Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
PEMBAHASAN
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan protozoa, genus plasmodium dan hidup
intrasel.(4). Malaria serebral adalah malaria dengan penurunan kesadaran, berupa apatis, disorientasi,
somnolen, stupor, sopor, koma yang dapat terjadi secara perlahan dalam beberapa hari atau mendadak
dalam waktu hanya 1-2 jam, yang sering kali disertai kejang (terutama terjadi pada anak). Penurunan
kesadaran ini selain karena kelainan neurologis, tetapi juga dapat diperberat karena gangguan
metabolism, seperti asidosis, hipoglikemi, yang berarti gangguan ini dapat terjadi karena beberapa
proses patologis.(4,6,12)
Malaria serebral adalah suatu perkembangan menjadi ensefalopati yang cepat, tapi masih
banyak perubahan patologik yang belum jelas dimengerti.(8)
Etiologi
Penyebab malaria serebral adalah akibat sumbatan pembuluh darah kapiler di otak karena
menurunnya aliran darah efektif dan adanya hemolisa sel darah.(6)
Beberapa factor dapat menjadi predisposisi malaria serebral seperti usia tua, kehamilan, terutama
primigravida dengan kehamilan pada paruh kedua, pasien imunosupresi menggunakan steroid, obat-
obat anti kanker, atau obat imunosupresan, pasien dengan imunokompremise disertai tuberculosis atau
kanker stadium lanjut, splenektomi, pernah terpapar malaria sebelumnya (non-imun) atau menurunnya
imunitas.(9)
Insidens
Di Sulawesi utara khususnya minahasa merupakan daerah endemic dan didaerah ini ditemukan
komplikasi malaria serebral berkisar antara 3,8-6,4%.(9)
Pada penelitian analisa retrospektif dari tahun 1988-2002 di RS Bethesda Sulawesi utara,
didapatkan 381 kasus malaria berat dengan jumlah kematian 87 kasus (22,8%). Malaria serebral
merupakan salah satu manifestasi malaria berat yang terjadi pada 20% kasus malaria berat.(5)
Pathogenesis
Gambar. Daur hidup parasit malaria dalam tubuh manusia.(10)
Gambar daur hidup plasmodium malaria pada tubuh nyamuk dan manusia.(8)
Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu manusia dann nyamuk anopheles.
Parasit dalam eritrosit mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam pertama dan
stadium mature (matang) pada 24 jam kedua. Permukaan eritrosit parasit pada stadium cincin akan
menempelkan antigen yang disebut ring erythrocyte surface antigen (RESA) yang menghilang setelah
parasit masuk ke stadium matur. Permukaan membrane eritrosit parasit matur akan mengalami
penonjolan dan membentuk knob dengan komponen utama histidine rich protein (HRP-1). Selanjutnya
bila eritrosit telah mengalami merogoni, maka akan dilepaskan toksin malaria yaitu
glycophosphatydilinositol (GPI) yang akan merangsang pelepasan dari TNF-α dan IL-1 dari makrofag.
Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk sampai timbulnya gejala klinis yang
ditandai dengan demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung spesies plasmodium.
Demam mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan bermacam-
macam antigen. Antigen ini akan merangsang sel-sel makrofag, monosit atau limfosityang mengeluarkan
berbagai macam sitokin, antara lain TNF (tumor nekrosis factor). TNF akan dibawa aliran darah ke
hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan terjadi demam. Pr5oses skizogoni pada ke
empat plasmodium memerlukan waktu yang berbeda-beda. P. falciparum memerlukan waktu 36-48
jam, P. vivax/ovale 48 jam, dan P. malariae 72 jam. Demam pada P. falciparum dapat terjadi setiap hari,
P. vivax/ovale selang satu hari, dan P. malariae demam timbul selang 2 hari.
Anemia terjadi terutama karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi. P. falciparum
menginfeksi seluruh stadium sel darah merah sehingga anemia dapat terjadi pada infeksi akut dan
kronis. P. vivax hanya menginfeksi sel darah merah muda yang jumlahnya hanya 2% dari seluruh jumlah
sel darah merah, sedangkan P. malariae menginfeksi sel darah merah tua yang jumlahnya hanya 1% dari
jumlah sel darah merah. Sehingga anemia yang disebabkan oleh P. vivax dan P. malariae umumnya
terjadi pada keadaan kronis.
Gambar. Plasmodium falciparum bentuk ring dan gametosit pada sel darah merah manusia.(10)
Malaria berat akibat P. falciparum mempunyai pathogenesis yang berbeda. Eritrosit yang
mengandung P. falciparum akan mengalami proses sekuestrasi yaitu tersebarnya eritrosit yang
berparasit ke pembuluh kapiler jaringan tubuh. Pada saait itu terjadilah proses sitoadherensi yaitu
menempelnya sel darah merah yang berparasit pada sel endothelium, melalui proses pembentukan
knob (penonjolan). Knob ini berisi paling tidak 2 histidine rich protein (HRP), salah satunya adalah HRP-2.
Akibat proses ini terjadilah obstruksi (penyumbatan) dalam pembuluh kapiler yang menyebabkan
terjadinya iskemi jaringan. Terjadinya sumbatan ini juga didukung oleh proses terbentuknya ‘rosette’
yaitu bergerombolnya sel darah merah yang berparasit dengan sel darah merah lainnya.(3)
Pada proses sitoadherensi ini diduga juga terjadi proses imunologik yaitu terbentuknya
mediator-mediator antara lain sitokin (TNF, interleukin), dimana mediator tersebut mempunyai peranan
dalam gangguan fungsi pada jaringan tertentu.(3)
Secara garis besar, pathogenesis malaria berat dalam hal ini malaria serebral, yaitu:
1. Hipotesis mekanik.
Penelitian yang dilakukan Machiafava dan Bignami hampir seabad lalu mengenai penyumbatan kapiler
dan venula serebral oleh sel darah merah berparasit akan memperlihatkan sludging darah pada sirkulasi
kapiler akibat infeksi malaria. Sel-sel darah merah yang berparasit ini membentuk tonjolan (knob) pada
permukaan dan meningkatkan sifat cytoadherent sehingga cenderung melekat pada endotel kapiler-
kapiler dan venulae. Hipotesis ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi spesifik antara protein
membran eritrosit P.falciparum (PfEMP-1) dan ligan pada sel endotelial, seperti ICAM-1 atau E-selektin,
menurunkan aliran darah mikrovaskuler sehingga terjadi hipoksia. Selanjutnya terjadi sekuestrasi
parasit-parasit pada pembuluh darah yang lebih dalam. Juga, pembentukan rosette yaitu cytoadherence
selektif dan dari sel darah merah yang berparasit (PRBCs) maupun yang tidak berparasit (non PRBCs).
Setelah terjadi deformabilitas sel darah yang terinfeksi dan meningkatnya penyumbatan mikrosirkulasi.
Ternyata kemampuan adesif lebih besar pada parasit yang matang. Oleh karena obstruksi pada
mikrosirkulasi serebral maka timbul hipoksia dan meningkatnya produksi laktat yang menyebabkan ke
glikolisis anaerobik yang menghasilkan laktat. Pada pasien dengan malaria serebral, level laktat CSS
tinggi dan semakin meningkat pada kasus-kasus fatal dibandingkan yang hidup. Aderens eritrosit dapat
juga dipengaruhi oleh pertukaran gas atau substrat diseluruh otak. Meskipun demikian, obstruksi total
terhadap aliran darah tak mungkin terjadi , oleh karena penderita yang hidup jarang memiliki defisit
neurologik permanen. Jadi, gabungan dari Plasmodium falciparum dengan eritrosit pada venulae otak
menjadi faktor penting dalam terjadinya komplikasi serebral.
2. Hipotesis humoral.
Hipotesis ini menunjukkan bahwa toksin malaria dapat menstimulasi makrofag dan melepaskan TNF-α,
dan sitokin seperti IL-1. Sitokin-sitokin tersebut tidak berbahaya, tetapi akan menginduksi Nitrat Oksida
(NO). NO akan berdifusi melalui sawar darah otak dan menyebabkan perubahan pada fungsi sinaps
seperti pada anestesi umum dan etanol konsentrasi tinggi, menyebabkan penurunan kesadaran.
Peristiwa biokimia dari interaksi ini dapat menjelaskan mengapa terjadi koma reversibel, kejang dan
kematian. Disintegrasi sawar darah otak dan peran sel inflamasi adalah proses kunci dalam patogenesis
malaria serebral. Data terbaru menunjukkan bukti yang jelas bahwa reseptor aktivator plasminogen tipe
serin protease urokinase (uPAR) adalah molekul yang menyebabkan adesi sel. Proses akumulasi fokal
dari uPAR terjadi pada sel makrofag/mikroglia di granuloma Durck serta perdarahan dan pitekia disekitar
astrosit dan sel endotelial. Sehingga disimpulkan bahwa lesi yang berhubungan dengan uPAR berperan
dalam perubahan sawar darah otak dan disfungsi imunologi pasien malaria serebral.(9,13)
Gambar. Bagian dari otak yang menunjukkan penyumbatan pembuluh darah akibat pertumbuhan P.
falciparum.(13)
Manifestasi klinik
Diagnosis malaria dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium. Diagnose pasti dari malaria berdasarkan ditemukannya parasit dalam sediaan darah
secara mikroskopik. Kasus malaria yang didiagnosa hanya berdasarkan gejala dan tanda klinis disebut
tersangka malaria atau malaria klinis.(3)
Gambar. Gejala-gejala penyakit malaria.(10)
Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal terdiri atas beberapa serangan demam dengan
interval tertentu (paroksisme), yang diselingi oleh suatu periode laten. Sebelum demam, pasien
biasanya merasa lemah, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah.
Stadium dingin.
Diawali dengan gejala menggigil dan perasaan yang sangat dingin. Gigi gemeretak dan pasien
biasanya menutupi tubuhnya dengan segala macam pakaian dan selimut yang tersedia. Nadi
cepat tapi lemah, bibir dan jari-jari pucat atau sianosis, kulit kering dan pucat, pasien mungkin
muntah dan pada anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1
jam.
Stadium demam.
Setelah merasa kedinginan, pasien merasa kepanasan, muka merah, kulit kering, nyeri kepala,
sering kali terjadi mual dan muntah. Nadi menjadi kuat lagi. Biasanya pasien merasa sangat haus
dan suhu tubuh dapat meningkat sampai 41 °C atau lebih. Stadium ini berlangsung antara 2
sampai 12 jam.
Stadium berkeringat.
Penderita berkeringat banyak sekali, tempat tidurnya basah, kemudian suhu tubuh menurun
dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah normal.(3)
Pada infeksi malaria falciparum, limpa biasanya membesar dengan cepat dan biasanya teraba
pada minggu pertama setelah infeksi. Pembesaran disertai nyeri pada perabaan. Pembesaran hati juga
sering dijumpai. Komplikasi ikterik lebih banyak timbul disbanding komplikasi lainnya. Kelainan fungsi
hati lebih dominan peningkatan bilirubin dibandingkan dengan peningkatan enzim transaminase.
Kelainan ginjal juga dapat terjadi. Pada urinalisis dijumpai albuminuria, granular dan cast hialin, urin
klorida rendah walaupun tidak dehidrasi, ini menunjukkan adanya gangguan fungsi tubulus.(3)
Anemia sering terjadi mulai dari derajat ringan sampai berat, hemolisis jarang terjadi dan kasus
dengan demam kencing hitam jarang dilaporkan. Anemia biasanya normositik dan sumsum tulang
normoblastik.(3)
Anamnesis
Pada tersangka malaria berat dapat ditemukan satu atau lebih tanda klinis berikut:
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan sediaan darah untuk penderita tersangka malaria berat perlu memperhatikan hal-
hal sebgai berikut:
Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negative, perlu diperiksa ulang setiap 6 jam sampai
3 hari berturut-turut.
Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut tidak ditemukan
parasit maka diagnose malaria disingkirkan.
2. Tes diagnostic lain.
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan metode
imunokromatografi, dalam bentuk dipstick. Tes ini digunakan sebagai alternative pemeriksaan
mikroskopik malaria. Tes tersebut digunakan untuk skrining tersangka penderita malaria berat di
unit gawat darurat, kejadian luar biasa, daerah terpencil, dan pada waktu dilakukan survey dinamika
penularan untuk memperoleh hasil yang cepat. Disamping itu pemeriksaan dengan mikroskop tetap
harus dilakukan untuk penilaian tindak lanjut pengobatan (follow up).
Tes diagnostic lain yang tersedia saat ini, antara lain:
HRP-2 yang diproduksi oleh trofozoit, skizon, dan gametosit muda P. falciparum.
Enzim parasite lactate dehydrogenase (p-LDH) yang diproduksi oleh parasit bentuk aseksual
atau seksual (gametosit).(3)
Pada penderita ini didapatkan tanda-tanda dan gejala dari penyakit malaria, yaitu trias malaria berupa
keadaan menggigil dan diikuti dengan demam, dan kemudian timbul keringat yang banyak. Selain itu,
juga terdapat keluhan sakit kepala, mual, dan muntah. Penderita juga memiliki riwayat pernah
bepergian ke luar kota (ke daerah endemic malaria). Pada pemeriksaan fisik, ditemukan splenomegali
dan hepatomegali. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil DDR positif (++) plasmodium
falciparum.
Manifestasi klinis malaria berat
1. Koma dalam, tak dapat dibangunkan, tespons motorik atau stimuli nyeri tak dapat dilokalisasi atau
tidak ada respons.
2. Ensefalopati penyebab lain telah disingkirkan. Koma harus menetap lebih dari 30 menit – 6 jam
setelah kejang umum untuk menyingkirkan koma sesaat setelah kejang. Hipoglikemi,
meningoensefalitis, cedera kepala, penyakit serebrovaskular dan gangguan metabolic harus
disingkirkan sebagai penyebab koma.
3. Konfirmasi infeksi P. falciparum. Bentuk aseksual dari P. falciparum harus dapat ditunjukkan sediaan
hapus tebal darah tepi atau hapusan sumsum tulang saat masih hidup atau pada hapusan jaringan
otak setelah meninggal.(9,13)
Jika malaria serebral terjadi pada anak-anak, maka digunakan skala koma Blantyre sebagai alat
bantu menilai kesadaran dan diagnostic.
Berdasarkan tingkat kesadaran maka Rustam D dan Hoffman, membagi malaria serebral atas 3
tingkatan:
Sesuai dengan perjalanan klinik, maka terdapat 2 fase pada malaria serebral, yaitu:
1. Fase prodormal.
Gejala yang timbul tidak spesifik, penderita mengeluh sakit pinggang, mialgia, demam yang hilang
timbul serta kadang-kadang menggigil dan sakit kepala, lesu, lemah, tidak nafsu makan, mual,
muntah.
2. Fase akut.
Gejala yang timbul menjadi bertambah berat karena menyebabkan sakit kepala yang berat, diare
dan batuk darah. Setelah itu penderita mengalami gangguan kesadaran, kejang, hemiplegic dan
dapat berakhir dengan kematian. Pada fase akut ini dalam pemeriksaan fisik akan ditemukan kornea
mata divergen, anemia, ikterik, purpura, akan tetapi tidak ditemukan adanya tanda rangsang
meningeal.(14)
Pada orang dewasa biasanya malaria serebral terjadi setelah beberapa hari panas dengan gejala
non spesifik lainnya, tetapi pada anak biasanya kurang dari 2 hari. Seringkali diawali dengan kejang
umum terutama pada anak, selanjutnya diikuti kesadaran menurun.(9)
Pada penderita ini didapatkan adanya gejala penurunan kesadaran, secara kualitatif somnolen, dan
secara kuantitatif GCS 9 (E2V3M4). Penurunan kesadaran tersebut terjadi secara tiba-tiba, 2 jam SMRS,
dan bersifat reversible. Pada pemeriksaan fisik, tidak ditemukan tanda rangsang meningeal (kaku
kuduk).
Terapi
Microcirculatory Flow Such as pentoxifylline. Reduces red cell deformability and blood
viscosity, decreases systemic vascular resistance, and impairs
platelet aggregation, thus improving microcirculatory flow.
Pentalaksanaan malaria serebral pada umumnya sama seperti pada mlaria berat. Di samping
pemberian obat anti mlaria spesifik, beberapa hal penting perlu diperhatikan:
Pada kasus ini, penderita diberi terapi dengan menggunakan artemeter injeksi secara intra muscular,
sebagai terapi malaria berat, dengan dosis awal 3,2 mg/kgBB dan selanjutnya 1,6 mg/kgBB, selama 5
hari. Kemudian diganti dengan obat minum artesdiaquine selama 3 hari.