Sie sind auf Seite 1von 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Paru
2.1.1 Anatomi
Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam rongga dada
atau toraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar
memisahkan paru tersebut. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar.
Pembuluh darah paru dan bronkial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap
paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru kanan sedikit lebih besar dari
paru kiri, dan dibagi oleh fissura obliqua dan fissura horizontalis menjadi tiga lobus;
lobus superior, lobus medius, dan lobus inferior. Paru kiri dibagi oleh satu fissura (fissura
obliqua) menjadi dua lobus: lobus superior dan lobus inferior.Lobus-lobus tersebut dibagi
lagi menjadi segmen sesuai dengan segmen bronkusnya. Paru kanan dibagi menjadi 10
segmen sedangkan paru kiri dibagi menjadi 9 segmen. Suatu lapisan tipis kontinu yang
mengandung kolagen dan jaringan elastis, dikenal sebagai pleura, melapisi rongga dada
(pleura parietalis) dan menyulubungi setiap paru (pleura visceral). Di antara pleura
parietalis dan viseralis terdapat suatu lapisan tipis cairan pleura yang berfungsi untuk
memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah
pemisahan toraks dan paru.

Gambar 2.1 Permukaan lateral dan medial paru kanan


Gambar 2.2 Permukaan lateral dan medial paru kiri (Snell, 2011).

Alveoli menerima darah terdeoksigenasi dari cabang-cabang terminal arteria pulmonalis.


Darah yang telah mengalami oksigenasi meninggalkan kapiler-kapiler alveoli dan akhirnya
bermuara ke dalam kedua vena pulmonalis. Dua vena pulmonalis meninggalkan radix pulmonis
masing-rnasing paru untuk bermuara ke dalam atrium kiri jantung. Pada radix setiap paru
terdapat plexus pulmonalis. Plexus dibentuk dari cabang-cabang truncus sympathicus dan
serabut-serabut parasimpatik nervus vagus. Serabut-serabut eferen simpatik mengakibatkan
bronchodilatasi dan vasokonstriksi.
Serabut-serabut eferen parasimpatik mengakibatkan bronchokonstriksi, vasodilatasi, dan
peningkatan sekresi kelenjar. Impuls aferen yang berasal dari membrana mukosa bronkus dan
dari reseptor regang dinding alveoli berjalan ke sistem saraf pusat di dalam saraf simpatik dan
parasimpatik (Snell, 2011).

2.1.2 Fisiologi Pernafasan


Proses fisiologi pernapasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-
jaringan dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi menjadi tiga stadium.
Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan
keluar paru. Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan antara
atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Rangka toraks berfungsi sebagai
pompa. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga
terangkat akibat kontraksi beberapa otot. Otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum
ke atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga. Toraks
membesar ke tiga arah: anteroposterior, lateral, dan vertikel. Peningkatan volume ini
menyebabkan penurunan tekanan intrapleura, dari sekitar -4 mmHg menjadi sekitar -8
mmHg bila paru mengembang saat inspirasi. Pada saat yang sama tekanan intrapulmonal
atau tekanan jalan napas menurun sekitar -2 mmHg dari 0 mmHg pada waktu mulai
inspirasi. Selisih tekanan antara jalan napas dan atmosfer menyebabkan udara mengalir ke
dalam paru sampai tekanan jalan napas pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas
dinding dada dan paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, rangka iga turun
dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume toraks
berkurang. Otot interkostalis internus dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam pada waktu
ekspirasi kuat dan aktif, batuk, muntah, atau defekasi. Selain itu, otot-otot abdomen dapat
berkontraksi sehingga tekanan intraabdominal membesar dan menekan diafragma ke atas.
Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan
intrapulmonal.

Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat dan mencapai sekitar 1 sampai 2 mmHg


di atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan antara jalan napas dan atmosfer menjadi terbalik,
sehingga udara mengalir keluar dari paru sampai tekanan jalan napas dan tekanan atmosfer
menjadi sama kembali pada akhir respirasi (Price & Wilson, 2006).
Stadium kedua yaitu transportasi yang ditinjau dari beberapa aspek(Price& Wilson,
2006).
1. Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan antara darah
sistemik dan sel-sel jaringan.
2. Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuainnya dengan distribusi udara
dalam alveolus-alveolus.
3. Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah.
Stadium akhir respirasi yaitu saat zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan energi dan
CO2 terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru (Price &
Wilson, 2006).
2.2 Definisi Asma Bronkial
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Asthma (GINA)
didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang
berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini
menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada
malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang
luas namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap
berbagai rangsangan (GINA, 2006).
Asma bronkial adalah salah satu penyakit paru yang termasuk dalam kelompok penyakit
paru alergi dan imunologi yang merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi
yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan
manifestasi berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan yang menyeluruh
dari saluran napas. Penyempitan ini bersifat dinamis dan derajat penyempitan dapat berubah,
baik secara spontan maupun karena pemberian obat (Assegaf, 2002).
Penyempitan saluran napas ini bersifat dinamis dan derajat penyempitan dapat berubah
baik secara spontan maupun karena pemberian obat dan kelainan dasarnya berupa gangguan
imunologi. Asma merupakan gangguan inflamasi kronis di jalan napas. Dasar penyakit ini
adalah hiperaktivitas bronkus dan obstruksi jalan napas. Gejala asma adalah gangguan
pernapasan (sesak), batuk produktif terutama pada malam hari atau menjelang pagi dan
dada terasa tertekan. Gejala tersebut memburuk pada malam hari, adanya alergen (seperti
debu, asap rokok) atau saat sedang menderita sakit seperti demam. Gejala hilang dengan
atau tanpa pengobatan. Didefinisikan sebagai asma jika pernah mengalami gejala sesak
napas yang terjadi pada salah satu atau lebih kondisi: terpapar udara dingin, debu, asap
rokok, stress, flu, infeksi, kelelahan, alergi obat dan alergi makanan dengan disertai salah
satu atau lebih gejala: mengi dan atau sesak napas berkurang atau menghilang dengan
pengobatan dan atau sesak napas berkurang atau menghilang tanpa pengobatan dan atau
sesak napas lebih berat dirasakan pada malam hari atau menjelang pagi dan jika pertama kali
merasakan sesak napas saat berumur <40 tahun. Pada orang dewasa serangan asma dimulai
pada umur lebih dari 35 tahun dan wanita lebih banyak daripada pria (Mukhty et al, 2009).
2.3 Epidemiologi
Asma dapat ditemukan pada laki – laki dan perempuan di segala usia, terutama pada usia
dini. Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada usia remaja
menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa. Laki-laki lebih
memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia remaja dibandingkan dengan
perempuan (Morris, 2011).

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah penderita
asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus
meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025 (Partridge, 2007).

Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) pada
tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat dari 4,2%
menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari seluruh penduduk
Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia (Dewan Asma Indonesia,
2009).

2.4 Faktor Pencetus dan Faktor Resiko


Sekitar sepertiga seluruh pasien asma memiliki anggota keluarga dekat yang juga
menderita asma (Kowalak, 2011).
a. Faktor Pencetus
Penyempitan saluran napas pada asma bronkial, bukanlah penyempitan yang
diakibatkan oleh penyakit infeksi menahun pada saluran napas (seperti bronkitis
menahun) ataupun penyempitan sebagai akibat kerusakan dinding saluran napas (misal
pada bronkiektasis ataupun emfisema paru), namun karena reaksi inflamasi yang
didahului oleh faktor pencetus (Mukhty et al, 2009).
Iritan seperti zat kimia dalam tepung, anhidrida asam, toluena di-iso-sianat,
serangga terbang tertentu, dan ekskreta tungau debu rumah yang ada pada karpet,
diketahui sebagai agen yang memicu serangan asma (Kowalak, 2011).

Tabel 2.1 Faktor Risiko Asma

Faktor Pejamu
 Predisposisi Genetik
 Atopi
 Hiperesponsif jalan napas
 Jenis Kelamin
 Ras / etnik
Faktor Lingkungan
Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi asma
Alergen di dalam ruangan
 Alergen binatang
 Jamur
Alergen di luar ruangan
 Tepung sari bunga
 Jamur
 Asap rokok
 Bahan di lingkungan kerja
Polusi udara
 Polusi udara di luar ruangan
 Polusi udara di dalam ruangan
Infeksi Parasit
Diet dan obat
Obesitas
Faktor Lingkungan
Mencetuskan eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap
 Alergen di dalam dan di luar ruangan
 Polusi udara
 Infeksi pernapasan
 Excercise dan hiperventilasi
 Perubahan cuaca
 Sulfur dioksida
 Makanan, obat-obatan, aditif
 Ekspresi emosi yang berlebihan
 Asap rokok
 Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray)
2.5.Patofisiologi
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang akan
mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas, gangguan
saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga berperan pada
proses hiperaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena
adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran
udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan.
Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang.
Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama
didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya
alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells), kemudian hasil
olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong) terutama Th2. Sel T
penolong inilah yang akan memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar
sel-sel plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel
epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator inflamasi
seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet activating factor (PAF),
bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan mempengaruhi
organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos saluran pernapasan sehingga
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas,
infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein melalui
mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas
saluran napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi pelepasan mediator adalah obat-
obatan, latihan, udara dingin, dan stress. Selain merangsang sel inflamasi, terdapat
keterlibatan sistem saraf otonom pada jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi
dan hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.
Refleks bronkus terjadi karena adanya peregangan nervus vagus, sedangkan pelepasan
mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih
permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan
reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada beberapa keadaan seperti
pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Refleks saraf memegang
peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa
yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin
A dan calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan
terjadinya bronkokontriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan
aktivasi sel-sel inflamasi (PDPI, 2003).

Gambar 2.3 Patofisiologi Asma (PDPI, 2003)

2.6.Manifestasi Klinis
Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase inspirasi
yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi dan diikuti bunyi mengi (wheezing),
batuk yang disertai serangan sesak napas yang kumat-kumatan. Pada beberapa penderita
asma keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan sesak napas penderita timbul
mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat atau tiba-tiba menjadi lebih berat. Hal ini
sering terjadi terutama pada penderita dengan rhinitis alergi atau radang saluran napas bagian
atas. Sedangkan pada sebagian besar penderita keluhan utama sukar bernapas disertai rasa
tidak enak didaerah retrosternal.
Mengi (wheezing) terdengar terutama waktu ekspirasi. Suara mengi ini sering kali
dapat didengar dengan jelas tanpa menggunakan alat. Keadaan ini tergantung cepat atau
lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan atau
kelelahan otot pernapasan, mengi (wheezing) akan terdengar lemah atau tidak terdengar sama
sekali. Sedang batuk hampir selalu ada, bahkan sering kali diikuti dengan dahak putih
berbuih. Selain itu makin kental dahak akan memberikan keluhan sesak napas yang lebih
berat apalagi penderita mengalami dehidrasi.
Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi duduk
membungkuk dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Tanda lain yang
menyertai sesak napas berat ialah pergerakan cuping hidung yang sesuai dengan irama
pernapasan, otot bantu pernapasan ikut aktif dan penderita tampak gelisah (Mukhty et all,
2009).

2.7.Klasifikasi Asma
Derajat Gejala Gejala Malam Faal Paru
Asma
Intermitten Gejala <1x/minggu 2x sebulan VEP1 80% nilai
Tanpa gejala diluar prediksi
serangan APE 80% nilai
Serangan singkat terbaik
Variability APE
<20%
Persisten Gejala >1x/minggu >2x sebulan VEP1 80% nilai
Ringan tapi <ix/hari prediksi
APE 80% nilai
terbaik
Variability APE
20%-30%
Persisten Gejala setiap hari >1x seminggu VEP1 60-80%
Sedang Serangan nilai prediksi
mengganggu APE 60-80%
aktivitas dan tidur nilai terbaik
Membutuhkan Variability APE
bronkodilator tiap >30%
hari
Persisten Gejala terus Sering VEP1 <60%
Berat menerus nilai prediksi
Sering kambuh APE <60% nilai
Aktivitas fisik terbaik
terbatas Variability APE
>30%

(PDPI, 2003)

2.8.Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
 Anamnesis
Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk, sesak napas,
mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Faktor – faktor
yang mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya riwayat alergi.11
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi saluran napas.
Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga
meningkat, ekspirasi memanjang diserta ronki kering, mengi.11
 Pemeriksaan Laboratorium
Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman, kristal Charcot
Leyden).11
 Pemeriksaan Penunjang
- Spirometri
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal ventilasi paru.
Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan ciri khas asma dapat
dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan atau
kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20% atau lebih sesudah pemberian
bronkodilator.
- Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita
dengan gejala sma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus.
Pemeriksaan uji provokasi bronkus merupakan cara untuk membuktikan secara
objektif hiperreaktivitas saluran napas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi
bronkus terdiri dari tiga jenis yaitu uji provokasi dengan beban kerja (exercise),
hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik seperti metakolin dan histamin.
- Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang
memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas,
pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma yang ringan, gambaran
radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan.
(Mansjoer A, 2001)
2.9 Diagnosis Banding
Diagnosis banding asma antara lain sbb :
Dewasa (PDPI, 2003).
 Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Pada PPOK sesak bersifat irreversibel, terjadi pada usia 40 tahun keatas dan
biasanya dengan riwayat paparan zat alergen dalam watu yang cukup lama.
 Bronkitis kronik
Keluhan sesak nafas disertai dengan batuk produktif yang terus menerus selama 3
bulan dalam 2 tahun berturut turut.
 Gagal Jantung Kongestif
Sesak biasanya hilang timbul dan kumat-kumatan. Keluhan sesak biasanya terjadi
setelah melakukan aktivitas. Selain itu sesak nafas juga terjadi pada saat tidur
telentang sehingga pasien akan merasa lebih nyaman jika tidur mnggunakan 2-3
buah bantal.
 Obstruksi mekanis (misal tumor)
Keluhan sesak biasanya bertahan lama. Hal ini disebabkan karena adanya
penyempitan permanen dari saluran pernafasan. Bunyi mengi juga akan terdengar
setiap saat.

Anak (PDPI, 2003).


 Benda asing di saluran napas
Keluhan sesak disertai dengan riwayat tertelan benda asing. Setelah benda asing
berhasil dikeluarkan maka keluhan sesak akan hilang secara permanen.
 Laringotrakeomalasia
Laringotrakeomalasia adalah kelainan yang disebabkan oleh melemahnya struktur
supraglotis dan dinding trakea, sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran napas
yang menimbulkan gejala utama berupa stridor. Kelainan ini dapat hadir sebagai
laringomalasia atau trakeomalasia saja.
 Tumor
Keluhan sesak biasanya juga bertahan lama sama seperti tumor pada dewasa. Hal
ini disebabkan karena adanya penyempitan permanen dari saluran pernafasan.
Bunyi mengi juga akan terdengar setiap saat.
 Bronkiolitis
Merupakan infeksi virus pada bronkiolus dan biasanya menyerang anak dibawah
usia 2 tahun
(PDPI, 2003)

2.10 Tatalaksana
Tujuan pengobatan farmakologi adalah menghilangkan obstruksi saluran
pernapasan. Obat-obat yang dipergunakan meliputi bronkodilator dan anti keradangan
atau keduanya. Obat anti inflamasi dapat mencegah terjadinya proses peradangan lebih
lanjut. Bronkodilator bekerja dengan cara mengendurkan kontraksi otot polos bronkus.
Dapat diberikan secara enteral, parenteral atau inhalasi. Obat-obat tersebut mempunyai
indeks terapeutik yang lebih baik bila diberikan sebagai aerosol daripada parenteral atau
enteral. Di klinik aerosol dapat diperoleh melalui Nebulizer (jets atau ultrasonik),
Metered Dose Inhaler (MDI), dan Dry Powder Inhaler (DPI).
Obat anti inflamasi meliputi kortikosteroid, sodium cromolyn atau cromolyn-like
compound atau anti inflamasi lainnya sedangkan obat bronkodilator meliputi beta-
adrenergik agonis, metilsantin, dan antikolinergik.
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada
saat serangan asma yaitu bronkodilator (beta 2 agonis kerja cepat dan ipratroprium
bromida) dan kortikosteroid sistemik, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk
pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus-menerus yaitu
kortikosteroid inhalasi, beta 2 agonis kerja panjang, anti leukotrien, dan teofilin lepas
lambat.
 Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan anti radang yang efektif untuk pengobatan
obstruksi jalan napas yang reversibel. Hasilnya cukup baik untuk mengurangi lama
dan seringnya serangan eksaserbasi akut. Pemberian kortikosteroid oral sedini
mungkin pada serangan eksaserbasi akut dapat menghambat beratnya penyakit,
mengurangi timbulnya kasus darurat paru, mengurangi seringnya masuk rumah
sakit. Pada pemberian kortikosteroid per oral, obat mulai bekerja 3 jam setelah
pemberian, mencapai puncak setelah 6-12 jam.
Meskipun mekanismenya belum seluruhnya jelas namun dalam percobaan
ternyata kortisteroid mempercepat katabolisme imunoglobulin (termasuk IgE).
Disamping itu kortikosteroid dapat menghalangi metabolisme asam arakidonat
dan menghambat pembentukan leukotrin dan prostaglandin, menghalangi
pergerakan dan aktivitas sel-sel radang secara langsung dan meningkatan respons
reseptor beta dari otot polos saluran pernapasan. Kortikosteroid dapat diberikan
dalam jangka pendek. Hasil penelitian di Eropa dan Australia pemakaian aerosol
Beclomethason 1600-2600 µg per hari dapat menekan timbulnya
hyperresponsiveness. Dan sebagai patokan anti keradangan pada asma cukup
dengan dosis 400-800 µg tiap hari.
Sebagai pegangan pemakaian kortikosteroid aerosol dapat dilihat pada tabel
berikut:

Tabel 2.3 Pedoman pemakaian kortikosteroid aerosol

Nama Obat Dosis Jumlah puff/hari Dosis maks/hari


(µg)

Beclomethason 42 2 pf, 3-4x 840

Flunisolon 250 2 pf, 2x 2000

Triamcinolon 100 2 pf, 3x 1600

(Alsagaff & Mukty, 2009)

 Bronkodilator
Kortikosteroid merupakan anti radang yang efektif untuk pengobatan
obstruksi jalan napas yang reversibel. Hasilnya cukup baik untuk mengurangi lama
dan seringnya serangan eksaserbasi akut. Pemberian kortikosteroid oral sedini
mungkin pada serangan eksaserbasi akut dapat menghambat beratnya penyakit,
mengurangi timbulnya kasus darurat paru, mengurangi seringnya masuk rumah
sakit. Pada pemberian kortikosteroid per oral, obat mulai bekerja 3 jam setelah
pemberian, mencapai puncak setelah 6-12 jam.
Meskipun mekanismenya belum seluruhnya jelas namun dalam percobaan
ternyata kortisteroid mempercepat katabolisme imunoglobulin (termasuk IgE).
Disamping itu kortikosteroid dapat menghalangi metabolisme asam arakidonat
dan menghambat pembentukan leukotrin dan prostaglandin, menghalangi
pergerakan dan aktivitas sel-sel radang secara langsung dan meningkatan respons
reseptor beta dari otot polos saluran pernapasan. Kortikosteroid dapat diberikan
dalam jangka pendek. Hasil penelitian di Eropa dan Australia pemakaian aerosol
Beclomethason 1600-2600 µg per hari dapat menekan timbulnya
hyperresponsiveness. Dan sebagai patokan anti keradangan pada asma cukup
dengan dosis 400-800 µg tiap hari.
Beta-adrenergik Agonis selektif bekerja selektif sebagai bronkodilator pada
reseptor beta-2 otot plos bronkus sehingga terjadi pelebaran saluran napas serta
menghambat terlepasnya mediator sel mast dan basofil. Bila diberikan per oral,
lama kerjanya 4-6 jam namun bila diberikan secara aerosol, efek obat lebih lama
sekitar 12-18 jam. Pemberian aerosol juga dapat mengurangi pengaruh sampingan
(berdebar-debar, cemas, gemetar) dibandingkan dengan pemberian per oral
ataupun parenteral dan pemberian secar inhalasi lebih rasional, baik untuk
pencegahan maupun untuk pengobatan eksaserbasi akut, karena asma merupakan
penyakit salurann napas
Isoproterenol diberikan secara inhalasi dengan menggunakan MDI atau
nebulizer dan dalam dosis kecil. Kerja obat baru tampak setelah lima menit
pemberian dan waktu kerja obat sangat pendek yaitu kurang dari dua jam.
Penderita yang mengalami serangan asma berat dapat diberikan per injeksi. Hati-
hati pemberian obat ini pada penderita sakit jantung.
Teofilin (Non Adrenergik Bronkodilator) merupakan obat asma kelompok
pertama yang sering dipakai. Untuk pengobatan asma akut tersedia dalam bentuk
tablet tipis dengan kerjanya yang cepat namun tidak dapat dipakai sebagai
maintenance drug karena cepat pula dimetabolisir. Untuk pemakaian long acting
tersedia dalam bentuk tablet sustained release yang efek bronkodilatornya 12-24
jam sehingga dapat dipakai dua kali sehari. Pada orang dewasa dosis 400 mg/hari
daoat diberikan sebagai dosis tunggal atau dibagi dalam dua dosis (200 mg/tablet).
Dengan kata lain, pada orang dewasa obat yang diberikan adalah 13
mg/kgBB/hari atau kurang dari 900 mg sampai 900 mg/hari. Secara empiris, kadar
terapeutik teofilin dicapai setelah 48 jam pemberian obat. Bila kadar terapeutik
tidak dicapai dan keadaan penderita tetap maka dosis teofilin dapat dinaikkan
perlahan-lahan sampai kadar terapeutik yang dikehendaki dicapai dan penyakit
dapat dikendalikan. Kadar terapeutik teofilin optimal dalam plasma berkisar
antara 10-20 µg/ml. Pada penderita tua dengan asma ringan kadar < 10 µg/ml
sudah dapat memberikan efek bronkodilatasi. Kadar teofilin dalam plasma < 5
µg/ml tidak mempunyai efek terapeutik dan bila kadar dalam plasma > 20 µg/ml
banyak memberikan pengaruh sampingan. Teofilin menghambat enzim
fosfodiesterase sehingga 5’- cAMP tidak terbentuk dan konstriksi bronkus tidak
terjadi.
Cara pemberian obat tersebut haruslah disesuaikan dengan parahnya
penyakit dan disesuaikan dengan skor sistem seperti pada tabel 2.4 dan 2.5
dibawah ini:
Tabel 2.4 Cara pemberian obat pada waktu serangan

Cara Pemberian Obat Berdasarkan Keparahan Penyakit

1. ASMA RINGAN (skor 1-5)


- Bronkodilator golongan beta-2 agonis selektif
2. ASMA SEDANG (skor 6-8)
- Kortikosteroid inhalasi dosis rendah
- Bronkodilator dua kali sehari
3. ASMA BERAT (skor 9-12)
- Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi
- Bronkodilator secara teratur dengan atau tanpa teofilin
(Alsagaff & Mukty, 2009)

Tabel 2.5 Sistem skor indeks prediktor

Pemeriksaan Fisik Skor 0 Skor 1

Denyut nadi/menit < 120 ≥ 120

Pernapasan/menit < 30 ≥ 30

Pulsus paradoks (mmHg) < 18 ≥ 18

PEFR (liter/menit) >120 ≤ 120

Sesak (-)- Ringan Sedang-Berat

Obat bantu pernapasan (-)- Ringan Sedang-Berat

Wheezing (-)- Ringan Sedang-Berat

(Alsagaff & Mukty, 2009)

Total skor antara 0-7. Bila didapatkan skor 4 harus dipertimbangan untuk rawat inap.
Kegunaan Bronkodilator pada Asma
1. Membantu mengakkan diagnosis
2. Menentukan keparahan penyakit
3. Dapat mengatasi gejala-gejala
4. Dapat mempertahankan faal paru dalam batas-batas yang dikehendaki
5. Dapat mencegah serangan pada waktu olahraga
Kegunaan Kortikosteroid Inhalasi
1. Merupakan satu-satunya obat yang dapat mengurangi keparahan penyakit
2. Ditujukan terutama untuk penderita asma sedang dan asma berat
3. Dapat dipergunakan dalam jangka panjang, untuk mendapatkan perbaikan maksimal
dengan efek samping minimal.(Mukhty et al, 2009).

Pengobatan Asma berdasarkan klasifikasi berat asma dapat dilihat di tabel berikut:
Tabel 2.6 Obat asma berdasarkan klasifikasi
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Medikasi Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain
Asma pengontrol harian
Asma Tidak perlu -------- -------
Intermiten
Asma Glukokortikosteroid  Teofilin lepas ------
Persisten inhalasi lambat
Ringan  Kromolin
(200-400 ug  Leukotriene
BD/hari atau modifiers
ekivalennya)
Asma Kombinasi inhalasi  Glukokortikosteroid  Ditambah
Persisten glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug agonis
Sedang BD atau beta-2
(400-800 ug ekivalennya) kerja lama
BD/hari atau ditambah Teofilin oral, atau
lepas lambat ,atau
ekivalennya) dan

agonis beta-2 kerja


 Ditambah
lama  Glukokortikosteroid teofilin
inhalasi (400-800 ug lepas
BD atau lambat
ekivalennya)
ditambah agonis
beta-2 kerja lama
oral, atau

 Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi
(>800 ug BD atau
ekivalennya) atau

 Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug
BD atau
ekivalennya)
ditambah
leukotriene
modifiers

Asma Kombinasi inhalasi Prednisolon/


Persisten glukokortikosteroid metilprednisolon oral
Berat (> 800 ug BD atau selang sehari 10 mg
ekivalennya) dan ditambah agonis beta-2
agonis beta-2 kerja kerja lama oral, ditambah
lama, ditambah  1 teofilin lepas lambat
di bawah ini:

- teofilin lepas
lambat

- leukotriene
modifiers

-
glukokortikosteroid
oral
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling
tidak 3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi
seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol

(PDPI, 2003)
2.11Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penyakit asma yaitu status asmatikus dan gagal
napas (respiratory failure) (Kowalak, 2011).
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :

1. Status asmatikus
2. Atelektasis
3. Hipoksemia
4. Pneumothoraks
5. Emfisema

2.12Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir menunjukkan
kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang berjumlah kira-
kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka kematian
penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan bahwa
angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, kalau serangan
asma diketahui dan dimulai sejak kanak – kanak dan mendapat pengawasan yang
cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam
pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan common cold 29% akan
mengalami serangan ulang.
Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka kematiannya 2%.
sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus menerus
angka kematiannya 9%.

(Mc fadden, 2000)


DAFTAR PUSTAKA

1. Alsagaff H, Mukty A. 2002. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke – 2. Surabaya :
Airlangga University Press. h 263 – 300.
2. GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management and
Prevension In Children. www. Ginaasthma.org.2006.
3. Dewan Asma Indonesia. You Can Control Your Asthma : ACT NOW!. Jakarta. 2009
May 4th. Available from:
http://indonesianasthmacouncil.org/index.php?option=com_content&task=view&id=13&
Itemid=5
4. Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
5. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 2001. h 477 – 82.
6. Mcfadden ER. Penyakit Asma. Dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Isselbacher KJ et al, editor. Jakrta : EGC. 2000. 1311-18.
7. Morris MJ. Asthma. [cited 2018 May 31]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/296301-overview#showall
8. Mukty et al. 2009. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University
Press.
9. Partridge MD. Examining The Unmet Need In Adults With Severe Asthma. Eur Respir
Rev 2007; 16: 104, 67–72
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia. 2003. h 73-5
11.Price, Wilson. 2006. Patofisiologi Vol 2 ; Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.
12.Snell, R. S. 2011. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Dialih bahasakan oleh Sugarto L.
Jakarta:EGC.

Das könnte Ihnen auch gefallen

  • 2.2.4 Klasifikasi
    2.2.4 Klasifikasi
    Dokument3 Seiten
    2.2.4 Klasifikasi
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • Kata Pengantar DLL Mutia
    Kata Pengantar DLL Mutia
    Dokument6 Seiten
    Kata Pengantar DLL Mutia
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • 1
    1
    Dokument2 Seiten
    1
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokument1 Seite
    Daftar Pustaka
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • DAFTAR PUSTAKA
    DAFTAR PUSTAKA
    Dokument4 Seiten
    DAFTAR PUSTAKA
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • Cover Bindo
    Cover Bindo
    Dokument2 Seiten
    Cover Bindo
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • 1 Cover
    1 Cover
    Dokument1 Seite
    1 Cover
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • Kata Pengantar DLL Mutia
    Kata Pengantar DLL Mutia
    Dokument6 Seiten
    Kata Pengantar DLL Mutia
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • 1 Cover PDF
    1 Cover PDF
    Dokument1 Seite
    1 Cover PDF
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • Nunung Mirawati Dan Nanik Wardhani
    Nunung Mirawati Dan Nanik Wardhani
    Dokument5 Seiten
    Nunung Mirawati Dan Nanik Wardhani
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokument2 Seiten
    Bab 1
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • 5 Abstrak
    5 Abstrak
    Dokument2 Seiten
    5 Abstrak
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • Forensik - Thanatologi
    Forensik - Thanatologi
    Dokument40 Seiten
    Forensik - Thanatologi
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • DAFTAR PUSTAKA
    DAFTAR PUSTAKA
    Dokument4 Seiten
    DAFTAR PUSTAKA
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • COVER 2 DLL
    COVER 2 DLL
    Dokument7 Seiten
    COVER 2 DLL
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • 1 Cover PDF
    1 Cover PDF
    Dokument1 Seite
    1 Cover PDF
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • Lampiran PDF
    Lampiran PDF
    Dokument33 Seiten
    Lampiran PDF
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • COVER 2 DLL
    COVER 2 DLL
    Dokument7 Seiten
    COVER 2 DLL
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • Cover Je
    Cover Je
    Dokument1 Seite
    Cover Je
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • DEPRESI
    DEPRESI
    Dokument8 Seiten
    DEPRESI
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • 6 Kata Pengantar
    6 Kata Pengantar
    Dokument1 Seite
    6 Kata Pengantar
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • Jaw Aban NNNN
    Jaw Aban NNNN
    Dokument9 Seiten
    Jaw Aban NNNN
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • Pleno Tutorr
    Pleno Tutorr
    Dokument1 Seite
    Pleno Tutorr
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • 5 Abstrak
    5 Abstrak
    Dokument2 Seiten
    5 Abstrak
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • 7 Daftar Isi
    7 Daftar Isi
    Dokument6 Seiten
    7 Daftar Isi
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • 1 Cover
    1 Cover
    Dokument1 Seite
    1 Cover
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • Form Protokol Mutakhir Polkesma
    Form Protokol Mutakhir Polkesma
    Dokument18 Seiten
    Form Protokol Mutakhir Polkesma
    sandyta rahmawati
    Noch keine Bewertungen
  • Jaw Aban NNNN
    Jaw Aban NNNN
    Dokument9 Seiten
    Jaw Aban NNNN
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • Jaw Aban NNNN
    Jaw Aban NNNN
    Dokument9 Seiten
    Jaw Aban NNNN
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen
  • Skenario A Blok 12
    Skenario A Blok 12
    Dokument43 Seiten
    Skenario A Blok 12
    Nunung Mirawati
    Noch keine Bewertungen