Sie sind auf Seite 1von 6

Bentuk Resiliensi

Teori Resiliensi mempelajari dan memahami bagaimana individu memberikan


respon terhadap risiko (stressor) dan memandu pengembangan pencegahan dengan
menggunakan pendekatan berbasis kekuatan. Teori resiliensi berfokus pada
perkembangan individu yang positif dalam menghadapi risiko (stressor) dan
menyediakan kerangka konseptual untuk mempelajari dan memahami bagaimana
individu dapat tumbuh menjadi dewasa yang sehat meskipun terpapar risiko (stressor)
(Zimmerman MA, 2013).
Resiliensi terjadi ketika faktor lingkungan, sosial, dan individu mempengaruhi
risiko (stressor) menjadi patologi. Variabel tersebut disebut sebagai faktor promotif
karena dikaitkan dengan perkembangan positif yang membantu individu untuk
mengatasi berbagai kesulitan. Teori resiliensi juga menekankan pada pendekatan
berbasis kekuatan untuk mengembangkan intervensi pencegahan yang berkonsentrasi
pada peningkatan faktor-faktor promotif daripada mengurangi paparan risiko
(stressor) atau memperbaiki gangguan pada individu (Zimmerman MA, 2013).
Faktor promotif terbagi dalam dua tipe yaitu aset dan sumber daya. Faktor
positif yang terdapat dalam diri individu seperti self-efficacy dan harga diri
didefinisikan sebagai aset. Sementara sumber daya mengacu pada faktor-faktor di
luar individu seperti dukungan orang tua, mentor, dan program yang memberikan
individu kesempatan untuk belajar dan berlatih. Aset dan sumber daya menyediakan
individu dengan atribut individu dan kontekstual yang diperlukan untuk
perkembangan yang sehat (Zimmerman MA, 2013).
Resiliensi terbagi dalam tiga model dasar yaitu compensatory model,
protection model, dan challenge model. Model-model ini memandu strategi analisis
data dan dapat menginformasikan desain intervensi dalam strategi meningkatkan
faktor-faktor promotif.
a. Compensatory Model
Pada compensatory model, faktor promotif menetralisir paparan risiko
(stressor) dengan cara yang berlawanan, langsung, dan independen pada hasil.
Dengan demikian, faktor kompensasi memiliki efek yang berlawanan pada hasil
perkembangan daripada risiko (stressor), misalnya: makan sehat, kekerasan. Hal
ini adalah efek langsung dan independen dari risiko (stressor). Contoh kasus,
individu dengan teman-temannya yang terlibat dalam sebuah perkelahian (faktor
risiko (stressor) lebih cenderung terlibat dalam perilaku kekerasan itu sendiri,
namun dukungan orang tua mengompensasi faktor risiko (stressor) ini karena
mereka memprediksi perilaku kekerasan kurang independen dari perilaku teman-
temannya. Dukungan orang tua memperkirakan perilaku kekerasan yang rendah
pada anak-anaknya dan efek ini bersifat independen serta berlawanan dengan
stressor (Fleming dan Ledogar, 2010).
Intinya pada model ini adalah stressor diperlakukan sebagai penambah
keberhasilan adaptasi. Bila stress terlalu sedikit maka tidak cukup menantang,
namun bila stressor berlebihan membuat individu tidak berdaya. Tingkat stress
yang wajar akan membuat individu tertantang dan ketika berhasil diatasi maka
akan memperkuat kompetensi.
b. Protection Model
Protection model mengacu pada proses di mana faktor promotif memoderasi
efek negatif stressor untuk memprediksi hasil negatif. Dalam model ini, faktor
promotif disebut dengan faktor protektif untuk membedakan dari faktor promotif
yang hanya mengompensasi paparan stressor. Faktor pelindung tidak seperti faktor
kompensasi. Faktor pelindung memodifikasi efek stressor secara interaktif. Dalam
suatu kasus, hubungan antara status sosial ekonomi dengan stress akan berkurang
pada individu yang tinggal di perkotaan karena dia mampu untuk aktif mengatasi
(“active coping”) stressor yang timbul. Dengan demikian, active coping
merupakan faktor pelindung untuk stress fisiologis yang terkait dengan status
sosial ekonomi. Faktor pelindung juga mampu berperan untuk meningkatkan
faktor-faktor promotif yang lainnya. Dalam suatu kasus, harga diri meningkatkan
efek positif dari enkulturasi (koneksi ke budaya tradisional) untuk memperkirakan
penggunaan atau tingkat konsumsi alkohol di suatu daerah. Faktor-faktor
pelindung yaitu
1. Caring and supporting relationship
2. High expectations
3. Meaningful participation
4. Sense of Purpose and Future
5. Social Competence
6. Problem-Solving Skills
7. Appreciation of Role Models
8. Knowledgeable of Resources
Dokter perlu memahami faktor-faktor yang melekat ini dan mencocokkannya
dengan kebutuhan individu untuk memfasilitasi pembangunan resiliensi dalam diri
individu. Program-program yang dapat dilakukan kepada individu dengan
menggunakan model proteksi yaitu :
1. School and Teacher Connectedness
2. Peer Connectedness
3. Positive Family-School Links
4. Family Connectedness
5. One caring adult outside the family
6. Community Connectedness
7. Religious involvement
8. Helpful and positive thinking skills and attitudes
9. Social Skills
10. Skills and beliefs related to resourcefulness and adaptivity
11. Emotional Literacy
12. Healthy self esteem: A sense of personal competence
13. Healthy self-esteem: Self knowledge
c. Challenge Model
Challenge model dilakukan sebagai inokulasi, dengan tingkat paparan stress
benar-benar membantu individu untuk mengatasi paparan stress yang berikutnya.
Paparan awal stress harus cukup menantang untuk membantu individu
mengembangkan mekanisme penanggulangan dalam mengatasi dampaknya, tetapi
tidak begitu membebani karena akan membuat terlampauinya kemampuan
individu dalam mengatasi stress. Contoh suatu kasus, konflik interpersonal yang
diselesaikan dengan damai akan membantu individu dalam mengatasi ketegangan
sosial tanpa menggunakan tindakan kekerasan dalam perselisihan sosial.
Challenge model ini masih belum dipelajari secara luas karena memerlukan
pengujian istilah kuadrat menggunakan model kurva pertumbuhan dengan data
longitudinal dan pengetahuan tentang variasi paparan stress dari waktu ke waktu
(Fleming dan Ledogar, 2010).
Aplikasi yang menarik dari model resiliensi ini adalah resiliensi reintegrasi.
Resiliensi reintegrasi merupakan hasil yang paling positif dari suatu proses yang
melibatkan reaksi individu terhadap beberapa stress atau kesulitan. Resiliensi
reintegrasi terjadi ketika individu mendapatkan wawasan atau pertumbuhan
sebagai akibat dari stress. Hal ini akan menghasilkan identifikasi atau penguatan
resiliensi. Berdasarkan teori, individu mempunyai potensi lebih dari yang mereka
miliki.
Resiliensi reintegrasi ini membentuk gelombang kedua yang disebut juga
metateori resiliensi. Gelombang pertama bersifat deskriptif, memahami resiliensi
menjadi sekumpulan kekuatan atau aset yang membantu individu bertahan hidup
dalam kesulitan. Gelombang kedua, resiliensi reintegrasi lebih terfokus untuk
membantu individu mencapai pertumbuhan atau adaptasi. Pada gelombang
resiliensi “postmodern” ketiga, konsepnya mengacu pada kekuatan dalam setiap
diri individu untuk mencari identitas diri yaitu aktualisasi, altruisme,
kebijaksanaan dan harmoni dengan sumber kekuatan spiritual.

Ketiga model resiliensi ini berfokus pada jalur yang berbeda setelah trauma
dan peran resiliensi awal pada hasil perkembangan jangka panjang. Penelitian yang
tidak menggunakan salah satu dari model di atas dapat memberikan hasil
perkembangan individu yang positif namun gagal mengidentifikasi mekanisme
perubahan.
Memahami bagaimana faktor-faktor promotif beroperasi bersama dengan
stress juga penting untuk penelitian intervensi. Faktor-faktor promosi telah
diidentifikasi sebagai aset atau sumber daya. Aset adalah faktor-faktor dalam individu
seperti keampuhan, identitas, dan orientasi ke masa depan. Sumber daya adalah faktor
yang bersifat eksternal bagi individu seperti mentor dewasa dan struktur peluang.
Aset dan sumber daya dapat diintegrasikan melalui keterlibatan dalam kegiatan
prososial karena partisipasi membutuhkan baik inisiatif individu maupun struktur
peluang eksternal. Dengan demikian, aset, sumber daya, dan integrasi memberikan
individu atribut dan kontekstual yang diperlukan untuk mempromosikan
pembangunan yang sehat dalam menghadapi stress. Contoh-contoh empiris dari
penelitian yaitu tentang identitas etnis, dukungan sosial, dan keterlibatan prososial
sebagai contoh aset promotif, sumber daya, dan integrasi. Ketiga faktor promotif ini
dipilih karena memiliki kualitas yang dapat dimodifikasi, dan membantu
menginformasikan dua intervensi yang dijelaskan (Fleming dan Ledogar, 2010).
Resiliensi pada individu juga diarahkan pada resiliensi karir dan organisasi.
Resiliensi organisasi terjadi bila individu a) baru saja mendapatkan, b) kembali ke
status quo setelah mengalami kesulitan, c) mampu berkembang melalui peningkatan
yang konsisten atau kinerja yang tinggi. Pemikiran ini sesuai dengan konsep individu
untuk bertahan hidup, pemulihan diri, dan perkembangan diri. Oleh karena itu,
resiliensi organisasi mengarah pada ketahanan individu terhadap gangguan karir
dalam lingkungan yang kurang optimal dan kemampuan individu untuk menangani
kondisi kinerja yang buruk. Resiliensi karir berperan penting untuk individu baik
dalam kelangsungan hidup, adaptasi, dan kesuksesan. Tantangan yang dihadapi oleh
setiap individu saat ini adalah menerima tanggung jawab untuk melakukan apapun
yang diperlukan untuk bergerak maju dalam sebuah kesulitan. Dalam hal ini, individu
yang memiliki resiliensi yang bagus akan bertindak dengan keberanian untuk
melepaskan diri dari stress (Ledesma, 2014).
Individu memiliki resiliensi apabila sudah memenuhi empat karakteristik
berikut :
1) Pendekatan aktif terhadap suatu pemecahan masalah.
2) Kecenderungan untuk menerima setiap kenyataan dengan penuh tanggung jawab
dan berpikir positif meskipun keadaan sedang menderita.
3) Kemampuan untuk mendapatkan perhatian
4) Ketergantungan individu yang kuat terhadap iman/ populasi
Zimmerman MA (2013). Resiliency theory: a strengths-based approach to research
and practice for adolescent health. Health Educ Behav 40(4): 381-383.
Fleming J, Ledogar RJ (2010). Resilience, an evolving concept: a review of literature
relevant to aboriginal research. Canadian Institute of Health Research 6(2): 7-
23.
Ledesma J (2014). Conceptual frameworks and research models on resilience in
leadership. Sage Open 2014: 1-8

Das könnte Ihnen auch gefallen