Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Oleh :
Muhammad Hilmy Labibi G99161062
Ellena Rachma Kusuma G99161037
Ridho Frihadananta G99161082
Adhelia Galuh Permatasari A. G99162142
Peter Darmaatmaja Setiabudi G99162143
Purnomo Andimas Edoryansyah G99161077
I Gusti Ngurah Agung Wiriyana G99161102
M Syukri Kurnia Rahman G99161007
Hana Indriyah Dewi G99162140
Nisrina Amalia Rohimah G99162141
Pembimbing
Dr. Reviono, dr., Sp.P (K)
A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Usia : 49 Th
Alamat : Palur, Ngringo Jaten Karanganyar
Tanggal Masuk : 4 Juli 2017
Tanggal Pemeriksaan : 4 juli 2017
No. Rekam Medis : 01345xxx
2. Keluhan Utama
Sesak Napas
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan sesak napas sejak kurang lebih 5 hari SMRS. Keluhan
dirasakan memberat 1 hari SMRS. Sesak napas muncul ketika pasien beraktivitas,
dan berkurang ketika pasien beristirahat. Mengi (-), keluhan sesak napas tidak
dipengaruhi cuaca dan dingin. Pasien masih nyaman tidur dengan satu bantal.
Riwayat terbangun malam hari karena sesak napas disangkal. Nyeri dada (-).
Pasien sebelumnya masuk RS PKU Karanganyar sejak tanggal 28 juni 2017
hingga 3 juli 2017 dengan telah dilakukan pemeriksaan dahak (hasil tidak
diketahui), dan kultur TB, pasien menerima pengobatan OAT FDC 1x3 tab +
streptomicyn mulai tanggal 1 juli 2017 oleh dr paru.
Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak berwarna putih sejak satu minggu
SMRS. Batuk berdarah (-). Pasien mengeluh nyeri pada seluruh badan setelah diberi
obat suntikan.
Demam (+) 12 jam SMRS. Demam sumer-sumer (-), mual (-), muntah (-),
keringat malam tanpa aktivitas (+), penurunan nafsu makan (+), penurunan berat
badan (+)dari 65 kg menjadi 45 kg, BAB dan BAK tidak ada keluhan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Alergi : (-)
Riwayat OAT : (+) pengobatan 3 bulan, berhenti karena merasa sudah
lebih baik (1 tahun SMRS)
Riwayat Hipertensi : (-)
Riwayat Diabetes Mellitus : (+)
Riwayat Penyakit Jantung : (-)
Riwayat Demam : (+)
Riwayat Trauma : Disangkal
Riwayat Mondok : (-)
Riwayat Paparan Asap : (-)
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Keluarga OAT : Disangkal
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : Disangkal
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Pasien sadar compos mentis tampak sakit sedang dengan GCS E4V5M6
2. Tanda Vital
Tekanan darah : 140/70 mmHg
Frekuensi pernapasan : 32 x/menit
Frekuensi nadi : 110 x/menit, regular, isi kesan cukup
Temperature : 37.7
SpO2 : 97% (O2 3 lpm)
3. Head to toe examination
Mata : Visus N/N, konjungtiva anemis -/-
Telinga : tidak ada kelainan
Hidung : tidak ada kelainan
Mulut : malokasi (-), maksila goyang (-)
Leher : Pembesaran KGB (+) sebelah kiri diamter 1,5 cm, JVP
dalam batas normal
Thorak : Simetris (+), Retraksi (-)
Pulmo anterior :
o Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
o Palpasi : Fremitus taktil teraba kanan = kiri
o Perkusi : Terdengar suara sonor di kedua lapang paru
o Auskultasi : SDV +/+, ronki basah kasar +/+, wheezing -/-
Pulmo posterior :
o Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
o Palpasi : Fremitus taktil teraba kanan = kiri
o Perkusi : Terdengar suara sonor di kedua lapang paru
o Auskultasi : SDV +/+, ronki basah kasar +/+, wheezing -/-
Cor :
o Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
o Palpasi ; Iktus kordis tidak kuat angkat
o Perkusi : Batas Jantung tidak melebar
o Auskultasi : Terdengar bunyi jantung I & II, regular, intensitas
normal dan tidak didapatkan bunyi jantung tambahan
Abdomen :
o Inspeksi : Dalam batas normal
o Auskultasi : Bising usus positif, dalam batas normal
o Perkusi : Dalam batas normal
o Palpasi : Nyeri epigastrium (-)
Ekstremitas :
Akral dingin - - edema - -
- - - -
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil laboratorium
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 11.6 g/dl 13.5 - 17.5
Hematokrit 37 % 33 – 45
Leukosit 19.9 ribu/ul 4.5 – 11.0
Trombosit 436 ribu/ul 150 – 450
Eritrosit 4.58 juta/ul 4.10 - 5.90
INDEX ERITROSIT
MCV 80.4 /um 80.0-96.0
MCH 25.4 pg 28.0-33.0
MCHC 31.6 g/dl 33.0-36.0
PDW 16 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.30 % 0.00-4.00
Basofil 0.10 % 0.00-2.00
Netrofil 91.00 % 55.00-80.00
Limfosit 4.40 % 22.00-44.00
Monosit 4.20 % 0.00-7.00
HEMOSTASIS
PT 13.9 detik 10.0-15.0
APTT 21.8 detik 20.0-40.0
INR 1.140 -
KIMIA KLINIK
GDS 247 mg/dl 60 – 140
Albumin 3.1 u/L 3.2-4.6
Kreatinin 0.2 u/ 0.8-1.3
Ureum 32 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium
122 mmol/L 136 – 145
darah
Kalium darah 3.6 mmol/L 3.7- 5.4
Klorida ion 90 mmol/L 98-106
HbsAg
HbsAg Nonreaktif Nonreaktif
ANALISA GAS DARAH (AGD)
pH 7.480 7.350-7.450
BE 5.5 Mmol//L -2 - +3
PCO2 39.0 mmHg 35.0-45.0
PO2 41.0 mmHg 83.0-108.0
Hematokrit 42 % 37-50
HCO3 28.5 Mmol/L 21.0-26.0
Total CO2 30.2 Mmol/L 19.0-24.0
O2 Saturasi 80.0 % 94.0-98.0
Laktat arteri 2.00 Mmol/L 0.36-0.75
H+ 32.84 40
Fi O2 0.28
Pa O2 150.89
Pa O2 Target 331.221
Fi O2 koreksi 0.53
HS 146.42 Hipoksia sedang
AaD O2 109.89 Gangguan difusi
2. Pemeriksaan Radiologi
D. DAFTAR MASALAH
1. Sesak nafas 5 hari SMRS
2. Batuk sejak 1 minggu SMRS
3. Nyeri seluruh badan
4. TB paru putus obat BTA (?)
5. Riwayat DM tipe 2 (+)
6. Riwayat mondok (+)
7. Pemeriksaan fisik pulmo: RBK di kedua lapang paru
8. Lab : leukositosis, Hiponatremia
9. AGD: kesan alkalosis metabolik terkompensasi
10. Rontgen : TB paru aktif lesi luas
E. ASESSMENT
1. Dyspneu dengan TB paru putus obat BTA (?) dalam terapi OAT kategori II bulan
I ( mulai 1 juli 2017)
2. DM tipe II
F. TATALAKSANA
Oksigenasi dengan nasal canul 3 lpm
Diet DM 1500 kkal
Infus NaCl 3% 20 tpm dilanjutkan Nacl 0.9%
Injeksi Amoxidar 1.200 mg/8jam
Injeksi Ketorolac 1mg/12 jam
NAC 200mg/8 jam oral
OAT : FDC 1 x3 tab dan inj. Streptomisin 1 amp/24 jam
G. PLANNING
Sputum MO/G/K/R
Sputum BTA s/p
Kultur BTA
Sputum GenXpert
Konsultasi interna
Cek elektrolit ulang pasca koreksi
BAB III
FOLLOW UP PASIEN
TD: 110/70 mmHg; N: 95 x/menit; RR: 21x/menit; SiO2 : 97% (O2 3 lpm)
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan sama dengan dinding dada kiri
Palpasi : fremitus raba dinding dada kanan sama dengan dinding dada kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi (-/+), wheezing (+/+)
A:
1. HAP early onset
2. TB paru putus obat BTA (+2) status HIV (?) dalam terapi OAT kategori II bulan I
3. DM tipe 2
P:
1. O2 3 lpm
2. Diet DM 1500 kkal
3. IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
4. Inj. Amoxicillin 1200 mg/8 jam
5. Inj. Ketorolac 1 mg/12 jam
6. N-asetil sistein 3x200 mg
7. 4FDC fase intensif 1x3 tab
8. Streptomycin 750 mg/24 jam
Planning:
1. Sputum MO/G/K/R
2. Sputum kultur BTA
3. Sputum gen xpert
4. Konsul VCT belum dijawab
HASIL LABORATORIUM
TD: 120/70 mmHg; N: 99 x/menit; RR: 20 x/menit; SiO2 : 98% (O2 3 lpm)
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan sama dengan dinding dada kiri
Palpasi : fremitus raba dinding dada kanan sama dengan dinding dada kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi (-/+), wheezing (+/+)
A:
1. HAP early onset
2. TB paru putus obat BTA (+2) status HIV (?) dalam terapi OAT kategori II bulan I
3. DM tipe 2
P:
1. O2 3 lpm
2. Diet DM 1500 kkal
3. Inj. Amoxicillin 1200 mg/8 jam
4. Inj. Ketorolac 1 mg/12 jam
5. N-asetil sistein 3x200 mg
6. 4FDC fase intensif 1x3 tab
7. Streptomycin 750 mg/24 jam
Pasien mengeluhkan sesak napas sejak kurang lebih sejak 5 hari SMRS. Selain itu, pasien
juga mengeluhkan batuk berdahak warna putih kental sejak 1 minggu SMRS disertai dengan
demam, keringat malam tanpa aktivitas dan penurunan berat badan. Secara umum, gejala
klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala
organ yang terlibat) dan gejala sistemik. Gejala respiratorik meliputi batuk ≥ 3 minggu, batuk
darah, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak
ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi (PDPI, 2014).
Sesak napas atau dyspnea adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan gejala utama
dari penyakit kardiopulmonar. Penyebab dyspnea antara lain: 1) reseptor mekanik pada otot
pernapasan; 2) kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2; 3) peningkatan kerja pernapasan;
4) ketidakseimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi (Price dan Wilson,
2006). Seiring dengan perkembangan penyakit, pada pada penderita TB paru terjadi
penumpukan sekret pada dinding paru-paru atau saluran pernapasan sehingga menyebabkan
penurunan ekspansi dada dan paru-paru yang menimbulkan sesak napas. (Zahroh dan
Susanto, 2017).
Batuk merupakan merupakan reflek pertahanan yang timbul akibat iritasi percabangan
trakeobronkial. Rangsangan yang dapat menimbulkan batuk adalah rangsangan mekanik,
kimia, dan peradangan. Setiap proses peradangan saluran napas dengan atau tanpa eksudat
dapat mengakibatkan batuk (Price dan Wilson, 2006). Bila bronkus belum terlibat dalam
proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi
karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar
(PDPI, 2014). Dahak atau sputum terbentuk akibat pembentukan mukus yang berlebihan oleh
karena infeksi TB pada membran mukosa (Price dan Wilson, 2006). Batuk berdarah pada
pasien TB Paru terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah
tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah. Namun, batuk darah tidak selalu
terjadi karena pecahnya aneurisma pada dinding kaviti, tetapi bisa terjadi karena ulserasi pada
mukosa bronkus (Tao dan Kendall, 2013).
Gejala sistemik pada TB antara lain demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan
penurunan berat badan (PDPI, 2014). Demam merupakan peningkatan subu tubuh yang
normal bersama dengan peningkatan set point hipotalamus, biasanya disebabkan oleh infeksi
(Saputra, 2010). Penurunan berat badan selain dapat terjadi oleh karena penurunan nafsu
makan, dapat juga terjadi akibat peningkatan katabolisme oleh akibat infeksi dari kuman TB.
Adapun proses katabolisme oleh kuman TB ini dominan terjadi pada malam hari sehingga
menimbulkan gejala klinis berupa berkeringat di malam hari (Bhargava et al., 2013).
Pasien mengaku pernah mendapatkan pengobatan OAT selama 3 bulan pada 1 tahun yang
lalu, namun karena merasa sudah lebih baik pasien berhenti berobat. Kondisi ini disebut juga
sebagai putus berobat atau drop out, didefinisikan sebagai pasien TB yang tidak patuh minum
obat, tidak mengambil dan meminum obat ielama dua bulan berturut-turut, dan atau pasien
menghentikan pengobatan sendiri tanpa instruksi dokter. Hasil penelitian Himawan et al.
(2015) di Indonesia menunjukkan bahwa alasan terbanyak pasien TB tidak patuh melanjutkan
pengobatan adalah karena sudah merasa sehat dan mengalami efek samping obat. Putus
berobat atau drop out merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan pengobatan yang
berpotensi meningkatkan kemungkinan terjadinya resistensi obat MDR TB. Apabila
terjadivresistensi obat maka biaya pengobatan akan lebih banyak dan waktu pengobatan juga
akan lebih lama (Himawan et al., 2017).
Selain itu, dari anamnesis diketahui bahwa pasien memiliki riwayat diabetes mellitus.
Orang dengan sistem kekebalan tubuh lemah, akibat penyakit kronis seperti diabetes,
memiliki risiko lebih tinggi untuk berkembang dari TB laten ke aktif. Diabetes
melipatgandakan risiko seseorang terkena TB. Sekitar 15% kasus TB di seluruh dunia
mungkin terkait dengan diabetes. TB sementara dapat menyebabkan gangguan toleransi
glukosa yang merupakan faktor risiko diabetes. Kemungkinan orang dengan TB akan
meninggal atau kambuh secara signifikan lebih tinggi jika penderita diabetes juga (WHO,
2016), Arlinda et al. (2017) dalam penelitiannya mendapatkan kegagalan pengobatan
(meninggal, putus berobat, gagal pengobatan, atau pindah) tiga kali lebih besar pada TB-DM
dibanding TB-non DM. Beberapa kemungkinan yang menjelaskan pengaruh DM terhadap
gambaran klinis dan luaran pengobatan TB diantaranya resistensi terhadap obat anti TB
(OAT) lebih tinggi, gangguan pada imunitas selular, dan konsentrasi OAT dalam plasma
lebih rendah. Interaksi antara obat hipoglikemia oral (OHO) jenis sulfonilurea dengan
rifampisin dan isoniazid menghasilkan efek hiperglikemia. Selain itu, kondisi diabetes
mempengaruhi farmakokinetik dan menurunkan konsentrasi rifampisin dalam darah (Arlinda
et al., 2017).
Pada pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan ronki basah kasar di kedua lapang paru.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan
pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan
pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah
ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess” (PDPI, 2014).
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan jumlah limfosit di bawah normal (Depkes RI, 2006). Pada kasus ini,
diketahui leukosit meningkat menjadi 19.9ribu/ul dan limfosit turun menjadi 4.40%,
mendukung adanya tuberkulosis paru.
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA
positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif
apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA
hasilnya positif (Depkes RI, 2006). Pada kasus ini, didapatkan BTA +2, sehingga semakin
mendukung adanya tuberkulosis paru.
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi TB. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga
mengenai lobus bawah atau daerah hilus. (Depkes RI, 2006). Pada TB yang sudah lanjut,
sering didapatkan infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, dan kavitas (Bahar, 2007). Pada
kasus ini, tampak gambaran fibroinfiltrat disertai kavitas multipel pada suprahillus hingga
apeks paru bilateral, sesuai dengan gambaran tuberkulosis paru.
A. DEFINISI
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala umum TB paru
adalah batuk produktif leboh dari 2 minggu yang disertai gejala pernapasan (sesak napas,
nyeri dada, hemoptysis) dan atau gejala tambahan (tidak nafsu makan, penurunan berat
badan, keringat malam dan mudah lelah). Dalam menentukan suspek TB harus
dipertimbangkan faktor seperti usia pasien, imunitas pasien, status HIV atau prevalens
HIV dalam populasi(PDPI, 2011).
Kasus TB adalah pasien TB dengan ditemukan Mycobacterium tuberculosis complex
yang diidentifikasi dari specimen klinik (jaringan, cairan tubuh, usap tenggorok, dll) dan
kultir. Pada negara dengan keterbatasan kapasitas laboratorium dalam mengidentifikasi
M.tuberculosis maka kasus TB paru dapat ditegakkan apabila ditemukan satu atau lebih
dahak BTA positif. Atau seorang pasien yang telah dilakukan pemeriksaan penunjang
untuk TB sehingga didiagnosis TB oleh dokter maupun petugas kesehatan dan diobati
dengan paduan dan lama pengobatan yang lengkap(PDPI, 2011).
B. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia
ini. Sejak 1992, WHO telah mencanangkan TB sebagai Global Emergency. Jumlah kasus
terbanyak didapatkan di regio Asia Tenggara (35%), Afrika (30%), dan regio Pasifik Barat
(20%). Sebanyak 11-13% kasus TB adalah HIV positif, dan 80% kasus TB-HIV berasal
dari regio Afrika. Pada tahun 2009, diperkirakan kasus TB multi-drug resistant (MDR)
sebanyak 250.000 kasus.
Hasil data WHO tahun 2009, menunjukkan lima negara dengan insidens kasus
terbanyak yaitu India (1,6-2,4 juta), China (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,4-0,59 juta),
Nigeria (0,37-0,55 juta), dan Indonesia (0,35-0,52 juta). India menyumbang seperlima dari
seluruh jumlah kasus TB di dunia (PDPI, 2011).
C. ETIOLOGI
Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis complex.
Kuman ini berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um.
Mycobacterium tuberculosis complex digolongkan menurut perbedaan epidemiologi
menjadi beberapa jenis yaitu M. tuberculosae, Varian Asian, Varian African I, Varian
African II, M. bovis (Amin dan Bahar, 2009).
Kuman ini memiliki dinding yang terdiri dari asam lemak (lipid), peptidoglikan dan
arabinomannan. Kandungan lipid membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam
alkohol) sehingga disebut sebagai bakteri tahan asam (BTA) dan lebih tahan terhadap
gangguan kimia dan fisis. Kuman TB mempunyai sifat dormant yang memungkinkan
dapat hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin. Sifat dormant
memungkinkan kuman TB menjadi aktif lagi. Dalam jaringan tubuh, kuman hidup sebagai
parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang seharusnya
memfagosit kuman TB justru menjadi tempat yang baik untuk pertumbuhan kuman TB
karena kandungan lipid yang banyak (Amin dan Bahar, 2009).
Kuman TB juga memiliki sifat aerob. Kuman ini menyukai jaringan yang tinggi
kandungan oksigennya. Tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari
bagian lain, sehingga bagian apikal paru ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberkulosis (Amin dan Bahar, 2009).
D. PATOFISIOLOGI
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dalam droplet yang terhirup, dapat mencapai alveolus.
Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik.
Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan
sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB
dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat
tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer ghon
(Werdhani, R. A,2011; Wijaya AA, 2004).
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis)
dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru
bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe
regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis)
(Werdhani, R. A,2011; Wijaya AA, 2004).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan
pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh
hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler (Werdhani, R. A,2011; Wijaya AA, 2004).
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan kuman TB
sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin mengalami
perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primerlah dinyatakan infeksi
TB primer telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Setelah
kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB juga terbentuk. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun baik, begitu sistem imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam
alveoli akan segera dimusnahkan (Werdhani, R. A,2011; Wijaya AA, 2004).
Ketika imunitas seluler telah terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi. Kelenjar limfe
regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini (Werdhani, R. A,2011; Wijaya AA, 2004).
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik (Werdhani, R. A,2011; Wijaya AA, 2004).
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaranhematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman
TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala
klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang
biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang,
ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi
tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya (Werdhani, R. A,2011; Wijaya
AA, 2004).
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak
langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi.
Bertahun-tahun kemudian bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat
mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB
tulang, dan lain-lain (Werdhani, R. A,2011; Wijaya AA, 2004).
E. FAKTOR RISIKO
Perkembangan penyakit tuberkulosis dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksogen
dan endogen. Faktor eksogen berperan penting dalam tahap paparan kuman TB hingga
terjadinya infeksi, sementara faktor endogen berperan dalam perkembangan infeksi hingga
sakit TB. Beberapa faktor risiko membuat perkembangan penyakit TB menjadi sangat
cepat seperti HIV, diabetes, malnutrisi, penggunaan obat imunosupresif, konsumsi
alkohol, usia muda, asap tembakau/ merokok, polusi udara dalam ruangan. Faktor sosial
ekonomi, pekerjaan, dan perilaku juga berperan penting dalam penularan kuman TB.
Petugas pelayanan kesehatan merupakan kelompok yang berisiko tinggi terkena infeksi
dan penyakit TB (Narasimhan et al., 2013).
Gambar 1. Faktor Risiko Tuberkulosis
Secara umum, orang yang berisiko tinggi terkena penyakit TB terbagi dalam dua
kategori yaitu orang yang baru terinfeksi TB dan orang yang dalam kondisi sistem imun
yang lemah. Orang yang baru terinfeksi TB terdiri dari kontak yang erat dengan penderita
TB, orang yang baru saja bepergian/ berpindah dari daerah yang tinggi angka penyakit TB,
anak-anak kurang dari 5 tahun dengan uji TB positif, kelompok dengan transmisi TB yang
tinggi (tunawisma, orang dengan pengguna narkoba suntikan, orang-orang yang terinfeksi
HIV), orang yang bekerja atau tinggal dengan orang-orang yang terinfeksi TB di fasilitas
atau institusi seperti rumah sakit, tempat penampungan tunawisma, panti jompo, tempat
tinggal untuk pasien HIV. Kategori orang yang dalam kondisi sistem imun yang lemah
yaitu HIV, silicosis, diabetes mellitus, penyakit ginjal kronik, berat badan rendah,
transplantasi organ, kanker kepala dan leher, terapi medikamentosa seperti kortikosteroid,
terapi pada penyakit Chron, rheumatoid arthritis (CDC, 2016)
F. CARA PENULARAN
Mycobacterium tuberculosis terbawa dalam partikel udara, dikenal dengan droplet
nuclei yang berdiameter 1-5 micron. Droplet nuclei yang infeksius dihasilkan saat
penderita TB batuk, bersin, berteriak atau menyanyi. Faktor lingkungan berpengaruh pada
penularan kuman TB. Kuman TB ini dapat bertahan beberapa jam di udara. M.
tuberculosis ditularkan melalui udara bukan dengan kontak permukaan. Penularan terjadi
ketika seseorang menghirup droplet nuclei yang berisi M. tuberculosis yang kemudian
melewati mulut atau saluran hidung, saluran pernafasan atas, bronkus kemudian alveoli
paru (CDC, 2005).
F. GEJALA
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik.
Gejala respiratorik diantaranya adalah batuk lebih dari 2 minggu, batuk darah, sesak napas
dan nyeri dada. Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat, tergantung dari luas lesinya. Gejala sistemik yang ditimbulkan
akibat infeksi TB antara lain demam yang tidak terlalu tinggi dan berlangsung lama,
biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam, penurunan nafsu makan dan berat
badan, perasaan tidak enak (malaise), serta lemah (Werdhani, R. A,2011; Wijaya AA,
2004).
Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
awal perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pada pleuritis TB kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga
pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai
tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis TB terlihat pembesaran
kelenjar getah bening, tersering di daerah leher dan kadang di daerah ketiak (Werdhani, R.
A,2011; Wijaya AA, 2004).
Untuk gejala khusus lainnya tergantung dari organ tubuh mana yang terkena. Apabila
terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar maka akan menimbulkan suara mengi dan suara
nafas melemah yang disertai sesak. Apabila ada cairan di rongga pleura, dapat disertai
dengan keluhan sakit dada. Bila mengenai tulang maka akan terjadi gejala seperti infeksi
tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya
sehingga akan keluar cairan nanah dari muara tersebut. Pada anak-anak dapat mengenai
lapisan pembungkus otak yang disebut sebagai meningitis, gejalanya yaitu demam tinggi,
adanya penurunan kesadaran, dan kejang-kejang (Werdhani, R. A,2011; Wijaya AA,
2004).
G. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
Tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu
yang memerlukan uji HIV, misalnya:
a. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV.
H. DIAGNOSIS TUBERKULOSIS
1. Diagnosis klinis
Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atau tidaknya
gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah batuk terus
menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin
menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu
makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat
malam walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan (Depkes RI,
2006).
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih memberikan
keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang pada pemeriksaan
sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi
dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada
awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran
radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak
tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan
dengan batas yang tegas dan disebut tuberkuloma (Depkes RI, 2006).
Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto rontgen dada di bawah ini :
(Bahar, 2007)
Gambar 2.2 Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada
4. Pemeriksaan bakteriologis
a. Sputum
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut
yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. 1). Kalau hasil
rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai penderita
TB BTA positif. 2). Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan
dahak SPS diulangi.
Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2016), sebagaimana
bisa dilihat di bawah ini
Terduga TB
Pasien baru, tidak ada riwwayat pengobatan TB, tidak Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien degan
ada riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien riwayat kontak erat dengan TB RO, pasien dengan
dengan HIV (-) atau tidak diketahui status HIV nya HIV(+)
Pemeriksaan klinis dan pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskopik atau Tes Cepat Molekuler (TCM)
Pengobatan TB lini 1
Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria
pada pasien TB paru menjadi : a). Pasien dengan sputum BTA positif adalah
pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA,
sekurang kurangnya pada 2 kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif disertai
kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif /1 sediaan sputumnya
positif disertai biakan yang positif. b). Pasien dengan sputum BTA negatif adalah
pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan
BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif (Bahar, 2007).
b. Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah
normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh,
jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi, LED mulai
turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia
ringan dengan gambaran normokrom normositer, gama globulin meningkat, dan
kadar natrium darah menurun (Depkes RI, 2006).
c. Tes Tuberkulin
Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam (Bahar, 2007):
a). Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no sensitivity.
Di sini peran antibodi humoral paling menonjol. b). Indurasi 6-9 mm : Hasil
meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini peran antibodi humoral masih
menonjol. c). Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan low grade
sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang. d). Indurasi > 15 mm :
Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini peran antibodi seluler
paling menonjol.
I. Pengobatan TB
2. Prinsip Pengobatan TB
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut kuman TB.
- Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Minum
Obat) sampai selesai pengobatan
- Pengobatan diberikan dalam jagka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal
serta lanjutan untuk mencegah kekambuhan (Kemenkes RI, 2014)
3. Tahapan Pengobatan TB
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
dengan maksud:
- Tahap awal : Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada
dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan
tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya
dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah
sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
- Tahap lanjutan : pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk
membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dala tubuh khususnya kuman persister
sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes RI,
2014).
5. Panduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO dan ISTC)
- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/HRZE)/5(HR)3E3
Paket Kompipak
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada
pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.
Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDY). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuakan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien.
Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan untuk memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
Satu (1) paket untuk (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping
c.Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien (Kemenkes RI, 2014).
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang)
- Pasien kambuh
- Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow up)
a. Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif 2 kali
atau lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir pengobatannya.
c. Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan
seterusnya sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif pada akhir
pengobatan.
Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA
terkhir masih positif.
Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan ke-2
dari pengobatan.
d. Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari 2
bulan sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.
8. Evaluasi pengobatan
c. Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir
pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus
kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya tetap batuk-batuk),
dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan TB parunya atau adakah
penyakit lain yang menyertainya. Karena perubahan gambar radiologis tidak
secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan
sekali (Bayupurnama, 2007).
J. Komplikasi TB
Pada pasien TB dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau
sebelum masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan
- Batuk darah
- Pneumotoraks
- Gagal napas
- Gagal jantung
Pada keadaan komplikasi harus dirujuk ke fasilitas yang memadai (Depkes RI, 2006)
DAFTAR PUSTAKA
Amin Z, Bahar A. 2009. Tuberkulosis paru. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta
: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Arlinda D, Yulianto A, Syarif AK, Harso AD, Indah RM, Karyana M (2017). Pengaruh
Diabetes Melitus terhadap Gambaran Klinis dan Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis
di Tujuh RSU Kelas A dan B di Jawa dan Bali. Media Litbangkes. 27(1), pp: 31–38.
Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 995-1000.
Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474.
Bhargava et al. (2013). Dalam: Firnanda NSN (2017). Upaya Mempertahankan Jalan Napas
pada Anak dengan Tuberkulosis Paru. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Centers for Disease Control and Prevention. 2016. TB risk factor.
https://www.cdc.gov/tb/topic/basics/risk.htm - diakses Juli 2017
Centers for Disease Control and Prevention. 2005. Guidelines for preventing the transmission
of My Tuberculosis in health care settings. MMWR : 54 (17)
Himawan AB, Hadisaputro S, Suprihati (2015). Berbagai Faktor Risiko Kejadian TB Paru
Drop Out (Studi Kasus di Kabupaten Jepara dan Pati). Jurnal Publikasi Kesehatan
Masyarakat Indonesia. 2 (1), pp: 57 -53.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Jakarta
Zahroh R dan Susanto RS (2017). Effectiveness of Semi Fowler Position And Orthopnea
Position on Decreasing Shoartness of Breath Patient with Pulmonary Tuberculosis (TB)
Jornal Ners Community. 8(1), pp: 37 – 44.