Sie sind auf Seite 1von 9

MANAJEMEN STRATEJIK DAN KEPEMIMPINAN

Case 8: DETECTING UNETHICAL PRACTICES AT SUPPLIER


FACTORIES: THE MONITORING AND COMPLIANCE
CHALLENGES

Dosen Pengampu: Dr. Jusuf Halim

Oleh:

Siti Nadhira Yasmine NPM 1406524751

Admar Jamal Junior NPM 1406590463

Fasti Herianty Akhzan NPM 1406590500

Topan Kurniawan NPM 1406590646

Program Studi Profesi Pendidikan Akuntansi

Universitas Indonesia

2014/2015
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI MAKSI-PPAK

Statement of Authorship
“Kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir adalah
murni hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang kami gunakan tanpa
menyebutkan sumbernya.

Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada
mata ajaran lain kecuali kami menyatakan dengan jelas bahwa kami menggunakannya.

Kami memahami bahwa tugas yang saya/kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau
dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.”

Mata Ajaran : Manajemen Stratejik dan Kepemimpinan


Judul Tugas : Analisis Kasus 8 – Detecting Unethical Practices at Supplier Factories : The
Monitoring and Compliance Challenges
Tanggal : 16 April 2015
Dosen : Dr. Jusuf Halim

Nama : Siti Nadhira Yasmine Nama : Admar Jamal Junior


NPM : 1406524751 NPM : 1406590463
Tandatangan : Tandatangan :

Nama : Fasti Herianty Akhzan Nama : Topan Kurniawan


NPM : 1406590500 NPM : 1406590646
Tandatangan : Tandatangan :
DETECTING UNETHICAL PRACTICES AT SUPPLIER FACTORIES:
THE MONITORING AND COMPLIANCE CHALLENGES

……………….. part Popo

……………….. part Topan

Nike’s Corrective Actions to Deal with Non-complying or Nonperforming Suppliers

Nike memutuskan hubungan kerja dengan pemasoknya ketika manajemen Nike, dalam kurun
waktu tertentu, menemukan bahwa pemasok tersebut tidak mampu dan tidak memiliki keinginan
yang kuat untuk menangani isu-isu penting terkait palanggaran kepatuhan yang mereka lakukan.
Satu pemasok di Cina misalnya, melakukan pelanggaran terhadap standar lembur serta
memalsukan time work record. Tim kepatuhan Nike menyusun action plan untuk diterapkan
oleh tiga unit bisnis Nike yang berbeda dalam menjalankan hubungan kerja dengan pemasok
tersebut. Setelah melakukan upaya selama enam bulan dan tidak ada perkembangan yang
dihasilkan, Nike memutuskan hubungan kerjanya dengan pemasok dari Cina tersebut. Pada
November 2006, Nike menghentikan kerja samanya dengan pemasok bola kaki asal Pakistan
yang gagal menangani pelanggaran kode etik yang serius.

Keputusan Nike untuk mengakhiri kerja sama dengan pemasoknya didasari pada kinerja
pemasok yang dilihat dari balanced scorecard, dimana perusahaan menilai ada tidaknya praktik
yang melanggar etika dengan melihat akun labor code compliance dan menganalisanya bersama
dengan pengukuran lain seperti harga, kualitas, dan delivery time. Contohnya, kelompok
manufaktur di Asia Tenggara memiliki kinerja yang rendah terkait banyak isu, mulai dari
mempekerjakan buruh melebihi standar jam kerja buruh hingga komunikasi antara manajemen
buruh dengan bagian kualitas produk dan shipping date. Setelah serangkaian tinjauan kerja,
manajemen Nike memberitahukan kepada kelompok manufaktur tersebut bahwa Nike tidak akan
melakukan pemesanan untuk season berikutnya. Nike tidak melaporkan pemutusan hubungan
kerja dengan alasan kinerja yang rendah saja namun juga karena adanya pelanggaran kepatuhan,
manajemen Nike mengatakan, “sulit untuk memisahkan kinerja yang rendah dari kepatuhan
sebagai satu-satunya alasan untuk mengakhiri hubungan bisnis”.

Untuk memberikan insentif yang lebih besar kepada pemasok yang mengikuti standar dan
ekspektasi Nike, manajemen Nike dan auditor pabrik memberikan kolonggaran kepada pemasok
dimana pemasok bisa mempekerjakan buruh dalam minggu kerja yang panjang (di atas 72 jam)
pada saat crunch production period, dan tidak mengharuskan pemasok menaati standar yang
ketat dimana buruh harus diberikan 1 hari off kerja setiap 14 hari, dengan syarat pemasok
memberikan hari off yang lebih banyak kepada para buruh pada saat lack production period.
Nike juga merampingkan metodenya dalam merancang sepatu dan melakukan pesanan kepada
pemasok utama perusahaan, serta membantu pemasok asing mengembangkan teknik produksi
yang lebih efisien, sehingga pemasok bisa terhindar dari mempekerjakan buruh dalam minggu
kerja yang panjang dan lembur yang berlebihan. Menurut vice president Nike untuk global
footwear operation, “Jika Anda meningkatkan efisiensi dan inovasi, hal ini dapat mengubah cost
equation pabrik”.

Pada tahun 2008, Nike menemukan adanya pelanggaran etika terkait kondisi kehidupan yang
tidak layak, penahanan passport buruh, dan pemalsuan gaji yang dilakukan oleh pemasok Nike di
Malaysia. Untuk mengatasi masalah tersebut, Nike mengharuskan pemasok tersebut untuk segera
melakukan perubahan-perubahan sebagai berikut:

1. Semua buruh migran akan diberikan reimbursement terkait pekerjaan mereka selama ini
termasuk namun tidak terbatas pada biaya perekrutan yang dibayarkan kepada agen
Tenaha kerja dan biaya perizinan kerja buruh.
2. Semua biaya yang terkait dengan pekerjaan buruh akan dibayarkan oleh pemasok sebagai
biaya dalam menjalan bisnis.
3. Para buruh yang ingin pulang ke negaranya akan dibiayai oleh perusahaan terlepas dari
persyaratan kontrak (contract erequirement).
4. Sebagian besar asrama buruh berada dalam kondisi yang tidak layak. Semua buruh akan
dipindahkan ke asrama baru yang telah diinspeksi dan disetujui oleh Nike dalam 30 hari.
5. Semua buruh akan segera memiliki free access atas passport mereka.
6. Buruh akan memiliki akses 24 jam hotline Nike jika mereka mengalami kesulitan dalam
mengakses passport dari manajemen pabrik pemasok. Nike akan melakukan investigasi
yang cermat atas semua klaim yang ada.
7. Komunikasi dengan para buruh mengenai perubahan ini akan disampaikan baik secara
lisan maupun melalui postingan di semua area publik dalam semua bahasa yang sesuai.

Nike juga mengumumkan bahwa selama 10 tahun ke depan, Nike akan mereviu semua
pemasoknya yang berlokasi di Malaysia dan mewajibkan para pemasok tersebut untuk
menerapkan kebijakan yang sama.

Wal-Mart’s Supplier Code of Conduct and Compliance Monitoring Program


Pada tahun 1992 Wal-Mart merancang sebuah standar untuk para pemasoknya dan memiliki
program standar etika untuk mengawasi kepatuhan pemasok terhadap standar tersebut. Sejak
saat itu, standar yang ditetapkan oleh Wal-Mart untuk para pemasoknya dievaluasi secara
berkala dan dimodifikasi berdasarkan pengalaman dan feedback dari ethical sourcing
community. Standar yang ditetapkan Wal-Mart untuk para pemasoknya meliputi kompensasi,
jam kerja, kerja paksa, pekerja di bawah umur, diskriminasi, kepatuhan terhadap hukum dan
regulasi di negara yang bersangkutan, praktik kerja yang aman dan sehat, pencemaran
lingkungan, kebebasan berserikat dan berunding bersama, hak-hak terkait kontrak pekerja
asing, dan hak audit oleh Wal-Mart.

Sebelum melakukan perjanjian dengan pemasok, Wal-Mart mengharuskan para pemasok


untuk mereviu dan menandatangani sebuah perjanjian, yang berisi ekspektasi bahwa
pemasok akan patuh pada standar yang ditetapkan oleh Wal-Mart untuk pemasoknya. Selain
itu, semua pemasok diharuskan untuk memasang poster “Standar for Supplier” di semua
pabrik pemasok. Manajemen pabrik pemasok diharuskan untuk menandatangi pernyataan
bahwa manajemen telah membaca dan memahami dengan jelas Standard fo Supplier yang
ditetapkan oleh Wal-Mart, serta memposting salinan poster dalam beberapa bahasa yang
sesuai di public area dalam pabrik. Poster Standard for Supplier Wal-Mart tersedia dalam 25
bahasa.

Pada February 2002, Wal-Mart membuat sebuah perusahaan bernama Global Procurement
Services Group (GPSG), yang bertugas mengidentifikasi pemasok baru, sumber produk baru,
membangun kerja sama dengan pemasok yang ada, mengelola global supply chain direct
import Wal-Mart, menyediakan pelatihan mengenai standar kelayakan lokasi kerja kepada
pemasok, dan menjalankan standar pemasok Wal-Mart. Semua karyawan Wal-Mart yang
terkait dengan pengawasan kepatuhan pemasok menjadi bagian dari GPSG. Pada tahun 2008,
GPSG memiliki sekitar 1700 pegawai yang bekerja dari kantor-kantor di 25 negara, termasuk
Cina, Indonesia, India, Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, Honduras, Nicaragua, Guatemala,
Mexico, Brazil, dan Turki (negara-negara dimana terdapat tantangan besar terkait kepatuhan
pemasok).

Pada tahun 2005-2007, Wal-Mart membeli barang dari hampir 9.000 pemasok di 60 negara;
sekitar 2.500 dari 9.000 pemasok telah menerapkan standar yang tetapkan oleh Wal-Mart dan
sistem audit pabrik karena merger, akuisisi, dan konstruksi pabrik baru. Sekitar 200 orang
karyawan Wal-Mart yang tersebar di seluruh kantor GPSG di 25 negara bertugas mengawasi
kepatuhan pemasok terhadap Standard for Suppliers Wal-Mart. Para pemasok yang terikat
dengan standar tersebut harus mengungkapkan pabrik yang digunakan untuk memenuhi
setiap pesanan Wal-Mart.

Wal-Mart’s Supplier Auditing Program and Compliance Rating System


Selama tahun 2006, Wal-Mart merupakan perusahaan yang mengaudit pemasok paling
banyak dibandingkan perusahaan-perusahaan lain di dunia. Wal-Mart melakukan 16.700
initial audit dan follow-up audit terhadap 8.873 pemasoknya. Pada tahun 2005, Wal-Mart
melakukan 13.700 initial audit dan follow-up audit terhadap 7.200 pemasoknya; pada tahun
2004, Wal-Mart melakukan 12.561 initial audit dan follow-up audit terhadap 7.600
pemasoknya. Metodologi audit perusahaan dan sistem peringkat pemasok digambarkan
dalam Exhibit 5. Rangkuman temuan audit Wal-Mart tahu 2004-2006 disajikan dalam
Exhibit 6. Menurut manajemen Wal-Mart, jumlah disapproved factoriesyang semakin kecil
pada tahun 2005 dan 2006 dibandingkan dengan pada tahun 2004 terutama dikarenakan oleh
periode disapproval yang diperpanjang dari 90 hari menjadi satu tahun hingga pemasok
memperoleh empat rating kuning dalam kurun waktu dua tahun; faktor penyebab lainnya
adalah revisi rating dan pengumuman Wal-Mart kepada publik bahwa Wal-Mart akan
menambah persentase announced audit menjadi 20 persen di tahun 2005 dan 30 persen di
tahun 2006. Selain itu, mulai tahun 2004, Wal-Mart menambah item yang lebih spesifik
dalam standar pemasok yang harus diimplementasikan pemasok, beberapa jenis pelanggaran
diklasifikasikan kembali untuk meningkatkan rate kejahatannya, audit dilakukan oleh tim
yang terdiri dari dua orang dimana sebelumnya hanya tediri dari satu orang. Peningkatan
jumlah audit yang dilakukan oleh Wal-Mart membuat auditor Wal-Mart menjadi terbiasa
dengan pabrik pemasok dan para buruh di pabrik. 52 persen dari pemasok yang diaudit pada
tahun 2005 tidak diaudit lagi pada tahun 2006 karena turnover pemasok, disapproved
factories, pemutusan kontrak dengan pemasok yang memperoleh rate merah, dan siklus dua
tahunan reaudit terhadap pemasok dengan rate hijau. Daripada melarang melakukan pesanan
kepada pemasok dengan rate kuning dan oranye, kebijakan Wal-Mart adalah bekerja sama
dengan pemasok untuk mengurangi pelanggaran dan menciptakan kondisi lokasi kerja yang
lebih baik, concern terhadap masyarakat, dan badan nonpemerintah yang berjuang untuk
kondisi kerja yang lebih baik bagi buruh dengan upah yang rendah. Untuk mendorong tingkat
kepatuhan yang lebih tinggi, Wal-Mart memberikan pelatihan kepada lebih dari 8.000
karyawan pemasok di tahun 2004, 11.000 pemasok dan manajemen pabrik pemasok di tahun
2005, dan 5.000 pemasok dan manajemen pabrik pemasok di tahun 2006. Pelatihan tersebut
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan pemasok terhadap standar yang ditetapkan oleh
Wal-Mart untuk pemasoknya serta mendukung pertukaran informasi mengenai praktik-
praktik yang dijalankan dalam aktivitas operasi pemasok. Wal-Mart secara aktif bekerja sama
dengan pemasok asing untuk melakukan perencanaan produksi yang lebih baik,
meningkatkan efisiensi pabrik, mengedukasi dan memberikan pelatihan kepada buruh,
meningkatkan supply chain, dan mengadopsi praktik pengoperasian pabrik yang lebih baik.
Wal-Mart juga berkonsultasi dengan para ahli dan organisasi yang berpengalaman dan
memiliki pengetahuan luas untuk melancarkan kepatuhan terhadap etika dan menciptakan
kondisi kerja yang lebih baik di pabrik pemasok.

Setelah mempelajari insiden yang dilaporkan oleh Business Week yang telah disebutkan di
awal kasus, Wal-Mart memulai investigasi terhadap pabrik Beifa di Ningbo. Wal-Mart
menemukan bahwa beberapa dari pemasoknya berusaha mengelabui pengawasan pabrik dan
tidak mematuhi standar yang ditetapkan oleh Wal-Mart.

Audit Fatigue on the Part of Supplier Factories


Pada tahun 2008, monitoring pemasok menjadi praktik standar bagi banyak retailer dan
brand owners yang memasok barang-barangnya dari pabrik di luar negeri dimana kondisi
kerjanya tidak cukup baik. Merupakan hal yang biasa bagi tim audit dari beberapa
perusahaan yang berbeda berada pada satu pabrik pemasok yang sama sebanyak 10 kali tiap
bulan, yang menyebabkan timbulnya upaya duplikasi audit serta kejenuhan audit dan frustasi
manajer pabrik. Ketika kode etik pemasok dari berbagai retailer dan brand owners
cenderung mirip, interpretasi dari standar tersebut dan local laws bervariasi dari setiap
perusahaan, sehingga menyebabkan manajer pabrik diharuskan patuh terhadap berbagai
interpretasi.

Wal-Mart menyatakan bahwa multiple audit oleh beberapa perusahaan dengan standar yang
dan interpretasi yang berbeda perlu dibahas. Respon tersebut meningkatkan kerja sama Wal-
Mart dengan perusahaan dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan monitoring
untuk bekerja bersama-sama mengkonvergensi kode etik pemasok dan interpretasi dari
standar dan hukum setempat; tujuan Wal-Mart adalah untuk membangun program sertifikasi
yang kompak dan kredibel yang membantu para pemasok dalam mematuhi standard dan
hukum setempat serta mengurangi kejenuhan audit.

Menjelang akhir dari penyusunan program tersebut, Wal-Mart memulai kerja sama yang erat
dengan International Council of Toy Industries (ICTI) CARE Process dan Global Social
Compliance Program. ICTI beranggotakan asosiasi perdagangan mainan dari 21 negara yang
mengkampanyekan standar mainan yang aman, perlakuan yang sama kepada buruh, kondisi
kerja yang aman di pabrik mainan, serta cara yang bertanggung jawab dalam mengiklankan
dan memasarkan mainan kepada anak-anak. ICTI telah mengembangkan sebuah kode praktik
bisnis yang berisi standar yang tinggi terhadap praktik buruh serta kesehatan dan keselamatan
buruh. CARE Process tersebut bertujuan untuk menciptakan satu program audit yang
menyeluruh dan konsisten untuk mengawasi kepatuhan pemasok terhadap kode praktik
tersebut; sebagian besar dari audit ICTI dilakukan di China, dimana 70 persen dari mainan di
seluruh dunia dibuat.

Wal-Mart merupakan salah satu pendiri Global Social Compliance Program (GSCP). GSCP
merupakan langkah awal untuk mempromosikan standar global yang sama untuk kode etik
pemasok dan kondisi kerja di pabrik pemasok yang wajar, khususnya yang berkaitan dengan
kesehatan dan keselamatan kerja, tenaga kerja di bawah umur, diskriminasi, dan kompensasi.
Pengawasan pabrik merupakan komponen penting dalam program ini. Walaupu sebagian
besar pelaksanaan program ini dilakukan oleh CIES, sebuah asosiasi retailer dan pemasok
makanan internasional, ruang lingkup dari GSCP meliputi produk makanan dan bukan
makanan. Walaupun saat ini GSCP beranggotakan perusahaan-perusahaan, untuk ke
depannya GSCP akan memperluas kerja samanya dengan persatuan dagang, organisasi
pemerintah, dan organisasi nonpemerintah.

Pada Juli 2008, Wal-Mart Intertek Group, PLC, sebuah organisasi pengawas pemasok yang
independen yang memiliki 25 kantor di Cina, mulai melakukan audit terhadap pabrik
pemasok Wal-Mart di Cina. Intertek merupakan salah satu dari beberapa group yang
digunakan oleh Wal-Mart untuk mengaudit para pemasoknya.
COMPLIANCE EFFORTS OF INDUSTRY GROUPS AND NONGOVERNMENTAL
ORGANIZATION

……………………… (part Junior)

ANALISIS

1. Apa yang dimaksud dengan etika bisnis?

2. Bagaimana dan mengapa standar etika berdampak terhadap penyusunan dan


pelaksanaan strategi?

3. Apa pemicu dari strategi dan perilaku bisnis yang tidak etis?

4. Mengapa strategi perusahan harus beretika?

5. Strategi, tanggung jawab sosial korporat, dan keberlanjutan lingkungan.

REFERENCES

Arthur Thompson, Margaret Peteraf, John Gamble, A. J. Strickland III (2012). Crafting and
Executing Strategy, 18th edition. Mc Graw Hill.

Arthur Thompson, Margaret Peteraf, John Gamble, A. J. Strickland III (2014). Crafting and
Executing Strategy, 19th edition. Mc Graw Hill.

Das könnte Ihnen auch gefallen