Sie sind auf Seite 1von 15

PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP CARA BELAJAR SISWA AKTIF (CBSA)

DALAM MENINGKATKAN KEEFEKTIFAN PROSES PEMBELAJARAN


IPA DI SD DI KODYA TEGAL

PVM. Sunaryo

Pembelajaran IPA yang menggunakan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif


(CBSA) di SD mempunyai peranan strategis dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa. Bila CBSA dapat diterapkan dengan baik siswa akan mampu belajar secara
efektif. Menurut Eggen & Kauchak (1998), siswa belajar secara efektif bila siswa
secara aktif terlibat dalam pengorganisasian dan penemuan pertalian-pertalian
(relationships) dalam informasi yang dihadapi. Aktivitas siswa ini menghasilkan
kemampuan belajar dan peningkatan pengetahuan serta pengembangan
keterampilan berpikir (thinking skills). Kedua ahli tersebut menjelaskan bahwa ada
enam ciri pembelajaran yang efektif, yaitu: (1) siswa menjadi pengkaji yang aktif
terhadap lingkungannya melalui mengobservasi, membandingkan, menemukan
kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan serta membentuk konsep dan
generalisasi berdasarkan kesamaan-kesamaan yang ditemukan, (2) guru
menyediakan materi sebagai fokus berpikir dan berinteraksi dalam pelajaran, (3)
aktivitas-aktivitas siswa sepenuhnya didasarkan pada pengkajian, (4) guru secara
aktif terlibat dalam pemberian arahan dan tuntunan kepada siswa dalam
menganalisis informasi, (5) orientasi pembelajaran penguasaan isi pelajaran dan
pengembangan keterampilan berpikir, serta (6) guru menggunakan teknik mengajar
yang bervariasi sesuai dengan tujuan dan gaya mengajar guru.

Strategi pembelajaran IPA didasarkan pada ciri-ciri pembelajaran yang efektif.


Pembelajaran IPA menekankan keterlibatan siswa secara langsung dalam mengkaji
alam sekitar untuk menganalisisnya, memahami konsep-konsep yang terkandung
didalamnya dan merumuskan generalisasi berdasarkan konsep-konsep tersebut,
merumuskan hukum berdasarkan generalisasi-generalisasi, serta memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan hukum IPA secara memadai.
Konsekuensinya, dalam pembelajaran IPA guru sesuai dengan kemahirannya (ciri
6) harus menyediakan bahan pelajaran sebagai fokus untuk berpikir dan
berinteraksi dalam pelajaran (ciri 2) serta memberikan arahan dan tuntunan kepada
siswa dalam proses mencapai tujuan pembelajaran yang telah diterapkan.
Sementara itu, siswa aktif mengkaji materi (ciri 3) dalam upaya memecahkan
masalah (ciri 5).

Pembelajaran IPA yang efektif mampu membantu siswa mencapai kategori-


kategori tujuan pembelajaran (Gagne, dalam Raka Joni, 1980), yang dapat
dikelompokkan dalam instruction effects ‘hasil pengajaran’ dan nurturant
effects ‘hasil pengiring’. Hasil pengajaran berupa penguasaan materi (substansi)
IPA (pengetahuan, konsep, generalisasi, hukum) dan keterampilan ke-IPA-an
(melakukan demonstrasi, eksperimen). Sedangkan hasil pengiring berupa
pengembangan keterampilan intelektual dan strategi kognitif yang tinggi dalam
menghadapi masalah serta pembentukan sikap positif terhadap lingkungan fisik.

Ada sejumlah prinsip CBSA untuk siswa dan untuk guru yang perlu diperhitungkan
dalam setiap proses pembelajaran. Prinsip-prinsip CBSA untuk siswa meliputi:
keberanian mewujudkan minat, keinginan, dan gagasan; keberanian untuk ikut serta
mempersiapkan pelajaran; kemauan dan kreativitas dalam menyelesaikan kegiatan
belajar; adanya rasa aman dan bebas untuk melakukan kegiatan belajar; dan adanya
rasa ingin tahu. Sedang prinsip-prinsip CBSA untuk guru meliputi: pemberian
kesempatan kepada siswa untuk melakukan berbagai kegiatan belajar, sementara itu
guru berperan sebagai sumber belajar, motivator, dan fasilitator; pemberian
dorongan untuk kreatif; pemberian layanan berdasakan perbedaan individual;
penggunaan berbagai sumber belajar; pemberian umpan balik terhadap hasil
belajar; dan penilaian hasil belajar dengan berbagai cara (Benny Karyadi, 1993).

Penerapan prinsip-prinsip CBSA secara benar dalam pembelajaran IPA mampu


membantu siswa menguasai materi (content) IPA dan mengembangkan
keterampilan berpikir (thinking skills) yang tinggi. Kemampuan itu terbentuk bila
dalam proses pembelajaran guru aktif berperan sebagai seorang sumber dan
fasilitator yang menuntun siswa yang tengah aktif berpikir (mengkaji lingkungan,
menganalisis informasi, memecahkan masalah).

Kurikulum IPA-SD telah mengarahkan pembelajaran IPA pada strategi berpikir


tingkat tinggi dan menerapkan strategi pembelajaran CBSA (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1993). Namun, pada kenyataannya hasil
pembelajaran IPA di SD masih belum memuaskan. Hasil EBTANAS Murni SD/MI
se-Kodya Tegal tahun ajaran 1997/1998 menunjukkan bahwa nilai IPA tertinggi
7,30 dan terendah 4,25 dengan rata-rata 5,84.

Dari latar belakang teoritis dan kondisi yang ada, untuk memberikan masukan
dalam upaya peningkatan keefektifan pembelajaran IPA, maka terdapat lima hal
pokok yang akan dibahas, yaitu:

1. Deskripsi proses pembelajaran IPA di sekolah.


2. Kadar keaktifan siswa dalam menerapan prinsip-prinsip CBSA.
3. Ciri-ciri keaktifan siswa dalam menerapkan prinsip-prinsip CBSA sesuai
dengan nilai yang diperoleh.
4. Kadar keaktifan guru dalam penerapan prinsip-prinsip CBSA.
5. Ciri-ciri keaktifan guru dalam menerapkan prinsip-prinsip CBSA sesuai
dengan nilai yang diperoleh.

Penelitian dilakukan pada tanggal 21 April – 8 Mei 1999 di Kodya Tegal dengan
melibatkan 51 guru kelas 4, 5, dan 6. Data dikumpulkan melalui observasi dengan
menggunakan instrumen "Lembar Observasi". Data diolah dengan menggunakan
analisis deskriptif (Hadi, S. 1970).

DESKRIPSI KBM

Guru mengajar dengan menggunakan metode-metode yang dipandang sesuai


dengan tujuan yang akan dicapai dan kemampuan profesionalnya. Dari 51 guru
subyek penelitian, 54,90% (sebagian besar) menggunakan metode eskperimen,
31,37% (hampir setengahnya) metode demonstrasi, 11,76% (sebagian kecil)
metode tanya jawab, dan 1,96% (hampir tidak ada) metode ceramah. Menurut
Winarno Surachmad, metode eksperimen membantu siswa untuk mengerjakan
sesuatu, mengamati prosesnya, dan mengamati hasilnya. Metode demonstrasi
membantu siswa untuk memahami proses kerja suatu alat atau pembuatan sesuatu.
Metode tanya jawab membantu siswa mengetahui fakta tertentu yang sudah
diajarkan atau proses pemikiran yang telah diketahui siswa. Sedangkan metode
ceramah membantu siswa untuk mengetahui fakta dan pendapat, sementara tidak
terdapat bahan bacaan yang merangkumnya.

Kegiatan belajar-mengajar bervariasi sesuai dengan karakteristik metode yang


diterapkan dan gaya mengajar masing-masing guru. Penyampaian materi (apersepsi
sampai dengan pembuatan rangkuman, sebelum evaluasi) berlangsung paling cepat
25 menit dan paling lama 80 menit, rata-rata 52,16 menit atau 65,20% dari waktu
80 menit yang disediakan. Kegiatan-kegiatan dalam proses pembelajaran
mencakup: apersepsi (memberitahu judul materi, penjelasan dan/atau tanya-jawab),
pemberian materi pokok, pemberian latihan, evaluasi, dan tindak lanjut. Apersepsi
dilaksanakan oleh 98,04% (hampir seluruh) guru. Pemberian materi pokok sesuai
dengan karakteristik masing-masing metode dilakukan oleh seluruh guru. 11,76%
(sebagian kecil) memberikan latihan. Sebagian kecil guru membuat
kesimpulan/rangkuman (17,65%) dan 54,90% melakukan evaluasi. Tidak ada guru
yang melakukan tindak lanjut.

Gaya mengajar guru sangat individual. Bertolak dari pengertian gaya sebagai suatu
cara atau teknik tertentu yang digunakan seseorang untuk mengerjakan,
menciptakan, atau menampilkan sesuatu (A Merriam Webster, 1985), menunjukkan
gaya mengajar di sini adalah prosedur yang dipilih guru untuk menyelesaikan tugas
mengajarnya. Pemilihan prosedur ini pertama-tama dipengaruhi oleh motivasi kerja
guru, terutama komponen kepercayaan diri akan kemampuannya melaksanakan
tugas dan komponen reaksi emosional atas pelaksanaan tugas tersebut (Pintrich,
1990). Pemilihan prosedur mengajar yang dianggap paling cocok ini juga
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terpadu, seperti tujuan pembelajaran,
kemampuan siswa, kemahiran kerja guru dalam menerapkan metode mengajar, dan
ketersediaan fasilitas dan waktu belajar. Sesuai dengan karakteristik masing-masing
guru dan berbagai faktor lainnya yang mempengaruhi pemilihan prosedur mengajar
tersebut, penampilan mengajar antara guru yang satu dengan yang lainnya berbeda,
walaupun mereka menggunakan metode dan peralatan yang sama.

Kebervariasian kegiatan belajar-mengajar karena perbedaan gaya mengajar guru


yang satu dengan lainnya tampak dalam pemilihan dan pelaksanaan serentetan
kegiatan pembelajaran. Dalam menyampaikan materi dengan metode eksperimen,
46,43% mulai dengan percobaan kelas (klasikal) oleh guru, siswa, atau guru
bersama-sama dengan siswa dan 53,57% mulai dengan percobaan kelompok.
Setelah percobaan awal ini, secara bervariasi muncul kegiatan-kegiatan: percobaan
lain, tanya-jawab, diskusi kelompok, menjawab lembar kerja (LK), laporan hasil
diskusi kelompok, pembahasan LK, pemberian komentar, pengerjaan latihan,
pemberian rangkuman/kesimpulan, dan evaluasi.

Dalam penyampaian materi dengan metode demonstrasi guru memulai pelajaran


dengan mengadakan demonstrasi kelas, demonstrasi kelompok, atau demonstrasi
individual. Setelah demonstrasi awal, berbagai kegiatan muncul, seperti:
demonstrasi lainnya, pemberian penjelasan, diskusi kelompok, pembahasan LK,
tanya-jawab, latihan, perumusan kesimpulan, dan evaluasi.

Sementara itu penerapan metode tanya-jawab ditandai dengan guru mengadakan


tanya-jawab tentang serentetan materi yang telah disusun, dilanjutkan dengan
diskusi kelompok, latihan, pemberian rangkuman, dan evaluasi. Akhirnya,
penerapan metode ceramah ditandai dengan guru menjelaskan berbagai materi yang
telah disusun sebelumnya dilanjutkan dengan evaluasi.

Dari berbagai kegiatan siswa dan kegiatan guru dalam proses pembelajaran di atas,
keaktifan siswa dan keaktifan guru sesuai dengan prinsip-prinsip CBSA dapat
diidentifikasi dan kadar masing-masing keaktifan dapat diperhitungkan. Kadar
keaktifan siswa dan kadar keaktifan guru masing-masing ditetapkan berdasarkan
jumlah skor pemunculan seluruh indikator variabel keaktifan siswa (untuk kadar
keaktifan siswa) dan keaktifan guru (untuk kadar keaktifan guru) dengan
menggunakan skala penilaian 1-10. Nilai dideskripsikan secara kualitatif seperti
nilai rapor sekolah.

KADAR KEAKTIFAN SISWA

Secara umum, kadar keaktifan siswa dalam pembelajaran IPA cukup tinggi, dengan
Ms = 6,373. Dengan SDM = 0,239 dan T.K. = 0,95 diestimasikan Mp = 5,905-6,841
(hampir cukup-cukup). Penyebaran nilai keaktifan siswa dari yang tertinggi ke
yang terendah: 10,00 (4%), 9,29 (2%), 8,57 (8%), 7,86 (10%), 7,14 (22%), 6,43
(16%), 5,71 (6%), 5,00 (16%), 4,29 (10%), 3,57 (6%), dan 2,86 (2%).

Kadar keaktifan siswa pada kelas-kelas yang diobservasi tidak merata, ada yang
istimewa (nilai 10) dan ada yang buruk (nilai 2,86); 38% di bawah cukup (nilai
5,71 ke bawah). Kadar keaktifan siswa yang di bawah cukup ini terjadi karena
beberapa sebab, seperti kebiasaan siswa belajar, semangat belajar, dan ketersediaan
fasilitas belajar. Ada siswa yang terbiasa belajar dengan menghafalkan materi,
kurang terangsang untuk menganalisis, memprediksi, dan memecahkan masalah
(Wardani, 2000). Hal ini terjadi karena guru cenderung mendominasi kelas dengan
menjelaskan materi terus-menerus. Semangat siswa untuk bersekolah (terutama di
pinggiran kota) belum tinggi dan guru belum berhasil mengubahnya. Jam masuk
sekolah lebih siang dan pulangnya lebih cepat serta banyak siswa sering tidak
masuk karena siswa membantu orang tua mencari nafkah (banyak orang tua bekerja
sebagai petani kecil/buruh tani, buruh pabrik, dan nelayan). Rendahnya semangat
bersekolah ini mempengaruhi daya kritis dan kreativitas siswa dalam belajar.
Akhirnya, banyak SD (terutama di pinggiran kota) tidak memiliki alat
peraga/media dan bahan-bahan untuk percobaaan IPA yang memadai. Pengadaan
dana untuk penyediaan fasilitas cukup sulit. Ketersediaan alat peraga/media dan
bahan-bahan untuk percobaan mutlak diperlukan untuk mengaktifkan siswa karena
taraf berpikir siswa (terutama pada kelas rendah) masih pada taraf operasi konkrit.
DESKRIPSI KEAKTIFAN SISWA

Kadar keaktifan siswa dalam penerapan prinsip-prinsip CBSA dalam pembelajaran


IPA sejalan dengan munculnya indikator-indikator seluruh variabel keaktifan
siswa. Variabel-variabel yang dimaksud meliputi: keikutsertaan mempersiapkan
pelajaran, kegembiraan dalam belajar, kemauan dan kreativitas dalam belajar,
keberanian menyampaikan gagasan dan minat, sikap kritis dan ingin tahu,
kesungguhan bekerja sesuai dengan prosedur, pengembangan penalaran induktif,
dan pengembangan penalaran deduktif.

KADAR KEAKTIFAN GURU

Secara umum, kadar keaktifan guru dalam pembelajaran IPA hampir cukup, dengan
Ms = 5,848. dengan SDM = 0,194 dan T.K. = 0,95 diestimasikan Mp = 5,468-6,228
(hampir cukup-cukup). Penyebaran nilai kadar keaktifan guru: 8,13 (2%), 7,50
(14%), 6,88 (24%), 6,25 (14%), 5,63 (12%), 5,00 (14%), 4,38 (8%), 3,75 (8%),
3,13 (14%), dan 2,50 (2%).

Bila dilihat secara keseluruhan, kadar keaktifan guru yang hanya hampir cukup
tentu kurang menggembirakan. Bila dilihat dari masing-masing proses
pembelajaran, 46% mendapatkan nilai hampir cukup ke bawah (5,63-2,50), jumlah
yang tidak kecil. Hal ini terjadi karena profesionalisme dan komitmen kerja guru
yang rendah. Dari guru yang diobservasi, masih 24% yang berpendidikan
SPG/sederajat, sementara lainnya Diploma II (65%), sarjana muda (2%), dan
sarjana (8%). Tidak sedikit kepala sekolah dan pengawas TK/SD yang mengeluh
bahwa banyak lulusan Diploma II tidak berbeda dengan lulusan SPG dalam
mengajar, setelah mereka berusaha mengajar sebaik-baiknya waktu diuji praktik
mengajar dan mendengarkan pesan Kepala Kandepdiknas Kecamatan supaya
penampilan mengajar yang baik diteruskan di SD dalam tugas sehari-hari. Tidak
sedikit guru yang tidak membuat rencana pembelajaran yang baik untuk pedoman
mengajarnya. Dalam mengajar guru kurang mengembangkan kemampuan siswa
untuk memecahkan masalah, guru cenderung memberikan materi untuk dihafalkan,
dan ada pula guru yang tidak menguasai materi yang diajarkan. Komitmen kerja
guru yang rendah dapat dilihat dari rendahnya kedisiplinan kerja guru, banyak guru
yang mengajar dengan santai. Mereka berorientasi pada kepentingan diri sendiri,
yaitu mengajar demi gaji bukan untuk kepentingan siswa.

DESKRIPSI KEAKTIFAN GURU

Kadar keaktifan guru dalam penerapan prinsip-prinsip CBSA dalam pembelajaran


IPA sejalan dengan munculnya indikator-indikator variabel keaktifan guru.
Variabel-variabel keaktifan guru yang dimaksud meliputi: pemberian kesempatan
untuk melakukan berbagai kegiatan, dorongan untuk aktif, dorongan untuk
berinteraksi dalam kelompok, dorongan untuk kreatif, pelayanan berdasarkan
perbedaan individual, penggunaan berbagai sumber belajar, pemberian umpan balik
terhadap hasil belajar, dan penilaian hasil belajar dengan berbagai cara.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil-hasil penelitian yang diperoleh, secara umum dapat dikatakan bahwa
penerapan prinsip-prinsip CBSA dalam meningkatkan keefektifan proses
pembelajaran IPA di Kodya Tegal belum efektif karena masih ada kejanggalan-
kejanggalan dalam penerapan metode mengajar, nilai kadar keaktifan siswa dan
keaktifan guru masih belum memuaskan, serta sejumlah indikator variabel
keaktifan siswa dan keaktifan guru yang potensial untuk mengembangkan
keterampilan berpikir yang tinggi masih kurang mendapatkan perhatian guru.

Secara lebih rinci sesuai dengan hal-hal pokok yang dibahas, kesimpulan di atas
dapat dijelaskan seperti dibawah ini.

1. Secara umum guru telah mampu memilih metode mengajar yang sesuai
dengan karakteristik dan tujuan pengajaran IPA, yaitu metode percobaan
(54,90%) dan demonstrasi (31,37%); namun dalam pelaksanaannya masih
muncul kejanggalan-kejanggalan. Kejanggalan-kejanggalan yang dimaksud
terletak pada dominasi guru dalam melaksanakan percobaan dan
demonstrasi, sementara siswa masih kurang terlibat di dalamnya;
penggunaan lembar kerja (LK) sebagai lembar soal latihan bahkan tes
(evaluasi), bukan sebagai panduan belajar melalui melakukan
percobaan/demonstrasi; penggunaan alat peraga/media yang kurang
memadai; dan kesimpulan-kesimpulan dibuat guru, siswa tinggal meniru.
2. Tingkat keaktifan siswa dalam penerapan prinsip-prinsip CBSA baru cukup,
belum memuaskan.
3. Semua variabel keaktifan siswa yang dikaji muncul, namun persentase
kemunculan indikator-indikatornya rendah dan bervariasi. Indikator-
indikator penting yang menunjukkan keterampilan berpikir kurang
mendapatkan perhatian, seperti pembuatan contoh dan model berdasarkan
konsep yang telah dikuasai, penyampaian pendapat/keinginan (terutama
secara individual), pembuatan kesimpulan dari contoh/gejala/peristiwa,
pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan konsep atau
rumus yang dipelajari.
4. Tingkat keaktifan guru dalam menerapkan prinsip-prinsip CBSA hampir
cukup.
5. Semua variabel keaktifan guru yang dikaji muncul, namun persentase
kemunculan indikator-indikatornya rendah dan bervariasi. Indikator-
indikator yang potensial menopang keaktifan berpikir siswa kurang
mendapatkan perhatian, seperti: dorongan membuat model baru dan
pengembangan materi, penggunaan berbagai sumber belajar, pemberian
bimbingan individual, pemberian umpan balik hasil kerja/evaluasi dan
pengadaan evaluasi (baru 54,90%, hampir seluruhnya dengan tes).

Dari kesimpulan hasil penelitian di atas dan sesuai dengan maksud diadakannya
penelitian; peneliti memberikan beberapa saran untuk guru, supervisor, dosen/tutor
dan peneliti.

1. Guru IPA hendaknya mempelajari teori dan pedoman pelaksanaan strategi


pembelajaran CBSA dan berlatih menerapkannya dengan baik. Guru
hendaknya yakin bahwa melalui pembelajaran IPA yang baik siswa akan
cerdas dalam berpikir.
2. Supervisor pengajaran (kepala sekolah, pengawas TK/SD) hendaknya
meningkatkan kemampuan profesional guru dalam mengajar dengan
pendekatan CBSA. Mereka dapat melalui KKG (Kelompok Kerja Guru)
untuk membahas teori dan pedoman pelaksanaan CBSA serta simulasi
mengajar. Para supervisor juga dapat menggunakan supervisi klinis untuk
kepentingan guru secara individual.
3. Dosen/tutor PGSD hendaknya meningkatkan pemahaman mahasiswa
tentang CBSA dan meningkatkan bimbingan praktik mengajar dengan
pendekatan CBSA. Dalam perkuliahan/tutorial diharapkan dosen/tutor dapat
menjadi model bagi mahasiswanya.
4. Peneliti pendidikan hendaknya dapat mengadakan penelitian serupa pada
populasi yang lain/lebih luas dan penelitian aspek KBM yang lain untuk
memperoleh masukan lebih mantap dan menyeluruh. Masukan ini
bermanfaat bagi pejabat pendidikan untuk membuat upaya-upaya
pembinaan guru dan calon guru yang tepat.

DAFTAR RUJUKAN

A Merriam-Webster. 1985. Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary. Ontario:


Thomas Allen & Son Limited.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kurikulum Pendidikan Dasar:


Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Kelas IV Sekolah Dasar
(SD). Jakarta: Pengarang.

Eggen, P.D., & Kauchak, D.P. 1988. Strategies for Teachers: Teaching Content
and Thinking Skills (2nd ed.). New Yersey 07632: Prentice Hall.

Hadi, S. 1970. Statistik Psikologi dan Pendidikan (Jilid II). Jogjakarta: Jajasan
Penerbitan Fakultas Pschologi U.G.M.

Joni Raka, T. 1980. Strategi Belajar Mengajar: Suatu Tinjauan Pengantar. Jakarta:
Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G) Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Karyadi, B. 1993. Pengembangan Cara Belajar Siswa Aktif. Dalam Ibrahim, R., &
Benny Karyadi (eds.). Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Peningkatan Mutu Guru SD Setara D-II dan
Pendidikan Kependudukan.

Pintrich, P. R. 1990. Implication of psychological research on student learning and


college teaching for teacher education. Dalam Houston, W. R. (ed.). Handbook of
research on teacher education. New York, N.Y. 10022: Macmillan.

Surachmad, W. (tidak ada tanggal). Metodologi Pengajaran Nasional. Bandung:


Jemmars.

Wardani, I.G.A.K. 2000. Guru sebagai pekerja profesional: Satu renungan tentang
sosok guru abad 21 serta implikasinya bagi Universitas Terbuka. Jurnal
Pendidikan 1 (1). 28-45.
PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP CARA BELAJAR SISWA AKTIF (CBSA)
DALAM MENINGKATKAN KEEFEKTIFAN PROSES PEMBELAJARAN
IPA DI SD DI KODYA TEGAL

PVM. Sunaryo

Pembelajaran IPA yang menggunakan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif


(CBSA) di SD mempunyai peranan strategis dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa. Bila CBSA dapat diterapkan dengan baik siswa akan mampu belajar
secara efektif. Menurut Eggen & Kauchak (1998), siswa belajar secara efektif
bila siswa secara aktif terlibat dalam pengorganisasian dan penemuan
pertalian-pertalian (relationships) dalam informasi yang dihadapi. Aktivitas
siswa ini menghasilkan kemampuan belajar dan peningkatan pengetahuan
serta pengembangan keterampilan berpikir (thinking skills). Kedua ahli
tersebut menjelaskan bahwa ada enam ciri pembelajaran yang efektif, yaitu:
(1) siswa menjadi pengkaji yang aktif terhadap lingkungannya melalui
mengobservasi, membandingkan, menemukan kesamaan-kesamaan dan
perbedaan-perbedaan serta membentuk konsep dan generalisasi berdasarkan
kesamaan-kesamaan yang ditemukan, (2) guru menyediakan materi sebagai
fokus berpikir dan berinteraksi dalam pelajaran, (3) aktivitas-aktivitas siswa
sepenuhnya didasarkan pada pengkajian, (4) guru secara aktif terlibat dalam
pemberian arahan dan tuntunan kepada siswa dalam menganalisis informasi,
(5) orientasi pembelajaran penguasaan isi pelajaran dan pengembangan
keterampilan berpikir, serta (6) guru menggunakan teknik mengajar yang
bervariasi sesuai dengan tujuan dan gaya mengajar guru.

Strategi pembelajaran IPA didasarkan pada ciri-ciri pembelajaran yang


efektif. Pembelajaran IPA menekankan keterlibatan siswa secara langsung
dalam mengkaji alam sekitar untuk menganalisisnya, memahami konsep-
konsep yang terkandung didalamnya dan merumuskan generalisasi
berdasarkan konsep-konsep tersebut, merumuskan hukum berdasarkan
generalisasi-generalisasi, serta memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-
hari berdasarkan hukum IPA secara memadai. Konsekuensinya, dalam
pembelajaran IPA guru sesuai dengan kemahirannya (ciri 6) harus
menyediakan bahan pelajaran sebagai fokus untuk berpikir dan berinteraksi
dalam pelajaran (ciri 2) serta memberikan arahan dan tuntunan kepada siswa
dalam proses mencapai tujuan pembelajaran yang telah diterapkan.
Sementara itu, siswa aktif mengkaji materi (ciri 3) dalam upaya memecahkan
masalah (ciri 5).

Pembelajaran IPA yang efektif mampu membantu siswa mencapai kategori-


kategori tujuan pembelajaran (Gagne, dalam Raka Joni, 1980), yang dapat
dikelompokkan dalam instruction effects ‘hasil pengajaran’ dan nurturant
effects ‘hasil pengiring’. Hasil pengajaran berupa penguasaan materi
(substansi) IPA (pengetahuan, konsep, generalisasi, hukum) dan keterampilan
ke-IPA-an (melakukan demonstrasi, eksperimen). Sedangkan hasil pengiring
berupa pengembangan keterampilan intelektual dan strategi kognitif yang
tinggi dalam menghadapi masalah serta pembentukan sikap positif terhadap
lingkungan fisik.

Ada sejumlah prinsip CBSA untuk siswa dan untuk guru yang perlu
diperhitungkan dalam setiap proses pembelajaran. Prinsip-prinsip CBSA
untuk siswa meliputi: keberanian mewujudkan minat, keinginan, dan
gagasan; keberanian untuk ikut serta mempersiapkan pelajaran; kemauan
dan kreativitas dalam menyelesaikan kegiatan belajar; adanya rasa aman dan
bebas untuk melakukan kegiatan belajar; dan adanya rasa ingin tahu. Sedang
prinsip-prinsip CBSA untuk guru meliputi: pemberian kesempatan kepada
siswa untuk melakukan berbagai kegiatan belajar, sementara itu guru
berperan sebagai sumber belajar, motivator, dan fasilitator; pemberian
dorongan untuk kreatif; pemberian layanan berdasakan perbedaan
individual; penggunaan berbagai sumber belajar; pemberian umpan balik
terhadap hasil belajar; dan penilaian hasil belajar dengan berbagai cara
(Benny Karyadi, 1993).

Penerapan prinsip-prinsip CBSA secara benar dalam pembelajaran IPA


mampu membantu siswa menguasai materi (content) IPA dan
mengembangkan keterampilan berpikir (thinking skills) yang tinggi.
Kemampuan itu terbentuk bila dalam proses pembelajaran guru aktif
berperan sebagai seorang sumber dan fasilitator yang menuntun siswa yang
tengah aktif berpikir (mengkaji lingkungan, menganalisis informasi,
memecahkan masalah).

Kurikulum IPA-SD telah mengarahkan pembelajaran IPA pada strategi


berpikir tingkat tinggi dan menerapkan strategi pembelajaran CBSA
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993). Namun, pada
kenyataannya hasil pembelajaran IPA di SD masih belum memuaskan. Hasil
EBTANAS Murni SD/MI se-Kodya Tegal tahun ajaran 1997/1998
menunjukkan bahwa nilai IPA tertinggi 7,30 dan terendah 4,25 dengan rata-
rata 5,84.

Dari latar belakang teoritis dan kondisi yang ada, untuk memberikan
masukan dalam upaya peningkatan keefektifan pembelajaran IPA, maka
terdapat lima hal pokok yang akan dibahas, yaitu:

1. Deskripsi proses pembelajaran IPA di sekolah.


2. Kadar keaktifan siswa dalam menerapan prinsip-prinsip CBSA.
3. Ciri-ciri keaktifan siswa dalam menerapkan prinsip-prinsip CBSA
sesuai dengan nilai yang diperoleh.
4. Kadar keaktifan guru dalam penerapan prinsip-prinsip CBSA.
5. Ciri-ciri keaktifan guru dalam menerapkan prinsip-prinsip CBSA
sesuai dengan nilai yang diperoleh.

Penelitian dilakukan pada tanggal 21 April – 8 Mei 1999 di Kodya Tegal


dengan melibatkan 51 guru kelas 4, 5, dan 6. Data dikumpulkan melalui
observasi dengan menggunakan instrumen "Lembar Observasi". Data diolah
dengan menggunakan analisis deskriptif (Hadi, S. 1970).

DESKRIPSI KBM

Guru mengajar dengan menggunakan metode-metode yang dipandang sesuai


dengan tujuan yang akan dicapai dan kemampuan profesionalnya. Dari 51
guru subyek penelitian, 54,90% (sebagian besar) menggunakan metode
eskperimen, 31,37% (hampir setengahnya) metode demonstrasi, 11,76%
(sebagian kecil) metode tanya jawab, dan 1,96% (hampir tidak ada) metode
ceramah. Menurut Winarno Surachmad, metode eksperimen membantu siswa
untuk mengerjakan sesuatu, mengamati prosesnya, dan mengamati hasilnya.
Metode demonstrasi membantu siswa untuk memahami proses kerja suatu
alat atau pembuatan sesuatu. Metode tanya jawab membantu siswa
mengetahui fakta tertentu yang sudah diajarkan atau proses pemikiran yang
telah diketahui siswa. Sedangkan metode ceramah membantu siswa untuk
mengetahui fakta dan pendapat, sementara tidak terdapat bahan bacaan yang
merangkumnya.

Kegiatan belajar-mengajar bervariasi sesuai dengan karakteristik metode


yang diterapkan dan gaya mengajar masing-masing guru. Penyampaian
materi (apersepsi sampai dengan pembuatan rangkuman, sebelum evaluasi)
berlangsung paling cepat 25 menit dan paling lama 80 menit, rata-rata 52,16
menit atau 65,20% dari waktu 80 menit yang disediakan. Kegiatan-kegiatan
dalam proses pembelajaran mencakup: apersepsi (memberitahu judul materi,
penjelasan dan/atau tanya-jawab), pemberian materi pokok, pemberian
latihan, evaluasi, dan tindak lanjut. Apersepsi dilaksanakan oleh 98,04%
(hampir seluruh) guru. Pemberian materi pokok sesuai dengan karakteristik
masing-masing metode dilakukan oleh seluruh guru. 11,76% (sebagian kecil)
memberikan latihan. Sebagian kecil guru membuat kesimpulan/rangkuman
(17,65%) dan 54,90% melakukan evaluasi. Tidak ada guru yang melakukan
tindak lanjut.

Gaya mengajar guru sangat individual. Bertolak dari pengertian gaya sebagai
suatu cara atau teknik tertentu yang digunakan seseorang untuk
mengerjakan, menciptakan, atau menampilkan sesuatu (A Merriam Webster,
1985), menunjukkan gaya mengajar di sini adalah prosedur yang dipilih guru
untuk menyelesaikan tugas mengajarnya. Pemilihan prosedur ini pertama-
tama dipengaruhi oleh motivasi kerja guru, terutama komponen kepercayaan
diri akan kemampuannya melaksanakan tugas dan komponen reaksi
emosional atas pelaksanaan tugas tersebut (Pintrich, 1990). Pemilihan
prosedur mengajar yang dianggap paling cocok ini juga dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang terpadu, seperti tujuan pembelajaran, kemampuan
siswa, kemahiran kerja guru dalam menerapkan metode mengajar, dan
ketersediaan fasilitas dan waktu belajar. Sesuai dengan karakteristik masing-
masing guru dan berbagai faktor lainnya yang mempengaruhi pemilihan
prosedur mengajar tersebut, penampilan mengajar antara guru yang satu
dengan yang lainnya berbeda, walaupun mereka menggunakan metode dan
peralatan yang sama.

Kebervariasian kegiatan belajar-mengajar karena perbedaan gaya mengajar


guru yang satu dengan lainnya tampak dalam pemilihan dan pelaksanaan
serentetan kegiatan pembelajaran. Dalam menyampaikan materi dengan
metode eksperimen, 46,43% mulai dengan percobaan kelas (klasikal) oleh
guru, siswa, atau guru bersama-sama dengan siswa dan 53,57% mulai dengan
percobaan kelompok. Setelah percobaan awal ini, secara bervariasi muncul
kegiatan-kegiatan: percobaan lain, tanya-jawab, diskusi kelompok, menjawab
lembar kerja (LK), laporan hasil diskusi kelompok, pembahasan LK,
pemberian komentar, pengerjaan latihan, pemberian rangkuman/kesimpulan,
dan evaluasi.

Dalam penyampaian materi dengan metode demonstrasi guru memulai


pelajaran dengan mengadakan demonstrasi kelas, demonstrasi kelompok,
atau demonstrasi individual. Setelah demonstrasi awal, berbagai kegiatan
muncul, seperti: demonstrasi lainnya, pemberian penjelasan, diskusi
kelompok, pembahasan LK, tanya-jawab, latihan, perumusan kesimpulan,
dan evaluasi.

Sementara itu penerapan metode tanya-jawab ditandai dengan guru


mengadakan tanya-jawab tentang serentetan materi yang telah disusun,
dilanjutkan dengan diskusi kelompok, latihan, pemberian rangkuman, dan
evaluasi. Akhirnya, penerapan metode ceramah ditandai dengan guru
menjelaskan berbagai materi yang telah disusun sebelumnya dilanjutkan
dengan evaluasi.

Dari berbagai kegiatan siswa dan kegiatan guru dalam proses pembelajaran
di atas, keaktifan siswa dan keaktifan guru sesuai dengan prinsip-prinsip
CBSA dapat diidentifikasi dan kadar masing-masing keaktifan dapat
diperhitungkan. Kadar keaktifan siswa dan kadar keaktifan guru masing-
masing ditetapkan berdasarkan jumlah skor pemunculan seluruh indikator
variabel keaktifan siswa (untuk kadar keaktifan siswa) dan keaktifan guru
(untuk kadar keaktifan guru) dengan menggunakan skala penilaian 1-10.
Nilai dideskripsikan secara kualitatif seperti nilai rapor sekolah.

KADAR KEAKTIFAN SISWA

Secara umum, kadar keaktifan siswa dalam pembelajaran IPA cukup tinggi,
dengan Ms = 6,373. Dengan SDM = 0,239 dan T.K. = 0,95 diestimasikan Mp =
5,905-6,841 (hampir cukup-cukup). Penyebaran nilai keaktifan siswa dari
yang tertinggi ke yang terendah: 10,00 (4%), 9,29 (2%), 8,57 (8%), 7,86
(10%), 7,14 (22%), 6,43 (16%), 5,71 (6%), 5,00 (16%), 4,29 (10%), 3,57 (6%),
dan 2,86 (2%).

Kadar keaktifan siswa pada kelas-kelas yang diobservasi tidak merata, ada
yang istimewa (nilai 10) dan ada yang buruk (nilai 2,86); 38% di bawah cukup
(nilai 5,71 ke bawah). Kadar keaktifan siswa yang di bawah cukup ini terjadi
karena beberapa sebab, seperti kebiasaan siswa belajar, semangat belajar,
dan ketersediaan fasilitas belajar. Ada siswa yang terbiasa belajar dengan
menghafalkan materi, kurang terangsang untuk menganalisis, memprediksi,
dan memecahkan masalah (Wardani, 2000). Hal ini terjadi karena guru
cenderung mendominasi kelas dengan menjelaskan materi terus-menerus.
Semangat siswa untuk bersekolah (terutama di pinggiran kota) belum tinggi
dan guru belum berhasil mengubahnya. Jam masuk sekolah lebih siang dan
pulangnya lebih cepat serta banyak siswa sering tidak masuk karena siswa
membantu orang tua mencari nafkah (banyak orang tua bekerja sebagai
petani kecil/buruh tani, buruh pabrik, dan nelayan). Rendahnya semangat
bersekolah ini mempengaruhi daya kritis dan kreativitas siswa dalam belajar.
Akhirnya, banyak SD (terutama di pinggiran kota) tidak memiliki alat
peraga/media dan bahan-bahan untuk percobaaan IPA yang memadai.
Pengadaan dana untuk penyediaan fasilitas cukup sulit. Ketersediaan alat
peraga/media dan bahan-bahan untuk percobaan mutlak diperlukan untuk
mengaktifkan siswa karena taraf berpikir siswa (terutama pada kelas rendah)
masih pada taraf operasi konkrit.

DESKRIPSI KEAKTIFAN SISWA

Kadar keaktifan siswa dalam penerapan prinsip-prinsip CBSA dalam


pembelajaran IPA sejalan dengan munculnya indikator-indikator seluruh
variabel keaktifan siswa. Variabel-variabel yang dimaksud meliputi:
keikutsertaan mempersiapkan pelajaran, kegembiraan dalam belajar,
kemauan dan kreativitas dalam belajar, keberanian menyampaikan gagasan
dan minat, sikap kritis dan ingin tahu, kesungguhan bekerja sesuai dengan
prosedur, pengembangan penalaran induktif, dan pengembangan penalaran
deduktif.

KADAR KEAKTIFAN GURU

Secara umum, kadar keaktifan guru dalam pembelajaran IPA hampir cukup,
dengan Ms = 5,848. dengan SDM = 0,194 dan T.K. = 0,95 diestimasikan Mp =
5,468-6,228 (hampir cukup-cukup). Penyebaran nilai kadar keaktifan guru:
8,13 (2%), 7,50 (14%), 6,88 (24%), 6,25 (14%), 5,63 (12%), 5,00 (14%), 4,38
(8%), 3,75 (8%), 3,13 (14%), dan 2,50 (2%).

Bila dilihat secara keseluruhan, kadar keaktifan guru yang hanya hampir
cukup tentu kurang menggembirakan. Bila dilihat dari masing-masing proses
pembelajaran, 46% mendapatkan nilai hampir cukup ke bawah (5,63-2,50),
jumlah yang tidak kecil. Hal ini terjadi karena profesionalisme dan komitmen
kerja guru yang rendah. Dari guru yang diobservasi, masih 24% yang
berpendidikan SPG/sederajat, sementara lainnya Diploma II (65%), sarjana
muda (2%), dan sarjana (8%). Tidak sedikit kepala sekolah dan pengawas
TK/SD yang mengeluh bahwa banyak lulusan Diploma II tidak berbeda
dengan lulusan SPG dalam mengajar, setelah mereka berusaha mengajar
sebaik-baiknya waktu diuji praktik mengajar dan mendengarkan pesan
Kepala Kandepdiknas Kecamatan supaya penampilan mengajar yang baik
diteruskan di SD dalam tugas sehari-hari. Tidak sedikit guru yang tidak
membuat rencana pembelajaran yang baik untuk pedoman mengajarnya.
Dalam mengajar guru kurang mengembangkan kemampuan siswa untuk
memecahkan masalah, guru cenderung memberikan materi untuk dihafalkan,
dan ada pula guru yang tidak menguasai materi yang diajarkan. Komitmen
kerja guru yang rendah dapat dilihat dari rendahnya kedisiplinan kerja guru,
banyak guru yang mengajar dengan santai. Mereka berorientasi pada
kepentingan diri sendiri, yaitu mengajar demi gaji bukan untuk kepentingan
siswa.

DESKRIPSI KEAKTIFAN GURU

Kadar keaktifan guru dalam penerapan prinsip-prinsip CBSA dalam


pembelajaran IPA sejalan dengan munculnya indikator-indikator variabel
keaktifan guru. Variabel-variabel keaktifan guru yang dimaksud meliputi:
pemberian kesempatan untuk melakukan berbagai kegiatan, dorongan untuk
aktif, dorongan untuk berinteraksi dalam kelompok, dorongan untuk kreatif,
pelayanan berdasarkan perbedaan individual, penggunaan berbagai sumber
belajar, pemberian umpan balik terhadap hasil belajar, dan penilaian hasil
belajar dengan berbagai cara.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil-hasil penelitian yang diperoleh, secara umum dapat dikatakan


bahwa penerapan prinsip-prinsip CBSA dalam meningkatkan keefektifan
proses pembelajaran IPA di Kodya Tegal belum efektif karena masih ada
kejanggalan-kejanggalan dalam penerapan metode mengajar, nilai kadar
keaktifan siswa dan keaktifan guru masih belum memuaskan, serta sejumlah
indikator variabel keaktifan siswa dan keaktifan guru yang potensial untuk
mengembangkan keterampilan berpikir yang tinggi masih kurang
mendapatkan perhatian guru.

Secara lebih rinci sesuai dengan hal-hal pokok yang dibahas, kesimpulan di
atas dapat dijelaskan seperti dibawah ini.

1. Secara umum guru telah mampu memilih metode mengajar yang


sesuai dengan karakteristik dan tujuan pengajaran IPA, yaitu metode
percobaan (54,90%) dan demonstrasi (31,37%); namun dalam
pelaksanaannya masih muncul kejanggalan-kejanggalan. Kejanggalan-
kejanggalan yang dimaksud terletak pada dominasi guru dalam
melaksanakan percobaan dan demonstrasi, sementara siswa masih
kurang terlibat di dalamnya; penggunaan lembar kerja (LK) sebagai
lembar soal latihan bahkan tes (evaluasi), bukan sebagai panduan
belajar melalui melakukan percobaan/demonstrasi; penggunaan alat
peraga/media yang kurang memadai; dan kesimpulan-kesimpulan
dibuat guru, siswa tinggal meniru.
2. Tingkat keaktifan siswa dalam penerapan prinsip-prinsip CBSA baru
cukup, belum memuaskan.
3. Semua variabel keaktifan siswa yang dikaji muncul, namun persentase
kemunculan indikator-indikatornya rendah dan bervariasi. Indikator-
indikator penting yang menunjukkan keterampilan berpikir kurang
mendapatkan perhatian, seperti pembuatan contoh dan model
berdasarkan konsep yang telah dikuasai, penyampaian
pendapat/keinginan (terutama secara individual), pembuatan
kesimpulan dari contoh/gejala/peristiwa, pemecahan masalah dalam
kehidupan sehari-hari berdasarkan konsep atau rumus yang
dipelajari.
4. Tingkat keaktifan guru dalam menerapkan prinsip-prinsip CBSA
hampir cukup.
5. Semua variabel keaktifan guru yang dikaji muncul, namun persentase
kemunculan indikator-indikatornya rendah dan bervariasi. Indikator-
indikator yang potensial menopang keaktifan berpikir siswa kurang
mendapatkan perhatian, seperti: dorongan membuat model baru dan
pengembangan materi, penggunaan berbagai sumber belajar,
pemberian bimbingan individual, pemberian umpan balik hasil
kerja/evaluasi dan pengadaan evaluasi (baru 54,90%, hampir
seluruhnya dengan tes).

Dari kesimpulan hasil penelitian di atas dan sesuai dengan maksud


diadakannya penelitian; peneliti memberikan beberapa saran untuk guru,
supervisor, dosen/tutor dan peneliti.

1. Guru IPA hendaknya mempelajari teori dan pedoman pelaksanaan


strategi pembelajaran CBSA dan berlatih menerapkannya dengan
baik. Guru hendaknya yakin bahwa melalui pembelajaran IPA yang
baik siswa akan cerdas dalam berpikir.
2. Supervisor pengajaran (kepala sekolah, pengawas TK/SD) hendaknya
meningkatkan kemampuan profesional guru dalam mengajar dengan
pendekatan CBSA. Mereka dapat melalui KKG (Kelompok Kerja
Guru) untuk membahas teori dan pedoman pelaksanaan CBSA serta
simulasi mengajar. Para supervisor juga dapat menggunakan supervisi
klinis untuk kepentingan guru secara individual.
3. Dosen/tutor PGSD hendaknya meningkatkan pemahaman mahasiswa
tentang CBSA dan meningkatkan bimbingan praktik mengajar dengan
pendekatan CBSA. Dalam perkuliahan/tutorial diharapkan
dosen/tutor dapat menjadi model bagi mahasiswanya.
4. Peneliti pendidikan hendaknya dapat mengadakan penelitian serupa
pada populasi yang lain/lebih luas dan penelitian aspek KBM yang lain
untuk memperoleh masukan lebih mantap dan menyeluruh. Masukan
ini bermanfaat bagi pejabat pendidikan untuk membuat upaya-upaya
pembinaan guru dan calon guru yang tepat.

DAFTAR RUJUKAN

A Merriam-Webster. 1985. Webster’s Ninth New Collegiate


Dictionary. Ontario: Thomas Allen & Son Limited.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kurikulum Pendidikan


Dasar: Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Kelas IV Sekolah
Dasar (SD). Jakarta: Pengarang.

Eggen, P.D., & Kauchak, D.P. 1988. Strategies for Teachers: Teaching
Content and Thinking Skills (2nd ed.). New Yersey 07632: Prentice Hall.

Hadi, S. 1970. Statistik Psikologi dan Pendidikan (Jilid II). Jogjakarta:


Jajasan Penerbitan Fakultas Pschologi U.G.M.

Joni Raka, T. 1980. Strategi Belajar Mengajar: Suatu Tinjauan


Pengantar. Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Karyadi, B. 1993. Pengembangan Cara Belajar Siswa Aktif. Dalam Ibrahim,


R., & Benny Karyadi (eds.). Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Peningkatan Mutu Guru
SD Setara D-II dan Pendidikan Kependudukan.

Pintrich, P. R. 1990. Implication of psychological research on student learning


and college teaching for teacher education. Dalam Houston, W. R.
(ed.). Handbook of research on teacher education. New York, N.Y. 10022:
Macmillan.

Surachmad, W. (tidak ada tanggal). Metodologi Pengajaran


Nasional. Bandung: Jemmars.

Wardani, I.G.A.K. 2000. Guru sebagai pekerja profesional: Satu renungan


tentang sosok guru abad 21 serta implikasinya bagi Universitas
Terbuka. Jurnal Pendidikan 1 (1). 28-45.

Das könnte Ihnen auch gefallen