Sie sind auf Seite 1von 2

Pengarang : Nur Sutan Iskandar

Penerbit : Balai Pustaka


Tahun : 1944; Cetakan IV, 1963

Amiruddin yang tinggal di Bandung kini sedang berada di Jakarta. Dengan sebuah trem (kereta yang
dijalankan dengan tenaga listrik), ia menuju Pasar Malam. Di dalam trem itulah mula pertama matanya
beradu pandang dengan seorang gadis. Kemudian, dengan tak disangka-sangkanya, pertemuan itu
kembali terulang ketika mereka sama-sama di Pasar Malam. Sapu tangan yang mereka beli ternyata
bersitukar. Peristiwa tertukarnya sapu tangan itu ternyata sekaligus merupakan penjalin hubungan
mereka yang berkelanjutan.

Malam itu Amiruddin bertemu dengan seseorang yang selalu memperhatikannya. Kemudian mereka
berkenalan. Ternyata, lelaki yang baru dikenalnya itu adalah Pak Suwondo, teman karib ayah
Amiruddin semasa di Padangprapat. “Anakku”, katanya sambil mengulurkan tangannya kepada orang
muda itu. “Tak kusangka kita akan bertemu di sini, Amir. Bapakmu, tengku Datuk Serimarajo,
kawanku yang sekarib-karibnya. Dan ibumu, Nyi Zubaedah, di mana beliau sekarang?” (hlm. 52).
Sebelum itu, Amiruddin juga bertemu dengan Harjono, temannya semasa sekolah.

Pak Suwondo meminta Amiruddin, sebelum pulang ke Bandung, untuk berkunjung ke rumahnya di
Bungur, Jakarta. Amiruddin memenuhi permintaan itu. Diluar dugaan, ia bertemu lagi dengan gadis
yang sapu tangannya telah tertukar dengan sapu tangan milik Amir. Gadis itu bernama Astiah. Ternyata
Astiah adalah anak Pak Suwondo. Pertemuan yang kesekian kali itu, membuat Amiruddin semakin
terpaut pada Astiah.

Kehadiran Jepang di Bumi Pertiwi ini sedikit membawa angina segar bagi putra-putri Indonesia yang
telah sekian lama terdominasi penjajahan Belanda. Janji Jepang yang akan “membebaskan” segala
bentuk penjajahan di Indonesia pun memberi motivasi tersendiri terhadap anak negeri ini. Setidaknya,
mereka menjadikan Jepang sebagai contoh dalam keberhasilan peperangan berhadapan dengan
Amerika dan bangsa Eropa lainnya. Semangat bushido dan rasa persatuan dan kesatuan begitu tertanam
pada jiwa anak-anak Jepang. Begitu pula halnya dengan Amiruddin. Indonesia bukan tidak
mengadakan perlawanan terhadap penjajah, khususnya Belanda. Namun; ketidakberhasilan itu
disebabkan kurangnya rasa persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia. Perang Diponegoro dan Imam
Bonjol dapat dijadikan pertimbangan. Itulah yang menjadikan semangat anak muda terpanggil untuk
membela tanah airnya.

Nyi Zubaedah, ibu Amiruddin, kagum melihat semangat anaknya. Namun, di sisi lain, sebagaimana
seorang ibu umumnya, apalagi karena ia pun telah janda, menginginkan Amiruddin secepatnya
mempunyai pendamping hidup. Namun, Amir saa itu belum dapat mengabulkan keinginan orang
tuanya. Terjadi perselisihan mulut antara ibu-anak itu. “Ampun, ibu,” kata Amiruddin dengan perlahan.
“Sudah berapa kali kukatakan: aku belum hendak beristri” (hlm. 127).
Nyi Zubaedah akhirnya dapat memahami keinginan anaknya. Sebab, diketahuinya pula bahwa
sebenarnya Amiruddin telah mempunyai seorang gadis pilihan. Gadis itu tak lain adalah Astiah, anak
Pak Suwondo. Selanjutnya, ibu Amiruddin minta dipertemukan dengan keluarga Suwondo.

Kata sepakat dua keluarga itu pun tercapai. Amiruddin dipertunangkan dengan Astiah. Sejak
pertunangan itu, Amir tak canggung lagi bila bertemu atau ingin berkunjung ke rumah Astiah. Begitu
pula kedua orang tua Astiah. Mereka yakin bahwa anak gadisnya berada dalam genggaman orang yang
bertabiat baik. Itulah dugaan mereka terhadap Amiruddin.

Sementara itu, pecahnya peperangan di sana-sini semakin gencar diberitakan. Amiruddin dan kawan-
kawannya serta putra-putri Indonesia ingin menjadi anggota Tentara Pasukan Sukarela. Akan tetapi,
keinginannya itu sulit terwujudkan. Di satu pihak, Amiruddin yang cinta tanah airnya, begitu terpanggil
hatinya untuk masuk ke kesatuan tentara itu. Namun, di pihak lain, ia pun cinta kepada ibu dan
adiknya, terlebih lagi kepada Astiah, kekasihnya. Relakah mereka melepasnya untuk maju ke garis
depan pertempuran? Sedangkan Harjono, temannya itu, tak diizinkan istrinya bergabung dengan tentara
sukarela. Lalu, jika Harjono tetap keras pendiriannya, istrinya mengancam untuk tidak kembali
kepadanya. Itulah yang menjadi kegelisahan Amiruddin.

Nyi Zubaedah, sebagai ibu yang bijaksana, mengerti akan kesulitan yang tengah dihadapi anaknya
itu. Namun, ia pun tak ingin melepas Amiruddin sebelum dinikahkan. Semula Amiruddin menolak,
sebab ia khawatir Astiah dan kedua orang tuanya tak akan memberinya izin. Namun, ibunya dapat
meyakinnya bahwa Astiah dan orang tuanya akan sangat mendukung maksudnya itu.

Amiruddin dan ibunya serta adiknya, kini berada di rumah Pak Suwondo. Apa yang semula menjadi
kekhawatiran Amiruddin, ternyata terjadi sebaliknya. Astiah dan orang tuanya begitu sadar akan
pentingnya arti pembelaan tanah air dan kemerdekaan. Bahkan, Astiah dan istri Harjono telah
mendaftarkan diri sebagai juru rawat sukarela. Di samping itu, Astiah telah pula menerima permintaan
ibu Amiruddin, yaitu untuk segera menikahkan mereka. Permintaan itu dibuktikan Astiah dengan
hadirnya seorang penghulu yang diundangnya tanpa sepengetahuan orang tuanya. Amiruddin menikah
dengan Astiah. Kedua belah pihak orang tua itu merasa bahagia melihat anak mereka telah menjadi
pasangan keluarga baru. Besok lusa, pengantin baru itu akan meninggalkan orang tua mereka, pergi ke
garis depan demi cinta mereka kepada tanah air.

***
Cerita Novel Cinta Tanah Air karya Nur Sutan Iskandar ini merupakan satu dari dua novel yang
terbit pada zaman Jepang. Pada cetakan keempat (1963) ada kata pengantar pengarangnya yang isinya
hendak menempatkan karya itu pada zamannya, yaitu tidak melepaskan karya ini dengan suasana yang
terjadi pada masa Jepang. Dalam konteks ini pula Cinta Tanah Air menjadi penting sebagai catatan
sejarah yang terjadi pada zamannya, sungguhpun sebagai karya sastra novel ini kurang berhasil. Studi
tentang sastra propaganda ini, lihat ulasan yang terdapat dalam ringkasan novel Palawija.

Sumber Tulisan Dari: http://www.ilmubahasa.net/2014/12/cinta-tanah-air.html#ixzz3kguRk0tH

Das könnte Ihnen auch gefallen