pemeliharaan gedung-gedung pemerintah, saluran-saluran irigasi, jalan-jalan, rumah-
rumah sakit dan sebagainya.[40]

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar juga telah didirikan pengadilan, untuk memisahkan antara
kekuasaan eksekutif dan yudikatif yang pada pemerintahan Abu Bakar, khalifah dan para pejabat
adminstratif merangkap jabatan sebagai qadhi atau hakim. Awalnya konsep rangkap jabatan trersebut
juga diadopsi pemerintahan Umar. Tetapi, seiring dengan perkembangan keukasaan kaum muslimin,
dibutuhkan mekanisme administraif yang mendukung terselenggaranya sistem pemerintahan yang
baik[41].

Setidaknya ada 3 faktor penting yang ikut andil mempengaruhi kebijakan-kebijakan umar dalam bidang
hukum yaitu militer, ekonomi dan demografis (multi suku)

1. faktor militer

Penaklukan besar-besaran pada masa pemerintahan Umar adalah fakta yang tak dapat difungkiri. Beliau
menaklukan Irak, Syiria, Mesir, Armenia dan daerah-daerah yang ada di bawah kekuasaan Romawi dan
Persia.[42]Untuk mewujudkan dan menyiapkan pasukan profesional, Umar menciptakan suatu sistem
militer yang tidak pernah dikenal sebelumnya yaitu seluruh personil militer harus terdaptar dalam buku
catatan negara dan mendapat tunjangan sesuai dengan pangkatnya. Pembentukan militer secara resmi
menuntut untuk melakukan mekanimisme baru yang sesuai dengan aturan-aturan militer.

1. faktor ekonomi

Dengan semakin luasnya daerah kekuasaan Islam, tentu membawa dampak pada pendapatan negara.
Sumber-sumber ekonomi mengalir ke dalam kas negara, mulai dari kharaj (pajak tanah), jizyah (pajak
perlindungan), ghanimah (harta rampasan perang), Fai’ (harta peninggalan jahiliyah), tak ketinggalan
pula zakat dan harta warisan yang tak terbagi[43]. Penerimaan negara yang semakin bertumpuk,
mendorong Umar untuk merevisi kebijakan khalifah sebelumnya (Abu Bakar). Umar menetapkan
tunjangan yang berbeda dan bertingkat kepada para rakyat sesuai dengan kedudukan sosial dan
kontribusinya terhadap Islam. Padahal sebelumnya, tunjangan diberikan dalam porsi yang sama.

2. faktor demografis

Faktor ini juga sangat berpengaruh pada kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Umar. Jumlah warga
Islam non-Arab semakin besar setelah terjadi penaklukan sehingga kelompok sosial dalam komunitas
Islam semakin beragam dan kompleks sehingga terjadi asimilasi antara kelompok. Terlebih lagi setelah
kota Kufah dijadikan sebagai kota pertemuan antarsuku baik dari utara maupun selatan. Perbauran inilah
yang membawa pada perkenalan institusi baru.

Dari uraian faktor-faktor yang ikut andil mempengaruhi kebijakan-kebijakan Umar di atas, dapat
dipahami dan disimpulkan bahwa metodologi Umar dalam menetapkan hukum dipengaruhi oleh dua
sikap yaitu beradaptasi dengan kemajuan zaman dengan kreatif dan berorientasi pada sejarah secara
kontekstual

Beberapa Kasus Penetapan Hukum Umar

1. Kasus Mauallaf

Dalam surah Taubah ayat 60, Allah telah menjelaskan bahwa ada delapan kelompok yang berhak
menerima zakat. Diantaranya adalah muallaf yaitu orang yang masih lemah imannya, agar mereka tetap
memeluk Islam dan orang yang dibujuk hatinya agar bergabung dengan Islam atau menahan diri untuk
tidak mengganggu umat Islam. Namun pada masa pemerintahan Umar, orang-orang kafir tidak lagi
mendapatkan zakat sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah dan Abu Bakar dengan alasan
bahwa kondisi umat Islam pada masanya telah kuat dan stabilitas pemerintahan sudah mantap.

Menurut Umar, muallaf dari kelompok kafir hanya berhak menerima zakat di kala Islam masih lemah,
akan tetapi jika alasan itu sudah tidak ada (Islam sudah kuat) maka mereka tidak berhak lagi. Keputusan
Umar ini berdasarkan penalaran ijtihad tahqiq al-manath (memperjelas dan merealisasikan alasan
hukum syariat) yang tidak bersentuhan langsung dengan teks.[44]Keputusan ijtihad Umar tidaklah
bertentangan dengan nash al-Qu’ran dan tidak menggugurkan hukum muallaf dari kelompok penerima
zakat, melainkan hanya merupakan penerapan hukum untuk suatu kondisi dan pada saat tertentu karena
ada maslahah yang perlu dicapai. Sedangkan muallaf dari golongan Islam tetap mendapatkan zakat.[45]

2. Kasus potong tangan bagi pencuri

Dalam hukum Islam, pencurian yang dilakukan oleh seseorang akan dihukum dengan hukuman potong
tangan.[46]Namun terkadang sebagian umat Islam tidak memahami model-model pencurian yang
mendapat hukuman potong tangan, bahkan terkadang arogan untuk menvonis semua pencuri dihukum
dengan hukuman potong tangan, sehingga menimbulkan imej bahwa hukum Islam itu tidak manusiawi.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Umar pernah tidak memberlakukan hukum potong tangan
terhadap pencurian di kala umat Islam terbelit krisis ekonomi. Umar tidak menentang hukum potong
tangan akan tetapi memperketat kriteria seorang pencuri dijatuhi hukuman yang sangat berat ini.

Oleh karena itu, kasus pencurian perlu difahami dan diteliti secara menyeluruh, bukan saja menyangkut
objek, materi curian akan tetapi juga memahami penyebab terjadinya kejahatan itu sendiri dan sudah
barang tentu pelakunya. Pada akhirnya hukuman potong tangan tidak semudah yang dipahami oleh
sebagian umat Islam saat ini, sehingga tidaklah layak mengatakan bahwa Islam tidak mengenal HAM.
Dan sangat perlu diingat bahwa menjaga keamanan masyarakat itu lebih penting, meskipun dengan cara
mengorbankan seseorang yang sudah menjadi sampah masyarakat.

3. Kasus ghanimah

Sejarah Islam telah menjelaskan kepada umat Islam bahwa harta yang dihasilkan dari kontak senjata
dengan non-Islam, seperlimanya dialokasikan sesuai ketentuan yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an.
[47]Sedang empat perlima dibagikan kepada pasukan yang ikut dalam peperangan. Namun Umar yang
menjadi khalifah kedua tidak memberlakukan hukum di atas dengan berbagai pertimbangan.

Pertimbangan Umar dapat disimpulkan dari sidang musyawarah yang diadakan oleh beliau dengan para
sahabat-sahabatnya sebagai berikut:

a. Penaklukkan tidak selamanya terjadi terus menerus dan penghasilan negara Islam tentunya akan
berkurang.

b. Menjaga ekonomi dan keuangan negara


c. Kecenderungan umat Islam untuk berperang bukan lagi atas dasar kejayaan Islam akan tetapi
karena harta rampasan.

d. Belanja negara yang semakin besar dan membengkak seperti biaya operasional penjaga perbatasan
dan perlengkapan militer serta santunan janda-janda dan anak-anak.[48]

Pemaparan dan penjelasan berikut contoh-contoh keputusan Umar yang tertera di atas dapat dijadikan
sebagai pertimbangan dalam memahami teks-teks al-Qur’an dan Sunnah sekaligus dijadikan sebagai
metode dalam mencetuskan hukum. Beberapa point penting yang terkait dengan alasan perubahan
hukum yang dilakukan oleh Umar sebagai berikut :

a. Memperhatikan dan mengkaji alasan hukum (illat al-ahkam)

b. Hikmah dan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat

c. Perkembangan masyarakat yang terus berkembang dan berubah

d. Kondisi kehidupan masyarakat

Selain membentuk lembaga peradilan negara dalam upaya penegakan hukum, Umar juga membentuk
lembaga-lembaga negara lain, guna menunjang tugas-tugas pemerintahan. lembaga-lembaga yang
dibentuk itu antara lain Lembaga Pendaftaran dan pencatatan penduduk yang bertugas melakukan
sensus penduduk. Sebuah lembaga yang pernah ada sebelumnya. Disamping itu Umar juga membentuk
Dinas (kantor) pos, Kas Negara (baitul mall), percetakan negara yang bertugas untuk mencetak uang
resmi pemerintah, lembaga-lembaga pemasyarakatan, dan markas-markas tentara. Lembaga-lembaga
tersebut tersebar disetiap wilayah dan ditangani oleh orang-orang atau penduduk setempat.[49]

Dalam pemerintahan Umar seluruh pejabat dan pegawai pemerintahan harus mampu melaksnakan
tugas dengan baik, karena Umar juga menggunakan petugas intelejen untuk mengawasi mereka, serta
selalu mencari keterangan tentang kemungkinan penyalahgunaan wewenang atau tindakan yang tidak
adil terhadap penduduk.[50]

Umar adalah seorang khalifah yang bersikap keras dan tegas kepada kepada para gubernurnya
(pembantunya). Dia begitu khawatir mereka akan bertindak dengan tindakan yang akan membuat rakyat
takut kepada mereka, mau menghinakan diri dan dengan demikian berarti mereka telah dididik menjadi
pengecut dan berkarakter tidak baik. Untuk itu ia selalu membuka diri untuk menerima berbagai keluhan
dari para pembantunya, lalu hal tersebut disampaikan kepada masyarakat luas dalam khutbanya.[51]

Dan hal yang paling penting juga bahwa pada masa pemerintahan Umar bin Khattab penetapan kalender
Hijriah dimulai sebagai kalender Islam, dengan peristiwa hijrah sebagai titik awal penghitungan sistem
kalender dalam Islam.

Khalifah Umar bin Khattab memerintah selama 10 tahun (13-23 H/634-644 M), beliau dibunuh oleh
seorang budak dari Persia bernama Abu Lu’luah.[52] Tidak diketahui latar belakang dan tujuan utama
pembunuhan itu. Tetapi para ahli sejarah mengatakan, bahwa terdapat permusuhan yang meningkat
antara bangsa Persia dengan Khalifah Umar bin Khattab. Permusuhan itu antara lain disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya:

1. Dimasa Umar negara Persia dibuka oleh Islam dan bangsa Arab masuk ke daerah itu. Kemungkinan
hal itu dianggap bangsa Persia sebagai penjajahan, sedangkan Persia adalah satu negara besar yang tidak
pernah dijajah atau ditundukkan oleh siapapun.

2. Banyak pembesar Persia seperti raja, menteri-menteri dan lain-lainnya yang kehilangan jabatan. Hal
ini menimbulkan rasa kesal dan tidak puas, apalagi sebelumnya kekuasaan

BAB III

PENUTUP

Pemerintahan Abu Bakar punya jati diri sendiri serta pembentukannya yang sempurna, mencakup
kebesaran jiwa yang sungguh luar biasa, bahkan sangat menakjubkan. Kita sudah melihat betapa
tingginya kesadaran Abu Bakar terhadap prinsip-prinsip yang berpedoman pada Al-Qur'an sehingga ia
dapat memastikan untuk menanamkan pada dirinya batas antara kebenaran untuk kebenaran dengan
kebohongan untuk kebenaran.

Prinsip-prinsip dalam Islam, dilukiskan Abu Bakar dengan mendorong kaum Muslimin memerangi orang-
orang yang ingin menghancurkan Islam seperti halnya orang-orang murtad, orang-orang yang enggan
membayar zakat, dan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai nabi. Oleh karena itu Abu Bakar
melaksanakan perang Riddah untuk menyelamatkan Islam dari kehancuran.

Perjuangan Abu Bakar tidak hanya sampai di situ, ia juga melakukan berbagai peperangan demi
kemajuan Islam. Bahkan ia tidak hanya mengorbankan jiwanya, hartanya pun ia korbankan demi Islam.
Sampai pada akhir menjelang wafatnya pun peperangan belum terselesaikan, akan tetapi ia sempat
memilih Umar bin Khatab sebagai penggantinya dengan meminta persetujuan dari kalangan para
sahabat.

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab sebagai Khalifah, Islam sudah semakin memperluas wilayah
kekuasaannya. Keberhasilan yang dicapai di masa pemerintahan Umar bin Khattab, banyak ditentukan
oleh berbagai kebijakan dalam mengatur dan menerapkan sistem pemerintahannya. Kualitas pribadi dan
seperangkat pendukung lainnya, tentu juga memiliki andil yang besar dalam pemerintahan Umar bin
Khattab.

Demikianlah makalah yang saya susun dengan menganalisa dari berbagai sumber kepustakaan yang
sudah saya pelajari. Saya sadar masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Hal ini dikarenakan
minimnya buku referensi yang saya pelajari, serta keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang saya
miliki. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan guna perbaikan dalam
penyusunan berikutnya.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya pribadi khususnya dan bagi
khalayak pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Abul A’la al- Maududi,Khilafah dan kerajaaan,Bandung: Litera antar Nusa,1997

Abiyan, Amir, Drs., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Departemen Agama RI 1990.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.

Fachrudin, Fuad Mohd. Dr., Perkembangan Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985.

Irfan Mahmud Ra’anah, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar bin Khattab, Pustaka firdaus, 1990,

Haekal, Muhammad Husein, Biografi Abu Bakar As Siddiq, Jakarta: Litera Antar Nusa, 1995.

Salihima,Syamsuez Kebijakan Umar bin Khattab Dalam Pemerintahan Makassar: Yayasan Pendidikan,
2005

Sunanto Musyrifah,Sejarah Islam Klasik ,Bogor: Kencana,2003

Syalabi, A, Prof. Dr. Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1990.

Umam, Chatibul, H, Prof. DR., Sejarah Kebudayaan Islam, Kudus: Menara Kudus.2003.

Yatim, Badri, Dr. M. A, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Hoesan Oemar Amin,kultur Islam,Jakarta: Bulan Bintang,1994

[1] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I, (Cet I;Jakarta: PT Ichtiar van Hoeve, 1997), h.
37

[2] Ibib, h. 38

[3]Lihat Ahmad Syalaby, Mausu’ah al-Tarikh al-Islamiy wa al-Hadarah al-Islamiyah, Jilid I (Cet. VIII; al-
Qahirah: Maktabah al-Nahdah, 1978), h. 380.

[4]Lihat Majid Ali Khan, The Pious Caliphs, diterjemahkan oleh Joko S. Abd. Kahhar dengan judul Sisi
Hidup para Kahlifah Saleh (Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 17-18

[5]Lihat K. Ali, A Study of Islamic History, diterjemahkan oleh Gufran A. Mas’adi dengan Judul sejarah
Islam Mulai dari Awal Hingga Runtuhnya Dinasti Usmani: Tarikh Pra Modern (Cet. I; Jakarta: Raja
Grapindo Persada, 1997), h. 89.

[6]Lihat Ahmad Syalabiy, loc. Cit.

[7]Lihat K. Ali, Loc. cit


[8]Lihat Majid Ali khan,Op. Cit., h. 20.

[9]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989) h. 215.

[10]Syaikh Shafiyur Rahman al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq al-Makhtum Bahtrun fi as-Sirah an-Nabawiyah ‘ala
Shahibiha afdhal as-Shalat was-Salam, diterjemahkan oleh Rahmat dengan Judul Sirah Nabawiyah (Cet.
1; Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 718.

[11]Dalam definisi khalifah yang dikemukakan Majid Ali khan bahwa sejauh menyangkut kekuasaan yang
didelegasikan terhadap Hukum, dia adalah seorang khalifah, seorang pengganti atau wakil dari
Rasulullah SAW yang merupakan “wakil Raja sesungguhnya”, Allah SWT di bumi, dan sejauh menyangkut
eksekusi (pelaksanaan) terhadap hukum, dia adalah Amir atau Imam, yakni pemimpin kaum Muslim
pada masanya.

[12]Ibn Hisyam, Al-Sirah Al-Nabawiah, (Jilid IV; Dar Al Jil, 1987), h. 225.

[13]Abu Ja’far Ibn Jarir Al-Tabari, Tarikh al Umam Wa Mulk, (Jilid, III; Kairo: Dar AlFikr, 1979), h. 208.

[14]Ibn. Hisyam, op.cit., h.228.

[15]Muhammad Husain Haekal, As-Siddiq Abu Bakr, diterjemahkan oleh Ali Audah dengan Judul Abu
Bakar as-Siddiq (Sebuah Biografi) (Cet. II; Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), h.48.

[16]Ibid., h.51.

[17]Lahmuddin Nasution, Penerapan Syariat Islam Pada Masa Khulafa` Ar-Rasyidin. Fosting Blog Internet
pada tanggal , 29 Jun 2006.

[18]Syaikh Muhammad Yusuf al-Kandahlawy, Mukhtashar Hayatush-Shahabat, diterjemahkan oleh


Kathur Suhardi dengan judul Sirah Shahabat (Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), h. 153.

[19]Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaurrasyidin, (Cet. 1: jakarta: Bulan Bintang, 1979), h.24.

[20]Ibid., h. 117.

[21]Majid Ali khan, op cit., h.51.

[22]Muhammad Husain Haekal, op.cit.,h. 341.

[23] Musthafa Murad, Umar ibn al-Khattab, terj. Ahmad Ginanjar Sya’ban dan Lulu M.Sunman, Kisah
Hidup Umar Bin Khattab (Cet. I; Jakarta: Zaman, 2009), h.15

[24]Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islam as siyasi wa ats tsaqafi wa al Ijtima, terj. H.A. Bahauddin,
Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Cet. I; Jakarta: Kalam Mulia , 2001), h. 402

[25] Ibid., h. 402


[26]Dewan Redaksi Insiklopedi Islam dalamEnsklopedi Isla: Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid V (jakarta : 1994)

[27] Musthafa Murad, op.cit., h. 15-16

[28] Ibid., h.17

[29]Yunus Ali al-Muhdhar, Kehidupan Nabi Muhammad SAW dan Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib,
(Semarang: Asy-Syifa, 1992), h. 554

[30] Tim Penyusun Textbook Sejarah dan Kebudayaan Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Departemen Agama RI, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid I (Ujungpandang:IAIN Alauddin,
1982), h. 53

[31]Kisah pemecatan Khalid bin Walid lebih jelasnya dapat dilihat pada tulisan Abbad Mahmud Aqqad
dalam kitabnya Abqariayh Umar .

[32]Philip K. Hitti, History of The Arab, terj. R.CecepLukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, edisi revisi
(Cet.I ; Jakarta: Serambi Limu Semsta, 2008), h. 218-219.

[33]Michael H. Hurt, The 100, A Ranking of The Most Influencial Persons in History, terj. Mahbub Junaidi
dengan judul Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, (Cet. V; Jakarta: Pustaka Jaya, 1983),
h. 264

[34] Abbas Mahmud Aqqad, Abqariyah Umar, terj. Abdulkadir Mahdamy, Menyusuri Jejak Manusia
Pilihan,Umar bin Khattab ,( Cet I; Solo:Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), h. 101

[35]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid. I, (Cet. V; Jakarta: UI Press, 1985), h. 58

[36] Musthafa Murad, op.cit., h. 140.

[37] Abbas Mahmud, op.cit.,h. 123.

[38] Muhammad A. al-Buraey, Administrative Development: an Islamic perspektif, trj. Achmad Nashir
Budiman, Islam : Landasan Alternatif Adminstrasi Pembangunan (Cet. I; Jakarta:CV. Rajawali, 1986), h.
263

[39] Sulaiman Muhammad al-Thamawy, Umar bin Khattab. (Cet.II; Cairo,t.p.,1996), h.234

[40] Tim Penyusun Textbook Sejarah dan Kebudayaan Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Departemen Agama RI op.cit., h. 77

[41]Musthafa Murad, op.cit., h. 145.

[42] Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin al-Khattab, (Jakarta, Rajawali, 1991) h. 127

[43] Amir Syarufuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad,(Ciputat, Ciputat Press, 2005) h. 145-156

[44] Amiur Nuruddin, op.cit., h. 138


[45]Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, (Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1998) h. 44

[46]Lihat surah al-Maidah ayat 38

[47] Surah al-Anfal ayat 41

[48]Amiur Nuruddin, op.cit., h. 161

[49]Abbas Mamud Aqqad, Abqariyah Umar, op.cit,h. 125

[50] Muhammad A. al-Buraey, op.cit., h. 261

[51] Ibid.,h. 471

[52]Fuad Mohd. Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam, (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h.
22

KURA-KURA KELANA di 14.01

Das könnte Ihnen auch gefallen