Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Paru
2.1.1 Anatomi
Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam rongga dada
atau toraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar
memisahkan paru tersebut. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar.
Pembuluh darah paru dan bronkial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap
paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru kanan sedikit lebih besar dari
paru kiri, dan dibagi oleh fissura obliqua dan fissura horizontalis menjadi tiga lobus;
lobus superior, lobus medius, dan lobus inferior. Paru kiri dibagi oleh satu fissura (fissura
obliqua) menjadi dua lobus: lobus superior dan lobus inferior.Lobus-lobus tersebut dibagi
lagi menjadi segmen sesuai dengan segmen bronkusnya. Paru kanan dibagi menjadi 10
segmen sedangkan paru kiri dibagi menjadi 9 segmen. Suatu lapisan tipis kontinu yang
mengandung kolagen dan jaringan elastis, dikenal sebagai pleura, melapisi rongga dada
(pleura parietalis) dan menyulubungi setiap paru (pleura visceral). Di antara pleura
parietalis dan viseralis terdapat suatu lapisan tipis cairan pleura yang berfungsi untuk
memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah
pemisahan toraks dan paru.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah penderita
asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus
meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025 (Partridge, 2007).
Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) pada
tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat dari 4,2%
menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari seluruh penduduk
Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia (Dewan Asma Indonesia,
2009).
Faktor Pejamu
Predisposisi Genetik
Atopi
Hiperesponsif jalan napas
Jenis Kelamin
Ras / etnik
Faktor Lingkungan
Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi asma
Alergen di dalam ruangan
Alergen binatang
Jamur
Alergen di luar ruangan
Tepung sari bunga
Jamur
Asap rokok
Bahan di lingkungan kerja
Polusi udara
Polusi udara di luar ruangan
Polusi udara di dalam ruangan
Infeksi Parasit
Diet dan obat
Obesitas
Faktor Lingkungan
Mencetuskan eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap
Alergen di dalam dan di luar ruangan
Polusi udara
Infeksi pernapasan
Excercise dan hiperventilasi
Perubahan cuaca
Sulfur dioksida
Makanan, obat-obatan, aditif
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray)
2.5.Patofisiologi
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang akan
mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas, gangguan
saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga berperan pada
proses hiperaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena
adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran
udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan.
Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang.
Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama
didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya
alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells), kemudian hasil
olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong) terutama Th2. Sel T
penolong inilah yang akan memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar
sel-sel plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel
epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator inflamasi
seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet activating factor (PAF),
bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan mempengaruhi
organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos saluran pernapasan sehingga
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas,
infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein melalui
mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas
saluran napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi pelepasan mediator adalah obat-
obatan, latihan, udara dingin, dan stress. Selain merangsang sel inflamasi, terdapat
keterlibatan sistem saraf otonom pada jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi
dan hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.
Refleks bronkus terjadi karena adanya peregangan nervus vagus, sedangkan pelepasan
mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih
permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan
reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada beberapa keadaan seperti
pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Refleks saraf memegang
peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa
yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin
A dan calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan
terjadinya bronkokontriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan
aktivasi sel-sel inflamasi (PDPI, 2003).
2.6.Manifestasi Klinis
Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase inspirasi
yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi dan diikuti bunyi mengi (wheezing),
batuk yang disertai serangan sesak napas yang kumat-kumatan. Pada beberapa penderita
asma keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan sesak napas penderita timbul
mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat atau tiba-tiba menjadi lebih berat. Hal ini
sering terjadi terutama pada penderita dengan rhinitis alergi atau radang saluran napas bagian
atas. Sedangkan pada sebagian besar penderita keluhan utama sukar bernapas disertai rasa
tidak enak didaerah retrosternal.
Mengi (wheezing) terdengar terutama waktu ekspirasi. Suara mengi ini sering kali
dapat didengar dengan jelas tanpa menggunakan alat. Keadaan ini tergantung cepat atau
lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan atau
kelelahan otot pernapasan, mengi (wheezing) akan terdengar lemah atau tidak terdengar sama
sekali. Sedang batuk hampir selalu ada, bahkan sering kali diikuti dengan dahak putih
berbuih. Selain itu makin kental dahak akan memberikan keluhan sesak napas yang lebih
berat apalagi penderita mengalami dehidrasi.
Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi duduk
membungkuk dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Tanda lain yang
menyertai sesak napas berat ialah pergerakan cuping hidung yang sesuai dengan irama
pernapasan, otot bantu pernapasan ikut aktif dan penderita tampak gelisah (Mukhty et all,
2009).
2.7.Klasifikasi Asma
Derajat Gejala Gejala Malam Faal Paru
Asma
Intermitten Gejala <1x/minggu 2x sebulan VEP1 80% nilai
Tanpa gejala diluar prediksi
serangan APE 80% nilai
Serangan singkat terbaik
Variability APE
<20%
Persisten Gejala >1x/minggu >2x sebulan VEP1 80% nilai
Ringan tapi <ix/hari prediksi
APE 80% nilai
terbaik
Variability APE
20%-30%
Persisten Gejala setiap hari >1x seminggu VEP1 60-80%
Sedang Serangan nilai prediksi
mengganggu APE 60-80%
aktivitas dan tidur nilai terbaik
Membutuhkan Variability APE
bronkodilator tiap >30%
hari
Persisten Gejala terus Sering VEP1 <60%
Berat menerus nilai prediksi
Sering kambuh APE <60% nilai
Aktivitas fisik terbaik
terbatas Variability APE
>30%
(PDPI, 2003)
2.8.Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk, sesak napas,
mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Faktor – faktor
yang mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya riwayat alergi.11
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi saluran napas.
Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga
meningkat, ekspirasi memanjang diserta ronki kering, mengi.11
Pemeriksaan Laboratorium
Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman, kristal Charcot
Leyden).11
Pemeriksaan Penunjang
- Spirometri
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal ventilasi paru.
Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan ciri khas asma dapat
dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan atau
kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20% atau lebih sesudah pemberian
bronkodilator.
- Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita
dengan gejala sma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus.
Pemeriksaan uji provokasi bronkus merupakan cara untuk membuktikan secara
objektif hiperreaktivitas saluran napas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi
bronkus terdiri dari tiga jenis yaitu uji provokasi dengan beban kerja (exercise),
hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik seperti metakolin dan histamin.
- Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang
memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas,
pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma yang ringan, gambaran
radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan.
(Mansjoer A, 2001)
2.9 Diagnosis Banding
Diagnosis banding asma antara lain sbb :
Dewasa (PDPI, 2003).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Pada PPOK sesak bersifat irreversibel, terjadi pada usia 40 tahun keatas dan
biasanya dengan riwayat paparan zat alergen dalam watu yang cukup lama.
Bronkitis kronik
Keluhan sesak nafas disertai dengan batuk produktif yang terus menerus selama 3
bulan dalam 2 tahun berturut turut.
Gagal Jantung Kongestif
Sesak biasanya hilang timbul dan kumat-kumatan. Keluhan sesak biasanya terjadi
setelah melakukan aktivitas. Selain itu sesak nafas juga terjadi pada saat tidur
telentang sehingga pasien akan merasa lebih nyaman jika tidur mnggunakan 2-3
buah bantal.
Obstruksi mekanis (misal tumor)
Keluhan sesak biasanya bertahan lama. Hal ini disebabkan karena adanya
penyempitan permanen dari saluran pernafasan. Bunyi mengi juga akan terdengar
setiap saat.
2.10 Tatalaksana
Tujuan pengobatan farmakologi adalah menghilangkan obstruksi saluran
pernapasan. Obat-obat yang dipergunakan meliputi bronkodilator dan anti keradangan
atau keduanya. Obat anti inflamasi dapat mencegah terjadinya proses peradangan lebih
lanjut. Bronkodilator bekerja dengan cara mengendurkan kontraksi otot polos bronkus.
Dapat diberikan secara enteral, parenteral atau inhalasi. Obat-obat tersebut mempunyai
indeks terapeutik yang lebih baik bila diberikan sebagai aerosol daripada parenteral atau
enteral. Di klinik aerosol dapat diperoleh melalui Nebulizer (jets atau ultrasonik),
Metered Dose Inhaler (MDI), dan Dry Powder Inhaler (DPI).
Obat anti inflamasi meliputi kortikosteroid, sodium cromolyn atau cromolyn-like
compound atau anti inflamasi lainnya sedangkan obat bronkodilator meliputi beta-
adrenergik agonis, metilsantin, dan antikolinergik.
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada
saat serangan asma yaitu bronkodilator (beta 2 agonis kerja cepat dan ipratroprium
bromida) dan kortikosteroid sistemik, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk
pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus-menerus yaitu
kortikosteroid inhalasi, beta 2 agonis kerja panjang, anti leukotrien, dan teofilin lepas
lambat.
Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan anti radang yang efektif untuk pengobatan
obstruksi jalan napas yang reversibel. Hasilnya cukup baik untuk mengurangi lama
dan seringnya serangan eksaserbasi akut. Pemberian kortikosteroid oral sedini
mungkin pada serangan eksaserbasi akut dapat menghambat beratnya penyakit,
mengurangi timbulnya kasus darurat paru, mengurangi seringnya masuk rumah
sakit. Pada pemberian kortikosteroid per oral, obat mulai bekerja 3 jam setelah
pemberian, mencapai puncak setelah 6-12 jam.
Meskipun mekanismenya belum seluruhnya jelas namun dalam percobaan
ternyata kortisteroid mempercepat katabolisme imunoglobulin (termasuk IgE).
Disamping itu kortikosteroid dapat menghalangi metabolisme asam arakidonat
dan menghambat pembentukan leukotrin dan prostaglandin, menghalangi
pergerakan dan aktivitas sel-sel radang secara langsung dan meningkatan respons
reseptor beta dari otot polos saluran pernapasan. Kortikosteroid dapat diberikan
dalam jangka pendek. Hasil penelitian di Eropa dan Australia pemakaian aerosol
Beclomethason 1600-2600 µg per hari dapat menekan timbulnya
hyperresponsiveness. Dan sebagai patokan anti keradangan pada asma cukup
dengan dosis 400-800 µg tiap hari.
Sebagai pegangan pemakaian kortikosteroid aerosol dapat dilihat pada tabel
berikut:
Bronkodilator
Kortikosteroid merupakan anti radang yang efektif untuk pengobatan
obstruksi jalan napas yang reversibel. Hasilnya cukup baik untuk mengurangi lama
dan seringnya serangan eksaserbasi akut. Pemberian kortikosteroid oral sedini
mungkin pada serangan eksaserbasi akut dapat menghambat beratnya penyakit,
mengurangi timbulnya kasus darurat paru, mengurangi seringnya masuk rumah
sakit. Pada pemberian kortikosteroid per oral, obat mulai bekerja 3 jam setelah
pemberian, mencapai puncak setelah 6-12 jam.
Meskipun mekanismenya belum seluruhnya jelas namun dalam percobaan
ternyata kortisteroid mempercepat katabolisme imunoglobulin (termasuk IgE).
Disamping itu kortikosteroid dapat menghalangi metabolisme asam arakidonat
dan menghambat pembentukan leukotrin dan prostaglandin, menghalangi
pergerakan dan aktivitas sel-sel radang secara langsung dan meningkatan respons
reseptor beta dari otot polos saluran pernapasan. Kortikosteroid dapat diberikan
dalam jangka pendek. Hasil penelitian di Eropa dan Australia pemakaian aerosol
Beclomethason 1600-2600 µg per hari dapat menekan timbulnya
hyperresponsiveness. Dan sebagai patokan anti keradangan pada asma cukup
dengan dosis 400-800 µg tiap hari.
Beta-adrenergik Agonis selektif bekerja selektif sebagai bronkodilator pada
reseptor beta-2 otot plos bronkus sehingga terjadi pelebaran saluran napas serta
menghambat terlepasnya mediator sel mast dan basofil. Bila diberikan per oral,
lama kerjanya 4-6 jam namun bila diberikan secara aerosol, efek obat lebih lama
sekitar 12-18 jam. Pemberian aerosol juga dapat mengurangi pengaruh sampingan
(berdebar-debar, cemas, gemetar) dibandingkan dengan pemberian per oral
ataupun parenteral dan pemberian secar inhalasi lebih rasional, baik untuk
pencegahan maupun untuk pengobatan eksaserbasi akut, karena asma merupakan
penyakit salurann napas
Isoproterenol diberikan secara inhalasi dengan menggunakan MDI atau
nebulizer dan dalam dosis kecil. Kerja obat baru tampak setelah lima menit
pemberian dan waktu kerja obat sangat pendek yaitu kurang dari dua jam.
Penderita yang mengalami serangan asma berat dapat diberikan per injeksi. Hati-
hati pemberian obat ini pada penderita sakit jantung.
Teofilin (Non Adrenergik Bronkodilator) merupakan obat asma kelompok
pertama yang sering dipakai. Untuk pengobatan asma akut tersedia dalam bentuk
tablet tipis dengan kerjanya yang cepat namun tidak dapat dipakai sebagai
maintenance drug karena cepat pula dimetabolisir. Untuk pemakaian long acting
tersedia dalam bentuk tablet sustained release yang efek bronkodilatornya 12-24
jam sehingga dapat dipakai dua kali sehari. Pada orang dewasa dosis 400 mg/hari
daoat diberikan sebagai dosis tunggal atau dibagi dalam dua dosis (200 mg/tablet).
Dengan kata lain, pada orang dewasa obat yang diberikan adalah 13
mg/kgBB/hari atau kurang dari 900 mg sampai 900 mg/hari. Secara empiris, kadar
terapeutik teofilin dicapai setelah 48 jam pemberian obat. Bila kadar terapeutik
tidak dicapai dan keadaan penderita tetap maka dosis teofilin dapat dinaikkan
perlahan-lahan sampai kadar terapeutik yang dikehendaki dicapai dan penyakit
dapat dikendalikan. Kadar terapeutik teofilin optimal dalam plasma berkisar
antara 10-20 µg/ml. Pada penderita tua dengan asma ringan kadar < 10 µg/ml
sudah dapat memberikan efek bronkodilatasi. Kadar teofilin dalam plasma < 5
µg/ml tidak mempunyai efek terapeutik dan bila kadar dalam plasma > 20 µg/ml
banyak memberikan pengaruh sampingan. Teofilin menghambat enzim
fosfodiesterase sehingga 5’- cAMP tidak terbentuk dan konstriksi bronkus tidak
terjadi.
Cara pemberian obat tersebut haruslah disesuaikan dengan parahnya
penyakit dan disesuaikan dengan skor sistem seperti pada tabel 2.4 dan 2.5
dibawah ini:
Tabel 2.4 Cara pemberian obat pada waktu serangan
Pernapasan/menit < 30 ≥ 30
Total skor antara 0-7. Bila didapatkan skor 4 harus dipertimbangan untuk rawat inap.
Kegunaan Bronkodilator pada Asma
1. Membantu mengakkan diagnosis
2. Menentukan keparahan penyakit
3. Dapat mengatasi gejala-gejala
4. Dapat mempertahankan faal paru dalam batas-batas yang dikehendaki
5. Dapat mencegah serangan pada waktu olahraga
Kegunaan Kortikosteroid Inhalasi
1. Merupakan satu-satunya obat yang dapat mengurangi keparahan penyakit
2. Ditujukan terutama untuk penderita asma sedang dan asma berat
3. Dapat dipergunakan dalam jangka panjang, untuk mendapatkan perbaikan maksimal
dengan efek samping minimal.(Mukhty et al, 2009).
Pengobatan Asma berdasarkan klasifikasi berat asma dapat dilihat di tabel berikut:
Tabel 2.6 Obat asma berdasarkan klasifikasi
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Medikasi Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain
Asma pengontrol harian
Asma Tidak perlu -------- -------
Intermiten
Asma Glukokortikosteroid Teofilin lepas ------
Persisten inhalasi lambat
Ringan Kromolin
(200-400 ug Leukotriene
BD/hari atau modifiers
ekivalennya)
Asma Kombinasi inhalasi Glukokortikosteroid Ditambah
Persisten glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug agonis
Sedang BD atau beta-2
(400-800 ug ekivalennya) kerja lama
BD/hari atau ditambah Teofilin oral, atau
lepas lambat ,atau
ekivalennya) dan
Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi
(>800 ug BD atau
ekivalennya) atau
Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug
BD atau
ekivalennya)
ditambah
leukotriene
modifiers
- teofilin lepas
lambat
- leukotriene
modifiers
-
glukokortikosteroid
oral
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling
tidak 3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi
seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol
(PDPI, 2003)
2.11Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penyakit asma yaitu status asmatikus dan gagal
napas (respiratory failure) (Kowalak, 2011).
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
1. Status asmatikus
2. Atelektasis
3. Hipoksemia
4. Pneumothoraks
5. Emfisema
2.12Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir menunjukkan
kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang berjumlah kira-
kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka kematian
penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan bahwa
angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, kalau serangan
asma diketahui dan dimulai sejak kanak – kanak dan mendapat pengawasan yang
cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam
pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan common cold 29% akan
mengalami serangan ulang.
Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka kematiannya 2%.
sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus menerus
angka kematiannya 9%.
1. Alsagaff H, Mukty A. 2002. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke – 2. Surabaya :
Airlangga University Press. h 263 – 300.
2. GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management and
Prevension In Children. www. Ginaasthma.org.2006.
3. Dewan Asma Indonesia. You Can Control Your Asthma : ACT NOW!. Jakarta. 2009
May 4th. Available from:
http://indonesianasthmacouncil.org/index.php?option=com_content&task=view&id=13&
Itemid=5
4. Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
5. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 2001. h 477 – 82.
6. Mcfadden ER. Penyakit Asma. Dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Isselbacher KJ et al, editor. Jakrta : EGC. 2000. 1311-18.
7. Morris MJ. Asthma. [cited 2018 May 31]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/296301-overview#showall
8. Mukty et al. 2009. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University
Press.
9. Partridge MD. Examining The Unmet Need In Adults With Severe Asthma. Eur Respir
Rev 2007; 16: 104, 67–72
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia. 2003. h 73-5
11.Price, Wilson. 2006. Patofisiologi Vol 2 ; Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.
12.Snell, R. S. 2011. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Dialih bahasakan oleh Sugarto L.
Jakarta:EGC.