Sie sind auf Seite 1von 18

BAB III.

PEMBAHASAN

Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan protozoa, genus plasmodium dan hidup
intrasel.(4). Malaria serebral adalah malaria dengan penurunan kesadaran, berupa apatis, disorientasi,
somnolen, stupor, sopor, koma yang dapat terjadi secara perlahan dalam beberapa hari atau mendadak
dalam waktu hanya 1-2 jam, yang sering kali disertai kejang (terutama terjadi pada anak). Penurunan
kesadaran ini selain karena kelainan neurologis, tetapi juga dapat diperberat karena gangguan
metabolism, seperti asidosis, hipoglikemi, yang berarti gangguan ini dapat terjadi karena beberapa
proses patologis.(4,6,12)

Malaria serebral adalah suatu perkembangan menjadi ensefalopati yang cepat, tapi masih
banyak perubahan patologik yang belum jelas dimengerti.(8)

Etiologi

Penyebab malaria serebral adalah akibat sumbatan pembuluh darah kapiler di otak karena
menurunnya aliran darah efektif dan adanya hemolisa sel darah.(6)

Beberapa factor dapat menjadi predisposisi malaria serebral seperti usia tua, kehamilan, terutama
primigravida dengan kehamilan pada paruh kedua, pasien imunosupresi menggunakan steroid, obat-
obat anti kanker, atau obat imunosupresan, pasien dengan imunokompremise disertai tuberculosis atau
kanker stadium lanjut, splenektomi, pernah terpapar malaria sebelumnya (non-imun) atau menurunnya
imunitas.(9)

Insidens

Di Sulawesi utara khususnya minahasa merupakan daerah endemic dan didaerah ini ditemukan
komplikasi malaria serebral berkisar antara 3,8-6,4%.(9)

Pada penelitian analisa retrospektif dari tahun 1988-2002 di RS Bethesda Sulawesi utara,
didapatkan 381 kasus malaria berat dengan jumlah kematian 87 kasus (22,8%). Malaria serebral
merupakan salah satu manifestasi malaria berat yang terjadi pada 20% kasus malaria berat.(5)

Pathogenesis
Gambar. Daur hidup parasit malaria dalam tubuh manusia.(10)

Gambar daur hidup plasmodium malaria pada tubuh nyamuk dan manusia.(8)

Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu manusia dann nyamuk anopheles.

1. Siklus pada manusia.


pada waktu nyamuk anopheles enfektif menghisap darah manusia, sporozoit yang berada di kelenjar
liur nyamuk akan masuk ke dalam peredaran darah selama lebih kurang ½ jam. Setelah itu, sporozoit
akan masuk kedalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati
yang terdiri dari 10000-30000 merozoit hati (tergantung spesiesnya). Siklus ini disebut siklus ekso-
eritrositer yang berlangsung selama lebih kurang 2 minggu. Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian
tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk dormant
yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal dalam sel hati selama berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun.. pada suatu saat, bila imunitas tubuh menurun. Akan menjadi aktif
sehingga dapat menimbulkan relaps (kambuh).
merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke peredaran darah dan menginfeksi
sel darah merah. Di dalam sel darah merah, parasit tersebut berkembang dari stadium trofozoit
sampai skizon (8-30 merozoit, tergantung spesiesnya). Proses perkembangan aseksual ini disebut
skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan
menginfeksi sel darah merah yang lainnya. Siklus ini disebut siklus eritrositer.
setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang menginfeksi sel darah merah akan
membentuk stadium seksual (gametosit jantan dan betina).
2. Siklus pada nyamuk anopheles betina.
Apabila nyamuk anopheles betina menghisap darah yang mengandung gametosit, di dalam tubuh
nyamuk, gamet jantan dan betina melakukan pembuahaan menjadi zigot. Zigot berkembang
menjadi ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar nyamuk ookinet
akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit. Sporozoit ini bersifat infektif dan siap
ditularkan ke manusia.(3)

Parasit dalam eritrosit mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam pertama dan
stadium mature (matang) pada 24 jam kedua. Permukaan eritrosit parasit pada stadium cincin akan
menempelkan antigen yang disebut ring erythrocyte surface antigen (RESA) yang menghilang setelah
parasit masuk ke stadium matur. Permukaan membrane eritrosit parasit matur akan mengalami
penonjolan dan membentuk knob dengan komponen utama histidine rich protein (HRP-1). Selanjutnya
bila eritrosit telah mengalami merogoni, maka akan dilepaskan toksin malaria yaitu
glycophosphatydilinositol (GPI) yang akan merangsang pelepasan dari TNF-α dan IL-1 dari makrofag.

Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk sampai timbulnya gejala klinis yang
ditandai dengan demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung spesies plasmodium.

Plasmodium Masa Inkubasi (hari)


P. falciparum 9-14 (12)
P. vivax 12-17 (15)
P. ovale 16-18 (17)
P. malariae 18-40 (28)
Table. Masa inkubasi penyakit malaria. (3)

Demam mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan bermacam-
macam antigen. Antigen ini akan merangsang sel-sel makrofag, monosit atau limfosityang mengeluarkan
berbagai macam sitokin, antara lain TNF (tumor nekrosis factor). TNF akan dibawa aliran darah ke
hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan terjadi demam. Pr5oses skizogoni pada ke
empat plasmodium memerlukan waktu yang berbeda-beda. P. falciparum memerlukan waktu 36-48
jam, P. vivax/ovale 48 jam, dan P. malariae 72 jam. Demam pada P. falciparum dapat terjadi setiap hari,
P. vivax/ovale selang satu hari, dan P. malariae demam timbul selang 2 hari.

Anemia terjadi terutama karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi. P. falciparum
menginfeksi seluruh stadium sel darah merah sehingga anemia dapat terjadi pada infeksi akut dan
kronis. P. vivax hanya menginfeksi sel darah merah muda yang jumlahnya hanya 2% dari seluruh jumlah
sel darah merah, sedangkan P. malariae menginfeksi sel darah merah tua yang jumlahnya hanya 1% dari
jumlah sel darah merah. Sehingga anemia yang disebabkan oleh P. vivax dan P. malariae umumnya
terjadi pada keadaan kronis.

Gambar. Plasmodium falciparum bentuk ring dan gametosit pada sel darah merah manusia.(10)

Limpa merupakan organ retikuloendothelial, dimana plasmodium dihancurkan oleh sel-sel


makrofag dam limfosit. Penambahan sel-sel radang ini akan menyebabkan limpa membesar.(3)

Malaria berat akibat P. falciparum mempunyai pathogenesis yang berbeda. Eritrosit yang
mengandung P. falciparum akan mengalami proses sekuestrasi yaitu tersebarnya eritrosit yang
berparasit ke pembuluh kapiler jaringan tubuh. Pada saait itu terjadilah proses sitoadherensi yaitu
menempelnya sel darah merah yang berparasit pada sel endothelium, melalui proses pembentukan
knob (penonjolan). Knob ini berisi paling tidak 2 histidine rich protein (HRP), salah satunya adalah HRP-2.
Akibat proses ini terjadilah obstruksi (penyumbatan) dalam pembuluh kapiler yang menyebabkan
terjadinya iskemi jaringan. Terjadinya sumbatan ini juga didukung oleh proses terbentuknya ‘rosette’
yaitu bergerombolnya sel darah merah yang berparasit dengan sel darah merah lainnya.(3)

Pada proses sitoadherensi ini diduga juga terjadi proses imunologik yaitu terbentuknya
mediator-mediator antara lain sitokin (TNF, interleukin), dimana mediator tersebut mempunyai peranan
dalam gangguan fungsi pada jaringan tertentu.(3)

Secara garis besar, pathogenesis malaria berat dalam hal ini malaria serebral, yaitu:

1. Hipotesis mekanik.
Penelitian yang dilakukan Machiafava dan Bignami hampir seabad lalu mengenai penyumbatan kapiler
dan venula serebral oleh sel darah merah berparasit akan memperlihatkan sludging darah pada sirkulasi
kapiler akibat infeksi malaria. Sel-sel darah merah yang berparasit ini membentuk tonjolan (knob) pada
permukaan dan meningkatkan sifat cytoadherent sehingga cenderung melekat pada endotel kapiler-
kapiler dan venulae. Hipotesis ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi spesifik antara protein
membran eritrosit P.falciparum (PfEMP-1) dan ligan pada sel endotelial, seperti ICAM-1 atau E-selektin,
menurunkan aliran darah mikrovaskuler sehingga terjadi hipoksia. Selanjutnya terjadi sekuestrasi
parasit-parasit pada pembuluh darah yang lebih dalam. Juga, pembentukan rosette yaitu cytoadherence
selektif dan dari sel darah merah yang berparasit (PRBCs) maupun yang tidak berparasit (non PRBCs).
Setelah terjadi deformabilitas sel darah yang terinfeksi dan meningkatnya penyumbatan mikrosirkulasi.
Ternyata kemampuan adesif lebih besar pada parasit yang matang. Oleh karena obstruksi pada
mikrosirkulasi serebral maka timbul hipoksia dan meningkatnya produksi laktat yang menyebabkan ke
glikolisis anaerobik yang menghasilkan laktat. Pada pasien dengan malaria serebral, level laktat CSS
tinggi dan semakin meningkat pada kasus-kasus fatal dibandingkan yang hidup. Aderens eritrosit dapat
juga dipengaruhi oleh pertukaran gas atau substrat diseluruh otak. Meskipun demikian, obstruksi total
terhadap aliran darah tak mungkin terjadi , oleh karena penderita yang hidup jarang memiliki defisit
neurologik permanen. Jadi, gabungan dari Plasmodium falciparum dengan eritrosit pada venulae otak
menjadi faktor penting dalam terjadinya komplikasi serebral.
2. Hipotesis humoral.
Hipotesis ini menunjukkan bahwa toksin malaria dapat menstimulasi makrofag dan melepaskan TNF-α,
dan sitokin seperti IL-1. Sitokin-sitokin tersebut tidak berbahaya, tetapi akan menginduksi Nitrat Oksida
(NO). NO akan berdifusi melalui sawar darah otak dan menyebabkan perubahan pada fungsi sinaps
seperti pada anestesi umum dan etanol konsentrasi tinggi, menyebabkan penurunan kesadaran.
Peristiwa biokimia dari interaksi ini dapat menjelaskan mengapa terjadi koma reversibel, kejang dan
kematian. Disintegrasi sawar darah otak dan peran sel inflamasi adalah proses kunci dalam patogenesis
malaria serebral. Data terbaru menunjukkan bukti yang jelas bahwa reseptor aktivator plasminogen tipe
serin protease urokinase (uPAR) adalah molekul yang menyebabkan adesi sel. Proses akumulasi fokal
dari uPAR terjadi pada sel makrofag/mikroglia di granuloma Durck serta perdarahan dan pitekia disekitar
astrosit dan sel endotelial. Sehingga disimpulkan bahwa lesi yang berhubungan dengan uPAR berperan
dalam perubahan sawar darah otak dan disfungsi imunologi pasien malaria serebral.(9,13)

Gambar. Bagian dari otak yang menunjukkan penyumbatan pembuluh darah akibat pertumbuhan P.
falciparum.(13)

Manifestasi klinik

Diagnosis malaria dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium. Diagnose pasti dari malaria berdasarkan ditemukannya parasit dalam sediaan darah
secara mikroskopik. Kasus malaria yang didiagnosa hanya berdasarkan gejala dan tanda klinis disebut
tersangka malaria atau malaria klinis.(3)
Gambar. Gejala-gejala penyakit malaria.(10)

Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal terdiri atas beberapa serangan demam dengan
interval tertentu (paroksisme), yang diselingi oleh suatu periode laten. Sebelum demam, pasien
biasanya merasa lemah, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah.

Periode paroksisme biasanya terdiri atas 3 stadium yang berurutan, yakni:

 Stadium dingin.
Diawali dengan gejala menggigil dan perasaan yang sangat dingin. Gigi gemeretak dan pasien
biasanya menutupi tubuhnya dengan segala macam pakaian dan selimut yang tersedia. Nadi
cepat tapi lemah, bibir dan jari-jari pucat atau sianosis, kulit kering dan pucat, pasien mungkin
muntah dan pada anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1
jam.
 Stadium demam.
Setelah merasa kedinginan, pasien merasa kepanasan, muka merah, kulit kering, nyeri kepala,
sering kali terjadi mual dan muntah. Nadi menjadi kuat lagi. Biasanya pasien merasa sangat haus
dan suhu tubuh dapat meningkat sampai 41 °C atau lebih. Stadium ini berlangsung antara 2
sampai 12 jam.
 Stadium berkeringat.
Penderita berkeringat banyak sekali, tempat tidurnya basah, kemudian suhu tubuh menurun
dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah normal.(3)

Pada infeksi malaria falciparum, limpa biasanya membesar dengan cepat dan biasanya teraba
pada minggu pertama setelah infeksi. Pembesaran disertai nyeri pada perabaan. Pembesaran hati juga
sering dijumpai. Komplikasi ikterik lebih banyak timbul disbanding komplikasi lainnya. Kelainan fungsi
hati lebih dominan peningkatan bilirubin dibandingkan dengan peningkatan enzim transaminase.
Kelainan ginjal juga dapat terjadi. Pada urinalisis dijumpai albuminuria, granular dan cast hialin, urin
klorida rendah walaupun tidak dehidrasi, ini menunjukkan adanya gangguan fungsi tubulus.(3)

Anemia sering terjadi mulai dari derajat ringan sampai berat, hemolisis jarang terjadi dan kasus
dengan demam kencing hitam jarang dilaporkan. Anemia biasanya normositik dan sumsum tulang
normoblastik.(3)

Anamnesis

1. Pada anamnesis sangat penting diperhatikan adalah:


 Keluhan utama: demam, menggigil, dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, dan
nyeri otot atau pegal-pegal.
 Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemic malaria.
 Riwayat tinggal di daerah endemic malaria.
 Riwayat sakit malaria.
 Riwayat minum obat malaria 1 bulan terakhir.
 Riwayat mendapat transfuse darah.
2. Untuk penderita tersangka malaria berat, dapat disertai 1 atau lebih gejala berikut:
 Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat.
 Kelemahan umum (tidak bisa duduk/berdiri).
 Kejang-kejang.
 Panas sangat tinggi.
 Mata atau tubuh kuning.
 Perdarahan hidung, gusi atau saluran pencernaan.
 Nafas cepat dan atau sesak nafas.
 Muntah terus menerus.
 Tidak dapat makan minum.
 Warna air seni seperti the tua sampai kehitaman.
 Jumlah air seni kurang (oliguri) sampai tidak ada (anuri).
 Telapak tangan sangat pucat.
Pemeriksaan fisik

1. Demam (perabaan atau pengukuran dengan thermometer).


2. Pucat pada konjungtiva palpebrae atau talapak tangan.
3. Pembesaran limpa (splenomegali).
4. Pembesaran hati (hepatomegali).

Pada tersangka malaria berat dapat ditemukan satu atau lebih tanda klinis berikut:

1. Temperature aksila ≥40 °C.


2. Tekanan darah sistolik <70 mmHg pada orang dewasa dan pada anak-anak <50 mmHg.
3. Nadi cepat dan lemah/kecil.
4. Frekuensi nafas >35 x/menit pada orang dewasa atau >40 x/menit pada balita, anak di bawah 1
tahun >50 x/menit.
5. Penurunan derajat kesadaran.
6. Manifestasi perdarahan (petekie, purpura, hematom).
7. Tanda dehidrasi (mata cekung, turgor dan elastisitas kulit berkurang, bibir kering, produksi air seni
berkurang).
8. Tanda-tanda anemia berat (konjungtiva pucat, telapak tangan pucat, lidah pucat, dll).
9. Terlihat mata kuning/ikterik.
10. Adanya ronkhi pada kedua paru.
11. Pembesaran limpa dan atau hepar.
12. Gagal ginjal ditandai dengan oliguri sampai dengan anuri.
13. Gejala neurologi (kaku kuduk, reflex patologik).(3)

Pemeriksaan laboratorium

1. Pemeriksaan dengan mikroskop.


Pemeriksaan sedian darah (SD) tebal dan tipis untuk menentukan:
 Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negative).
 Spesies dan stadium plasmodium (Pf, Pv, Pf Pv, Pm, Po, trofozoid, skizon, gametosit).
 Kepadatan parasit:
1. Semi kuantitatif:
(-) = SD negative (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB).
(+) = SD positif 1 (ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB).
(++) = SD positif 2 (ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB).
(+++) = SD positif 3 (ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB).
(++++) = SD positif 4 (ditemukan 11-100 parasit dalam 1 LPB).
2. Kuantitatif:
Kepadatan parasit dihitung pada sedian tetes tebal dengan menghitung julah parasit
per 200 lekosit, atau dihitung melalui sedian tipis per 1000 eritrosit.

Pada pemeriksaan sediaan darah untuk penderita tersangka malaria berat perlu memperhatikan hal-
hal sebgai berikut:

 Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negative, perlu diperiksa ulang setiap 6 jam sampai
3 hari berturut-turut.
 Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut tidak ditemukan
parasit maka diagnose malaria disingkirkan.
2. Tes diagnostic lain.
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan metode
imunokromatografi, dalam bentuk dipstick. Tes ini digunakan sebagai alternative pemeriksaan
mikroskopik malaria. Tes tersebut digunakan untuk skrining tersangka penderita malaria berat di
unit gawat darurat, kejadian luar biasa, daerah terpencil, dan pada waktu dilakukan survey dinamika
penularan untuk memperoleh hasil yang cepat. Disamping itu pemeriksaan dengan mikroskop tetap
harus dilakukan untuk penilaian tindak lanjut pengobatan (follow up).
Tes diagnostic lain yang tersedia saat ini, antara lain:
 HRP-2 yang diproduksi oleh trofozoit, skizon, dan gametosit muda P. falciparum.
 Enzim parasite lactate dehydrogenase (p-LDH) yang diproduksi oleh parasit bentuk aseksual
atau seksual (gametosit).(3)

Pada penderita ini didapatkan tanda-tanda dan gejala dari penyakit malaria, yaitu trias malaria berupa
keadaan menggigil dan diikuti dengan demam, dan kemudian timbul keringat yang banyak. Selain itu,
juga terdapat keluhan sakit kepala, mual, dan muntah. Penderita juga memiliki riwayat pernah
bepergian ke luar kota (ke daerah endemic malaria). Pada pemeriksaan fisik, ditemukan splenomegali
dan hepatomegali. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil DDR positif (++) plasmodium
falciparum.
Manifestasi klinis malaria berat

1. Malaria serebral. Malaria dengan penurunan kesadaran.


2. Anemia berat (Hb <5 gr% atau hematokrit <15%) pada keadaan hitung parasit >10000/uL.
3. Gagal ginjal akut (urin <400 mL/hari pada orang dewasa atau <1 mL/kgBB/jam pada anak setelah
dilakukan rehidrasi, atau dengan kreatinin darah >3 mg%).
4. Edema paru atau ARDS.
5. Hipoglikemi (gula darah <40 mg%).
6. Gagal sirkulasi atau syok (tekanan sistolik <70 mmHg (pada anak tekanan nadi ≤20 mmHg), disertai
keringat dingin.
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi atau alat pencernaan dan atau disertai kelainan laboratorik
adanya gangguan koagulasi intravascular.
8. Kejang berulang >2 kali per 24 jam setelah pendinginan pada hipertermia.
9. Asidemia (pH 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma <15 mmol/L).
10. Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena obat anti malaria pada
seorang dengan defisiensi G6PD).

Beberapa keadaan lain yang juga digolongkan sebagai malaria berat:

1. Gangguan kesadaran ringan (GCS <15).


2. Kelemahan otot (tak bisa duduk/berdiri) tanpa kelainan neurologic.
3. Hiperparasitemia >5%.
4. Ikterus (kadar bilirubin darah >3 mg%).
5. Hiperpireksia (temperature rectal >40 °C pada orang dewasa, >41 °C pada anak).(3)

Manifestasi klinis malaria serebral

Berbagai tingkatan penurunan kesadaran berupa delirium, mengantuk, stupor, dan


ketidaksadaran dengan respoms motorik terhadap rangsang sakit yang dapat diobservasi/dinilai. Onset
koma dapat bertahap setelah stadium inisial konfusi atau mendadak setelah serangan pertama. Tetapi
ketidaksadaran post iktal jarang menetap setelah lebih dari 30-60 menit.(12)
Oleh Newton & Warrell, digunakan definisi pragmatic berdasarkan skor koma Glasgow (GCS), terdiri
atas:

1. Koma dalam, tak dapat dibangunkan, tespons motorik atau stimuli nyeri tak dapat dilokalisasi atau
tidak ada respons.
2. Ensefalopati penyebab lain telah disingkirkan. Koma harus menetap lebih dari 30 menit – 6 jam
setelah kejang umum untuk menyingkirkan koma sesaat setelah kejang. Hipoglikemi,
meningoensefalitis, cedera kepala, penyakit serebrovaskular dan gangguan metabolic harus
disingkirkan sebagai penyebab koma.
3. Konfirmasi infeksi P. falciparum. Bentuk aseksual dari P. falciparum harus dapat ditunjukkan sediaan
hapus tebal darah tepi atau hapusan sumsum tulang saat masih hidup atau pada hapusan jaringan
otak setelah meninggal.(9,13)

Jika malaria serebral terjadi pada anak-anak, maka digunakan skala koma Blantyre sebagai alat
bantu menilai kesadaran dan diagnostic.

Berdasarkan tingkat kesadaran maka Rustam D dan Hoffman, membagi malaria serebral atas 3
tingkatan:

1. Malaria serebral sedang: penderita malaria dengan delirium dan obtudansi.


2. Malaria serebral berat: penderita dengan stupor.
3. Malaria serebral sangat berat: penderita malaria dengan koma atau penderita malaria sedang/berat
yang tidak menunjukkan kemajuan klinis dalam 6 jam setelah dimulai terapi dengan kinin
dihidroklorida intravena.(9)

Sesuai dengan perjalanan klinik, maka terdapat 2 fase pada malaria serebral, yaitu:

1. Fase prodormal.
Gejala yang timbul tidak spesifik, penderita mengeluh sakit pinggang, mialgia, demam yang hilang
timbul serta kadang-kadang menggigil dan sakit kepala, lesu, lemah, tidak nafsu makan, mual,
muntah.
2. Fase akut.
Gejala yang timbul menjadi bertambah berat karena menyebabkan sakit kepala yang berat, diare
dan batuk darah. Setelah itu penderita mengalami gangguan kesadaran, kejang, hemiplegic dan
dapat berakhir dengan kematian. Pada fase akut ini dalam pemeriksaan fisik akan ditemukan kornea
mata divergen, anemia, ikterik, purpura, akan tetapi tidak ditemukan adanya tanda rangsang
meningeal.(14)

Tiga gejala utama malaria serebral:

1. Penurunan kesadaran dengan demam tidak spesifik.


2. Kejang umum dan ada gejala sisa neurologic.
3. Koma yang terjadi selama 24-72 jam, awalnya dapat dibangunkan tapi kemudian menjadi tidak
sadar.(9,13)

Pada orang dewasa biasanya malaria serebral terjadi setelah beberapa hari panas dengan gejala
non spesifik lainnya, tetapi pada anak biasanya kurang dari 2 hari. Seringkali diawali dengan kejang
umum terutama pada anak, selanjutnya diikuti kesadaran menurun.(9)

Gejala-gejala malaria serebral lainnya antara lain:

 Ensefalopati difus simetris.


 Kejang umum atau fokal.
 Tonus otot dapat meningkat atau turun.
 Reflex tendon bervariasi.
 Terdapat plantar fleksi atau plantar ekstensi.
 Reflex dinding perut dan kremaster tidak ada.
 Rahang mengatup rapat dan gigi kretekan (seperti mengasah).
 Mulut mencebil (pouting) atau timbul reflex mencebil bila sisi mulut dipukul.
 Motorik abnormal seperti deserebrasi rigidity dan dekortikasi rigidity.
 Tanda-tanda neurologis fokal kadang-kadang ada.
 Manifestasi okuler: pandangan divergen (dysconjugate gaze) dan konvergensi spasme sering terjadi.
 Perdarahan sub konjungtiva dan retina serta pupil udem kadang terlihat.
 Cairan serebrospinal (CSS) jernih, dengan <10 lekosit/mL, protein dan asam laktat sering naik ringan.
 Kekakuan leher ringan kadang ada. Tetapi tanda Frank, kernig, dan fotofobia jarang ada. Untuk itu
adanya meningitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan pungsi lumbal.
 Anemia, ikterik, dan hepatosplenomegali.
 Perdarahan intracranial. Menyebabkan tanda neurologic fokal seperti hemiplegic dan afasia. Diduga
akibat mekanisme imunopatologik karena TNF berperan sebagai mediator inflamasi.
 Oklusi arteri sereb ral. Beberapa tanda neurologic fokalterjadi karena oklusi arteri serebral. Pada
pemeriksaan post mortem menunjukkan terjadi thrombosis pembuluh batang otak dan perdarahan
perivaskuler di korteks serebelar.
 Gerakan ekstrapiramidal. Berupa gerakan involunter tonik-diskinetik, mioklonik, korea, dan gerakan
atetoid. Termor dapat terjadi pada masa penyembuhan dan gejala ini menghilang dengan sempurna
dalam 1-2 minggu.
 Hipertensi intracranial benigna. Terdapat tanda peningkatan tekanan intracranial.
 Sindrom sereberal.
 Neuropati perifer.
 Gangguan pada medulla spinalis.
 Paralisis periodic.
 Manifestasi psikiatrik
 EEG menunjukkan kelainan yang tidak spesifik.
 CT scan otak normal.(12,15,9)

Pada penderita ini didapatkan adanya gejala penurunan kesadaran, secara kualitatif somnolen, dan
secara kuantitatif GCS 9 (E2V3M4). Penurunan kesadaran tersebut terjadi secara tiba-tiba, 2 jam SMRS,
dan bersifat reversible. Pada pemeriksaan fisik, tidak ditemukan tanda rangsang meningeal (kaku
kuduk).

Terapi

Penanganan malaria tanpa komplikasi:

1. Klorokui nbasa 150 mg:


 Hari 1 & 2 : 4 tablet
 Hari 3 : 2 tablet
 Terapi radikal: ditambah primakuin 1x15 mg selama 14 hari.
2. Kina sulfat:
 Kina 3x400-600 mg selama 7 hari
 Terapi radikal: ditambah primakuin 1x15 mg selama 14 hari.
3. Artemisin + amodiaquin:
 Artemisin:
 Hari 1, 2, 3: 4 tablet (200 mg)
 Amodiaquin:
 Hari 1 & 2 : 4 tablet (600 mg)
 Hari 3 : 2 tablet (600 mg)
 Bila perlu ditambah terapi radikal: ditambah primakuin 45 mg (3 tablet) dosis tunggal
selama 14 hari.(16)

Anti-pyretics Such as paracetamol to reduce fever. However, it is not clear if


a reduction in core temperature benefits cerebral
consequences.

Anti-convulsants Such as phenobarbital sodium for seizures. It is crucial to control


or prevent seizures, as they can cause neuronal damage and
are associated with a fatal outcome.

Reduce intracranial Using agents such as osmotic diuretics.


pressure

Hypoglycemia correction Using hypertonic glucose. However, theoretically, correcting


hypoclycemia in the presence of tissue hypoxia can worsen
tissue acidosis.

Generally only been justified when peripheral parasitemia


exceeds 10% of circulating erythrocytes. The role of these
Exchange transfusion
blood transfusions remains highly controversial, as they are
both expensive and potentially dangerous in many malaria-
endemic areas.

Anti-Inflammatories Such as corticosteroids. However, there have been few


controlled studies demonstrating benefit.

Desferrioxamine An iron-chelating adjuvant agent with antimalarial properties.


Reduces formation of reactive oxygen species by reducing
amount of free iron.

Microcirculatory Flow Such as pentoxifylline. Reduces red cell deformability and blood
viscosity, decreases systemic vascular resistance, and impairs
platelet aggregation, thus improving microcirculatory flow.

 Table. Terapi suportif pada pengobatan malaria berat.(13)

Pentalaksanaan malaria serebral pada umumnya sama seperti pada mlaria berat. Di samping
pemberian obat anti mlaria spesifik, beberapa hal penting perlu diperhatikan:

 Selalu memakai prinsip ABC ( A=Air way, B=Breathing, C = sirkulasi ) + D ( Drug).(12)


 Pengobatan simptomatik.
Pengobatan hiperpireksia dan pengobatan yang cepat bila ada kejang. Untuk hiperpireksia dapat
diberikan parasetamol 15 mg/kgBB/x, beri setiap 4 jam dan lakukan juga kompres hangat. Bila
kejang, beri antikonvulsan seperti diazepam 5-10 mg IV (secara perlahan jangan lebih dari 5
mg/menit) ulangi 15 menit kemudian bila masih kejang. Jangan diberikan lebih dari 100 mg IM/24
jam. Bila tidak tersedia diazepam, sebagai alternative dapat dipakai Phenobarbital 100 mg IM/x
diberikan 2 kali sehari.
 Deteksi dini dan pengobatan komplikasi berat lainnya.
Hati-hati terhadap terjadinya infeksi bakteri terutama pada pasien-pasien dengan pemasangan IV-
line, intubasi endotracheal atau kateter saluran kemih. Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya
aspirasi pneumonia.(12)
 Pemberian obat anti malaria spesifik.

Obat Dosis Awal Dosis pemeliharaan


Klorokuin 10 mg basa/kg IV infus 15 mg basa/kg infus IV
selama 8 jam selama 24 jam, atau 3,5
mg/kg IM atau SC
disuntik 4-8 jam, setiap 8
jam, atau 10 mg/kg IM
setiap 8 jam
Artemeter 3,2 mg/kg IM 1,6 mg/kg setiap 24 jam
untuk selama hari
Artesunat 2,4 mg/kg IV atau IM 1,2 mg/kg IM pada 12 dan
24 jam, kemudian 1,2
mg/kg IM perhari selama
4 hari
Kuinidin 10 mg/kg IV infus 0,2 mg/kg/min infus IV
selama 1 jam dengan monitor EKG

Table. Obat malaria berat.(9)


 Pada pengalaman klinik, artem isinin menunjukkan hasil dapat memusnahkan parasitemia dan
demam lebih cepat dari pada quinine ataupun klorokuin. Artemisinin telah lama digunakan di
China sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan demam dan malaria. Artemisinin
merupakan turunan dari Artemisia annua. Dua macam obat artemisinin yang banyak digunakan
sekarang ini adalah artesunat dan artemether.(13)
 Artesunat injeksi.
Sediaan 1 ampul berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik, dilarutkan dalam 0,6 mL natrium
bikarbonat 5%, diencerkan dalam 3-5 cc D5%. Pemberian secara bolus intravena selama ±2
menit. Loading dose: 2,4 mg/kgBB IV pada jam ke-12 dan 24, selanjutnya 1,2 mg/kgBB IV setiap
hari sampai hari ke-7. Bila penderita sudah dapat minum obat, ganti dengan artesunat oral.(3)
 Artemeter injeksi.
Sediaan 1 ampul berisi 80 mg artemether. Diberikan secara intra muscular, selama 5 hari. Dosis
dewasa: dosis inisial 160 mg (2 ampul) IM pada hari ke-1, diikuti 80 mg (1 ampul) IM pada hari
ke-2 s/d ke-5. Dosis untuk anak tergantung berat badan.(3)
 Kina intravena injeksi juga masih merupakan obat pilihan untuk malaria berat. Kemasan garam
kina HCL 25% injeksi, 1 ampul berisi 500 mg/2 mL. cara pemberian , dosis 10 mg/kgBB atau 1
ampul, dilarutkan dalam 500 mL dextrose 5% atau dextrose in saline diberikan selama 8 jam
dengan kecepatan konstan 2 mL/menit, diulang dengan cairan yang sama setiap 8 jam sampai
penderita dapat minum obat.(12)
 Apabila tidak memungkinkan pemberian kina per drip, maka dapat diberikan dosis kinin antipirin
10 mg/kgBB IM (dosis tunggal), pada paha bagian depan masing-masing ½ dosis pada setiap
paha (jangan diberikan pada bokong). Bila memungkinkan untuk pemakaian IM, kina diencerkan
dengan normal saline untuk mendapatkan konsentrasi 60-100 mg/mL.(12)
 Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian 48 jam kina parenteral, maka dosis
maintenans kina diturunkan ⅓ - ½ nya dan lakukan pemeriksaan parasitologi serta evaluasi klinik
harus dilakukan.
Total dosis kina yang diperlukan:
 Hari 0: 30 mg/kgBB
 Hari I: 30 mg/kgBB
 Hari II dan berikutnya: 15-20 mg/kgBB
 Dosis maksimum dewasa: 2000 mg/hr.
 Hindari sikap badan tegak pada pasien akut selama terapi kina untuk menghindari hipotensi
postural berat.(12)

Pada kasus ini, penderita diberi terapi dengan menggunakan artemeter injeksi secara intra muscular,
sebagai terapi malaria berat, dengan dosis awal 3,2 mg/kgBB dan selanjutnya 1,6 mg/kgBB, selama 5
hari. Kemudian diganti dengan obat minum artesdiaquine selama 3 hari.

Das könnte Ihnen auch gefallen