Sie sind auf Seite 1von 15

1

BAB I
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Usia : 49 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Desa Luwung, Cantilan
Pekerjaan : Pedagang
Tanggal Pemeriksaan : 02 April 2018

II. Anamnesis
Keluhan Utama : Mata merah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Puskesmas Mundu dengan keluhan mata merah pada
kedua mata sejak 3 hari yang lalu. Keluhan disertai rasa gatal, perih dan
pasien mengatakan sering ada kotoran mata berwarna kekuningan yang
banyak dan lengket terutama saat bangun tidur di pagi hari. Pasien juga
mengatakan keluhan disertai rasa mengganjal pada kelopak mata atas.
Keluhan muncul pertama kali pada mata kanan kemudian mengenai mata
sebelah kiri. Pasien mengatakan keluhan terjadi pada saat mengendari sepeda
motor pasien merasa seperti kemasukan benda asing hingga membuat mata
pasien terasa mengganjal, gatal dan perih hingga membuat mata pasien berair.
Pasien menyangkal adanya penglihatan kabur, penglihatan ganda, keluhan
sakit kepala disertai rasa sakit pada daerah mata juga disangkal. Pasien juga
menyangkal sulit membuka mata, silau, mata kering, sulit menggerakkan
kelopak mata, demam, batuk, atau riwayat trauma.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien menyangkal ada keluhan serupa sebelumnya.
2

Riwayat Penyakit Keluarga :


Pasien menyangkal ada anggota keluarga yang mengalami keluhan
serupa. Riwayat asma dan alergi dalam keluarga disangkal.
Riwayat Pengobatan :
Sebelum datang berobat ke puskesmas pasien pernah menggunakan
obat tetes mata yang dibeli di warung, selama menggunakannya keluhan tidak
membaik.
Riwayat Pribadi Sosial :
Pasien mengaku lebih sering beraktivitas di luar rumah, mata sering
terpapar sinar matahari atau debu. Pasien tidak memiliki riwayat alergi
terhadap obat ataupun makanan.
III. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tanda-Tanda Vital
- Tekanan Darah : 120/80
- Suhu : 36,8
- Nadi : 80x/menit
- Respirasi : 20x/menit
b. Status Lokalis

OCULI DEXTRA(OD) PEMERIKSAAN OCULI SINISTRA(OS)


20/20 Visus 20/20

Gerak Bola Mata


3

Hirscberg Tes (+) Hirscberg Tes (+)

Edema (-), hiperemis(-), Edema (-), hiperemis(-),


nyeri tekan(-), Palpebra nyeri tekan (-),
ektropion (-), ektropion (-),
entropion (-) entropion (-)
Ptosis (-) Ptosis (-)
Trikriasis (-) Trikriasis (-)
Distrikiasis (-) Silia Distrikiasis (-)
Madarosis (-) Madarosis (-)
eksoftalmus (-), eksoftalmus (-),
strabismus (-) Bulbus okuli strabismus (-)
endoftalmus (-) endoftalmus (-)
Edema (+) Edema (+)
hiperemis (+) Konjungtiva tarsalis hiperemis (+)
cobblestone (-) superior cobblestone (-)
sekret (+) purulen sekret (+) purulen
Edema (+) Edema (+)
hiperemis (+) Konjungtiva tarsalis hiperemis (+)
cobblestone (-) inferior cobblestone (-)
sekret (+) purulen sekret (+) purulen
injeksi konjungtiva (+), injeksi konjungtiva (+),
injeksi siliar (-), injeksi siliar (-),
Injeksi sklera (-) Injeksi sklera (-)
Konjungtiva bulbi
Injeksi episklera (-) Injeksi episklera (-)
Penebalan di dekat Penebalan di dekat
limbus/Trantas dot’s (-) limbus/Trantas dot’s (-)
Putih Putih
Ikterik (-) Sklera Ikterik (-)
Bulat, edema (-), Bulat, edema (-),
4

Jernih (+) Kornea Jernih (+)


Sikatriks (-) Sikatriks (-)
Infiltrat (-) Infiltrat (-)
Ulkus (-) Ulkus (-)
Edema (-) Edema (-)
Jernih, kedalaman Camera Oculi Anterior Jernih, kedalaman
sedang (COA) sedang,
hipopion (-), hipopion (-),
hifema (-), hifema (-),
Warna coklat, edema (-), Iris Warna coklat, edema (-),
sinekia (-) sinekia (-),
bulat, diameter : ± 3mm, bulat, diameter ± 3 mm,
letak sentral, Pupil letak sentral,
refleks pupil direk (+), refleks pupil direk (+),
refleks pupil indirek (+) refleks pupil indirek (+)
Jernih Lensa Jernih
Letak sentral Letak sentral
Teraba lembut Palpasi TIO Teraba lembut
Sama lunaknya cuping Sama lunaknya cuping
hidung hidung
Tidak dilakukan Funduskopi Tidak dilakukan
Pembengakakan (-) Sistem Lakrimal Pembengakakan (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sama dengan pemeriksa Lapang Pandang Sama dengan pemeriksa
Tidak dilakukan Pengukuran TIO Tidak dilakukan
dengan Tonometer
Schiotz

IV. Diagnosis Banding


- Konjungtivitis bakterialis akut ODS
- Keratitis
5

- Glaucoma akut
V. Usulan Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sekret konjungtiva
VI. Diagnosis Kerja
Konjungtivitis bakterialis akut ODS
VII. Penatalaksanaan Komperhensif

a. Preventif
 Hindari tindakan mengucek mata
 Gunakan alat pelindung mata saat berpergian
 Hindari penggunaan barang secara bersamaan dengan
penderita
b. Promotif
 Melakukan penyuluhan mengenai konjungtivitis
c. Kuratif
Medikamentosa
- antibiotik: gentamisin topical 0,3% 3-4 kali s ue ODS
Non-medikamentosa
- Menghindari tindakan menggosok-gosokan mata dengan tangan
atau jari tangan.
- Kompres dingin di daerah mata
VII.Prognosis
- Ad vitam : ad bonam
- Ad functionam : ad bonam
- Ad sanationam : ad bonam
6

VIII. PENGKAJIAN MASALAH KESEHATAN PASIEN

Host

Pengetahuan pasien
yang kurang mengenai
penyakit yang diderita
Konjungtivitis
akut bakterialis
Kebiasaan pasien sering
mengucek mata dan
kurang menjaga higien
mata

IX. DIAGNOSIS HOLISTIK

a. Aspek Personal :
Pasien datang dengan tujuan agar keluhannya berkurang
b. Aspek klinis :
Konjungtivitis akut bakterialis
c. Aspek risiko internal :
Higine pasien kurang
d. Aspek psikososial keluarga :
Pengetahuan pasien yang kurang mengenai penyakit yang diderita

X. RENCANA PENATALAKSANAAN PASIEN

No Kegiatan Sasaran Waktu Hasil yang Keterangan


diharapkan

1 Aspek Pasien 7 hari  Keluhan pasien Pemberian


personal berkurang obat:
Antibiotik :
Konjungtivitis Gentamicin
akut salep mata 3-4
bakterialis kali/hari

Edukasi:
Kontrol
7

kembali setelah
3 hari
pengobatan
atau bila
keluhan makin
berat
2 Aspek risiko Pasien 3 hari Pasien paham dan Edukasi:
internal dan mengerti cara
keluarga menjaga Mengenai
Kebiasaan serumah kebersihan dan dampak yang
pasien yang kesehatan mata ditimbulkan
sering apabila higine
mengucek mata berkurang
mata

3 Aspek Pasien 7 hari Lebih sadar Edukasi:


psikososial, dan mengenai Sering
keluarga dan keluarga pentingnya memeriksakan
lingkungan menjaga kesehatan diri ke
puskesmas dan
indra
Pengetahuan hindari
kebiasaan
pasien yang
mengucek mata
kurang
mengenai
menjaga
kesehatan
indra

11. TINDAK LANJUT DAN HASIL INTERVENSI

Pasien mengatakan setelah 3 hari berobat di puskesmas keluhan pasien


sudah berkurang. Mata sudah tidak lagi mengeluarkan kotoran dan merah, namun
pasien mengatakan mata pasien masih sedikit gatal. Pasien juga sudah tidak
melakukan kebiasaanya sering mengucek mata menggunakan tangan atau
kerudung lagi.
8

BAB II
FARMAKOLOGI
2.1 Antibiotik Topical
1. Tetrasiklin
a. Farmakodinamik
Golongan tetrasiklin bekerja dengan cara menghambat sintesis protein bakteri
pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi dua proses dalam masuknya antibiotik ke
dalam ribososm bakteri. Pertama secara difusi pasif melalui kanal hidrofilik,
kedua melalui sistem transpor aktif. Setelah masuk antibiotik berikatan secara
reversibel dengan ribosom 30S dan mencegah ikatan tRNA-aminoasil pada
kompleks mRNA-ribosom. Hal tersebut mencegah perpanjangan rantai peptida
yang sedang tumbuh dan berakibat terhentinya sintesis protein. Tetrasiklin
termasuk antibiotika broad spektrum. Spektrum golongan tetrasiklin umumnya
sama, sebab mekanisme kerjanya sama, namun terdapat perbedaan kuantitatif dari
aktivitas masing-masing derivat terhadap kuman tertentu. Derivat dari tetrasiklin
yaitu: demeklosiklin, klortetrasiklin, doksisiklin, methasiklin, oksitetrasiklin, dan
minosiklin.
Mekanisme resistensi yang terpenting adalah diproduksinya pompa protein
yang akan mengeluarkan obat dari dalam sel bakteri. Protein ini dikode dalam
plasmid dan dipindahkan dari satu bakteri ke bakteri lain melalui proses
transduksi atau konjugasi. Resistensi terhadap satu jenis tetrasiklin biasanya
disertai resistensi terhadap semua jenis tetrasiklin lainnya.
b. Farmakokinetik
Absorpsi
Sekitar 30-80% tetrasiklin diserap dalam saluran cerna. Absorpsi sebagian
besar berlangsung di lambung dan usus halus. Adanya makanan dalam lambung
menghambat penyerapan, kecuali minosiklin dan doksisiklin. Absorpsi dihambat
dalam derajat tertentu oleh pH tinggi dan pembentukan kelat yaitu kompleks
tetrasiklin dengan suatu zat lain yang sukar diserap seperti aluminium hidroksid,
garam kalsium dan magnesium yang biasanya terdapat dalam antasida, dan juga
ferum.
9

Distribusi
Dalam plasma semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam jumlah
yang bervariasi. Dalam cairan cerebrospinal (CSS) kadar golongan tetrasiklin
hanya 10-20% kadar dalam serum. Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari
adanya meningitis. Penetrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan tubuh cukup baik.
Golongan tetrasiklin menembus sawar uri dan terdapat dalam ASI dalam kadar
yang relatif tinggi. Dibandingkan dengan tetrasiklin lainnya, doksisiklin dan
minosiklin daya penetrasinya ke jaringan lebih baik.
Metabolisme
Obat golongan ini tidak dimetabolisme secara berarti di hati, sehingga kurang
aman pada pasien gagal ginjal.
Ekskresi
Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin dengan filtrasi glomerolus dan
melalui empedu. Golongan tetrasiklin yang diekskresi oleh hati ke dalam empedu
mencapai kadar 10 kali kadar dalam serum. Sebagian besar obat yang diekskresi
ke dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi enterohepatik, maka obat ini masih
terdapat dalam darah untuk waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi
obstruksi pada saluran empedu atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami
akumulasi dalam darah. Obat yang tidak diserap diekskresi melalui tinja.
c. Penggunaan Klinik
Indikasi
Penggunaan topikal hanya dibatasi untuk infeksi mata dan kulit saja. Salep
mata golongan tetrasiklin efektif untuk mengobati trakoma dan infeksi lain pada
mata oleh bakteri gram-positif dan gram negatif yang sensitif. Selain itu juga
untuk profilaksis oftalmia neonatorum pada neonatus akibat Neisseria gonorrhoe
atau Chlamydia trachomatis.
Penyakit konjungtivitis inklusi dapat diobati dengan hasil baik selama 2-3
minggu, dengan memberikan salep mata atau obat tetes mata yang mengandung
golongan tetrasiklin. Pada trakoma pemberian salep mata golongan tetrasiklin
yang dikombinasi dengan doksisiklin oral 2 x 100 mg/hari selama 14 hari
memberikan hasil pengobatan yang baik.
10

Kontra Indikasi
Hipersensitif terhadap golongan antibiotik tetrasiklin.
Interaksi Obat
Bila tetrasiklin diberikan dengan metoksifluoran maka dapat menyebabkan
nefrotoksisk. Bila dikombinasikan dengan penisilin maka aktivitas
antimikrobanya dihambat.
Efek samping
Sensasi terbakar pada mata.
Sediaan
Suspensi 10mg/cc dan salep mata tetrasiklin hidroklorida 1% 10mg/g.
Dosis
Lapisan tipis salep mata tiap 2-4 jam atau 1 tetes suspensi tiap 6-12 jam (dapat
digunakan lebih sering); dosis tunggal digunakan untuk pencegahan oftalmia
neonatorum.

2. Kloramfenikol
a. Farmakodinamik
Kloramfenikol merupakan suatu antibiotik yang memiliki mekanisme kerja
menghambat sisntesis protein bakteri pada tingkat ribosom. Obat ini terikat pada
ribosom subunit 50S. Kloramfenikol menyekatkan ikatan persenyawaan
aminoacyl dari molekul tRNA yang bermuatan ke situs aseptor kompleks mRNA
ribosom. Kegagalan aminoacyl untuk menyatu dengan baik pada situs aseptor
menghambat reaksi transpeptidase yang dikatalisasi oleh peptidyl transferase.
Peptida yang ada pada situs donor pada kompleks ribosom tidak ditransfer ke
asam amino aseptornya, sehingga sintesis protein terhenti.
Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi
kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu.
Kloramfenikol emiliki spektrum luas. Spektrum antibakteri kloramfenikol
meliputi Salmonella spp, Clamydia, Haemophillus, D. pneumoniae, S. pyogens, S.
viridans, Neisseria, Bacillus spp, C. diphtheriae, Mycoplasma, Rickettsia,
Treponema dan kebanyakan kuman anaerob.
11

b. Farmakokinetik
Setelah pemberian kloramfenikol melalui mata, absorpsi obat melalui kornea
dan konjunctiva, selanjutnya menuju humor aquos. Absorpsi terjadi lebih cepat
bila kornea mengalami infeksi atau trauma. Absorpsi sistemik dapat terjadi
melalui saluran nasolakrimal. Jalur ekskresi kloramfenikol utamanya melalui urin.
Obat ini mengalami inaktivasi di hati. Proses absorpsi, metabolisme dan ekskresi
dari obat untuk setiap pasien, sangat bervariasi, khususnya pada anak dan bayi.
Resorpsinya dari usus cepat. Difusi kedalam jaringan, rongga, dan cairan tubuh
baik sekali, kecuali ke dalam empedu. Plasma-t1/2-nya rata-rata 3 jam. Didalam
hati, zat ini dirombak 90% menjadi glukoronida inaktif. Bayi yang baru dilahirkan
belum memiliki enzim perombakan secukupnya maka mudah mengalami
keracunan dengan akibat fatal. Ekskresinya melalui ginjal, terutama sebagai
metabolit inaktif dan lebih kurang 10% secara utuh.
c. Penggunaan Klinik
Indikasi
Untuk terapi infeksi superficial pada mata yang disebabkan oleh bakteri,
blepharitis, post operasi katarak, konjungtivitis bernanah, traumatik keratitis,
trakoma dan ulceratif keratitis.
Kontraindikasi
Pada pasien yang hipersensitif terhadap kloramfenikol. Pasien neonatus.
Interaksi Obat
Dapat menghambat respon terhadap terapi vitamin B12 atau asam folat.
Efek Samping
Rasa pedih dan terbakar mungkin terjadi saat aplikasi kloramfenikol pada
mata. Reaksi hipersensitivitas dan inflamasi termasuk mata merah, dan edema.
Neuritis optikus, penglihatan kabur selama beberapa menit setelah penggunaan.
Pada terapi jangka panjang ditemukan kasus anemia aplastik.
Sediaan
Tetes mata kloramfenikol 1 %; botol 5 mL.
Salep mata kloramfenikol 1 % (10mg/g); tube 5 g.
Dosis
12

Tetes mata 1-2 tetes atau sedikit salep mata setiap 3-6 jam.

3. Gentamisin
a. Farmakodinamik
Aktivitas antibakteri terutama tertuju pada basil gram Negatif yang aerobik.
Aktivitas terhadap mikroorganisme anaerobik atau bakteri fakultatif dalam
kondisi anaerobik rendah sekali. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan kenyataan
bahwa transpor gentamisin (golongan aminoglikosida) membutuhkan oksigen
(trasnpor aktif). Aktivitas terhadap bakteri Gram-positif sangat terbatas.
Gentamisin aktif terhadap enterokokus dan streptokokus lain tetapi efektivitas
klinis hanya dicapai bila digabung dengan penisilin. Walaupun in vitro 95% galur
S. aureus sensitif terhadap gentamisin tetapi manfaat klinik belum terbukti
sehingga sebaiknya obat ini jangan digunakan tersendiri untuk indikasi tersebut.
Galur resisten gentamisin cepat timbul selama pajanan tersebut.
Mekanisme kerja aminoglikosida berdifusi lewat kanal air yang dibentuk oleh
porin protein pada membran luar dari bakteri gram negatif masuk ke ruang
periplasmik. Sedangkan transpor melalui membran dalam sitoplasma
membutuhkan energi. Fase transpor yang tergantung energi ini bersifat rate
limitting, dapat di blok oleh Ca2+ dan Mg2+, hiperosmolaritas, penurunan pH dan
anaerobik suatu abses yang bersifat hiperosmolar. Setelah masuk sel,
aminoglikosid terikat pada ribosom 30S dan menghambat sintesis protein.
Terikatnya aminoglikosid pada ribosom ini mempercepat transpor aminoglikosid
ke dalam sel, diikuti dengan kerusakan membran sitoplasma, dan disusul kematian
sel. Yang diduga terjadi adalah miss reading kode genetik yang mengakibatkan
terganggunya sintesis protein. Aminoglikosida bersifat bakterisidal cepat.
Pengaruh aminoglikosida menghambat sintesis protein dan menyebabkan miss
reading dalam penerjemahan mRNA, tidak menjelaskan efek letalnya yang cepat.
b. Farmakokinetik
Gentamisin sebagai polikation bersifat sangat polar, sehingga sangat sukar
diabsorpsi melalui saluran cerna. Gentamisin dalam bentuk garam sulfat yang
diberikan IM baik sekali absorpsinya. Kadar puncak dicapai dalam waktu ½
13

sampai 2 jam. Sifat polarnya menyebabkan aminoglikosid sukar masuk sel. Kadar
dalam sekret dan jaringan rendah, kadar tinggi dalam korteks ginjal, endolimf dan
perilimf telinga, menerangkan toksisitasnya terhadap alat tersebut.
Ekskresi gentamisin berlangsung melalui ginjal terutama dengan filtrasi
glomerulus. Gentamisin diberikan dalam dosis tunggal menunjukkan jumlah
ekskresi renal yang kurang dari dosis yang diberikan. Karena ekskresi hampir
seluruhnya berlangsung melalui ginjal, maka keadaan ini menunjukkan adanya
sekuestrasi ke dalam jaringan. Walaupun demikian kadar dalam urin mencapai 50-
200 g/mL, sebagian besar ekskresi terjadi dalam 12 jam setelah obat diberikan.
Gangguan fungsi ginjal akan menghambat ekskresi gentamisin, menyebabkan
terjadinya akumulasi dan kadar dalam darah lebih cepat mencapai kadar toksik.
Keadaan ini tidak saja menimbulkan masalah pada penyakit ginjal, tetapi perlu
diperhatikan pula pada bayi terutama yang baru lahir atau prematur, pada pasien
yang usia lanjut dan pada berbagai keadaan, yang disertai dengan kurang
sempurnanya fungsi ginjal. Pada gangguan faal ginjal t ½ gentamisin cepat
meningkat. Karena kekerapannya terjadi nefrotoksisitas dan ototoksitas akibat
akumulasi gentamisin, maka perlu penyesuaian dosis pada pasien gangguan
ginjal.
c. Penggunaan Klinik
Indikasi
Konjungtivitis, Blefaritis, Keratitis, Keratokonjungtivitis, Dakriosistitis, Ulkus
Kornea, Meibomianitis akut, Episkleritis akut, Blefarokonjunctivitis.
10 mg dapat disuntikan secara subkonjungtiva untuk infeksi mata yang berat.
Kontra Indikasi
Alergi terhadap Gentamisina serta penderita yang hipersensitif terhadap salah
satu antibiotik golongan aminoglikosid.
Efek Samping
Hipersensitivitas dan alergi dapat terjadi meskipun jarang, iritasi.
Interaksi Obat
Gentamisin mengalami inaktivasi jika dicampur dengan karbenisilin.
Sediaan
14

Salep mata 0,3 % (3 mg/g) ; tube 3,5 g.


Tetes mata 0,1 %; botol 5 mL.
Tetes mata 0,3 % (3 mg/cc); botol 5 mL.
Larutan steril dalam vial atau ampul 60 mg/1.5 mL; 80 mg/2mL; 120 mg/3 mL; 280
mg / 2mL.
Dosis
Salep 2-3x/hari.
Tetes mata 1-2 tetes setiap 2-4 jam, dinaikkan 2 tetes setiap jam untuk infeksi
berat.
15

Daftar Pustaka

1. Vaughan D, Ashbury T, Riordan E, and Paul. Oftalmologi Umum Edisi 17.


EGC: Jakarta; 2009
2. American Academy of Ophthalmology. Preferred practice pattern:
conjunctivitis, 2nd ed. San Francisco, CA: American Academy of
Ophthalmology; 2003.
3. Phipatanakul W. Allergic rhinoconjunctivitis: epidemiology. Immunol Allergy
Clin. North Am:, 2005. 25(2): 263-281.
4. Bielory L, Friedlaender MH. Allergic conjunctivitis. Immunol Allergy Clin N
Am. 2008; 28: 43-58
5. Takamura E. Eiichi Unobuyuki E. Et al. Japanese Guideline for Allergic
Conjungtival Disease. Allergology International. 2011
6. Visscher KL, huntik CM, Thomas M. evidence-based treatment of acute
infective conjunctivitis: breaking the cycle of antibiotic prescribing. Can Fam
Physician. 2009;55:1071-1075
7. Mever D. Current concepts in the therapeutic approach to allergic
conjungtivitis. Current allergy and clinical immunology. June 2006:19:2.65-
68.
8. Hinderer JD, Rapuano CJ. Ocular pharmacology. In: bruton LL, Lazo JS,
Parker KL. Goodman & Gilma’s The Pharmacological Basis of Therapeutics.
11th ed: New York, NY: McGraw-Hill Medical
9. Duvall, B., dan Kershner R. 2006. Ophtalmic Medications And
Pharmacology, Second Edition. New Jersey: Slack Incorporated.
10. Katzung, Bertram G. 1997. Farmakologi dasar dan klinik. Ed.6. Jakarta: EGC.
11. Tjay, T.H. dan Rahardja, K. 2008. Obat-obat Penting, Edisi Keenam. Jakarta:
Elex Media Computindo.

Das könnte Ihnen auch gefallen