Sie sind auf Seite 1von 41

PRESENTASI KASUS

Seorang Wanita Usia 49 Tahun dengan TB Paru

Oleh :
Muhammad Hilmy Labibi G99161062
Ellena Rachma Kusuma G99161037
Ridho Frihadananta G99161082
Adhelia Galuh Permatasari A. G99162142
Peter Darmaatmaja Setiabudi G99162143
Purnomo Andimas Edoryansyah G99161077
I Gusti Ngurah Agung Wiriyana G99161102
M Syukri Kurnia Rahman G99161007
Hana Indriyah Dewi G99162140
Nisrina Amalia Rohimah G99162141

Pembimbing
Dr. Reviono, dr., Sp.P (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Usia : 49 Th
Alamat : Palur, Ngringo Jaten Karanganyar
Tanggal Masuk : 4 Juli 2017
Tanggal Pemeriksaan : 4 juli 2017
No. Rekam Medis : 01345xxx
2. Keluhan Utama
Sesak Napas
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan sesak napas sejak kurang lebih 5 hari SMRS. Keluhan
dirasakan memberat 1 hari SMRS. Sesak napas muncul ketika pasien beraktivitas,
dan berkurang ketika pasien beristirahat. Mengi (-), keluhan sesak napas tidak
dipengaruhi cuaca dan dingin. Pasien masih nyaman tidur dengan satu bantal.
Riwayat terbangun malam hari karena sesak napas disangkal. Nyeri dada (-).
Pasien sebelumnya masuk RS PKU Karanganyar sejak tanggal 28 juni 2017
hingga 3 juli 2017 dengan telah dilakukan pemeriksaan dahak (hasil tidak
diketahui), dan kultur TB, pasien menerima pengobatan OAT FDC 1x3 tab +
streptomicyn mulai tanggal 1 juli 2017 oleh dr paru.
Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak berwarna putih sejak satu minggu
SMRS. Batuk berdarah (-). Pasien mengeluh nyeri pada seluruh badan setelah diberi
obat suntikan.
Demam (+) 12 jam SMRS. Demam sumer-sumer (-), mual (-), muntah (-),
keringat malam tanpa aktivitas (+), penurunan nafsu makan (+), penurunan berat
badan (+)dari 65 kg menjadi 45 kg, BAB dan BAK tidak ada keluhan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Alergi : (-)
Riwayat OAT : (+) pengobatan 3 bulan, berhenti karena merasa sudah
lebih baik (1 tahun SMRS)
Riwayat Hipertensi : (-)
Riwayat Diabetes Mellitus : (+)
Riwayat Penyakit Jantung : (-)
Riwayat Demam : (+)
Riwayat Trauma : Disangkal
Riwayat Mondok : (-)
Riwayat Paparan Asap : (-)
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Keluarga OAT : Disangkal
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : Disangkal
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Pasien sadar compos mentis tampak sakit sedang dengan GCS E4V5M6
2. Tanda Vital
 Tekanan darah : 140/70 mmHg
 Frekuensi pernapasan : 32 x/menit
 Frekuensi nadi : 110 x/menit, regular, isi kesan cukup
 Temperature : 37.7
 SpO2 : 97% (O2 3 lpm)
3. Head to toe examination
 Mata : Visus N/N, konjungtiva anemis -/-
 Telinga : tidak ada kelainan
 Hidung : tidak ada kelainan
 Mulut : malokasi (-), maksila goyang (-)
 Leher : Pembesaran KGB (+) sebelah kiri diamter 1,5 cm, JVP
dalam batas normal
 Thorak : Simetris (+), Retraksi (-)
 Pulmo anterior :
o Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
o Palpasi : Fremitus taktil teraba kanan = kiri
o Perkusi : Terdengar suara sonor di kedua lapang paru
o Auskultasi : SDV +/+, ronki basah kasar +/+, wheezing -/-
 Pulmo posterior :
o Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
o Palpasi : Fremitus taktil teraba kanan = kiri
o Perkusi : Terdengar suara sonor di kedua lapang paru
o Auskultasi : SDV +/+, ronki basah kasar +/+, wheezing -/-
 Cor :
o Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
o Palpasi ; Iktus kordis tidak kuat angkat
o Perkusi : Batas Jantung tidak melebar
o Auskultasi : Terdengar bunyi jantung I & II, regular, intensitas
normal dan tidak didapatkan bunyi jantung tambahan
 Abdomen :
o Inspeksi : Dalam batas normal
o Auskultasi : Bising usus positif, dalam batas normal
o Perkusi : Dalam batas normal
o Palpasi : Nyeri epigastrium (-)
 Ekstremitas :
Akral dingin - - edema - -
- - - -

 CRT : < 2 detik

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil laboratorium
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 11.6 g/dl 13.5 - 17.5
Hematokrit 37 % 33 – 45
Leukosit 19.9 ribu/ul 4.5 – 11.0
Trombosit 436 ribu/ul 150 – 450
Eritrosit 4.58 juta/ul 4.10 - 5.90
INDEX ERITROSIT
MCV 80.4 /um 80.0-96.0
MCH 25.4 pg 28.0-33.0
MCHC 31.6 g/dl 33.0-36.0
PDW 16 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.30 % 0.00-4.00
Basofil 0.10 % 0.00-2.00
Netrofil 91.00 % 55.00-80.00
Limfosit 4.40 % 22.00-44.00
Monosit 4.20 % 0.00-7.00
HEMOSTASIS
PT 13.9 detik 10.0-15.0
APTT 21.8 detik 20.0-40.0
INR 1.140 -
KIMIA KLINIK
GDS 247 mg/dl 60 – 140
Albumin 3.1 u/L 3.2-4.6
Kreatinin 0.2 u/ 0.8-1.3
Ureum 32 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium
122 mmol/L 136 – 145
darah
Kalium darah 3.6 mmol/L 3.7- 5.4
Klorida ion 90 mmol/L 98-106
HbsAg
HbsAg Nonreaktif Nonreaktif
ANALISA GAS DARAH (AGD)
pH 7.480 7.350-7.450
BE 5.5 Mmol//L -2 - +3
PCO2 39.0 mmHg 35.0-45.0
PO2 41.0 mmHg 83.0-108.0
Hematokrit 42 % 37-50
HCO3 28.5 Mmol/L 21.0-26.0
Total CO2 30.2 Mmol/L 19.0-24.0
O2 Saturasi 80.0 % 94.0-98.0
Laktat arteri 2.00 Mmol/L 0.36-0.75
H+ 32.84 40
Fi O2 0.28
Pa O2 150.89
Pa O2 Target 331.221
Fi O2 koreksi 0.53
HS 146.42 Hipoksia sedang
AaD O2 109.89 Gangguan difusi
2. Pemeriksaan Radiologi

Hasil bacaan foto thorak PA/Lat:


 Jantung besar dan bentuk normal
 Paru tampak fibroinfiltrat disertai cavitas multiple pada suprahillus hingga
apeks paru bilateral
 Sinus costophrenicus kanan kiri anterior posterior tajam
 Retrosternal dan retrocardiac space sebagian tertutup perselubungan
 Hemidiafragma kanan normal kiri tertutup perselubungan
 Trakea di tengah
 Sistema tulang baik
Kesimpulan : TB paru aktif lesi luas

D. DAFTAR MASALAH
1. Sesak nafas 5 hari SMRS
2. Batuk sejak 1 minggu SMRS
3. Nyeri seluruh badan
4. TB paru putus obat BTA (?)
5. Riwayat DM tipe 2 (+)
6. Riwayat mondok (+)
7. Pemeriksaan fisik pulmo: RBK di kedua lapang paru
8. Lab : leukositosis, Hiponatremia
9. AGD: kesan alkalosis metabolik terkompensasi
10. Rontgen : TB paru aktif lesi luas

E. ASESSMENT
1. Dyspneu dengan TB paru putus obat BTA (?) dalam terapi OAT kategori II bulan
I ( mulai 1 juli 2017)
2. DM tipe II

F. TATALAKSANA
 Oksigenasi dengan nasal canul 3 lpm
 Diet DM 1500 kkal
 Infus NaCl 3% 20 tpm  dilanjutkan Nacl 0.9%
 Injeksi Amoxidar 1.200 mg/8jam
 Injeksi Ketorolac 1mg/12 jam
 NAC 200mg/8 jam oral
 OAT : FDC 1 x3 tab dan inj. Streptomisin 1 amp/24 jam

G. PLANNING
 Sputum MO/G/K/R
 Sputum BTA s/p
 Kultur BTA
 Sputum GenXpert
 Konsultasi interna
 Cek elektrolit ulang pasca koreksi
BAB III
FOLLOW UP PASIEN

5 Juli 2017 – DPH 1


S : Sesak berkurang
O : KU sadar, compos mentis
 TD : 110/70 mmHg
 N : 102 x/menit
 RR : 24 x/menit
 SpO2 : 99% O2 3 lpm
A :
- TB paru putus obat BTA (?) dalam terapi OAT kategori II bulan I ( mulai 1 juli
2017)
- DM tipe II
P : Terapi:
 Oksigenasi dengan nasal canul 3 lpm
 Diet DM 1500 kkal
 Infus NaCl 3% 20 tpm  dilanjutkan Nacl 0.9%
 Injeksi Amoxidar 1.200 mg/8jam
 Injeksi Ketorolac 1mg/12 jam
 NAC 200mg/8 jam oral
 OAT : FDC 1 x3 tab dan inj. Streptomisin 1 amp/24 jam
Plan:
 Sputum MO/G/K/R
 Sputum BTA s/p
 Kultur BTA
 Sputum GenXpert
 Konsultasi interna
 Cek elektrolit ulang pasca koreksi
ANALISA GAS DARAH (AGD)
pH 7.440 7.350-7.450
BE 0.3 Mmol//L -2 - +3
PCO2 36.0 mmHg 35.0-45.0
PO2 84.0 mmHg 83.0-108.0
Hematokrit 37 % 37-50
HCO3 25.2 Mmol/L 21.0-26.0
Total CO2 25.7 Mmol/L 19.0-24.0
O2 Saturasi 97.0 % 94.0-98.0
Laktat arteri 1.30 Mmol/L 0.36-0.75
H+ 34.28 40
Fi O2 0.28
Pa O2 154.64
Pa O2 Target 165.68
Fi O2 koreksi 0.295
HS 350 Hipoksemia ringan
AaD O2 70.64 Gangguan difusi

6 Juli 2017 – DPH 2


S :Sesak berkurang,
O : KU sadar, compos mentis
 TD : 110/70 mmHg
 N : 104 x/menit
 RR : 23 x/menit
 SpO2 : 97% O2 3 lpm
Pulmo:
 Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
 Palpasi : Fremitus taktil teraba kanan = kiri
 Perkusi : Terdengar suara sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi : SDV (+/+), RBK (+/+), wheezing (-/-)
A :
- HAP early onset
- TB paru putus obat BTA (+2) dalam terapi OAT kategori II bulan I
- DM tipe II
P : Terapi:
 Oksigenasi dengan nasal canul 3 lpm
 Diet DM 1500 kkal
 Infus NaCl 0,9% 20 tpm
 Injeksi Amoxidar 1.200 mg/8jam
 Injeksi Ketorolac 1mg/12 jam
 NAC 200mg/8 jam oral
 OAT : FDC 1 x3 tab dan inj. Streptomisin 1 amp/24 jam i.m
Plan:
 Sputum MO/G/K/R
 Kultur BTA
 Sputum GenXpert
 Cek elektrolit
 Konsul VCT

7 JULI 2017 – DPH 3

S: Lemas berkurang, batuk jarang, sesak nafas kadang-kadang

O: Sakit sedang, compos mentis

TD: 110/70 mmHg; N: 95 x/menit; RR: 21x/menit; SiO2 : 97% (O2 3 lpm)

Pulmo
 Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan sama dengan dinding dada kiri
 Palpasi : fremitus raba dinding dada kanan sama dengan dinding dada kiri
 Perkusi : sonor/sonor
 Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi (-/+), wheezing (+/+)

A:
1. HAP early onset
2. TB paru putus obat BTA (+2) status HIV (?) dalam terapi OAT kategori II bulan I
3. DM tipe 2

P:
1. O2 3 lpm
2. Diet DM 1500 kkal
3. IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
4. Inj. Amoxicillin 1200 mg/8 jam
5. Inj. Ketorolac 1 mg/12 jam
6. N-asetil sistein 3x200 mg
7. 4FDC fase intensif 1x3 tab
8. Streptomycin 750 mg/24 jam

Planning:
1. Sputum MO/G/K/R
2. Sputum kultur BTA
3. Sputum gen xpert
4. Konsul VCT belum dijawab
HASIL LABORATORIUM

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 10.0 g/dl 12.0-15.6
Hematokrit 30 % 33-45
Leukosit 16.8 ribu/ul 4.5-11.0
Trombosit 382 ribu/ul 150-450
Eritrosit 3.87 juta/ul 4.50-5.10
INDEKS ERITROSIT
MCV 77.5 /um 80.0-96.0
MCH 25.8 Pg 28.0-33.0
MCHC 33.3 g/dl 33.0-36.0
RDW 13.1 % 11.6-14.6
MPV 9.0 Fl 7.2-11.1
PDW 9 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.40 % 0.00-4.00
Basofil 0.10 % 00.00-02.00
Neutrofil 85.40 % 55.00-80.00
Limfosit 7.10 % 22.00-44.00
Monosit 7.00 % 0.00-7.00
KIMIA KLINIK
SGOT 12 u/l <31
SGPT 10 u/l <34
ELEKTROLIT
Natrium darah 124 mmol/L 136-145
Kalium darah 3.0 mmol/L 3.3-5.1
Khlorida darah 94 mmol/L 98-106
8 JULI 2017 – DPH 4

S: Lemas berkurang, batuk jarang, sesak nafas kadang-kadang

O: sakit sedang, compos mentis

TD: 120/70 mmHg; N: 99 x/menit; RR: 20 x/menit; SiO2 : 98% (O2 3 lpm)

Pulmo
 Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan sama dengan dinding dada kiri
 Palpasi : fremitus raba dinding dada kanan sama dengan dinding dada kiri
 Perkusi : sonor/sonor
 Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi (-/+), wheezing (+/+)

A:
1. HAP early onset
2. TB paru putus obat BTA (+2) status HIV (?) dalam terapi OAT kategori II bulan I
3. DM tipe 2

P:
1. O2 3 lpm
2. Diet DM 1500 kkal
3. Inj. Amoxicillin 1200 mg/8 jam
4. Inj. Ketorolac 1 mg/12 jam
5. N-asetil sistein 3x200 mg
6. 4FDC fase intensif 1x3 tab
7. Streptomycin 750 mg/24 jam

Planning: Tunggu hasil VCT


BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien mengeluhkan sesak napas sejak kurang lebih sejak 5 hari SMRS. Selain itu, pasien
juga mengeluhkan batuk berdahak warna putih kental sejak 1 minggu SMRS disertai dengan
demam, keringat malam tanpa aktivitas dan penurunan berat badan. Secara umum, gejala
klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala
organ yang terlibat) dan gejala sistemik. Gejala respiratorik meliputi batuk ≥ 3 minggu, batuk
darah, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak
ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi (PDPI, 2014).
Sesak napas atau dyspnea adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan gejala utama
dari penyakit kardiopulmonar. Penyebab dyspnea antara lain: 1) reseptor mekanik pada otot
pernapasan; 2) kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2; 3) peningkatan kerja pernapasan;
4) ketidakseimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi (Price dan Wilson,
2006). Seiring dengan perkembangan penyakit, pada pada penderita TB paru terjadi
penumpukan sekret pada dinding paru-paru atau saluran pernapasan sehingga menyebabkan
penurunan ekspansi dada dan paru-paru yang menimbulkan sesak napas. (Zahroh dan
Susanto, 2017).
Batuk merupakan merupakan reflek pertahanan yang timbul akibat iritasi percabangan
trakeobronkial. Rangsangan yang dapat menimbulkan batuk adalah rangsangan mekanik,
kimia, dan peradangan. Setiap proses peradangan saluran napas dengan atau tanpa eksudat
dapat mengakibatkan batuk (Price dan Wilson, 2006). Bila bronkus belum terlibat dalam
proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi
karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar
(PDPI, 2014). Dahak atau sputum terbentuk akibat pembentukan mukus yang berlebihan oleh
karena infeksi TB pada membran mukosa (Price dan Wilson, 2006). Batuk berdarah pada
pasien TB Paru terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah
tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah. Namun, batuk darah tidak selalu
terjadi karena pecahnya aneurisma pada dinding kaviti, tetapi bisa terjadi karena ulserasi pada
mukosa bronkus (Tao dan Kendall, 2013).
Gejala sistemik pada TB antara lain demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan
penurunan berat badan (PDPI, 2014). Demam merupakan peningkatan subu tubuh yang
normal bersama dengan peningkatan set point hipotalamus, biasanya disebabkan oleh infeksi
(Saputra, 2010). Penurunan berat badan selain dapat terjadi oleh karena penurunan nafsu
makan, dapat juga terjadi akibat peningkatan katabolisme oleh akibat infeksi dari kuman TB.
Adapun proses katabolisme oleh kuman TB ini dominan terjadi pada malam hari sehingga
menimbulkan gejala klinis berupa berkeringat di malam hari (Bhargava et al., 2013).
Pasien mengaku pernah mendapatkan pengobatan OAT selama 3 bulan pada 1 tahun yang
lalu, namun karena merasa sudah lebih baik pasien berhenti berobat. Kondisi ini disebut juga
sebagai putus berobat atau drop out, didefinisikan sebagai pasien TB yang tidak patuh minum
obat, tidak mengambil dan meminum obat ielama dua bulan berturut-turut, dan atau pasien
menghentikan pengobatan sendiri tanpa instruksi dokter. Hasil penelitian Himawan et al.
(2015) di Indonesia menunjukkan bahwa alasan terbanyak pasien TB tidak patuh melanjutkan
pengobatan adalah karena sudah merasa sehat dan mengalami efek samping obat. Putus
berobat atau drop out merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan pengobatan yang
berpotensi meningkatkan kemungkinan terjadinya resistensi obat MDR TB. Apabila
terjadivresistensi obat maka biaya pengobatan akan lebih banyak dan waktu pengobatan juga
akan lebih lama (Himawan et al., 2017).
Selain itu, dari anamnesis diketahui bahwa pasien memiliki riwayat diabetes mellitus.
Orang dengan sistem kekebalan tubuh lemah, akibat penyakit kronis seperti diabetes,
memiliki risiko lebih tinggi untuk berkembang dari TB laten ke aktif. Diabetes
melipatgandakan risiko seseorang terkena TB. Sekitar 15% kasus TB di seluruh dunia
mungkin terkait dengan diabetes. TB sementara dapat menyebabkan gangguan toleransi
glukosa yang merupakan faktor risiko diabetes. Kemungkinan orang dengan TB akan
meninggal atau kambuh secara signifikan lebih tinggi jika penderita diabetes juga (WHO,
2016), Arlinda et al. (2017) dalam penelitiannya mendapatkan kegagalan pengobatan
(meninggal, putus berobat, gagal pengobatan, atau pindah) tiga kali lebih besar pada TB-DM
dibanding TB-non DM. Beberapa kemungkinan yang menjelaskan pengaruh DM terhadap
gambaran klinis dan luaran pengobatan TB diantaranya resistensi terhadap obat anti TB
(OAT) lebih tinggi, gangguan pada imunitas selular, dan konsentrasi OAT dalam plasma
lebih rendah. Interaksi antara obat hipoglikemia oral (OHO) jenis sulfonilurea dengan
rifampisin dan isoniazid menghasilkan efek hiperglikemia. Selain itu, kondisi diabetes
mempengaruhi farmakokinetik dan menurunkan konsentrasi rifampisin dalam darah (Arlinda
et al., 2017).
Pada pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan ronki basah kasar di kedua lapang paru.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan
pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan
pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah
ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess” (PDPI, 2014).

Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan jumlah limfosit di bawah normal (Depkes RI, 2006). Pada kasus ini,
diketahui leukosit meningkat menjadi 19.9ribu/ul dan limfosit turun menjadi 4.40%,
mendukung adanya tuberkulosis paru.

Berdasarkan hasil AGD, pasien mengalami alkalosis metabolik terkompensasi. Hasil


AaDO2 sebesar 109.89 pada pemeriksaan pertama dan 70.64 pada pemeriksaan kedua,
menunjukkan bahwa pasien memiliki gangguan difusi. Gangguan difusi dapat disebabkan
oleh adanya infeksi. Maka, hasil pemeriksaan AGD pasien mendukung adanya tuberkulosis
paru.

Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA
positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif
apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA
hasilnya positif (Depkes RI, 2006). Pada kasus ini, didapatkan BTA +2, sehingga semakin
mendukung adanya tuberkulosis paru.

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi TB. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga
mengenai lobus bawah atau daerah hilus. (Depkes RI, 2006). Pada TB yang sudah lanjut,
sering didapatkan infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, dan kavitas (Bahar, 2007). Pada
kasus ini, tampak gambaran fibroinfiltrat disertai kavitas multipel pada suprahillus hingga
apeks paru bilateral, sesuai dengan gambaran tuberkulosis paru.

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di


Indonesia adalah :
- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/HRZE)/5(HR)3E3
- Kategori anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR
Pada kasus ini, pasien diketahui telah mengikuti pengobatan rutin OAT selama 3
bulan, tetapi berhenti karena merasa sudah lebih baik (1 tahun SMRS), sehingga pasien
termasuk dalam golongan putus obat. Paduan OAT yang diberikan untuk pasien BTA positif
yang pernah diobati sebelumnya, seperti pasien yang diobati kembali setelah putus berobat
(lost to follow up) merupakan panduan OAT Kategori 2. Maka, pada kasus ini, diberikan
pengobatan OAT Kategori 2.
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala umum TB paru
adalah batuk produktif leboh dari 2 minggu yang disertai gejala pernapasan (sesak napas,
nyeri dada, hemoptysis) dan atau gejala tambahan (tidak nafsu makan, penurunan berat
badan, keringat malam dan mudah lelah). Dalam menentukan suspek TB harus
dipertimbangkan faktor seperti usia pasien, imunitas pasien, status HIV atau prevalens
HIV dalam populasi(PDPI, 2011).
Kasus TB adalah pasien TB dengan ditemukan Mycobacterium tuberculosis complex
yang diidentifikasi dari specimen klinik (jaringan, cairan tubuh, usap tenggorok, dll) dan
kultir. Pada negara dengan keterbatasan kapasitas laboratorium dalam mengidentifikasi
M.tuberculosis maka kasus TB paru dapat ditegakkan apabila ditemukan satu atau lebih
dahak BTA positif. Atau seorang pasien yang telah dilakukan pemeriksaan penunjang
untuk TB sehingga didiagnosis TB oleh dokter maupun petugas kesehatan dan diobati
dengan paduan dan lama pengobatan yang lengkap(PDPI, 2011).

B. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia
ini. Sejak 1992, WHO telah mencanangkan TB sebagai Global Emergency. Jumlah kasus
terbanyak didapatkan di regio Asia Tenggara (35%), Afrika (30%), dan regio Pasifik Barat
(20%). Sebanyak 11-13% kasus TB adalah HIV positif, dan 80% kasus TB-HIV berasal
dari regio Afrika. Pada tahun 2009, diperkirakan kasus TB multi-drug resistant (MDR)
sebanyak 250.000 kasus.
Hasil data WHO tahun 2009, menunjukkan lima negara dengan insidens kasus
terbanyak yaitu India (1,6-2,4 juta), China (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,4-0,59 juta),
Nigeria (0,37-0,55 juta), dan Indonesia (0,35-0,52 juta). India menyumbang seperlima dari
seluruh jumlah kasus TB di dunia (PDPI, 2011).
C. ETIOLOGI
Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis complex.
Kuman ini berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um.
Mycobacterium tuberculosis complex digolongkan menurut perbedaan epidemiologi
menjadi beberapa jenis yaitu M. tuberculosae, Varian Asian, Varian African I, Varian
African II, M. bovis (Amin dan Bahar, 2009).
Kuman ini memiliki dinding yang terdiri dari asam lemak (lipid), peptidoglikan dan
arabinomannan. Kandungan lipid membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam
alkohol) sehingga disebut sebagai bakteri tahan asam (BTA) dan lebih tahan terhadap
gangguan kimia dan fisis. Kuman TB mempunyai sifat dormant yang memungkinkan
dapat hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin. Sifat dormant
memungkinkan kuman TB menjadi aktif lagi. Dalam jaringan tubuh, kuman hidup sebagai
parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang seharusnya
memfagosit kuman TB justru menjadi tempat yang baik untuk pertumbuhan kuman TB
karena kandungan lipid yang banyak (Amin dan Bahar, 2009).
Kuman TB juga memiliki sifat aerob. Kuman ini menyukai jaringan yang tinggi
kandungan oksigennya. Tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari
bagian lain, sehingga bagian apikal paru ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberkulosis (Amin dan Bahar, 2009).

D. PATOFISIOLOGI
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dalam droplet yang terhirup, dapat mencapai alveolus.
Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik.
Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan
sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB
dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat
tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer ghon
(Werdhani, R. A,2011; Wijaya AA, 2004).
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis)
dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru
bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe
regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis)
(Werdhani, R. A,2011; Wijaya AA, 2004).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan
pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh
hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler (Werdhani, R. A,2011; Wijaya AA, 2004).
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan kuman TB
sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin mengalami
perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primerlah dinyatakan infeksi
TB primer telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Setelah
kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB juga terbentuk. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun baik, begitu sistem imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam
alveoli akan segera dimusnahkan (Werdhani, R. A,2011; Wijaya AA, 2004).
Ketika imunitas seluler telah terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi. Kelenjar limfe
regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini (Werdhani, R. A,2011; Wijaya AA, 2004).
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik (Werdhani, R. A,2011; Wijaya AA, 2004).
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaranhematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman
TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala
klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang
biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang,
ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi
tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya (Werdhani, R. A,2011; Wijaya
AA, 2004).
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak
langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi.
Bertahun-tahun kemudian bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat
mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB
tulang, dan lain-lain (Werdhani, R. A,2011; Wijaya AA, 2004).

E. FAKTOR RISIKO
Perkembangan penyakit tuberkulosis dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksogen
dan endogen. Faktor eksogen berperan penting dalam tahap paparan kuman TB hingga
terjadinya infeksi, sementara faktor endogen berperan dalam perkembangan infeksi hingga
sakit TB. Beberapa faktor risiko membuat perkembangan penyakit TB menjadi sangat
cepat seperti HIV, diabetes, malnutrisi, penggunaan obat imunosupresif, konsumsi
alkohol, usia muda, asap tembakau/ merokok, polusi udara dalam ruangan. Faktor sosial
ekonomi, pekerjaan, dan perilaku juga berperan penting dalam penularan kuman TB.
Petugas pelayanan kesehatan merupakan kelompok yang berisiko tinggi terkena infeksi
dan penyakit TB (Narasimhan et al., 2013).
Gambar 1. Faktor Risiko Tuberkulosis
Secara umum, orang yang berisiko tinggi terkena penyakit TB terbagi dalam dua
kategori yaitu orang yang baru terinfeksi TB dan orang yang dalam kondisi sistem imun
yang lemah. Orang yang baru terinfeksi TB terdiri dari kontak yang erat dengan penderita
TB, orang yang baru saja bepergian/ berpindah dari daerah yang tinggi angka penyakit TB,
anak-anak kurang dari 5 tahun dengan uji TB positif, kelompok dengan transmisi TB yang
tinggi (tunawisma, orang dengan pengguna narkoba suntikan, orang-orang yang terinfeksi
HIV), orang yang bekerja atau tinggal dengan orang-orang yang terinfeksi TB di fasilitas
atau institusi seperti rumah sakit, tempat penampungan tunawisma, panti jompo, tempat
tinggal untuk pasien HIV. Kategori orang yang dalam kondisi sistem imun yang lemah
yaitu HIV, silicosis, diabetes mellitus, penyakit ginjal kronik, berat badan rendah,
transplantasi organ, kanker kepala dan leher, terapi medikamentosa seperti kortikosteroid,
terapi pada penyakit Chron, rheumatoid arthritis (CDC, 2016)

F. CARA PENULARAN
Mycobacterium tuberculosis terbawa dalam partikel udara, dikenal dengan droplet
nuclei yang berdiameter 1-5 micron. Droplet nuclei yang infeksius dihasilkan saat
penderita TB batuk, bersin, berteriak atau menyanyi. Faktor lingkungan berpengaruh pada
penularan kuman TB. Kuman TB ini dapat bertahan beberapa jam di udara. M.
tuberculosis ditularkan melalui udara bukan dengan kontak permukaan. Penularan terjadi
ketika seseorang menghirup droplet nuclei yang berisi M. tuberculosis yang kemudian
melewati mulut atau saluran hidung, saluran pernafasan atas, bronkus kemudian alveoli
paru (CDC, 2005).

Gambar 2. Cara Penularan Kuman TB

F. GEJALA

Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik.
Gejala respiratorik diantaranya adalah batuk lebih dari 2 minggu, batuk darah, sesak napas
dan nyeri dada. Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat, tergantung dari luas lesinya. Gejala sistemik yang ditimbulkan
akibat infeksi TB antara lain demam yang tidak terlalu tinggi dan berlangsung lama,
biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam, penurunan nafsu makan dan berat
badan, perasaan tidak enak (malaise), serta lemah (Werdhani, R. A,2011; Wijaya AA,
2004).

Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
awal perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pada pleuritis TB kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga
pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai
tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis TB terlihat pembesaran
kelenjar getah bening, tersering di daerah leher dan kadang di daerah ketiak (Werdhani, R.
A,2011; Wijaya AA, 2004).

Untuk gejala khusus lainnya tergantung dari organ tubuh mana yang terkena. Apabila
terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar maka akan menimbulkan suara mengi dan suara
nafas melemah yang disertai sesak. Apabila ada cairan di rongga pleura, dapat disertai
dengan keluhan sakit dada. Bila mengenai tulang maka akan terjadi gejala seperti infeksi
tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya
sehingga akan keluar cairan nanah dari muara tersebut. Pada anak-anak dapat mengenai
lapisan pembungkus otak yang disebut sebagai meningitis, gejalanya yaitu demam tinggi,
adanya penurunan kesadaran, dan kejang-kejang (Werdhani, R. A,2011; Wijaya AA,
2004).

G. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS

Kasus TB diklasifikasikan berdasarkan:

1. Berdasarkan letak anatomi penyakit

• Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru. Tuberkulosis


milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya yang terletak dalam paru.
• TB ekstraparu adalah kasus TB yang mengenai organ lain selain paru seperti
pleura, kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan atau hilus), abdomen,
traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang, dan selaput otak(PDPI, 2011).

2. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi

a. Tuberkulosis BTA positif apabila:

• Minimal satu dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan dahak


menunjukkan hasil positif. Sebaiknya satu kali pemeriksaan dahak tersebut
berasal dari dahak pagi hari.
• Dua atau lebih hasil pemeriksaan dahak BTA positif
• Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif dan didukung hasil pemeriksaan
foto toraks sesuai dengan gambaran TB yang ditetapkan oleh klinisi
• Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif ditambah hasil kultur
M.tuberculosis positif(PDPI, 2011).

b. Tuberkulosis BTA negatif apabila:

• Hasil pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil kultur positif


• Hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negatif di daerah yang belum
memiliki fasilitas kultur M.tuberculosis(PDPI, 2011).

c. Kasus bekas TB apabila:

• Hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran radiologi paru menunjukkan


lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial (dalam 2 bulan) menunjukkan
gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih
mendukung.
• Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan tetapi pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologi(PDPI, 2011).

3. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

Riwayat pengobatan sangat penting diketahui untuk melihat risiko resistensi


obat atau MDR. Pada kelompok ini perlu dilakukan pemeriksaan kultur dan uji
kepekaan OAT. Tipe pasien berdasarkanriwayat pengobatan sebelumnya, yaitu:

• Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB


sebelumnya atau sudah pernah mendapatkan OAT kurang dari satu bulan.
Pasien dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi
penyakit dimanapun.

• Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang sudah


pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya minimal selama satu bulan,
dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit di
manapun(PDPI, 2011).

4. Status HIV pasien

Tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu
yang memerlukan uji HIV, misalnya:
a. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV.

b. Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan.

c. MDR TB/TB kronik (PDPI, 2011)

H. DIAGNOSIS TUBERKULOSIS

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan dengan


pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.

1. Diagnosis klinis

Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atau tidaknya
gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah batuk terus
menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin
menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu
makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat
malam walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan (Depkes RI,
2006).

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva


mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau
berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu
kelainan terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
asimtomatik. Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi
dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi
pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam pernapasan, perkusi
memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara yang lemah sampai tidak
terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering asimtomatik dan penyakit
baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin
atau uji tuberkulin yang positif (Bahar, 2007).

3. Pemeriksaan radiologis

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih memberikan
keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang pada pemeriksaan
sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi
dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada
awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran
radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak
tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan
dengan batas yang tegas dan disebut tuberkuloma (Depkes RI, 2006).

Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas


tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan penciutan yang dapat
terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru. Gambaran
tuberkulosa milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata
pada seluruh lapangan paru. Pada TB yang sudah lanjut, foto dada sering didapatkan
bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi,
kavitas maupun atelektasis dan emfisema (Bahar, 2007).

Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto rontgen dada di bawah ini :

(Bahar, 2007)

Gambar 2.2 Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada

4. Pemeriksaan bakteriologis

a. Sputum

Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya


BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan
dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS
(Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif (Depkes RI, 2006).

Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut
yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. 1). Kalau hasil
rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai penderita
TB BTA positif. 2). Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan
dahak SPS diulangi.

Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas


(misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada
perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak
SPS. 1). Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA
positif. 2). Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada,
untuk mendukung diagnosis TB.

• Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA


negatif rontgen positif
• Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.

Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2016), sebagaimana
bisa dilihat di bawah ini
Terduga TB

Pasien baru, tidak ada riwwayat pengobatan TB, tidak Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien degan
ada riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien riwayat kontak erat dengan TB RO, pasien dengan
dengan HIV (-) atau tidak diketahui status HIV nya HIV(+)

Pemeriksaan klinis dan pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskopik atau Tes Cepat Molekuler (TCM)

Tidak memiliki akses untuk TCM TB Memiliki akses untuk TCM TB

Pemeriksaan Mikroskopis BTA Pemeriksaan TCM TB

(- -) (+ +) MTB Pos, MTB Pos, Rif MTB Pos, MTB neg


(+ -) Rif Indeterminate Rif
Sensitive Resistance
Foto toraks
Foto Toraks Terapi AB non (mengikuti alur
OAT Ulangi px TB RR yang sama
TCM
TB Terkonfirmasi dengan alur
Sensitive pada hasil
Gambaran Tidak mendukung pemeriksaan
Mulai Pengobatan TB RO;
mendukung TB TB; bukan TB; Cari mikroskopis BTA
Lakukan pemeriksaan Biakan
kemungkinan Pengobatan TB lini 1 (- -)
dan uji Kepekaan OAT lini 1
penyebab penyakit
dan lini 2
lain

Tidak ada perbaikan Ada TB RR; TB TB pre


TB XDR
klinis, ada faktor perbaikan MDR XDR
risiko TB, dan atas klinis
pertimbangan dokter

Bukan TB; cari


kemungkinan
penyebab Lanjutkan Pengobatan TB RO dengan
TB terkonfirmasi klinis penyakit lain Pengobatan panduan baru
TB RO

Pengobatan TB lini 1
Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria
pada pasien TB paru menjadi : a). Pasien dengan sputum BTA positif adalah
pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA,
sekurang kurangnya pada 2 kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif disertai
kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif /1 sediaan sputumnya
positif disertai biakan yang positif. b). Pasien dengan sputum BTA negatif adalah
pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan
BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif (Bahar, 2007).

b. Darah

Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah
normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh,
jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi, LED mulai
turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia
ringan dengan gambaran normokrom normositer, gama globulin meningkat, dan
kadar natrium darah menurun (Depkes RI, 2006).

c. Tes Tuberkulin

Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan


diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes
tuberkulin hanya untuk menyatakan apakah seorang individu sedang atau pernah
mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium patogen
lainnya (Depkes RI, 2006).

Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D


(Purified Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini adalah
reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul
reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi
persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin. Cara penyuntikan
tes tuberkulin dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Bahar, 2007):
(Bahar, 2007)

Gambar 3. Penyuntikan Tes Tuberkulin

Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam (Bahar, 2007):
a). Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no sensitivity.
Di sini peran antibodi humoral paling menonjol. b). Indurasi 6-9 mm : Hasil
meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini peran antibodi humoral masih
menonjol. c). Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan low grade
sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang. d). Indurasi > 15 mm :
Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini peran antibodi seluler
paling menonjol.

Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi mantoux yang


positif (99,8%). Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni pada
pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain, negatif palsu pada
pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis, anergi, penyakit sistemik
serta (Sarkoidosis, LE), penyakit eksantematous dengan panas yang akut (morbili,
cacar air, poliomielitis), reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit hodgkin,
pemberian obat imunosupresi, usia tua, malnutrisi, uremia, dan penyakit
keganasan. Untuk pasien dengan HIV positif, tes mantoux ± 5 mm, dinilai positif
(Bahar, 2007).

I. Pengobatan TB

1. Tujuan pengobatan TB adalah :

a.Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualita hidup


b.Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya

c.Mencegah terjadinya kekambuhan TB

d.Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat (Kemenkes RI, 2014)

2. Prinsip Pengobatan TB

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut kuman TB.

Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip :

- Pengobatan diberikan dalam padua OAT yang tepat mengandung minimal 4


macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi

- Diberikan dalam dosis yang tepat

- Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Minum
Obat) sampai selesai pengobatan

- Pengobatan diberikan dalam jagka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal
serta lanjutan untuk mencegah kekambuhan (Kemenkes RI, 2014)

3. Tahapan Pengobatan TB

Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
dengan maksud:

- Tahap awal : Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada
dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan
tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya
dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah
sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.

- Tahap lanjutan : pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk
membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dala tubuh khususnya kuman persister
sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes RI,
2014).

4. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Tabel 1. OAT lini pertama

Tabel 2. Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa


Tabel 3. OAT yang digunakan dalam pengobatan TB MDR

5. Panduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO dan ISTC)

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di


Indonesia adalah :

- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

- Kategori 2 : 2(HRZE)S/HRZE)/5(HR)3E3

- Kategori anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR

- Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indonesia


terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin,
Etionamide, Sikloserin, Moksosifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu
pirazinamin dan etambutol.
Paduaan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4
jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk pasien

Paket Kompipak

Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada
pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.

Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDY). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuakan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien.

Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan untuk memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
Satu (1) paket untuk (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.

OAT disediakan dalam bentuk KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam


pengobatan TB yaitu :

a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping

b.Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan risiko terjadinya resistensi


obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep

c.Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien (Kemenkes RI, 2014).

6. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya

a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru


- Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis

- Pasien TB paru terdiagnosis klinis

- Pasien TB ekstra paru

Tabel 4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3

Tabel 5. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

b. Kategori 2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang)

- Pasien kambuh

- Pasien gagal pada pengobatan dengan OAT kategori 1 sebelumnya

- Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow up)

Tabel 6. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)


Tabel 7. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3

7. Hasil pengobatan tuberkulosis

World Health Organization (1993) menjelaskan bahwa hasil pengobatan penderita


tuberkulosis paru dibedakan menjadi :

a. Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif 2 kali
atau lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir pengobatannya.

b. Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai jadwal


yaitu selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau hanya 1 kali follow
up dengan hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir pengobatan.

c. Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan
seterusnya sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif pada akhir
pengobatan.

 Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA
terkhir masih positif.
 Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan ke-2
dari pengobatan.
d. Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari 2
bulan sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.

e. Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa melihat


sebab kematiannya.

8. Evaluasi pengobatan

Bayupurnama (2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode yang bisa


digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru :

a. Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2


minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir
pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien
seperti batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat
badan meningkat dll.

b. Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai


menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan.
WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada
akhir bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru
yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi
pasien yang mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif,
sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Bila
BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), maka pasien yang
sebelumnya telah sembuh mulai kambuh lagi.

c. Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir
pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus
kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya tetap batuk-batuk),
dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan TB parunya atau adakah
penyakit lain yang menyertainya. Karena perubahan gambar radiologis tidak
secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan
sekali (Bayupurnama, 2007).
J. Komplikasi TB

Pada pasien TB dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau
sebelum masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan

Beberapa komplikasi yang mungkin timbul adalah:

- Batuk darah

- Pneumotoraks

- Gagal napas

- Gagal jantung

Pada keadaan komplikasi harus dirujuk ke fasilitas yang memadai (Depkes RI, 2006)
DAFTAR PUSTAKA

Amin Z, Bahar A. 2009. Tuberkulosis paru. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta
: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam

Arlinda D, Yulianto A, Syarif AK, Harso AD, Indah RM, Karyana M (2017). Pengaruh
Diabetes Melitus terhadap Gambaran Klinis dan Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis
di Tujuh RSU Kelas A dan B di Jawa dan Bali. Media Litbangkes. 27(1), pp: 31–38.

Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 995-1000.

Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474.

Bhargava et al. (2013). Dalam: Firnanda NSN (2017). Upaya Mempertahankan Jalan Napas
pada Anak dengan Tuberkulosis Paru. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Centers for Disease Control and Prevention. 2016. TB risk factor.
https://www.cdc.gov/tb/topic/basics/risk.htm - diakses Juli 2017

Centers for Disease Control and Prevention. 2005. Guidelines for preventing the transmission
of My Tuberculosis in health care settings. MMWR : 54 (17)

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.

Himawan AB, Hadisaputro S, Suprihati (2015). Berbagai Faktor Risiko Kejadian TB Paru
Drop Out (Studi Kasus di Kabupaten Jepara dan Pati). Jurnal Publikasi Kesehatan
Masyarakat Indonesia. 2 (1), pp: 57 -53.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Jakarta

PDPI (2014). Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta:


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2011. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan
tuberculosis di Indonesia. Jakarta: PDPI, pp: 3-9.
Price SA dan Wilson LM (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit.
Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC
Saputra L. (2010). Intisari Ilmu Penyakit Dalam. Tanggerang : Binapura Aksara Publisher
Tao L dan Kendall K (2013). Sinopsis Organ System Pulmonologi Pendekatan dengan
Sistem Terpadu dan Dsiertai Kumpulan Kasus Klinik. Tanggerang : Karisma publishing
group
Werdhani, R. A. (2011). Patofisiologi, Diagnosis, dan Klafisikasi Tuberkulosis. Jakarta.

WHO (2016). Tuberculosis and Diabetes. www.who.int/tb diakses 9 Juli 2017


Wijaya AA. (2004). Merokok dan Tuberkulosis. Jurnal Tuberkulosis Indonesia Volume 8:
18-23.

Zahroh R dan Susanto RS (2017). Effectiveness of Semi Fowler Position And Orthopnea
Position on Decreasing Shoartness of Breath Patient with Pulmonary Tuberculosis (TB)
Jornal Ners Community. 8(1), pp: 37 – 44.

Das könnte Ihnen auch gefallen