Sie sind auf Seite 1von 420

KERAGAAN USAHATANI DAN EFISIENSI PRODUKSI

JERUK KEPROK SOE BERDASARKAN ZONA


AGROKLIMAT DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

DAMIANUS ADAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam

disertasi saya yang berjudul “KERAGAAN USAHATANI DAN EFISIENSI

PRODUKSI JERUK KEPROK SOE BERDASARKAN ZONA

AGROKLIMAT DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR” merupakan

gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan komisi

Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah

dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Desember 2011

Damianus Adar
NRP. H361060011
ABSTRACT

DAMIANUS ADAR. Farm Performance and Production


Efficiency of Keprok SoE Mandarin Based on Agroclimatic Zone
in East Nusa Tenggara Province (Arief Daryanto as a Chairman,
Kuntjoro and Nunung Kusnadi as Members of the Advisory
Committee).

Keprok SoE mandarin is a high economic value commodity. It is


expected that the commodity is a driven commodity for dryland farmers’ economy
in East Nusa Tenggara Province. However, the mandarin production and its
productivity are low due to improper input used, agroclimatic factors, farm size,
low managerial skill and capability of farmers. This research investigates farm
level productivity and technical efficiency, and their determinants in a sample of
360 high- and low-land keprok SoE mandarin producing farms in 12 villages in
six sub districts of South Central Timor district in East Nusa Tenggara Province.
This study used a Translog functional form using technical inefficiency effect
model of stochastic production function approach, simultaneously applied to cross
sectional data. Results indicate that keprok SoE mandarin farmer’s income,
productivity and technical efficiency are low. Factors affecting productivity of
mandarin in highland area are number of productive tree, compost and vegetative
seed. While factors determining productivity in lowland area are age of tree,
family labour and vegetative seed. Mean technical efficiency in the highland area,
65%, is greater than lowland area, 61%. This suggests that keprok SoE mandarin
farmers may increase the productivity by as much as 35% in highland and 39% in
lowland through more efficient use of production inputs. Smaller farm size of < 1
ha indicates lower technical efficiency level than bigger farm size≥ of1 ha in
highland area. Furthermore, in highland area, estimated coefficients in the
technical inefficiency effect model indicate positive effect and significant on the
technical efficiency of experience, contacted with agricultural field officer, farmer
age, other sources of income, selling method and farmer group. While, education
factor gives negative effect on technical efficiency. All factors determining
efficiency level in lowland producing farms give negative effects and are not
significant, except for experience factor. Based on these findings, it can be said
that agroclimatic zones do not affect technical efficiency, but they affect
productivity performance. It is suggested that by improving factors such as input
used, farmer knowledge and managerial skills, farm size, postharvest technology
and marketing, development strategies and agroecological factors; the
productivity and technical efficiency of keprok SoE mandarin in high- and low-
land areas should be increased.
Keywords: Productivity, technical efficiency, stochastic frontier production
function, keprok SoE mandarin, agroclimatic zone, farm size.
RINGKASAN

DAMIANUS ADAR. Keragaan Usahatani dan Efisiensi Produksi Jeruk


Keprok SoE Berdasarkan Zona Agroklimat di Provinsi Nusa Tenggara
Timur (Arief Daryanto sebagai Ketua, Kuntjoro dan Nunung Kusnadi sebagai
Anggota Komisi Pembimbing).

Jeruk keprok SoE merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi.


Masyarakat daerah lahan kering di Provinsi Nusa Tenggara Timur mengharapkan
bahwa jeruk kerpok SoE dapat menjadi penggerak ekonomi petani. Namun
kenyataan menunjukkan bahwa produksi dan produktivitas tanaman ini adalah
masih rendah. Produktivitas jeruk keprok di NTT adalah hanya 6 kg per pohon,
masih berada di bawah produktivitas rata-rata Indonesia sebesar 95 kg per pohon;
sedangkan produktivitas potensialnya sebesar 250 kg per pohon atau 69 ton/ha.
Diasumsikan bahwa permasalahan rendahnya produktivitas jeruk keprok diduga
karena rendahnya penggunaan input produksi, belum efisiennya proses produksi,
kondisi lingkungan yang kurang mendukung dan kurang memadainnya
kemampuan petani untuk mengelola usahatani jeruk keprok. Hal-hal ini
mendorong perlu adanya kebutuhan analisis (1) bagaimana meningkatkan
produktivitas usahatani jeruk keprok SoE, (2) bagaimana meningkatkan efisiensi
teknis produksi jeruk keprok SoE, dan (3) upaya-upaya apa yang perlu dilakukan
untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi teknis jeruk keprok SoE, pada
zona agroklimat (daerah dataran tinggi dan dataran rendah) dan ukuran usahatani
(kecil dan besar). Penelitian ini telah menginvestigasi keragaan usahatani dan
faktor-faktor penentu produktivitas dan efisiensi teknis produksi usahatani jeruk
keprok SoE dengan menggunakan 360 petani contoh dari dua belas desa di enam
kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Data yang digunakan adalah data cross section. Analisis data untuk masing-
masing zona dan ukuran usahatani yang digunakan adalah pendekatan fungsi
produksi stokastik frontier model efek inefisiensi teknis model translog.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik khas yang menonjol
dari usahatani jeruk keprok SoE daerah lahan kering di Timor Tengah Selatan
adalah usahatani kecil (kurang dari satu hektar) dengan jumlah kepemilikan
tanaman yang sangat sedikit, umur tanaman sangat beragam, sistem
pengelolaannya yang tradisional dan tidak mengikuti petunjuk teknis yang benar.
Hal ini sangat berbeda dengan usahatani jeruk keprok di daerah atau negara lain di
mana pola pengelolaanya sudah modern, umur tanaman yang seragam dan sistem
perkebunan (plantation).
Produksi dan pendapatan petani jeruk keprok SoE masih rendah. Di
pihak lain, peluang peningkatan pendapatan petani jeruk (terhadap pendapatan
potensialnya) adalah masih sangat besar. Tingkat pendapatan petani jeruk keprok
SoE pada daerah dataran tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan daerah dataran
rendah. Rendahnya pendapatan petani lebih disebabkan oleh rendahnya jumlah
produksi dan tanaman produktif jeruk keprok SoE. Faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi jeruk keprok SoE pada daerah datarn tinggi adalah
jumlah pohon produktif, kompos dan penggunaan bibit okulasi. Sedangkan pada
daerah dataran rendah, produksi jeruk kerpok SoE dipengaruhi oleh umur tanaman
produktif, tenaga kerja dan penggunaan bibit okulasi. Performansi antar ukuran
usahatani menunjukkan bahwa jumlah pohon produktif, kompos, tenaga kerja dan
bibit okulasi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi pada ukuran
usahatani kecil. Pada ukuran usahatani yang lebih luas, semua faktor produksi
berpengaruh pada produksi jeruk keprok SoE, kecuali tenaga kerja keluarga. Baik
pada daerah dataran tinggi maupun dataran rendah, umur tanaman produktif,
sebagai ciri khas fungsi produksi tanaman tahunan, merupakan input produksi
yang paling penting.
Tingkat pencapaian efisiensi teknis baik pada daerah dataran tinggi
maupun dataran rendah masih tergolong rendah dan berada di bawah kondisi yang
efisien. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perbedaan kondisi efisiensi
tersebut adalah perbedaan penggunaan input produksi, kondisi agroklimat,
kemampuan manajerial petani jeruk dan skala operasi usahatani. Sedangkan,
kondisi daerah dataran rendah yang ekstrim kering telah memberikan tingkat
produksi yang rendah dan hanya petani yang berpengalaman saja yang dapat
mengelola usahatani jeruknya. Pada daerah dataran tinggi, kemampuan manajerial
petani seperti pengalaman, pengalokasian sumber penadapatan lainnya, pemilihan
metode penjualan dan keanggotaan kelompok tani telah berkontribusi terhadap
tingkat efisiensi teknis yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah dataran
rendah. Dari hasil analisis diketahui bahwa zona agroklimat tidak berpengaruh
pada efisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE. Namun, zona agroklimat
berpengaruh pada produktivitas usahatani jeruk keprok SoE. Pada daerah dataran
tinggi, skala operasi yang lebih besar dari atau minimal satu hektar adalah ukuran
usahatani yang cukup efisien bila dibandingkan ukuran usahatani yang kurang
dari satu hektar. Hal ini lebih menggairahkan semangat petani untuk mengelola
usahataninya secara efisien. Model efek inefisiensi teknis menyarankan bahwa
variabel-variabel pengalaman, kontak dengan petugas pertanian lapangan, sumber
pendapatan lain, metode penjualan dan keanggotaan kelompok tani merupakan
faktor-faktor penting yang mampu mereduksi inefisiensi teknis produksi jeruk
keprok SoE daerah lahan kering dataran tinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
dengan skala operasi minimal satu hektar.
Peningkatan produktivitas dan efisiensi produksi jeruk keprok SoE perlu
dilakukan dengan peningkatan skala operasi usahatani ke ukuran minimal satu
hektar, perbaikan kemampuan manajerial petani (faktor-faktor inefisiensi), panen
dan pascapanen, perbaikan lingkungan fisik dan penggunaan input-input produksi
yang sesuai dengan standar teknisnya serta penggunaan pendekatan
pengembangan usahatani yang terpadu dan terintegrasi seperti (1) pendekatan
kawasan agribisnis jeruk keprok SoE, (2) penataan manajemen rantai pasokan
(supply chain management), (3) penerapan budidaya pertanian yang baik
(GAP/SOP), (4) fasilitasi investasi tanpa agunan, dan (5) pengembangan
kelembagaan usaha terkait agribisnis jeruk keprok SoE.
©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KERAGAAN USAHATANI DAN EFISIENSI PRODUKSI
JERUK KEPROK SOE BERDASARKAN ZONA
AGROKLIMAT DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

DAMIANUS ADAR

DISERTASI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup:

Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS


Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Heny K. Daryanto, MEc


Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka:

Prof. (Riset) Dr. Ir. I Wayan Rusastra, MS


Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian

Dr. Muhammad Firdaus, SP, MSi


Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Judul Disertasi : Keragaan Usahatani dan Efisiensi Produksi Jeruk Keprok
SoE Berdasarkan Zona Agroklimat di Provinsi Nusa
Tenggara Timur

Nama : Damianus Adar

NRP : H361060011

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc


Ketua

Prof. Dr. Ir. Kuntjoro Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS


Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 23 November 2011 Tanggal Lulus:


Persembahan

Disertasi ini kupersembahkan untuk:

Ayah dan Ibu tercinta (Alm) yang dari kejauhan di dunia seberang selalu
memberikan doa yang tidak pernah hentinya demi keberhasilan studi saya ini.
Terima kasih banyak ayah....ibu...., atas segalanya yang tercurahkan kepadaku
sampai dengan detik ini. Mohon maaf atas salah dan khilafku. Semoga kamu
ayah dan ibu selalu berbahagia dalam kerajaan-Nya.

Isteriku, Theresia Urung Astiaty, atas kesabaran, pengorbanan dan pengertiannya


selama studi saya ini.

Anak-anakku, Angela, Sofia, Edward, Maria dan Martha.....papa minta maaf


karena selama ini papa tak dapat memberikan waktu yang penuh bagi kehidupan
kamu. Demikian juga Cucuku Adityio. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu
memberikan berkat dan rahmat-Nya untuk kamu semua.

Kakak-kakak saya, Mikhael, Blasius, Paulina, Nicholaus, Chatarina (alm),


Cornelis, Gaspar (alm), Wihelmina, Dorothea atas dukungan, bantuan dan doa
demi kesuksesan studi ini.
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL …………………………………………………… xix

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………........ xxiv

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………….... xxvii

I. PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1


1.2. Perumusan Masalah ……………………………………………. 9
1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………………. 21
1.4. Kegunaan Penelitian …………………………………………… 22
1.5. Novelties ……………………………………………………….. 25
1.6. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ………………….. 26

II. TINJAUAN PUSTAKA ..……………………………………………. 31

2.1. Keragaan Jeruk di Indonesia ....................................................... 31


2.2. Keragaan Usahatani Jeruk Keprok di Provinsi Nusa Tenggara
Timur …………………………................................................... 44
2.3. Kondisi Geografis dan Produksi Pertanian di Kabupaten Timor
Tengah Selatan ............................................................................ 58
2.3.1. Kondisi Geografis Kabupaten Timor Tengah Selatan .. 58
2.3.1.1. Letak Geografis dan Luas Wilayah .............. 58
2.3.1.2. Topografi dan Kelerengan Wilayah .............. 60
2.3.1.3. Jenis Tanah dan Geologi ............................... 62
2.3.1.4. Penggunaan Lahan dan Kondisi Agroklimat
Kabupaten Timor Tengah Selatan ................ 63
2.3.2. Kondisi Produksi Pertanian Kabupaten Timor Tengah
Selatan ........................................................................... 68
2.3.2.1. Subsektor Tanaman Pangan .......................... 68
2.3.2.2. Subsektor Tanaman Hortikultura .................. 71
2.3.2.3. Subsektor Perkebunan ................................... 83
2.3.2.4. Subsektor Peternakan .................................... 85
2.3.2.5. Subsektor Perikanan ..................................... 86
2.3.2.6. Subsektor Kehutanan .................................... 88
2.3.3. Komoditas Pertanian Unggulan Kabupaten Timor
Tengah Selatan .............................................................. 90
2.3.4. Peluang Investasi Beberapa Komoditas Peertanian
Unggulan Kabupaten Timor Tengah Selatan ................ 92
2.3.5. Kelembagaan Usahatani ................................................ 94
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu .................................................... 98
2.4.1. Penelitian Efisiensi dengan Stokastik Frontier .............. 99
2.4.2. Penelitian Jeruk Keprok SoE ......................................... 110

III. KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................... 115

3.1. Kerangka Teori …………………………………….................... 115


3.1.1. Teori Produksi ………………………........................... 115
3.1.2. Pengertian Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis .... 119
3.1.3. Pengukuran Efisiensi Produksi ...................................... 123
3.1.4. Fungsi Produksi Stokastik Frontier ............................... 130
3.1.4.1. Model Produksi Stokastik Frontier ............... 130
3.1.4.2. Bentuk Fungsi Untuk Model Produksi
Stokastik Frontier …………….............……. 135
3.1.4.3. Pengukuran Efisiensi Teknis Model
Produksi Stokastik Frontier …..………….... 138
3.1.4.4. Model Efek Inefisiensi Teknis Produksi
Stokastik Frontier .......……………………... 141
3.1.4.5. Pengujian Hipotesis ……………….............. 146
3.1.4.6. Elastisitas Produksi …………….........…….. 148
3.2. Kerangka Pemikiran Analisis Efisiensi Jeruk Keprok SoE ......... 148
3.2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ..................................... 148
3.2.2. Hipotesis ........................................................................ 160

IV. METODE PENELITIAN .................................................................... 161

4.1. Penentuan Lokasi Penelitian dan Metode Pengambilan Contoh 161


4.2. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data ........................... 166
4.3. Metode Analisis Data .................................................................. 167

xvi
4.3.1. Analisis Keragaan Usahatani Jeruk Keprok SoE .......... 168
4.3.2. Spesifikasi Model untuk Analisis Fungsi Produksi
Stokastik Frontier .......................................................... 169
4.3.3. Spesifikasi Model untuk Analisis Inefisiensi Teknis .... 173
4.3.4. Elastisitas Produksi Jeruk Keprok SoE ......................... 175
4.3.5. Pengujian Hipotesis …………………………............... 176
4.4. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian ......... 178

V. KERAGAAN USAHATANI JERUK KEPROK SOE ..................... 187

5.1. Karakteristik Responden ............................................................. 187


5.2. Penggunaan Input Usahatani Jeruk Keprok SoE ......................... 191
5.2.1. Lahan dan Pola Penggunaannya …................................ 191
5.2.2. Bibit dan Jumlah Kepemilikan Tanaman Jeruk Keprok
SoE …............................................................................ 193
5.2.3. Penggunaan Tenaga Kerja Keluarga …......................... 201
5.3. Pemeliharaan Tanaman ............................................................... 203
5.4. Kegiatan Panen dan Pascapanen ................................................. 207
5.5. Sistem Pemasaran Jeruk Keprok SoE ......................................... 210
5.5.1. Pola Pemasaran Jeruk Keprok SoE …………............... 210
5.5.2. Efisiensi Pemasaran Jeruk Keprok SoE ….................... 218
5.5.3. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Efisiensi
Pemasaran Jeruk Keprok SoE di Daerah Penelitian ...... 223
5.5.4. Teknologi dan Strategi Pemasaran Jeruk Keprok SoE .. 227
5.6. Produksi dan Produktivitas Usahatani Jeruk Keprok SoE .......... 244
5.7. Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usahatani Jeruk Keprok
SoE .............................................................................................. 249

VI. ANALISIS PRODUKSI DAN EFISIENSI TEKNIS USAHATANI


JERUK KEPROK SOE DAERAH LAHAN KERING .................... 257

6.1. Analisis Perbedaan Sistem Produksi antar Zona Agroklimat dan


Ukuran Usahatani Jeruk Keprok SoE .......................................... 257
6.2. Pengujian Hipotesis dan Penentuan Model Fungsi Produksi
Stokastik Frontier Usahatani Jeruk Keprok SoE ......................... 259
6.3. Model Empiris Fungsi Produksi Stokastik Frontier Jeruk
Keprok SoE ................................................................................. 261

xvii
6.3.1. Analisis Fungsi Produksi Stokastik Frontier Antar
Zona Agroklimat Dataran Tinggi dan Rendah .............. 262
6.3.2. Analisis Fungsi Produksi Stokastik Frontier Antar
Ukuran Usahatani pada Daerah Dataran Tinggi
Kabupaten Timor Tengah Selatan ................................. 278
6.4. Analisis Efisiensi dan Inefisiensi Teknis Produksi Jeruk Keprok
SoE .............................................................................................. 284
6.4.1. Efisiensi Teknis Produksi Jeruk Keprok SoE ……........ 284
6.4.2. Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis Produksi Jeruk
Keprok SoE Berdasarkan Zona Agroklimat Dataran
Tinggi dan Dataran Rendah ........................................... 292
6.4.3. Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis Produksi Jeruk
Keprok SoE Berdasarkan Ukuran Usahatani Daerah
Dataran Tinggi ............................................................... 304

VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ………….. 307

7.1. Kesimpulan .................................................................................. 307


7.2. Rekomendasi Kebijakan ………….............................................. 309

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………... 313

LAMPIRAN ............................……………………………………...... 327

xviii
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jeruk di


Indonesia, Tahun 2002-2008 ……………….………………………….... 32

2. Produksi Buah-Buahan Menurut Jenis Tanaman, Tahun 2006-2008 …... 33

3. Tanaman Menghasilkan, Luas Panen, Hasil per Hektar, Hasil per Pohon
dan Produksi Buah-Buahan di Indonesia, Tahun 2006 …………………. 34

4. Varietas Jeruk Unggul yang telah Dilepas Pemerintah Indonesia …….... 36

5. Komposisi Produksi Jeruk Indonesia, Tahun 2001, 2006 dan 2008 …..... 36

6. Nilai dan Volume Ekspor - Impor Buah-Buahan Indonesia, Tahun 2006. 37

7. Sasaran Produksi Jeruk untuk Memenuhi Kebutuhan dalam Negeri,


Ekspor dan Pemenuhan Bahan Industri Pengolahan, Tahun 2010-2025 .. 40

8. Nilai Produk Domestik Bruto Buah-Buahan, Tahun 2005 ……………... 42

9. Produksi Jeruk Menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2007-2008 ……... 44

10. Luas Lahan Pengembangan Baru Jeruk di Beberapa Provinsi di


Indonesia ………………………………………………………………... 45

11. Produksi Buah-Buahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2005-


2008 …………………............................................................................... 47

12. Luas Panen Buah-Buahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun


2005-2008 …..…........................................................................................ 49

13. Perkembangan Luas Panen Buah-Buahan di Provinsi Nusa Tenggara


Timur, Tahun 2005-2008 .......................................................................... 51

14. Luas Tanam dan Produksi Komoditi Buah-Buahan di Nusa Tenggara


Timur, 2004-2008 ...................................................................................... 52

15. Keadaan Luas Panen Jeruk Keprok di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2002-2008 ...................................................................................... 54

16. Keadaan Produksi Jeruk Keprok di Provinsi Nusa Tenggara Timur,


Tahun 2002-2008 ….................................................................................. 55

17. Kesenjangan antara Produktivitas Aktual dan Potensial Jeruk Keprok di


Nusa Tenggara Timur, Tahun 2003-2008 ……………………................. 57

xix
18. Perkembangan Penggunaan Lahan, Tahun 2004-2008 .............................
64
19. Sebaran Kondisi Agroklimat di Kabupaten Timor Tengah Selatan,
Tahun 2008 ……………………………………………………………… 66

20. Perkembangan Luas Panen Tanaman Pangan, Tahun 2005-2007 ……… 69

21. Perkembangan ProduksiTanaman Pangan, Tahun 2005-2007 ………….. 69

22. Perkembangan Luas Panen Tanaman Sayuran di Kabupaten Timor


Tengah Selatan, 2003-2007 ....................................................................... 71

23. Perkembangan Produksi Tanaman Sayuran di Kabupaten Timor Tengah


Selatan, tahun 2003-2007 .......................................................................... 73

24. Luas Panen dan Produksi Komoditi Biofarmaka di Kabupaten Timor


Tengah Selatan, Tahun 2008 ………………………………………......... 74

25. Luas Panen dan Produksi Buah-Buahan di Kabupaten Timor Tengah


Selatan, Tahun 2002-2008 …………………………………………......... 77

26. Keadaan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jeruk Keprok SoE di
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2002-2008…………………... 78

27. Sebaran Populasi Tanaman Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor


Tengah Selatan, Tahun 2008 …………………………………………..... 79

28. Rata-Rata Jumlah Tanaman, Luas Panen dan Produksi Jeruk Keprok
SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2004-2008 ………….. 81

29. Luas dan Produksi Tanaman Perkebunan di Kabupaten Timor Tengah 83


Selatan, Tahun 2007 ..................................................................................

30. Produksi Perikanan Menurut Subsektor, Tahun 2007 …………………... 87

31. Luas Kawasan Hutan Menurut Pola Tata Guna, Tahun 2007 …………... 88

32. Produksi Hasil Hutan Menurut Jenisnya Tahun 2005-2007 ……………. 89

33. Rangking dan Sentra Produksi KPJu Unggulan per Sektor Usaha di
Kabupaten Timor Tengah Selatan ............................................................. 90

34. Potensi dan Peluang Investasi Komoditas Pertanian Unggulan


Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2009-2013 ......…………….... 93

35. Lembaga yang Terlibat di dalam Kegiatan Pertanian Unggulan di


Kabupaten Timor Tengah Selatan …………………………………......... 95

xx
36. Jumlah Penelitian dan Nilai Mean Efisiensi Teknis Berdasarkan
Kelompok Komoditas ............................................................................... 102

37. Beberapa Studi Frontier pada Tanaman Tahunan ..................................... 103

38. Beberapa Karakteristik dari Empat Metode Pengukuran Efisiensi .......... 129

39. Sebaran Responden Penelitian ………………………………………….. 166

40. Karakteristik Responden di Daerah Penelitian ………………………….. 188

41. Rata-Rata Kepemilikan Lahan Petani Responden Jeruk Keprok SoE ….. 192

42. Penangkar Benih Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor Tengah


Selatan, Tahun 2009 .................................................................................. 194

43. Rata-Rata Kepemilikan Tanaman Jeruk Keprok SoE Petani Responden.. 197

44. Rata-Rata Jumlah Kepemilikan Tanaman Jeruk Keprok SoE Petani


Responden Berdasarkan Umur Tanaman ………….................................. 199

45. Rata-Rata Penggunaan Tenaga Kerja Petani Responden ………………. 201

46. Kegiatan Pemeliharaan Tanaman Jeruk Keprok SoE ……………........... 205

47 Masa Panen Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan ...... 208

48. Kegiatan Panen Jeruk Keprok SoE di Daerah Penelitian ......…………... 208

49. Kegiatan Pascapanen Jeruk Keprok SoE ……………………………….. 209

50. Tingkat Efisiensi, Margin dan Profit Pemasaran Jeruk Keprok SoE
Petani di Daerah Penelitian …………………........................................... 219

51. Pengkelasan Jeruk Keprok SoE Berdasarkan Berat, Diameter dan


Jumlah Buah per Kg .................................................................................. 229

52. Sistem Penjualan Jeruk Keprok SoE: Berdasarkan Jumlah Responden ... 233

53. Rata-Rata Harga Jual Jeruk Keprok SoE di Tingkat Petani Berdasarkan
Sistem Penjualan dan Kelas Mutu ……………………………………..... 239

54. Persentase Banyaknya Petani Berdasarkan Tempat Penjualan Jeruk


Keprok SoE ……………………………………………………………... 243

55. Rata-Rata Jumlah Produksi Jeruk Keprok SoE Petani Responden di


Desa-Desa Contoh: Berdasarkan Umur Tanaman ……………………… 246

xxi
56. Rata-Rata Produktivitas Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh:
Berdasarkan Umur Tanaman ……………………………………………. 247

57. Rata-Rata Jumlah Penjualan Jeruk Keprok SoE: Berdasarkan Sistem


Penjualan dan Kelas Mutu ………………………………………………. 249

58. Rata-Rata Penerimaan Petani Berdasarkan Sistem Penjualan dan Kelas


Mutu Jeruk Keprok SoE ………………………………………………… 251

59. Biaya Usahatani Jeruk Keprok SoE di Daerah Penelitian Per


Hektar………………................................................................................. 254

60. Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usahatani Jeruk Keprok SoE di


Daerah Penelitian ……………………………………………………….. 255

61. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dengan Dummy Zona Agroklimat


Dataran Tinggi dan Rendah pada Usahatani Jeruk Keprok SoE
Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2010 ......................................... 258

62. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dengan Dummy Ukuran Usahatani pada
Usahatani Jeruk Keprok SoE Daerah Dataran Tinggi di Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Tahun 2010........................................................... 259

63. Pengujian Hipotesis untuk Parameter-Parameter Fungsi Produksi


Stokastik Frontier Translog Usahatani Jeruk Keprok SoE ........................ 261

64. Ringkasan Statistik dari Variabel-Variabel yang Digunakan di dalam


Model Stokastik Frontier Produksi Jeruk Keprok SoE di Daerah Dataran
Tinggi dan Rendah di Kabupaten Timor Tengah Selatan ......................... 263

65. Estimasi Parameter dan t Rasio Model Fungsi Produksi Stokastik


Frontier Menggunakan MLE di Dataran Tinggi dan Rendah .………...... 265

66 Ringkasan Statistik dari Variabel-Variabel yang Digunakan di dalam


Model Stokastik Frontier Produksi Jeruk Keprok SoE di Timor Tengah
Selatan Antar Ukuran Usahatani ............................................................... 278

67. Estimasi Parameter dan t Rasio dari Model Fungsi Produksi Stokastik
Frontier dengan Menggunakan MLE …………………............................ 279

68. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Responden Berdasarkan Zona ………... 285

69. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Contoh Berdasarkan Ukuran Usahatani


pada Daerah Dataran Tinggi ..................................................................... 288

70. Rata-Rata Produktivitas dan Efisiensi Teknis Usahatani Jeruk Keprok


SoE Berdasarkan Kelompok Umur Tanaman Produktif pada Zona

xxii
Agroklimat dan Ukuran Usahatani yang Berbeda...................................... 290

71. Estimasi Parameter dan t Rasio dari Model Efek Inefisiensi Teknis
Produksi Stokastik Frontier Berdasarkan Zona Agroklimat .………….... 293

72. Estimasi Parameter dan t Rasio dari Model Efek Inefisiensi Teknis
Fungsi Produksi Stokastik Frontier dengan Menggunakan MLE ............. 305

xxiii
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Luas Panen dan Produksi Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor


Tengah Selatan, Tahun 2002-2009 …………………………........... 11

2. Perkembangan Luas Panen dan Produksi Jeruk di Indonesia,


Tahun 1995-2008 ………………………………………………..... 32

3. Volume Impor Jeruk Indonesia, Tahun 1997-2008 ………………. 38

4. Volume Ekspor Jeruk Indonesia, Tahun 1997-2007 ……………... 39

5. Total Produksi Buah-Buahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur,


Tahun 2005-2008 .............................................................................. 48

6. Persentase Produksi Terhadap Total Produksi Buah-Buahan di


Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2005-2008 ……………...... 48

7. Total Luas Panen Buah-Buahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur,


Tahun 2005-2008 .............................................................................. 50

8. Trend Total Produksi dan Luas Panen Buah-Buahan di Nusa


Tenggara Timur, Tahun 2005-2008 .................................................. 50

9. Total Luas Panen Jeruk Keprok per Kabupaten di Nusa Tenggara


Timur, Tahun 2002-2008 ………………………………………...... 55

10. Total Produksi Jeruk Keprok per Kabupaten di Nusa Tenggara


Timur, Tahun 2002-2008 ………………………………….............. 56

11. Tren Total Luas Panen dan Produksi Jeruk Keprok di Nusa
Tenggara Timur, Tahun 2002-2008 ……………………….............. 57

12. Persentase Luas Wilayah Kecamatan Terhadap Luas Daerah


Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2008 ………………....... 59

13. Tingkat Kekritisan Lahan dan Penyebaran Daerah Prioritas


Penghijauan dan Konservasi Tanah dan Air, Tahun 2009-2013 ..... 61

14. Persentase Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Timor Tengah


Selatan, Tahun 2008 ......................................................................... 64

15. Jumlah Hari Hujan dan Curah Hujan Bulanan Di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Tahun 2008 ............................................................ 66

16. Rata-Rata Curah Hujan dan Hari Hujan Bulanan, Tahun 2003-

xxiv
2008 …….......................................................................................... 67

17. Persentase Terhadap Total Produksi dan Luas Panen Tanaman


Pangan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (Rata-Rata Produksi
dan Luas Lahan, Tahun 2005-2007) ................................................ 70

18. Rata-Rata Luas Panen dan Persentase Terhadap Total Luas Panen
Sayuran di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2003-2007 ... 72

19. Rata-Rata Produksi dan Persentase Terhadap Produksi Total


Tanaman Sayuran di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun
2003-2007 ......................................................................................... 73

20. Rangking Luas Panen dan Produksi Berdasarkan Jenis Tanaman


Biofarmaka di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2007 ....... 74

21. Rata-Rata Luas Panen Jeruk Keprok SoE per Kecamatan, Tahun
2004-2008 ………………................................................................. 82

22. Rata-Rata Produksi Jeruk Keprok SoE per Kecamatan, Tahun


2004-2008 ………............................................................................. 82

23. Rangking Luas Panen dan Produksi Beberapa Jenis Tanaman


Perkebunan di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2007 ....... 84

24. Jumlah Ternak dan Persentase Terhadap Total di Kabupaten


Timor Tengah Selatan, Tahun 2007 ................................................. 85

25. Kuadran Posisi KPJu Unggulan di Kabupaten Timor Tengah


Selatan, Tahun 2008 ......................................................................... 92

26. Peta Sebaran Lembaga Swadaya Masyarakat yang Fokus pada


Pengembangan Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2002-2009 …………………………………......................... 95

27. Pengukuran Efisiensi Farrell 1957 ................................................... 122

28. Fungsi Produksi Stokastik Frontier .................................................. 134

29. Kerangka Pemikiran Penelitian Produksi dan Efisiensi Jeruk


Keprok SoE ………………………………………………….......... 158

30. Peta Lokasi Penelitian: Kabupaten Timor Tengah Selatan .............. 162

31. Peta Lokasi Kecamatan-Kecamatan dan Desa-Desa Contoh ........... 162

32. Bagan Pengambilan Sampel Penelitian ............................................ 165

xxv
33. Kondisi Bibit Tanaman Jeruk Keprok SoE ...................................... 195

34. Jumlah Kepemilikan Tanaman Jeruk Keprok SoE Berdasarkan


Umur Tanaman ................................................................................. 199

35. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja Keluarga Petani Contoh ……. 202

36. Rantai Pemasaran Jeruk Keprok SoE, Tahun 2010 ……………….. 213

37. Tingkat Efisiensi Pemasaran Jeruk Keprok SoE Antar Zona


Agroklimat …………………………............................................... 220

38. Jeruk Keprok SoE, Produk Unggulan Nasional, Spesifik Lokasi


Kabupaten Timor Tengah Serlatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur 229

39. Personal Selling : Memotivasi Pelanggan dengan Cara


Memajangkan Produk Di Pinggir Jalan Raya …………………….. 241

40. Persentase Petani Berdasarkan Tempat Penjualan Jeruk Keprok


SoE …………................................................................................... 243

41. Perbedaan Harga Jeruk Keprok SoE Berdasarkan Tempat


Penjualan ……………...................................................................... 244

42. Rata-Rata Produksi Jeruk Keprok SoE Berdasarkan Umur


Tanaman ……………....................................................................... 246

43. Rata-Rata Produktivitas Jeruk Keprok SoE Berdasarkan Umur


Tanaman ……................................................................................... 247

44. Rata-Rata Luas Usahatani dan Mean Efisiensi Antar Zona


Pengembangan Usahatani Jeruk Keprok SoE …………….............. 286

45. Sebaran Efisiensi Teknis Produksi Jeruk Keprok SoE pada Zona
Agroklimat Dataran Tinggi dan Rendah ………………….............. 287

46. Sebaran Efisiensi Teknis Produksi Jeruk Keprok SoE Antar


Ukuran Usahatani di Dataran Tinggi ........................…………....... 288

47. Rata-Rata Luas Usahatani dan Mean Efisiensi Antar Ukuran


Usahatani Jeruk Keprok SoE di Daerah Dataran Tinggi .................. 289

xxvi
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Jumlah Tanaman, Luas Panen dan Produksi Jeruk Keprok SoE per
Kecamatan di Kabuapten Timor Tengah Selatan Tahun 2004-2008... 328

2. Penelitian Terdahulu dengan Metode Stokastik Frontier di Bidang


Pertanian, Berdasarkan Jenis Komoditas dan Tahun Penelitian ......... 331

3. Perhitungan Efisiensi Pemasaran Jeruk Keprok SoE ......................... 335

4. Jumlah Kepemilikan Tanaman Jeruk Keprok SoE Berdasarkan


Umur Tanaman di Zona Dataran Tinggi............................................. 336

5. Jumlah Kepemilikan Tanaman Jeruk Keprok SoE Berdasarkan


Umur Tanaman di Zona Dataran Rendah ........................................... 337

6. Jumlah Produksi Berdasarkan Umur Tanaman Produktif di Zona


Dataran Tinggi .................................................................................... 338

7. Jumlah Produksi Berdasarkan Umur Tanaman Produktif di Zona


Dataran Rendah .................................................................................. 339

8. Jumlah Pohon, Produksi dan Produktivitas Jeruk Keprok SoE di


Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman ............................... 340

9. Prosedur Pengolahan Data dengan Menggunakan Software Frontier


4.1c ...................................................................................................... 353

10. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dengan Dummy Zona Agroklimat


Dataran Tinggi dan Rendah pada Usahatani Jeruk Keprok SoE ........ 355

11. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dengan Dummy Ukuran Usahatani


pada Usahatani Jeruk Keprok SoE di Daerah Dataran Tinggi ........... 356

12. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknis Usahatani


Jeruk Keprok SoE di Daerah Dataran Tinggi ..................................... 357

13. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknis Usahatani


Jeruk Keprok SoE di Daerah Dataran Rendah ................................... 361

14. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknis pada Ukuran
Usahatani< 1 Ha di Daerah Dataran Tinggi ....................................... 362

15. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknis pada Ukuran
Usahatani ≥ 1 Ha di Daerah Dataran Tinggi ...................................... 363

xxvii
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jeruk adalah komoditas yang bernilai ekonomi tinggi (high economic

value commodity) dan merupakan salah satu buah yang cukup banyak digemari

masyarakat pada berbagai kalangan. Rasa dan kemudahan cara menyajikan dan

mengkonsumsi jeruk, harga buah yang relatif murah, daya simpan buah yang

cukup lama serta kandungan gizi yang tinggi mendorong minat masyarakat untuk

mengkonsumsi buah ini cukup tinggi.

Pada tahun 2007, dengan total produksi jeruk 2 565 543 ton (Departemen

Pertanian, 2008a), Indonesia telah masuk di jajaran 10 besar produsen jeruk dunia

(posisi ke sembilan). Produksi jeruk Indonesia pada tahun 2008 meningkat

menjadi 2 625 884 ton dan memposisikan Indonesia menjadi Negara produsen

terbesar ke enam di dunia setelah Brazil, USA, Mexico, India dan China (FAO,

2010). Pada tahun yang sama, untuk kelompok jeruk keprok Indonesia berada

pada posisi kedua setelah China. Hampir 97.3% pertanaman jeruk yang ada di

Indonesia merupakan jeruk Siam dan keprok dengan produktivitas yang rendah

dan mutu buah yang tidak seragam. Musim panen yang relatif bersamaan pada

bulan Mei, Juni dan Juli seringkali mengakibatkan harga rendah dan sangat

merugikan petani.

Pengembangan komoditas jeruk menyebar di seluruh wilayah di

Indonesia. Sifat tanaman jeruk yang relatif cepat berbuah, potensi produksi dan

produktivitas yang cukup tinggi, daya adaptasi yang luas, serapan pasar yang

cukup tinggi serta dukungan informasi dan teknologi perjerukan yang lebih maju

yang ditawarkan pemerintah adalah merupakan beberapa pertimbangan para


2

petani maupun pekebun buah untuk memilih jeruk sebagai tanaman yang

diusahakan. Nilai ekonomis jeruk tercermin dari tingkat kesejahteraan petani jeruk

dan keluarganya yang relatif baik. Komoditas jeruk dapat tumbuh dan diusahakan

petani di dataran rendah hingga dataran tinggi dengan varietas/spesies komersial

yang berbeda, dan dapat dikonsumsi oleh masyarakat pada berbagai golongan

pendapatan.

Badan Internasional, Food and Agricultural Organisation (FAO),

menunjukkan bahwa konsumsi buah-buahan Indonesia hanya sebesar 34.06 kg

(2007) dan 40.09 kg (2008) per kapita per tahun; jauh lebih rendah bila

dibandingkan dengan Jepang dan AS yang masing-masing 120 kg dan 75 kg per

kapita per tahun. FAO merekomendasikan konsumsi buah-buahan sebanyak 65.75

kg per kapita per tahun (Departemen Pertanian, 2008b). Pada tahun 2003,

konsumsi jeruk dalam negeri baru mencapai 2.9 kg per kapita per tahun.

Sedangkan tahun 2005 adalah sebesar 3.5 kg per kapita per tahun. Angka-angka

ini masih berada di bawah rata-rata konsumsi jeruk di negara-negara berkembang

yaitu sekitar 6.9 kg per kapita per tahun, sedangkan pada negara maju dapat

mencapai 32.6 kg per kapita per tahun (Departemen Pertanian, 2007).

Diperkirakan, kecenderungan konsumsi jeruk dalam negeri akan meningkat

sebesar 10% setiap tahun. Hal ini sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk

dan gaya hidup penduduk yang lebih mementingkan konsumsi buah-buahan

bermutu. Sampai dengan tahun 2006, peningkatan kebutuhan konsumsi jeruk

dalam negeri tidak dapat diimbangi dengan produksi domestik. Hal ini telah

menyebabkan banjirnya jeruk impor masuk ke Indonesia. Walaupun data yang

diperoleh berfluktuasi, impor buah jeruk Indonesia terus meningkat. Pada tahun
3

2001 jumlah impor jeruk segar sebesar 77 855 ton; pada tahun 2004 telah

mencapai 95 744 ton; tahun 2006 berjumlah 96 584 ton dan pada tahun 2008

berjumlah 143 600 ton (Departemen Pertanian, 2008b dan FAO, 2010). Namun

demikian, jeruk Indonesia juga telah mampu menembus pasar luar negeri

(ekspor) meskipun dalam volume yang relatif kecil. Volume ekspor jeruk

Indonesia lebih banyak berupa produk jeruk segar. Pada tahun 2003, volume

ekspor jeruk Indonesia mencapai 1 158 ton dan pada tahun 2006 menurun menjadi

470.76 ton. Hal ini tidak sejalan dengan meningkatnya luas panen dan produksi

jeruk Indonesia selama kurun waktu 2003-2006 sebesar masing-masing 17.90%

dan 22.40%.

Potensi ekonomi jeruk secara nasional patut diperhitungkan sebagai salah

satu sumber pendapatan asli. Kontribusi jeruk terhadap Produk Domestik Bruto

(PDB) sektor pertanian pada tahun 2003 mencapai Rp. 2 339 milyar (atau lebih

dari 2.3 trilyun rupiah). Sedangkan pada tahun 2006 sebesar Rp. 6 129.08 milyar

(atau lebih dari 6.1 trilyun rupiah) (Departemen Pertanian, 2008b).

Produksi jeruk di Indonesia didominasi oleh jenis jeruk siam (60.6%),

disusul jeruk keprok (36.7%), jeruk besar (pamelo) (1.7%), jeruk manis (1.0%)

dan grape fruit (0.14%) (Departemen Pertanian, 2009a). Jeruk keprok (Citrus

reticulata Blanco) dipahami berasal dari daratan China bagian Tenggara sehingga

orang Eropa menyebutnya jeruk mandarin. Penyebarannya ke beberapa negara di

Eropa diduga melalui jalur perdagangan dengan China pada masa lalu; sedangkan

jeruk keprok di Indonesia diduga dibawa oleh orang Eropa selama masa

penjajahan. Jeruk Keprok merupakan salah satu jeruk harapan yang nantinya

mampu menggantikan pasar jeruk-jeruk impor (substitusi jeruk impor), seperti


4

jeruk Keprok varietas Grabag, Tawangmangu, Batu 55, Garut, SoE, serta varietas

introduksi seperti jeruk Freemont, Sunkist, Murcott dan Chokun.

Jeruk keprok telah diketahui secara luas oleh masyarakat Indonesia dan

merupakan jenis buah-buahan yang tergolong sedikit lebih mahal. Produksi jeruk

keprok di Indonesia berlokasi di berbagai daerah. Kebanyakan jeruk keprok

domestik yang ada di pasar-pasar di Indonesia diidentifikasi dengan “label

daerah”. Setiap daerah pada umumnya membudidayakan satu komoditi spesial

yang sesuai dengan kondisi iklim (angin, curah hujan dan suhu udara) dan kondisi

daerah yang bersangkutan. Komoditas tersebut berhubungan dengan daerah itu.

Sebagai contoh, keprok madura di pulau Madura, keprok Batu, keprok

Tawangmangu, keprok Garut, keprok Berasitepu di daerah Brastagi, Sipirok dari

Padang, keprok Siompu dari Sulawesi Tengah, keprok SoE di Provinsi Nusa

Tenggara Timur (NTT) dan daerah lainnya di Indonesia (Departemen Pertanian,

2009b).

Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu dari antara

sembilan provinsi daerah sentra pengembangan jeruk keprok di Indonesia. Di

antara berbagai jenis buah-buahan yang diproduksi oleh para petani di provinsi

NTT, dari segi luas panen selama tahun 2004 hingga 2008, jeruk keprok

menduduki tempat ketiga setelah pisang dan Alpukat. Sedangkan dari segi jumlah

produksi selama periode tersebut, jeruk ini menempati urutan keempat setelah

pisang, mangga dan alpukat (Dinas Pertanian, 2010a).

Dari 20 Kabupaten/Kota daerah pengembangan jeruk keprok di NTT,

Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menyumbang sebesar 23% terhadap total

produksi jeruk keprok di NTT dan merupakan daerah prioritas pertama dengan
5

konsentrasi pengembangan jeruk varietas keprok SoE. Jeruk Keprok SoE

merupakan satu-satunya varietas yang dikembangkan di daerah TTS dan sejak

tahun 1998 telah dijadikan sebagai komoditas andalan baik tingkat Provinsi NTT

maupun Kabupaten TTS.

Hasil pengakajian Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura

Provinsi NTT menunjukkan bahwa secara agroekologi (keadaan iklim dan tanah),

jeruk keprok SoE layak untuk dikembangkan di TTS. Data produksi jeruk keprok

SoE di TTS menunjukkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun, namun data

luas lahan berfluktuatif. Pada tahun 2005, luas panen jeruk keprok SoE adalah 1

445 ha dan meningkat menjadi 2 218 ha pada tahun 2006, tetapi menurun menjadi

1 218 ha pada tahun 2009. Pemerintah kabupaten merencanakan untuk

meningkatkan luas panen sebesar 7 050 ha sampai dengan tahun 2013. Dari segi

produktivitas, pada tahun 2004, produktivitas jeruk ini hanya 2.2 ton per hektar,

tahun 2005 meningkat menjadi 2.7 ton dan tahun 2006 sebesar 3.5 ton per hektar

(Dinas Pertanian, 2007a). Pada tahun 2009, produktivitas jeruk keprok SoE

meningkat menjadi 4.5 ton per hektar (Dinas Pertanian, 2010a), tetapi masih

berada di bawah produksi nasional 26.2 ton per hektar (BPS, 2010c). Sedangkan

secara potensial, produktivitas jeruk keprok adalah sebesar 69 ton per hektar.

Jeruk keprok SoE bukan saja telah menjadi primadona petani di NTT

tetapi juga bagi konsumen lainnya di Indonesia yang direfleksikan oleh hasil

survei konsumen di Surabaya dan Denpasar (Mason et al., 2002 dan Adar et al.,

2005). Keprok SoE memiliki warna campuran kuning keemasan dengan warna

hijau (beberapa mendekati 100% kuning-keemasan), rasanya manis, tekstur

lembut, mudah dikupas dan kadar air cukup. Karakteristik-karakteristik tersebut,


6

telah membuat jeruk keprok SoE memiliki kualitas yang tidak tertandingi di

Indonesia (menjuarai perlombaan buah tingkat nasional dengan predikat pertama

selama tiga tahun berturut-turut yaitu tahun 2003, 2004 dan 2005).

Dalam era otonomi daerah setiap wilayah dituntut untuk mampu

mengembangkan potensi yang dimiliki, termasuk memilih jenis komoditas yang

akan dikembangkan di daerah tersebut. Di Kabupaten TTS komoditas jeruk

keprok SoE merupakan komoditas unggulan daerah yang dapat diharapkan

menjadi salah satu sumber pendapatan daerah dan petani. Kontribusi dari jeruk

keprok SoE terhadap pendapatan rumah tangga petani jeruk adalah sebesar 60-

75% (Adar et al., 2005). Jeruk ini dibudidayakan hampir di setiap pekarangan

rumahtangga petani di TTS. Bahkan di beberapa kecamatan sentra

pengembangannya seperti di kecamatan Mollo Utara, Fatumnasi dan Mollo

Selatan, komoditas ini merupakan sumber utama pendapatan tunai petani. Hasil

penelitian Milla et al. (2002) menunjukkan bahwa dari segi ekonomi, jeruk keprok

SoE sangat layak untuk dikembangkan. Secara sosial, komoditas ini sudah

menjadi bagian dari kehidupan masyarakat TTS secara turun temurun dan sudah

lama diusahakan oleh mereka sejak tahun 1930-an. Jeruk keprok SoE merupakan

salah satu sarana yang penting dalam kehidupan sosial masyarakat.

Dukungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi NTT dan

Kabupaten TTS terhadap komoditas ini sangat tinggi. Hal ini terbukti dengan

adanya berbagai proyek pengembangan komoditas ini, baik yang dibiayai oleh

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun melalui bantuan luar negeri. Jeruk

keprok SoE sudah dipromosikan dengan sangat baik oleh Pemerintah Provinsi

NTT dan dibudidayakan secara luas di beberapa kecamatan di kabupaten Timor


7

Tengah Selatan (SoE adalah ibu kota Kabupaten TTS). Balai Benih Induk (BBI)

milik Pemerintah Provinsi NTT didirikan secara khusus untuk menyediakan bibit

jeruk keprok SoE secara eksklusif kepada petani di dataran tinggi dan di dataran

rendah. Hal ini didukung pula dengan adanya larangan dari pemerintah terhadap

masuknya bibit jeruk lain dari luar daerah NTT.

Pemerintah Daerah NTT bekerjasama dengan Pemerintah Jepang melalui

Pemerintah Pusat, telah melaksanakan proyek pengembangan produksi dan pasca

panen jeruk keprok SoE sejak tahun 1998-2002 yang disebut dengan proyek

OECF (Overseas Economic Corporation Fund). Dalam kenyataannya,

pelaksanaan dan keberhasilan berbagai upaya tersebut pada usahatani jeruk

keprok SoE di kabupaten ini masih rendah. Hasil penelitian Adar et al. (2005)

menunjukkan bahwa produktivitas jeruk keprok SoE adalah 42 kg per pohon.

Tingkat produktivitas ini masih dikategorikan lebih rendah bila dibandingkan

dengan hasil uji coba lapangan di Balai Benih Induk milik Pemerintah Provinsi

NTT yang berlokasi di Oebubuk TTS pada tahun 2002 dan hasil penelitian Ditjen

Bina Produksi Hortikultura sebesar 50-250 kg/pohon/musim (Departemen

Pertanian, 2003).

Pengentasan kemiskinan bagi petani dan usahatani hortikultura

khususnya jeruk keprok SoE merupakan prioritas penelitian di Kabupaten TTS.

Selain tinggkat produktivitas jeruk keprok SoE per pohon yang masih rendah

(Dinas Pertanian, 2007c), dilaporkan juga bahwa masih terdapat ketidak-cukupan

permintaan pasar untuk varietas yang dihasilkan di TTS ini. Besarnya kontribusi

jeruk keprok SoE terhadap pendapatan petani jeruk, layaknya secara agroekologi

dan finansial untuk dikembangkan dan seriusnya perhatian pemerintah terhadap


8

jeruk keprok ini merupakan indikator bahwa komoditas ini sangat penting dan

perlu diperhitungkan sebagai salah satu sumber perekonomian daerah NTT pada

umumnya dan Kabupaten Timor Tengah Selatan secara khusus.

Permasalahan rendahnya produksi, produktivitas dan kualitas jeruk

keprok SoE diduga karena belum efisiennya proses produksi dan kurang

memadainnya kemampuan petani untuk mengelola usahatani jeruk keprok. Hal-

hal ini mendorong perlu adanya kebutuhan akan analisis efisiensi teknis produksi

untuk membantu memformulasikan kebijakan pengembangan jeruk keprok SoE

terutama dalam hal peningkatan kemampuan pengelola usahatani dan

penghapusan kendala peningkatan produktivitasnya. Efisiensi merupakan suatu

hal yang penting bagi pertumbuhan produktivitas dan stabilisasi produksi jeruk

keprok SoE. Gambaran sejauhmana tingkat efisiensi teknis produksi usahatani

jeruk keprok SoE akan sangat membantu untuk mengambil keputusan apakah

memperbaiki efisiensi, ataukah mengembangkan teknologi baru untuk

meningkatkan produktivitas jeruk keprok SoE di NTT.

Dengan studi kasus pada jeruk keprok SoE di Kabupaten TTS di Pulau

Timor bagian barat, penelitian ini merupakan suatu usaha penghimpunan data

pelengkap bagi Pemerintah Indonesia umumnya dan NTT khususnya di bidang

pembangunan hortikultura di daerah lahan kering. Sembilan puluh delapan persen

(98%) (Adar et al., 2005) segmen pasar jeruk keprok SoE adalah di pulau Timor,

NTT dan sisanya (2%) dipasarkan di luar NTT. Kajian terhadap efisiensi teknis

usahatani jeruk keprok SoE spesifik daerah lahan kering dapat membantu

memperluas peluang peningkatan produktivitas, perbaikan kualitas dan

pendapatan petani serta pengembangan pemasaran produk ini di masa datang.


9

Dengan demikian, upaya peningkatan produksi, mutu dan daya saing produk

merupakan kegiatan prioritas yang perlu didukung dengan upaya peningkatan

kemampuan petani untuk mengelola usahatani dan mengembangkan pasar dan

promosi. Kegiatan-kegiatan tersebut akan berdampak positif pada pertumbuhan

ekonomi regional, penyediaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan

petani/pelaku usaha jeruk keprok SoE.

1.2. Perumusan Masalah

Permintaan akan komoditas-komoditas bernilai ekonomi tinggi (high

economic value commodities) seperti, untuk menyebutkan salah satunya, jeruk di

Indonesia senantiasa meningkat. Hal ini sejalan dengan bertambahnya jumlah

penduduk, meningkatnya pendapatan dan selera atau gaya hidup masyarakat dan

berkembangnya industri pengolahan bahan makanan/minuman dalam negeri.

Permasalahan umum usaha perjerukan di Indonesia diwarnai dengan tidak

terpenuhinya permintaan untuk konsumsi, bahan baku industri pengolahan dan

ekspor. Hal ini dikarenakan masih rendahnya produktivitas jeruk dalam negeri.

Dari segi kualitas dan kontinuitas pasokan yang sesuai dengan persyaratan pasar,

baik domestik maupun eskpor, belum memenuhi persyaratan yang memadai.

Persoalan ini secara umum disebabkan oleh: (1) sistem usahatani jeruk masih

bersifat tradisional, belum banyak menggunakan teknologi (produksi, panen dan

pasca panen) anjuran, (2) luas areal panen jeruk yang masih kecil dibandingkan

dengan luas areal yang masih tersedia (3) lemahnya permodalan dan kelembagaan

petani (4) masa panen yang seragam (bersifat musiman), (5) ketersediaan

benih/bibit jeruk yang belum mencukupi, dan (6) dukungan pemerintah yang
10

belum memadai terutama dalam hal alokasi pendanaan, kemitraan, penyediaan

infrastruktur (perbenihan, pengairan, jalan usahatani), pasar dan promosi.

Arah pengembangan jeruk pada masa yang akan datang (Supriyanto,

2006 dan Departemen Pertanian, 2008d)) adalah untuk (1) mencukupi kebutuhan

konsumsi dalam negeri, (2) memenuhi bahan baku industri dalam negeri, (3)

mensubstitusi impor, dan (4) mengisi peluang pasar ekspor. Untuk mewujudkan

hal tersebut, maka pemerintah melakukan revitalisasi daerah sentra produksi jeruk

keprok yang sudah ada dan membangun areal pengembangan baru untuk jeruk

keprok. Salah satu daerah sentra pengembangan jeruk keprok di Idonesia yang

mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah Pusat dan Daerah adalah

Provinsi NTT dengan fokus jeruk keprok SoE.

Jeruk keprok ini diharapkan dapat menjadi faktor penggerak ekonomi

petani di daerah-daerah pengembangannya. Jeruk keprok SoE merupakan sumber

pendapatan tunai utama (60-75% berkontribusi terhadap pendapatan

rumahtangga) bagi para petani jeruk di daerah sentra pengembangannya di

Kabupaten TTS. Dari berbagai jenis buah-buahan yang diusahakan oleh petani,

dari segi luas lahan garapan jeruk merupakan terbesar ketiga setelah mangga dan

pisang. Sedangkan dari segi produksi, jeruk keprok menempati urutan pertama,

namun produktivitasnya masih rendah yakni 4.5 ton/ha (Dinas Pertanian, 2010a).

Tren luas panen (ha) dan produksi (ton) jeruk keprok SoE di kabupaten TTS

adalah seperti tercantum pada Gambar 1.

Seperti terlihat pada gambar bahwa meningkatnya luas panen (14%) dan

produksi jeruk keprok (84%) selama tahun 2002-2009 menggambarkan

pentingnya komoditas ini di dalam kehidupan ekonomi petani. Semakin luasnya


11

areal tanaman jeruk di Kabupaten TTS menjadi indikasi bahwa sebagian besar

petani jeruk di sana masih menggantungkan perekonomiannya pada usahatani

komoditas ini.

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a.


Gambar 1. Luas Panen dan Produksi Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Tahun 2002-2009

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, beberapa hasil penelitian

menunjukkan bahwa secara finansial, jeruk keprok SoE layak untuk

dikembangkan di bagian selatan dan utara Kabupaten TTS. Jeruk keprok SoE

telah menjuarai lomba buah unggulan tingkat nasional selama tiga tahun berturut-

turut yakni tahun 2003-2005. Sedangkan hasil kajian agroekologi (Dinas

Pertanian, 2007a) merekomendasikan bahwa jeruk keprok SoE layak untuk

dikembangkan baik untuk dataran tinggi maupun untuk dataran rendah, dengan

modifikasi genetik sesuai petunjuk teknis. Oleh karena itu, berbagai upaya

pembangunan telah dilakukan baik oleh pemerintah, LSM maupun pelaku

usaha/bisnis terkait. Untuk menggairahkan kembali semangat petani jeruk keprok

di daerah TTS, pemerintah daerah melakukan program rehabilitasi jeruk keprok


12

sejak tahun 2000. Program ini ditujukan untuk (1) mengembalikan kemampuan

produksi jeruk keprok SoE dan meningkatkan produktivitas lahan kering, (2)

meningkatkan kesempatan kerja dan berusahatani, (3) meningkatkan pendapatan

petani, dan 4) mengembalikan potensi komoditas unggulan lokal. Untuk mencapai

target yang telah dicanangkan itu, maka pemerintah daerah telah merencanakan

perluasan areal sebesar 7 050 ha untuk pengembangan usahatani jeruk keprok SoE

sampai dengan tahun 2013 (Bappeda, 2010).

Semakin besarnya luas panen menunjukkan bahwa sebagian besar petani

jeruk menggantungkan perekonomian mereka pada komoditas ini. Namun di sisi

lain, produktivitas jeruk keprok SoE adalah masih rendah dan kuantitas pasokan

ke pasar masih sedikit. Hal ini erat kaitannya dengan adanya pengaruh faktor-

faktor eksternal (iklim, serangan organisme pengganggu tanaman, harga,

infrastruktur) dan rendahnya kemampuan manajerial petani jeruk keprok di dalam

pengalokasian sumberdaya yang mereka miliki. Atas dasar inilah pokok sentral

permasalahan penelitian ini adalah untuk mendalami secara empiris kondisi

produksi usahatani (on farm research) jeruk keprok SoE. Tujuannya adalah agar

dapat ditentukan strategi peningkatan kapasitas manajerial petani dan

pengembangan usahatani jeruk ini di masa depan, apakah berbasiskan pada

efisiensi (dengan teknologi yang sudah ada) atau perubahan teknologi (introduksi

teknologi baru).

Proses produksi yang benar dengan berpatokan pada aspek penggunaan

faktor-faktor produksi yang efisien dan optimal dalam rangka mencapai

kemampuan produksi yang best practice menjadi hal penting dalam

pengembangan usaha menuju usaha yang efisien. Sering ditemukan bahwa banyak
13

petani jeruk keprok tidak mampu mengalokasikan inputnya secara efisien

sehingga tidak mencapai kondisi yang best practice dan mengakibatkan

rendahnya produktivitas. Berkaitan dengan hal ini, maka persoalan pertama yang

akan dikaji di dalam penelitian ini adalah mengapa produksi dan produktivitas

jeruk keprok SoE rendah, baik pada basis ukuran usahatani (farm size) maupun

zona-zona agroklimat yang berbeda.

Ukuran usahatani adalah sangat penting di dalam menentukan efisiensi

khususnya yang berkaitan dengan kemampuan manajerial pengelola usahatani

untuk mengadopsi teknologi dan sumberdaya lainnya untuk menghasilkan

produksi yang efisien. Persoalannya adalah petani jeruk keprok SoE di daerah

TTS memiliki ukuran usahatani yang kecil dan terpencar-pencar, tidak merupakan

suatu hamparan yang kompak.

Sedangkan faktor-faktor agroklimat (suhu, curah hujan, angin,

kelembaban) sangat penting di dalam isu-isu yang berkaitan dengan sistem

pertanian yang berkelanjutan, produktivitas dan efisiensi produksi. Kondisi

agroklimat yang kurang mendukung usahatani jeruk keprok SoE merupakan suatu

variabel penting bagi efisiensi. Di daerah sentra pengembangan jeruk keprok di

TTS, jumlah bulan kering diantara 7-8 bulan dalam setahun yang dimulai sejak

bulan April. Musim berbunga jeruk keprok adalah bulan Agustus setiap tahun, di

mana merupakan puncak kekeringan dan angin kencang di daerah TTS, baik pada

dataran tinggi maupun dataran rendah. Akibatnya, bunga jeruk berguguran dan

produktivitas per pohon pasti rendah. Sejauh ini belum ada modifikasi teknologi

agronomis yang mensiasati kondisi agroklimat tersebut. Kondisi ini diperparah

dengan sistem usahatani lahan kering tanpa pengarian yang memadai.


14

Permasalahan kedua yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah faktor-

faktor apa yang menentukan produktivitas jeruk keprok SoE, pada basis skala

usahatani dan zona agroklimat di daerah lahan kering. Persoalan produktivitas

menjadi hal penting dalam rangka memformulasikan kebijakan pengembangan

usahatani jeruk keprok SoE. Pemahaman akan perbedaan faktor-faktor penentu

produksi baik antara skala maupun zona agroklimat yang berbeda akan

memudahkan pengambil kebijakan untuk meningkatkan produktivitas. Produksi

aktual akan bervariasi antar petani sebagai akibat dari adanya variasi sistem

produksi, kondisi alam, manajemen usaha, ketersediaan dan aplikasi faktor-faktor

produksi dan kualitas tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi

tersebut.

Teknologi budidaya adalah primitif. Rendahnya adopsi teknologi yang

dianjurkan seperti pupuk, obat-obatan dan bibit yang berkualitas merupakan

faktor pengaruh rendahnya produktivitas usahatani jeruk keprok. Selain itu, petani

kurang memperhatikan perawatan tanaman jeruk. Banyak jeruk yang sudah tua

dengan ranting-rantingnya yang sudah berkering turut memperburuk tingkat

produktivitas lahan jeruk. Sistem tanam campur (seperti jeruk dan ubi-ubian) telah

merusak akar tanaman jeruk, akibatnya akar jeruk gampang terserang penyakit.

Penjarangan buah juga hampir tidak pernah dilakukan petani. Hal ini telah

menyebabkan buah jeruk yang dipanen sangat bervariasi dalam hal ukuran dan

tingkat kematangan.

Teknologi panen dan pasca panen kurang memadai. Ini berakibat pada

tingkat produktivitas yang rendah dan kehilangan hasil produk sampai dengan 40

persen (Adar et al., 2005). Dengan dipraktekkannya sistem penjualan borongan


15

per pohon atau per kebun, maka frekuensi panen jeruk sangat tergantung pada

kemauan pembeli. Sering terjadi bahwa panen jeruk dilakukan dua atau tiga kali.

Terkadang pembeli borongan sering meninggalkan buah jeruk yang berukuran

kecil pada pohon bahkan sampai dengan musim berbunga tiba. Akibatnya proses

pembungaan terhambat dan jeruk tidak serempak berbunga. Hal ini akan

berpengaruh pada tingkat produksi tahun berikutnya. Untuk jeruk, sekitar 95

persen para petani tidak menggunakan teknologi pemasaran/pembungkusan yang

benar. Grading, labeling dan perlakuan produk lainnya sebelum/selama/sesudah

penjualan belum dilakukan. Sedangkan teknik/perlakuan pasca panen yang

terdapat pada tingkat para pedagang sangat terbatas dan belum berkembang.

Demikian juga industri pengolahan baik industri rumah tangga maupun industri

berskala menengah ataupun besar belum tersedia. Standar keamanan produk (food

safety) yang merupakan persyaratan mutu yang dikehendaki konsumen belum

dijalankan baik oleh petani maupun pedagang.

Pembiayaan usahatani juga merupakan salah satu permasalahan terkait

dengan pengelolaan usahatani jeruk keprok SoE. Rumahtangga petani pada

umumnya kekurangan modal untuk mengelola usahatani mereka sebelum jeruk

keprok SoE dipanen. Pengalaman-pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa

kredit-kredit untuk petani kebanyakan tidak berhasil karena para petani

memperlakukan kredit sebagai hibah dan tidak memiliki harapan untuk

mengembalikan kredit tersebut. Pengkajian akan sebab-sebab terbentuknya

kondisi ini sangat penting. Kekurangan biaya juga menghambat para petani untuk

menginvestasikan pada input-input produksi dan pemasaran yang sangat

dibutuhkan untuk meningkatkan produksi dan menjaga konsistensi kualitas


16

produk, yang kesemuanya merupakan basis untuk membangun hubungan yang

berkelanjutan dengan para konsumen. Petani sering kekurangan uang tunai pada

saat buah jeruk masih hijau (belum siap dipanen). Untuk menutupi berbagai

kebutuhan uang tunai seperti untuk biaya pendidikan, kesehatan dan kebutuhan

konsumsi, petani sering melakukan sistem penjualan jeruk per pohon atau per kg

sebelum musim panen tiba (forward sale). Metode penjualan ini sangat merugikan

petani karena harga jeruk sangat rendah bila dibandingkan dengan harga jual pada

saat panen. Persoalan kekurangan modal tunai petani ini merupakan hal penting

untuk disimak lebih lanjut melalui penelitian ini.

Permasalahan infrastruktur seperti jalan dan transportasi yang kurang

mendukung efisiensi usahatani jeruk juga merupakan hal yang penting untuk

dikaji. Hal ini sangat terkait dengan besar-kecilnya biaya produksi dan pemasaran

hasil jeruk. Harga-harga faktor produksi yang tidak dapat dijangkau oleh petani

selain karena mereka kekurangan modal, juga karena tingginya biaya

pengangkutan sampai ke tingkat usahatani. Secara geografis, daerah TTS

berkarakteristik berbukit dan bergunung, dan infrastrukturnya kurang memadai.

Konsekuensinya adalah biaya transportasi tinggi khususnya yang berkaitan

dengan distribusi produk-produk dari tingkat usahatani dan distribusi input-input

ke usahatani. Teknik kontainer dingin di bidang hortikultura tidak tersedia.

Penggangkutan jeruk dengan menggunakan kendaraan umum yang tidak

menjamin kualitas jeruk di pasar. Persoalan-persoalan itu dapat berdampak buruk

pada tingkat efisiensi usahatani jeruk keprok.

Dengan melakukan analisis pada faktor-faktor produksi tersebut di atas

(baik faktor internal maupun eksternal), maka akan terjawab pula permasalahan
17

penelitian ketiga yakni apakah produksi jeruk keprok SoE baik pada basis zona

agroklimat maupun ukuran usahatani sudah efisien atau belum.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi performansi usahatani jeruk

keprok SoE di TTS adalah faktor sosial ekonomi petani. Usahatani jeruk keprok

SoE sudah lama dipraktekkan oleh petani di daerah TTS, namun masih dikelola

secara sederhana sehingga produktivitasnya masih rendah yakni hanya sebesar 42

kg/pohon (Adar et al., 2004) dan 16 kg per pohon pada tahun 2008 (BPS, 2009b).

Hal ini diduga karena adanya inefisiensi di dalam penggunaan sumberdaya

usahatani dan rendahnya kemampuan manjerial petani. Dengan demikian,

permasalahan keempat yang akan dikaji di dalam penelitian ini adalah faktor-

faktor apa yang menentukan efisiensi produksi dan bagaimana keterkaitan antar

faktor-faktor tersebut pada sistem usahatani jeruk keprok SoE dan zona

agroklimat di daerah lahan kering. Pemahaman atas sumber-sumber inefisiensi

menjadi aspek penting dalam rangka mengembangkan usahatani jeruk di masa

depan.

Tingkat keterampilan manajerial petani sangat tergantung kepada

variabel tingkat pendidikan (formal dan non formal), umur dan pengalaman

berusahatani. Petani belum memiliki pengetahuan dan keterampilan produksi dan

pengolahan jeruk yang memadai. Masalah keengganan pemuda untuk bertani

yang dialami oleh hampir semua daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur

merupakan hal penting untuk diperhatikan dalam pembangunan pertanian daerah

lahan kering. Umur petani menjadi faktor penting dalam kaitannya dengan

efisiensi produksi karena persoalan regenerasi pengelola dan produktivitas tenaga

kerja usahatani jeruk keprok.


18

Walaupun kontribusi jeruk keprok terhadap pendapatan rumahtangga

petani cukup tinggi (60-75%) namun secara magnitut petani jeruk masih

menerima pendapatan yang rendah karena produksi yang rendah. Pendapatan di

luar usahatani jeruk juga merupakan hal yang berpengaruh pada inefisiensi.

Sistem penjualan jeruk yang didominasi oleh penjualan borongan per pohon pada

saat panen sebesar 79 persen (Adar et al., 2004) dan sistem penjualan lainnya

seperti sistem ijon, borongan per kebun dan penjualan per kilogram merupakan

beberapa variabel yang menentukan efisien-tidaknya sistem usahatani jeruk

keprok SoE. Mayoritas petani melakukan penjualan secara individu. Hal ini

menyebabkan lemahnya posisi tawar mereka di dalam melakukan penjualan jeruk

keprok. Akibat selanjutnya adalah harga yang diterima petani jauh lebih rendah

(34%) dibandingkan dengan yang diterima pedagang (66%) (Adar et al., 2005).

Pola pemasaran kontrak (contract farming) juga belum dipraktekkan petani di

Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Yang sangat penting adalah para pelaku usahatani jeruk keprok SoE

berskala kecil, berketerampilan manajerial yang belum memadai, lemahnya

kelembagaan petani dan berkekurangan teknologi dan strategi agribisnis yang

sistematik untuk produk mereka. Hal ini termasuk kekurangan informasi pasar

seperti data pada tingkat harga pada berbagai level pemasaran, daya beli

konsumen, pola konsumsi, tingkat pertumbuhan pasar dan preferensi pasar untuk

produk-produk mereka (Wei et al., 2002; Woods et al., 2002 dan Adar et al.,

2005). Penentuan harga jeruk didominasi oleh para pedagang baik di pedagang

desa, kecamatan maupun pedagang kabupaten atau provinsi. Petani juga tidak

memiliki tempat penjualan jeruk yang khusus di pasar. Ketersediaan informasi


19

pasar untuk para petani merupakan faktor-faktor penarik bagi mereka untuk bisa

mengerti bahwa pengelolaan pada tingkat usahatani dan pasca panen merupakan

kesuksesan di pasar. Salah satu sarana untuk memperoleh informasi pasar adalah

melalui mitra, misalnya dengan membuat langganan dengan pedagang atau mitra

bisnis lainnya. Namun hal ini sulit dilakukan karena kendala sosial seperti

perbedaan pendidikan, status sosial dan ekonomi di antara petani dan pedagang.

Masalah-masalah tersebut di atas menyebar hampir merata pada semua

rumah tangga petani di mana 78% dari total penduduk TTS adalah petani. Sejak

tahun 1997 sampai tahun 2009, daerah ini termasuk di dalam program

pengentasan kemiskinan nasional. Program ini berfokus pada perbaikan produksi

pertanian. Target-targetnya adalah peningkatan produksi dan nilai tambah

komoditi pertanian sehingga dapat berkompetisi secara efisien baik di pasar

regional, nasional maupun internasional. Nilai tambah dari komoditi hortikultura

merupakan hal yang sangat penting mengingat kondisi geografis NTT yang

berbukit/bergunung dan biaya transportasi yang tinggi.

Analisis terhadap efisiensi produksi merupakan suatu faktor penting

terhadap pertumbuhan produktivitas, penguatan kapasitas/kemampuan manajerial

dan kelembagaan petani serta stabilisasi produksi jeruk keprok SoE khususnya di

dalam pengembangan ekonomi rumahtangga petani. Berkaitan dengan hal-hal ini,

maka permasalahan kelima yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah

upaya-upaya apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dan

efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE di masa datang dan untuk

mengembangkan model produksi stokastik frontier yang khas tanaman tahunan

dengan pendekatan fungsi produksi stochastic frontier dan data cross section.
20

Pemahaman terhadap sejauhmana kondisi efisien-tidaknya produksi jeruk keprok

SoE dapat membantu petani untuk memutuskan apakah mereka perlu

memperbaiki efisiensi produksi atau mengembangkan teknologi baru untuk

meningkatkan produktivitasnya.

Walaupun sudah banyak studi efisiensi yang dilakukan oleh para peneliti

di bidang pertanian, namun lebih banyak ditujukan pada tanaman semusim atau

produk peternakan dengan menggunakan data panel dan pendekatan primal, dan

masih sangat sedikit analisis yang dilakukan terhadap tingkat efisiensi jeruk (salah

satu tanaman tahunan), dan lebih khusus lagi di daerah dengan karakteristik khas

lahan kering. Estimasi yang menggambarkan tingkat efisiensi teknis produksi

tanaman tahunan, antar skala usahatani dan antar zona agroklimat dengan data

cross-section dan pendekatan fungsi produksi stokastik frontier, mungkin dapat

melengkapi literatur produksi stokastik frontier dan membantu para petani kecil

dan stakeholders terkait lainnya di NTT untuk meningkatkan produktivitas,

kapasitas, memperkuat kelembagaan petani, memperluas jangkauan pemasaran

dan meningkatkan pendapatan rumah tangga mereka di masa datang.

Daerah dataran tinggi (dengan ketinggian tempat berada pada > 500 m

≤ 7 bulan setahun) dan dataran rendah (dengan


dpl dan jumlah bulan kering

ketinggian tempat berada pada≤ 5 0 0 m d pl dan jumlah bulan k erin g > 7 bulan

setahun) memiliki karaketeristik usahatani yang khas. Hal ini membutuhkan

pendekatan pembangunan pertanian yang spesifik pula. Namun kenyataanya, pola

pendekatan pengembangan usahatani jeruk keprok SoE adalah sama untuk kedua

daerah dengan karakteristik yang berbeda tersebut. Sejauh pengetahuan peneliti

dan hasil studi pustaka terdahulu menunjukkan bahwa sistem pengembangan jeruk
21

keprok SoE kurang memperhatikan kecocokan dan kekhasan zona agroklimat

masing-masing. Yang pasti, faktor-faktor yang menentukan tinggi-rendahnya

produksi dan efisiensi jeruk keprok SoE pada masing-masing zona tersebut adalah

berbeda. Hasil penelitian yang berbasiskan pada masing-masing zona

pengembangan jeruk keprok ini dapat merekomendasikan pendekatan

pembangunannya yang khas zona di masa datang.

Dari gambaran yang telah diuraikan di atas, secara ringkas dirumuskan

beberapa permasalahan pokok studi yakni untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

mengapa adanya kesenjangan (gap) pada tataran empiris khususnya kesenjangan

produktivitas aktual dan potensial usahatani JKS, fenomena penurunan luas areal

panen usahatani JKS, pilihan wilayah pengemabngan usahatani JKS yang

menghasilkan produktivitas dan efisiensi produksi yang tinggi, dan pada tataran

teori efisiensi berbasiskan tanaman tahunan. Secara detail permasalahan-

permasalahan penelitian ini adalah:

1. Bagaimana meningkatkan produktivitas usahatani jeruk keprok SoE, baik

pada daerah dataran tinggi maupun dataran rendah?

2. Bagaimana meningkatkan efisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE, baik

pada daerah dataran tinggi maupun dataran rendah?

3. Upaya-upaya apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas

dan efisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE, baik pada daerah dataran

tinggi maupun dataran rendah?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang sudah diuraikan di atas,

secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari faktor-faktor penentu
22

produktivitas dan efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE berdasarkan zona

agroklimat (dataran tinggi dan rendah) dan ukuran usahatani (kecil dan besar)

dengan pendekatan fungsi produksi stokastik frontier dan data cross section di

daerah lahan kering di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara khusus, tujuan

penelitian ini adalah untuk:

1. Mengidentifikasi dan menjelaskan faktor-faktor penentu produktivitas

usahatani jeruk keprok SoE berdasarkan zona agroklimat dan ukuran

usahatani.

2. Menelaah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efisiensi dan inefisiensi

teknis usahatani jeruk keprok SoE berdasarkan zona agroklimat dan ukuran

usahatani.

3. Merumuskan upaya-upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi teknis

usahatani jeruk keprok SoE berdasarkan zona agroklimat dan ukuran

usahatani.

1.4. Kegunaan Penelitian

Usahatani jeruk keprok SoE memiliki kesempatan yang cukup luas

untuk meningkatkan produktivitasnya melalui penyediaan input usahatani dan

teknologi serta strategi pascapanen yang lebih baik yang bisa menjamin kualitas

jeruk keprok SoE yang tinggi. Usahatani di Provinsi Nusa Tenggara Timur

mempunyai potensi jeruk keprok SoE yang cukup besar tetapi keragaannya masih

jauh dari standar yang memuaskan terutama di dalam hal produktivtas, efisiensi,

dan pengembangan teknologi produksinya. Dengan ditelaahnya tingkat

produktivitas dan efisiensi produksi usahatani lahan kering, maka lahan potensial

yang masih cukup tersedia di Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk


23

pengembangan jeruk keprok SoE dapat didayagunakan sebagai sumber

pendapatan yang dapat menjamin kesejahteraan hidup petani lahan kering.

Penelitian ini akan memberikan kegunaan langsung bagi para petani di

daerah lahan kering, pelaku usaha dan instansi terkait dengan usahatani jeruk

keprok SoE di Provinsi NTT. Diharapkan bahwa hasil pengkajian terhadap tingkat

produktivitas dan efisiensi produksi serta faktor-faktor penentunya dapat dijadikan

sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola usahatani jeruk sehingga lebih

efisien, produktif dan berdayasaing. Diantisipasikan pula bahwa dengan

menelaah beberapa penyebab dari masalah-masalah pertanian lahan kering di TTS

dan dengan adanya pengertian yang lebih baik tentang kebutuhan-kebutuhan

teknologi produksi dan pascapanen jeruk di daerah lahan kering, maka penelitian

ini akan merupakan sumber informasi yang sangat berharga bagi agenda

penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan yang diprogramkan

pemerintah.

Bagi para pengambil keputusan kebijakan di bidang pembangunan

pertanian, hasil studi ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang berharga.

Identifikasi terhadap berbagai faktor pengaruh, terutama sumber-sumber

produktivitas dan efisiensi teknis produksi dapat dijadikan bahan masukan

maupun rekomendasi bagi penentu kebijakan dalam merencanakan dan

mengembangkan jeruk keprok SoE di waktu mendatang, pada basis zona

agroklimat dan ukuran usahatani. Rekomendasi telah diarahkan seberapa besar

tingkat produksi dan efisiensi serta teknologi pascapanen yang perlu diperbaiki

dalam rangka meningkatkan produktivitas usahatani jeruk keprok SoE bagi petani

di daerah lahan kering pada karakteristik zona-zona agroklimat spesifik lahan


24

kering dan ukuran-ukuran usahatani tertentu, serta strategi apa yang perlu

dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan petani/pelaku usaha jeruk kerpok

SoE di Kabupaten TTS. Informasi yang serupa bisa saja diaplikasikan di

kabupaten lain di NTT terutama untuk pengembangan jeruk keprok varietas lain

seperti jeruk keprok Ende di Kabupaten Ende dan keprok Manggarai di

Kabupaten Manggarai (keduanya di pulau Flores) dan jeruk keprok Sumba di

pulau Sumba.

Dengan adanya perbaikan tingkat produktivitas dan efisiensi produksi

usahatani jeruk keprok SoE diharapkan bahwa suplai jeruk produksi dalam negeri

khususnya varietas keprok dapat meningkat sehingga jumlah impor dapat

dikurangi dalam tataran skala tertentu. Dalam jangka panjang, perbaikan tingkat

produktivitas dan efisiensi usahatani dapat menstabilkan pendapatan petani dan

meningkatkan produktivitas lahan kering dan bahkan dapat dijadikan sebagai

sumber bagi pertumbuhan ekonomi regional, penyediaan lapangan kerja dan

sumber devisa negara Indonesia. Di masa datang, kedekatan secara geografis

dengan negara Timor Leste dan Australia merupakan suatu potensi pasar ekspor

yang besar bagi jeruk keprok di NTT.

Hasil pengkajian ini, kiranya juga dapat menambah khasanah ilmu

pengetahuan bidang penelitian produktivitas dan efisiensi produksi terhadap satu

atau beberapa teori ekonomi produksi di bidang hortikultura terutama tanaman

tahunan, khususnya komoditas jeruk keprok di daerah lahan kering. Untuk

mengisi dan menambah kekayaan literatur efisiensi produksi tanaman tahunan,

penelitian ini mungkin berkontribusi terhadap pengembangan model fungsi

produksi stokastik frontier untuk analisis produktivitas dan efisiensi teknis dengan
25

pendekatan fungsi produksi dan data cross-section, antar ukuran usahatani dan

zona agroklimat. Bagi kalangan akademisi seperti mahasiswa, dosen dan peneliti,

informasi dari hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi kegiatan penelitian

lanjutan secara lebih mendalam dalam pengembangan metodologi pengkajian

efisiensi (terutama efisiensi ekonomi) maupun pengembangan produktivitas

komoditas jeruk keprok SoE.

1.5. Novelties

Penelitian efisiensi yang dilakukan oleh para peneliti terdahulu di bidang

pertanian sudah banyak, namun lebih ditujukan pada tanaman semusim atau

produk peternakan dengan menggunakan data panel dan pendekatan primal, dan

masih sangat sedikit analisis yang dilakukan terhadap tingkat produktivitas dan

efisiensi jeruk (salah satu tanaman tahunan), dan lebih khusus lagi di daerah

dengan karakteristik khas daerah lahan kering. Penelitian tentang jeruk keprok

SoE sudah pernah dilakukan terutama dari sudut pandang kelayakan finansial dan

pemasarannya. Sedangkan penelitian efisiensi teknis jeruk keprok SoE, sampai

penelitian ini dilakukan, belum pernah diadakan. Dari tataran teoritis dan

metodologis, estimasi yang menggambarkan tingkat efisiensi teknis antar zona

agroklimat dan antar ukuran usahatani lahan kering dengan data cross-section dan

pendekatan fungsi produksi stokastik frontier model khas tanaman tahunan

merupakan novelties dari penelitian ini. Selain itu, dari tataran empiris, strategi-

strategi yang diformulasikan di dalam penelitian ini yang ditujukan untuk

meningkatkan produksi, produktivitas, efisiensi dan kemampuan petani untuk

mengelola usahatani jeruk keprok SoE di daerah lahan kering juga merupakan

konsep perbaikan yang telah direkomendasikan untuk dapat dipergunakan di


26

dalam pengembangan usahatani jeruk keprok SoE di Provinsi Nusa Tenggara

Timur. Penelitian ini juga akan merekomendasikan zona agroklimat dan ukuran

usahatani mana yang lebih sesuai untuk mengembangkan jeruk keprok SoE.

Pendekatan pengembangan jeruk keprok SoE dengan fokus pada zona agroklimat

dan ukuran usahatani yang memberikan tingkat produktivitas dan efisiensi

produksi yang lebih baik dari zona dan ukuran usahatani lainnya dapat sangat

bermanfaat bagi upaya peningkatan pendapatan petani jeruk keprok di masa

datang.

1.6. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini hanya difokuskan pada aspek (teknologi) produksi di

tingkat petani dengan pendekatan fungsi produksi frontier, dengan bentuk fungsi

translog untuk menganalisis faktor-faktor penentu produksi dan efisiensi teknis

pada dua zona agroklimat dan dua ukuran usahatani jeruk keprok SoE di daerah

lahan kering. Aspek lain di luar produksi, seperti teknologi panen, pascapanen,

pemasaran dan kebijakan-kebijakan terkait dengan manajemen produksi

dielaborasi dengan mewawancarai informan kunci untuk memperoleh informasi

yang mendukung hasil dan pembahasan hasil penelitian keragaan usahatani dan

efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE ini.

Keterbatasan-keterbatasan penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini tidak menganalisis nilai ekonomi dari diversifikasi tanaman.

Dalam kenyataannya, rumahtangga petani di daerah penelitian

mengusahakan berbabai jenis tanaman di kebun mereka, dalam rangka

ketahanan pangan (self insurance mechanism).


27

2. Idealnya, analisis efisiensi produksi meliputi efisiensi teknis, alokatif dan

ekonomis. Namun, analisis efisiensi alokatif dan ekonomis dari produksi

jeruk keprok SoE tidak dilakukan di dalam penelitian ini dengan alasan-

alasan sebagai berikut:

a. Alasan pada tataran empiris

Permasalahan utama usahatani jeruk keprok SoE adalah

rendahnya produksi dan produktivitas sebagai akibat adanya persoalan-

persoalan yang terkait erat dengan teknologi budidayanya. Dengan kata

lain, petani jeruk belum mampu memproduksi jeruk keprok SoE yang

tinggi dengan input-input yang digunakannya. Petani belum menerapkan

teknologi budidaya yang sesuai dengan petunjuk teknis. Usahatani jeruk

kerpok SoE daerah lahan kering di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih

merupakan usahatani tradisional dengan kharakteristik seperti ukuran

usahatani kecil dengan sistem penanaman campuran pada pekarangan

rumah petani, umur tanaman beragam, tanpa teknologi konservasi lahan

yang mampu meningkatkan kesuburan tanah, penggunaan bibit yang tidak

berlabel, tanpa pupuk dan pestisida kimia yang dapat meningkatkan

produktivitas yang tinggi, infrstrauktur yang kurang memadai (terutama

untuk perbenihan, pengairan dan jalan usahatani), minimnya perawatan

kebun, teknologi panen dan pascapanen yang kurang memadai serta

motivasi petani yang kurang kuat.

Dengan demikian, prioritas pemecahan permasalahan penelitian

lebih ditujukan pada usaha-usaha peningkatan produktivitas dari

penggunaan input-input usahatani jeruk yang ada. Pada tataran ini, analisis
28

efisiensi alokatif (efisiensi biaya atau efisiensi harga) yang menekankan

penggunaan input pada proporsi yang optimal pada harga dan teknologi

yang ada atau pada kondisi biaya input minimum belum merupakan hal

yang diutamakan sepanjang produktivitas usahatani jeruk masih rendah

(secara teknis belum efisien).

b. Alasan pada tataran metodologis

Persoalan pada tataran ini adalah ketersedian data harga-harga

input dan alat analisis data yang belum tersedia. Di dalam melakukan

analisis efisiensi biaya beberapa hal yang diperlukan adalah seperti berikut

ini:

i. Membutuhkan bentuk fungsi khusus seperti fungsi Cobb-Douglas

karena memiliki self-dual (dualitas terhadap dirinya) sehingga secara

eksplisit dapat diturunkan. Sedangkan fungsi yang lebih fleksibel

seperti fungsi translog tidak dapat digunakan untuk mengestimasi

fungsi biaya karena tidak dapat digunakan untuk menurunkan fungsi

permintaan inputnya. Efisiensi Ekonomi dapat didekomposisikan ke

dalam komponen teknis dan alokatif jika fungsi produksi yang

diaplikasikan untuk mengestimasi fungsi biaya itu dapat secara

eksplisit diturunkan (hal ini dapat dilakukan jika bentuk fungsi Cobb-

Douglas digunakan karena fungsi ini memiliki dualitas terhadap

dirinya sendiri (self-dual), dibandingkan dengan fungsi yang fleksibel

seperti fungsi translog) (Schmidt dan Lovell, 1979).

ii. Membutuhkan ketersediaan data harga-harga input dan output. Data

harga-harga tersebut harus bervariasi antar usahatani. Yang menjadi


29

permasalahannya adalah bahwa data harga di tingkat petani tidak

tersedia dan berlaku sama untuk semua usahatani.

iii. Perhitungannya tidak secara otomatis dilakukan oleh beberapa

program komputer terutama FRONTIER dan LIMDEP.

iv. Permasalahan utama dengan sistem persamaan simultan untuk

estimasi forntier biaya adalah berkaitan dengan pemilihan cara yang

sesuai untuk merepresentasikan hubungan antara inefisiensi alokatif

(ui) di dalam kesalahan pengganggu dari persamaan permintaan input

dan error term dari inefisiensi alokatif yang muncul di dalam frontier

biaya. Masalah ini sampai kini belum teratasi (Coelli et al., 1998).

3. Karena ketidak-tersediaan data seri waktu (time series data), maka

penelitian ini tidak dapat memperhitungkan perubahan teknologi antar

waktu yang merupakan faktor penting di dalam analisis produktivitas

tanaman tahunan. Periode analisis dalam penelitian ini adalah short run dan

hanya pada musim produksi tahun 2009/2010. Dengan ketersediaan data seri

waktu, maka perubahan teknologi dan efisiensi teknis beserta determinan-

determinanya antar waktu dapat diketahui dengan jelas.

4. Tidak semua koefisien estimasi dari model efisiensi dan inefisiensi teknis di

dalam penelitian memiliki tanda sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa

hasil estimasi juga tidak konsisten dengan harapan sebelumnya. Masalah ini

diduga berasal dari data survei yang digunakan. Akurasi data hasil

wawancara dengan petani responden yang digunakan di dalam penelitian ini

memiliki kelemahan sejak data yang diperoleh bersumber dari kemampuan

responden untuk mengingat informasi beberapa waktu (tahun-tahun) yang


30

telah berlalu. Para petani responden tidak memiliki catatan usahatani tentang

penggunaan input produksi mereka. Permasalahan akurasi data juga

mungkin berasal dari kemampuan responden di dalam memahami

pertanyaan-pertanyaan kuesioner penelitian.

5. Keterbatasan lainnya adalah jumlah sampel yang terbatas. Hal ini dapat saja

mempengaruhi gangguan-gangguan yang berkaitan dengan statisik

(statistical error), terutama di dalam hal pengujian hipotesis.

6. Pada analisis efisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE, faktor-faktor

agroekologi seperti tingkat kesuburan tanah, hama dan penyakit tanaman,

suhu, curah hujan, dan fakror-faktor sosial ekonomi seperti budaya kerja,

orientasi usahatani dan faktor budaya lainnya tidak diidentifikasi dan

dimodelkan di dalam penelitian ini karena ketiadaan datanya. Dengan

demikian, interpretasi hasil penelitian ini perlu dilakukan dengan hati-hati

dan sebatas serta sesuai dengan variabel-variabel analisisnya.


I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jeruk adalah komoditas yang bernilai ekonomi tinggi (high economic

value commodity) dan merupakan salah satu buah yang cukup banyak digemari

masyarakat pada berbagai kalangan. Rasa dan kemudahan cara menyajikan dan

mengkonsumsi jeruk, harga buah yang relatif murah, daya simpan buah yang

cukup lama serta kandungan gizi yang tinggi mendorong minat masyarakat untuk

mengkonsumsi buah ini cukup tinggi.

Pada tahun 2007, dengan total produksi jeruk 2 565 543 ton (Departemen

Pertanian, 2008a), Indonesia telah masuk di jajaran 10 besar produsen jeruk dunia

(posisi ke sembilan). Produksi jeruk Indonesia pada tahun 2008 meningkat

menjadi 2 625 884 ton dan memposisikan Indonesia menjadi Negara produsen

terbesar ke enam di dunia setelah Brazil, USA, Mexico, India dan China (FAO,

2010). Pada tahun yang sama, untuk kelompok jeruk keprok Indonesia berada

pada posisi kedua setelah China. Hampir 97.3% pertanaman jeruk yang ada di

Indonesia merupakan jeruk Siam dan keprok dengan produktivitas yang rendah

dan mutu buah yang tidak seragam. Musim panen yang relatif bersamaan pada

bulan Mei, Juni dan Juli seringkali mengakibatkan harga rendah dan sangat

merugikan petani.

Pengembangan komoditas jeruk menyebar di seluruh wilayah di

Indonesia. Sifat tanaman jeruk yang relatif cepat berbuah, potensi produksi dan

produktivitas yang cukup tinggi, daya adaptasi yang luas, serapan pasar yang

cukup tinggi serta dukungan informasi dan teknologi perjerukan yang lebih maju

yang ditawarkan pemerintah adalah merupakan beberapa pertimbangan para


2

petani maupun pekebun buah untuk memilih jeruk sebagai tanaman yang

diusahakan. Nilai ekonomis jeruk tercermin dari tingkat kesejahteraan petani jeruk

dan keluarganya yang relatif baik. Komoditas jeruk dapat tumbuh dan diusahakan

petani di dataran rendah hingga dataran tinggi dengan varietas/spesies komersial

yang berbeda, dan dapat dikonsumsi oleh masyarakat pada berbagai golongan

pendapatan.

Badan Internasional, Food and Agricultural Organisation (FAO),

menunjukkan bahwa konsumsi buah-buahan Indonesia hanya sebesar 34.06 kg

(2007) dan 40.09 kg (2008) per kapita per tahun; jauh lebih rendah bila

dibandingkan dengan Jepang dan AS yang masing-masing 120 kg dan 75 kg per

kapita per tahun. FAO merekomendasikan konsumsi buah-buahan sebanyak 65.75

kg per kapita per tahun (Departemen Pertanian, 2008b). Pada tahun 2003,

konsumsi jeruk dalam negeri baru mencapai 2.9 kg per kapita per tahun.

Sedangkan tahun 2005 adalah sebesar 3.5 kg per kapita per tahun. Angka-angka

ini masih berada di bawah rata-rata konsumsi jeruk di negara-negara berkembang

yaitu sekitar 6.9 kg per kapita per tahun, sedangkan pada negara maju dapat

mencapai 32.6 kg per kapita per tahun (Departemen Pertanian, 2007).

Diperkirakan, kecenderungan konsumsi jeruk dalam negeri akan meningkat

sebesar 10% setiap tahun. Hal ini sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk

dan gaya hidup penduduk yang lebih mementingkan konsumsi buah-buahan

bermutu. Sampai dengan tahun 2006, peningkatan kebutuhan konsumsi jeruk

dalam negeri tidak dapat diimbangi dengan produksi domestik. Hal ini telah

menyebabkan banjirnya jeruk impor masuk ke Indonesia. Walaupun data yang

diperoleh berfluktuasi, impor buah jeruk Indonesia terus meningkat. Pada tahun
3

2001 jumlah impor jeruk segar sebesar 77 855 ton; pada tahun 2004 telah

mencapai 95 744 ton; tahun 2006 berjumlah 96 584 ton dan pada tahun 2008

berjumlah 143 600 ton (Departemen Pertanian, 2008b dan FAO, 2010). Namun

demikian, jeruk Indonesia juga telah mampu menembus pasar luar negeri

(ekspor) meskipun dalam volume yang relatif kecil. Volume ekspor jeruk

Indonesia lebih banyak berupa produk jeruk segar. Pada tahun 2003, volume

ekspor jeruk Indonesia mencapai 1 158 ton dan pada tahun 2006 menurun menjadi

470.76 ton. Hal ini tidak sejalan dengan meningkatnya luas panen dan produksi

jeruk Indonesia selama kurun waktu 2003-2006 sebesar masing-masing 17.90%

dan 22.40%.

Potensi ekonomi jeruk secara nasional patut diperhitungkan sebagai salah

satu sumber pendapatan asli. Kontribusi jeruk terhadap Produk Domestik Bruto

(PDB) sektor pertanian pada tahun 2003 mencapai Rp. 2 339 milyar (atau lebih

dari 2.3 trilyun rupiah). Sedangkan pada tahun 2006 sebesar Rp. 6 129.08 milyar

(atau lebih dari 6.1 trilyun rupiah) (Departemen Pertanian, 2008b).

Produksi jeruk di Indonesia didominasi oleh jenis jeruk siam (60.6%),

disusul jeruk keprok (36.7%), jeruk besar (pamelo) (1.7%), jeruk manis (1.0%)

dan grape fruit (0.14%) (Departemen Pertanian, 2009a). Jeruk keprok (Citrus

reticulata Blanco) dipahami berasal dari daratan China bagian Tenggara sehingga

orang Eropa menyebutnya jeruk mandarin. Penyebarannya ke beberapa negara di

Eropa diduga melalui jalur perdagangan dengan China pada masa lalu; sedangkan

jeruk keprok di Indonesia diduga dibawa oleh orang Eropa selama masa

penjajahan. Jeruk Keprok merupakan salah satu jeruk harapan yang nantinya

mampu menggantikan pasar jeruk-jeruk impor (substitusi jeruk impor), seperti


4

jeruk Keprok varietas Grabag, Tawangmangu, Batu 55, Garut, SoE, serta varietas

introduksi seperti jeruk Freemont, Sunkist, Murcott dan Chokun.

Jeruk keprok telah diketahui secara luas oleh masyarakat Indonesia dan

merupakan jenis buah-buahan yang tergolong sedikit lebih mahal. Produksi jeruk

keprok di Indonesia berlokasi di berbagai daerah. Kebanyakan jeruk keprok

domestik yang ada di pasar-pasar di Indonesia diidentifikasi dengan “label

daerah”. Setiap daerah pada umumnya membudidayakan satu komoditi spesial

yang sesuai dengan kondisi iklim (angin, curah hujan dan suhu udara) dan kondisi

daerah yang bersangkutan. Komoditas tersebut berhubungan dengan daerah itu.

Sebagai contoh, keprok madura di pulau Madura, keprok Batu, keprok

Tawangmangu, keprok Garut, keprok Berasitepu di daerah Brastagi, Sipirok dari

Padang, keprok Siompu dari Sulawesi Tengah, keprok SoE di Provinsi Nusa

Tenggara Timur (NTT) dan daerah lainnya di Indonesia (Departemen Pertanian,

2009b).

Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu dari antara

sembilan provinsi daerah sentra pengembangan jeruk keprok di Indonesia. Di

antara berbagai jenis buah-buahan yang diproduksi oleh para petani di provinsi

NTT, dari segi luas panen selama tahun 2004 hingga 2008, jeruk keprok

menduduki tempat ketiga setelah pisang dan Alpukat. Sedangkan dari segi jumlah

produksi selama periode tersebut, jeruk ini menempati urutan keempat setelah

pisang, mangga dan alpukat (Dinas Pertanian, 2010a).

Dari 20 Kabupaten/Kota daerah pengembangan jeruk keprok di NTT,

Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menyumbang sebesar 23% terhadap total

produksi jeruk keprok di NTT dan merupakan daerah prioritas pertama dengan
5

konsentrasi pengembangan jeruk varietas keprok SoE. Jeruk Keprok SoE

merupakan satu-satunya varietas yang dikembangkan di daerah TTS dan sejak

tahun 1998 telah dijadikan sebagai komoditas andalan baik tingkat Provinsi NTT

maupun Kabupaten TTS.

Hasil pengakajian Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura

Provinsi NTT menunjukkan bahwa secara agroekologi (keadaan iklim dan tanah),

jeruk keprok SoE layak untuk dikembangkan di TTS. Data produksi jeruk keprok

SoE di TTS menunjukkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun, namun data

luas lahan berfluktuatif. Pada tahun 2005, luas panen jeruk keprok SoE adalah 1

445 ha dan meningkat menjadi 2 218 ha pada tahun 2006, tetapi menurun menjadi

1 218 ha pada tahun 2009. Pemerintah kabupaten merencanakan untuk

meningkatkan luas panen sebesar 7 050 ha sampai dengan tahun 2013. Dari segi

produktivitas, pada tahun 2004, produktivitas jeruk ini hanya 2.2 ton per hektar,

tahun 2005 meningkat menjadi 2.7 ton dan tahun 2006 sebesar 3.5 ton per hektar

(Dinas Pertanian, 2007a). Pada tahun 2009, produktivitas jeruk keprok SoE

meningkat menjadi 4.5 ton per hektar (Dinas Pertanian, 2010a), tetapi masih

berada di bawah produksi nasional 26.2 ton per hektar (BPS, 2010c). Sedangkan

secara potensial, produktivitas jeruk keprok adalah sebesar 69 ton per hektar.

Jeruk keprok SoE bukan saja telah menjadi primadona petani di NTT

tetapi juga bagi konsumen lainnya di Indonesia yang direfleksikan oleh hasil

survei konsumen di Surabaya dan Denpasar (Mason et al., 2002 dan Adar et al.,

2005). Keprok SoE memiliki warna campuran kuning keemasan dengan warna

hijau (beberapa mendekati 100% kuning-keemasan), rasanya manis, tekstur

lembut, mudah dikupas dan kadar air cukup. Karakteristik-karakteristik tersebut,


6

telah membuat jeruk keprok SoE memiliki kualitas yang tidak tertandingi di

Indonesia (menjuarai perlombaan buah tingkat nasional dengan predikat pertama

selama tiga tahun berturut-turut yaitu tahun 2003, 2004 dan 2005).

Dalam era otonomi daerah setiap wilayah dituntut untuk mampu

mengembangkan potensi yang dimiliki, termasuk memilih jenis komoditas yang

akan dikembangkan di daerah tersebut. Di Kabupaten TTS komoditas jeruk

keprok SoE merupakan komoditas unggulan daerah yang dapat diharapkan

menjadi salah satu sumber pendapatan daerah dan petani. Kontribusi dari jeruk

keprok SoE terhadap pendapatan rumah tangga petani jeruk adalah sebesar 60-

75% (Adar et al., 2005). Jeruk ini dibudidayakan hampir di setiap pekarangan

rumahtangga petani di TTS. Bahkan di beberapa kecamatan sentra

pengembangannya seperti di kecamatan Mollo Utara, Fatumnasi dan Mollo

Selatan, komoditas ini merupakan sumber utama pendapatan tunai petani. Hasil

penelitian Milla et al. (2002) menunjukkan bahwa dari segi ekonomi, jeruk keprok

SoE sangat layak untuk dikembangkan. Secara sosial, komoditas ini sudah

menjadi bagian dari kehidupan masyarakat TTS secara turun temurun dan sudah

lama diusahakan oleh mereka sejak tahun 1930-an. Jeruk keprok SoE merupakan

salah satu sarana yang penting dalam kehidupan sosial masyarakat.

Dukungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi NTT dan

Kabupaten TTS terhadap komoditas ini sangat tinggi. Hal ini terbukti dengan

adanya berbagai proyek pengembangan komoditas ini, baik yang dibiayai oleh

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun melalui bantuan luar negeri. Jeruk

keprok SoE sudah dipromosikan dengan sangat baik oleh Pemerintah Provinsi

NTT dan dibudidayakan secara luas di beberapa kecamatan di kabupaten Timor


7

Tengah Selatan (SoE adalah ibu kota Kabupaten TTS). Balai Benih Induk (BBI)

milik Pemerintah Provinsi NTT didirikan secara khusus untuk menyediakan bibit

jeruk keprok SoE secara eksklusif kepada petani di dataran tinggi dan di dataran

rendah. Hal ini didukung pula dengan adanya larangan dari pemerintah terhadap

masuknya bibit jeruk lain dari luar daerah NTT.

Pemerintah Daerah NTT bekerjasama dengan Pemerintah Jepang melalui

Pemerintah Pusat, telah melaksanakan proyek pengembangan produksi dan pasca

panen jeruk keprok SoE sejak tahun 1998-2002 yang disebut dengan proyek

OECF (Overseas Economic Corporation Fund). Dalam kenyataannya,

pelaksanaan dan keberhasilan berbagai upaya tersebut pada usahatani jeruk

keprok SoE di kabupaten ini masih rendah. Hasil penelitian Adar et al. (2005)

menunjukkan bahwa produktivitas jeruk keprok SoE adalah 42 kg per pohon.

Tingkat produktivitas ini masih dikategorikan lebih rendah bila dibandingkan

dengan hasil uji coba lapangan di Balai Benih Induk milik Pemerintah Provinsi

NTT yang berlokasi di Oebubuk TTS pada tahun 2002 dan hasil penelitian Ditjen

Bina Produksi Hortikultura sebesar 50-250 kg/pohon/musim (Departemen

Pertanian, 2003).

Pengentasan kemiskinan bagi petani dan usahatani hortikultura

khususnya jeruk keprok SoE merupakan prioritas penelitian di Kabupaten TTS.

Selain tinggkat produktivitas jeruk keprok SoE per pohon yang masih rendah

(Dinas Pertanian, 2007c), dilaporkan juga bahwa masih terdapat ketidak-cukupan

permintaan pasar untuk varietas yang dihasilkan di TTS ini. Besarnya kontribusi

jeruk keprok SoE terhadap pendapatan petani jeruk, layaknya secara agroekologi

dan finansial untuk dikembangkan dan seriusnya perhatian pemerintah terhadap


8

jeruk keprok ini merupakan indikator bahwa komoditas ini sangat penting dan

perlu diperhitungkan sebagai salah satu sumber perekonomian daerah NTT pada

umumnya dan Kabupaten Timor Tengah Selatan secara khusus.

Permasalahan rendahnya produksi, produktivitas dan kualitas jeruk

keprok SoE diduga karena belum efisiennya proses produksi dan kurang

memadainnya kemampuan petani untuk mengelola usahatani jeruk keprok. Hal-

hal ini mendorong perlu adanya kebutuhan akan analisis efisiensi teknis produksi

untuk membantu memformulasikan kebijakan pengembangan jeruk keprok SoE

terutama dalam hal peningkatan kemampuan pengelola usahatani dan

penghapusan kendala peningkatan produktivitasnya. Efisiensi merupakan suatu

hal yang penting bagi pertumbuhan produktivitas dan stabilisasi produksi jeruk

keprok SoE. Gambaran sejauhmana tingkat efisiensi teknis produksi usahatani

jeruk keprok SoE akan sangat membantu untuk mengambil keputusan apakah

memperbaiki efisiensi, ataukah mengembangkan teknologi baru untuk

meningkatkan produktivitas jeruk keprok SoE di NTT.

Dengan studi kasus pada jeruk keprok SoE di Kabupaten TTS di Pulau

Timor bagian barat, penelitian ini merupakan suatu usaha penghimpunan data

pelengkap bagi Pemerintah Indonesia umumnya dan NTT khususnya di bidang

pembangunan hortikultura di daerah lahan kering. Sembilan puluh delapan persen

(98%) (Adar et al., 2005) segmen pasar jeruk keprok SoE adalah di pulau Timor,

NTT dan sisanya (2%) dipasarkan di luar NTT. Kajian terhadap efisiensi teknis

usahatani jeruk keprok SoE spesifik daerah lahan kering dapat membantu

memperluas peluang peningkatan produktivitas, perbaikan kualitas dan

pendapatan petani serta pengembangan pemasaran produk ini di masa datang.


9

Dengan demikian, upaya peningkatan produksi, mutu dan daya saing produk

merupakan kegiatan prioritas yang perlu didukung dengan upaya peningkatan

kemampuan petani untuk mengelola usahatani dan mengembangkan pasar dan

promosi. Kegiatan-kegiatan tersebut akan berdampak positif pada pertumbuhan

ekonomi regional, penyediaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan

petani/pelaku usaha jeruk keprok SoE.

1.2. Perumusan Masalah

Permintaan akan komoditas-komoditas bernilai ekonomi tinggi (high

economic value commodities) seperti, untuk menyebutkan salah satunya, jeruk di

Indonesia senantiasa meningkat. Hal ini sejalan dengan bertambahnya jumlah

penduduk, meningkatnya pendapatan dan selera atau gaya hidup masyarakat dan

berkembangnya industri pengolahan bahan makanan/minuman dalam negeri.

Permasalahan umum usaha perjerukan di Indonesia diwarnai dengan tidak

terpenuhinya permintaan untuk konsumsi, bahan baku industri pengolahan dan

ekspor. Hal ini dikarenakan masih rendahnya produktivitas jeruk dalam negeri.

Dari segi kualitas dan kontinuitas pasokan yang sesuai dengan persyaratan pasar,

baik domestik maupun eskpor, belum memenuhi persyaratan yang memadai.

Persoalan ini secara umum disebabkan oleh: (1) sistem usahatani jeruk masih

bersifat tradisional, belum banyak menggunakan teknologi (produksi, panen dan

pasca panen) anjuran, (2) luas areal panen jeruk yang masih kecil dibandingkan

dengan luas areal yang masih tersedia (3) lemahnya permodalan dan kelembagaan

petani (4) masa panen yang seragam (bersifat musiman), (5) ketersediaan

benih/bibit jeruk yang belum mencukupi, dan (6) dukungan pemerintah yang
10

belum memadai terutama dalam hal alokasi pendanaan, kemitraan, penyediaan

infrastruktur (perbenihan, pengairan, jalan usahatani), pasar dan promosi.

Arah pengembangan jeruk pada masa yang akan datang (Supriyanto,

2006 dan Departemen Pertanian, 2008d)) adalah untuk (1) mencukupi kebutuhan

konsumsi dalam negeri, (2) memenuhi bahan baku industri dalam negeri, (3)

mensubstitusi impor, dan (4) mengisi peluang pasar ekspor. Untuk mewujudkan

hal tersebut, maka pemerintah melakukan revitalisasi daerah sentra produksi jeruk

keprok yang sudah ada dan membangun areal pengembangan baru untuk jeruk

keprok. Salah satu daerah sentra pengembangan jeruk keprok di Idonesia yang

mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah Pusat dan Daerah adalah

Provinsi NTT dengan fokus jeruk keprok SoE.

Jeruk keprok ini diharapkan dapat menjadi faktor penggerak ekonomi

petani di daerah-daerah pengembangannya. Jeruk keprok SoE merupakan sumber

pendapatan tunai utama (60-75% berkontribusi terhadap pendapatan

rumahtangga) bagi para petani jeruk di daerah sentra pengembangannya di

Kabupaten TTS. Dari berbagai jenis buah-buahan yang diusahakan oleh petani,

dari segi luas lahan garapan jeruk merupakan terbesar ketiga setelah mangga dan

pisang. Sedangkan dari segi produksi, jeruk keprok menempati urutan pertama,

namun produktivitasnya masih rendah yakni 4.5 ton/ha (Dinas Pertanian, 2010a).

Tren luas panen (ha) dan produksi (ton) jeruk keprok SoE di kabupaten TTS

adalah seperti tercantum pada Gambar 1.

Seperti terlihat pada gambar bahwa meningkatnya luas panen (14%) dan

produksi jeruk keprok (84%) selama tahun 2002-2009 menggambarkan

pentingnya komoditas ini di dalam kehidupan ekonomi petani. Semakin luasnya


11

areal tanaman jeruk di Kabupaten TTS menjadi indikasi bahwa sebagian besar

petani jeruk di sana masih menggantungkan perekonomiannya pada usahatani

komoditas ini.

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a.


Gambar 1. Luas Panen dan Produksi Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Tahun 2002-2009

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, beberapa hasil penelitian

menunjukkan bahwa secara finansial, jeruk keprok SoE layak untuk

dikembangkan di bagian selatan dan utara Kabupaten TTS. Jeruk keprok SoE

telah menjuarai lomba buah unggulan tingkat nasional selama tiga tahun berturut-

turut yakni tahun 2003-2005. Sedangkan hasil kajian agroekologi (Dinas

Pertanian, 2007a) merekomendasikan bahwa jeruk keprok SoE layak untuk

dikembangkan baik untuk dataran tinggi maupun untuk dataran rendah, dengan

modifikasi genetik sesuai petunjuk teknis. Oleh karena itu, berbagai upaya

pembangunan telah dilakukan baik oleh pemerintah, LSM maupun pelaku

usaha/bisnis terkait. Untuk menggairahkan kembali semangat petani jeruk keprok

di daerah TTS, pemerintah daerah melakukan program rehabilitasi jeruk keprok


12

sejak tahun 2000. Program ini ditujukan untuk (1) mengembalikan kemampuan

produksi jeruk keprok SoE dan meningkatkan produktivitas lahan kering, (2)

meningkatkan kesempatan kerja dan berusahatani, (3) meningkatkan pendapatan

petani, dan 4) mengembalikan potensi komoditas unggulan lokal. Untuk mencapai

target yang telah dicanangkan itu, maka pemerintah daerah telah merencanakan

perluasan areal sebesar 7 050 ha untuk pengembangan usahatani jeruk keprok SoE

sampai dengan tahun 2013 (Bappeda, 2010).

Semakin besarnya luas panen menunjukkan bahwa sebagian besar petani

jeruk menggantungkan perekonomian mereka pada komoditas ini. Namun di sisi

lain, produktivitas jeruk keprok SoE adalah masih rendah dan kuantitas pasokan

ke pasar masih sedikit. Hal ini erat kaitannya dengan adanya pengaruh faktor-

faktor eksternal (iklim, serangan organisme pengganggu tanaman, harga,

infrastruktur) dan rendahnya kemampuan manajerial petani jeruk keprok di dalam

pengalokasian sumberdaya yang mereka miliki. Atas dasar inilah pokok sentral

permasalahan penelitian ini adalah untuk mendalami secara empiris kondisi

produksi usahatani (on farm research) jeruk keprok SoE. Tujuannya adalah agar

dapat ditentukan strategi peningkatan kapasitas manajerial petani dan

pengembangan usahatani jeruk ini di masa depan, apakah berbasiskan pada

efisiensi (dengan teknologi yang sudah ada) atau perubahan teknologi (introduksi

teknologi baru).

Proses produksi yang benar dengan berpatokan pada aspek penggunaan

faktor-faktor produksi yang efisien dan optimal dalam rangka mencapai

kemampuan produksi yang best practice menjadi hal penting dalam

pengembangan usaha menuju usaha yang efisien. Sering ditemukan bahwa banyak
13

petani jeruk keprok tidak mampu mengalokasikan inputnya secara efisien

sehingga tidak mencapai kondisi yang best practice dan mengakibatkan

rendahnya produktivitas. Berkaitan dengan hal ini, maka persoalan pertama yang

akan dikaji di dalam penelitian ini adalah mengapa produksi dan produktivitas

jeruk keprok SoE rendah, baik pada basis ukuran usahatani (farm size) maupun

zona-zona agroklimat yang berbeda.

Ukuran usahatani adalah sangat penting di dalam menentukan efisiensi

khususnya yang berkaitan dengan kemampuan manajerial pengelola usahatani

untuk mengadopsi teknologi dan sumberdaya lainnya untuk menghasilkan

produksi yang efisien. Persoalannya adalah petani jeruk keprok SoE di daerah

TTS memiliki ukuran usahatani yang kecil dan terpencar-pencar, tidak merupakan

suatu hamparan yang kompak.

Sedangkan faktor-faktor agroklimat (suhu, curah hujan, angin,

kelembaban) sangat penting di dalam isu-isu yang berkaitan dengan sistem

pertanian yang berkelanjutan, produktivitas dan efisiensi produksi. Kondisi

agroklimat yang kurang mendukung usahatani jeruk keprok SoE merupakan suatu

variabel penting bagi efisiensi. Di daerah sentra pengembangan jeruk keprok di

TTS, jumlah bulan kering diantara 7-8 bulan dalam setahun yang dimulai sejak

bulan April. Musim berbunga jeruk keprok adalah bulan Agustus setiap tahun, di

mana merupakan puncak kekeringan dan angin kencang di daerah TTS, baik pada

dataran tinggi maupun dataran rendah. Akibatnya, bunga jeruk berguguran dan

produktivitas per pohon pasti rendah. Sejauh ini belum ada modifikasi teknologi

agronomis yang mensiasati kondisi agroklimat tersebut. Kondisi ini diperparah

dengan sistem usahatani lahan kering tanpa pengarian yang memadai.


14

Permasalahan kedua yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah faktor-

faktor apa yang menentukan produktivitas jeruk keprok SoE, pada basis skala

usahatani dan zona agroklimat di daerah lahan kering. Persoalan produktivitas

menjadi hal penting dalam rangka memformulasikan kebijakan pengembangan

usahatani jeruk keprok SoE. Pemahaman akan perbedaan faktor-faktor penentu

produksi baik antara skala maupun zona agroklimat yang berbeda akan

memudahkan pengambil kebijakan untuk meningkatkan produktivitas. Produksi

aktual akan bervariasi antar petani sebagai akibat dari adanya variasi sistem

produksi, kondisi alam, manajemen usaha, ketersediaan dan aplikasi faktor-faktor

produksi dan kualitas tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi

tersebut.

Teknologi budidaya adalah primitif. Rendahnya adopsi teknologi yang

dianjurkan seperti pupuk, obat-obatan dan bibit yang berkualitas merupakan

faktor pengaruh rendahnya produktivitas usahatani jeruk keprok. Selain itu, petani

kurang memperhatikan perawatan tanaman jeruk. Banyak jeruk yang sudah tua

dengan ranting-rantingnya yang sudah berkering turut memperburuk tingkat

produktivitas lahan jeruk. Sistem tanam campur (seperti jeruk dan ubi-ubian) telah

merusak akar tanaman jeruk, akibatnya akar jeruk gampang terserang penyakit.

Penjarangan buah juga hampir tidak pernah dilakukan petani. Hal ini telah

menyebabkan buah jeruk yang dipanen sangat bervariasi dalam hal ukuran dan

tingkat kematangan.

Teknologi panen dan pasca panen kurang memadai. Ini berakibat pada

tingkat produktivitas yang rendah dan kehilangan hasil produk sampai dengan 40

persen (Adar et al., 2005). Dengan dipraktekkannya sistem penjualan borongan


15

per pohon atau per kebun, maka frekuensi panen jeruk sangat tergantung pada

kemauan pembeli. Sering terjadi bahwa panen jeruk dilakukan dua atau tiga kali.

Terkadang pembeli borongan sering meninggalkan buah jeruk yang berukuran

kecil pada pohon bahkan sampai dengan musim berbunga tiba. Akibatnya proses

pembungaan terhambat dan jeruk tidak serempak berbunga. Hal ini akan

berpengaruh pada tingkat produksi tahun berikutnya. Untuk jeruk, sekitar 95

persen para petani tidak menggunakan teknologi pemasaran/pembungkusan yang

benar. Grading, labeling dan perlakuan produk lainnya sebelum/selama/sesudah

penjualan belum dilakukan. Sedangkan teknik/perlakuan pasca panen yang

terdapat pada tingkat para pedagang sangat terbatas dan belum berkembang.

Demikian juga industri pengolahan baik industri rumah tangga maupun industri

berskala menengah ataupun besar belum tersedia. Standar keamanan produk (food

safety) yang merupakan persyaratan mutu yang dikehendaki konsumen belum

dijalankan baik oleh petani maupun pedagang.

Pembiayaan usahatani juga merupakan salah satu permasalahan terkait

dengan pengelolaan usahatani jeruk keprok SoE. Rumahtangga petani pada

umumnya kekurangan modal untuk mengelola usahatani mereka sebelum jeruk

keprok SoE dipanen. Pengalaman-pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa

kredit-kredit untuk petani kebanyakan tidak berhasil karena para petani

memperlakukan kredit sebagai hibah dan tidak memiliki harapan untuk

mengembalikan kredit tersebut. Pengkajian akan sebab-sebab terbentuknya

kondisi ini sangat penting. Kekurangan biaya juga menghambat para petani untuk

menginvestasikan pada input-input produksi dan pemasaran yang sangat

dibutuhkan untuk meningkatkan produksi dan menjaga konsistensi kualitas


16

produk, yang kesemuanya merupakan basis untuk membangun hubungan yang

berkelanjutan dengan para konsumen. Petani sering kekurangan uang tunai pada

saat buah jeruk masih hijau (belum siap dipanen). Untuk menutupi berbagai

kebutuhan uang tunai seperti untuk biaya pendidikan, kesehatan dan kebutuhan

konsumsi, petani sering melakukan sistem penjualan jeruk per pohon atau per kg

sebelum musim panen tiba (forward sale). Metode penjualan ini sangat merugikan

petani karena harga jeruk sangat rendah bila dibandingkan dengan harga jual pada

saat panen. Persoalan kekurangan modal tunai petani ini merupakan hal penting

untuk disimak lebih lanjut melalui penelitian ini.

Permasalahan infrastruktur seperti jalan dan transportasi yang kurang

mendukung efisiensi usahatani jeruk juga merupakan hal yang penting untuk

dikaji. Hal ini sangat terkait dengan besar-kecilnya biaya produksi dan pemasaran

hasil jeruk. Harga-harga faktor produksi yang tidak dapat dijangkau oleh petani

selain karena mereka kekurangan modal, juga karena tingginya biaya

pengangkutan sampai ke tingkat usahatani. Secara geografis, daerah TTS

berkarakteristik berbukit dan bergunung, dan infrastrukturnya kurang memadai.

Konsekuensinya adalah biaya transportasi tinggi khususnya yang berkaitan

dengan distribusi produk-produk dari tingkat usahatani dan distribusi input-input

ke usahatani. Teknik kontainer dingin di bidang hortikultura tidak tersedia.

Penggangkutan jeruk dengan menggunakan kendaraan umum yang tidak

menjamin kualitas jeruk di pasar. Persoalan-persoalan itu dapat berdampak buruk

pada tingkat efisiensi usahatani jeruk keprok.

Dengan melakukan analisis pada faktor-faktor produksi tersebut di atas

(baik faktor internal maupun eksternal), maka akan terjawab pula permasalahan
17

penelitian ketiga yakni apakah produksi jeruk keprok SoE baik pada basis zona

agroklimat maupun ukuran usahatani sudah efisien atau belum.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi performansi usahatani jeruk

keprok SoE di TTS adalah faktor sosial ekonomi petani. Usahatani jeruk keprok

SoE sudah lama dipraktekkan oleh petani di daerah TTS, namun masih dikelola

secara sederhana sehingga produktivitasnya masih rendah yakni hanya sebesar 42

kg/pohon (Adar et al., 2004) dan 16 kg per pohon pada tahun 2008 (BPS, 2009b).

Hal ini diduga karena adanya inefisiensi di dalam penggunaan sumberdaya

usahatani dan rendahnya kemampuan manjerial petani. Dengan demikian,

permasalahan keempat yang akan dikaji di dalam penelitian ini adalah faktor-

faktor apa yang menentukan efisiensi produksi dan bagaimana keterkaitan antar

faktor-faktor tersebut pada sistem usahatani jeruk keprok SoE dan zona

agroklimat di daerah lahan kering. Pemahaman atas sumber-sumber inefisiensi

menjadi aspek penting dalam rangka mengembangkan usahatani jeruk di masa

depan.

Tingkat keterampilan manajerial petani sangat tergantung kepada

variabel tingkat pendidikan (formal dan non formal), umur dan pengalaman

berusahatani. Petani belum memiliki pengetahuan dan keterampilan produksi dan

pengolahan jeruk yang memadai. Masalah keengganan pemuda untuk bertani

yang dialami oleh hampir semua daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur

merupakan hal penting untuk diperhatikan dalam pembangunan pertanian daerah

lahan kering. Umur petani menjadi faktor penting dalam kaitannya dengan

efisiensi produksi karena persoalan regenerasi pengelola dan produktivitas tenaga

kerja usahatani jeruk keprok.


18

Walaupun kontribusi jeruk keprok terhadap pendapatan rumahtangga

petani cukup tinggi (60-75%) namun secara magnitut petani jeruk masih

menerima pendapatan yang rendah karena produksi yang rendah. Pendapatan di

luar usahatani jeruk juga merupakan hal yang berpengaruh pada inefisiensi.

Sistem penjualan jeruk yang didominasi oleh penjualan borongan per pohon pada

saat panen sebesar 79 persen (Adar et al., 2004) dan sistem penjualan lainnya

seperti sistem ijon, borongan per kebun dan penjualan per kilogram merupakan

beberapa variabel yang menentukan efisien-tidaknya sistem usahatani jeruk

keprok SoE. Mayoritas petani melakukan penjualan secara individu. Hal ini

menyebabkan lemahnya posisi tawar mereka di dalam melakukan penjualan jeruk

keprok. Akibat selanjutnya adalah harga yang diterima petani jauh lebih rendah

(34%) dibandingkan dengan yang diterima pedagang (66%) (Adar et al., 2005).

Pola pemasaran kontrak (contract farming) juga belum dipraktekkan petani di

Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Yang sangat penting adalah para pelaku usahatani jeruk keprok SoE

berskala kecil, berketerampilan manajerial yang belum memadai, lemahnya

kelembagaan petani dan berkekurangan teknologi dan strategi agribisnis yang

sistematik untuk produk mereka. Hal ini termasuk kekurangan informasi pasar

seperti data pada tingkat harga pada berbagai level pemasaran, daya beli

konsumen, pola konsumsi, tingkat pertumbuhan pasar dan preferensi pasar untuk

produk-produk mereka (Wei et al., 2002; Woods et al., 2002 dan Adar et al.,

2005). Penentuan harga jeruk didominasi oleh para pedagang baik di pedagang

desa, kecamatan maupun pedagang kabupaten atau provinsi. Petani juga tidak

memiliki tempat penjualan jeruk yang khusus di pasar. Ketersediaan informasi


19

pasar untuk para petani merupakan faktor-faktor penarik bagi mereka untuk bisa

mengerti bahwa pengelolaan pada tingkat usahatani dan pasca panen merupakan

kesuksesan di pasar. Salah satu sarana untuk memperoleh informasi pasar adalah

melalui mitra, misalnya dengan membuat langganan dengan pedagang atau mitra

bisnis lainnya. Namun hal ini sulit dilakukan karena kendala sosial seperti

perbedaan pendidikan, status sosial dan ekonomi di antara petani dan pedagang.

Masalah-masalah tersebut di atas menyebar hampir merata pada semua

rumah tangga petani di mana 78% dari total penduduk TTS adalah petani. Sejak

tahun 1997 sampai tahun 2009, daerah ini termasuk di dalam program

pengentasan kemiskinan nasional. Program ini berfokus pada perbaikan produksi

pertanian. Target-targetnya adalah peningkatan produksi dan nilai tambah

komoditi pertanian sehingga dapat berkompetisi secara efisien baik di pasar

regional, nasional maupun internasional. Nilai tambah dari komoditi hortikultura

merupakan hal yang sangat penting mengingat kondisi geografis NTT yang

berbukit/bergunung dan biaya transportasi yang tinggi.

Analisis terhadap efisiensi produksi merupakan suatu faktor penting

terhadap pertumbuhan produktivitas, penguatan kapasitas/kemampuan manajerial

dan kelembagaan petani serta stabilisasi produksi jeruk keprok SoE khususnya di

dalam pengembangan ekonomi rumahtangga petani. Berkaitan dengan hal-hal ini,

maka permasalahan kelima yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah

upaya-upaya apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dan

efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE di masa datang dan untuk

mengembangkan model produksi stokastik frontier yang khas tanaman tahunan

dengan pendekatan fungsi produksi stochastic frontier dan data cross section.
20

Pemahaman terhadap sejauhmana kondisi efisien-tidaknya produksi jeruk keprok

SoE dapat membantu petani untuk memutuskan apakah mereka perlu

memperbaiki efisiensi produksi atau mengembangkan teknologi baru untuk

meningkatkan produktivitasnya.

Walaupun sudah banyak studi efisiensi yang dilakukan oleh para peneliti

di bidang pertanian, namun lebih banyak ditujukan pada tanaman semusim atau

produk peternakan dengan menggunakan data panel dan pendekatan primal, dan

masih sangat sedikit analisis yang dilakukan terhadap tingkat efisiensi jeruk (salah

satu tanaman tahunan), dan lebih khusus lagi di daerah dengan karakteristik khas

lahan kering. Estimasi yang menggambarkan tingkat efisiensi teknis produksi

tanaman tahunan, antar skala usahatani dan antar zona agroklimat dengan data

cross-section dan pendekatan fungsi produksi stokastik frontier, mungkin dapat

melengkapi literatur produksi stokastik frontier dan membantu para petani kecil

dan stakeholders terkait lainnya di NTT untuk meningkatkan produktivitas,

kapasitas, memperkuat kelembagaan petani, memperluas jangkauan pemasaran

dan meningkatkan pendapatan rumah tangga mereka di masa datang.

Daerah dataran tinggi (dengan ketinggian tempat berada pada > 500 m

≤ 7 bulan setahun) dan dataran rendah (dengan


dpl dan jumlah bulan kering

ketinggian tempat berada pada≤ 5 0 0 m d pl dan jumlah bulan k erin g > 7 bulan

setahun) memiliki karaketeristik usahatani yang khas. Hal ini membutuhkan

pendekatan pembangunan pertanian yang spesifik pula. Namun kenyataanya, pola

pendekatan pengembangan usahatani jeruk keprok SoE adalah sama untuk kedua

daerah dengan karakteristik yang berbeda tersebut. Sejauh pengetahuan peneliti

dan hasil studi pustaka terdahulu menunjukkan bahwa sistem pengembangan jeruk
21

keprok SoE kurang memperhatikan kecocokan dan kekhasan zona agroklimat

masing-masing. Yang pasti, faktor-faktor yang menentukan tinggi-rendahnya

produksi dan efisiensi jeruk keprok SoE pada masing-masing zona tersebut adalah

berbeda. Hasil penelitian yang berbasiskan pada masing-masing zona

pengembangan jeruk keprok ini dapat merekomendasikan pendekatan

pembangunannya yang khas zona di masa datang.

Dari gambaran yang telah diuraikan di atas, secara ringkas dirumuskan

beberapa permasalahan pokok studi yakni untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

mengapa adanya kesenjangan (gap) pada tataran empiris khususnya kesenjangan

produktivitas aktual dan potensial usahatani JKS, fenomena penurunan luas areal

panen usahatani JKS, pilihan wilayah pengemabngan usahatani JKS yang

menghasilkan produktivitas dan efisiensi produksi yang tinggi, dan pada tataran

teori efisiensi berbasiskan tanaman tahunan. Secara detail permasalahan-

permasalahan penelitian ini adalah:

1. Bagaimana meningkatkan produktivitas usahatani jeruk keprok SoE, baik

pada daerah dataran tinggi maupun dataran rendah?

2. Bagaimana meningkatkan efisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE, baik

pada daerah dataran tinggi maupun dataran rendah?

3. Upaya-upaya apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas

dan efisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE, baik pada daerah dataran

tinggi maupun dataran rendah?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang sudah diuraikan di atas,

secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari faktor-faktor penentu
22

produktivitas dan efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE berdasarkan zona

agroklimat (dataran tinggi dan rendah) dan ukuran usahatani (kecil dan besar)

dengan pendekatan fungsi produksi stokastik frontier dan data cross section di

daerah lahan kering di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara khusus, tujuan

penelitian ini adalah untuk:

1. Mengidentifikasi dan menjelaskan faktor-faktor penentu produktivitas

usahatani jeruk keprok SoE berdasarkan zona agroklimat dan ukuran

usahatani.

2. Menelaah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efisiensi dan inefisiensi

teknis usahatani jeruk keprok SoE berdasarkan zona agroklimat dan ukuran

usahatani.

3. Merumuskan upaya-upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi teknis

usahatani jeruk keprok SoE berdasarkan zona agroklimat dan ukuran

usahatani.

1.4. Kegunaan Penelitian

Usahatani jeruk keprok SoE memiliki kesempatan yang cukup luas

untuk meningkatkan produktivitasnya melalui penyediaan input usahatani dan

teknologi serta strategi pascapanen yang lebih baik yang bisa menjamin kualitas

jeruk keprok SoE yang tinggi. Usahatani di Provinsi Nusa Tenggara Timur

mempunyai potensi jeruk keprok SoE yang cukup besar tetapi keragaannya masih

jauh dari standar yang memuaskan terutama di dalam hal produktivtas, efisiensi,

dan pengembangan teknologi produksinya. Dengan ditelaahnya tingkat

produktivitas dan efisiensi produksi usahatani lahan kering, maka lahan potensial

yang masih cukup tersedia di Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk


23

pengembangan jeruk keprok SoE dapat didayagunakan sebagai sumber

pendapatan yang dapat menjamin kesejahteraan hidup petani lahan kering.

Penelitian ini akan memberikan kegunaan langsung bagi para petani di

daerah lahan kering, pelaku usaha dan instansi terkait dengan usahatani jeruk

keprok SoE di Provinsi NTT. Diharapkan bahwa hasil pengkajian terhadap tingkat

produktivitas dan efisiensi produksi serta faktor-faktor penentunya dapat dijadikan

sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola usahatani jeruk sehingga lebih

efisien, produktif dan berdayasaing. Diantisipasikan pula bahwa dengan

menelaah beberapa penyebab dari masalah-masalah pertanian lahan kering di TTS

dan dengan adanya pengertian yang lebih baik tentang kebutuhan-kebutuhan

teknologi produksi dan pascapanen jeruk di daerah lahan kering, maka penelitian

ini akan merupakan sumber informasi yang sangat berharga bagi agenda

penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan yang diprogramkan

pemerintah.

Bagi para pengambil keputusan kebijakan di bidang pembangunan

pertanian, hasil studi ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang berharga.

Identifikasi terhadap berbagai faktor pengaruh, terutama sumber-sumber

produktivitas dan efisiensi teknis produksi dapat dijadikan bahan masukan

maupun rekomendasi bagi penentu kebijakan dalam merencanakan dan

mengembangkan jeruk keprok SoE di waktu mendatang, pada basis zona

agroklimat dan ukuran usahatani. Rekomendasi telah diarahkan seberapa besar

tingkat produksi dan efisiensi serta teknologi pascapanen yang perlu diperbaiki

dalam rangka meningkatkan produktivitas usahatani jeruk keprok SoE bagi petani

di daerah lahan kering pada karakteristik zona-zona agroklimat spesifik lahan


24

kering dan ukuran-ukuran usahatani tertentu, serta strategi apa yang perlu

dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan petani/pelaku usaha jeruk kerpok

SoE di Kabupaten TTS. Informasi yang serupa bisa saja diaplikasikan di

kabupaten lain di NTT terutama untuk pengembangan jeruk keprok varietas lain

seperti jeruk keprok Ende di Kabupaten Ende dan keprok Manggarai di

Kabupaten Manggarai (keduanya di pulau Flores) dan jeruk keprok Sumba di

pulau Sumba.

Dengan adanya perbaikan tingkat produktivitas dan efisiensi produksi

usahatani jeruk keprok SoE diharapkan bahwa suplai jeruk produksi dalam negeri

khususnya varietas keprok dapat meningkat sehingga jumlah impor dapat

dikurangi dalam tataran skala tertentu. Dalam jangka panjang, perbaikan tingkat

produktivitas dan efisiensi usahatani dapat menstabilkan pendapatan petani dan

meningkatkan produktivitas lahan kering dan bahkan dapat dijadikan sebagai

sumber bagi pertumbuhan ekonomi regional, penyediaan lapangan kerja dan

sumber devisa negara Indonesia. Di masa datang, kedekatan secara geografis

dengan negara Timor Leste dan Australia merupakan suatu potensi pasar ekspor

yang besar bagi jeruk keprok di NTT.

Hasil pengkajian ini, kiranya juga dapat menambah khasanah ilmu

pengetahuan bidang penelitian produktivitas dan efisiensi produksi terhadap satu

atau beberapa teori ekonomi produksi di bidang hortikultura terutama tanaman

tahunan, khususnya komoditas jeruk keprok di daerah lahan kering. Untuk

mengisi dan menambah kekayaan literatur efisiensi produksi tanaman tahunan,

penelitian ini mungkin berkontribusi terhadap pengembangan model fungsi

produksi stokastik frontier untuk analisis produktivitas dan efisiensi teknis dengan
25

pendekatan fungsi produksi dan data cross-section, antar ukuran usahatani dan

zona agroklimat. Bagi kalangan akademisi seperti mahasiswa, dosen dan peneliti,

informasi dari hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi kegiatan penelitian

lanjutan secara lebih mendalam dalam pengembangan metodologi pengkajian

efisiensi (terutama efisiensi ekonomi) maupun pengembangan produktivitas

komoditas jeruk keprok SoE.

1.5. Novelties

Penelitian efisiensi yang dilakukan oleh para peneliti terdahulu di bidang

pertanian sudah banyak, namun lebih ditujukan pada tanaman semusim atau

produk peternakan dengan menggunakan data panel dan pendekatan primal, dan

masih sangat sedikit analisis yang dilakukan terhadap tingkat produktivitas dan

efisiensi jeruk (salah satu tanaman tahunan), dan lebih khusus lagi di daerah

dengan karakteristik khas daerah lahan kering. Penelitian tentang jeruk keprok

SoE sudah pernah dilakukan terutama dari sudut pandang kelayakan finansial dan

pemasarannya. Sedangkan penelitian efisiensi teknis jeruk keprok SoE, sampai

penelitian ini dilakukan, belum pernah diadakan. Dari tataran teoritis dan

metodologis, estimasi yang menggambarkan tingkat efisiensi teknis antar zona

agroklimat dan antar ukuran usahatani lahan kering dengan data cross-section dan

pendekatan fungsi produksi stokastik frontier model khas tanaman tahunan

merupakan novelties dari penelitian ini. Selain itu, dari tataran empiris, strategi-

strategi yang diformulasikan di dalam penelitian ini yang ditujukan untuk

meningkatkan produksi, produktivitas, efisiensi dan kemampuan petani untuk

mengelola usahatani jeruk keprok SoE di daerah lahan kering juga merupakan

konsep perbaikan yang telah direkomendasikan untuk dapat dipergunakan di


26

dalam pengembangan usahatani jeruk keprok SoE di Provinsi Nusa Tenggara

Timur. Penelitian ini juga akan merekomendasikan zona agroklimat dan ukuran

usahatani mana yang lebih sesuai untuk mengembangkan jeruk keprok SoE.

Pendekatan pengembangan jeruk keprok SoE dengan fokus pada zona agroklimat

dan ukuran usahatani yang memberikan tingkat produktivitas dan efisiensi

produksi yang lebih baik dari zona dan ukuran usahatani lainnya dapat sangat

bermanfaat bagi upaya peningkatan pendapatan petani jeruk keprok di masa

datang.

1.6. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini hanya difokuskan pada aspek (teknologi) produksi di

tingkat petani dengan pendekatan fungsi produksi frontier, dengan bentuk fungsi

translog untuk menganalisis faktor-faktor penentu produksi dan efisiensi teknis

pada dua zona agroklimat dan dua ukuran usahatani jeruk keprok SoE di daerah

lahan kering. Aspek lain di luar produksi, seperti teknologi panen, pascapanen,

pemasaran dan kebijakan-kebijakan terkait dengan manajemen produksi

dielaborasi dengan mewawancarai informan kunci untuk memperoleh informasi

yang mendukung hasil dan pembahasan hasil penelitian keragaan usahatani dan

efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE ini.

Keterbatasan-keterbatasan penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini tidak menganalisis nilai ekonomi dari diversifikasi tanaman.

Dalam kenyataannya, rumahtangga petani di daerah penelitian

mengusahakan berbabai jenis tanaman di kebun mereka, dalam rangka

ketahanan pangan (self insurance mechanism).


27

2. Idealnya, analisis efisiensi produksi meliputi efisiensi teknis, alokatif dan

ekonomis. Namun, analisis efisiensi alokatif dan ekonomis dari produksi

jeruk keprok SoE tidak dilakukan di dalam penelitian ini dengan alasan-

alasan sebagai berikut:

a. Alasan pada tataran empiris

Permasalahan utama usahatani jeruk keprok SoE adalah

rendahnya produksi dan produktivitas sebagai akibat adanya persoalan-

persoalan yang terkait erat dengan teknologi budidayanya. Dengan kata

lain, petani jeruk belum mampu memproduksi jeruk keprok SoE yang

tinggi dengan input-input yang digunakannya. Petani belum menerapkan

teknologi budidaya yang sesuai dengan petunjuk teknis. Usahatani jeruk

kerpok SoE daerah lahan kering di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih

merupakan usahatani tradisional dengan kharakteristik seperti ukuran

usahatani kecil dengan sistem penanaman campuran pada pekarangan

rumah petani, umur tanaman beragam, tanpa teknologi konservasi lahan

yang mampu meningkatkan kesuburan tanah, penggunaan bibit yang tidak

berlabel, tanpa pupuk dan pestisida kimia yang dapat meningkatkan

produktivitas yang tinggi, infrstrauktur yang kurang memadai (terutama

untuk perbenihan, pengairan dan jalan usahatani), minimnya perawatan

kebun, teknologi panen dan pascapanen yang kurang memadai serta

motivasi petani yang kurang kuat.

Dengan demikian, prioritas pemecahan permasalahan penelitian

lebih ditujukan pada usaha-usaha peningkatan produktivitas dari

penggunaan input-input usahatani jeruk yang ada. Pada tataran ini, analisis
28

efisiensi alokatif (efisiensi biaya atau efisiensi harga) yang menekankan

penggunaan input pada proporsi yang optimal pada harga dan teknologi

yang ada atau pada kondisi biaya input minimum belum merupakan hal

yang diutamakan sepanjang produktivitas usahatani jeruk masih rendah

(secara teknis belum efisien).

b. Alasan pada tataran metodologis

Persoalan pada tataran ini adalah ketersedian data harga-harga

input dan alat analisis data yang belum tersedia. Di dalam melakukan

analisis efisiensi biaya beberapa hal yang diperlukan adalah seperti berikut

ini:

i. Membutuhkan bentuk fungsi khusus seperti fungsi Cobb-Douglas

karena memiliki self-dual (dualitas terhadap dirinya) sehingga secara

eksplisit dapat diturunkan. Sedangkan fungsi yang lebih fleksibel

seperti fungsi translog tidak dapat digunakan untuk mengestimasi

fungsi biaya karena tidak dapat digunakan untuk menurunkan fungsi

permintaan inputnya. Efisiensi Ekonomi dapat didekomposisikan ke

dalam komponen teknis dan alokatif jika fungsi produksi yang

diaplikasikan untuk mengestimasi fungsi biaya itu dapat secara

eksplisit diturunkan (hal ini dapat dilakukan jika bentuk fungsi Cobb-

Douglas digunakan karena fungsi ini memiliki dualitas terhadap

dirinya sendiri (self-dual), dibandingkan dengan fungsi yang fleksibel

seperti fungsi translog) (Schmidt dan Lovell, 1979).

ii. Membutuhkan ketersediaan data harga-harga input dan output. Data

harga-harga tersebut harus bervariasi antar usahatani. Yang menjadi


29

permasalahannya adalah bahwa data harga di tingkat petani tidak

tersedia dan berlaku sama untuk semua usahatani.

iii. Perhitungannya tidak secara otomatis dilakukan oleh beberapa

program komputer terutama FRONTIER dan LIMDEP.

iv. Permasalahan utama dengan sistem persamaan simultan untuk

estimasi forntier biaya adalah berkaitan dengan pemilihan cara yang

sesuai untuk merepresentasikan hubungan antara inefisiensi alokatif

(ui) di dalam kesalahan pengganggu dari persamaan permintaan input

dan error term dari inefisiensi alokatif yang muncul di dalam frontier

biaya. Masalah ini sampai kini belum teratasi (Coelli et al., 1998).

3. Karena ketidak-tersediaan data seri waktu (time series data), maka

penelitian ini tidak dapat memperhitungkan perubahan teknologi antar

waktu yang merupakan faktor penting di dalam analisis produktivitas

tanaman tahunan. Periode analisis dalam penelitian ini adalah short run dan

hanya pada musim produksi tahun 2009/2010. Dengan ketersediaan data seri

waktu, maka perubahan teknologi dan efisiensi teknis beserta determinan-

determinanya antar waktu dapat diketahui dengan jelas.

4. Tidak semua koefisien estimasi dari model efisiensi dan inefisiensi teknis di

dalam penelitian memiliki tanda sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa

hasil estimasi juga tidak konsisten dengan harapan sebelumnya. Masalah ini

diduga berasal dari data survei yang digunakan. Akurasi data hasil

wawancara dengan petani responden yang digunakan di dalam penelitian ini

memiliki kelemahan sejak data yang diperoleh bersumber dari kemampuan

responden untuk mengingat informasi beberapa waktu (tahun-tahun) yang


30

telah berlalu. Para petani responden tidak memiliki catatan usahatani tentang

penggunaan input produksi mereka. Permasalahan akurasi data juga

mungkin berasal dari kemampuan responden di dalam memahami

pertanyaan-pertanyaan kuesioner penelitian.

5. Keterbatasan lainnya adalah jumlah sampel yang terbatas. Hal ini dapat saja

mempengaruhi gangguan-gangguan yang berkaitan dengan statisik

(statistical error), terutama di dalam hal pengujian hipotesis.

6. Pada analisis efisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE, faktor-faktor

agroekologi seperti tingkat kesuburan tanah, hama dan penyakit tanaman,

suhu, curah hujan, dan fakror-faktor sosial ekonomi seperti budaya kerja,

orientasi usahatani dan faktor budaya lainnya tidak diidentifikasi dan

dimodelkan di dalam penelitian ini karena ketiadaan datanya. Dengan

demikian, interpretasi hasil penelitian ini perlu dilakukan dengan hati-hati

dan sebatas serta sesuai dengan variabel-variabel analisisnya.


II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini dibahas tentang berbagai studi pustaka yang berkaitan

dengan keragaan jeruk di Indonesia, di Provinsi NTT dan di Kabupaten TTS serta

studi empiris terdahulu yang berkaitan dengan efisiensi di bidang pertanian dan

jeruk keprok SoE. Sumber-sumber data adalah data sekunder. Pembahasan pada

keragaan jeruk di Indonesia difokuskan pada aspek luas lahan, produksi, ekspor,

impor dan peranannya terhadap perekonomian. Pada keragaan usahatani jeruk di

Provinsi NTT dan di Kabupaten TTS dideskripsikan tentang kondisi dan prospek

pengembangan jeruk keprok pada usahatani lahan kering dan kekhasan jeruk

Keprok SoE. Selanjutnya pembahasan difokuskan pada studi-studi terdahulu di

bidang pertanian yang menggunakan pendekatan stokastik frontier. Dari berbagai

ulasan studi tersebut ditarik suatu kesimpulan yang dijadikan sumber keputusan

dan alasan tentang pentingnya jeruk keprok SoE pada perekonomian masyarakat

di NTT, penggunaan pendekatan, metode estimasi dan model fungsi produksi

stokastik frontier yang digunakan di dalam penelitian ini.

2.1. Keragaan Jeruk di Indonesia

Indonesia memiliki potensi yang besar untuk memproduksi berbagai

jenis produk hortikultura, khususnya buah-buahan tropis. Perkembangan luas

panen, produksi dan produktivitas jeruk di Indonesia tahun 2002 - 2008 disajikan

pada Tabel 1.

Diketahui pula bahwa produksi jeruk Indonesia periode 1995-2001

menurun sebesar 24% yakni dari produksi sebesar 1 004 632 ton pada tahun 1995

menjadi sebesar 691 433 ton pada tahun 2001. Luas panen jeruk Indonesia tahun
32

1995 adalah sebesar 46 036 ha dan tahun 2001 sebesar 35 367 ha atau menurun

sebesar 30.2% dalam periode tahun 1995-2001. Namun setelah terjadinya krisis

ekonomi di Indonesia, tren produksi terus meningkat sejalan dengan

meningkatnya luas panen. Luas panen jeruk tahun 2003 adalah 69 139 ha dengan

produksi 1 529 824 ton dan produktivitas rata-rata 22.13 ton/ha. Periode waktu

tahun 2007-2008, baik luas panen maupun produksi jeruk Indonesia terus

menurun. Trend luas panen dan produksi jeruk di Indonesia tahun 1995-2008

tercantum pada Gambar 2.

Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jeruk di


Indonesia, Tahun 2002-2008

Tahun
Perkembangan
2002 2003 2006 2007 2008
Luas Panen (Ha) 47 824 69 139 72 390 69 500 63 695
Produksi (Ton) 968 132 1 529 824 2 565 543 2 625 884 2 322 581
Produktivitas (Ton/ha) 20.24 22.13 35.44 37.78 35.44

Sumber: Departemen Pertanian, 2009a.

3000000
2 625 884
Luas Panen (Ha) dan Produksi (Ton)

2 565 543

2500000 Produksi (Ton) 2 322 581

Luas Panen (Ha)


2000000
1 529 824
1500000
1 004 632 968 132
1000000 644 052 691 433
449 531
500000
69 139 72 390 69 500 63 695
46 036 25 210 37 120 35 367 47 824
0
1995 1999 2000 2001 2002 2003 2006 2007 2008
Tahun

Sumber: Departemen Pertanian, 2009a.


Gambar 2. Perkembangan Luas Panen dan Produksi Jeruk di Indonesia, Tahun
1995-2008
33

Dari kelompok buah-buahan, komoditas jeruk menempati urutan ke-2

setelah pisang seperti tercantum pada Tabel 2 dan 3. Di sini terlihat bahwa jeruk

semakin menjadi komoditas penting di dalam pembangunan pertanian Indonesia,

terutama di dalam sistem pertanian hortikultura Indonesia.

Tabel 2. Produksi Buah-Buahan Menurut Jenis Tanaman, Tahun 2006-2008

Rata-rata
Produksi
No Komoditas Produksi %**
2006 2007 2008 2006-2008

1 Pisang 5 037 472 5 454 226 6 004 615 5 498 771.00 28.6
2 Jeruk * 2 565 543 2 625 884 2 467 632 2 553 019.67 13.3
Jeruk
3 Siam/Keprok 2 479 852 2 551 635 2 391 011 2 474 166.00 12.9
4 Mangga 1 621 997 1 818 619 2 105 085 1 848 567.00 9.6
5 Nenas 1 427 781 1 395 566 1 433 133 1 418 826.67 7.4
6 Salak 861 950 805 879 862 465 843 431.33 4.4
7 Rambutan 801 077 705 823 978 259 828 386.33 4.3
8 Durian 747 848 594 842 682 323 675 004.33 3.5
9 Pepaya 643 451 621 524 717 899 660 958.00 3.4
10 Nangka 683 904 601 929 675 455 653 762.67 3.4
11 Semangka 392 587 350 780 371 498 371 621.67 1.9
12 Alpukat 239 463 201 635 244 215 228 437.67 1.2
13 Duku/Langsat 157 655 178 026 158 649 164 776.67 0.9
14 Jambu Biji 19 618 179 474 212 260 137 117.33 0.7
15 Markisa 119 683 106 788 138 027 121 499.33 0.6
16 Jambu Air 128 648 94 015 111 495 111 386.00 0.6
17 Sawo 107 169 101 263 120 649 109 693.67 0.6
18 Sukun 88 339 92 014 113 778 98 043.67 0.5
19 Manggis 72 634 112 722 78 674 88 010.00 0.5
20 Jeruk Besar 85 691 74 249 76 621 78 853.67 0.4
21 Belimbing 70 298 59 984 72 397 67 559.67 0.4
22 Sirsak 84 373 55 798 55 042 65 071.00 0.3
23 Blewah 67 708 57 725 55 991 60 474.67 0.3
24 Melon 5 537 59 815 56 883 40 745.00 0.2
T O T AL 18 510 278 18 900 215 20 184 056 19 198 183.00 100
Sumber: BPS Indonesia, 2009c dan Departemen Pertanian, 2010.
Keterangan: * : Data penjumlahan jeruk siem/keprok dan jeruk besar
** : % Terhadap Total Rata-Rata Indonesia, Tahun 2006-2008
34

Pada tahun 2006, produksi jeruk seperti tercantum pada Tabel 3 adalah

sebesar 2 565 543 ton. Namun produktivitas jeruk Indonesia baik hasil per ha

maupun per pohonnya masih dikategorikan rendah bila dibandingkan dengan

produktivitas potensialnya.

Tabel 3. Tanaman Menghasilkan, Luas Panen, Hasil per Hektar, Hasil per Pohon
dan Produksi Buah-Buahan di Indonesia, Tahun 2006

No Komoditi Tanaman Luas Hasil Hasil per Produksi


sedang Panen per Ha pohon (Ton)
menghasilkan (Ha) (Ton/Ha) (Kg/phn)
(pohon/rumpun)
1 Alpukat 1 562 836 15 629 15 153 239 463
2 Belimbing 776 964 2 590 27 90 70 298
3 Duku/Langsat 1 365 465 13 656 12 115 157 655
4 Durian 4 821 083 48 212 16 155 747 848
5 Jambu Biji 2 656 740 8 857 22 74 19 618
6 Jambu Air 1 191 728 11 918 11 108 128 648
7 Jeruk Siam/Keprok 26 860 096 67 152 37 92 2 479 852
8 Jeruk Besar 817 076 5 238 16 105 85 691
9 Jeruk *) 27 677 172 72 390 35 93 2 565 543
10 Mangga 19 550 186 195 503 8 83 1 621 997
11 Manggis 827 431 8 275 9 88 72 634
12 Nangka/Cempedak 51 13 828 51 137 13 134 683 904
13 Nenas 534 166 551 21 368 67 3 1 427 781
14 Pepaya 8 017 689 8 021 80 80 643451
15 Pisang 94 147 175 94 144 54 54 5 037 472
16 Rambutan 81 82 517 81 824 10 98 801 077
17 Salak 65 472 781 32 736 26 13 861 950
18 Sawo 843 445 8 435 13 127 107 169
19 Maekisa 1 844 093 1 846 65 65 119 683
18 Sirsak 1 214 305 4 047 21 69 84 373
19 Sukun 806 197 8 061 11 110 88 339
20 Melon - 3 189 17 - 5 537
21 Semangka - 31 843 12 - 392 587
22 Blewah - 4 537 15 - 67 708
Total Buah 80 7915 358 800 608 18 510 278
Sumber: Departemen Pertanian, 2007.
Keterangan: *) Data jeruk merupakan penjumlahan antara data jeruk siem/keprok
dan jeruk besar
35

Produktivitas jeruk siem/keprok Indonesia dikategorikan masih rendah

yakni sebesar 35.44 ton/ha (masih berada di bawah produksi potensial jeruk

sebesar 60-65 ton/ha). Demikian juga produktivitas per pohonnya yang sebsar 92

kg/pohon masih berada jauh di bawah produksi potensialnya 250 kg/pohon. Bila

dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah produksi, luas panen dan

produktivitas jeruk menunjukkan suatu tren yang meningkat. Dengan

memperhatikan gambaran produktivitas tersebut, maka arah pembangunan

hortikultura Indonesia di masa datang adalah peningkatan produksi dengan

penyediaan dan pengalokasian input produksi yang lebih efisien. Perlu dicatat

bahwa permintaan terhadap jeruk di Indonesia dari tahun ke tahun pasti meningkat

sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan, permintaan ekspor

dan perubahan selera masyarakat. Dengan demikian, kondisi permintaan dan

penawaran jeruk Indonesia di kemudian hari akan merupakan hal penting untuk

diperhatikan keseimbangannya.

Komoditas jeruk dapat dijumpai di seluruh wilayah Indonesia. Varietas

jeruk yang dikembangkan di Indonesia sangat banyak. Varietas yang paling

banyak dibudidayakan adalah jenis siem dan keprok. Sampai dengan tahun 2007,

tercatat 24 varietas unggul jeruk yang sudah secara resmi dilepas oleh pemerintah

Indonesia seperti tercantum padaTabel 4.

Sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997, produksi jeruk nasional

mengalami penurunan yang cukup besar. Namun sejak tahun 2000 produksi jeruk

kembali terus mengalami peningkatan sejalan dengan semakin berkembangnya

areal tanam, meningkatnya konsumsi penduduk per kapita per tahun dan pasar

ekspor. Produksi jeruk terbesar disumbangkan oleh jeruk siem disusul jeruk
36

keprok, jeruk manis, grape fruit dan jeruk besar (pamelo) dengan jumlah produksi

seperti tercantum pada Tabel 5.

Tabel 4. Varietas Jeruk Unggul yang Telah Dilepas Pemerintah Indonesia

No Janis Varietas Asal Tahun


1 Jenis Keprok - Pangkajene merah Sulsel 1994
- Pangkajene putih Sulsel 1994
- Tejakula Bali 1995
- Selayar Sulsel 1995
- Siompu Sultra 1997
- SoE NTT 1998
- Garut-1 Jabar 1999
- Sipirok Sumut 2000
- Pulau Tengah Jambi 2002
- Madura Jatim 2002
- Tejakula Jateng 2004
- Batu 55 Jatim 2005
- Terigas Kalbar 2007
2 Jeruk Manis - Kisar Maluku 1998
- Manis Taji-01 Sumbar 2000
- Pacitan Jatim 2002
3 Jeruk Siem - Madu Sumut 1999
- Banjar Kalsel 1998
4 Jeruk Besar - Cikoneng ST Jabar 1999
- Bali Merah Bali 2000
- Pamelo Raja Sumbar 2000
- Pamelo Ratu Jatim 2000
- Pamelo Nambangan Jatim 2000
5 Jeruk Hibrida - Cripta-01 Jambi 2000
Sumber: Departemen Pertanian, 2003; 2009b dan 2010.

Tabel 5. Komposisi Produksi Jeruk Indonesia, Tahun 2001, 2006 dan 2008

No Jenis Jeruk Produksi (Ton) Proporsi (%)


2001 2006 2008 2001 2006 2008
1 Siem 419 216 2 479 852 2 391 011 60.6 97 96.9
2 Keprok 253 687 36.7
3 Jeruk Besar 11 616 85 691 76 621 1.7 3 3.1
4 Manis 6 914 - - 1 -
5 Grape Fruit 968 - - 0.14 -
Jumlah 691 433 2 565 543 2 467 632 100 100 100

Sumber: Departemen Pertanian, 2003; 2009b dan 2010.


37

Dalam neraca perdagangan internasional, jeruk merupakan komoditas

buah impor yang patut mendapat perhatian, mengingat angka impor jeruk ke

Indonesia dalam sembilan tahun terakhir ini terus meningkat. Jumlah impor

Indonesia dengan tren kenaikan yang cukup tajam (baik dalam bentuk buah segar

maupun hasil olahannya) yaitu sebesar 36 775 ton pada tahun 1999, meningkat

menjadi 59 358 ton pada tahun 2003 dan 96 583.61 ton pada tahun 2006. Pada

tahun 2003, volume impor jeruk segar menduduki posisi ke-2 setelah apel

(Departemen Pertanian, 2005). Sedangkan tahun 2006, jeruk menempati posisi

pertama (Tabel 6).

Tabel 6. Nilai dan Volume Ekspor - Impor Buah-Buahan Indonesia, Tahun 2006

Tahun 2006
NO KOMODITAS Ekspor Impor
Nilai (US $) Volume (Kg) Nilai (US $) Volume (Kg)
1. Pisang 1 672 617 5 280 641 242 863 151 967
2. Nenas 111 933 603 204 920 547 38 870 40 517
3. Alpukat 8 822 3 518 38 589 21 968
4. Jambu Biji 101 774 131 810 215 887 187 683
5. Mangga 966 652 930 066 621 452 948 145
6. Manggis 3 894 391 5 857 407 42 29
7. Jeruk 419 333 470 763 67 405 027 96 583 609
8. Pepaya 13 860 11 914 31 162 109 549
9 Melon 461 165 217 350 552 961 888 760
10. Buah-buahan Lainnya 10 982 445 27 903 699 183 918 927 263 590 404
Total Buah-buahan 130 454 662 245 727 715 253 065 780 362 522 631

Sumber: Departemen Pertanian, 2007 dan 2008b.

Pada tahun 2006, nilai impor jeruk tersebut didominasi oleh jeruk

mandarin dari Cina. Nilai impor jeruk mandarin China sebesar US$ 36 juta atau

54% dari total impor jeruk tahun 2006. Pengurangan tariff impor secara bertahap
38

menunju Free Trade Area (FTA) ASEAN-China yang disepakati tahun 2005

sudah mulai memunculkan dampak negatif. Nilai impor jeruk mandarin China

dari tahun ke tahun terus meningkat. Jika pada tahun 2006 nilai impor jeruk

mandarin China hanya sebesar US$ 36 juta, maka tahun 2007 sudah meningkat

menjadi sebesar US$ 62.9 juta dan tahun 2008 sebesar US$ 84.7 juta (Kompas, 03

Agustus 2009). Pada kuartal I tahun 2009, nilai impor jeruk keprok mandarin

China sudah mencapai US$ 107.3 juta.

Kecenderungan volume impor selama tahun 1997-2008 tercantum pada

Gambar 3. Dari gambar terlihat bahwa impor jeruk setelah tahun 2000 selalu

meningkat. Hal ini menggambarkan adanya kekurangan produksi di dalam

memenuhi permintaan domestik Indonesia. Selain itu, Indonesia juga belum

memiliki kebijakan (aturan) khusus untuk membatasi kuota impor dan peredaran

jeruk mandarin di pasar lokal Indonesia.

160000
Volume Impor (Ton) 143 600
140000

120000
Volume Impor (Ton)

95 744 118 800


100000 81 611
79 729 96 584
80000 69 848 93 431
77 855
60000
59 358
40000
36 775
20000
26 423
0
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Tahun

Sumber: Departemen Pertanian, 2008b dan FAO, 2010.


Gambar 3. Volume Impor Jeruk Indonesia, Tahun 1997-2008
39

Namun demikian, Jeruk Indonesia juga telah mampu menembus pasar

luar negeri (ekspor) meskipun dalam volume yang relatif kecil. Volume ekspor

jeruk Indonesia lebih banyak berupa produk jeruk segar. Pada tahun 2003, volume

ekspor jeruk Indonesia mencapai 1 158 ton, dan menurun ke 94 ton pada tahun

2007. Gambaran detil perkembangan ekspor jeruk di Indonesia disajikan pada

Tabel 6 di atas dan Gambar 4.

2500 Volume Ekspor (Ton)

2000 1 829 2 046


1 789
Volume Ekspor (Ton)

1500 1 590

1 249
1 158
1000 1 128

482

500 471
413

94
0
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun

Sumber: Departemen Pertanian, 2008b dan FAO, 2010.


Gambar 4. Volume Ekspor Jeruk Indonesia, Tahun 1997-2007

Besarnya angka impor jeruk ini sebenarnya cukup memprihatinkan,

mengingat potensi produksi jeruk dalam negeri sangat besar. Untuk itu berbagai

upaya telah dilaksanakan dalam rangka mengoptimalkan potensi jeruk dalam

negeri agar dapat memenuhi kebutuhan di dalam negeri sendiri, baik untuk

kebutuhan rumahtangga maupun industri. Modernisasi industri perjerukan

nasional melalui suatu penataan rantai pasokan (supply chain management, SCM)
40

yang terpadu dan komprehensif merupakan langkah strategis yang harus segera

dilaksanakan oleh seluruh stakeholder jeruk Indonesia.

Kecenderungan menurunnya tren ekspor tahun 2004-2006 diduga karena

produksi jeruk dalam negeri lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan domestik

(orientasi pasar dalam negeri) dibandingkan dengan permintaan internasionalnya.

Strategi menerobos pasar ekspor jeruk dengan meningkatkan volumenya sampai

kapanpun tetap perlu dilakukan. Hal ini menjadi kebijakan dalam rangka

menumbuhkan dan memantapkan semangat agribisnis jeruk dalam negeri. Dalam

rangka memenuhi kebutuhan konsumsi dan produksi serta target ekspor dan impor

jeruk, maka telah ditetapkan sasaran produksi dan target pengembangan areal

jeruk pada tahun 2010-2025 seperti tercantum pada Tabel 7.

Tabel 7. Sasaran Produksi Jeruk untuk Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri,


Ekspor dan Pemenuhan Bahan Industri Pengolahan, Tahun 2010-2025

(Ton)
Tahun Produksi Kebutuhan Bahan Impor
dalam Negeri Industri Ekspor
Pengolahan
2010 2 355 500 1 925 500 96 200 3 000 128 019
2015 2 686 000 2 210 400 110 500 5 000 128 019
2020 3 140 000 2 600 100 130 000 7 000 130 000
2025 3 956 000 3 303 000 165 000 10 000 130 000

Sumber: Departemen Pertanian, 2005.

Sasaran yang telah ditentukan tersebut akan dilakukan dengan pola

pengembangan kebun jeruk skala besar dikembangkan oleh swasta, dengan luas

100 hektar yang berbentuk hamparan. Pengelolaan usahatani didasarkan pada

Standar Prosedur Operasional (SPO), yaitu dengan mengaplikasikan inovasi

teknologi yang terus berkembang dan memanfaatkan sumberdaya lokal secara


41

berkelanjutan untuk menghasilkan produk yang sehat, aman dikonsumsi, dan

secara ekonomi layak diusahakan serta secara sosial diterima masyarakat

sekitarnya. SPO itu disusun oleh Dinas Pertanian Dirjen Hortikultura setelah

mendapat masukan dari berbagai stakeholder jeruk, termasuk para petani jeruk

(Departemen Pertanian, 2006).

Potensi ekonomi jeruk secara nasional patut diperhitungkan sebagai salah

satu sumber pendapatan asli. Kontribusi jeruk terhadap produk domestik bruto

(PDB) sektor pertanian pada tahun 2003 mencapai Rp. 2 339 milyar (atau lebih

dari 2.3 trilyun rupiah) dan pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp. 6 129.08

milyar (atau lebih dari 6.13 trilyun rupiah). Kondisi ini telah memposisikan jeruk

sebagai penyumbang terbesar kedua terhadap PDB setelah pisang (Tabel 8).

Kontribusi jeruk terhadap perekonomian diharapkan terus meningkat sejalan

dengan meningkatnya usaha peningkatan produksi dan mutu jeruk Indonesia,

pengembangan pasar dan industri pengolahan yang berkaitan dengan

makanan/minuman berbahan baku jeruk.

Kebijakan program pengembangan agribisnis jeruk di Indonesia saat ini

tidak saja diarahkan pada rehabilitasi di lokasi lama tetapi juga pengembangan di

lokasi-lokasi harapan baru. Beberapa kebijakan pengembangan agribisnis jeruk:

(1) menyusun peta kesesuaian lahan dalam bentuk kolonisasi (yaitu kawasan

ekonomis yang saling beredekatan/berada pada satu alur jalur transportasi) dan

konsolidasi), (2) menyediakan bibit jeruk bebas penyakit, (3) menerapkan standar

prosedur operasional budidaya jeruk, (3) mengawal penerapan teknologi anjuran,

(4) menlengkapi infrastruktur agribisnis jeruk, (5) penguatan kelembagaan petani,

(6) meningkatkan efisiensi rantai pasokan dan (7) membentuk jaringan informasi.
42

Table 8. Nilai Produk Domestik Bruto Buah-Buahan, Tahun 2005


(Milyar Rupiah)
Nilai PDB Buah-buahan
No Komoditas Jumlah
TW I TW II TW III TW IV
1. Alpukat 81.67 49.49 41.57 128.77 301.50
2. Belimbing 25.64 3.16 31.54 30.48 90.82
3. Duku 251.60 95.14 78.75 100.97 526.46
4. Durian 883.63 311.51 372.98 795.63 2 363.74
5. Jambu Biji 100.42 65.75 74.34 74.34 314.84
6. Jambu Air 29.71 23.97 45.65 43.80 143.13
7. Jeruk Siam 1 361.46 1 658.71 1 506.69 1 443.08 5 969.94
8. Jeruk Besar 34.78 77.87 24.14 22.36 159.14
9. Mangga 333.27 237.75 969.79 2 127.36 3 668.16
10. Manggis 60.98 28.05 22.06 39.59 150.68
11. Nangka 411.84 407.57 373.05 576.90 1 769.35
12. Nenas 199.87 172.12 373.72 370.12 1 115.83
13. Pepaya 177.46 173.19 147.82 261.74 760.20
14. Pisang 2 322.86 1 945.59 2 259.55 2 659.76 9 187.76
15. Rambutan 705.65 152.16 117.42 487.60 1 462.83
16. Salak 666.61 464.94 345.97 860.75 2 338.27
17. Sawo 48.90 39.40 42.56 40.23 171.09
18. Markisa 55.86 61.37 29.68 27.41 174.32
19. Sirsak 48.41 32.77 50.16 62.12 193.46
20. Sukun 29.84 20.22 31.67 37.05 118.79
21. Melon 9.01 14.79 42.64 19.30 85.74
22. Semangka 40.92 90.69 315.66 113.07 560.34
23. Blewah 6.38 5.69 10.44 45.46 67.97
Total Buah-buahan 7 886.76 6 131.90 7 307.83 10 367.88 31 694.38

Sumber : Departemen Pertanian, 2007 dan 2008b.

Jeruk keprok sebenarnya terdiri dari beberapa macam. Jenis King atau

dikenal dengan nama King orange yang berasal dari Vietnam. Jeruk ini buahnya

besar, berkulit kasar dan mempunyai mutu buah bagus (Supriyanto, 2006). Di

Indonesia jenis jeruk keprok ini dikenal dengan nama jeruk jepun. Pada

perkembangan selanjutnya, jeruk keprok Indonesia diwarnai dengan kehadiran

beberapa hybrid jeruk keprok dengan jeruk lainnya terutama dengan jenis jeruk
43

manis (Citrus cinensis) seperti Murcott, Vreemont, dan jenis hybrid lainnya hasil

persilangan.

Secara umum, jeruk keprok di Indonesia digolongkan menjadi dua

kelompok berdasarkan elevasi tempat tumbuhnya, yaitu jeruk keprok dataran

tinggi (highland) dan dataran rendah (lowland) (Supriyanto, 2006). Jeruk keprok

dataran tinggi biasanya tumbuh optimal pada ketinggian sekitar 700-1200 m di

atas permukaan laut (dpl). Selanjutnya Supriyanto menjelaskan bahwa kulit buah

jeruk keprok dataran tinggi biasanya berwarna menarik yaitu orange hingga

kemerahan. Jenis jeruk keprok dataran tinggi yang sudah dilepas oleh pemerintah

(Menteri Pertanian) diantaranya adalah jeruk keprok SoE (NTT), keprok Garut-1

(Jabar), keprok Sipirok (Sumut), keprok Tawangmangu (Jateng), keprok Maga

(Sumut) dan keprok Gayo (NAD). Jeruk keprok dataran rendah tumbuh dan

berkembang dengan baik pada ketinggian 0-500 m dpl. Kulit buah berwarna

kuning kehijauan hingga orange. Jenis jeruk keprok dataran rendah yang sudah

dilepas pemerintah adalah Tejakula (Bali), keprok Selayar (Sulsel), keprok

Siompu (Sulteng), keprok Wangkang (Kalbar), keprok Pulau Tengah (Jambi) dan

keprok Madura (Jatim).

Di tingkat petani hampir tidak mengenal pembagian seperti tersebut.

Sebagai contoh, jeruk keprok SoE di daerah Timor Barat Provinsi Nusa Tenggara

Timur, jeruk tersebut dibudidayakan petani baik di dataran tinggi maupun dataran

rendah (yang mendekati elevasi 500 m dpl). Memang dari segi penampilan warna

kulit buah, jeruk keprok SoE pada daerah dataran tinggi berwarna kuning

keemasan, sedangkan pada daerah dataran rendah didominasi oleh warna kulit

kuning kehijauan. Konsumen lebih menyukai yang berwarna kuning keemasan.


44

2.2. Keragaan Usahatani Jeruk Keprok di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Komoditas jeruk dapat dijumpai di seluruh wilayah Indonesia (Tabel 9).

Tabel 9. Produksi Jeruk Menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2007-2008


No Propinsi Produksi (Ton)
2007 2008 Rata-rata %*
1 Sumatera Utara 963 140 858 508 910 824 39.83
2 Jawa Timur 91 078 520 864 305 971 13.38
3 Sulawesi Barat 155 758 301 483 228 621 10.00
4 Kalimantan Barat 171 599 181 793 176 696 7.73
5 Bali 108 913 71 232 90 073 3.94
6 Sumatera Selatan 95 038 64 233 79 6356 3.48
7 Kalimanatan Selatan 73 110 79 080 76 095 3.33
8 Lampung 49 646 65 257 57 452 2.51
9 Jambi 45 279 36 620 40 949 1.79
10 Jawa Tengah 46 732 33 727 40 229 1.76
11 Nusa Tenggara Timur 50 433 28 317 39 375 1.72
12 Sulawesi Selatan 41 093 33 694 37 394 1.64
13 Jawa Barat 30 119 27 911 29 015 1.27
14 Riau 25 933 27 073 26 503 1.16
15 Sulawesi Tengah 37 329 13 614 25 472 1.11
16 Sumatera Barat 21 878 24 696 23 287 1.02
17 Nanggore Aceh Darussalam 20 873 14 389 17 631 0.77
18 Sulawesi Tenggara 13 373 19 081 16 227 0.71
19 Bengkulu 10 449 14 275 12 362 0.54
20 Kepulauan Bangka Belitung 10 307 10 795 10 551 0.46
21 Kalimantan Timur 9 308 10 491 9 899 0.43
22 Kalimantan Tengah 7 003 6 165 6 584 0.29
23 Maluku 6 214 4 032 5 123 0.22
24 Nusa Tenggara Barat 6 714 3 483 5 099 0.22
25 Papua 3 201 6 720 4 961 0.22
26 Maluku Utara 3 865 4 179 4 022 0.18
27 DI Yogyakarta 2 317 1 880 2 099 0.09
28 Sulawesi Utara 2 088 1 864 1 976 0.09
29 Banten 1 594 1 140 1 367 0.06
30 Gorontalo 1 117 670 894 0.04
31 Papua Barat 626 173 399 0.02
32 Kepulauan Riau 242 190 216 0.01
33 DKI Jakarta 3 3 3 0.00013
Indonesia 2 106 372 2 467 632 2 287 002 100.00
Sumber: BPS Indonesia, 2009c.
Keterangan: * Persentase Terhadap Total Rata-Rata Indonesia (2007-2008).
45

Dari tabel tersebut diketahui bahwa sentra pengembangan jeruk terbesar

di Indonesia berada di Provinsi Sumatera Utara (menyumbang sebesar 40%

terhadap produksi jeruk nasional), diiukuti Provinsi Jawa Timur (13%), Sulawesi

Barat (10%) dan Kalimantan Barat (8%). Provinsi-provinsi lain seperti Bali,

Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Lampung menyumbang sekitar 3%

terhadap total produksi jeruk nasional. Sedangkan Provinsi Nusa Tenggara Timur

berada pada urutan yang ke sebelas dan menyumbang sebesar 1.72% (atau sebesar

39 375 ton) terhadap produksi jeruk nasional (rata-rata produksi tahun 2007-2008;

BPS Indonesia, 2009c).

Potensi areal untuk pengembangan tanaman jeruk di Indonesia sangat

besar. Menurut hasil kajian Pusat Penelitian Pengembangan Tanah dan

Agroklimat tahun 2005, dari segi kesesuaian lahannya, pengembangan sentra

produksi baru dapat dikembangkan di sembilan Provinsi dengan luas 5.6 juta

hektar seperti terlihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Luas Lahan Pengembangan Baru Jeruk di Beberapa Provinsi di


Indonesia

Provinsi Luas Lahan (Ha) %


Sumatra Utara 47 023 0.8
Sumatra Barat 182 959 3.2
Jambi 16 828 0.3
Sumatra Selatan 262 799 4.7
Nusa Tenggara Timur 203 431 3.6
Kalimantan Barat 1 762 105 31.2
Kalimantan Tengah 2 782 721 49.2
Kalimantan Selatan 739 053 13.1
Sulawesi Selatan 133 933 2.4
Indonesia 5 651 388 100.0
Sumber: Departemen Pertanian, 2005.

Dari tabel diketahui bahwa upaya pengembangan jeruk masih didukung

dengan ketersediaan lahan yang sangat luas, terutama di daerah-daerah


46

Kalimantan (Tengah, Barat dan Selatan). Provinsi Nusa Tenggara Timur

merupakan salah satu daerah sentra pengembangan jeruk keprok di Indonesia

dengan luas lahan potensial sebesar 203 431 ha atau sebesar 4% dari total luas

lahan rencana pengembangan jeruk di Indonesia. Kabupaten Timor Tengah

Selatan (TTS) memiliki luas lahan potensial untuk pengembangan jeruk sebesar

65 000 ha (32%) dari total luas lahan potensial untuk pengembangan jeruk di

provinsi NTT. Di Provinsi ini, Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan

daerah sentra pengembangan varietas jeruk keprok SoE. Budidaya jeruk keprok

ini hampir menyebar di semua kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten

Timor Sengah Selatan seperti yang tercantum pada Lampiran 1.

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, buah-buahan memiliki nilai ekonomi

yang berarti bagi pendapatan rumahtangga petani sepereti yang tercantum pada

Tabel 11 dan Gambar 5. Di daerah ini terdapat sekitar 20 jenis buah-buahan yang

sudah memasyarakat. Kontribusi hortikultura terhadap PDB cukup tinggi. Tahun

2005 sebesar 3.17 trilyun Rupiah. Dari jumlah tersebut kontribusi jeruk sebesar

6.1 milyar Rupiah (terbesar kedua setelah pisang). Tahun 2007 meningkat

menjadi sebesar 4.236 trilyun Rupiah dan sebesar 4.625 trilyun pada tahun 2008,

dimana kontribusi terbesar berasal dari pisang (67.6%), diikuti oleh papaya (10%),

jeruk keprok (7.65%) dan mangga (6.45%) . Kontribusi komoditas buah-buahan

lainnya masih sangat kecil yakni lebih kecil dari 2%.

Sedangkan dari segi produksi jeruk keprok menduduki tempat yang

kelima setelah pisang, mangga, alpukat dan papaya dan menyumbang sebesar

9.6% terhadap total produksi buah-buahan di provinsi NTT selama tahun 2005-

2008 seperti yang tercantum pada Gambar 6.


47

Tabel 11. Produksi Buah-Buahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2005-2008

Kontribusi
Jenis Buah-
No Produksi (Ton) TOTAL Nilai
Buahan
Ekonomi (%)
2005 2006 2007 2008 (T0N) % 2005-
Ton % Ton % Ton % Ton % 2008
1 Alpukat 39 566.0 16.9 54 647.0 16.5 66 606.0 15.0 11 545.0 2.5 172 364.0 11.70 2.79
2 Mangga 57 170.0 24.4 70 967.0 21.5 60 279.0 13.6 109 893.0 23.7 298 309.0 20.25 6.45
3 Pisang 55 677.0 23.8 81 886.0 24.8 192 112.0 43.3 191 342.0 41.2 521 017.0 35.37 67.58
4 Jeruk Keprok 29 308.0 12.5 46 743.0 14.1 43 980.0 9.9 21 520.0 4.6 141 605.0 9.61 7.65
5 Pepaya 22 338.0 9.5 31 193.0 9.4 36 391.0 8.2 64 248.0 13.8 154 170.0 10.47 10.00
6 Nangka 12 398.0 5.3 18 949.0 5.7 20 036.0 4.5 30 888.0 6.6 82 271.0 5.59 1.33
7 Jambu Biji 6 333.0 2.7 11 495.0 3.5 4 549.0 1.0 7 579.0 1.6 29 956.0 2.03 0.40
8 Sirsak 4 411.0 1.9 5 436.0 1.6 2 041.0 0.5 3 024.0 0.7 14 912.0 1.01 0.97
9 Jeruk Besar 3 275.0 1.4 4 941.0 1.5 6 453.0 1.5 6 743.0 1.5 21 412.0 1.45 0.58
10 Sukun 1 054 0.4 1 222 0.4 667.0 0.2 2 214.0 0.5 5 157.0 0.35 0.33
11 Nenas 836.0 0.4 856.0 0.3 2 139.0 0.5 5 674.0 1.2 9 505.0 0.65 0.62
12 Rambutan 775.0 0.3 791.0 0.2 2 383.0 0.5 5 115.0 1.1 9 064.0 0.62 0.59
13 Salak 447.0 0.2 611.0 0.2 144.0 0.0 824.0 0.2 2 026.0 0.14 0.35
14 Durian 249 0.1 343 0.1 514.0 0.1 787.0 0.2 1 893.0 0.13 0.05
15 Belimbing 177 0.1 272 0.1 365.0 0.1 742.0 0.2 1 556.0 0.11 0.03
16 Sawo 174 0.1 192 0.1 1 019.0 0.2 812.0 0.2 2 197.0 0.15 0.14
17 Jambu Air 101 0.04 130 0.04 3 629.0 0.8 1 174.0 0.3 5 034.0 0.34 0.08
18 Petay 32 0.0 42 0.0 109.0 0.0 96.0 0.0 279.0 0.02 0.02
19 Melinjo 26 0.0 30 0.0 131.0 0.0 209.0 0.0 396.0 0.03 0.03
20 Duku 9 0.004 9 0.003 8.0 0.0 64.0 0.0 90.0 0.01 0.00
NTT 234 289 100.0 330 674 100.0 443 555.0 100. 464 547.0 100. 1 473 056 100.0 100.00

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


48

600000
521 017
Produksi (Ton)
500000

400000
Produksi (Ton)

298 309
300000
172 364
200000 154 170 141 605

82 271
100000
29 956 21 412 14 912
9 505 9 064 5 157 5 034
0

Jenis Buah-Buahan

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


Gambar 5. Total Produksi Buah-Buahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2005-2008

40
35.4 % Produksi
Produksi (% Terhadap Total)

35
30
25
20.3
20
15 11.7
10.5 9.6
10 5.6
5 2.0 1.5 1.0 0.6 0.6 0.4 0.3 0.1
0

Jenis Buah-Buahan

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


Gambar 6. Persentase Produksi Terhadap Total Produksi Buah-Buahan di Nusa
Tenggara Timur, Tahun 2005-2008
49

Diantara berbagai jenis buah-buahan yang diproduksi oleh para petani di

provinsi NTT, dari segi luas panen selama tahun 2005 hingga 2008, jeruk keprok

menduduki tempat ketiga setelah mangga dan pisang (Tabel 12 dan Gambar 7).

Tabel 12. Luas Panen Buah-Buahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun
2005-2008
Jenis Buah-
No Buahan Luas Panen (Ha)

2005 2006 2007 2008 Total

Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %

1 Alpukat 9 358 13.04 11 717 12.91 10 317 11.35 1 508 7.43 32 900 12.0
2 Belimbing 79 0.11 110 0.12 64 0.07 31 0.15 284 0.10

3 Duku/Langsat 2 0.00 2 0.00 4 0.00 19 0.09 27 0.01

4 Durian 157 0.22 282 0.31 181 0.20 85 0.42 705 0.26
5 Jambu Biji 1 454 2.03 2 075 2.29 1 386 1.52 398 1.96 5 313 1.94

6 Jambu Air 101 0.14 130 0.14 689 0.76 142 0.70 1 062 0.39

7 Jeruk Keprok 10 987 15.31 13 260 14.61 13 083 14.39 2 043 6.45 38 639 14.1
8 Jeruk Besar 788 1.10 944 1.04 910 1.00 235 1.16 2 877 1.05

9 Mangga 23 471 32.71 29 200 32.16 32 425 35.66 8 849 43.60 93 945 34.3
10 Nangka 4 911 6.84 8 259 9.10 3 499 3.85 2 722 13.41 19 391 7.08

11 Nenas 197 0.27 248 0.27 327 0.36 59 0.29 831 0.30

12 Pepaya 3 065 4.27 3 784 4.17 4 835 5.32 778 3.83 12 462 4.55
13 Pisang 14 589 20.33 17 728 19.53 20 585 22.64 3 186 15.70 56 088 20.5

14 Rambutan 474 0.66 541 0.60 521 0.57 371 1.83 1 907 0.70
15 Salak 163 0.23 174 0.19 56 0.06 27 0.13 420 0.15
16 Sawo 66 0.09 106 0.12 546 0.60 120 0.59 838 0.31

17 Sirsak 790 1.10 934 1.03 1 019 1.12 212 1.04 2 955 1.08
18 Sukun 1 054 1.47 1 222 1.35 332 0.37 214 1.05 2 822 1.03

19 Melinjo 26 0.04 30 0.03 92 0.10 14 0.07 162 0.06

20 Petay 32 0.04 42 0.05 57 0.06 18 0.09 149 0.05

NTT 71 764 100 90 788 100 90 928 100 20 297 100 273 777 100

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).

Kecenderungan luas panen dan jumlah produksi jeruk keprok NTT ini

selama empat tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang sangat tinggi. Hal ini

sejalan dengan program pengembangan jeruk nasional, di mana provinsi NTT

merupakan salah satu provinsi sentra baru pengembangan jeruk di Indonesia.


50

Trend secara total selama tahun 2005-2008 untuk luas panen dan produksi buah-

buahan di NTT adalah sebagai tercantum pada Gambar 8.

Sirsak Jeruk Besar Sukun Rambutan


2955 2877 2822 1907 Jambu Air
Jambu Biji 1% 1%
1% 1% 1062
5313
2% 0%

Pepaya Alpukat
12462 32900
5% 12%
Nangka
19391
7%

Jeruk Keprok
38639
14%
Mangga
93945
35%

Pisang
56088
21%

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


Gambar 7. Total Luas Panen Buah-Buahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2005-2008

500000 464547
443555
450000
400000
330674
350000
300000 Luas Panen (Ha)
234289 Produski (Ton)
250000
200000
150000
90788 90928
100000 71764

50000 20297

0
2005 2006 2007 2008

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


Gambar 8. Trend Total Produksi dan Luas Panen Buah-Buahan di Nusa Tenggara
Timur, Tahun 2005-2008
51

Dari gambar tersebut diketahui bahwa produksi buah-buahan di NTT dari

tahun ke tahun meningkat. Produksi buah di NTT secara total selama 2005-2008

meningkat sebesar 98.28% (Tabel 13). Sedangkan dari segi luas panen, secara

total mengalami penurunan sebesar -71.72% dalam periode 2005-2008.

Penurunan luas panen pada tahun 2008 lebih besar dipengaruhi oleh turunnya luas

panen komoditas jeruk keprok sebesar -90% dibandingkan dengan tahun 2007

(Tabel 13). Komoditas yang luas panennya meningkat adalah duku, jambu air dan

sawo. Perbandingan dan kesenjangan antara luas tanam dan luas panen serta

antara produktivitas potensial dan aktual untuk beberapa buah-buahan penting

adalah seperti tercantum pada Tabel 14.

Tabel 13. Perkembangan Luas Panen dan Produksi Buah-Buahan di Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Tahun 2005-2008
(%)
No Jenis Buah-Buahan Perkembangan 2005-2008
Luas Panen Produksi
1 Alpukat -83.89 -70.82
2 Belimbing -60.76 319.21
3 Duku/Langsat 850.00 611.11
4 Durian -45.86 216.06
5 Jambu Biji -72.63 19.67
6 Jambu Air 40.59 1062.38
7 Jeruk Keprok -88.09 -26.39
8 Jeruk Besar -70.18 105.89
9 Mangga -62.30 92.22
10 Nangka -44.57 149.14
11 Nenas -70.05 578.71
12 Pepaya -74.62 187.62
13 Pisang -78.16 243.66
14 Rambutan -21.73 560.00
15 Salak -83.44 84.34
16 Sawo 81.82 366.67
17 Sirsak -73.16 -31.44
18 Sukun -79.70 110.06
19 Melinjo -46.15 703.85
NTT -71.72 98.28

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


52

Tabel 14. Luas Tanam dan Produksi Komoditi Buah-Buahan Di Nusa Tenggara Timur, Tahun 2004-2008

NO URAIAN TAHUN Rata-Rata PERTUMBUHAN Populasi


2004 2005 2006 2007 2008 2004-2008 2004-2008 (%) (phn/Ha)
1 MANGGA 100
- Luas Tanam (ha) 56 171 78 492 102 468 115 489 95 915 89 707 70,76
- Luas Panen (Ha) 16 757 23 471 29 200 32 425 8 849 22 140 -47,19
- Produktivitas (Kw/Ha) 21,84 24,36 24,30 18,60 124,19 42,66 468,52 4,27 kg/phn
- Produksi (Ton) 36 604 57 170 70 967 60 299 109 893 66 987 200,22
- Potensi Produktivitas (Kw/Ha) 200 200 200 200 200 200 0,00 20 kg/phn
- Kesenjangan Prodvitas (Kw/Ha) 178,16 175,64 175,70 181,40 75,81 157,34 -57,45
- Kesenjangan Produktivitas (%) 89,08 87,82 87,85 90,70 37,91 78,67
2 ALPUKAT 100
- Luas Tanam (ha) 39 152 44 194 49 042 29 080 26 865 37 667 -31,38
- Luas Panen (Ha) 7 564 9 358 11 717 10 317 1 508 8 093 -80,06
- Produktivitas (Kw/Ha) 35,23 42,28 46,64 64,56 76,56 53,05 117,29 5,31 kg/phn
- Produksi (Ton) 26 651 39 566 54 647 66 606 11 545 39 803 -56,68
- Potensi Produktivitas (Kw/Ha) 500,00 500,00 500,00 500,00 500,00 500 0,00 50 kg/phn
- Kesenjangan Prodvitas (Kw/Ha) 464,77 457,72 453,36 435,44 423,44 446,95 -8,89
- Kesenjangan Produktivitas (%) 92,95 91,54 90,67 87,09 84,69 89,39
3 JERUK KEPROK 278
- Luas Tanam (ha) 14 705 30 797 35 169 26 707 32 300 27 936 119,65
- Luas Panen (Ha) 8 368 10 987 13 260 13 083 2 043 9 401 -84,36
- Produktivitas (Kw/Ha) 21,69 26,68 35,25 33,62 164,81 56,41 659,74 2,03 kg/phn
- Produksi (Ton) 18 153 29 308 46 743 43 980 21 520 31 952 18,85
- Potensi Produktivitas (Kw/Ha) 650,00 650,00 650,00 650,00 650,00 650,00 0,00 23,38 kg/phn
- Kesenjangan Prodvitas (Kw/Ha) 628,31 623,32 614,75 616,38 485,19 593,59 -22,78
- Kesenjangan Produktivitas (%) 96,66 95,90 94,58 94,83 74,64 91,32
53

Tabel 14. Lanjutan

4 RAMBUTAN 100
- Luas Tanam (ha) 8 457 9 395 10 722 7 847 8 515 8 987 0,69
- Luas Panen (Ha) 374 474 541 521 371 456 -0,80
- Produktivitas (Kw/Ha) 16 16 15 46 138 46 785,97 4,60 kg/phn
- Produksi (Ton) 582 775 791 2 383 5 115 1 929 778,87
- Potensi Produktivitas (Kw/Ha) 400 400 400 400 400 400 0,00 40 kg/phn
- Kesenjangan Prodvitas (Kw/Ha) 384,44 383,65 385,38 354,26 262,13 353,97 -31,82
- Kesenjangan Produktivitas (%) 96,11 95,91 96,34 88,57 65,53 88,49
5 SALAK 2000
- Luas Tanam (ha) 890 947 1 156 492 465 790 -47,75
- Luas Panen (Ha) 126 163 174 56 27 109 -78,57
- Produktivitas (Kw/Ha) 24,68 27,42 35,11 25,71 305,19 84 1136,44 0,42 kg/phn
- Produksi (Ton) 311 447 611 144 824 467 164,95
- Potensi Produktivitas (Kw/Ha) 250 250 250 250 250 250 0,00 1,25 kg/phn
- Kesenjangan Prodvitas (Kw/Ha) 225,32 222,58 214,89 224,29 -55,19 166,38 -124,49
- Kesenjangan Produktivitas (%) 90,13 89,03 85,95 89,71 -22,07 66,55
6 NENAS 25000
- Luas Tanam (ha) 525 665 720 647 419 595 -20,19
- Luas Panen (Ha) 151 197 248 327 59 196 -60,93
- Produktivitas (Kw/Ha) 40,26 42,44 34,52 65,41 961,86 229 2289,12 0,09 kg/phn
- Produksi (Ton) 608 836 856 2 139 5 675 2 023 833,39
- Potensi Produktivitas (Kw/Ha) 500 500 500 500 500 500 0,00 0,2 kg/phn
- Kesenjangan Prodvitas (Kw/Ha) 459,74 457,56 465,48 434,59 -461,86 271,10 -200,46

- Kesenjangan Produktivitas (%) 91,95 91,51 93,10 86,92 -92,37 54,22

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


54

Rendahnya produktivitas pertanian tanaman buah di NTT erat kaitannya

dengan rendahnya curah hujan (kekurangan air irigasi untuk pertanian),

penggunaan bibit tanaman dari produksi sendiri (bukan benih unggul), sistem

pengelolaan tradisional dan skala usaha yang masih kecil (kurang dari 1 ha per

KK petani tanaman) dan struktur pasar yang oligopsoni (pasar persaingan tidak

sempurna di mana para pembeli jauh lebih sedikit dibandingkan dengan para

petani produsen/penjual) sehingga harga kurang bersaing dan posisi tawar petani

menjadi lemah. Dari 16 Kabupaten/Kota daerah pengembangan jeruk keprok di

NTT, Kabupaten TTS merupakan daerah prioritas pertama dengan konsentrasi

varietas jeruk keprok SoE seperti yang tercantum pada Tabel 15 dan Tabel 16

serta Gambar 9 dan Gambar 10.

Tabel 15. Keadaan Luas Panen Jeruk Keprok di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2002-2008
%
No Kabupaten Luas Panen (Ha) Total
thdp
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 total
1 TTS 1 042 1 157 1 336 1 445 2 218 2 089 1409 10 696 17.4
2 TTU 858 1 035 1 035 1 231 1 682 1 718 90 7 649 12.4
3 Belu 528 1 054 1 053 1 364 1 732 1 732 56 7 519 12.2
4 Kupang 743 1 078 1 078 1 159 1 159 1 154 39 6 410 10.4
5 Alor 630 716 716 979 979 693 67 4 780 7.8
6 Ende 315 384 528 881 892 1 015 126 4 141 6.7
7 Lembata 188 531 532 864 904 860 30 3 909 6.4
8 Ngada 280 328 416 677 698 731 18 3 148 5.1
9 Flores Timur 400 348 367 460 683 637 12 2 907 4.7
10 Sumba Barat 189 315 357 623 647 631 50 2 812 4.6
11 Sumba Timur 231 322 322 322 671 862 32 2 762 4.5
12 Sikka 266 345 345 504 516 482 9 2 467 4.1
13 Manggarai 278 265 265 377 377 375 96 2 033 3.3
14 Manggarai Barat 96 96 95 5 292 0.5
15 Rote Ndao 15 15 1 1 2 4 38 0.1
16 Kota Kupang 0 4 4 5 5 5 0 23 0.1
NTT 5 948 7 897 8 369 10 988 13 260 13 081 2 043 61 586 100

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


55

12000
10 696

10000

8000 7 649 7 519


Luas Panen (Ha)

6 410
6000
4 780
4 141 3 909
4000 3 148 2 907
2 812 2 762
2 467
2 033
2000
292 38 23
0

Kabupaten

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


Gambar 9. Total Luas Panen Jeruk Keprok per Kabupaten di Nusa Tenggara
Timur, Tahun 2002-2008

Tabel 16. Keadaan Produksi Jeruk Keprok di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2002-2008

%
No Kabupaten Produksi (Ton) Total
thdp
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 total
1 TTS 1 492 2 987 7 821 5 856 7 431 5 103 7 199 37 889 20.8
2 Ende 887 912 1 223 2 717 5 855 6 109 2 383 20 086 10.65
3 TTU 708 1 949 1 949 2 997 4 517 3 881 1 213 17 214 9.13
4 Belu 642 1 100 1 100 2 668 3 807 4 451 969 14 737 7.81
5 Alor 774 1 815 1 815 2 923 2 923 2 908 1 368 14 526 7.70
6 Lembata 905 1 163 1 163 2 372 4 976 2 241 216 13 036 6.91
7 Ngada 1 086 1 480 1 564 2 593 3 099 1 095 163 11 080 5.87
8 Sumba Barat 971 897 1 071 1 996 2 127 2 521 1 027 10 610 5.63
9 Sumba Timur 744 661 661 661 3 032 2 869 1 283 9 911 5.25
10 Manggarai 969 955 955 1 575 1 575 864 2 067 8 960 4.75
11 Kupang 1 143 1 252 1 262 1 359 1 359 1 643 444 8 462 4.49
12 Sikka 933 1 049 1 049 1 596 1 649 1 349 508 8 133 4.31
13 Flores Timur 846 551 557 793 1 695 1 738 137 6 317 3.35
14 Mangga Barat 338 338 658 35 1 369 0.73
15 Rote Ndao 35 35 1 1 5 30 107 0.06
16 Kota Kupang 6 6 12 12 12 1 49 0.03
NTT 12 100 16 812 18 153 29 308 46 743 43 980 21 520 188 616 100

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


56

40000 37 889

Produksi (Ton) 35000


30000
25000
20 086
20000 17 214
14 526
14 737 11 080
15000 13036
10 610 9 911
8 960 8 462 8 133
10000 6 317
5000 1 369
107 49
0

Kabupaten

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


Gambar 10. Total Produksi Jeruk Keprok per Kabupaten di Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2002-2008

Luas panen dan produksi jeruk keprok di NTT menurun sejak tahun 2006

(Gambar 11). Produktivtas jeruk keprok daerah TTS dari tahun ke tahun

meningkat. Pada tahun 2004, produktivitas jeruk ini hanya 2.2 ton per hektar,

tahun 2005 meningkat menjadi 2.7 ton dan 2006 sebesar 3.5 ton per hektar serta

meningkat menjadi 16.7 ton/ha pada tahun 2008. Bila dibandingkan dengan

produktivitas potensialnya yang sebesar 40-65 ton per hektar, maka keadaan

produktivitas seperti tersebut masih dikategorikan rendah. Kesenjangan antara

produktivitas aktual dan potensial jeruk keprok di NTT masih terlalu besar seperti

tercantum pada Tabel 17. Rendahnya produktivitas jeruk keprok di provinsi Nusa

Tenggara Timur diduga karena rendahnya kapabilitas petani (kemampuan

manajerial) sebagai pengelola usahatani dan adanya permasalahan inefisiensi

teknis produksi di dalam penggunaan input-input usahataninya.


57

50000
46 743

45000 Produksi (ton) 43 980

40000 Luas Panen (Ha)


Produksi (Ton) dan Luas Panen (Ha)

35000

30000 29 308

25000
22 231 21 520
20000
16 812
15000
13 081
12 100
10000 13 260
10 988
5000 7 897 8 369
5 948
2 043
0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Tahun

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


Gambar 11. Tren Total Luas Panen dan Produksi Jeruk Keprok di Nusa Tenggara
Timur, Tahun 2002-2008

Tabel 17. Kesenjangan Antara Produktivitas Aktual dan Potensial Jeruk Keprok di
Nusa Tenggara Timur, 2003-2008.

Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata

Produksi (ton) 16 812 22 231 29 308 46 743 43 980 21 520 28397.67

Luas Panen (Ha) 7 897 8 369 10 988 13 260 13 081 2 043 9273.00

Produktivitas
7.66 9.56 9.97 12.04 10.30 33.53 13.84
(Kg/Pohon)

Potensial (kg/phn) 250 250 250 250 250 250 250.00

Tercapai/aktual (%) 3.06 3.82 3.99 4.82 4.12 13.41 5.54

Kesenjangan (%) 96.94 96.18 96.01 95.18 95.88 86.59 94.46

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a (diolah).


58

2.3. Kondisi Geografis dan Produksi Pertanian di Kabupaten Timor Tengah


Selatan

2.3.1. Kondisi Geografis Kabupaten Timor Tengah Selatan

2.3.1.1. Latak Geografis dan Luas Wilayah

Kabupaten TTS, salah satu dari 21 Kabupaten/Kota di Propinsi NTT,

terletak pada koordinat 1240.49.01”-1240.04.00” Bujur Timur dan 900-100 Lintang

Selatan. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU),

sebelah selatan berbatasan dengan Laut Timor, sebelah timur berbatasan dengan

Kabupaten Kupang dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Belu.

Berdasarkan geografis wilayah, Kabupaten Timor Tengah Selatan

berpeluang melakukan kerjasama antar daerah dengan wilayah yang berbatasan

darat langsung yaitu Kabupaten Belu, Kabupaten Timor Tengah Utara dan

Kabupaten Kupang. Secara geografis juga relatif dekat dengan Kota Kupang

sebagai Ibu Kota Propinsi Nusa Tenggara Timur, sehingga berpeluang mencapai

Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan pasar. Kabupaten Timor Tengah Selatan juga

dekat dengan Kota Atambua sebagai kota terdepan menuju Negara Timor Leste.

Berdasarkan kondisi geografis tersebut maka kedudukan Kabupaten Timor

Tengah Selatan sangat strategis karena berada diantara dua Kota PKN yaitu

Kupang dan Atambua sesuai RTRW Propinsi Nusa Tengara Timur. Sehubungan

dengan posisi tersebut Kabupaten Timor Tengah Selatan memiliki akses pasar

keluar wilayah yang cukup baik.

Dari luas wilayah Kabupaten TTS sebesar 394 700 ha yang seluruhnya

berupa daratan, Kabupaten TTS terbagi dalam 32 kecamatan, 228 desa dan 12

kelurahan (BPS, 2009b). Kecamatan Amanuban Selatan merupakan Kecamatan


59

terluas (8.05% dari luasan total kabupaten), diikuti oleh Amanuban Timur

(6.22%), Kuanfatu (6.18%), dan Kualin (6.00%). Sedangkan kecamatan-

kecamatan lain memiliki luasan kurang dari 6% terhadap total dengan kecamatan

Kota SoE sebagai ibukota kabupaten menjadi kecamatan yang luasnya paling

kecil (0.53% dari total luas Kabupaten Timor Tengah Selatan). Secara detail dapat

dilihat pada Gambar 12.

10
8.1
8
6.2 6.2 6.0
Luas (%)

5.5 5.5
6 4.8 4.5 4.4
3.7 3.6 3.4
4 3.2 3.2 3.2 3.2 3.0

Kecamatan

2.9
3 2.7 2.7 2.6 Persentase Terhadap Luas Kab TTS
2.5
Luas (%)

2 1.5
1.2 1.1 1.1
0.9 0.8 0.8
1 0.7 0.5 0.5

Kecamatan

Sumber: BPS, 2009b.


Gambar 12. Persentase Luas Wilayah Kecamatan Terhadap Luas Daerah
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2008
60

2.3.1.2. Topografi dan Kelerengan Wilayah

Topografi wilayah Kabupaten TTS sangat bervariasi dari satu tempat ke

tempat lainnya yang secara umum didominasi oleh daerah bergunung-gunung dan

perbukitan. Berdasarkan topografi, maka wilayah Kabupaten TTS terbagi dalam

dua kategori yaitu wilayah dataran rendah yang dominan berada di wilayah

Selatan dan wilayah dataran tinggi yang dominan berada di wilayah Tengah dan

Utara, yang mana perbedaan ini menuntut adanya perbedaan pendekatan

pembangunan pertanian. Data berikut memperlihatkan konidisi umum topografi

(ketinggian tempat dari permukaan laut-dpl) wilayah Kabupaten TTS.

Ketinggian 0 - 500 m dpl : 49.0 % dari luas wilayah TTS

Ketinggian 500 - 1 000 m dpl : 48.2 % dari luas wilayah TTS

Ketinggian di atas 1 000 m dpl : 2.8 % dari luas wilayah TTS.

Kelerengan wilayah Kabupaten TTS juga bervariasi. Hal ini sangat

dipengaruhi oleh kondisi topografi wilayah yang berbukit dan bergunung.

Komposisi kelerengan wilayah berdasarkan skala kelerengan (%) dapat dilihat

sebagai berikut:

Kelerengan 0 – 30 : 7.52 % dari luas wilayah TTS

Kelerengan 30 – 120 : 16.49 % dari luas wilayah TTS

Kelerengan 120 – 400 : 41.87 % dari luas wilayah TTS

Kelerengan di atas 400 : 34.12 % dari luas wilayah TTS

Berdasarkan tingkat kelerengan menunjukkan bahwa kelerengan wilayah

merupakan salah satu faktor pembatas dalam pengembangan sumberdaya alam

berbasis pertanian. Berdasarkan hal tersebut maka pilihan komoditas harus

didasarkan bada upaya mendukung konservasi lahan yang rentan akan longsor dan
61

erosi pada wilayah dengan kelerengan lebih dari 40º. Sehubungan kelerengan

wilayah berkaitan langsung dengan konservasi lahan dan kelestarian lingkungan,

maka pengelolaan sumberdaya alam berbasis kelerengan harus dikendalikan

secara ketat dan pemanfaatan lahannya harus mampu menjamin konservasi

sumberdaya lahan secara optimal.

Memperhatikan kondisi kelerengan wilayah itu, maka pemilihan

komoditas pertanian sangat perlu didasarkan pada upaya mendukung konservasi

lahan yang rentan akan longsor dan erosi terutama pada wilayah dengan

kelerengan di atas 400. Kasus bencana alam terutama kekeringan (Maret –

Oktober), tanah longsor dan erosi yang biasa terjadi di wilayah TTS pada saat

musim hujan (Nopember - Februari) sangat perlu untuk diselesaikan dan

diintegrasikan dengan program pembangunan pertanian berbasis konservasi tanah

dan air. Gambar 13 menunjukkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Daerah Kabupaten TTS untuk menangani lahan/wilayah kritis (Bappeda, 2010).

Sumber: Bappeda, 2010.


(a) Tingkat Kekritisan Lahan di (b) Penyebaran Daerah Prioritas
Kabupaten TTS, Tahun 2009-2013 Penghijauan dan Konservasi
Tanah dan Air, Tahun 2009-2013
Gambar 13. Tingkat Kekritisan Lahan dan Penyebaran Daerah Prioritas
Penghijauan dan Konservasi Tanah dan Air, Tahun 2009-2013
62

Berdasarkan Gambar 13 tersebut diketahui bahwa Pemerintah Kabupaten

TTS memiliki rencana jangka menengah untuk kegiatan konservasi tanah dan air

yang diprioritaskan berdasarkan tingkat kekritisan lahan tahun 2009.

2.3.1.3. Jenis Tanah dan Geologi

Jenis Tanah sangat menentukan kemampuan daya dukungnya dalam

pembangunan daerah berbasis pertanian. Berdasarkan keadaan batuan (litologi)

jenis tanah dikelompokkan ke dalam aluvial, grumusol, mediteran merah kuning

dan kompleks. Peta geologi lembar Kupang-Atambua, Timor (Rencana Tata

Ruang Wialayah Kabupaten-RTRWK TTS) menunjukkan bahwa wilayah

Kabupaten TTS memiliki jenis batuan sedimen, beku, vulkanik dan batuan

malihan yaitu (1) batuan sedimen terdiri dari batuan gamping, kalisutit, batu pasir,

lanau, serpih dan lempung, (2) batuan beku terdiri dari batuan ultra dan diorit, dan

(3) batuan malihan adalah malihan berderajat rendah sampai tinggi dari batu

sabak, filit, seksis, amfibolit dan granolit.

Lahan pertanian (lahan kering) di TTS umumnya bertekstur keras,

sementara kesuburan tanah berdasarkan tingkat ketersediaan unsur N, P, K, dan

bahan organik menunjukkan bahwa secara umum tanah di kabupaten TTS

memiliki harkat nitrogen rendah, harkat fosfat tinggi, harkat kalium sangat tinggi

dan bahan organik sedang (Dinas Pertanian, 2010c). Dilaporkan pula bahwa nilai

PH tanah di Kabupaten TTS cenderung netral untuk 51.4% wilayah diikuti agak

masam. Kondisi lainnya, bahwa tanah di Kabupaten TTS tidak terdapat salinitas

tanah. Tekstur tanah di Kabupaten TTS adalah sedang sampai kasar, sehingga

diperlukan input teknologi dalam pemanfaatannya.


63

Adapun kedalaman efektif tanah di wilayah Kabupaten TTS adalah

sebagai berikut:

Kedalaman 0 – 30 cm : 13.30 % dari luas wilayah

Kedalaman 30- 60 cm : 6.28 % dari luas wilayah

Kedalaman 60 -90 cm : 2.12 % dari luas wilayah

Kedalaman di atas 90 cm : 78.30 % dari luas wilayah

Daerah tertentu dengan endapan unsur hara tinggi memiliki produktivitas

lahan yang tinggi sedangkan pada daerah lain kurang produktif (lihat Gambar 13

tentang tingkat kekritisan lahan di TTS). Demikian juga faktor lainnya yang

mempengaruhi penurunan produktivitas lahan adalah topografi, curah hujan,

tingkat penyerapan teknologi dan pengetahuan masyarakat TTS.

Topografi wilayah TTS yang berbukit dan bergunung menunjang

terjadinya erosi tanah. Jika tidak ditunjangi dengan kegiatan pertanian yang

berbasis konservasi, maka tingkat produktivitas lahan pasti menjadi rendah. Curah

hujan dengan intensitas yang tinggi sangat berpengaruh besar pada terjadinya

erosi tanah yang berakibat pada rendahnya kandungan unsur hara dan

produktivitas tanah. Demikian juga minimnya penerapan teknologi dan

pengetahuan masyarakat tentang pentingnya unsur hara dalam tanah telah

mempengaruhi rendahnya produktivitas tanah (pers.com dengan Kabid Bina

Produksi Dinas Pertanian TTS, tanggal 25 Maret 2010).

2.3.1.4. Penggunaan Lahan dan Kondisi Agroklimat

Total lahan di Kabupaten Timor Tengah Selatan seluas 394 700 ha, yang

terdiri dari lahan basah sebesar 23 682 ha (6 %) dan lahan kering sebesar 371 018

ha (94%). Penggunaan lahan tahun 2004-2008 mengalami peningkatan dan


64

pengurangan yang dipengaruhi oleh aspek tenaga kerja yang terbatas (pers.com

Kabid Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten TTS, tanggal 26 Maret 2010).

Perubahan fungsi lahan dari tahun 2004-2008 tercantum pada Tabel 18.

Dari jenis penggunaan lahan pada tahun 2008, luasan penggunaan lahan

yang paling kecil adalah lahan sawah (0.82%) dan yang terbesar adalah lahan

hutan (hutan negara dan hutan rakyat) sebesar 27%, diikuti lahan untuk

perkebunan, tegalan dan perutnukann lainnya (pemukiman, kolam ikan dan

lainnya) seperti tercantum pada Gambar 14.

Tabel 18. Perkembangan Penggunaan Lahan, Tahun 2004-2008


Jenis Penggunaan Tahun % Terhadap
Lahan (Ha) 2004 2005 2006 2007 2008 Total 2008
Lahan Sawah 4 979 5 764 4 246 4 979 3 239 0.82
Tegal 52 333 50 543 45 498 43 897 41 888 10.61
Ladang 31 237 20 742 49 758 41 232 33 394 8.46
Perkebunan 54 672 52 567 55 671 58 932 67 981 17.22
Hutan 98 657 104 434 96 870 104 418 106 089 26.88
Padang 46 882 58 907 48 266 59 597 47 624 12.07
Tidak Diusahakan 45 682 42 342 40 561 37 823 39 495 10.01
lainnya 60 258 59 401 53 830 43 822 54 990 13.93
Timor Tengah
Selatan 394 700 394 700 394 700 394 700 394 700 100.00
Sumber: Dinas Pertanian, 2010c (diolah).

Ladang; 8.46 Lahan Sawah; 0.82


Hutan
Tidak Diusahakan; Perkebunan
10.01 Hutan ; 26.88 lainnya
Padang
Tegal; 10.61
Tegal
Tidak Diusahakan
Padang; 12.07 Ladang
Perkebunan; 17.22 Lahan Sawah
lainnya; 13.93

Sumber: Tabel 18.


Gambar 14. Persentase Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Timor Tengah
Selatan, Tahun 2008
65

Lahan di kabupaten TTS terbentuk dari beberapa tipe formasi karang

dengan tekstur dan resistensi yang bervariasi. Jenis tanahnya berasal dari endapan

dan bahan kapur dominasi Mediteranian/Podsolik Merah Kuning, Grumosol dan

Alluvial ataupun Latosol dengan tingkat kesuburan bervariasi dari sedang sampai

dengan cukup subur. Wilayah kabupaten TTS bagian utara umumnya termasuk

dalam zona iklim yang relatif lembab, sedangkan di bagian selatan relatif

memiliki suhu yang lebih tinggi.

Daerah TTS memiliki musim hujan selama tiga sampai empat bulan

(Desember - Maret) dengan rata-rata curah hujan 1150 mm per tahun (Dinas

Pertanian, 2009) dan bulan kering berkisar lima sampai delapan bulan (April –

Nopember). Empat puluh Sembilan persen (49%) wilayah kabupaten TTS berada

pada ketinggian 0-500 m dpl, sedangkan 51% sisanya berada pada ketinggian

lebih dari 500 m dpl dari total wilayah seluas 394 700 km2. Sebaran kondisi

agroklimat di kabupaten TTS tercantum pada Tabel 19.

Kabupaten Timor Tengah Selatan dipengaruhi oleh dua musim, musim

barat dan musim Timur. Musim barat dikenal dengan musim hujan, lamanya

empat bulan (mulai bulan Nopember dan berakhir bulan Februari) dengan jumlah

hari hujan rata-rata 76 hari dan curah hujan rata-rata 1 617 mm dalam tahun 2008

(BPS, 2009b). Musim timur dikenal dengan musim kemarau atau musim kering,

lamanya delapan bulan (mulai bulan Maret dan berakhir bulan Oktober). Angin

bertiup kencang terutama pada musim barat, dengan kecapatan 33-34 km per jam.

Suhu pada tahun 2009 minimum 230C dan maksimum 250C. Fluktuasi jumlah

Hari Hujan (HH) dan Curah Hujan (CH) bulanan tahun 2008 (total dan rata-rata

bulanan) tercantum pada Gambar 15.


66

Tabel 19. Sebaran Kondisi Agroklimat di Kabupaten Timor Tengah Selatan,


Tahun 2008

Kecamatan Kondisi Agroklimat


Jumlah Elevasi Curah RH Suhu
bulan (m dpl) hujan (%) (0C)
basah- (mm/th)
kering
Amanuban Barat 5-7 600 2 291 80 32-33
Amanuban Tengah 5-7 850 1 696 75 32-33
Amanuban Timur 7-5 650 2 583 80 32-33
Amanuban Selatan 4-8 65 2 019 70 32-33
Mollo Selatan 5-7 787 2 508 80 32-33
Mollo Utara 5-7 950 2 583 85 32-33
Amanatun Utara 4-8 350 1 453 80 32-33
Amanatun Selatan 4-8 945 1 978 75 32-33
Kota SoE 4-8 850 1 453 80 32-33
Kuanfatu 4-8 400 2 079 80 32-33
KiE 4-8 - - 80 32-33
Boking 4-8 30 1 388 80 32-33
Polen 5-7 20 1 448 80 32-33
Batu Putih 4-8 - - 80 32-33
Fatumnasi 8-4 1 800 - 90 28-30
Sumber: Dinas Pertanian, 2009.

4500 4 2 48 450
3 938 3 93
4000 3 870 400
Hari Hujan (hh) & Curah Hujan (mm)
Hari Hujan (hh) & Curah Hujan (mm)

3 87
3 500 350
3 722 372
hh
3 000 300 hh
mm

2 500 250 mm

2 000 200

1 376 150 137


1500
1 156 115
1000 100
50 42
500 2 11 3 07 509 50 70 21 30
7 02
0 0 0 0
0 0

Bulan Bulan

Sumber: BPS TTS, 2009b.


(a) Total Hari Hujan dan Curah Hujan (b) Rata-Rata Hari Hujan dan
Curah Hujan Bulanan
Bulanan

Gambar 15. Jumlah Hari Hujan dan Curah Hujan Bulanan Di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Tahun 2008
67

Pada tahun 2008, jumlah hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Maret,

sedangkan jumlah curah hujan terbesar terjadi pada bulan Februari. Sedangkan

fluktuasi jumlah hari hujan dan curah hujan bulanan selama periode tahun 2003-

2008 tercantum pada Gambar 16. Trend selama enam tahunan itu menunjukkan

bahwa bulan terkering di kabupaten TTS selalu terjadi selama tiga bulan yakni

bulan Juli, Agustus dan September di mana curah hujanya tidak ada sama sekali.

450 2 003 20
2 003
2 004 18
400 2 004
2 005
2 005
16
350 2 006
2 006
2 007 14 2 007
300
Curah Hujan (mm)

2 008
Hari Hujan (hh)

2 008
12
250
10
200
8
150
6

100
4

50 2

0 0
Juni
Jan

Mar

Okt
Juli

Des
Nop
Sept
Feb

Agust
Mei
April

Juni
Jan

Mar

Okt
Juli

Des
Nop
Sept
Feb

Agust
Mei
April

Bulan Bulan

Sumber: BPS, 2009b.


(a) Rata-Rata Curah Hujan Bulanan, (b) Rata-Rata Hari Hujan Bulanan,
Tahun 2003-2008
Tahun 2003-2008

Gambar 16. Rata-Rata Curah Hujan dan Hari Hujan Bulanan, Tahun 2003-2008

Dari penyebaran curah hujan per wilayah menunjukkan bahwa sebaran

volume dan intensitas hujan tidak merata yaitu di wilayah bagian Barat dan Utara
68

TTS, curah hujanya relatif tinggi, bagian wilayah Tengah relatif sedang dan makin

ke Timur dan Selatan semakin berukurang (Dinas Pertanian, 2010c).

Terbatasnya musim hujan menyebabkan ketergantungan pembangunan

ekonomi berbasis pertanian pada sumberdaya air sangat besar. Adanya Gunung

Mutis dan kawasan Hutan sekitarnya menjadi faktor pendukung ketersediaan

sumber daya air yang mendukung munculnya mata air dan adanya sungai-sungai

yang tetap mensuplai air sepanjang tahun diantaranya sungai Noel Mina dan Noel

Benenain. Kabupaten Timor Tengah Selatan juga memiliki ratusan mata air yang

menjadi sumber air bersih dan kegiatan ekonomi.

2.3.2. Kondisi Produksi Pertanian Kabupaten Timor Tengah Selatan

Pada bagian ini akan dibahas tentang kondisi luas panen, produksi,

pemasaran, teknologi yang berkaitan dengan tanaman pangan (termasuk sayuran

dan buah-buahan), perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan di

kabupaten Timor Tengah Selatan. Pembahasan pada bagian ini ditujukan untuk

lebih mendalami kondisi umum pertanian daerah kabupaten TTS agar diskusi dan

pembahasan tentang efisiensi yang berkaitan dengan usahatani jeruk keprok SoE

dapat dipahami juga dari kondisi umum yang ada.

2.3.2.1. Subsektor Tanaman Pangan

Subsektor tanaman pangan merupakan motor penggerak utama

perekonomian di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Subsektor ini memberikan

kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Timor Tengah

Selatan. Pada tahun 2007 total luas areal panen tanaman pangan adalah 87 176 Ha
69

dengan tingkat produksi 211 960 ton seperti tercantum pada Tabel 20 dan 21.

Bila dilihat menurut komoditinya, luas areal panen tanaman bahan makanan tahun

2005-2007 (rata-rata) di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang terbesar adalah

jagung dengan luas areal 60 337 ha (75.34%) dan tingkat produksi 96 575 ton,

atau mencapai 62.47% dari total produksi komoditi tanaman pangan (Gambar 17).

Selanjutnya ubi kayu (dengan rata-rata luas panen 10 067 ha (12.56%) dan

produksi 30 713.67 ton (25.04%)). Padi menempati urutan yang ketiga, yang

kemudian diikuti oleh kacang tanah, ubi jalar, produk pertanian dan kedelai

seperti yang tercantum pada tabel dan gambar tersebut.

Tabel 20. Perkembangan Luas Panen Tanaman Pangan, Tahun 2005-2007

Tanaman Pangan Luas Panen (Ha) % Thdp %


2005 2006 2007 Rata-Rata Total Perkembangan
2005-2007 2005-2007
1. Padi 4 027 3 581 4 339 3 982.33 4.97 7.75
2. Jagung 56 628 55 899 68 484 60 337.00 75.34 20.94
3. Ubi kayu 15 659 7 115 7 409 10 061.00 12.56 -52.69
4. Ubi Jalar 2 509 1 595 1 209 1 771.00 2.21 -51.81
5. Kacang Tanah 858 1 322 3 480 1 886.67 2.36 305.59
6. Kacang Kedelai 346 436 997 593.00 0.74 188.15
7. Produk pertanian 987 2 113 1 258 1 452.67 1.81 27.46
Total 81 014 72 061 87 176 80 083.67 100.00

Sumber: Dinas Pertanian, 2009.

Tabel 21. Perkembangan Produksi Tanaman Pangan, Tahun 2005-2007

Tanaman Pangan Produksi (Ton) % % Perkb


2005 2006 2007 Rata-Rata Thdp 2005-
2005-2007 Total 2007
1. Padi 6 554 11 835 14 026 10 805.00 6.99 114.01
2. Jagung 61 707 68 042 159 976 96 575.00 62.47 159.25
3. Ubi kayu 49 594 36 911 29 636 38 713.67 25.04 -40.24
4. Ubi Jalar 6 735 5 225 3 074 5 011.33 3.24 -54.36
5. Kacang Tanah 842 1 244 3 265 1 783.67 1.15 287.77
6. Kacang Kedelai 218 338 979 511.67 0.33 349.08
7. Produk pertanian 998 1 616 1 004 1 206.00 0.78 0.60
Total 126 648 125 211 211 960 154 606.33 100.00
Sumber: Dinas Pertanian, 2009.
70

80 75.34
70 62.47
% Terhadap Total 70
60 Produksi Tan Pangan
60
50
Produksi (%)

50

Luas Panen (%)


40
40
30 25.04
30
20
20 12.56
6.99
10 3.24 10 4.97
1.15 0.78 0.33 2.36 2.21 1.81 0.74
0 0
Jagung Ubi Padi Ubi Kacang Kacang Kacang Jagung Padi Ubi Jalar Kacang
kayu Jalar Tanah Hijau Kedelai Kedelai

Tanaman Pangan Tanaman Pangan

Sumber: Dinas Pertanian, 2009.


(a) Persentase Terhadap Total Produksi (b) Persentase Terhadap Total Luas
Tanaman Pangan (Rata-Rata panen Tanaman Pangan (Rata-
Produksi, Tahun 2005-2007 Rata Luas Panen, Tahun 2005-
2007
Gambar 17. Persentase Terhadap Total Produksi dan Luas Lahan Tanaman
Pangan di Timor Tengah Selatan (Rata-Rata Produksi dan Luas
Lahan, Tahun 2005-2007)

Perkembangan luas panen selama kurun waktu 2005-2007

memperlihatkan tanaman kacang tanah mengalami peningkatan yang cukup besar,

yaitu sebesar (306%), diikuti oleh kacang kedelai (188%), produk pertanian

(28%), jagung (21%) dan padi (8%). Sedangkan tanaman lainnya mengalami

penurunan yang cukup besar, seperti ubi kayu (-53%) dan ubi jalar (-52%).

Di bidang produksi tanaman pangan, kacang kedelai dan kacang tanah

mengalami perkembangan yang sangat tinggi (masing-masing sebesar 349% dan

288%) selama kurun waktu 2005-2007. Sedangkan ubi kayu dan ubi jalar

mengalami penurunan, sejalan dengan menurunnya luas panen untuk kedua

tanaman tersebut.

Padi terutama padi sawah yang menempati luasan hanya 0.82% dari total

penggunaan lahan di kabupaten TTS mengalami perkembangan luas panen hanya


71

sebesar 7.75%, tetapi perkembangan produksinya cukup tinggi yakni 114.01%

selama tahun 2005-2007.

2.3.2.2. Subsektor Tanaman Hortikultura

1. Tanaman Sayur-Sayuran

Selama periode 2003-2007 luas panen sayur-sayuran di kabupaten TTS

meningkat untuk semua jenis yang diusahakan (Tabel 22 dan Gambar 18). Luas

panen tanaman sayuran yang meningkat sangat besar adalah bawang merah

(1293%), kangkung (1050%), kacang panjang (483%), petsai (250%) dan cabe

(217%). Sedangkan tanaman sayuran lainnya mengalami peningkatan luas panen

di bawah 200%. Secara keseluruhan, rata-rata perkembangan luas panen tanaman

sayuran selama periode waktu 2003-2007 adalah sebesar 314%.

Tabel 22. Perkembangan Luas Panen Tanaman Sayuran di Kabupaten Timor


Tengah Selatan, Tahun 2003-2007
% %
Komoditi Luas Panen (Ha) Thdp Perkemb
2003 2004 2005 2006 2007 Rata-rata Total 2003-07
Bawang Merah 76 139 127 146 1 059 309.4 26.23 1 293.42
Bawang Putih 183 302 328 269 357 287.8 24.40 95.08
Petsay 28 67 0 158 98 87.75 7.44 250.00
Kc.panjang 18 26 36 56 105 48.2 4.09 483.33
Wortel 50 60 80 58 96 68.8 5.83 92.00
Cabe 30 42 66 60 95 58.6 4.97 216.67
Tomat 45 51 79 90 84 69.8 5.92 86.67
Terung 25 24 30 64 75 43.6 3.70 200.00
Buncis 51 30 40 66 82 53.8 4.56 60.78
Kangkung 18 22 54 71 207 74.4 6.31 1 050.00
Bayam 47 70 72 90 107 77.2 6.55 127.66
Total 571 833 912 1 128 2 365 1 179.35 100.00 314.19

Sumber: BPS, 2008b dan Dinas Pertanian, 2009.

Dari 11 tanaman sayuran yang tercantum pada tabel tersebut, bawang

merah dan bawang putih menempati luas panen yang lebih besar bila
72

dibandingkan dengan sayuran lainnya yakni masing-masing sebesar 26.23% dan

24.40% dari total luas panen untuk 11 komoditas tersebut. Luas panen untuk

sayuran lainnya berada lebih kecil dari 10%.

Buncis Kc Panjang Terung


53.8 48.2 43.6
5% 4% 4%
Cabe
58.6
5% Bawang Merah
309.4
Wortel
26%
68.8
6%

Tomat
69.8
6%

Kangkung
74.4 Bawang Putih
Bayam
6% 287.8
77.2 Petsai 24%
7% 87.75
7%

Sumber: Tabel 22.

Gambar 18. Rata-Rata Luas Panen dan Persentase Terhadap Total Luas Panen
Sayuran di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2003-2007

Tanaman sayuran yang mengalami peningkatan produksi paling besar

adalah terong dari 43.20 ton tahun 2005 menjadi 406 ton tahun 2006. Sedangkan

penurunan produksi paling besar adalah kacang merah 574.72 ton tahun 2005

menjadi 111 ton tahun 2006. Perkembangan produksi tanaman sayur-sayuran

selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 23 dan Gambar 19. Trend perkembangan

produksi sayur-sayuran di kabupaten TTS selama periode waktu 2003-2007

meningkat sebesar 144.3%, kecuali tanaman tomat yang menurun sebesar 6.67%.

Komoditi sayuran yang meningkat paling besar adalah tanaman kangkung, namun

kontribusinya hanya sebesar 7.5% terhadap produksi total sayuran dalam periode

tersebut. Wartel adalah tanaman yang paling besar (21.44%) kontribusinya

terhadap produksi total sayuran di kabupaten TTS selama tahun 2003-2007,


73

diikuti oleh bawang putih (19.10%), petsai (17%) dan tomat (9.64%). Sedangkan

bayam merupakan tanaman yang berkontribusi paling kecil (0.78%) terhadap

produksi sayuran secara total. Tabel 23 juga menampilkan produktivitas rata-rata

dari tanaman sayuran selama periode waktu 2003-2007.

Tabel 23. Perkembangan Produksi Tanaman Sayuran di Kabupaten Timor Tengah


Selatan, Tahun 2003-2007
%
Komoditi Produksi (kw) Prodvitas Thdp % Perkb
Rata-
2003 2004 2005 2006 2007 rata Ton/Ha Total 2003-2007
Bawang Merah 4 250 6 970 6 300 7 440 22 580 9 508 3.07 19.10 431.29

Bawang Putih 2 745 5 080 4 920 2 690 3 300 3 747 1.30 7.53 20.22
Petsay 2 800 6 700 8 200 15 800 8 525 8 405 9.58 16.88 204.46

Kc.panjang 180 260 360 560 745 421 0.87 0.85 313.89
Wortel 7 500 9 000 12 000 12 751 12 100 10 670 15.51 21.44 61.33
Cabe 300 420 660 600 950 586 1.00 1.18 216.67
Tomat 4 500 4 300 7 000 4 000 4 200 4 800 6.88 9.64 -6.67

Terung 2 500 2 400 3 000 6 400 3 750 3 610 8.28 7.25 50.00
Buncis 3 825 2 250 3 000 4 950 5 600 3 925 7.30 7.88 46.41
Kangkung 900 1 100 2 700 3 550 10 350 3 720 5.00 7.47 1050.00
Bayam 235 350 360 450 535 386 0.50 0.78 127.66

Total 29 735 38 830 48 500 59 191 72 635 49 778 59.29 100 144.27

Sumber: BPS, 2008b dan Dinas Pertanian, 2009.

Cabe Kc. Panjang


586 421 Bayam
1% 1% 386
Terung
1%
3 610
Kangkung 7%
3 720
Wortel
7% 10 670
Bawang Putih 21%
3 747
8%

Buncis
Bawang Merah
3 925
9 508
8%
19%
Tomat Petsai
4 800 8 405
10% 17%

Sumber: Tabel 23.


Gambar 19. Rata-rata Produksi dan Persentase Terhadap Total Produksi Tanaman
Sayuran di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2003-2007
74

2. Tanaman Biofarmaka

Luas panen dan produksi tanaman biofarmaka di kabupaten TTS

tercantum pada Tabel 24 dan Gambar 20.

Tabel 24. Luas panen dan Produksi Komoditi Biofarmaka di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Tahun 2008

Komoditi Luas Panen % Terhadap Produksi % Terhadap


(M2) Total (Kg) Total
Kunyit 15 898 26 158 910 29
Lengkuas 15 096 25 150 960 28
Jahe 13 494 22 135 300 25
Kencur 15 619 26 93 714 17
Temulawak 352 1 3 520 1
Total 60 459 100 542 404 100

Sumber: Dinas Pertanian, 2010c.

% Terhadap Total Luas Panen 2 9.30 % Terhadap Total Produksi


30 27.83
30 2 6.30 2 5.83 2 4.97 2 4.94
25 22.32 25
Luas Panen (%)

17 .28
Produksi (%)

20 20

15 15

10 10

5 5
0.58 0.65
0 0

Jenis Tanaman Biofarmaka Jenis Tanaman Biofarmaka

Sumber: Tabel 24.


(a) Ranking Luas Panen Terhadap (b) Ranking Produksi Terhadap Total
Total Luas Lahan Tanaman Produksi Tanaman Biofarmaka
Biofarmaka di Kabupaten Timor Kabupaten Timor Tengah Selatan,
Tengah Selatan, Tahun 2007 Tahun 2007

Gambar 20. Ranking Luas Panen dan Produksi Berdasarkan Jenis Tanaman
Biofarmaka di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2007

Baik dari segi luas panen maupun produksi, kunyit menempati urutan

yang pertama (29%). Catatan yang perlu diperhatikan adalah bahwa pengusahaan
75

tanaman ini oleh petani masih bersifat tradisional (tidak menggunakan input-input

produksi yang berkualitas) dan masih merupakan usaha sampingan. Petani masih

menggunakan input lokal seperti benih dan tanpa perlakuan lainnya untuk

meningkatkan kualitas yang sesuai dengan permintaan pasar. Selain itu,

penyebaran usahataninya tidak merata pada semua kecamatan yang ada di TTS.

3. Tanaman Buah-Buahan

Dari pembahasan terdahulu diketahui bahwa luas panen dan jumlah

produksi terbesar untuk jeruk keprok di NTT terdapat di Kabupaten TTS. Jeruk

Keprok SoE merupakan satu-satunya varietas yang dikembangkan di daerah TTS

dan dijadikan sebagai komoditas andalan baik tingkat provinsi NTT maupun

kabupaten TTS. Perlu diketahui bahwa jenis keprok yang diusahakan di

kabupaten-kabupaten selain TTS adalah bukan merupakan varietas keprok SoE.

Seperti halnya jenis-jenis jeruk keprok di Indonesia, jenis jeruk keprok di NTT

juga dikenal dengan label daerah asalnya masing-masing, seperti, untuk menyebut

beberapa, keprok SoE asal kabupaten TTS, keprok ende asal kabupaten Ende,

kapok manggarai asal kabupaten Manggarai dan keprok Sumba asal kabupaten

Sumba Barat.

Jeruk keprok SoE telah menjadi tanaman masyarakat TTS, namun

perkembangannya masih sangat lambat dikarenakan petani atau pelaku usaha

jeruk ini belum mengusahakannya dalam skala ekonomis, teknologi budidaya

yang masih berbasiskan pengetahuan yang belum memadai dan jangkauan pasar

yang masih sempit.

Kabupaten TTS terkenal dengan produksi jeruk keprok SoE. Sejak tahun

1960-an sampai sekarang, jeruk keprok SoE (JKS) menjadi komoditas unggulan
76

buah-buahan di kabupaten TTS. Hal ini disebabkan karena keprok SoE sangat

disukai oleh konsumen baik di NTT maupun di luar NTT. Hasil penelitian taste

panel di Denpasar menunjukkan bahwa jeruk impor masih superior dalam hal

rasa, tekstur dan warna kulit buah, sedangkan keprok SoE memiliki keunggulan

penampilan daging buah dan kualitas secara keseluruhan (Mason et al., 2002).

Hasil penelitian di Surabaya menunjukkan bahwa keprok SoE memliki kelebihan

dalam hal tekstur dan penampilan daging buah dibandingkan dengan keprok

madura dan jeruk impor yang ada (Adar et al., 2005). Dari hasil penelitian yang

sama, selera konsumen di Kupang mengindikasikan bahwa jeruk keprok SoE

secara potensial memiliki keunggulan dalam hal lebih segar dan berkadar air

tinggi seperti yang direfleksikan dari hasil survei konsumen pada segmen tampak

luar dan kualitas keseluruhan dari buah jeruk tersebut. Warna kulit yang kuning

keemasan dari jeruk keprok SoE yang siap dipanen memberikan makna tersendiri

bagi para konsumen di beberapa kota di provinsi Nusa Tenggara Timur.

Tabel 25 menunjukkan luas panen dan jumlah produksi berbagai jenis

buah-buahan di kabupaten TTS selama tahun 2002-2008. Dalam kurun waktu

tersebut, dari tabel diketahui bahwa luas panen dan produksi buah-buahan di

kabupaten TTS senantiasa meningkat, kecuali untuk produksi rambuatan dan

salak. Di antara berbagai buah-buahan yang diusahakan petani di kabupaten TTS,

jeruk keprok SoE merupakan buah yang diunggulkan. Dari segi luas panen dan

jumlah produksi, jeruk keprok SoE menduduki tempat yang kedua setelah

mangga. Jumlah produksi jeruk ini meningkat dari tahun ke tahun. Dari segi luas

panen menunjukkan tren peningkatan terjadi selama periode tahun 2002-2007 dan

menurun pada tahun 2008.


77

Tabel 25. Luas Panen dan Produksi Buah-Buahan di Kabupaten TTS, Tahun 2002-2008

Jenis Buah- Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)


buahan
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Alpokat 594.0 2 470.0 2 663.0 2 791.0 3 243.0 3 077.0 47.0 1 128.0 4 952.0 5 176.0 7 265.0 8 593.0 21 235.0 286.0

Belimbing 2.0 2.0 2.0 5.0 6.0 12.0 4.0 4.0 4.0 4.0 6.0 8.0 72.0 145.0

Jambu biji 201.0 28.0 42.0 213.0 270.0 430.0 40.0 34.0 58.0 60.0 566.0 2 051.0 1 232.0 427.0

Jeruk Keprok 1 042.0 1 157.0 1 336.0 1 445.0 2 218.0 2 089.0 1 409.0 1 492.0 2 987.0 7 821.0 5 856.0 7 431.0 5 103.0 7 199.0

Jeruk Besar 51.0 97.0 46.0 77.0 99.0 123.0 39.0 224.0 684.0 235.0 449.0 751.0 1 097.0 608.0

Mangga 1 283.0 1 565.0 2 338.0 3 277.0 3 894.0 4 362.0 3 582.0 3 801.0 1 659.0 2 771.0 3 959.0 4 785.0 4 991.0 35 042.0

Nangka 118.0 139.0 210.0 278.0 405.0 574.0 245.0 601.0 748.0 861.0 907.0 594.0 2 074.0 2 284.0

Nenas 13.0 7.0 7.0 9.0 11.0 16.0 4.0 51.0 62.0 62.0 73.0 53.0 93.0 389.0

Pepaya 795.0 851.0 1 102.0 422.0 698.0 808.0 92.0 1 486.0 2 596.0 2 789.0 3 209.0 5 528.0 4 962.0 4 672.0

Pisang 1 104.0 764.0 780.0 838.0 967.0 1 219.0 95.0 2 953.0 3 177.0 3 598.0 4 272.0 5 360.0 11 288.0 5 263.0
Rambutan 1.0 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0 1.0 6.0 12.0 12.0 12.0 12.0 8.0 5.0
Salak 0.0 0.0 1.0 1.0 1.0 1.0 0.0 0.0 0.0 2.0 3.0 3.0 2.0
Sirsak 112.0 115.0 195.0 67.0 86.0 298.0 26.0 342.0 287.0 293.0 357.0 710.0 598.0 236.0

Sukun 378.0 146.0 244.0 295.0 339.0 76.0 25.0 1 790.0 735.0 954.0 1 456.0 1 555.0 83.0 241.0

Total 5 694.0 7 343.0 8 967.0 9 720.0 12 239.0 13 087.0 5 610.0 13 912.0 17 961.0 24 636.0 28 389.0 37 434.0 52 839.0 56 799.0

Sumber: Dinas Pertanian, 2009 (diolah).


78

Secara total, luas panen jeruk keprok SoE ini mengalami kenaikan

sebesar 26% dan produksi meningkat sebesar 79% dalam periode tahun 2002-

2008. Kenaikan produksi jeruk keprok SoE yang senantiasa meningkat

menunjukkan bahwa komoditas ini secara sosial sudah diterima masyarakat dan

secara finansial layak untuk diusahakan oleh petani seperti yang sudah dikaji oleh

Milla et al., (2002) dan Yusuf et al., (2009).

Produktivitas jeruk keprok SoE masih jauh dari yang diharapkan. Tabel

26 menunjukkan kesenjangan antara produktivitas aktual dengan potensialnya.

Dari tabel ini diketahui bahwa produktivitas rata-rata (tahun 2002-2008) dari jeruk

keprok SoE baru mencapai 20 kg/pohon atau hanya 5% dari produktivitas

potensialnya (peluang peningkatan produktivitas sebesar yakni 95%).

Tabel 26. Keadaan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jeruk Keprok SoE di
Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2002-2008

Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008


Luas Panen (Ha) 1 042 1 157 1 336 1 445 2 218 2 089 1 409
Produksi (Ton) 1 492 2 987 7 821 5 856 7 431 5 103 7 199
Produktivitas (Ton/Ha) 1.43 2.58 5.85 4.05 3.35 2.44 5.11
Produktivitas (Kg/phn)* 5 9 37 28 27 14 20
Tercapai (%)* 2.2 4.0 9.0 6.2 5.2 3.8 7.9
Kesenjangan (%) 97.8 96.0 91.0 93.8 94.8 96.2 92.1

Sumber: Dinas Pertanian, 2009 (diolah).


Keterangan: *: 1 ha ditanami 278 pohon dengan potensi hasil maximum 65
ton/ha

Sentra-sentra jeruk keprok SoE di kabupaten TTS tersebar di beberapa

kecamatan dengan populasi seperti tercantum pada Tabel 27. Dari Tabel ini

diketahui bahwa ada tujuh kecamatan sentra produksi dan rencana pengembangan

jeruk Keprok SoE di TTS. Berdasarkan jumlah populasi dan rencana

pengembangannya, untuk dataran tinggi, dua kecamatan pusat produksi yang


79

dominan yakni Mollo Utara dan Mollo Selatan; sedangkan untuk dataran rendah

adalah kecamatan Kuanfatu dan Amanuban Selatan.

Tabel 27. Sebaran Populasi Tanaman Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Tahun 2008

No Kecamatan Populasi % Potensi %


(pohon) Pengembangan Terhadap
Areal (ha)* Total
1 Mollo Utara 347 031 34.8 2 000 28
2 Mollo Selatan 193 750 19.2 1 600 23
3 Amanatun Selatan 32812 3.3 200 3
4 Amanuban Tengah 23 764 2.4 700 7
5 Amanatun Utara 1 498 0.2 100 1
6 Kuanfatu 43 600 4.4 600 10
7 Amanuban Selatan 38 701 3.9 400 6
8 Lain-lain 317 787 31.9 1 550 22

Jumlah (Pohon) 996 833 100 1 959 900 100


Luas Tanam (Ha)** 3 586 7 050
Tercapai (%):
2004 37
2008 51
Sumber: Lampiran 1 (diolah).
Keterangan: * : Target Pemerintah Daerah Kabupaten TTS sampai dengan Tahun
2013
**: 1 Ha = 278 pohon (jarak tanam 6 x 6 m)

Jeruk kerpok SoE sudah menjadi tanaman primadona masyarakat di

kabupaten Timor Tengah Selatan, namun perkembangannya masih cukup lambat

karena para petani di kabupaten ini belum mengusahakannya dalam skala

ekonomis yang efisien. kecenderungan luas panen, produksi dan produktivitas

jeruk keprok SoE selama tahun 2002-2008 meningkat. Hal ini bisa dijadikan

sebagai indikator bahwa jeruk ini merupakan komoditas penting dan bisa

diandalkan untuk dijadikan sumber pendapatan petani atau penggerak utama

ekonomi petani jeruk. Namun, tingkat produksi dan produktivitas jeruk keprok
80

SoE adalah masih sangat rendah dan berkecenderungan menurun dari tahun 2008

ke tahun 2010 (pers. Com dengan Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian

Provinsi NTT di Kupang pada tanggal 3 April 2010).

Untuk menggairahkan kembali semangat petani jeruk dan sekaligus

sebagai upaya meningkatkan produktivitas jeruk di kabupaten TTS, maka

pemerintah kabupaten TTS dan Provinsi NTT bersama-sama menjalankan

program rehabilitasi jeruk ini dengan maksud untuk: (1) mengembalikan

kemampuan produksi JKS dan meningkatkan produktivitas lahan kering, (2)

meningkatkan kesempatan kerja dan berusahatani, (3) meningkatkan pendapatan

petani dan (4) mengembalikan potensi komoditas unggulan nasional ini.

Sebaran pengusahaan tanaman jeruk keprok SoE per kecamatan di

kabupaten TTS selama periode waktu 2004-2008 tercantum pada Tabel 28 dan

Gambar 21 dan Gambar 22. Tabel tersebut menunjukkan bahwa Sentra utama

usahatani keprok SoE adalah di kecamatan Mollo Utara (termasuk kecamatan

Tobu) dan kecamatan Mollo Selatan (termasuk kecamatan Mollo Tengah) di

daerah dataran tinggi. Sedangkan untuk daerah dataran rendah terdapat di

kecamatan Kuanfatu dan Amanuban Selatan (termasuk kecamatan Kualin).

Kultivar jeruk yang dikembangkan di wilayah kabupaten Timor Tengah

Selatan adalah jenis jeruk keprok SoE. Jeruk ini memiliki ciri-ciri umum antara

lain tinggi tanaman berkisar 4-8 m, warna buah matang kuning kemerah-merahan

atau kuning keemasan, bentuk buah bulat pendek dengan ukuran diameter 6.86 x

6.66 cm, tingkat kekerasan buah lunak atau agak lunak, warna daging buah

orange, berat buah 100-125 gram, rasa buah manis dan segar, tekstur daging buah

berserat halus dan potensi produksi 50-250 kg per pohon per musim panen.
81

Tabel 28. Rata-Rata Jumlah Tanaman, Luas Panen dan Produksi Jeruk Keprok
SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2004-2008

No Kecamatan Jumlah % Luas Panen % Produksi %


Tanaman Terhadap Terhadap Terhadap
Total (Pohon) Total (Ton) Total
(Pohon)

1 Mollo Utara 327 155.2 38.41 132 823.4 43.69 3 712.52 52.60
2 Mollo Selatan 182 167.4 21.39 75 243.2 24.75 1 613.52 22.86
3 Amaban Barat 75 155.6 8.82 2 937.4 0.97 61.12 0.87
4 Kota SoE 45 307.8 5.32 23 857.0 7.85 405.00 5.74
5 Amaban Selatan 42 235.2 4.96 226.4 0.07 4.12 0.06
6 Fatumnasi 39 892.2 4.68 17 618.6 5.80 322.34 4.57
7 Amatun Selatan 26 798.6 3.15 7 195.6 2.37 127.72 1.81
8 Kuanfatu 24 987.2 2.93 10 680.0 3.51 245.40 3.48
9 Pollen 18 607.6 2.18 6 045.2 1.99 110.16 1.56
10 Amaban Tengah 15 972.0 1.88 8 747.6 2.88 122.30 1.73
11 Kie 10 123.0 1.19 5 606.0 1.84 106.56 1.51
12 Nunkolo 9 924.6 1.17 4 272.2 1.41 86.76 1.23
13 Amaban Timur 7 121.0 0.84 1 893.0 0.62 32.60 0.46
14 Toianas 5 834.0 0.68 720.0 0.24 12.40 0.18
15 Kolbano 5 005.6 0.59 350.4 0.12 4.80 0.07
16 Boking 4 862.2 0.57 1 568.6 0.52 23.48 0.33
17 Oenino 3 584.2 0.42 377.2 0.12 5.64 0.08
18 Batu Putih 2 273.0 0.27 1 337.0 0.44 24.48 0.35
19 Kotolin 2 013.2 0.24 1 480.0 0.49 22.00 0.31
20 Amatun Utara 1 542.4 0.18 449.0 0.15 7.76 0.11
21 Kualin 1 135.4 0.13 558.4 0.18 7.56 0.11
Kabupaten TTS 851 697.4 100.00 303 986.2 100.00 7 058.24 100.00

Sumber: Lampiran 1 (diolah).

Jeruk keprok SoE merupakan salah satu jenis buah unggulan nasional

setelah mendapatkan pelepasan oleh Pemerintah Pusat pada tahun 1998 dan

mendapatkan juara pertama selama tiga tahun berturut-turut (2003, 2004, dan

2005) dalam kontes buah nasional yang diselenggarakan oleh majalah Trubus

Indonesia (Adar et al., 2005). Namun sistem pengelolaan usahatani komoditas ini

oleh petani masih belum memenuhi standar teknis yang dianjurkan.


82

43.7
45

40

35 Luas Panen (%)

30
Luas Panen (%)

24.8
25

20

15

10 7.8
5.8
3.5 2.9
5 2.4 2.0 1.8 1.4 1.0 0.6 0.5 0.5 0.4 0.2 0.2 0.1 0.1 0.1 0.1
0

Kecamatan

Sumber: Lampiran 1 (diolah).

Gambar 21. Rata-Rata Luas Panen Jeruk Keprok SoE per Kecamatan, Tahun
2004-2008

60
52.60
Produksi (%)
50
Produksi (%)

40

30 22.86

20

10 5.74 4.57
3.48
1.81 1.73 1.56 1.51 1.23 0.87 0.46 0.35 0.33 0.31
0.18 0.11 0.11 0.08 0.07 0.06
0

Kecamatan

Sumber: Lampiran 1 (diolah).


Gambar 27. Rata-Rata Produksi Jeruk Keprok SoE per Kecamatan, Tahun 2004-
2008
83

2.3.2.3. Subsektor Perkebunan

Luas areal panen tanaman perkebunan pada tahun 2007 sebesar 33 690.05

ha atau menurun sebesar -2.8% dibandingkan dengan tahun 2006 (34 649.01 ha).

Tingkat produksi tahun 2007 adalah sebesar 7 337.49ton atau meningkat sebesar

7.8% dibandingkan dengan tahun 2006 (6 804.53 ton). Peningkatan produksi

bukan berdasarkan perluasan areal panen, tetapi dimungkinkan dari adanya

perbaikan teknologi budidaya di tingkat petani.

Jenis tanaman perkebunan yang utama di Kabupaten Timor Tengah

Selatan adalah seperti tercantum pada Tabel 29, dengan kontribusinya (%)

masing-masing komoditas seperti tercantum pada Gambar 23. Dari tabel dan

gambar tersebut diketahui bahwa tanaman kemiri menduduki tempat yang

pertama baik dari segi luas panen (43%) maupun produksi (48%), diikuti oleh

tanaman kelapa dan jambu mente. Sedangkan tanaman kakao (yang membutuhkan

pengelolaan yang lebih intensif) merupakan tanaman perkebunan yang paling

sedikit diusahakan di Kabupaten TTS.

Tabel 29. Luas dan Produksi Tanaman Perkebunan di Kabupaten Timor Tengah
Selatan, Tahun 2007

Komoditi Luas Produksi Produktiv


Belum Sudah Total % % itas
Produksi Produksi terhadap terhadap
(Ha) (Ha) (Ha) total (Ton) total (Ton/Ha)
Kelapa 7 785.04 3 530.69 11 315.73 33.59 3 503.85 47.75 0.99
Kemiri 10 721.69 3 922.97 14 644.66 43.47 3 185.21 43.41 0.81
kapuk 2 412.05 738.18 3 150.23 9.35 250.59 3.42 0.34
Jambu Mente 3 146.50 251.52 3 398.02 10.09 165.08 2.25 0.66
Pinang 2 57.21 150.26 407.47 1.21 141.59 1.93 0.94
Kopi 640.11 86.16 726.27 2.16 89.22 1.22 1.04
Kakao 41.58 6.09 47.67 0.14 1.95 0.03 0.32
Total 25 004.18 8 685.87 33 690.05 100 7 337.49 100.00 0.84

Sumber: Dinas Pertanian, 2009.


84

43 .47 50 47 .75
45
43 .41
45
40
33.59 40
35
35
30
Luas Panen (%)

% Luas Panen (Ha)

Produksi (%)
30 % Produksi (Ton)
25
25
20
20
15 15
10.09 9.3 5
10 10
3 .42
5 2 .16 5 2 .25 1.93 1.22
1.2 1 0.03
0.14
0 0

Kemiri Jambu Kopi Kakao Kemiri Jambu Kopi Kakao


Mente Mente

Tanaman Perkebunan Tanaman Perkebunan

Sumber: Tabel 29.

(a) Rangking Luas Panen Terhadap (b) Rangking Produksi Terhadap


Total Luas Lahan Tanaman Total Produksi Tanaman
Perkebunan di Kabupaten Timor Perkebunan di Kabupaten
Tengah Selatan, Tahun 2007 Timor Tengah Selatan, Tahun
2007

Gambar 23. Rangking Luas Panen dan Produksi Beberpa Jenis Tanaman
Perkebunan di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2007

Dari segi produktivitas (ton/ha), komoditas perkebunan rakyat yang

disuahakan petani di Kabupaten Timor Tengah Selatan masih sangat rendah

(semuanya lebih kecil dari 1 ton/ha, kecuali tanaman kopi). Sistem usahatani

campuran dan pengelolaan yang masih tradisional (tanpa menggunakan input

modern) telah menyebabkan rendahnya produktivitas sektor perkebunan ini. Hal-

hal ini mengundang perhatian semua stakeholders perkebunan untuk mengambil

bagian di dalam sistem/proses produksi yang efisien dan berskala ekonomi tinggi,

mengingat komoditi perkebunan adalah usaha pertanian yang berorientasi pasar

baik pasar lokal maupun pasar nasional dan perdagangan internasional.


85

2.3.2.4. Subsektor Peternakan

Sub sektor ini memberikan kontribusi terbesar kedua (22%) terhadap

PDRB TTS tahun 2007, setelah tanaman bahan makanan (33%). Jenis usaha

ternak di Kabupaten Timor Tengah Selatan terdiri dari ternak besar (sapi, kerbau,

kuda) dan ternak kecil (kambing, domba) serta unggas (ayam kampung dan itik).

Populasi hewan ternak pada tahun 2007 mencapai 834 657 ekor meningkat

sebesar 11.82% dibandingkan dengan tahun 2006 (746 398 ekor). Untuk populasi

kuda paling banyak terdapat di Kecamatan Fatumnasi sebanyak 1 141 ekor,

sedangkan untuk populasi sapi paling banyak terdapat di Kecamatan Polen

sebanyak 19 885 ekor, kerbau paling banyak terdapat di Kecamatan Amanatun

Selatan 87 ekor, kambing dan babi paling banyak terdapat di Amanuban Timur

dan Fatumnasi masing-masing 6 391 ekor dan 19 609 ekor. Jumlah populasi

ternak dapat dilihat pada Gambar 24.

3 88589 (46.56%)
400000
Jumlah Ternak (Ekor)
350000
Jumlah Ternak (ekor)

300000 2 50933 (30.06%)

250000
155276 (18.60%)
200000
150000
100000 33879 (4.06%)
2 656 (0.3%)
50000 2 936 (0.4%) 3 88 (0.1%)
0

Jenis Ternak

G
Sumber: BPS, 2008b.

Gambar 24. Jumlah Ternak dan Persentase Terhadap Total di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Tahun 2007
86

Sistem pemeliharaan ternak di Kabupaten TTS didominasi oleh sistem

usaha lepas (ekstensif) dengan sistem semi intensif sebatas pada ternak kuda dan

babi. Namun semuanya masih merupakan usaha skala kecil dan tradisional yang

membutuhkan sentuhan teknologi intensifikasi dan skala ekonomis. Permasalahan

utama terkait pemeliharaan ternak di Kabupaten TTS adalah masalah tata ruang,

masalah kesehatan ternak dan struktur agribisnisnya. Masalah tata ruang

merupakan masalah tanggungjawab Pemerintah Daerah kabupaten. Menyikapi hal

ini Pemerintah Daerah melalui Bappeda Kabupaten TTS telah membuat pemetaan

daerah pengembangan ternak.

Masalah kesehatan hewan merupakan sumber utama (60%) ancaman

bagi kesehatan manusia. Struktur agribisnis ternak (baik di tingkat usahatani,

pengolahan dan pemasaran terutama pengecer) masih tidak seimbang.

Keuntungan yang paling besar sering terjadi pada para pedagang (pers.com

dengan petani peternak, 27 Maret 2010 di SoE). Selain itu, masalah hijauan

makanan ternak di musim kemarau (8 bulan kering) merupakan faktor utama

penghambat usahatani ternak petani di TTS. Berdasarkan hasil analisis statitik

diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap populasi sapi di

Kabupaten TTS adalah luas padang penggembalaan, jumlah

pemotongan/pengeluaran dan angka kelahiran (Bappeda, 2010).

2.3.2.5. Subsektor Perikanan

Kontribusi subsektor ini terhadap PDRB TTS tahun 2007 adalah yang

paling kecil (0.01%) di sektor pertanian. Usaha perikanan di Kabupaten Timor

Tengah Selatan terdiri dari usaha perikanan darat dan usaha perikanan laut. Bila
87

dilihat dari jumlah dan nilai produksinya usaha perikanan di Kabupaten Timor

Tengah Selatan didominasi oleh usaha perikanan laut yakni 52% (Tabel 30).

Usaha perikanan darat didominasi oleh usaha kolam (74.18%).

Tabel 30. Produksi Perikanan Menurut Subsektor, Tahun 2007

Jenis Produksi (Ton) %


1. Perikanan Laut 389 755 51.98
2. Perikanan Darat 360 102 48.02
a. Perikanan Umum 59 391 16.49
b. Tambak 3 235 0.90
c. Kolam 267 126 74.18
d. Kubai 28137 7.81
e. Sawah 2 213 0.61
Sumber: BPS, 2008b.

Produksi ikan laut di Kabupaten Timor Tengah Selatan pada tahun 2006

mengalami penurunan 0.08% jika dibandingkan pada tahun 2005. Produksi

perikanan laut tahun 2005 mencapai 487.9 ton turun menjadi 449.9 ton tahun

2006. Untuk produksi perikanan laut tahun 2006 paling banyak ikan terbang

mencapai 67 ton. Sedangkan tahun 2007, produksi perikanan laut mencapai 849.9

ton atau meningkat sebesar 88.91% dibandingkan dengan tahun 2006. Produksi

perikanan laut tahun 2007 didominasi oleh jenis ikan pari dan tongkol.

Kabupaten Timor Tengah Selatan mempunyai garis pantai yang panjang

sekitar 128 km, sehingga potensi perikanan laut masih terus dapat ditingkatkan.

Peralatan (kapal) penangkapan ikan oleh nelayan di TTS didominasi oleh jenis

perahu tanpa motor (86.32%) dan kapal motor (13.68%). Menurut jenis alat

tangkap, pancing mendominasi yakni sebesar 35.15%, diikuti oleh jaringan

(11.27%). Peluang-peluang usaha pengolahan ikan juga dapat terus dibina dan

ditingkatkan, baik atas bantuan Pemerintah Pusat maupun Daerah Provinsi NTT.
88

2.3.2.6. Subsektor Kehutanan

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Undang-

Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).

Subsektor kehutanan dalam pembentukan PDRB sektor pertanian daerah

TTS memberikan kontribusi kecil. Tahun 2006 sub sektor ini memberikan

kontribusi sebesar Rp 1.61 miliar (atas dasar harga berlaku) atau 0.2%.

Sedangkan pada Tahun 2007 menyumbang sebesar Rp 1.62 miliar (0.19%).

Tabel 31 memberikan gambaran tentang luas kawasan hutan (Ha)

menurut tata gunanya di tahun 2007. Dari tabel diketahui bahwa hutan produksi

tetap merupakan hutan yang paling luas (49.66%) di kabupaten TTS diikuti oleh

hutan lindung (34.59%) dan cagar alam (9.54%). Sedangkan hutan marga satwa

dan hutan produksi terbatas masing-masing seluas 3.72% dan 2.49%.

Tabel 31. Luas Kawasan Hutan Menurut Pola Tata Guna, Tahun 2007

Fungsi Hutan Luas Hutan %


(Ha)
1. Hutan Lindung 54 973.74 34.59
2. Cagar Alam 15 155.19 9.54
3. Hutan Marga Satwa 5 918 3.72
4. Hutan Produksi Tetap 78 924.52 49.66
5. Hutan Produksi Terbatas 3 961.42 2.49
Timor Tengah Selatan 158 932.87 100.00

Sumber: Dinas Kehutanan, 2008.

Sampai dengan tahun 2007, terdapat enam komoditi hasil produksi hutan

(kayu) di wilayah Kabupaten TTS, yaitu kayu rimba campur olahan (3 037 961
89

m3), kayu jati olahan (1 405 739 m3), kayu papi (161.1ton), kayu merah (320 089

m3), kayu mahoni (121 571 m3) dan kayu cendana (20.9) ton. Sedangkan untuk

produksi non kayu untuk tahun 2007 asam 5 535 ton, kemiri 644.1 ton, gumbal

cendana 20.9 ton, minyak cendana 975 ton dan madu 3 224 liter.

Data perkembangan hasil hutan tahun 2005-2007 tercantum pada Tabel

32. Tabel tersebut menunjukkan bahwa produksi hasil hutan baik kayu maupun

non kayu menunjukkan trend yang positif selama periode waktu 2005-2007,

kecuali produksi kayu cendana dan gubal cendana yang mengalami penurunan.

Peningkatan produksi yang sangat tinggi terjadi pada produksi kayu merah dan

mahoni. Sedangkan peningkatan produksi untuk jenis non kayu adalah asam dan

minyak cendana. Asam dan minyak cendana merupakan juga komoditas unggulan

daerah Kabupaten TTS.

Tabel 32. Produksi Hasil Hutan Menurut Jenisnya,Tahun 2005-2007

Jenis Hasil Hutan Satuan Produksi %


Perkembangan
2005 2006 2007 2005-2007

1.Kayu Rimba Campuran


Olahan m3 590 010 664 790 30 37 961 414.90
2.Kayu Jati Olahan m3 537 217 453 990 1 405 739 161.67
3.Kayu Merah m3 10 337 11 706 320 089 2 996.54
4.Kayu Cendana Ton 88 263 79 21 -99.98
5.Kayu Mahoni m3 10 876 7 610 121 571 1 017.79
6.Kayu Papi Ton 102 140 161 57.37

Non Kayu, Kulit dan Daun:


1. Asam Ton 3 174 3 287 5 535 74.39
2. Kemiri Ton 566 301 644 13.74
3. Minyak Cendana Liter 800 955 975 21.88
4. Gubal Cendana Ton 88 79 21 -76.32
5. Ampas Cendana Ton 0 0 0
6. Madu Liter 0 3 027 3 224 6.51

Sumber: Dinas Kehutanan, 2008.


90

2.3.3. Komoditas Pertanian Unggulan Kabupaten Timor Tengah Selatan

Penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Nusa Cendana

(Undana) yang dibiayai oleh Bank Indonesia Kupang tahun 2008 memberikan

rekomendasi beberapa Komoditi, Produk dan Jenis Usaha (KPJu) unggulan yang

ada di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Hasil analisis dengan menggunakan

Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) berdasarkan 4 (empat) kriteria dan

bobot kepentingannya menghasilkan KPJu unggulan untuk setiap sektor usaha

UMKM di setiap kecamatan. Ranking dan sentra produksi KPJu unggulan di

Kabupaten TTS per sektor usaha adalah seperti yang tercantum pada Tabel 33

berikut ini.

Tabel 33. Rangking dan Sentra Produksi Komoditi, Produk dan Jenis Usaha
Unggulan per Sektor Usaha di Kabupaten Timor Tengah Selatan
No. Sektor Usaha/ Skor Terbobot* Kecamatan Sentra Produksi Tahun 2008**
KPJu Unggulan

Padi dan Palawija


1 Ubi Kayu 0.3304 Kot'Olin, Boking, Kokbaun
2 Jagung 0.2226 Kualin, Amanuban Timur, Amanuban Selatan
3 Produk pertanian 0.1647 Amanatun Utara, Amanuban Timur, Batuputih,

4 Kacang Tanah 0.0891 Mollo Selatan, Fatumnasi, Amanuban Barat


5 Ubi Jalar 0.0743 Mollo Selatan, Amanatun Selatan, Amanuban
Timur
Sayur-Sayuran
1 Terung 0.1615 Nunkolo, Batuputih, Amanatun Selatan
2 Tomat 0.1184 Nunkolo, Batuputih, Amanatun Selatan
3 Bawang (merah) 0.1135 Kot'Olin, Kuanfatu, Amanuban Barat
4 Cabe 0.1042 Batuputih, Oenino, Nunkolo
5 Wortel 0.1030 Oenino, Fatumnasi, Batuputih
Buah-Buahan
1 Mangga 0.1615 KiE, Amanuban Selatan, Mollo Selatan
2 Jambu biji 0.1184 Amanuban Tengah, Kota SoE, Mollo Barat
3 Pepaya 0.1135 Amanuban Timur, Pollen, Amanuban Tengah
4 Nangka 0.1042 Pollen, Mollo Selatan, Batuputih
5 Jeruk Keprok 0.1030 Mollo Utara, Mollo Selatan, Kota SoE,
Amanuban Selatan, Kuanfatu
91

Tabel 33. Lanjutan

Biofarmaka***
1 Kunyit 0.1589 Batuputih, Amanuban Timur, Nunkolo
2 Lengkuas 0.1509 Amanuban Timur, Batuputih, Nunkolo
3 Jahe 0.1353 Batuputih, Nunkolo, Amanuban Timur
4 Kencur 0.9374 Nunkolo, Amanuban Timur, Batuputih
5 Temulawak 0.3520 Batuputih, Amanuban Barat, Kualin
Peternakan
1 Sapi 0.3304 Pollen, Toianas, Fatumnasi
2 Babi 0.1282 Fatumnasi, Batu Putih, Amanuban Timur
3 Kambing 0.1217 Amanuban Timur, Kot'olin, Amanuban Barat
4 Ayam Kampung 0.1059 Amanuban Timur, Mollo Utara, Amanuban
Barat
5 Kuda 0.1012 Fatumnasi, Mollo Utara, Mollo Selatan
Perkebunan
1 Kelapa 0.1429 Amanuban Selatan, Amanatun Selatan, Batu
Putih
2 Jambu Mente 0.1382 Oenino, Fatumnasi, Amanuban Barat
3 Pinang 0.1307 Nunkolo, Kualin, Kuanfatu
4 Kemiri 0.1207 Amanuban Tengah, Mollo Utara, Kuanfatu
5 Kopi 0.1183 Mollo Utara, Fatumnasi, Mollo Selatan

Perikanan
1 Cakalang 0.1295 Perikanan laut di dominasi di bagian Selatan
2 Tongkol 0.1172 TTS, sehingga data per kecamatan tidak tersedia
3 Kakap 0.1163
4 Nila 0.1123
5 Peperek 0.1061
Kehutanan****
1 Asam (Ton) 3287 Tidak dibudidayakan, sehingga data per
2 Madu (Liter) 3027 kecamatan tidak tersedia.
3 Minyak Cendana 955
(Liter)
4 Gubal Cendana 79
(Ton)
5 Ampas Cendana -
(Ton)

Sumber: Data Primer, 2007-2008 (diolah) dan Bank Indonesia Kantor Cabang
Kupang, 2008.

Keterangan: * : Skor terbobot diadopsi dari hasil penelitian BI, tahun 2008
** : Berdasarkan rangking produksi dari tertinggi ke terendah
tahun 2008, diambil 3 kecamatan pertama dalam rangkingnya
*** : Berdasarkan produksi (Kg) tahun 2008, skor terbobot
tidak ada
**** : Berdasarkan produksi hasil hutan non kayu tahun 2007,
data skor terbobot tidak tersedia
92

Di antara 27 KPJu Unggulan dalam anlisis kuadran (Bank Indonesia,

2008), seluruh KPJu berada pada Kuadran I, yaitu mempunyai prospek dan

potensi saat ini yang sangat baik atau baik. Kedudukan KPJu unggulan di

Kabupaten Timor Tengah Selatan berdasarkan hasil penilaian terhadap faktor-

faktor prospek dan potensi saat ini dapat digambarkan pada grafik kuadran

sebagai berikut (Gambar 25).

Keterangan:

1 Jagung
2 ubi kayu
3 Produk pertanian
4 Padi
5 Kacang Tanah
6 Kacang Kedelai
7 kelapa
8 Pinang
9 Asam
10 Kunyit
11 Jahe
12 Nila Merah
13 Mujair
14 Ekor Kuning
15 Cakalang
16 Penangkaran Benih
17 Jeruk Keprok SoE
18 Tenun
19 Kerajinan Ukiran Kayu
20 Mebel Kayu
21 Madu
22 Sapi
23 Hasil Ternak
24 Dagang Aneka Kerajinan
25 Hasil Pertanian
26 Dagang Elektronik
27 Hotel/Losmen

Sumber: Bank Indonesia, 2008.


Gambar 25. Kuadran Posisi Komoditi, Produk dan Jenis Usaha Unggulan di
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2008

2.3.4. Peluang Investasi Beberapa Komoditas Pertanian Unggulan


Kabupaten Timor Tengah Selatan

RPJMD Kabupaten TTS 2009-2013 telah merencanakan pengembangan

sekitar 20 komoditas pertanian unggulan Kabupaten TTS seperti yang tercantum


93

pada Tabel 34. Untuk tanaman pangan dan hortikultura fokus pengembangan

ditujukan pada tanaman jeruk keprok SoE, jagung, kacang tanah, produk

pertanian, ubi jalar dan ubi kayu.

Tabel 34. Potensi dan Peluang Investasi Komoditas Pertanian Unggulan


Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2009-2013

Komoditi Luas Luas Luas lahan %* Produksi** Satuan


Lahan Lahan Potensi Produksi
Potensial sudah untuk
(Ha) diolah Investasi
(Ha) (Ha)
Tanaman Pangan & Hortikultura:
Jeruk Keprok SoE 7 050 1 409 1 915 19.99 5.11 ton/ha
Jagung 74 135 61 994 12 141 16.38 1.5 ton/ha
Kacang Tanah 4 125 1 544 2 581 62.57 0.8 ton/ha
Ubi Jalar 1 068 455 613 57.40 3 ton/ha
Ubi Kayu 14 641 8 744 5 897 40.28 4 ton/ha
Perkebunan:
Tembakau 905 5 900 99.45 na ton/ha
Jambu Mente 11 011 2 590 8 421 76.48 0.66 ton/ha
Kakao 8 715 58 8 657 99.33 0.32 ton/ha
Kopi 13 809 509 13 300 96.31 1.04 ton/ha
Kelapa 29 419 6 293 23 126 78.61 0.99 ton/ha
Kemiri 39 928 10 083 29 845 74.75 0.81 ton/ha
Pinang 407.47 150.26 257.21 63.12 0.94 ton/ha

Peternakan: Jumlah Peluang % Peluang


(Ekor) Invest Investasi
(ekor)
data peluang investasi untuk
Sapi 150 975 75 084 49.73 kerbau dan Kuda tidak tersedia.
Kambing 30 439 10 073 33.09
Babi 294 732 66 608 22.60

Sumber: BPS, 2009b dan Bappeda, 2010.


Keterangan: * : % lahan yang sudah diusahakan terhadap lahan potensial.
**: data produksi tahun 2008

Sedangkan fokus pengembangan tanaman perkebunannya adalah

tembakau, jambu mente, kakao, kopi, kelapa, kemiri dan pinang. Tanaman
94

kehutanan diutamakan jarak dan asam. Peternakan difokuskan pada ternak sapi,

kambing dan babi.

Hal penting yang perlu mendapat perhatian di masa datang adalah tingkat

produktivitas pertanian unggulan tersebut. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa

semua produktivitas komoditas pertanian unggulan di TTS masih sangat rendah

dan berada jauh di bawah produktivitas potensialnya. Sebagai contoh,

produktivitas jagung saat ini (tahun 2009) masih 1.5 ton/ha, lebih rendah bila

dibandingkan dengan produktivitas potensialnya 4-6 ton/ha. Demikian juga

halnya produk pertanian. Produktivitas saat mencapai 0.8 ton/ha atau 55% lebih

rendah bila dibandingkan dengan produktivitas potensialnya 1.7 ton/ha.

Rendahnya produktivitas pertanian di Kabupaten TTS erat kaitannya

dengan rendahnya curah hujan (kekurangan air irigasi untuk pertanian),

penggunaan bibit tanaman dan ternak dari produksi sendiri (bukan benih unggul),

sistem pengelolaan tradisional dan skala usaha yang masih kecil (kurang dari 1 ha

per kepala keluarga petani tanaman) dan strukur pasar yang oligopsoni (pasar

persaingan tidak sempurna di mana para pembeli jauh lebih sedikit dibandingkan

dengan para petani produsen/penjual) sehingga harga kurang bersaing dan posisi

tawar petani menjadi lemah.

2.3.5. Kelembagaan Usahatani

Beberapa Lembaga yang terlibat di dalam berbagai kegiatan

pembangunan pertanian (komoditas) di Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah

seperti yang tercantum pada Tabel 35. Penyebaran beberapa Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pembangunan di NTT secara umum

dan di Kabupaten TTS secara khusus adalah seperti yang tertera pada Gambar 26.
95

Tabel 35. Lembaga yang Terlibat di dalam Kegiatan Pertanian Beberapa


Komoditas Unggulan di Kabupaten Timor Tengah Selatan

KOMODITI LEMBAGA

Jeruk Keprok SoE Dinas Pertanian (PPL) TTS & Provinsi, LIPI, OECF, LSM Plan
Internasional, LSM Haumeni, LSM Alpha Omega, ACIAR, BPTP
NTT, PT Undana

Jagung Dinas Pertanian (PPL) TTS & Provinsi, Koperasi, LSM Haumeni,
LSM Alpha Omega, AusAid

Sapi Dinas Peternakan (PPL) TTS & Provinsi, Koperasi, LSM Alpha
Omega, AusAid

Kambing Dinas Peternakan (PPL) TTS & Provinsi, Koperasi, LSM Alpha
Omega, AusAid

Ayam Dinas Peternakan (PPL) TTS & Provinsi, Koperasi, LSM Alpha
Omega, AusAid

Kacang Tanah Dinas pertanian (PPL), LSM Alpha Omega

Kemiri Dinas Perkebunan (PPL), LSM Haumeni

Wortel LIPI, Dinas perindustrian dan perdagangan, LSM ACF

Pisang LIPI, Primatani

Sumber: Dinas Pertanian, 2010c.

3* 12
11 19
1
1 2
2
1 11
19 2 19 14
3 2 19
9 1
2
5 2 2

16
4
2
19 18
6
15 7
19 6
17 19 3
13
6 5
17 8 17 17
18
10
19
6
4*

8 19

Sumber: Bappeda, 2010.


Gambar 26. Peta Sebaran Lembaga Swadaya Masyarakat yang Fokus pada
Pengembangan Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun
2002-2009
96

Adapun fokus kegiatan LSM-LSM tersebut adalah sebagai berikut:

(nomor:-nomor yang tertera di gambar di atas mengikuti nomor kegiatan-kegiatan

di bawah ini).

1. Swisscontact (kakao, mete, kopi), finance by Cordaid – Netherlands.

2. Veco (kacang tanah, kakao, kopi, beras organik, kopi dan Rumput Laut),

tahun 2005-2008.

3. AMARTA-USAID (sapi potong, biofuel, kerapu).

4. Care Internasional (kacang tanah dan komoditi pertanian umum).

5. PNPM – AP (komoditi pertanian umum).

6. The Asia Foundation - ANTARA (Peningkatan Iklim Usaha/investasi).

7. YMTM – ANTARA (komoditi pertanian umum-rantai pasar).

8. Dinas Perikanan & kelautan – ANTARA (perikanan).

9. World Neighbors – YMTM – ANTARA (pertanian umum).

10. TLM – ANTARA (Sapi Potong).

11. Delsos – ANTARA (pertanian umum).

12. PIKUL – ANTARA (pertanian umum).

13. World Neighbours – ANTARA (food security/tanaman pangan).

14. CRS – ANTARA (food security/tanaman pangan).

15. OXFAM GB (food security/tanaman pangan).

16. FAO – ANTARA (tanaman pangan-hama belalang), 2007 – 2009.

17. ACCESS – ANTARA (comdev-pertanian umum), 2002 – 2013.

18. Plan International Australia (Community Managed Food and Nutrition

Security), 2008-200.

19. WVI (rumput laut dan pertanian umum melalui program pengembangan
97

ekonomi).

Dari gambaran penyebaran LSM-LSM tersebut di atas dapat diketahui

bahwa sebenarnya sudah banyak lembaga yang melakukan pembangunan

pertanian secara umum dan khususnya jeruk keprok SoE di kabupaten TTS.

Diharapkan bahwa kehadiran-kehadiran lembaga-lembaga itu dapat meningkatkan

kapabilitas petani dan pemberdayaan kelompok tani yang ada di kabupaten TTS.

Kelompok Tani

Kelompok tani merupakan perangkat pelaksana kegiatan di tingkat

lapangan yang perlu disiapkan dan dibina secara berkesinambungan agar mampu

mengadopsi berbagai informasi teknologi pertanian dan penguatan secara

kelembagaan. Usahatani berkelompok ini diharapkan akan tumbuh menjadi pusat-

pusat agribisnis di pedesaan yang mapan secara ekonomi, teknologi dan

kelembagaan. Jumlah kelompok tani yang telah dibentuk dan dibina oleh Dinas

Pertanian dan Ketahanan pangan Kabupaten TTS sampai dengan tahun 2009

adalah sebanyak 1 328 kelompok dengan klasifikasi kelompok pemula berjumlah

1 203 buah, kelompok tingkat lanjut sebanyak 100 buah dan kelompok madya

sebanyak 25 kelompok. Kelompok-kelompok tani ini menyebar di 32 kecamatan

di kabupaten TTS dengan rata-rata 5 sampai 6 kelompok di setiap desa.

Penyuluhan Pertanian

Penyuluhan merupakan salah satu upaya penyampaian informasi

teknologi pertanian dan perkembangannya yang bertujuan untuk meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan petani secara informal, khususnya dalam upaya


98

pembangunan pertanian. Kegiatan penyuluhan dilakukan untuk memberikan

pemahaman dan informasi pertanian yang bertujuan untuk mengubah perilaku

petani dari sistem dan pola pertanian tradisional menjadi pola pertanian agribisnis.

Sampai dengan tahun 2009, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan

kabupaten TTS memiliki 183 orang penyuluh pertanian yang terdiri dari 137 org

PNS, 45 orang tenaga honorer yang dikontrak Pemerintah Pusat (Departemen

pertanian) dan satu orang PPL yang dikontrak Pemerintah Daerah. Seluruh tenaga

PPL tersebut ditempatkan di desa, Balai Penyuluhan Pertanian kecamatan dan

Sekretariat Penyuluhan Kabupaten.

Kebijakan Pemerintah Pusat menetapkan satu orang PPL untuk satu desa.

Di kabupaten TTS terdapat 240 desa/kelurahan. Hal ini berarti terdapat

kekurangan tenaga PPL sebanyak 57orang (atau 57 desa yang belum mendapatkan

tenaga PPL). Selain kurangnya jumlah PPL, masalah tingkat pendidikan PPL di

kabupaten TTS adalah hal yang penting untuk diperhatikan. PPL yang

ditempatkan di kabupaten TTS didominasi oleh tenaga PPL yang berpendidikan

SLTA 75 orang (40.98%) dan Sarjana Strata-1 berjumlah 62 orang (33.88%).

Sisanya adalah PPL berpendidikan Diploma III 34 orang (18.58%), Diploma IV

11 orang (6.01%) dan Sarjana Strata-2 berjumlah satu orang (0.55%).

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Pada bagian ini dibahas dua hal penting yang berkaitan dengan studi-studi

empiris terdahulu. Pada bagian pertama diawali dengan telaahan pustaka yang

berkaitan dengan metode stokastik frontier yang sudah banyak diaplikasikan oleh
99

peneliti-peneliti terdahulu di bidang pertanian. Sedangkan bagian kedua disajikan

tentang studi-studi terdahulu yang berkaitan dengan komoditas jeruk keprok SoE.

2.4.1. Penelitian Efisiensi dengan Stokastik Frontier

Seperti yang telah dibahas di dalam banyak literatur, pertumbuhan

produktivitas dapat dibedakan atas perubahan teknologi (technical chage, TC) dan

efisiensi teknis (technical efficiency, TE). Pembagian ini dimungkinkan dari

adanya penelitian tentang berbagai sumber pertumbuhan produktivitas dari

berbagai sudut pandang. Secara khusus dikatakan bahwa efisiensi teknis

merupakan ukuran relatif dari kemampuan manajerial untuk teknologi yang sudah

ada. Hal ini berarti bahwa efisiensi teknis terjadi karena adanya perbaikan pada

pengambil keputusan atau kemampuan manajerialnya. Kemampuan ini berkaitan

dengan variabel-variabel yang antara lain pengetahun, keterampilan, umur dan

pendidikan (Bravo-Ureta et al., 2007).

Model frontier dapat diklasifikasikan atas dua tipe yakni parametrik dan

non-parametrik. Model parametrik dibedakan atas deterministik dan stokastik.

Model deterministik mengasumsikan bahwa deviasi dari frontier disebabkan oleh

adanya inefisiensi, sedangkan pendekatan stokastik mengijinkan adanya gangguan

statistik. Model fungsi stokastik frontier mengintegrasikan struktur gangguan acak

atas dua yakni komponen yang merefleksikan inefisiensi (one-sided error) dan

komponen yang menangkap gangguan yang datang dari luar yang tidak dapat

dikontrol oleh unit produksi.

Model ekonometrika untuk estimasi efisiensi dapat juga dipisahkan ke

dalam pendekatan primal dan dual, tergantung pada perilaku asumsi yang

digunakan seperti memaksimumkan output, meminimumkan biaya atau


100

memaksimumkan keuntungan. Pendekatan primal telah lebih banyak digunakan di

dalam estimasi frontier, walaupun pendekatan dual baik dengan menggunakan

fungsi biaya maupun fungsi keuntungan akhir-akhir ini mendapat perhatian yang

semakin meningkat (Khumbakar, 2001). Estimasi fungsi frontier dapat juga

dibedakan atas dasar jenis data yang digunakan yakni data cross section dan data

panel.

Hasil penelitian dari Khumbakar (2001) antara lain menyimpulkan bahwa

tidak ada manfaat yang jelas untuk membedakan satu metode atas metode lainnya.

Tetapi hasil penelitian empiris dengan menggunakan data pertanian yang telah

dilakukan oleh Sharma dan Leung (2000), Wang dan Schmidt (2002) dan Udoh

(2005) seperti yang tercantum dalam Bravo-Ureta et al. (2007) menunjukkan

bahwa pemilihan suatu metode yang khusus untuk analisis efisiensi dapat secara

serius mempengaruhi nilai estimasi efisiensi yang dipelajari tersebut.

Salah satu penelitian terbaru yang mencoba untuk mengatasi hal tersebut

adalah studi dari Bravo-Ureta et al. (2007). Secara detail, studi tersebut mencoba

mengkaji beberapa hal yakni: (1) apakah metode parametrik (baik deterministik

maupun stokastik) menghasilkan nilai TE yang berbeda dengan pendekatan non

parametric, (2) apakah bentuk fungsi memiliki efek pada TE, (3) apakah model

data panel menghasilkan nilai mean TE yang sama dengan yang dihasilkan model

frontier dengan data cross section, (4) apakah nilai TE dari pendekatan primal

berbeda dengan pendekatan dual, (5) apakah model dengan ukuran contoh dan

jumlah variabel (banyak atau sedikit) memiliki pengaruh pada nilai TE, (6)

apakah nilai TE bervariasi antar jenis komoditas yang dianalisis, (7) apakah lokasi

geografis (Negara) menghasilkan mean TE yang spesifik, dan (8) apakah tingkat
101

pendapatan (Negara) mempengaruhi nilai estimasi TE. Untuk mendapatkan

jawaban atas permasalahan tersebut, Bravo-Ureta et al. (2007) mengkaji 191 hasil

studi empiris dengan komposisi 42 studi menggunakan metode non parametrik, 32

studi menggunakan metode parametrik deterministik dan 117 memakai metode

parametrik stokastik frontier. Studi dari Bravo-Ureta et al. (2007) ini

menyarankan bahwa tidak ada kesimpulan yang berkaitan dengan penggunaan

berbagai bentuk fungsi. Sedangkan analisis lainnya menyimpulkan bahwa nilai

estimasi yang dihasilkan oleh model parametrik fungsi stokastik frontier lebih

tinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh model paramertik deterministik.

Dari beberapa penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode

stokastik frontier adalah metode yang paling banyak digunakan oleh para peneliti

di bidang pertanian. Pembahasan penggunaan metode stokastik frontier ini akan

lebih detil pada bagian III (Kerangka Pemikiran) dari penelitian ini.

Ringkasan berbagai penelitian empiris bidang pertanian yang

menggunakan metode stokastik frontier termasuk pengarang, tahun, Negara,

komoditas, jumlah observasi dan nilai mean TE dicantumkan pada Lampiran 2.

Dari begitu banyak analisis efisiensi baik dengan menggunakan parametrik

deterministik maupun stokastik frontier, hanya sedikit saja yang di arahkan pada

tanaman tahunan terutama komoditas jeruk. Dari 141 penelitian pustaka seperti

yang tercantum pada Lampiran tersebut, hanya empat (2.84%) yang melakukan

penelitian pada jeruk. Sebagian besar penelitian dengan menggunakan stokastik

frontier dilakukan pada produk ternak dan susu (21%), disusul dengan penelitian

pada tanaman pangan lainnya (20%) dan padi (17.02%).


102

Secara terperinci tentang jumlah penelitian dan nilai mean efisiensi teknis

berdasarkan kelompok komoditas tercantum pada Tabel 36.

Tabel 36. Jumlah Penelitian dan Nilai Mean Efisiensi Teknis Berdasarkan
Kelompok Komoditas

Produk Jumlah % Terhadap total studi Mean TE


Pertanian total 13 9.22 75.8
Jeruk 4 2.84 72.6
Kopi 2 1.42 87.0
Tanaman pangan 28 19.86 77.5
Padi 24 17.02 74.6
Jagung 6 4.26 77.8
Ternak & susu 29 20.57 81.1
Sayuran dan kacangan 7 4.96 74.4
gandum 4 2.84 66.2
singkong 3 2.13 68.8
Biji-bijian lainnya 10 7.09 76.1
Produk lainnya 11 7.80 79.3
Total 141 100.00
Sumber: Lampiran 2 (diolah).

Dari tabel tersebut diketahui bahwa nilai rata-rata efisiensi teknis yang

paling tinggi terdapat pada studi ternak dan susu (81.1), disusul dengan produk

lainnya (79.3). Sedangkan nilai mean efisiensi teknis untuk tanaman pangan

lainnya dan jagung adalah 77.5 dan 77.8 secara berturut-turut. Nilai mean efisiensi

teknis untuk jeruk yakni 72.61. Hasil penelitian Bravo-Ureta et al. (2007)

menunjukkan bahwa tanaman pangan lainnya adalah kategori dominan yang

dipelajari peneliti, diikuti oleh ternak dan susu, padi, total pertanian, jagung dan

tanaman biji-bijian. Selanjutnya ditemukan juga bahwa nilai rata-rata efisiensi

teknis tertinggi pada ternak dan susu (84.5%) dan terendah gandum (68.2%).

Dari beberapa penelitian seperti yang tercantum pada Lampiran 2 tersebut,

secara khusus hasil penelitian pada komoditas jeruk, kopi, teh dan pistachio
103

(semuanya adalah tanaman tahunan) akan diringkas seperti tercantum pada Tabel

37. Fokus kajian pada tabel tersebut adalah terutama tentang sampel, bentuk

fungsi, jenis data, metode estimasi dan sumber-sumber efisiensi/inefisiensi teknis.

Tabel 37. Beberapa Penelitian Frontier pada Tanaman Tahunan


Pengarang Lokasi Jumlah Bentuk Metode Mean Faktor-Faktor yang
Pertama/ Sampel/ Fungsi, Estimasi TE mempengaruhi
Komoditas (Tahun) & (Jenis Efisiensi & Inefisiensi
Data)

Dhehibi/ Tunisia 150 Translog ML 86.01 Efisiensi Teknis:


Jeruk Lahan, tenaga kerja,
(Panel pupuk, biaya lain.
(2007) data); (SF) Inefisiensi:
Primal Share tenaga kerja
keluarga, share tanaman
produktif, umur petani,
kuadrat umur petani,
pengalaman petani,
pelatihan pertanian,
persepsi tentang air
irigasi

Dhehibi/ Tunisia 144 Translog ML 67.73 Efisiensi Teknis:


Jeruk Lahan, tenaga kerja,
input-input kimia, air
(Panel irigasi dan biaya lain.
(2007a) data); (SF) Inefisiensi:
Primal Ukuran usahatani, umur
petani,
pendidikan,
pelatihan pertanian,
share tenaga kerja
keluarga dan
share tanaman produktif

Lambaraa/ Spain 859 Cobb- ML 64.10 Efisiensi Teknis:


Jeruk Douglas tenaga kerja,
(2007) (Panel (SF & pupuk dan pestisida,
data); TFP) Lahan dan
Primal biaya lain

Picazo- Spain 33 Cross LP Efisiensi Teknis:


Tadeo/ section ukuran usahatani,
Jeruk (2006) (DEA) tenaga kerja,
modal usaha dan
keterampilan manajerial
petani
104

Tabel 37. Lanjutan


Vedenov/ Mexico 120 Translog ML 87.00 Efisiensi Teknis:
Kopi lahan untuk kopi,
(2007) Panel (SF lahan untuk jagung,
data Distance lahan yang dipupuk
Primal Function) Inefisiensi Teknis:
kepadatan penduduk,
share tanaman kopi
terhadap tanaman lain,
panjang jalan,
ketinggian tempat

Wollni/ Costa 216 Probit, ML 81.00 Efisiensi Teknis:


Kopi Rica Cobb- Lahan, tenaga
(2007) Douglas, (SF) kerja,kapital, umur
Translog, tanaman, kegiatan
pemeliharaan, varietas,
Panel pemangkasan dan
data, daerah
Primal Inefisiensi Teknis:
Pendidikan,
pengalaman,
pembukuan usahatani,
kunjungan penyuluh,
umur petani, KK
perempuan, jumlah
anak < 14 tahun,
keluarga, jumlah orang
dewasa, ukuran
usahatani, sumber
pendapatan lain,
anggota koperasi,
daerah

Hazarika/ Assam 67 Cobb- OLS 85.00 Efisiensi Teknis:


Teh Douglas & & lahan efektif, tenaga
(1999) MLE 64.00 kerja, pupuk, share
Panel area untuk teh yang
data, (SF) berumur ≥50 tahun,
Primal share area untuk teh
yang berumur <50
tahun, share area untuk
varietas seed dan
clonal

Boshrabadi/ Iran 475 Translog, ML 55.00 Efisiensi Teknis:


Pistachio (SF) & Air irigasi, tenaga
(2006) Pooled kerja, pupuk kandang,
data, SHAZAM pupuk kimia, pestisida,
Primal (Meta- mesin, input lainnya
frontier)

Sumber: Lampiran 2.

Keterangan: ML: Maximum Likelihood estimation, SF: Stokastik Frontier, LP:


Linear Programing, DEA: Data Envelopment Analysis
105

Dari tabel tersebut diketahui bahwa metode estimasi untuk menduga

tingkat efisiensi pada jeruk yang digunakan para peneliti tersebut di atas paling

banyak menggunakan stokastik frontier. Sedangkan bentuk fungsi yang digunakan

adalah Cobb-Douglas dan Translog. Sedangkan untuk tanaman kopi

menggunakan stokastik frontier dan stokastik frontier distance function dan

bentuk fungsi Cobb-Douglas, Translog dan Probit. Data yang digunakan adalah

panel data.

Secara umum, sumber-sumber efisiensi produksi pada tanaman tahunan

tersebut adalah lahan, tenaga kerja, pupuk kandang, pupuk kimia, pestisida, air

irigasi, mesin/peralatan pertanian, kegiatan pemeliharaan (pemangkasan,

perawatan, penyemprotan), umur tanaman, jenis varietas, daerah/ketinggian

tempat, modal usahatani dan biaya lainnya. Sedangkan sumber-sumber inefisiensi

adalah share tenaga kerja keluarga, share tanaman produktif, umur petani, kuadrat

umur petani, pengalaman petani, pelatihan pertanian, persepsi tentang air irigasi,

pembukuan usahatani, kunjungan penyuluh, share tenaga kerja keluarga, kepala

keluarga perempuan, jumlah orang dewasa, ukuran usahatani, keterampilan

manajerial petani, akses terhadap kredit, sumber pendapatan lain, anggota

koperasi, panjang jalan, daerah/ketinggian tempat. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut ada yang berpengaruh nyata dan ada

yang tidak. Terdapat banyak penjelasan kualitatif tentang hal-hal tersebut.

Hasil kajian Bravo-Ureta dan Pinheiro (1993) dan Bravo-Ureta et al.

(2007) yang menggunakan analisis efisiensi pada berbagai literatur fungsi frontier

menyimpulkan bahwa secara umum, paling banyak studi memakai model

parametrik, data panel dan cross section, bentuk fungsi Cobb-Douglas dan
106

merepresentasikan teknologi dengan pendekatan primal. Selain itu juga, banyak

hasil studi di atas menunjukkan bahwa nilai rata-rata mean efisiensi teknis untuk

model parametrik stokastik frontier agak lebih tinggi dibandingkan model

parametrik deterministik. Beberapa studi seperti Kumbakar dan Lovell (2003) dan

Bravo-Ureta et al. (2007) juga menemukan bahwa nilai estimasi untuk model non

paramertik lebih tinggi dibandingkan dengan parametrik. Namun, para peneliti

yang melakukan studi dengan menggunakan model non parametrik masih sedikit.

Dari berbagai studi yang ditelaah terdapat pola yang menarik untuk

mendeteksi pengaruh bentuk fungsi. Fungsi Cobb-Douglas merupakan bentuk

fungsi yang paling banyak digunakan dalam berbagai studi terdahulu itu. Di

dalam model deterministik, bentuk fungsi Cobb-Douglas menghasilkan nilai rata-

rata mean efisiensi teknis yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk fungsi

translog. Sedangkan model stokastik frontier menghasilkan hal yang berlawanan.

Namun hasil ini tidak signifikan secara statistik. Hal ini dipertegas lagi oleh hasil

studi Kopp dan Smith (1980), diacu dalam Bravo-Ureta et al. (2007) yang

mengatakan bahwa spesifikasi bentuk fungsi memberikan pengaruh yang kecil

terhadap estimasi efisiensi. Pembahasan lebih lanjut tentang berbagai studi

perbedaan bentuk fungsi dalam analisis efisiensi dan produktivitas terdapat pada

Zellner et al. (1966), Hayami (1970), Ulvelling dan Fletcher (1970), Futan dan

Gray (1981), dan Kaneda (1982). Selain itu, di dalam model deterministik, nilai

rata-rata mean efisiensi untuk pendekatan primal menghasilkan nilai estimasi yang

lebih tinggi dibandingkan dengan pendekatan dual.

Hasil kajian Battese dan Coelli (1992), Bravo-Ureta dan Pinheiro (1993),

dan Bravo-Ureta et al. (2007) memperlihatkan bahwa panel data secara umum
107

menghasilkan rata-rata tingkat efisiensi teknis yang lebih tinggi dibandingkan

hasil estimasi dengan menggunakan data cross section. Namun, studi dari Greene

(1993) dalam Bravo-Ureta et al. (2007) memperdebatkan bahwa pengaruh tipe

data (baik data panel maupun cross section) terhadap magnitut nilai analisis

efisiensi tidak penting.

Beberapa pustaka yang dipelajari juga telah menganalisis perbedaan

efisiensi berdasarkan geografis (negara atau benua) dan ada juga yang membahas

perbedaan antar zona ekologi seperti Easter et al. (1977), Batteman et al. (1988),

Ali and Byerlee (1991), Roche (1994), Tadesse dan Krishnamoorthy (1997), Ray

(2004), Boshrabadi et al. (2006), Ogundari dan Ojo (2006) dan Bravo-Ureta et al.

(2007). Dari sekian banyak literatur ini tak satupun yang mengkaji efisiensi pada

jeruk berbasiskan letak geografi, zona ekologi atau agroekologi maupun skala

usaha.

Penelitian yang berkaitan dengan asumsi tentang distribusi dari kesalahan

pengganggu menyimpulkan bahwa setelah membandingkan nilai efisiensi dengan

asumsi setengah normal (asimetris), truncated (simetris) atau exponensial,

ternyata tidak terdapat perbedaan yang berarti. Namun, distribusi gamma memiliki

nilai efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan lainnya (Bravo-Ureta dan

Pinheiro, 1993).

Sedangkan studi yang berkaitan dengan prosedur estimasi, apakah

menggunakan prosedur satu atau dua langkah telah dilakukan oleh Kalirajan

(1991), Parikh dan Shah (1995), Battese dan Coelli (1995), dan Hallam dan

Machado (1996). Mereka menyimpulkan bahwa penggunaan prosedur estimasi

masih memerlukan studi lebih lanjut. Pemilihan penggunaan prosedur tersebut


108

sangat bergantung kepada variabel-varibel yang dimasukkan di dalam model

stokastik frontier. Namun pendekatan yang paling banyak digunakan adalah

prosedur dua langkah. Di mana langkah pertama melakukan estimasi terhadap

fungsi produksi frontier dan langkah kedua melakukan estimasi terhadap sumber-

sumber efisiensi.

Hal penting menarik lainnya dari berbagi pustaka di atas adalah tentang

sumber-sumber efisiensi teknis. Variabel yang paling banyak dipelajari di dalam

sumber-sumber efisiensi teknis adalah variabel kemampuan manajerial dan sosial

ekonomi. Variabel kemampuan manajerial yang paling sering muncul pada

berbagai studi adalah kemampuan para petani untuk mengambil keputusan dalam

hal, antara lain, pemilihan benih, pola tanam, tenaga kerja, tingkat dan waktu

penerapan pupuk dan pestisida serta teknik penanaman dan panen. Varibel-

variabel sosial ekonomi sebenarnya tidak merupakan bagian dari proses produksi

fisik, tetapi variabel-variabel tersebut memiliki pengaruh yang penting di dalam

variabel pengambilan keputusan. Variabel sosial ekonomi yang seringkali

digunakan di dalam penjelasan tingkat variasi di dalam efisiensi teknis antara lain

adalah luas usahatani, pengalaman, pendidikan, umur, metode perencanaan, akses

terhadap kredit usahatani dan kontak dengan penyuluh pertanian.

Hasil studi dari Dhehibi et al. (2007) pada pengukuran dan sumber-sumber

inefisiensi pada jeruk di Tunisia, menyimpulkan bahwa rata-rata nilai efisiensi

teknis pada produksi jeruk di Tunisia adalah 86%. Hal ini menyarankan bahwa

petani-petani penghasil jeruk di negara tersebut dapat meningkatkan efisiensi

produksi mereka sebanyak-banyaknya 14%, melalui penggunaan secara efisien

input-input prduksi yang dimiliki. Hasil estimasi terhadap fungsi produksi


109

translog menunjukkan bahwa lahan, tenaga kerja, pupuk dan biaya produksi

lainnya memiliki hubungan yang positif dengan produksi jeruk di Tunisia.

Selanjutnya dikatakan bahwa variabel-variabel yang berpengaruh positif terhadap

efisiensi teknis pada produksi jeruk di Tunisia adalah share tanaman produktif,

pelatihan di bidang pertanian, irigasi dan tingkat pendidikan petani. Di dalam

studi ini ditemukan juga bahwa fungsi translog lebih baik digunakan untuk

merepresentasikan teknologi produksi jeruk di Tunisia itu. Kemudian kajian ini

menyarankan untuk melakukan perbaikan efisiensi sebagai langkah pertama yang

perlu dipertimbangkan di dalam upaya peningkatan produksi jeruk tersebut.

Dari kajian terhadap berbagai literatur tersebut dapat pula dikatakan bahwa

para peneliti kurang sekali memperhatikan aspek skala usahatani dan aspek zona

agroklimat dari komoditas yang dipelajari. Tambahan pula belum adanya

konsensus diantara studi-studi yang tersedia pada debat tentang perbedaan

efisiensi antara skala usahatani kecil dan skala besar (Tadesse dan Krisnamoorthy,

1997). Skala usahatani sangat penting di dalam penentuan efisiensi, khususnya

yang berkaitan dengan kemampuan manajerial pengelola usahatani untuk

mengadopsi teknologi dan sumberdaya lainnya untuk menghasilkan produksi

yang efisien. Sedangkan faktor-faktor agroklimat sangat penting di dalam isu-isu

yang berkaitan dengan sistem pertanian yang berkelanjutan, produktivitas dan

efisiensi produksi (Easter et al., 1977; Kaneda, 1982; Bateman et al., 1988; Ali

dan Byerlee, 1991; D’Sounza et al., 1993; Ogundari dan Ojo, 2006; dan

Bosharabadi et al., 2006). Untuk mengisi kekosongan literatur analisis efisiensi

produksi pertanian, penelitian yang telah dikerjakan ini akan berkontribusi

terhadap estimasi nilai efisiensi antar skala usahatani dan zona agroklimat di
110

daerah lahan kering. Hal ini akan menentukan kebijakan pembangunan pertanian

yang khas daerah lahan kering dan khususnya pengembangan jeruk keprok di

masa datang.

2.4.2. Penelitian Jeruk Keprok SoE

Jeruk keprok SoE merupakan komoditi khas yang mempunyai keunggulan

komparatif dan kompetitif dan sangat cocok untuk dikembangkan di Pulau Timor

khusunya di Kabupaten TTS. Komoditi ini mempunyai prospek yang sangat baik

untuk dikembangkan sebagai sumber utama (60-75%) pendapatan para petani

jeruk di daerah centra produksinya di Kabupaten TTS.

Untuk mendukung proggram pengembangan jeruk keprok SoE ini,

pemerintah Provinsi NTT telah membangun dua pusat Balai Benih di Pulau Timor

(satu untuk budidaya jeruk dataran tinggi dan yang lainnya untuk budidaya jeruk

dataran rendah). Balai-balai benih ini mensuplai bibit jeruk keprok yang

berkualitas baik untuk dikembangkan di daerah TTS. Dalam rangka itu,

pemerrintah NTT telah menjalin kerja sama dengan pemerintah Jepang dalam

proyek Overseas Economic Cooperation Fund (OECF) yang sudah berjalan sejak

tahun 1997 dan berakhir 2002. Kegiatan utama proyek kerja sama ini adalah pada

perluasan daerah penanaman jeruk keprok SoE.

Hasil penelitian Winrock International Project (Suek et al., 1998) di

Kabupaten TTS mencatat bahwa luas pemanenan jeruk keprok SoE di Kabupaten

TTS pada tahun 1997 adalah sebesar 1 709 ha dengan produksi sebesar 9 316 ton.

Kisaran produksi per pohonnya adalah 26-30 kg (kira-kira 156-180 buah per

pohon dengan rata-rata 6-7 buah per kg dengan diameter buah rata-rata 5-7.5 cm).
111

Catatan produksi ini masih jauh berada di bawah produksi potensial yang bisa

dihasilkan jeruk keprok SoE.

Penelitian Suek et al. (1998) juga menemukan bahwa produksi dan

produktivitas jeruk keprok SoE di Kabupaten TTS adalah rendah dibandingkan

dengan produksi dan produktivitas potensialnya. Rendahnya produksi jeruk

keprok SoE ini diakibatkan oleh adanya berbagai faktor seperti teknik budidaya

yang sangat sederhana. Hanya dua persen saja petani yang memakai pupuk kimia

seperti urea dan TSP, dan pestisida. Sebagian besar (75%) petani memakai pupuk

kandang. Hama dan penyakit tanaman jeruk dibiarkan secara alamiah, tanpa

adanya perhatian dan perlakuan khusus dari petani. Hal ini bisa dipahami karena

petani memiliki keterbatasan baik modal maupun kemampuan manajerialnya.

Hasil penelitian Pellu et al. (2001) tentang nilai ekonomi jeruk keprok SoE

menunjukkan bahwa produk ini secara ekonomis menguntungkan dan

kontribusinya sangat besar (75%) terhadap total pendapatan rumah tangga petani

jeruk di kabupaten TTS. Sedangkan penelitian Milla et al. (2002) dan Yusuf et al.

(2009) merekomendasikan bahwa jeruk keprok SoE secara finansial sangat layak

untuk dikembangkan di daerah TTS bagian Selatan dan Utara. Dari segi preferensi

konsumen di beberapa kota di Indonesia seperti Denpasar, Surabaya maupun di

kota Kupang menunjukkan bahwa jeruk keprok SoE sangat disukai oleh

konsumen dalam hal warnanya yang kuning keemasan, rasa manis, tekstur lembut

dan mudah dikupas (Mason et al., 2002 dan Adar et al., 2005). Namun, sistem

pemasaran (teknologi, strategi dan supply chain) jeruk keprok SoE ini sangat

perlu untuk diperbaiki agar lebih efisien dan membawa keuntungan yang lebih
112

besar bagi petani jeruk itu (Wei et al., 2001; Woods et al., 2002; Adar et al.,

2005).

Baik kegiatan proyek OECF maupun kegiatan penelitian dari Winrock

International; Suek et al., Pellu et al., Milla et al., Adar et al. dan Mason et al.,

analisisnya masih bersifat parsial saja, dan hampir semua menyarankan bahwa ada

keterkaitan antara kesuksesan di pasar dengan keberhasilan di tingkat usahatani

(proses produksi). Berhubung masih jarangnya kajian empiris, baik di dunia

internasional maupun di Indonesia, pada jeruk umumnya dan jeruk keprok SoE

pada khususnya, maka penelitian ini merupakan hal yang sangat penting untuk

dilaksanakan.

Pada hakekatnya permasalahan usahatani jeruk keprok SoE sangat

kompleks, sehingga membutuhkan pendekatan saling terkait, mulai dari tingkat

produksi sampai pada tingkat konsumen akhir. Penelitian yang akan dilakukan ini

adalah merupakan hal yang sangat penting bagi program pembangunan pertanian

khususnya jeruk keprok SoE di Kabupaten TTS, Provinsi NTT. Kajian empiris

terdahulu dengan pendekatan efisiensi lebih banyak di lakukan pada sektor

peternakan (dan produk-produknya) dan tanaman pangan (tanaman semusim)

yang dominan pada lahan sawah (lahan basah), khususnya padi dan jagung. Selain

itu, penelitian sebelumnya (khususnya pada jeruk) yang menggunakan fungsi

produksi stokastik frontier lebih banyak memakai pendekatan primal dan data

panel yang khas daerah subtropis, tanpa memperhatikan skala usaha dan zona

agroklimat. Penelitian yang akan dilakukan ini adalah mencoba menggunakan

fungsi produksi stokastik frontier dengan pendekatan dual dan data cross-section,

khas tanaman tahunan, antar skala dan zona spesifik daerah lahan kering. Jeruk
113

keprok SoE ini tidak dapat tumbuh baik jika dibudidayakan di tempat lain, selain

di kabupaten TTS (Dinas Pertanian, 2007c).

Dari berbagai studi pustaka di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Jeruk di Indonesia sangat potensial dan berprospek baik serta merupakan

komoditas yang perlu diperhitungkan untuk memenuhi konsumsi rumahtangga,

bahan baku industri pengolahan, ekspor dan substitusi impor.

2. Berdasarkan data potensi dan prospek, jeruk keprok SoE merupakan komoditas

unggulan dan penggerak ekonomi petani di daerah-daerah sentra

pengembangannya di provinsi NTT, terutama untuk membantu meningkatkan

kesejahteraan masyarakat di sentra produksi dan pengembangannya. Jeruk

keprok SoE secara finansial layak untuk dikembangkan di daerah dataran tinggi

dan rendah di kabupaten Timor Tengah Selatan.

3. Studi terdahulu pada jeruk sangat sedikit. Dari beberapa studi yang ada itu,

tercatat bahwa studi-studi tersebut menggunakan fungsi stokastik frontier

dengan pendekatan primal dan tidak menggunakan data cross section;

pendekatan dual serta tidak memperhitungkan ukuran usahahatani dan zona

agroklimat.

4. Penelitian yang telah dilakukan ini menggunakan fungsi stokastik frontier

dengan data cross section, dengan memperhatikan ukuran usahatani dan zona

agroklimat daerah lahan kering. Penggunaan data cross section pada tingkat

usahatani tradisional yang belum pernah dilakukan pada studi-studi

sebelumnya merupakan suatu hal yang baru, terutama berkaitan dengan

ketidak-tersediaan data seri waktu untuk input-input usahatani jeruk keprok


114

SoE. Ada suatu harapan bahwa pengambilan data primer pada tingkat usahatani

(on farm research) dapat memberikan kegunaan langsung bagi petani dan

pengambil kebijakan bidang pembangunan pertanian di masa datang. Perlu

juga disadari bahwa perubahan teknologi untuk tanaman tahunan

membutuhkan waktu yang lama bila dibandingkan dengan tanaman semusim.

Dengan demikian, penggunaan data panel untuk studi jangka pendek seperti

penelitian untuk disertasi ini agak sulit untuk dibuat. Akhirnya diharapkan

bahwa studi ini kiranya dapat memberikan rekomendasi untuk meningkatkan

produktivitas dan efisiensi, kemampuan petani untuk mengelola usahatani jeruk

dan pengembangan kepustakaan efisiensi dengan pendekatan stokastik frontier

yang khas tanaman tahunan tropis di daerah lahan kering. Secara ringkas

dapatlah dikatakan bahwa penelitian disertasi ini ingin menjawab adanya

kesenjangan teoritis (tanaman tahunan) dan kesenjangan empiris (tingkat

produktivitas) usahatani jeruk keprok SoE.


III. KERANGKA PEMIKIRAN

Dua bagian penting yang dibahas pada Bab ini yakni tentang kerangka

teori dan kerangka pemikiran operasional yang dipakai di dalam penelitian jeruk

keprok SoE ini.

3.1. Kerangka Teori

Fokus utama pembahasan pada bagian ini adalah pada telaahan kerangka

teori yang mendasari pemilihan metode dan pendekatan yang digunakan untuk

mengukur besaran tingkat efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE.

Pembahasannya dimulai dari teori produksi, pengertian efisiensi, pengukuran

efisiensi, bentuk-bentuk fungsi stokastik dan pendekatan produksi frontier. Secara

khusus pembahasan lebih difokuskan pada pendekatan fungsi produksi stokastik

frontier (Stochastic Production Frontier - SPF) dalam menganalisis fungsi

produksi jeruk keprok SoE di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

3.1.1. Teori Produksi

Dalam berbgai literatur ekonomi produksi, pendekatan analisis produksi

suatu perusahaan pertanian atau usahatani selalu dikategorikan atas beberapa

bagian yakni sistem produksi satu output dengan satu input produksi atau dengan

multi input, atau multi input dengan multi output. Berbagai sistem anlisis produksi

tersebut memakai konsep fungsi produksi yang sama. Konsep fungsi produksi

(production function) sudah banyak dibahas oleh para ahli ekonomi pertanian

yang antara lain oleh Doll dan Orazem (1984), Debertin (1986), Binger dan

Hoffman (1988), dan Bettie dan Taylor (1994). Dari semua konsep diketahui
116

bahwa fungsi produksi menunjukkan hubungan teknis (technical relationship)

antara sejumlah input yang digunakan dengan output yang dihasilkan dalam suatu

proses produksi. Fungsi produksi adalah sebuah deskripsi matematis atau

kualitatif dari berbagai macam kemungkinan-kemungkinan produksi teknis yang

dihadapi oleh suatu perusahaan. Dalam suatu proses produksi terdapat banyak

faktor-faktor produksi yang digunakan tetapi tidak semua faktor produksi

digunakan dalam analisis fungsi produksi, karena analisis ini hanya merupakan

fungsi pendugaan sehingga tergantung dari penting tidaknya pengaruh faktor

produksi tersebut terhadap produksi yang dihasilkan. Selanjutnya dalam proses

produksi pertanian terdapat variabel peubah tak bebas (dependent variable) (Y)

yang dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi atau variabel-variabel bebas

(independent variable) (X); atau dalam bentuk umumnya Y = f(X). Lebih lanjut

dikatakan bahwa kemampuan petani untuk mengambil keputusan tentang

kombinasi penggunaan faktor-faktor produksi yang sesuai dengan jumlahnya

dalam suatu proses produksi menentukan tingkat performansi produksi suatu

usahatani.

Dalam teori ekonomi mikro yang standar, konsep fungsi produksi

membentuk dasar untuk mendeskripsikan hubungan input-output bagi perusahaan

atau produsen. Jika diasumsikan bahwa faktor produksi adalah homogen dan

informasi tersedia lengkap (sempurna) tentang teknologi yang ada, maka fungsi

produksi mewakili sejumlah metode untuk menghasilkan output. Lebih jelas lagi,

fungsi produksi menunjukkan jumlah maksimum output yang bisa dicapai dengan

mengkombinasikan berbagai jumlah input. Coelli et al., (1998), menjelaskan

bahwa fungsi produksi frontier (frontier production function) memiliki definisi


117

yang tidak jauh berbeda dengan definisi fungsi produksi dan banyak digunakan

saat menjelaskan konsep pengukuran efisiensi. Frontier digunakan untuk lebih

menekankan kepada kondisi output maksimum yang dapat dihasilkan dalam suatu

proses produksi.

Debertin (1986) menjelaskan tiga tahap proses produksi yaitu : tahap

pertama, kondisi di mana produk rata-rata atau avarage product (AP) meningkat,

daerah ini dikatakan sebagai daerah yang irasional atau daerah tidak atau belum

efisien; tahap kedua, kondisi yang ditandai memuncaknya kurva produk rata-rata

(AP), kemudian menurun dan dibarengi dengan menurunnya produk marginal

atau Marginal Product (MP) tetapi masih positif, daerah ini disebut daerah yang

rasional atau efisien; dan tahap ketiga, kondisi yang ditandai menurunnya produk

marginal (MP negatif), daerah ini disebut sebagai daerah yang tidak rasional atau

sudah tidak efisien. Petani yang bertujuan memaksimumkan keuntungannya akan

bekerja pada tahap kedua.

Penjumlahan elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi

sekaligus menunjukkan tingkat besaran skala ekonomi usaha (return to scale).

Skala ekonomi usaha merupakan respon dari perubahan output yang dihasilkan

karena perubahan proporsional dan seluruh inputnya. Fungsi produksi Linier

Berganda, Cobb-Douglas dan Translog dapat digunakan untuk menguji fase

pergerakan skala ekonomi usaha (return to scale) atas perubahan faktor-faktor

produksi yang digunakan dalam suatu proses produksi yaitu dengan

menjumlahkan elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi. Menurut

Soekartawi (2003), berdasarkan penjumlahan elastisitas produksi dari faktor-


118

faktor produksi ke-i (∑E pi ) maka ada tiga kemungkinan keadaan fase pergerakan

skala ekonomi usaha (return to scale) yaitu:

1. Kenaikan hasil yang meningkat (increasing return to scale), berarti proporsi

penambahan faktor produksi akan menghasilkan produksi (output) yang

proporsinya lebih besar. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penjumlahan

elastisitas produksi dari faktor produksi ke-i lebih besar dari satu (∑E pi > 1).

2. Kenaikan hasil yang tetap (constant return to scale), berarti penambahan

faktor produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang

diperoleh. Kondisi tersebut menunjukkan penjumlahan elastisitas produksi dari

faktor produksi ke-i sama dengan satu (∑E pi = 1).

3. Kenaikan hasil yang menurun (decreasing return to scale), berarti proporsi

penambahan faktor produksi melebihi proporsi penambahan produksi yang

diperoleh. Kondisi tersebut menunjukkan penjumlahan elastisitas produksi dari

faktor produksi ke-i lebih kecil dari satu (∑Epi < 1).

Coelli et al. (1998) memperkenalkan berbagai jenis fungsi produksi yang

dapat digunakan untuk mengukur efisiensi. Penelitian ini menggunakan fungsi

produksi stokastik. Dengan metode fungsi produksi stokastik faktor-faktor baik

internal maupun eksternal yang diduga akan mempengaruhi tingkat efisiensi

teknis produksi yang akan dicapai dapat ditangkap dan dijelaskan dengan bantuan

model ekonometrika. Sementara itu, faktor-faktor penyebab ketidak-efisienan

juga dapat ditangkap pada saat yang bersamaan. Di samping itu juga dapat

diestimasi apakah inefisiensi disebabkan oleh random error dalam pengumpulan

data dan sifat dari beberapa variabel yang tidak dapat terukur (faktor eksternal)

atau disebabkan oleh faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam


119

proses produksi (faktor internal). Mengingat usahatani jeruk keprok di Provinsi

Nusa Tenggara Timur sudah lama diusahakan oleh petani, maka analisis terhadap

berbagai sumber gangguan produksi (baik eksternal maupun internal) merupakan

suatu hal yang penting.

3.1.2. Pengertian Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis

Konsep dan pengukuran efisiensi merupakan suatu hal yang penting (Farrell,

1957). Masalah pengukuran efisiensi produksi dari suatu industri merupakan hal

penting baik untuk tujuan pengembangan teori ekonomi maupun bagi kepentingan

para pembuat kebijakan di bidang pembangunan ekonomi. Jika argumen-argumen

teoritis terhadap efisiensi secara relatif dari sistem-sistem ekonomi yang berbeda-

beda hendak dijadikan uji empiris, maka sangatlah perlu untuk membuat beberapa

pengukuran efisiensi aktual. Demikian juga halnya jika perencanaan ekonomi

dikonsentrasikan pada suatu industri tertentu, maka sangatlah penting untuk

mengetahui seberapa besar kenaikan output yang diharapkan dari industri tersebut

dengan hanya meningkatkan efisiensinya tanpa menyerap sumberdaya-

sumberdaya tambahan lainnya lebih jauh.

Fungsi produksi yang pengertiannya sama dengan fungsi produksi frontier

(production frontier), di dalam literatur mikroekonomi, adalah deskripsi tentang

hubungan antara input dan output suatu industri. Secara tegas dinyatakan bahwa

fungsi produksi menunjukkan jumlah output maksimum yang dapat dihasilkan

dengan kombinasi penggunaan berbagai jumlah input (Debertin, 1986). Dengan

kata lain, fungsi produksi mendeskripsikan hubungan teknis yang

mentransformasikan input-input (sumberdaya-sumberdaya) menjadi output-output

(komoditas-komoditas). Secara umum fungsi produksi dinyatakan sebagai:


120

y = f (x) ................................................................................................. (3.1)

di mana y adalah output industri dan x adalah input yang digunakan untuk

memproduksi output tersebut.

Fungsi produksi, jika diketahui, dapat memberikan gambaran teknologi

produksi. Perhitungan efisiensi secara relatif dapat dilakukan terhadap fungsi ini.

Secara khusus, inefisiensi teknis ditentukan oleh jumlah deviasi dari fungsi

produksi. Di dalam istilah ekonomi, inefisiensi teknis menunjukkan kegagalan

suatu industri untuk beroperasi pada fungsi produksi (frontier). Hal ini

menunjukkan inefisiensi yang disebabkan oleh waktu dan metode dari aplikasi

input-input produksi (Ali dan Byerlee, 1991). Sebab-sebab potensial dari

inefisiensi teknis adalah informasi yang tidak lengkap, keterampilan teknis yang

kurang memadai dan motivasi yang kurang kuat (Daryanto, 2000).

Pengertian efisiensi di dalam tulisan ini diambil dari tulisan Farrell (1957),

diacu dalam Coelli et al. (1998). Farel memperkenalkan bahwa efisiensi terdiri

dari efisiensi teknis (Technical Efficiency-TE) yakni kemampuan suatu

perusahaan untuk mendapatkan output maksimum dari penggunaan suatu set

(bundle) input. Efisiensi teknis berhubungan dengan kemampuan suatu

perusahaan untuk berproduksi pada kurva frontier isoquant. Definisi lain

menunjukkan bahwa TE adalah kemampuan perusahaan untuk memproduksi pada

tingkat output tertentu dengan menggunakan input minimum pada tingkat

teknologi tertentu. Efisiensi alokatif (Allocative Efficiency-AE) adalah

kemampuan suatu perusahaan untuk menggunakan input pada proporsi yang

optimal pada harga dan teknologi produksi yang tetap (given). AE merupakan

kemampuan perusahaan untuk menghasilkan sejumlah output pada kondisi


121

minimisasi rasio biaya dari input. Gabungan kedua efisiensi ini disebut efisiensi

ekonomi (Economic Efficiency-EE) atau disebut juga efisiensi total. Hal ini berarti

bahwa produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan baik secara teknis maupun

ekonomis adalah efisien.

Untuk mengilustrasikan konsep efisiensi-efisiensi tersebut, Farrell

menggunakan contoh sederhana dari suatu industri yang menggunakan hanya dua

input, x1 dan x 2 untuk menghasilkan output y. Fungsi produksi yang efisien

(diasumsikan sudah diketahui) dapat ditulis:

y = f ( x1 , x2 ) ........................................................................................... (3.2)

Dengan asumsi constant return to scale (CRS), maka persamaan (3.2)

dapat ditulis:

1= f (x1 y , x2 y ) ................................................................................... (3.3)

Asumsi CRS dibuat dengan catatan bahwa fungsi produksi itu sudah

sangat efisien (beroperasi pada skala optimal) pada daerah dua dari fungsi

produksi neoklasik. Fungsi produksi tersebut adalah homogen derajat 1 (jika

penggunaan input ditingkatkan sebesar satu-satuan, maka output juga akan

meningkat dengan proporsi yang sama). Suatu fungsi produksi homogen derajat n

akan menghasilkan suatu return to scale parameter dari suatu nilai n yang

konstan. Asumsi CRS ini mengijinkan teknologi untuk direpresentasikan dengan

menggunakan isoquant (kombinasi dari berbagai input yang dapat digunakan

untuk menghasilkan output yang sama), seperti yang diilustrasikan pada Gambar

27 berikut ini. Asumsi CRS ini dinyatakan secara eksplisit untuk menunjukkan

bahwa pengukuran yang berorientasi input dan output adalah equivalen.


122

x2/y
xa

P xb
xc

xe

Io
P

0 x1/y

Sumber: Coelli et al., 1998.


Gambar 27. Pengukuran Efisiensi Farrell 1957

Pada Gambar 27, Io adalah isoquant dan garis PP adalah garis isocost

(kombinasi input yang dapat dibeli dengan anggaran yang sama). Titik X a secara

teknis tidak efisien dan titik X b secara teknis efisien karena terletak pada isoquant,

tetapi secara alokatif tidak efisien. Titik X c secara teknis tidak efisien tetapi secara

alokatif efisien karena menempati kombinasi harga input yang efisien pada garis

isocost PP. Titik X e secara teknis dan alokatif efisien atau disebut juga efisien

secara ekonomis. Jarak antara titik X c dan X b adalah besarnya biaya yang

diminimalkan jika perusahaan ingin berproduksi pada titik X e yang merupakan

tempat kombinasi penggunaan input yang efisien secara teknis dan alokatif.

Dari gambar di atas juga diketahui bahwa ketiga efisiensi (TE, AE dan EE)

tersebut dapat dihitung:

0X b 0X c 0X c
TE = ; AE = dan EE = ...................................... (3.4)
0X a 0X b 0X a

Perlu diingat bahwa ketiga nilai efisiensi tersebut berkisar antara 0 dan 1, di mana

nilai 1 menunjukkan bahwa perusahaan tersebut sangat efisien.


123

Berdasarkan pengertian efisiensi-efisiensi di atas, maka untuk mencapai

efisiensi ekonomi dapat dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama, apabila biaya

yang tersedia sudah tertentu besarnya, maka menggunakan input secara optimal

hanya dapat dicapai dengan cara memaksimumkan output. Kedua, jika output

yang akan dicapai sudah tertentu besarnya, optimasi dari proses produksi hanya

dapat dicapai dengan cara meminimumkan biaya.

3.1.3. Pengukuran Efisiensi Produksi

Dua metode alternatif untuk mengestimasi fungsi frontier dan pengukuran

efisiensi produksi adalah non parametrik dan parametrik (Coelli et al., 1998).

Pendekatan parametrik untuk estimasi fungsi produksi, fungsi biaya atau profit

terdiri dari spesifikasi bentuk fungsi parametrik dan penggunaan beberapa metode

estimasi (Ordinary Least Square-OLS atau Maximum Likelihood-ML) dengan

data empiris untuk mengestimasi parameter dari fungsi tersebut. Kekuatan utama

dari pendekatan parametrik adalah yang berkaitan dengan gangguan stokastik.

Pendekatan ini memisahkan deviasi-deviasi dari frontier atas inefisiensi sistematik

atau actual dari usahatani dan komponen-komponen acak (noise) yang adalah

stokastik dan bukan karena operator inefisiensi. Selain itu, metode parametrik

mengijinkan uji statistik seperti uji hipotesis atas struktur produksi dan tingkat

efisiensi (Coelli et al., 1998). Selanjutnya Coelli et al. mengatakan bahwa

kelemahan utama pendekatan fungsi produksi parametrik ini adalah menghendaki

secara eksplisit bentuk fungsi yang menggambarkan teknologi yang ada, asumsi

tentang distribusi inefisiensi dan ketidakmampuannya untuk bekerja dengan multi

output. Dengan demikian, maka penelitian dengan menggunakan pendekatan

parametrik tersebut harus diinterpretasikan secara hati-hati.


124

Pendekatan non parametric deterministic yang telah dikembangkan Farrell

(1957) dikenal juga sebagai Data Envelopment Analysis (DEA). Metode ini telah

banyak diaplikasikan oleh, untuk menyebutkan beberapa, Charles et al. (1981) dan

Färe dan Lovell (1978), diacu dalam Bravo-Ureta et al. (2007) yang melibatkan

analisis multi input, multi output dan variasi skala penerimaan (Variabel Retrun

to Scale-VRS). DEA menggunakan metode linear programming. Keunggulan

pendekatan non parametrik ini adalah tidak menghendaki bentuk fungsi yang

khusus untuk merepresentasikan teknologi yang ada. Kelemahan utamanya adalah

deterministik dan mengasumsikan bahwa semua deviasi dari frontier adalah akibat

terjadinya inefisiensi.

Rasio output dari usahatani ke-i yang diteliti secara relatif terhadap output

potensial yang didefinisikan dengan fungsi frontier, dengan vektor input x i yang

digunakan untuk mendefinisikan efisiensi teknis dari usahatani ke-i adalah sebagai

berikut:

yi exp( xi β − ui )
TEi = = = exp(−ui ) ............................................. (3.6)
exp( xi β ) exp( xi β )

Pengukuran ini adalah pengukuran efisiensi teknis yang digunakan Farrell

yang memakai nilai yang berada diantara 0 dan 1. Nilai 0 menunjukkan bahwa

deviasi dari frontier disebabkan oleh gangguan statistik dan nilai 1 menunjukkan

bahwa deviasi tersebut disebabkan oleh adanya inefisiensi teknis. Ukuran ini

menunjukkan magnitut dari output dari usahatani ke-i relatif terhadap output yang

dapat diproduksikan dengan menggunakan suatu usahatani yang sudah sangat

efisien dari pemakaian vektor input yang sama. Efisiensi teknis yang digambarkan

dengan rumus (3.6) di atas dapat diestimasi dengan rasio output yang diteliti yakni
125

y i , terhadap nilai estimasi dari output frontier yakni exp( xi β ) yang diperoleh dari

estimasi β dengan menggunakan linear programming, di mana:

∑ u diminimisasi,
i =1
i terhadap kendala ui ≥ 0, i =1,2,...........N . Farrell juga

menyarankan untuk mengestimasi β menggunakan quadratic programming.

Dalam tulisan Farrell telah dibahas dua komponen pengukuran efisiensi

yakni efisiensi teknis (technical efficiency) dan efisiensi alokatif (allocative

efficiency 1). Efisiensi teknis merefleksikan suatu kemampuan dari suatu usahatani

untuk mendapatkan output maksimum dari penggunaan suatu set input. Efisiensi

alokatif mengukur suatu kemampuan suatu usahatani untuk menggunakan input

usahatani secara proporsional pada tingkat harga tertentu. Kedua ukuran efisiensi

ini digabungkan menjadi efisiensi ekonomi (economic efficiency).

Pengukuran efisiesni tersebut mengasumsikan bahwa fungsi produksi

usahatani yang sangat efisien sudah diketahui. Namun dalam praktek, hal ini sulit

dijumpai. Oleh karena itu Farrell menyarankan bahwa fungsi produksi dapat

diestimasi dari data sample dengan menggunakan baik non parametrik maupun

parametrik. Estimasi fungsi non parametrik sering menggunakan pendekatan

DEA, sedangkan fungsi parametrik seperti fungsi Cobb-Douglas sering

menggunakan model stokastik frontier (Coelli et al., 1998).

Selanjutnya Coelli et al. menjelaskan tentang hasil studi dari Aigner dan

Chu (1968) yang menggunakan fungsi produksi frontier parametric deterministic

dari fungsi Cobb-Douglas dan memakai data sample sebanyak N usahatani.

1
Farrell menggunakan istilah efisiensi harga (price efficiency) untuk efisiensi alokatif dan
menggunakan istilah efisiensi total (overal efficiency) untuk efisiensi ekonomis. Namun dalam
disertasi ini, akan digunakan istilah efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis. Hal ini sesuai
dengan istilah yang sudah lazim digunakan di dalam tulisan ilmiah akhir-akhir ini.
126

Kelompok frontier ini deterministik karena output dibatasi dari atas oleh fungsi

produksi yang tidak stokastik. Ini berbeda dengan pendekatan non parametrik

karena keberadaan tehnologi dijelaskan dengan bentuk fungsional yang spesifik.

Modelnya adalah sebagai berikut:

ln ( yi ) = xi β − ui i = 1,2,…..N ...................................................... (3.7)

di mana

ln ( yi ) adalah logaritma dari (skalar) output untuk usahatani ke-i;

x i adalah (K+1) vektor baris di mana elemen pertama 1 dan elemen

sisanya adalah logaritma dari jumlah input K yang digunakan oleh

usahatani ke-i;

β = β 0 , β1 , ........β k ) adalah (K+1) vektor kolom dari parameter yang tidak

diketahui untuk diestimasi; dan

ui adalah non negative variabel acak, yang berkaitan dengan inefisiensi

teknis dari produksi usahatani yang dipelajari.

Pendekatan ini dikembangkan lebih lanjut antara lain oleh Forsund, et al.

(1980) yang mencoba melonggarkan batasan asumsi spesifikasi Cobb-Douglas

yang homogen. Keuntungan utama dari penggunaan pendekatan ini adalah

kemampuannya untuk mengkarakterisasi teknologi frontier dalam bentuk

matematis atau fungsional sederhana serta kemampuannya untuk

mengakomodasi non-constant returns to scale. Namun demikian, dua kelemahan

utamanya adalah: (1) bersifat deterministik sehingga tidak memungkinkan

adanya noise dan dugaan yang dihasilkan tidak memiliki properti statistika, dan

(2) sukar diterapkan untuk usahatani yang outputnya lebih dari satu.
127

Afriat (1972) telah memulai dengan metode frontier statistic deterministic

yang selanjutnya dikembangkan oleh Richmond (1974) dan Greene (1980). Tidak

seperti dua pendekatan sebelumnya, metode ini menggunakan teknik statistika

untuk mengestimasi frontier statistik deterministik. Afriat (1972) di dalam Coelli

et al. (1998) menspesifikasi model yang serupa dengan persamaan (3.6) di atas,

kecuali ui s diasumsikan memiliki suatu distribusi gamma dan parameter-

parameter dari model yang diestimasi menggunakan metode maximum likelihood

(ML). Dikemukakan juga bahwa parameter-parameter dari model Afriat dapat

juga diestimasi menggunakan suatu metode corrected ordinary least-square

(COLS). Metode ini menggunakan penduga ordinary least-squares (OLS) yang

tidak bias untuk slope parameter, tetapi penduga OLS dari intercept β 0 yang bias

secara negative; bias disesuaikan dengan menggunakan moment sampel dari

distribusi kesalahan pengganggu yang diperoleh dari residual OLS. Coelli et al.

(1998) menunjukkan bahwa penduga linear dan -quadratic programming yang

dikemukan Aigner dan Chu (1968) adalah penduga ML jika ui s didistribusikan

sebagai exponensial atau setengah normal variabel-variabel acak secara berurutan.

Richmon (1974) juga mengemukakan metode modifikasi OLS (Modified

Ordinary Least Square-MOLS), yang membuat asumsi tentang bentuk distribusi

inefisiensi non-positif (U i ). Asumsi paling populer adalah setengah normal, yang

memerlukan estimasi satu parameter tambahan, varians distribusi normal yang

terpotong diatas nol. Distribusi parameter tunggal lainnya yang sudah banyak

digunakan adalah eksponensial. Menurut prosedur MOLS, model tersebut pertama

diestimasi menggunakan OLS dan intersepnya dikoreksi dengan estimasi untuk

mean U i , diturunkan dari momen residual OLS, dan bukan mengadopsi prosedur-
128

prosedur penyesuaian Corected OLS (COLS) (Lovell, 1996) dalam Daryanto

(2000).

Keuntungan dari penggunaan pendekatan frontier statistik deterministik

adalah hasil analisis dapat diuji kelayakan statistiknya. Sementara itu, kelemahan

pendekatan ini terletak pada diperlukannya bentuk fungsional tertentu dan semua

penyimpangan dari frontier dikategorikan sebagai inefisiensi teknis.

Satu kritik utama dari model deterministik frontier tersebut adalah tidak

memperhitungkan pengaruh kesalahan pengukuran dan gangguan lainnya

terhadap frontier. Semua deviasi dari frontier diasumsikan sebagai hasil dari

inefisiensi teknis. Aigner dan Chu (1968) menyarankan untuk menghapus

persentase dari usahatani-usahatani sampel yang sangat dekat dengan frontier

yang diestimasi dan mengestimasi ulang frontier tersebut dengan menggunakan

reduced sampel. Hal ini dikenal dengan pendekatan probabilistic frontier, namun

belum banyak peneliti yang menggunakannya. Salah satu metode untuk

menghilangkan gangguan-gangguan tersebut adalah pendekatan stokastik frontier.

Beberapa properti penting dari empat metode pengukuran efisiensi baik

Least Square (LS), Total Factor Productivity (TFP), Data Envelopment Analysis

(DEA) dan Stochastic Frontier (SF) (Coelli et al., 1998) secara ringkas dapat

disajikan pada Tabel 38. Metode-metode tersebut berbeda satu dengan lainnya

dalam hal tipe pengukuran, metode, data, asumsi-asumsi dan variabel-variabel

yang digunakan. Selain itu, masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan-

kelebihan dan kelemahan-kelemahannya (pembahasan lebih lanjut tentang hal-hal

tersebut dapat dilihat pada Coelli et al., 1998). Secara khusus, kelebihan dan

kelemahan dari fungsi stochastic frontier dapat diikuti pada sub bagian berikut ini.
129

Tabel 38. Beberapa Karakteristik dari Empat Metode Pengukuran Efisiensi

Metode Karakteristik

Apakah metode tersebut parametrik atau non parametrik?


LS Parametrik
TFP Non-parametrik
DEA Non-parametrik
SF Parametrik

Apakah metode tersebut memperhitungkan distorsi (noise)?


LS Ya
TFP Tidak
DEA Tidak
SF Ya

Apakah metode tersebut mengasumsikan bahwa semua industri efisien?


LS Ya
TFP Ya
DEA Tidak
SF Tidak

Apakah perilaku asumsi-asumsi dibuat?


LS Tergantung pada model yang digunakan:
1) produksi atau fungsi jarak : none
2) fungsi biaya-minimisasi biaya
3) fungsi keuntungan-maksimisasi profit
TFP Minimisasi biaya dan maksimisasi penerimaan
DEA None (jika tidak memperhitungkan efisiensi alokasi)
SF Sama dengan untuk LS

Metode apa yang digunakan untuk mengukur?


LS Technical change (jika menggunakan data seri waktu (time
series) dan panel data
TFP TFP changes (yang sama dengan technical change ketika kita
mengasumsikan CRS dan tidak ada inefisiensi)
DEA • Efisiensi teknis
• Scale eficiency
• Alokatif efisiensi
• Technical change dan TFP change (jika tersedia panel
data dan Malmquist indeks diperhitungkan)
SF • Efisiensi teknis
• Scale eficiency
• Alokatif efisiensi
• Technical change dan TFP change (jika tersedia panel
data)
130

Tabel 38. Lanjutan

Metode Karakteristik

Variabel-variabel data apa yang dibutuhkan?


LS Tergantung pada model yang digunakan:
• Produksi atau fungsi jarak: kuantitas input dan output
• Fungsi biaya: biaya, jumlah output dan harga input 1), 2)
• Fungsi profit: profit, dan harga input dan output 3), 4)
TFP Jumlah dan harga input dan output
DEA Tergantung pada model yang digunakan:
• Standar DEA: jumlah input dan output
• Efisiensi biaya: jumlah input dan output, dan harga input
• Efisiensi penerimaan : jumlah input & output & harga
output
• Efisiensi profit : jumlah dan harga input dan output
SF Sama dengan untuk LS

Apakah data time series atau cross-section atau panel?


LS Semuanya bisa
TFP Semuanya bisa (tetapi harus menggunakan indeks transitive ketika
memperhitungkan perbandingan spasial
DEA cross-sectional atau panel data
SF cross-sectional atau panel data

Sumber: Coelli et al., 1998.


Keterangan:
1)
: jika beberapa input diasumsikan fix kemudian jumlah input dibutuhkan daripada
harganya.
2)
: jumlah input juga dibutuhkan jika fungsi biaya diestimasi
3)
: jika beberapa input dan output diasumsikan fix, maka jumlah dibutuhkan
4)
: jika fungsi profit diestimasi dengan jalan mengestimasi permintaan input sebagai suatu
sistem dan persamaan penawaran output, maka jumlah input dan output dibutuhkan.

3.1.4. Fungsi Produksi Stokastik Frontier

3.1.4.1. Model Stokastik Frontier

Perbedaan penting lainnya di dalam produksi frontier (selain istilah

parametrik dan non parametrik) adalah konsep deterministik dan stokastik. Model

deterministik yang mencakup parametrik dan non parametrik mengasumsikan

bahwa deviasi dari frontier disebabkan oleh adanya inefisiensi. Sedangkan analisis

stokastik yang semuanya adalah model parametrik mengestimasi deviasi dari


131

frontier dan mengijinkan gangguan statistik. Jadi estimasi fungsi produksi

stokastik frontier ditujukan untuk mendapatkan apakah deviasi di dalam efisiensi

teknis dari output frontier disebabkan oleh faktor-faktor khusus (faktor internal)

atau faktor-faktor eksternal acak. Model produksi stokastik frontier ini dibedakan

atas: cross-sectional frontier, panel frontier dan dual frontier. Pendekatan

stokastik frontier menggunakan metode ekonometrika. Model stokastik frontier

dan pengukuran efisiensi sudah banyak dibahas, untuk menyebutkan beberapa,

antara lain oleh Schmidt (1977), Forsund et al. (1980), Schmidt (1986), Schmidt

dan Lovel (1979), Callan (1987), Ball (1985), Battese (1992), Lovell (1996),

Greene (1993), Mahadevan (2002), Casseli dan Coleman (2006), Bravo-Ureta et

al. (2007) dan Sirait (2007).

Penggunaan model stokastik frontier dalam menduga efisiensi produksi

akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan model

deterministik. Mahadevan (2002) mencatat dua alasan mengapa penggunaan

model stokastik frontier lebih baik. Pertama, model stokastik memungkinkan

pergeseran non-neutral yang disebabkan oleh perubahan marginal rate

substitution faktor prooduksi. Kondisi ini akan memungkinkan seorang produsen

memperoleh hasil produksi yang berbeda meskipun dengan penggunaan input

yang sama sebagai akibat dari penggunaan metode produksi yang berbeda.

Implikasi praktis adalah penggunaan metode produksi akan menyebabkan

perbedaan pencapaian output sehingga menimbulkan adanya variasi proses

produksi antar perusahaan atau industri. Kedua, adanya variasi proses produksi

berimplikasi terhadap variasi efisiensi teknis antar perusahaan, menyebabkan

tidak perlu adanya asumsi distribusi normal.


132

Forsund et al. (1980) secara terpisah dan cukup terinci mengemukakan

konsep tentang fungsi produksi stokastik frontier, di mana kesalahan pengganggu

eksternal ( vi ) ditambahkan pada variabel kesalahan pengganggu acak internal

yang non negative ( ui ) di dalam persamaan (3.7) dan menjadi:

ln ( y i ) = xi β + vi − u i i = 1,2,…..N ............................................... (3.8)

Sesuai dengan model stokastik, maka di dalam model persamaan (3.8)

tersebut terdapat dua jenis error term yakni vi dan ui . Kesalahan pengganggu

acak, vi , diperhitungkan sebagai ukuran kesalahan yang terkait dengan faktor-

faktor eksternal, seperti pengaruh cuaca, mogok, keberuntungan, dan lain-lain,

pada nilai-nilai dari variabel output, bersama-sama dengan kombinasi efek dari

variabel-variabel input yang tidak dispesifikasi di dalam model fungsi produksi.

Sedangkan kesalahan pengganggu acak, ui , adalah variabel kesalahan yang

bernilai non negatif dan berkaitan dengan faktor internal yang diduga

mempengaruhi tingkat inefisiensi usaha yang diasumsikan sebarannya bersifat

non negative truncation dengan rata-rata µ i dan varians σ u2 . Lovell dan Schmidt

mempertegas kembali bahwa variabel vi adalah independen dan secara identik

didistrubusikan (independently & identicaly distributed-i.i.d) sebagai variabel-

variabel acak normal dengan mean 0 dan varians konstan ( σ v2 ) bebas dari ui yang

diasumsikan sebagai exponensial i.i.d. atau variabel-variabel acak yang menyebar

setengah normal (half-normal distribtution) atau disebut juga truncated normal

distribution.

Model seperti pada persamaan (3.8) tersebut dinamakan fungsi produksi

stokastik frontier karena nilai-nilai output dibatasi oleh variabel stokastik (acak),
133

exp( xi β + vi ) . Kesalahan pengganggu acak ( vi ) dapat positif atau negatif dan

dengan demikian output-output stokastik frontier bervariasi sekitar bagian

deterministik dari model frontier, exp( xi β ) . Model stokastik frontier

diilustrasikan dalam dua dimensi seperti tercantum pada Gambar 28 (Coelli et al.,

1998). Input x pada sumbu horisontal dan output y pada sumbu vertikal.

Komponen bentuk deterministik dari model frontier y = exp( xβ ) diasumsikan

bahwa terjadi skala penerimaan yang semakin berkurang (diminishing return).

Hasil observasi output dan input dari dua usahatani i dan j telah digambarkan.

Usahatani i menggunakan input x i untuk menghasilkan output yi . Nilai input-

output yang diobservasi ditandai dengan titik x. Nilai dari output stokastik frontier

yi * = exp( xi β + vi ) ditandai dengan titik B, terletak diatas fungsi produksi

deterministik. Hal ini bisa terjadi karena aktivitas produksinya dipengaruhi oleh

kondisi yang menguntungkan yaitu kesalahan pengganggu acak v i bernilai positif.

Demikian juga usahatani j menggunakan input x j dan menghasilkan output yj .

Output frontier y j * = exp( x j β + v j ) berada di bawah fungsi produksi

deterministik. Kondisi ini dapat terjadi karena aktivitas produksinya dipengaruhi

oleh keadaan yang tidak menguntungkan yakni variabel v j negatif. Tentu output-

output stokastik frontier y i * dan y j * adalah tidak dapat diamati karena kesalahan

pengganggu acak vi dan vj tidak dapat diamati. Tetapi bagian deterministik dari

model stokastik frontier pasti terletak diantara output stokastik frontier. Pada

kedua kasus tersebut, hasil produksi petani berada di bawah fungsi produksi

deterministik y = exp( xi β ) . Model stokastik frontier ini mengijinkan estimasi

simpangan baku dan uji hipotesis dengan menggunakan metode ML.


134

y
Frontier output (yi*)
Fungsi produksi
y = exp( xi β + vi ) if vi >0
y = exp( xβ ) >0
B
A
Frontier output (yj*)
yj x y = exp( x j β + v j ) if v j <0

yi x

0 xi xj x

Sumber: Coelli et al., 1998.

Gambar 28. Fungsi Produksi Stokastik Frontier

Parameter-parameter dari fungsi produksi stokastik frontier dapat

diestimasi dengan menggunakan baik metode ML maupun COLS seperti yang

disarankan oleh Coelli et al., (1998). Metode ML lebih efisien dibandingkan

dengan COLS tetapi properti dari kedua estimator tersebut dalam contoh yang

finit secara analitik tidak dapat ditentukan. Bukti empiris yang telah dikaji oleh

Coelli dan kawan-kawan itu menunjukkan bahwa ML secara signifikan lebih baik

dibandingkan dengan COLS ketika kontribusi dari efek inefisiensi teknis terhadap

total variansnya lebih besar dibandingkan dengan hasil dari COLS. Jadi metode

ML memiliki akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan COLS. Namun,

perbandingan antar metode ini harus diinterpretasikan secara hati-hati terutama

dalam kaitannya dengan penggunaan data sampel yang berbeda. Berdasarkan hal-

hal tersebut di atas, maka penelitian efisiensi jeruk keprok SoE ini dan juga pada

penelitian tanaman tahunan seperti yang sudah dibahas pada Bab II terdahulu

lebih memilih untuk menggunakan ML dibandingkan dengan COLS.


135

3.1.4.2. Bentuk Fungsi Untuk Model Fungsi Produksi Stokastik Frontier

Dari berbagai pustaka diketahui bahwa di dalam teori ekonomi produksi

dikenal beberapa bentuk fungsi produksi yakni Cobb-Douglas, translog

(transcendental logarithmic), CES (Constant Elasticity of Substitution) dan fungsi

quadratic; yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Selanjutnya

akan dibahas fungsi Cobb-Douglas dan translog karena kedua fungsi ini yang

sering digunakan di dalam studi stokastik frontier. Sedangkan karakteristik fungsi-

fungsi lainnya dapat ditelaah pada berbagai literatur ekonomi produksi (Debertin,

1986 dan Coelli et al., 1998).

(1). Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Teori fungsi produksi Cobb-Douglas diciptakan pada tahun 1928, dengan

bentuk matematis sebagai berikut :

n
y = β 0 ∑ xij
βj
.................................................................................... (3.9)
j =1

di mana y adalah variabel terikat yang merupakan output tunggal, x adalah

variabel bebas atau faktor-faktor produksi, β 0 intersep fungsi produksi dan β j

parameter dari setiap faktor produksi, sedangkan i dan j masing-masing

menunjukkan individu petani dan faktor produksi (input) yang digunakan.

Beberapa asumsi di dalam penggunaan fungsi Cobb-Douglas adalah: (1) pasar

dalam kondisi bersaing sempurna, (2) masing-masing parameter menunjukan

elastisitas produksi yang bersifat tetap, (3) teknologi yang digunakan dalam proses

produksi adalah sama, dan (4) adanya interaksi antara faktor-faktor produksi yang

digunakan dalam proses produksi tersebut (Debertin, 1986).


136

Beberapa keuntungan penggunaan fungsi produksi Cobb-Douglas yaitu (1)

memiliki parameter yang dapat diduga dengan metode kuadrat terkecil (least

square). Parameternya langsung menunjukkan nilai elastisitas faktor produksi dari

masing-masing faktor produksi yang digunakan, (2) perhitungannya sederhana

karena dapat dibuat menjadi bentuk linier dan dapat dilakukan dengan perangkat

lunak komputer dan (3) jumlah elastisitas dari masing-masing faktor produksi atau

∑β j merupakan pendugaan skala usaha (return to scale).

Keterbatasan dalam penggunaan fungsi produksi Cobb-Douglas adalah:

(1) elastisitas produksinya konstan, (2) elastisitas substitusi input bersifat elastis

sempurna, (3) elastisitas harga silang untuk semua faktor dalam kaitannya dengan

harga input lain mempunyai arah dan besaran yang sama, (4) elastisitas harga

permintaan input terhadap harga output selalu elastis dan (5) meskipun parameter

dalam fungsi produksi Cobb-Douglas sangat mudah untuk diestimasi dari data

yang diobservasi, fungsi produksi Cobb-Douglas tidak dapat mewakili fungsi

produksi neoklasik yang terdiri dari 3 stage.

Bentuk fungsi Cobb-Douglas sudah umum digunakan di dalam berbagai

studi empiris yang menggunakan model-model frontier (Chambers, 1994 dan

Coelli et al., 1998). Hal ini lebih banyak dikarenakan oleh kesederhanaannya.

Suatu transformasi logaritma melengkapi suatu model yang adalah linear di dalam

logaritma dari input model sehingga memudahkan bentuk fungsi Cobb-Douglas

ini diestimasi. Kesederhanaan ini merupakan juga suatu keterbatasan dari properti

fungsi Cobb-Douglas ini. Fungsi produksi Cobb-Douglas memiliki elastisitas

input dan skala penerimaan yang konstan. Demikian juga jumlah elastisitas
137

substitusi dari fungsi Cobb-Douglas adalah satu (Zellner et al., 1966; Chand dan

Kaul, 1986).

(2) Fungsi Produksi Translog

Sejumlah bentuk fungsi alternatif telah pula digunakan di dalam berbagai

literatur frontier. Dua bentuk fungsi alternatif yang sangat popular adalah

translog (seperti studi dari Greene, 1993) dan Zellner-Revankar generalized

production function (seperti studi dari Forsund et al., 1980; dan Kumbakar, 2002),

keduanya dalam Coelli et al. (1998). Bentuk Zellner-Revankar dapat

menghilangkan restriksi tentang return to scale, sedangkan bentuk translog tidak

memakai restriksi return to scale dan kemungkinan substitusi. Tetapi bentuk

translog sangat mungkin terjadinya multikolinearitas dan masalah derjat bebas.

Semua masalah tersebut dapat diatasi dengan menggunakan penduga-penduga

dalam bentuk sistem seperti sistem persamaan antar efisiensi teknis dan inefisiensi

teknis produksi suatu usahatani. Namun hal ini memerlukan perhitungan yang

sangat kompleks (Coelli et al., 1998). Fungsi produksi translog diperkenalkan oleh

Berndt and Christensen (1973) kemudian diaplikasikan lebih lanjut oleh

Christensen et al. (1973) dengan bentuk umum sebagai berikut :

LnYit = β 0 + ∑ β ij LnX ijt + 1 / 2 ∑ j ∑ k β jk LnX ijt LnX ikt ............. (3.10)

di mana

Y adalah output dan

X adalah input (j dan k) pada usahatani i.

Beberapa karakteristik dari fungsi produksi Translog: (1) parameter β jk

diasumsikan positif, (2) fungsi tidak pernah mencapai maksimum jika tingkat

input yang digunakan terbatas, (3) nilai elastisitas substitusi tidak selalu satu dan
138

(4) bentuk isoquant Translog tergantung pada parameter β ik, jika parameter β ik

bernilai nol maka bentuk isoquant-nya seperti Cobb-Douglas dan elastisitas

substitusinya sama dengan satu tetapi jika parameter β ik meningkat, maka output

juga akan meningkat secara nyata jika input-input yang digunakan tetap.

Coelli et al. (1998) menunjukkan bahwa fungsi Cobb-Douglas dapat

mewakili data secara memadai. Uji ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji

generalized likelihood-ratio (setiap uji statsitik generalized likelihood-ratio yang

melibatkan parameter γ akan memiliki distribusi chi-square). Keunggulan

menggunakan bentuk fungsi translog antara lain adalah: (1) bentuk fungsi adalah

fleksibel dalam arti bahwa bentuk fungsi tersebut dapat mengakomodasi berbagai

struktur produksi, 2) restriksi lebih sedikit pada elastisitas produksi dan elastisitas

substitusi dan 3) kontribusi interaksi antar faktor diperhitungkan. Keterbatasannya

antara lain adalah: (1) lebih sulit untuk menginterpretasi, (2) dalam mengestimasi

lebih banyak memerlukan parameter K+3+K(K+1)/2 sehingga rentan terhadap

masalah derajad bebas dan multikolinearitas dan (3) dapat menderita dari

pelanggaran lengkungan (it can suffer from curvature violations).

3.1.4.3. Pengukuran Efisiensi Teknis Model Produksi Stokastik Frontier

Secara matematik nilai harapan (mean atau nilai rata-rata) dari efisiensi

teknis yakni TE i =exp(-u i ) dapat dihitung untuk asumsi-asumsi distribusi yang ada

untuk efek efisiensi teknis. Jika u i s adalah i.i.d variabel-variabel acak yang

menyebar setengah normal, maka

[ ( )] (
E[exp(− ui )]= 2 1 − φ σ γ exp γσ
2
2 ) ......................................... (3.11)
139

di mana φ (⋅) adalah fungsi distribusi dari variabel acak standar normal dan

parameter γ = σ u 2 σ 2 , di mana σ 2 = σ u 2 + σ v2 dan σ v merupakan standar

deviasi dari kesalahan pengganggu dari v. sedangkan σ 2 dan σ u adalah masing-


2

masing sebagai varians populasi dan varians dari u. Penduga ML untuk mean

efisiensi teknis diperoleh dengan mensubstusikan penduga ML untuk parameter-

parameter yang relevan pada persamaan (3.11). Karena efisiensi-efisiensi teknis

individu dari usahatani-usahatani contoh dapat diprediksi, maka suatu penduga

alternatif untuk mean efisiensi teknis adalah rata-rata aritmatik dari prediktor

untuk efsiensi-efisiensi teknis individu dari usahatani-usahatani contoh. Hal inilah

yang dihitung oleh program FRONTIER. Tetapi rata-rata aritmatik bisa saja tidak

merupakan penduga terbaik ketika usahatani-usahatani contoh memiliki secara

signifikan perbedaan ukuran-ukuran operasi atau jika tidak diperoleh dengan

contoh acak sederhana dari populasi usahatani yang dipelajari.

Efisiensi teknis dari usahatani i telah didefinisikan sebagai TE i =exp(-u i ).

Hal ini melibatkan efek inefisiensi teknis, u i , yang tidak bisa diamati. Walaupun

nilai sebenarnya dari vektor parameter β dari model stokastik frontier diketahui,

namun hanya ei ≡ vi − u i yang bisa diamati. Jondrow et al., (1982) menurunkan

rumus untuk prediksi u i sebagai berikut:

 φ (γei σ A ) 
E [u i ei ]= γei + σ A   ..................................................... (3.12)
1 − φ (γei σ A ) 

di mana σ A = γ (1 − γ )σ 2 ; ei = ln( yi ) − xi β dan φ (.) adalah fungsi densitas dari

variabel acak standar normal. Battese dan Coelli (1988) menunjukkan bahwa

prediktor terbaik untuk exp(-u i ) atau estimasi untuk efisiensi teknis dari setiap
140

produsen i dalam kasus truncated normal model diperoleh dengan menggunakan

persamaan (3.13).

1 − φ (σ A + γei σ A )
TEi = E [exp(ui ) ei ]=
1 − φ (γei σ A )
( )
exp γei + σ A2 / 2 ................. (3.13)

Penduga efisiensi teknis yang diaplikasikan di dalam program FRONTIER

diperoleh dengan menggantikan parameter-parameter yang tidak diketahui pada

persamaan (3.12) dengan nilai estimasi ML mereka. Coelli et al. (1998)

menjelaskan tiga tahap pekerjaan program FRONTIER adalah sebagai berikut:

1. Menggunakan OLS untuk menghitung nilai β dan σ 2 yang keduanya adalah

estimator yang bersifat bias;

2. Fungsi log likelihood akan mengevaluasi besarnya nilai-nilai γ yakni

diantara 0 dan 1. Pada perhitungan ini estimasi dengan metode OLS

menghasilkan σ 2 dan β 0 yang bersifat adjusted. Estimasi OLS digunakan

untuk menghitung nilai parameter β untuk tiap-tiap input produksi dan

3. Menggunakan nilai dari β , σ 2 dan γ dari langkah pertama dan kedua untuk

melakukan iterasi maksimisasi hingga nilainya konvergen. Metode iterasi

yang digunakan adalah Davidson Fletcher-Powell (DFP) yang akan

menghasilkan nilai likelihood paling maksimum.

Setelah tahap 1, 2 dan 3 dilaksanakan, hasil estimasi parameter akan

diperoleh bersamaan dengan nilai tengah efisiensi teknis model tersebut. Model

matematika dari nilai tengah (rata-rata) efisiensi teknis ditunjukkan oleh

persamaan (3.14).

TE i = exp(-u i ) ......................................................................... (3.14)


141

di mana u i bersifat setengah normal. TE bisa juga didefinisikan sebagai rasio

output pengamatan terhadap output stokastik frontier yang bersangkutan, yakni:

Yi
TEi = = exp(−u i )
[ f ( X i ; β ) exp(vi )] ........................................... (3.15)

3.1.4.4. Model Efek Inefisiensi Teknis Produksi Stokastik Frontier

Penentuan sumber-sumer inefisiensi teknis tidak hanya memberikan

informasi pada sumber-sumber potensial dari inefisiensi tetapi juga menyarankan

kebijakan-kebijakan untuk diimplementasikan atau dieliminasikan dalam rangka

untuk meningkatkan efisiensi total. Kebijaakan-kebijakan yang akan diusulkan

untuk memperbaiki produktivitas usahatani dengan jalan memperbaiki proporsi

penggunaan input ataukah memperkenalkan teknologi baru ke dalam sistem

usahatani yang telah ada.

Dari teori produksi, seperti yang telah dijelaskan terdahulu, diketahui

bahwa efisiensi suatu usahatani dibedakan efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis.

Efisiensi teknis ditentukan oleh berbagai variabel faktor internal dan eksternal

petani yakni perubahan teknologi yang tidak merubah proporsi faktor produksi

dan tidak merubah daya substitusi teknis antar input. Efisiensi alokatif, termasuk

efisiensi ekonomis, bersumber dari perubahan intensitas faktor dan/atau

perubahan harga relatif sehingga perubahannya tergantung atau dipengaruhi

tingkat substitusi teknis marjinal (marginal rate of technical substitution).

Faktor-faktor internal (faktor-faktor yang dapat dikendalikan petani) dan

faktor-faktor eksternal serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan

intensitas input dan harga relatifnya merupakan sumber-sumber efisiensi. Perilaku

faktor-faktor eksternal dianggap “given” karena berada di luar kontrol petani.


142

Faktor-faktor eksternal dapat dikategorikan atas dua yakni (1) strictly external,

karena mutlak berada di luar kendali petani (seperti iklim, hama dan penyakit

tanaman) dan (2) quasi external, karena dengan suatu tindakan kolektif, intens dan

waktu yang cukup tersedia, dan/atau dengan bantuan pihak-pihak kompeten,

petani mempunyai kesempatan untuk mengubahnya (seperti faktor harga dan

infrastruktur).

Kualitas sumberdaya manusia (petani) merupakan faktor internal yang

sangat penting. Semakin tinggi kualitas diharapkan akan semakin tinggi

kemampuan petani di dalam mengadopsi teknologi dan mengelola usahataninya

sehingga dapat meningkatkan efisiensi. Tingkat penguasaan teknologi budidaya

dan pascapanen serta kemampuan petani mengakumulasikan dan mengolah

informasi yang relevan dengan kegiatan usahataninya sehingga kemampuan

pengambilan keputusan dapat dilakukannya secara tepat, merupakan beberapa

cakupan faktor internal yang penting. Variabel-variabel seperti pendidikan formal,

pengalaman dan keterampilan, manajemen dan umur petani merupakan beberapa

indikator penting yang dapat dijadikan sebagai faktor-faktor penentu tingkat

efisiensi usahatani.

Ada dua alternatif pendekatan untuk menguji faktor-faktor determinan

(sumber-sumber) efisiensi teknis dan sekaligus inefisiensi teknis (Daryanto,

2000). Metode pertama adalah prosedur dua tahap. Tahap pertama adalah estimasi

nilai efisiensi atau efek-efek inefisiensi untuk usahatani individu setelah estimasi

fungsi produksi frontier. Tahap kedua adalah estimasi model regresi di mana nilai

efisiensi (inefisiensi) diekspresikan sebagai suatu fungsi dari variabel-variabel

sosial ekonomi yang diasumsikan mempengaruhi inefisiensi. Metode kedua


143

adalah prosedur satu tahap (simultan) di mana efek-efek inefisiensi di dalam

stokastik frontier dimodelkan di dalam variabel-variabel yang relevan di dalam

menjelaskan inefisiensi produksi. Pendekatan ini diperkenalkan di dalam model

yang diaplikasi oleh Battese dan Coelli (1992), dan Coelli et al. (1998).

Persoalan pendekatan mana yang lebih baik, apakah prosedur dua tahap

atau satu tahap, di dalam literatur frontier adalah masih belum terselesaikan dan

membutuhkan penelitian empiris yang lebih lanjut (Admassie, 1999, diacu dalam

Bravo-Ureta et al., 2007). Prosedur dua langkah telah banyak digunakan untuk

meneliti sumber TE dalam berbagai studi (Hallam dan Machado, 1996; Kalirajan,

1984, 1990 dan 1991; dan Parikh dan Shah, 1995). Pendekatan ini dikritik oleh

yang mempunyai argumen bahwa variabel sosial ekonomi harus dimasukkan

secara langsung dalam model frontier produksi karena variabel semacam ini

mungkin memiliki dampak langsung terhadap efisiensi (Battesse dan Coelli, 1988,

1992 dan 1995; Kumbhakar dan Lovell, 2003; dan Kumbhakar dan Tsionas,

2005). Battese dan Coelli (1995) dan Coelli, et al. (1998) menyatakan bahwa

prosedur dua langkah mengandung kontradiksi asumsi yang bersifat fundamental.

Pada tahap pertama, U i diasumsikan terdistribusi secara identik, sedangkan pada

tahap kedua U i yang diestimasi (atau fungsinya, yaitu TE i =exp(-U i )

dimungkinkan menjadi fungsi dari variabel eskplanatori inefisiensi. Battese dan

Coelli (1995) mengatasi masalah ini dengan mengestimasi parameter frontier

produksi stokastik dan model inefisiensi secara simultan, dengan kondisi efek

inefisiensi teknis adalah stokastik. Beberapa penulis seperti Kalirajan, 1991;

Kalirajan dan Flinn, 1983; dan Kalirajan, 1981 telah mempertahankan prosedur

dua langkah dengan menekankan bahwa atribut sosial ekonomi mempunyai efek
144

pada produksi, sehingga perlu dimasukkan ke dalam analisis secara tidak

langsung.

Dalam penelitian ini model yang akan dikembangkan adalah Technical

Eficiency Effect Model (TE Effect Model) yang digagas oleh Battese dan Coelli

(1995) maupun Yao dan Liu (1998). Model ini mengestimasi besarnya nilai

efisiensi dan inefisiensi dilakukan secara simultan dengan program FRONTIER

Version 4.1 (Coelli, 1996; Coelli dan Parelman, 1996a dan 1996b; dan Coelli et

al., 1998) dengan pilihan TE Effect Model. Sebelum ditemukannya program ini,

nilai estimasi dilakukan dengan menggunakan maximum likeelihood dimana

proses estimasi harus dilakukan secara bertahap.

Bentuk Umum dari TE Effect Model dapat dipresentasikan sebagai

berikut (Sumaryanto, et al., 2003):

Yit = xit β + (vit − uit ) , i = 1, …, N; t = 1, …, T................................. (3.16)

dimana:

Y it : produksi yang dihasilkan petani i pada waktu t

x it : vektor masukan yang digunakan petani i pada waktu t

β : vektor parameter yang akan diestimasi

v it : variabel acak yang berkaitan dengan faktor-faktor eksternal dan

sebarannya normal ( Vit ~ N (0,σ v2 ) .

uit : variabel acak non negatif, dan diasumsikan mempengaruhi tingkat

inefisiensi (teknis) dan berkaitan dengan faktor-faktor internal.

Model yang dispesifikasi oleh Coelli, et al. (1998) yakni spesfikasi efek-

efek inefisiensi teknis di dalam model stokastik frontier diasumsikan menyebar

secara independen (tapi tidak identik) dari variabel-variabel acak yang non
145

negatif. Untuk usahatani i dalam tahun t, efek inefisiensi teknis u it diperoleh dari

sebaran truncated normal N(µ it , σ 2 ) dengan formula matematis sebagai berikut:

U it = δ zit ........................................................................................... (3.17)

di mana z it merupakan komponen sistematis yang terdiri dari vektor karakteristik

perusahaan yang berkaitan dengan efisiensi teknis. Komponen z it adalah vektor

1xM dari varibel-variabel bebas yang diamati yang memiliki nilai tetap konstan,

dan δ adalah vektor Mx1 dari parameter-parameter yang tidak diketahui untuk

diestimasi. Model tersebut cukup sederhana di mana tidak memperhitungkan

kemungkinan struktur korelasi antara variabel acak (vit ) yang berhubungan

dengan usahatani tertentu, periode waktu atau heteroskedastisitas di dalam

gangguan acak dan efek inefisiensi teknis.

Distribusi truncated normal dimulai dari perpotongan di atas titik nol dari

distribusi normal dengan mean µ dan varians σ 2 . Hal ini berimplikasi bahwa

terdapat peluang tertinggi untuk efek-efek inefisiensi berada sekitar titik nol. Ini

dalam gilirannya berimplikasi bahwa secara relatif terdapat efisiensi teknis yang

tinggi. Di dalam dunia nyata terdapat kemungkinan ada sedikit usahatani yang

efisien, tetapi lebih banyak terdapat usahatani yang tidak efisien.

Distribusi truncated normal adalah suatu generalisasi untuk distribusi

setengah normal. Perlu dicatat bahwa terdapat berbagai bentuk ukuran distribusi,

tergantung pada besaran dan tanda dari µ. Estimasi Distribusi truncated normal

dari fungsi produksi stokastik frontier melibatkan estimasi dari parameter µ dan

bersama-sama dengan parameter lainnya di dalam model. Coelli et al. (1998)

menunjukkan bahwa model setengah normal yang lebih sederhana merupakan

suatu model yang cukup baik untuk merepresentasikan data, karena model
146

tersebut adalah generalisasi dari model distribusi truncated normal. Testing

hipotesis nol dapat dilakukan baik dengan uji Wald maupun LR test.

3.1.4.5. Pengujian Hipotesis

Untuk model frontier, persamaan ln ( y i ) = xi β + vi − u i memiliki hipotesis

nol (Ho) yakni tidak ada efek inefisiensi teknis di dalam model tersebut.

Pernyataan ini dapat diuji dengan menyusun hipotesis nol dan hipotesis

alternatifnya yakni H 0 :σ 2 = 0, dan H1 :σ 2 > 0 . Hipotesis-hipotesis ini dapat diuji

dengan berbagai tes statistik. Dengan menggunakan statistik Wald menunjukkan

rasio penduga ML untuk varians σ2 terhadap masing-masing standar deviasi hasil

estimasi. Dengan kata lain, Wald test menunjukkan rasio nilai gamma ( γ ) dengan

nilai standar error hasil estimasi. Jika Ho: γ = 0 benar dan diterima, maka

distribusi nilai random variabelnya bersifat normal. Nilai γ merupakan kontribusi

dari efisiensi teknis di dalam residual total. Sejak diperkenalkan, tes statistik ini

telah dilaksanakan dalam hampir setiap analisis empiris yang memakai model

pendekatan stokastik frontier. Aigner dan Chu (1968) menemukan bahwa statistik

Wald memberikan nilai yang sangat kecil (insignifikan). Selain itu, Coelli (1995)

juga mendapatkan hasil bahwa statistik Wald memiliki properti ukuran yang

sangat buruk. Oleh karena itu disarankannya untuk menggunakan uji generalized

likelihood-ratio (LR) satu arah (one sided generalized likelihood-ratio test) .

Untuk mendeteksi ada-tidaknya efek inefisiensi teknis di dalam model, tes LR ini

memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan jenis tes lainnya (Wollni,

2007). Uji statistik ini dihitung dengan memakai formula pada persamaan (3.18)

sebagai berikut:
147

LR = − 2{ln[L( H 0 ) / L( H 1 )]}= − 2{ln[L( H 0 )]− ln[L( H 1 )]} ................. (3.18)

di mana L (H 0 ) dan L (H 1 ) adalah nilai-nilai dari fungsi likelihood dari hipotesis

nol dan hipotesis alternatifnya. Tolak H 0 jika LR > χ 2 restriksi (Tabel 1 Kodde dan

Palm, 1986) dan sebaliknya, H 0 diterima jika LR < χ 2 restriksi (Tabel 1 Kodde dan

Palm, 1986). Hasil pengujian Ho: γ = δ 1 = δ 2 = ........... = δ n = 0 menyatakan

bahwa efek inefisiensi teknis tidak ada di dalam model fungsi produksi tersebut.

Jika hipotesis nol ini diterima, maka model fungsi produksi tersebut sudah cukup

mewakili data empiris (Coelli et al., 1998). Villano dan Fleming (2005)

menekankan bahwa jika γ = 0 dan semua koefisien dari δ adalah 0, maka produksi

stokastik frontier adalah sama dengan fungsi produksi rata-rata (OLS) yang tidak

memperhitungkan efek-efek inefisiensi.

Hasil pengolahan program FRONTIER 4.1. menurut Aigner dan Chu

(1968) dan Jondrow et al. (1982) akan memberikan nilai perkiraan varians dalam

bentuk parameterisasi sebagai berikut:

σ 2 = σ v2 + σ u2 ................................................................................. (3.19)

dan

σ u2
γ= .............................................................................................. (3.20)
σ2

Parameter dari varians ini dapat menentukan nilai γ yakni 0 ≤ γ ≤ 1 . Nilai

parameter γ ini merupakan kontribusi dari efisiensi teknis terhadap efek residual

total. Persamaan inefisiensi teknis dari usahatani diperlakukan sebagai suatu

bentuk persamaan simultan dengan persamaan efisiensi teknis. Estimasi ML dari


148

model stokastik frontier diprogram di dalam FRONTIER dan disebut model 2 atau

model efek efisiensi teknis (TE) yang dianalisis secara simultan (satu tahap).

3.1.4.6. Elastisitas Produksi

Elastisitas produks i dari fungsi translog tidak diperoleh secara otomatis

dari koefisien hasil estimasi seperti halnya pada fungsi Cobb-Douglas. Oleh

karena itu perlu dilakukan analisis tersendiri. Perhitungan elastisitas produksi

secara parsial (masing-masing faktor produksi) pada rata-rata penggunaan faktor

produksi adalah seperti petunjuk Greene (2000) dan Wollni (2007) (persamaan

3.21). Sedangkan jumlah elasisitas dari masing-masing faktor produksi

menentukan skala usaha atau tingkat pengembalian hasil (return to scale)

usahatani jeruk keprok SoE. Dengan demikian, maka jika jumlah elastisitas > 1

dikatakan increasing return to scale; jika = 1 constant return to scale dan jika < 1

decreasing return to scale.

∂ ln Y n
E Xk : = β k + β kk ln X k + ∑ β kj ln Xj .................... (3.21)
∂ ln X k j≠k

di mana:
E Xk : elastistas dari input X k
βk : koefisien estimasi dari input X k
X k dan X j : jumlah rata-rata penggunaan dari jenis input k dan j
n : jumlah variabel-variabel input yang berinteraksi

3.2. Kerangka Pemikiran Analisis Efisiensi Jeruk Keprok SoE

3.2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Penelitian terhadap efisiensi produksi di Indonesia sudah banyak

dilakukan di bidang pertanian. Dari berbagai sumber pustaka diketahui bahwa

pengkajian terhadap efisiensi tersebut paling banyak dilakukan pada subsektor


149

tanaman pangan terutama padi dan jagung yang merupakan tanaman semusim.

Penelitian efisiensi teknis jeruk belum pernah dilakukan di Indonesia. Dari 141

hasil penelitian (baik nasional maupun internasional) yang telah direview pada

Bab II, penulis hanya menemukan empat studi efisiensi yang berbasiskan

komoditas jeruk dan semuanya di daerah subtropis. Pengkajian untuk

pengembangan produktivitas dan perbaikan efisiensi jeruk keprok SoE sebagai

komoditas andalan di provinsi NTT merupakan suatu hal yang sangat penting dan

mendasar untuk dilakukan.

Dari tinjauan teoritis dan telaahan studi terdahulu, penelitian yang telah

dilakukan ini memfokuskan aspek kajiannya yang berbeda dengan penelitian

sebelumnya pada beberapa hal berikut ini. Pertama, Studi terdahulu pada

komoditas pertanian pada umumnya dan khusus pada jeruk menggunakan data

sekunder dengan jenis data panel. Namun studi yang telah dilakukan ini

merupakan terobosan baru dengan menggunakan data primer (on farm) dengan

jenis data cross section. Keunggulan pendekatan data primer ini adalah pemberian

rekomendasi kebijakan dapat secara langsung diarahkan kepada petani dan/atau

stakeholders usahatani jeruk yang spesifik lokasi di mana penelitian tersebut

dijalankan. Namun tidak menutup kemungkinan rekomendasi tersebut dapat

digunakan di tempat usahatani jeruk lainnya di Indonesia. Kedua, Semua

penelitian terdahulu tentang efisiensi produksi jeruk dilaksanakan di daerah

subtropis. Penelitian ini merupakan suatu pengkajian efisiensi jeruk keprok di

daerah lahan kering dengan iklim tropis. Ketiga, meskipun menggunakan

pendekatan yang hampir sama dengan penelitian sebelumnya, yakni production

stochastic frontier, pendekatan primal dengan bentuk fungsi Cobb-Douglas, tetapi


150

penelitian ini menggunakan konsep pendugaan efisiensi teknis produksi secara

bersama-sama (simultan) dengan pendugaan inefisiensi teknis dengan

menggunakan Technical Efficiency Effect Model (TE Effect Model) dengan fungsi

yang lebih fleksibel (translog). Keempat, penelitian ini menganalis efisiensi teknis

produksi pada basis perbedaan zona agroklimat dan ukuran usahatani jeruk yang

dipraktekkan oleh petani. Kelima, Perhitungan efisiensi teknis produksi jeruk

keprok SoE dilakukan dengan menggunakan metode Maiximum Likelihood

Estimation (MLE) dengan pendekatan stokastik frontier pada data cross section di

daerah lahan kering; sekaligus melihat perbedaan tingkat efisiensi usahatani jeruk

pada zona agroklimat ekstrim basah (dataran tinggi) dan ekstrim kering (dataran

rendah) serta antar ukuran usahatani.

Dengan pendekatan seperti itu, maka permasalahan-permasalahan pokok

studi terutama yang berkaitan dengan rendahnya produktivitas dan efisiensi

sebagai akibat dari kemampuan manajerial petani yang kurang memadai, bisa

dijelaskan. Usahatani jeruk keprok SoE dipusatkan pada dua zona agroklimat

yakni zona dataran tinggi dan dataran rendah dan beroperasi pada ukuran

usahatani yang beragam antar petani. Zona agroklimat dicirikan terutama oleh

ketinggian tempat dari permukaan laut (dpl) dan jumlah bulan basah-bulan kering.

Zona dataran tinggi adalah daerah yang terletak di atas 500 m dpl dengan jumlah

bulan basah lebih dari lima bulan dan jumlah bulan kering tidak lebih dari tujuh

bulan dalam setahun. Sedangkan zona dataran rendah adalah daerah yang terletak

≤ 500 m dpl dengan jumlah bulan basah tidak lebih dari lima bulan dan jumlah

bulan kering lebih dari tujuh bulan dalam setahun.


151

Dua zona tersebut dijadikan fokus dengan alasan untuk memperhitungkan

heterogenitas daerah dalam hal sistem produksi, kondisi agroekologi, ukuran

usahatani, tingkat persaingan usaha dan kelembagaan petani (Wollni, 2007) yang

dapat mempengaruhi tingkat efisiensi usahatani. Selain itu, kebijakan

pengembangan jeruk keprok SoE di TTS sejak lima tahun terakhir ditujukan pada

daerah spesifik dataran tinggi dan dataran rendah. Kedua zona tersebut merupakan

kawasan sentra pengembangan jeruk keprok SoE kabupaten TTS di provinsi NTT.

Pertanyaan yang hendak dijawab adalah zona manakah yang dapat memberikan

tingkat efisiensi yang tinggi dan faktor-faktor apa saja yang menentukan

performansi efisiensi seperti itu.

Ukuran usahatani secara khusus dibedakan karena hal itu dapat

merefleksikan kekayaan (harta) rumahtangga petani yang dapat memberikan

pendapatan rutin kepada mereka. Besar-kecilnya ukuran usahatani mempengaruhi

tingkat efisiensi (Wollni, 2007). Hal ini dapat dikaitkan dengan kemampuan

petani untuk mengakses tenaga kerja, modal usaha dan input usahatani lainnya.

Hal-hal tersebut akan menentukan ukuran usahatani yang dapat memberikan

tingkat efisiensi yang tinggi dibandingkan dengan ukuran usahatani lainnya

(Binswanger dan Siller, 1983).

Ukuran usahatani yang dipakai di dalam penelitian ini adalah < 1 ha dan ≥

1 ha. Data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten TTS tahun 2008

menunjukkan bahwa mayoritas (78%) petani jeruk keprok SoE di daerah itu

memiliki luas usahatani sebesar < 1 ha. Pertanyaannya adalah apakah luasan

usahatani seperti itu sudah memberikan efisiensi yang tinggi atau tidak, dan

faktor-faktor apa saja yang menjadi determinannya.


152

Untuk mencapai tujuan penelitian yang sudah ditetapkan maka, data cross

section pada jumlah input dan output produksi, faktor-faktor penentu inefisiensi

teknis serta faktor-faktor eksternal yang relevan perlu dikumpulkan. Dari berbagai

teori yang telah dipelajari, efisiensi teknis usahatani dipengaruhi oleh berbagai

faktor-faktor internal yakni alokasi penggunaan input-input produksi seperti luas

areal panen, jumlah tanaman produktif, bibit, pupuk buatan (Urea, TSP, NPK,

KCL), pupuk kandang (kompos), obat-obatan (pestisida, fungisida, herbisida),

tenaga kerja (dalam dan luar keluarga), populasi tanaman, pemangkasan dan

penjarangan buah. Namun, realitas usahatani di lapangan menunjukkan bahwa

para petani responden menggunakan input produksi seperti jumlah pohon

produktif, umur tanaman produktif, kompos, tenaga kerja dan bibit tanaman.

Tingkat pengetahuan petani terhadap faktor-faktor produksi ini menentukan

fungsi produksi jeruk keprok SoE. Coelli et al. (1998) menunjukkan bahwa

pengetahuan diringkaskan atau dipresentasikan dalam bentuk fungsi produksi

suatu komoditas pertanian.

Tanaman jeruk yang berumur 5 sampai dengan lebih dari 20 tahun

dikategorikan tanaman yang produktif. Jeruk mulai berproduksi pertama sejak

berumur 5 tahun dan produksinya mulai menurun setelah berumur lebih besar dari

20 tahun setelah tanam. Semakin banyak jumlah tanaman jeruk yang produktif

yang diusahakan petani, maka tingkat efisiensi semakin tinggi (berdampak

positif). Hal yang sama juga untuk umur tanaman produktif, di mana diharapkan

bahwa semakin bertambah umur tanaman jeruk, maka tingkat produktivitasnya

semakin menurun dan berdampak negatif terhadap efisiensi teknisnya. Informasi

dari kedua variabel ini juga akan mendorong petani apakah sudah saatnya untuk
153

melakukan penanaman kembali (replanting) atau peremajaan atau tidak pada

musim berikutnya.

Para petani responden di daerah penelitian sebagian besar tidak

menggunakan input usahatani modern seperti pupuk dan pestisida kimia. Petani

menggunakan kompos untuk mendukung proktivitas usahatani jeruk mereka.

Input ini diharapkan dapat berdampak positif pada produksi jeruk keprok SoE.

Demikianpun terhadap efisiensi teknisnya.

Input produksi tenaga kerja yang digunakan petani adalah tenaga kerja

keluarga saja. Variabel ini juga diharapkan berpengaruh positif terhadap produksi

jeruk keprok SoE di daerah penelitian ini.

Beberapa variabel dummy perlu dimasukkan di dalam model fungsi

produksi jeruk dengan tujuan agar dapat menghasilkan spesifikasi model yang

lebih akurat. Perlu juga dicatat bahwa variabel dummy untuk bibit merefleksikan

investasi petani dengan menggunakan bibit yang lebih cepat berproduksi (okulasi,

cangkokan, tempelan) dibandingkan dengan bibit yang diperoleh dengan

menggunakan biji. Varibel ini bernilai satu jika petani menggunakan bibit okulasi

untuk tanaman produktif mereka dan diharapkan berdampak positif terhadap

produksi jeruk. Variabel-variabel dummy seperti irigasi, pemangkasan dan

penjarangan buah tidak diaplikasikan oleh sebagian besar petani responden

sehingga tidak digunakan di dalam analisis penelitian ini. Variabel zona

merefleksikan perbedaan dalam hal sistem produksi, kondisi agroekologi, tingkat

persaingan usaha dan kelembagaan petani. Sedangkan ukuran usahatani

mencerminkan kekayaan petani dan akses mereka terhadap input-input produksi.


154

Sedangkan faktor-faktor eksternal berupa curah hujan, angin, suhu,

kelembaban, radiasi matahari, serangan organisme pengganggu tanaman (OPT),

fluktuasi harga, produk impor atau produk saingan lainnya, juga turut

mempengaruhi tingkat efisiensi dan atau inefisiensi usahatani jeruk keprok SoE.

Faktor-faktor eksternal tersebut tidak dapat dikontrol oleh petani dan diasumsikan

berkontribusi pada produksi jeruk keprok SoE melalui variabel pengganggu.

Tinggi-rendahnya produktivitas dan efisiensi suatu perusahaan pertanian

juga disebabkan oleh adanya faktor-faktor internal yang berkaitan dengan

kemampuan manajerial petani pengelola usahatani atau disebut juga faktor-faktor

inefisiensi. Secara teoritis dan bersumberkan data hasil penelitian ini, maka

faktor-faktor yang menyebabkan inefisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE

adalah sebagai berikut:

1. Pendidikan Formal

Secara teoritis tingkat pendidikan yang dimiliki oleh petani akan

menentukan kemampuan mereka untuk menerapkan tehnologi yang ada, sehingga

semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka semakin baik kemampuan mereka

untuk berproduksi secara efisien. Diharapkan bahwa pendidikan memiliki

pengaruh yang positif terhadap kemampuan manajerial petani dan dengan

demikian juga terhadap efisiensi.

2. Pengalaman Berusahatani

Petani dengan pengalaman berusahatani yang lebih lama diharapkan bisa

lebih terampil di dalam mengelola usahatani jeruk yang akan berdampak positif

terhadap efisiensi teknis produksi usahatani.


155

3. Kontak dengan Petugas Pertanian Lapangan

Petugas pertanian lapangan yang berkaitan dengan usahatani jeruk keprok

SoE adalah Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan Petugas Pengamat Hama

Tanaman (PPHT). Kontak dengan petugas-petugas tersebut dapat dilakukan dua

arah, petani mengunjungi penyuluh atau sebaliknya. Keberadaan petugas

penyuluh dan intensitas pertemuan dengan para penyuluh yang dilakukan dapat

mempengaruhi tingkat produktivitas tanaman jeruk. Semakin intensif penyuluhan

yang dilakukan maka petani jeruk semakin memahami tehnik budidaya, panen

atau pasca panen yang baik dan petani diharapkan menghasilkan jeruk dengan

tingkat produktivitas tinggi dan berproduksi lebih efisien (berdampak positif).

4. Umur Petani

Variabel ini merefleksikan struktur tenaga kerja petani pengelola usahatani

jeruk dan tingkat produktivitas mereka. Masalah keengganan pemuda untuk

bertani yang dialami oleh hampir semua daerah di NTT merupakan hal penting

untuk diperhatikan dalam pembangunan pertanian daerah lahan kering. Umur

petani menjadi faktor penting dalam kaitannya dengan efisiensi produksi karena

persoalan regenerasi pengelola dan produktivitas tenaga kerja usahatani jeruk

keprok. Secara alamiah, semakin tua seorang pekerja, maka kemampuan kerjanya

semakin menurun dan berdampak negatif terhadap efisiensi. Jika generasi muda

enggan bertani, maka pengelolaan usahatani akan didominasi oleh tenaga kerja

non produktif. Hal ini akan berdampak negatif pada tingkat efisiensi usahatani

jeruk. Variabel kuadrat umur petani juga digunakan di dalam analisis penelitian

ini untuk mengakomodasi hubungan antara kemampuan kerja petani dengan


156

produksi jeruk keprok SoE. Diasumsikan bahwa setelah mencapai suatu tingkatan

umur tertentu kemampuan kerja petani akan menurun yakni setelah mencapai

produktivitas kerja maksimumnya. Dampaknya adalah penambahan produksi

yang semakin berkurang.

5. Sumber Pendapatan Lain

Petani yang memiliki sumber pendapatan lain diluar usahatani jeruk

cenderung tidak berproduksi secara efisien (berpengaruh negatif) karena mereka

tidak begitu takut akan resiko kegagalan produksi atau karena kekurangan tenaga

kerja untuk mengelola kebun dengan baik sehingga menyebabkan inefisiensi.

Tetapi jika pendapatan yang diperoleh dari luar usahatani tersebut dipakai untuk

membeli input-input produksi, sehingga produksi meningkat, maka pengaruhnya

terhadap efisiensi adalah positif. Pengaruh positif ini juga dapat diakibatkan oleh

adanya informasi yang lebih baik yang didapat selama petani tersebut berkeja di

luar usahataninya. Sebaliknya petani yang tidak memiliki sumber pendapatan lain,

akan berupaya untuk mengelola usahataninya sebaik mungkin karena kegagalan

dalam berproduksi akan membuat mereka tidak memiliki pendapatan.

6. Metode Penjualan

Penjualan jeruk keprok SoE pada tahun 2009-2010 dilakukan petani

dengan beberapa metode yakni penjualan per kg saat panen, penjualan di muka

sebelum musim panen tiba (ijon), penjualan borongan per pohon atau borongan

per kebun. Pada penjualan dengan sistem ijon dan borongan, petani tidak

memanen sendiri jeruknya dan pedagang pemberi ijon atau pembeli borongan

sering meninggalkan sisa buah jeruk yang berkualitas rendah di pohon sampai
157

musim berbunga jeruk lewat. Selain itu, pembeli sering tidak mempraktekkan

teknik panen yang benar. Hal-hal ini mengurangi tingkat produktivitas dan

efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE pada musim produksi tahun berikutnya

(berpengaruh negatif terhadap efisiensi). Sistem penjualan per kg pada saat panen

akan meningkatkan keuntungan petani karena harganya lebih tinggi dibandingkan

dengan sistem penjualan lainnya. Petani termotivasi untuk membeli input-input

produksi yang dapat berpengaruh positif terhadap efisiensi. Sistem penjualan

individu yang sering dipraktekkan oleh petani dapat mengurangi keuntungan

petani karena mereka sering mendapatkan harga yang lebih rendah pada saat

panen raya tiba.

7. Keanggotaan Kelompok Tani

Petani yang tergabung dalam kelompok tani akan lebih cepat mendapatkan

informasi-informasi yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas jeruk dan

atau informasi pasar dibandingkan dengan petani yang tidak tergabung dalam

kelompok tani. Diharapkan pula bahwa petani yang menjadi anggota kelompok

tani memiliki akses yang lebih mudah terhadap berbagai sumberdaya yang

dibutuhkan di dalam pengelolaan usahatani jeruk. Hal ini dapat meningkatkan

efisiensi usaha (berpengaruh positif).

Awalnya, penelitian ini merencanakan untuk melakukan analisis efisiensi

teknis, alokatif dan ekonomis. Namun persyaratan untuk melakukan analisis

efisiensi alokatif dan ekonomis tidak terpenuhi (seperti yang sudah dibahas pada

Bab I tentang keterbatasan dari penelitian ini). Seperti yang diilustrasikan Gambar

29 bahwa faktor-faktor internal dan eksternal menentukan tingkat produktivitas,

efisiensi dan inefisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE di daerah penelitian ini.
158

Usahatani Jeruk Keprok SoE


di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Dataran Tinggi (Zona A) Dataran Rendah (Zona B)

Skala Usaha: 1, 2, & Pooled A Skala Usaha 1 (Pooled B)

Produksi Efisiensi

Faktor Internal:
Faktor Internal:
Alokasi Penggunaan Input Sumber-Sumber Efisiensi Teknis

1. Pendidikan formal (tahun)


1. Jumlah pohon produktif (pohon)
2. Pengalaman usahatani jeruk
2. Umur tanaman produktif (tahun)
(tahun)
3. Tenaga kerja (HOK)
3. Kontak dengan penyuluh (skor)
4. Kompos (kg)
4. Umur petani (tahun)
5. Bibit okulasi (Dummy)
5. Sumber pendapatan lain
Faktor Eksternal:
(Dummy)
1. Iklim (curah hujan, angin, radiasi
6. Metode penjualan (Dummy)
matahari, suhu)
7. Keanggotaan kelompok tani
2. Serangan OPT
(Dummy)
3. Fluktuasi produksi
4. Fluktuasi harga
5. Infrastruktur
6. Produk impor
7. Peraturan dan kebijakan

Metode estimasi: Parametrik,Translog Fungsi Produksi Stokastik Frontier,


Maximum Likelihood Estimation, simultan

A. Output: (1) model fungsi produksi stokastik frontier untuk tanaman tahunan daerah
lahan kering, (2) nilai efisiensi teknis, (3) faktor-faktor penentu produksi dan
efisiensi/inefisiensi teknis jeruk keprok SoE, dan (4) rumusan kebijakan
peningkatan produksi dan efisiensi produksi jeruk keprok SoE

B. Implikasi: (1) sumber pertumbuhan produktivitas dan efisiensi, (2) peningkatan


kemampuan dan perbaikan kelembagaan petani dalam pengelolaan
usahatani jeruk, dan (3) pengembangan metode stokastik frontier untuk
tanaman tahunan.

Pertumbuhan ekonomi regional, penyediaan lapangan kerja


dan peningkatan kesejahteraan petani

Gambar 29. Kerangka Pemikiran Penelitian Produksi dan Efisiensi Jeruk Keprok SoE
159

Alokasi penggunaan input-input produksi yang tidak optimal

menyebabkan tingginya inefisiensi atau rendahnya efisiensi secara teknis di dalam

kelompok analisis yang sama di dalam pengelolaan usahatani pada kelompok

tersebut. Sedangkan tinggi rendahnya tingkat inefisiensi dapat disebabkan oleh

berbagai sumber, terutama yang terkait dengan faktor-faktor sosial ekonomi dan

kemampuan manajerial petani sebagai pengelola usahatani jeruk keprok SoE

tersebut.

Faktor-faktor eksternal tidak dimodelkan secara eksplisit di dalam

penelitian ini. Pengaruh faktor-faktor eksternal ini dapat dijelaskan berdasarkan

nilai kesalahan pengganggu (error term) yang terdiri dari dua efek yakni efek

inefisiensi dan efek faktor eksternal. Efek inefisiensi dapat diketahui dengan nilai

gamma dan sisanya adalah efek faktor-faktor eksternal (seperti beberapa contoh

pada gambar di atas) yang berada di luar kendali pengelola usahatani jeruk keprok

SoE di daerah penelitian ini.

Setelah data cross section dikumpulkan, maka pendekatan analisis

stokastik frontier dengan metode estimasi Maximum Likelihood diaplikasikan

pada fungsi produksi translog. Output penelitian berupa nilai TE, determinan-

deteterminan produktivitas, efisiensi dan inefisiensi produksi dapat digunakan

untuk merekomendasikan berbagai strategi untuk memperbaiki pertumbuhan

produktivitas dan efisiensi jeruk; meningkatkan kapabilitas petani dalam

pengelolaan usahatani jeruk di masa datang; dan memperkaya kepustakaan

produksi stokastik frontier tanaman tahunan khas daerah lahan kering. Hal-hal ini

diharapkan akan dapat berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi

regional, penyediaan lapangan kerja dan kesejahteraan petani jeruk keprok SoE.
160

3.2.2. Hipotesis

Hipotesis-hipotesis penelitian ini adalah:

1. Produktivitas usahatani jeruk keprok SoE diduga dipengaruhi oleh jumlah

pohon produktif, jumlah input produksi, inefisiensi teknis, zona agroklimat

dan ukuran usahatani.

2. Efisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE diduga dipengaruhi oleh

pendidikan, pengalaman, kontak dengan petugas pertanian lapangan, umur

petani, sumber pendapatan lain, metode penjualan dan keanggotaan

kelompok tani.

3. Semakin luas ukuran usahatani jeruk keprok SoE, maka tingkat efisiensi

teknisnya semakin tinggi.

4. Kelompok umur tanaman produktif yang berbeda menunjukkan tingkat

pencapaian produktivitas dan efisiensi teknis yang berbeda.


IV. METODE PENELITIAN

4.1. Penentuan Lokasi Penelitian dan Metode Pengambilan Contoh

Penelitian ini menggunakan multi-stage cluster random sampling untuk

menentukan lokasi (kabupaten, zona, kecamatan dan desa contoh) dan petani

contoh. Tahap pertama, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) (Gambar 30) di

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dipilih sebagai lokasi penelitian dengan

pertimbangan bahwa: (1) Kabupaten TTS merupakan sentra utama produksi dan

pengembangan jeruk varietas keprok SoE daerah lahan kering di NTT, (2) jeruk

keprok SoE merupakan komoditas andalan dan bahkan unggulan di bidang

pertanian tanaman pangan dan hortikultura Kabupaten TTS, (3) komoditas jeruk

keprok SoE memiliki peranan yang strategis dalam menunjang perekonomian baik

secara mikro maupun makro, dan (4) secara agroekologis, sosial dan finansial

jeruk keprok SoE sesuai dan layak untuk dikembangkan di Kabupaten Timor

Tengah Selatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tahap kedua adalah penentuan

zona agroklimat secara purposive. Dua zona agroklimat yakni zona dataran tinggi

dan zona dataran rendah telah ditentukan sebagai lokasi penelitian ini (alasan

pemilihan kedua zona ini sudah dibahas pada bagian kerangka pemikiran pada

Bab III).

Tahap ketiga, secara sengaja (purposive) telah dipilih enam kecamatan

sampel (kecamatan Mollo Utara, Mollo Tengah dan Tobu di zona agroklimat

dataran tinggi dan kecamatan Kuanfatu, Amanuban Selatan dan Kualin di zona

dataran rendah) (seperti tercantum pada Gambar 31). Semua kecamatan tersebut

merupakan sentra-sentra usahatani dan rencana pengembangan jeruk keprok SoE

di kabupaten Timor Tengah Selatan seperti tercantum pada Lampiran 1.


162

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Gambar 30. Peta Lokasi Penelitian: Kabupaten Timor Tengah Selatan


Keterangan: Letak : 80 _ 120 LS, 1180 _ 1250 BT
Pulau : 1 192 pulau (42 pulau dihuni & 1 150 pulau tidak dihuni)
Pemerintahan : 20 Kab/1 Kota; 297 Kec; 2 539 Desa/Kelurahan (BPS, 2010)
Luas Daratan : 48 718,10 Km2
Penduduk : 4 619 655 jiwa (BPS, 2010)
: Kabupaten yang diteliti, Kabupaten Timor Tengah Selatan

Zona
Dataran
Tinggi

Zona
Dataran
Rendah

Sumber: Bappeda, 2010.


Gambar 31. Peta Lokasi Kecamatan-Kecamatan dan Desa-Desa Contoh
Keterangan: : Lokasi kecamatan-kecamatan contoh
163

Pada tahap keempat desa-desa contoh telah dipilih secara purposive.

Jumlah desa-desa contoh yang telah diambil adalah sebanyak 12 desa dengan

perincian dua desa setiap kecamatan contoh. Pemilihan desa-desa contoh

didasarkan atas pertimbangan bahwa desa-desa tersebut merupakan sentra

pengembangan jeruk dan memiliki produksi jeruk tertinggi (urutan pertama dan

kedua) tahun 2009 (dibandingkan dengan desa lainnya di dalam kecamatan yang

sama, berdasarkan data produksi pada buku Potensi Desa, Monografi Desa dan

Kecamatan Dalam Angka, 2009).

Tahap kelima adalah penentuan petani contoh. Setiap desa contoh tidak

semuanya adalah petani jeruk keprok SoE. Selain itu, pola tanam yang diterapkan

petani di dalam usahatani jeruk tidak semuanya monokultur, jarak tanam tidak

teratur, dengan ukuran usahatani yang bervariasi. Oleh karena itu, untuk

mendapatkan sejumlah petani jeruk keprok SoE yang sesuai dengan tujuan

penelitian ini, maka telah dilakukan tahapan-tahapan sebagai berikut.

1. Melakukan pendataan (daftar populasi) petani jeruk keprok SoE per desa

terpilih yang memiliki pola tanam monokultur dan/atau petani yang

memiliki lebih dari 80% tanaman jeruk di dalam satu kebun, kemudian

dikelompokan atas dua yakni petani dengan ukuran usahatani jeruk sebesar

< 1 ha dan ≥ 1 ha (alasan pengelompokan ini tercantum pada bagian

kerangka pemikiran Bab III). Pendataan ini bersumberkan pada hasil

wawancara dengan responden pada pra survei, data Potensi Desa,

Monografi Desa dan Kecamatan Dalam Angka (2009).

2. Selanjutnya pemilihan petani contoh dilakukan secara acak sederhana

(simple random sampling) dan memilih petani untuk masing-masing ukuran


164

usahatani jeruk keprok SoE sebanyak 30 orang untuk setiap desa sampel

secara disproporsional (disproportionated) antara ukuran usahatani < 1 ha

dan ≥ 1 ha (karena ketersediaan dan kondisi populasi yang ada).

Hasil survei pada tahap ini menunjukkan bahwa secara total 71% petani

jeruk keprok SoE di desa-desa contoh memiliki ukuran usahatani sebesar < 1 ha.

Dengan demikian, jumlah petani contoh berdasarkan kategori ukuran usahatani

tersebut tidak seimbang yakni sebanyak 254 orang petani yang memiliki ukuran

usahatani < 1 ha dan sisanya 106 orang memiliki ukuran usahatani≥ 1 ha (dari

jumlah total responden sebanyak 360 orang petani jeruk). Pada zona dataran

tinggi terdapat 74 orang petani dengan ukuran usahatani < 1 ha dan 106 petani

dengan ukuran usahatani≥ 1 ha. Hal ini terjadi karena responden pada daerah

dataran tinggi lebih banyak memiliki kebun jaruk dengan ukuran ≥ 1 ha. Dengan

kondisi seperti itu, maka berapapun jumlah populasi petani dengan ukuran < 1 ha

pada desa-desa contoh semuanya (100%) dijadikan sampel penelitian ini. Semua

petani jeruk pada desa-desa contoh di zona dataran rendah tidak memiliki

usahatani yang berukuran≥ 1 ha. Memang perlu disadari bahwa pembagian

berdasarkan luasan hektar ini dapat saja bias, karena petani lebih gampang

mengingat ukuran luas usahatani tanaman tahunannya (jeruk) berdasarkan jumlah

pohon yang dimiliki. Secara ringkas, langkah-langkah penentuan sampel

penelitian ini dijelaskan pada Gambar 32. Karakteristik petani-petani contoh

secara lengkap akan dibahas pada Bab V.

Pemilihan responden lainnya yang terkait dengan penelitian ini, seperti

Petugas Pertanian Lapangan (PPL) dan Petugas Pengamat Hama Tanaman

(PPHT), Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) pada masing-masing kecamatan,


165

Pegawai Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (PTPH) baik di

tingkat kabupaten TTS dan Dinas Pertanian dan Perkebunan provinsi NTT, mitra

bisnis di lapangan (pedagang pengumpul dan pengecer), Lembaga Keuangan (LK)

(Bank BRI di tingkat kecamatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

dipilih dengan sengaja, sesuai dengan jenis dan tujuan penggunaan data yang

diperlukan di dalam penelitian ini. Sebaran responden penelitian tercantum pada

Tabel 39.

Provinsi Nusa Tenggara Timur

Kabupaten Timor Tengah Selatan


Dipilih secara purposive

Dataran Tinggi Dataran Rendah

Tiga Kecamatan Contoh: Tiga Kecamatan Contoh:


Mollo Tengah, Mollo Utara Kuanfatu, Kualin &
& Tobu Amanuban Selatan

Enam Desa Contoh: Enam Desa Contoh:


Binaus, Oelbubuk, Ajobaki, Kuanfatu, Kelle, Oni,
Obesi, Tobu & Tune Nunusunu, Kiubat & Mio

180 petani jeruk keprok SoE (30 petani 180 petani jeruk keprok SoE
setiap desa contoh secara disproporsional (30 petani setiap desa contoh
dari dua ukuran usahatani sehingga 74 petani dan semuanya berukuran
dengan ukuran usahatani < 1 ha dan 106 usahatani < 1 ha): dipilih
petani dengan ukuran ≥ 1 ha): dipilih dengan dengan simple random
cluster-simple random sampling sampling

Gambar 32. Bagan Pengambilan Sampel Penelitian


166

Tabel 39. Sebaran Responden Penelitian

Sampel Kabupaten TTS Prov


NTT

Zona Dataran Tinggi Dataran Rendah


Kecamat Mollo Tengah Mollo Utara Tobu Kuanfatu Kualin Amanuban
an Selatan
Desa Oelb Bina Ajob Obe Tobu Tune Kuan Kel Oni Nunu Mio Kibat
ubuk us aki si fatu le sunu
Petani 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
PPL 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
BPP 1 1 1 1 1 1
Pedagang 2 6 3 4 2 3 4
PTPH 1 1
BPS 1 1
LK 2 2
LSM 2 2
Total Responden: 414 orang

4.2. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer

merupakan data cross section yang diperoleh dari hasil wawancara petani contoh

pada masing-masing zona dan ukuran usahatani. Data cross section ini merupakan

data yang dibutuhkan untuk analisis pemasaran (petani dan pedagang),

pendapatan usahatani jeruk dan efisiensi produksi jeruk keprok SoE petani-petani

contoh. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara mendalam,

dengan menggunakan kuesioner. Jenis data primer yang dikumpulkan antara lain

adalah data jumlah produksi dan harga jeruk keprok, berbagai input usahatani

(jumlah dan harga input ditingkat petani), proses produksi (sistem pemeliharaan

usahatani), panen dan pascapanen, sistem pemasaran, teknologi dan strategi

pemasaran, partisipan-partisipan pemasaran, data sosial-ekonomi petani atau

kemampuan manajerial petani dan data lainnya yang sesuai dengan kebutuhan

analisis seperti yang tercantum pada model yang telah dibangun untuk

kepentingan penelitian ini. Data primer yang dikumpulkan adalah data musim

tanam 2009/2010 (jenis data yang dibutuhkan, secara detail tercantum pada
167

spesifikasi model). Data dan Pengukuran variabel-variabel penelitian dibahas pada

bagian definisi operasional diakhir bab ini.

Data sekunder telah diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS) baik di

tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi atau nasional, Dinas Pertanian

kabupaten/Kota/Provinsi dan dari instansi lainnya yang terkait dengan penelitian

ini (sesuai dengan sebaran responden yang sudah direncanakan). Responden-

responden lain seperti PPL, BPP, Dinas Pertanian, LK dan LSM juga

diwawancarai terkait kebijakan dan bentuk keterlibatan mereka di dalam

agribisnis jeruk keprok SoE di provinsi NTT.

4.3. Metode Analisis Data

Pada tahap awal, sebelum analisis terhadap tujuan-tujuan penelitian,

terlebih dahulu analisis perlu dilakukan untuk mengetahui apakah sistem produksi

antar zona dan usahatani jeruk keprok SoE berbeda atau tidak. Untuk mencapai

maksud tersebut maka penelitian ini membagi responden berdasarkan zona

agroklimat (dataran tinggi dan dataran rendah) dan ukuran usahatani (< 1 ha dan≥

1 ha). Fungsi produksi untuk melakukan analisis ini adalah sebagai berikut:

Y i = f(X 1 , X 3 , X 4 , D z , D u ) ...................................................................

(4.1)

di mana:

Yi : jumlah produksi jeruk keprok SoE (kg)


X1 : jumlah tanaman produktif jeruk keprok SoE (pohon)
X3 : jumlah pupuk organik/kandang/kompos (kg)
X4 : jumlah tenaga kerja keluarga (HOK)
Dz : Dummy zona (1 untuk zona dataran tinggi dan 0 untuk dataran
rendah)
Du : Dummy ukuran usahatani (1 untuk ukuran usahatani < 1 ha dan
168

0 untuk ukuran usahatani ≥ 1 ha).

4.3.1. Analisis Keragaan Usahatani Jeruk Keprok SoE

Tahap pertama di dalam penelitian ini lebih difokuskan pada analisis

kuantitatif-deskriptif lintas isu-isu yang berkaitan dengan karaketeristik

responden, alokasi penggunaan input usahatani, analisis pemasaran jeruk keprok

SoE (efisiensi dan strategi pemasaran) dan analisis pendapatan petani jeruk

keprok SoE.

Pada analisis pemasaran, data kuantitatif yang dikumpulkan dan

dianalisis adalah sistem distribusi (saluran distribusi dan logistik dari distribusi

fisik seperti penanganan produk, gudang dan transportasi), pasar akhir, aliran

informasi pasar dan strategi pemasaran (mix personal selling dan tingkat

penggunaan teknologi pemasaran jeruk keprok SoE). Selain itu, konstruksi nilai

produk pada saluran pemasaran juga diidentifikasi dan dianalisis. Pada bagian ini

telah dianalisis harga, biaya, margin, farmer share, keuntungan, R/C rasio dan

efisiensi pemasaran jeruk keprok SoE.

Perhitungan pada analisis pemasaran tersebut menggunakan formula-

formula:

1. Marjin Pemasaran (MP) = Pr – Pf ........................................................... (4.2)

2. Farmer’s Share (FS) = 100% - {((Pr – Pf)/Pr )) x 100%} ....................... (4.3)

3. Keuntungan (K) = (Hj – Hb) – B ............................................................ (4.4)

4. Efisiensi (E) = B/Hj x 100% ................................................................... (4.5)

5. R/C rasio adalah rasio antara keuntungan dan biaya pemasaran ............ (4.6)

di mana:
169

Pr : harga di tingkat pengecer dan/atau konsumen akhir

Pf : harga di tingkat petani

Hj : harga jual produk pada lembaga pemasaran

Hb : harga beli produk pada lembaga pemasaran

B : biaya pemasaran produk dan

K : Keuntungan pemasaran.

4.3.2. Spesifikasi Model untuk Analisis Fungsi Produksi Stokastik Frontier

Analisis fungsi produksi ini ditujukan untuk menjelaskan determinan-

determinan produktivitas dan mempelajari efisiensi teknis produksi jeruk keprok

SoE, seperti tercantum pada tujuan pertama dari penelitian ini. Dari berbagai

telaahan kepustakaan terdahulu ditemukan bahwa fungsi produksi stokastik

frontier merupakan metode yang paling baik dibandingkan dengan metode lainnya

dan banyak digunakan untuk analisis efisiensi di bidang pertanian. Atas dasar

pertimbangan itu dan dengan memperhatikan tujuan penelitian serta kondisi data

produksi jeruk keprok SoE, maka di dalam penelitian ini digunakan fungsi

produksi stokastik frontier. Analisis fungsi produksi stokastik frontier digunakan

untuk mengukur efisiensi teknis dari usahatani jeruk keprok SoE dan faktor-faktor

yang mempengaruhi efisiensi teknis tersebut.

Untuk merepresentasikan teknologi produksi jeruk keprok SoE, maka

bentuk fungsi yang digunakan adalah fungsi transcendental logarithmic

(translog). Diasumsikan bahwa bentuk fungsi translog dengan pendekatan fungsi

produksi stokastik frontier merupakan model yang sesuai untuk analisis data pada

usahatani jeruk keprok SoE daerah lahan kering di provinsi Nusa Tenggara Timur.

Seperti yang sudah dikenal umum bahwa bentuk fungsi Cobb-Douglas, yang
170

sudah banyak dipakai penelitian-penelitian terdahulu, memiliki restriksi yang

ketat di mana elastisitas produksinya adalah konstan. Bentuk fungsi translog

adalah lebih fleksibel dari bentuk fungsi lainnya karena memiliki koefisien

estimasi dari second order terms dan interaksi antar variabel-variabel input

(Battesse, 1992; Greene, 2000). Hasil pengujian hipotesis di dalam penelitian ini

menunjukkan bahwa bentuk fungsi translog lebih sesuai untuk digunakan

dibandingkan dengan bentuk fungsi Cobb-Douglas. Sedangkan pendekatan yang

digunakan adalah fungsi produksi stokastik frontier. Keunggulan fungsi produksi

stokastik frontier, dibandingkan dengan deterministik adalah bahwa fungsi

stokastik frontier memperhitungkan efek dari faktor eksternal terhadap tingkat

efisiensi dan tidak memerlukan adanya asumsi bahwa semua usahatani adalah

efisien. Tahapan analisis data untuk perhitungan efisiensi teknis dan inefisiensi

teknis serta pengujian hipotesis dibahas pada bagian-bagian berikut ini.

Dari berbagai literatur yang telah dibahas diketahui bahwa faktor-faktor

produksi yang digunakan merupakan faktor-faktor yang secara langsung

mempengaruhi produksi suatu komoditas. Di dalam penelitian ini, jumlah

produksi jeruk keprok SoE dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi seperti umur

tanaman produktif, bibit, pupuk kandang (kompos), jumlah pohon produktif dan

tenaga kerja keluarga.

Jumlah tanaman produktif berpengaruh langsung terhadap jumlah

produksi jeruk keprok SoE. Tanaman jeruk yang berumur 5 sampai dengan 20

tahun atau lebih dikategorikan tanaman yang produktif. Jeruk mulai berproduksi

pertama sejak berumur 5 tahun dan produksinya mulai menurun setelah umur 20

tahun setelah tanam. Semakin tinggi jumlah tanaman jeruk yang produktif yang
171

diusahakan petani, maka tingkat efisiensi semakin tinggi (berdampak positif). Di

pihak lain, umur tanaman produktif diharapkan berdampak negatif terhadap

produksi JKS. Informasi dari kedua variabel ini juga mendorong petani apakah

petani akan melakukan penanaman kembali (replanting) atau peremajaan tanaman

atau tidak pada musim berikutnya. Variabel kompos dan tenaga kerja diharapkan

berpengaruh positif terhadap produksi jeruk keprok SoE. Perlu juga dicatat bahwa

variabel dummy untuk bibit merefleksikan investasi petani dengan menggunakan

bibit yang lebih cepat berproduksi (okulasi, cangkokan, tempelan) dibandingkan

dengan bibit yang diperoleh dengan menggunakan biji. Penggunaan bibit okulasi

diaharapkan berdampak positif terhadap produksi jeruk keprok SoE.

Model fungsi produksi stokastik frontier untuk estimasi tingkat efisiensi

teknis (TE) usahatani jeruk keprok SoE dispesifikasi sebagai berikut:

4 4 6
Ln Y = β + ∑ β ln X + 0.5∑∑ β jsk ln X ijk ln X isk + θ ik D + V −U ...... (4.7)
ik 0k j =1 jk ijk j =1 s =1
ihk ik ik

di mana:

Yi : jumlah produksi jeruk keprok SoE (kg)


X1 : jumlah tanaman produktif jeruk keprok SoE (pohon)
X2 : umur tanaman produktif (tahun)
X3 : jumlah pupuk organik/kandang/kompos (kg)
X4 : jumlah tenaga kerja keluarga (HOK)
D1 : Dummy bibit (1 untuk yang menggunakan bibit hasil okulasi/
cangkokan/tempelan dan 0 untuk yang tidak)
V i - U i : error term (V i : efek faktor eksternal yang tidak dimodelkan dan
Ui : efek inefisiensi teknis (internal) di dalam model).
i : usahatani sampel (i = 1, 2, …….N).
j dan s : jenis input (j = 1, 2, ….., 4)
h : jumlah dummy variabel (h = 1)
k : zona dan/ukuran usahatani (1, 2)
β dan θ : parameter yang akan diestimasi
172

Model seperti persamaan (4.7) tersebut diaplikasikan secara terpisah

untuk masing-masing zona agrokilmat dan ukuran usahatani yang dipelajari di

daerah penelitian ini. Perlu dicatat bahwa persamaan (4.7) di atas terdiri atas

empat model yakni dua model untuk zona (zona dataran tinggi dan dataran

rendah) dan dua model untuk ukuran usahatani (ukuran usahatani 1 dan 2 di zona

dataran tinggi). Perlu dicatat bahwa semua ukuran usahatani di zona dataran

rendah berada pada luasan kurang dari satu hektar per petani responden. Ukuran

usahatani 1 adalah ukuran usahatani < 1 ha dan ukuran usahatani 2 adalah ukuran

usahatani ≥ 1 ha). Model untuk ukuran usahatani sama dengan untuk zona, dengan

menggantikan subscript k dari zona ke masing-masing ukuran usahatani 1 dan 2.

Metode pendugaan parameter yang tak bias adalah menggunakan metode

Maximum Likelihood Estimation (MLE). Tanda dan besaran dari nilai koefisien

yang diharapkan β 1 , β 3, β 4, θ > 0 dan β 2 < 0. Nilai koefisien yang positif berarti

dengan meningkatnya penggunaan faktor-faktor produksi tersebut, maka produksi

jeruk keprok SoE diharapkan akan meningkat pula. Sedangkan koefisien yang

bernilai negatif akan berlaku hal sebaliknya, yakni jika ada penambahan

penggunaan input tersebut dalam proses produksi, maka akan menurunkan

produksi jeruk keprok SoE.

Efisiensi teknis adalah rasio output aktual terhadap output frontiernya,

dan hal ini dihasilkan secara langsung dari program Frontier 4.1 (Coelli, 1995;

Coelli et al., 1998). Perbedaan nilai efisiensi teknis antar zona dan ukuran

usahatani menggambarkan adanya perbedaan sebagai akibat dari alokasi input

produksi yang berbeda antar zona dan ukuran, kapasitas petani yang belum

digunakan (idle capacity), efek inefisiensi, dan faktor lingkungan fisik (curah
173

hujan, suhu, kelembaban, jenis tanah) maupun non fisik (peraturan dan kebijakan

lainnya). Dengan demikian, strategi peningkatan produktivitas dan efisiensi

berbeda antar zona dan ukuran usahatani.

4.3.3. Spesifikasi Model untuk Analisis Inefisiensi Teknis

Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui determinan-determinan

efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE, sesuai dengan tujuan kedua di dalam

penelitian ini. Efisiensi teknis dapat diukur dengan menggunakan rumus sebagai

berikut:

TEik = exp(− E [U ik ε ik ]) i = 1, ......N ............................................ (4.8)

di mana TE ik adalah efisiensi teknis usahatani ke-i kelompok ke-k,

exp(− E [U ik ε ik ]) adalah nilai harapan (mean) dari u i , jadi 0≤ TE ik ≤ 1. Nilai

estimasi teknis tersebut berhubungan terbalik dengan nilai efek inefisiensi teknis

dan hanya digunakan untuk fungsi yang memiliki jumlah output dan input tertentu

(pooled cross section data) (Coelli, 1995; Coelli et al., 1998).

Metode pengukuran inefisiensi teknis yang digunakan dalam penelitian

ini mengacu kepada model efek inefisiensi teknis dari Battese dan Coelli (1995)

dan Coelli et al., (1998). Variabel u i yang digunakan untuk mengukur efek dari

inefisiensi teknis, diasumsikan bebas (tapi tidak identik) yang tidak negatif, dan

memiliki distribusi setengah normal (truncated) dengan mean µ dan varians

σ u 2 atau ditulis N ( µ , σ u ) . Dari berbagai telaahan pustaka dan studi terdahulu


2

seperti (untuk menyebut beberapa) studi dari Coelli et al. (1998); Dhehibi et al.

(2007); Lambarra et al. (2007); dan Wollni (2007) diketahui bahwa terdapat

banyak faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis ushatani


174

jeruk. Di dalam penelitian ini ditemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

tingkat inefisiensi teknis ushatani jeruk keprok SoE adalah pendidikan formal

petani, pengalaman petani di dalam berusahatani jeruk keprok SoE, kontak

dengan petugas pertanian lapangan (PPL dan PPHT), umur petani, sumber

pendapatan di luar usahatani jeruk dan sistem penjualan jeruk keprok (penjualan

per kg maupun borongan pada saat panen atau dengan sistem ijon baik per kg

maupun borongan). Jastifikasi atas arti penting dari variabel-variabel pengaruh

tersebut sudah dibahas pada bagian kerangka pemikiran Bab III. Faktor-faktor

tersebut secara matematik dapat diformulasikan sebagai berikut:

5 4
u = δ + ∑ δ lk zilk + ∑ ωmk Dimk ................... (4.9)
ik 0k l =1 m=2

di mana:

ui : Nilai inefisiensi teknis yang secara otomatis diperoleh dari


program FRONTIER 4.1.
Z1 : pendidikan formal petani (tahun)
Z2 : pengalaman petani berusahatani jeruk keprok SoE (tahun)
Z3 : kontak dengan petugas pertanian lapangan (berapa kali setahun)
Z4 : umur petani (tahun)
Z5 : kuadrat umur petani (tahun)
D2 : dummy sumber pendapatan lain (1 untuk petani yang memiliki
Sumber pendapatan lain selain dari usahatani jeruk dan 0 untuk
tidak)
D3 : dummy metode penjualan (1 untuk menjual dengan sistem per
kg pada saat panen dan 0 untuk menjual dengan sistem ijon per
kg dan/atau borongan per pohon atau per kebun baik pada saat
panen maupun ijon)
D4 : dummy keanggotaan kelompok tani (1 untuk anggota kelompok
dan 0 untuk tidak)
i : usahatani sampel (i = 1, 2, …….N).
l : jenis faktor/sumber-sumber inefisiensi (l = 1, ….., 5)
m : jumlah dummy variabel (m = 2, ....4)
k : zona dan/ukuran usahatani (1, 2) dan
175

δ & ω : parameter yang akan diestimasi


Model ini juga menghasilkan empat output (antar zona dan ukuran

usahatani), seperti halnya pada model fungsi produksi di atas. Nilai koefisien

parameter dugaan yang diharapkan adalah negatif kecuali untuk variabel umur

petani dan sumber pendapatan lain. Koefisien yang bernilai positif menunjukkan

bahwa semakin tinggi tingkatan penggunaan faktor tersebut, maka tingkat

inefisiensi juga semakin tinggi, dan sebaliknya untuk koefisien yang bernilai

negatif, semakin tinggi penggunaan faktor tersebut, maka tingkat inefisiensi

semakin menurun. Namun, hal yang terpenting adalah signifikan tidaknya faktor

tersebut terhadap inefisiensi. Hal yang perlu diperhatikan adalah tentang

pendugaan parameter tersebut. Agar konsisten, maka pendugaan parameter fungsi

produksi dan fungsi inefisiensi (persamaan 4.7 dengan 4.9) dilakukan secara

simultan dengan program FRONTIER 4.1 (Coelli, 1992).

4.3.4. Elastisitas Produksi Jeruk Keprok SoE

Elastisitas produks i dari fungsi translog tidak diperoleh secara otomatis

dari koefisien hasil estimasi seperti halnya pada fungsi Cobb-Douglas. Oleh

karena itu perlu dilakukan analisis tersendiri. Perhitungan elastisitas produksi

secara parsial (masing-masing faktor produksi) pada rata-rata geometrik

penggunaan faktor produksi tersebut mengikuti petunjuk Greene (2000) dan

Wollni (2007) (persamaan 4.10). Sedangkan jumlah elasisitas dari masing-masing

faktor produksi menentukan skala usaha atau tingkat pengembalian hasil (return

to scale) usahatani jeruk keprok SoE. Dengan demikian, maka jika jumlah

elastisitas > 1 dikatakan increasing return to scale; jika = 1 constant return to


176

scale dan jika < 1 decreasing return to scale. Analisis elastisitas ini diaplikasikan

pada semua basis analisis baik antar zona maupun ukuran usahatani.

∂ ln Y 4
E Xk : = β k + β kk ln X k + ∑ β kj ln Xj .................... (4.10)
∂ ln X k j≠k

di mana:

E Xk : elastistas dari input X k


βk : koefisien estimasi dari input X k
X k dan X j : jumlah rata-rata penggunaan dari jenis input k dan j.

4.3.5. Pengujian Hipotesis

Pada bagian ini ada dua hipotesis yang diuji. Hipotesis nol yang pertama

adalah bahwa model fungsi produksi translog memiliki nilai nol atau Ho:

β sk = 0; s ≠ k . Jika hipotesis ini benar, maka fungsi produksi frontier Cobb-

Douglas adalah sesuai untuk merepresentasikan data dari petani-petani jeruk

keprok SoE dibandingkan dengan bentuk fungsi produksi frontier translog.

Hipotesis nol yang kedua adalah bahwa tidak ada efek inefisiensi teknis

di dalam model fungsi produksi forntier atau Ho: γ = δ 0 = δ1 = ........... = δ 8 = 0 .

Jika hipotesis ini benar, maka fungsi produksi rata-rata tradisional atau ordinary

least square adalah sesuai untuk merepresentasikan data dibandingkan dengan

model fungsi produksi stokastik frontier bentuk translog.

Kedua hipotesis nol ini diuji untuk berbagai model analisis yakni untuk

dataran tinggi, dataran rendah dan semua ukuran usahatani pada zona dataran

tinggi; di mana model fungsi produksi stokastik frontier untuk semua unit analisis

tersebut adalah sama.


177

Seluruh parameter dan varians diduga dengan menggunakan MLE. Pada

tingkat signifikan tertentu (seperti 1%, 5%, 10% atau 15%) diuji dengan kriteria

yang digunakan adalah uji one-sided generalized likelihood ratio (LR-test) dengan

persamaan (4.11).

  L( H 0 )  
LR = − 2ln    = − 2{ln[L( H 0 )] − ln[L( H1 )]} .......................... (4.11)
  L ( H 1 ) 

di mana L (H 0 ) dan L (H 1 ) adalah nilai-nilai dari fungsi likelihood dari hipotesis

nol dan hipotesis alternatifnya. Tolak H 0 jika LR > χ 2 Chi-Square dan sebaliknya,

H 0 diterima jika LR < χ 2 Chi-Square . Sedangkan hipotesis yang melibatkan variabel

gamma, maka critical value diambil dari mixed Chi-Square (Tabel 1 Kodde dan

Palm, 1986).

Hasil pengolahan program FRONTIER 4.1. menurut Jondrow et al. (1982)

memberikan nilai perkiraan varians dalam bentuk parameterisasi sebagai berikut:

σ 2 = σ v2 + σ u2 ..................................................................................... (4.12)

σ u2
γ = 2 .............................................................................................. (4.13)
σ

Parameter dari varians ini dapat menentukan nilai γ yakni 0 ≤ γ ≤ 1 . Nilai

parameter γ ini merupakan kontribusi dari inefisiensi teknis terhadap efek residual

total. Hasil perhitungan dari persamaan 4.11 sampai dengan 4.13 akan

dibandingkan antar zona dataran tinggi dan dataran rendah serta antar ukuran

usahatani jeruk keprok SoE untuk mengetahui seberapa besar gangguan inefisiensi

pada berbagai basis analisis tersebut untuk semua basis analisis baik antar zona

maupun ukuran usahatani. Perlu dicatat bahwa analisis pengujian terhadap kedua

hipotesis tersebut di atas dilakukan pada tahap awal, setelah analisis perbedaan
178

antar zona dan ukuran usahatani, sebelum analisis terhadap tujuan-tujuan

penelitian dijalankan.

4.4. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian

Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dan pengukuran variabel-

variabel yang digunakan di dalam penelitian ini, baik yang digunakan untuk

analisis dan pembahasan secara deskriptif-kualitatif pada bagian keragaan

usahatani maupun untuk kepentingan analisis efisiensi/inefisiensi teknis produksi

jeruk keprok SoE. Secara detail, penjelasan tentang variabel-variabel penelitian

dan cara pengukurannya adalah sebagai berikut ini.

1. Petani jeruk keprok SoE adalah petani yang membudidayakan jeruk

keprok SoE. Petani yang menjadi responden di dalam penelitian ini adalah

petani yang memiliki sistem budidaya jeruk secara monokultur atau

minimal memiliki lebih dari 80% tanaman jeruk keprok SoE dikebunya.

2. Zona agroklimat adalah daerah dengan kondisi iklim pertanian

berdasarkan ketinggian tempat dari permukan laut (dpl) dan jumlah bulan

kering, sehingga ada zona dataran tinggi (di atas 500 m dpl, jumlah bulan

kering ≤ 7 bulan; dan zona dataran rendah berada≤ 500 m dpl , jumlah

bulan kering > 7 bulan), dengan tidak mengabaikan variabel agroklimat

lainnya seperti jumlah bulan basah, curah hujan, kelembaban dan suhu

udara yang tidak diidentifikasi di dalam studi ini.

3. Daerah lahan kering adalah daerah yang tidak tergenang air sepanjang

tahun dan/atau dengan kondisi ≥ 7 bulan kering setahun.

4. Ukuran usahatani adalah luasan usahatani jeruk keprok SoE yang dimiliki

petani dan diukur dalam satuan hektar. Ukuran usahatani ini dikelompokan
179

atas dua yakni kelompok pertama dengan luasan lahan jeruk < 1 ha dan

kelompok kedua dengan luasan lahan jeruk ≥ 1 ha.

5. Output adalah banyaknya produksi jeruk keprok SoE yang dihasilkan

petani pada musim produksi tahun 2009-2010, diukur dalam kg.

6. Pupuk organik (kompos) adalah pupuk yang terbuat dari bahan-bahan

organik seperti pupuk kandang (kotoran ternak), sisa-sisa tanaman, dan

lain-lain; dan dihitung dalam kg.

7. Pupuk buatan (anorganik) adalah pupuk kimia yang terbuat dari bahan-

bahan kimia hasil produksi pabrik antara lain pupuk urea, TSP, KCL,

NPK, dan diukur dalam kg.

8. Pestisida adalah obat-obatan hasil produksi pabrik untuk pemberatasan

hama dan penyakit tanaman jeruk keprok SoE pada tahun 2009-2010 dan

diukur dalam liter.

9. Luas lahan usahatani adalah luas areal tanaman jeruk keprok SoE yang

dimiliki petani diukur dalam hektar.

10. Jumlah pohon produktif adalah banyaknya pohon jeruk keprok SoE yang

dimiliki petani responden dan yang sudah menghasilkan buah yakni yang

berumur 5 sampai dengan lebih dari 20 tahun setelah tanam pada musim

produksi 2009-2010, diukur dalam sataun pohon.

11. Tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja sewaan dan tenaga kerja keluarga

untuk pekerjaan usahatani jeruk keprok SoE, diukur dalam hari orang kerja

(HOK). Perhitungan HOK adalah sama dengan (jumlah hari kerja x jumlah

tenaga kerja x jumlah kerja per hari kerja) dibagi 7. Perhitungan tenaga

kerja meliputi penggunaan tenaga kerja pada kegiatan persiapan lahan,


180

penanaman, pemeliharaan, panen, pascapanen dan pemasaran. Di dalam

perhitungan analisis pendapatan usahatani jeruk keprok HOK yang

diperhitungkan adalah tenaga kerja keluarga yang digunakan untuk

tanaman produktif dari kegiatan pemeliharaan tanaman, panen, pascapanen

dan pemasaran. Sedangkan tenga kerja yang diperhitungkan di dalam

analisis efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE adalah tenaga kerja

keluarga yang dicurahkan untuk kegiatan pemeliharaan tanaman produktif

saja.

12. Bibit okulasi adalah bibit tanaman jeruk sebagai hasil mata tempel,

sambungan atau cangkokan (sebagai variabel dummy yakni nilai 1 untuk

petani yang menggunakan bibit okulasi untuk tanaman produktif pada

musim produksi tahun 2010 dan 0 untuk yang tidak). Untuk berbagai

analisis deskriptif kualitatif, maka jumlah bibit yang digunakan petani

pada musim tanam 2009-2010 juga tetap diperhitungkan.

13. Irigasi adalah petani yang menggunakan air irigasi untuk tanaman

jeruknya di musim kemarau tahun 2009-2010 (variabel dummy yakni nilai

1 untuk petani yang mengairi jeruknya dengan air irigasi dan nilai 0 untuk

yang tidak menggunakannya).

14. Pemangkasan adalah pembersihan cabang-cabang tidak produktif pada

tanaman produktif (variabel dummy yakni 1 untuk petani yang melakukan

pemangkasan pada tanaman produktif selama musim produksi tahun

2009/2010 dan 0 untuk yang tidak). Diasumsikan bahwa kegiatan

pemangkasan tanaman produktif pada tahun 2009/2010 mempengaruhi

produksi jeruk pada tahun tersebut (2009/2010). Pemangkasan bentuk


181

pada tanaman non produktif juga tetap diidentifikasi sebagai penjelasan

tambahan untuk memperkaya bahan analisis dan pembahasan deskriptif.

15. Penjarangan buah (variabel dummy, 1 untuk yang melakukan penjarangan

buah selama musim produksi tahun 2009-2010, dan 0 untuk yang tidak)

16. Umur petani adalah usia petani responden saat penelitian (2010), diukur

dalam tahun.

17. Pendidikan formal adalah lamanya petani mendapatkan pendidikan formal

petani responden (kondisi tahun 2010), diukur dalam tahun.

18. Pengalaman adalah lamanya petani berusahatani jeruk keprok SoE sampai

dengan tahun 2010, diukur dalam tahun.

19. Jumlah anggota keluarga adalah jumlah orang yang hidup di dalam satu

rumahtangga dan yang menjadi tanggungan petani contoh pada tahun

2010, diukur dalam orang.

20. Kontak dengan petugas pertanian lapangan adalah banyaknya kunjungan

yang dilakukan oleh petani kepada petugas pertanian lapangan atau oleh

petugas pertanian lapangan kepada petani untuk membicarakan hal-hal

yang berkaitan dengan usahatani jeruk keprok SoE, diukur dengan skor (1,

2, dan seterusnya) selama musim produksi 2008-2010. Diasumsikan

bahwa selama periode waktu tersebut petani masih memiliki ingatan

tentang kontak dengan petugas petanian lapangan. Selain itu, transfer

teknologi dari petugas pertanian ke petani yang dilakukan sampai dengan

tahun 2009 dapat mempengaruhi produksi tahun 2009-2010. Petugas

pertanian lapangan terdiri dari penyuluh pertanian lapangan dan petugas

pengamat hama tanaman.


182

21. Pangsa luas lahan garapan usahatani jeruk keprok adalah rasio antara luas

lahan usahatani jeruk terhadap total lahan yang dimiliki (%).

22. Pelatihan usahatani jeruk adalah banyaknya pelatihan di bidang usahatani

jeruk keprok SoE yang diikuti petani dan diukur dengan skor (1, 2, dan

seterusnya selama petani melakukan usahatani jeruk keprok SoE) selama

tahun 2008-2010. Diasumsikan bahwa selama periode waktu tersebut

petani masih memiliki ingatan tentang materi-materi pelatihannya. Selain

itu, transfer teknologi dan pengetahuan manajerial lainnya dari pelatihan

yang dilakukan sampai dengan tahun 2009 dapat mempengaruhi produksi

tahun 2009-2010.

23. Sumber pendapatan lain digunakan sebagai variabel dummy yaitu bernilai

1 jika memiliki sumber pendapatan lain pada tahun 2009-2010 dan 0 jika

tidak memiliki sumber pendapatan lain selain dari budidaya keprok SoE.

24. Metode penjualan adalah cara penjualan yang dilakukan petani responden

pada musim produksi (panen) tahun 2009-2010. Variabel ini diukur

sebagai variabel dummy (1 untuk menjual dengan sistem harga penjualan

per kg pada saat panen pada tahun 2010 dan 0 untuk yang menjual dengan

metode penjualan ijon, borongan per pohon atau per kebun baik pada saat

panen maupun penjualan di muka). Kenyataan di lapangan menunjukkan

bahwa seorang petani menjual jeruknya dengan lebih dari satu metode

penjualan. Untuk kepentingan analisis efisiensi teknis di dalam penelitian

ini, maka seorang petani responden diberi skor 1 jika salah satu metode

penjualan dilakukanya pada tahun 2010 adalah penjualan per kg pada saat

panen. Pada metode penjualan dengan sistem harga per kg pada saat
183

panen, petani memetik sendiri dan menjual jeruknya baik di kebun, di

pasar atau ke pedagang dengan sistem harga Rp per kg. Data volume

penjualan pada musim panen tahun 2010 pada berbagai metode penjualan

tersebut juga telah diidentifikasi untuk kepentingan analisis penerimaan

petani jeruk keprok SoE.

25. Keanggotaan kelompok tani adalah variabel dummy bernilai 1 jika petani

responden bergabung dan aktif di dalam kelompok tani di daerah

usahataninya pada tahun 2010 dan nilai 0 jika tidak bergabung dengan

kelompok tani.

26. Keikutsertaan dalam proyek jeruk adalah variabel dummy (1 untuk petani

yang pernah terlibat di dalam proyek jeruk sejak tahun 2008 sampai

dengan tahun 2010, dan 0 untuk yang tidak pernah). Proyek jeruk di sini

dimaksudkan kegiatan pengembangan agribisnis jeruk keprok SoE baik

yang dilakukan oleh Pemerintah maupun swasta dan LSM, baik dengan

sistem kredit maupun hibah. Tahun 2008-2010 dipilih sebagai dasar

perhitungan dengan pertimbangan bahwa keterampilan manajerial petani

dan alokasi penggunaan input usahatani jeruk mereka juga sangat

dipengaruhi oleh keberadaan proyek.

27. Akses kredit usahatani jeruk adalah variabel dummy (1 untuk petani yang

mendapatkan kredit usahatani jeruk dari lembaga keuangan formal pada

tahun 2010 dan 0 untuk yang tidak pernah).

28. Pengetahuan pembibitan vegetatif (okulasi, cangkok, sambungan) adalah

variabel dummy di mana 1 untuk petani yang tahu dan 0 tidak tahu. Petani

yang tahu cara membuat bibit baik secara okulasi, cangkok atau
184

sambungan perlu menceritakan kepada peneliti tentang detail dari teknik-

teknik tersebut. Misalnya cara memilih batang bawah, sumber batang

bawah, sumber batang atas, teknik membuatnya, tanda-tanda keberhasilan

usaha vegetatif, berapa bulan siap dipindahkan, media dan peralatan untuk

pembuatanya.

29. Pengetahuan teknologi budidaya anjuran adalah variabel dummy, di mana

1 untuk petani yang tahu dan 0 tidak tahu. Petani yang tahu perlu

menceritakan kepada peneliti tentang syarat-syarat pohon jeruk yang sehat,

pemangkasan, penjarangan buah, pemupukan dan tekniknya, pemberatasan

organisme pengganggu tanaman dan tekniknya, pengolahan tanah, ukuran

lubang tanam, musim berbunga jeruk, pengapuran dan jarak tanam

standar.

30. Akses ke pasar input adalah variabel dummy (1 untuk yang memiliki

kios/toko langganan pembelian input usahatani jeruk keprok pada tahun

2010 dan 0 untuk yang mengakses input bebas tanpa langganan).

31. Akses ke pasar output adalah variabel dummy (1 untuk petani yang

memiliki pedagang langganan sejak musim panen tahun 2009 sampai

dengan tahun 2010 dan 0 untuk yang tidak).

32. Teknik panen sesuai anjuran adalah variabel dummy (1 untuk yang

melakukan teknik panen sesuai anjuran dan 0 untuk yang tidak). Teknik

panen yang direkomendasikan adalah menggunakan gunting dahan,

panjang tangkai buah yang tertinggal pada buah maximum 1 cm dan buah

tidak terluka saat panen. Selain itu, panen hanya pada buah yang sudah

matang. Tanda-tanda buah matang secara visual adalah warna kulit


185

dominan kuning keemasan atau 100% kuning. Petani perlu menceritakan

kepada peneliti tentang hal-hal tersebut.

33. Penerapan manajemen usahatani adalah variabel dummy (1 untuk petani

yang melakukan pembukuan usahatani dan 0 untuk yang tidak).

Manajemen usahatani meliputi perencanaan usahatani, pengawasan dan

evaluasi kegiatan usahatani jeruk dengan menggunakan pembukuan

usahatani (farm recording) jeruk keprok SoE pada tahun 2009-2010.

34. Penentuan harga jual adalah variabel dummy (1 harga jual jeruk tahun

2010 ditentukan oleh petani dan pedagang (negosiasi dimenangkan petani)

dan 0 untuk yang tidak).

35. Keikutsertaan dalam koperasi adalah variabel dummy yaitu bernilai 1 jika

petani menjadi anggota koperasi sejak tahun 2009 sampai dengan tahun

2010 dan 0 jika lainnya.

36. Kegiatan pascapanen (variabel dummy, 1 untuk petani yang melakukan

kegiatan pascapanen tahun 2010 dengan rata-rata nilai 0,75 dari total nilai

empat komponen kegiatan pascapanen seperti pembersihan buah,

pengkelasan, pengepakan, labeling, dan 0 untuk yang tidak

melakukannya). Perlu dicatat bahwa nilai 1 diberikan pada masing-masing

komponen kegiatan pascapanen jika komponen itu dilakukan petani

responden (0 untuk yang tidak) dan kemudian dicari rata-rata pada

masing-masing responden.

37. Rumahtangga yang dikepalai perempuan (variabel dummy, 1 untuk

rumahtangga yang dikepalai perempuan dan 0 untuk yang tidak).


186

38. Biaya total usahatani adalah penjumlahan biaya-biaya yang dikeluarkan

petani untuk membeli faktor-faktor produksi selama tahun 2009-2010

(biaya bibit, irigasi, pupuk, pestisida, peralatan kerja dan tenaga kerja, dan

lain-lain) yang dihitung dalam satuan Rupiah. Di dalam analisis

pendapatan, biaya yang diperhitungkan adalah biaya yang digunakan

petani untuk tanaman produktif pada musim produksi tahun 2009-2010.

39. Upah tenaga kerja adalah adalah sewa tenaga kerja yang berlaku di tingkat

usahatani tahun 2010 yang dihitung dalam satuan Rupiah per hari orang

kerja.

40. Harga pupuk kandang merupakan harga beli pupuk kandang di tingkat

petani pada tahun 2009-2010 yang dihitung dalam Rupiah per kg.

41. Harga pupuk anorganik (urea, TSP, KCl dan NPK) merupakan harga beli

pupuk buatan tahun 2009-2010 yang dihitung dalam Rupiah per kg.

42. Harga pestisida merupakan harga beli obatan-obatan pertanian tahun 2009-

2010 yang dihitung dalam Rupiah per liter.

43. Biaya peralatan kerja adalah harga beli peralatan kerja khusus untuk

digunakan pada usahatani jeruk keprok SoE, selama tahun 2009-2010

yang diukur dalam satuan Rupiah.

44. Harga bibit okulasi/cangkokan/sambungan merupakan harga bibit okulasi

yang dibeli petani selama tahun 2009-2010 dan dihitung dalam satuan

Rupiah per anakan.


V. KERAGAAN USAHATANI JERUK KEPROK SOE

Bab ini terdiri dari tujuh sub bagian. Pertama-tama akan dibahas tentang

keadaan responden penelitian, kemudian berturut-turut akan diuraikan perihal

tentang penggunaan input produksi, kegiatan proses produksi, panen, pascapanen,

pemasaran dan pendapatan usahatani petani jeruk keprok SoE (JKS) selama

musim produksi tahun 2009-2010.

5.1. Karakteristik Responden

Penelitian ini telah dilaksanakan di enam kecamatan sampel (12 desa

contoh) dengan distribusi lokasi seperti yang telah dibahas pada Bab IV.

Sedangkan jumlah sampel petani adalah berjumlah 360 orang atau 30 orang setiap

desa contoh. Secara detail tentang karakteristik responden tercantum pada Tabel

40. Para petani di daerah dataran rendah sebagian besar (64.85%) berumur sekitar

35-55 tahun (dengan umur minimal 25 tahun, maksimal 63 tahun dengan rata-rata

umur 47.34 tahun). Sedangkan rata-rata umur responden di zona dataran tinggi

adalah 48.70 tahun dengan rentangan 36-60 tahun. Dengan demikian, sebagian

besar responden petani berada pada usia produktif. Dari jenis kelamin, sebagian

besar (99%) responden laki-laki dan sisanya (1%) adalah responden perempuan.

Dilihat dari tingkat pendidikan formal, para petani sebagian besar (74.74%)

berpendidikan (berijasa) Sekolah Dasar. Rata-rata lama pendidikan formal petani

adalah 7.54 tahun dengan lama maksimal 16 tahun dan minimal 1 tahun. Rata-rata

pendidikan formal petani responden tertinggi terdapat di daerah dataran rendah

(7.91 tahun atau masih pada jenjang Pendidikan Dasar) dengan rentangan 3

sampai dengan 16 tahun.


188

Tabel 40. Karakteristik Responden di Daerah Penelitian

Dataran Tinggi Dataran Rendah Rata-


No Karakteristik Rata
Rata- Rata-
rata Max Min rata Max Min
1 Umur (tahun) 48.70 60.00 36.00 47.34 63.00 25.00 48.02
2 Pendidikan formal (tahun) 7.41 12.00 1.00 7.91 16.00 3.00 7.54
3 Pelatihan usahatani jeruk
(..kali) 1.52 5.00 0.00 1.45 5.00 0.00 1.49
4 Pengalaman usahatani jeruk
(tahun) 19.94 37.00 9.00 14.13 35.00 7.00 17.03
5 Anggota keluarga*
a. Jumlah laki-laki (%) 51.03 4.00 1.00 50.28 7.00 1.00 50.65
b. Jumlah wanita (%) 48.97 6.00 1.00 49.17 5.00 1.00 49.07
c. Jumlah rata-rata per
keluarga (orang) 4.66 8.00 2.00 4.99 9.00 2.00 4.82
d. Umur ang. Kel. < 14
tahun (%) 16.25 4.00 1.00 18.46 5.00 1.00 17.36
e. Umur ang. Kel. ≥ 14
tahun (%) 83.75 6.00 1.00 81.54 9.00 2.00 82.64
f. Pendidikan formal ≤ 9
tahun (%) 29.26 7.00 1.00 69.63 7.00 1.00 49.45
g. Pendidikan formal > 9
tahun (%) 70.74 6.00 0.00 30.37 7.00 0.00 50.55
6 Jarak ke kebun jeruk keprok
(m) 13.00 500.00 0.00 15.00 460.00 0.00 14.00
7 Kontak dengan penyuluh -
KPP (%)** 78.33 3.00 0.00 64.00 2.00 0.00 81.17
8 Penggunaan bibit okulasi
(%) 97.22 1.00 0.00 93.00 1.00 0.00 97.11
9 Sumber pendapatan lain
(%) 83.33 1.00 0.00 90.00 1.00 0.00 86.67
10 Penggunaan lubang tanam
standar %) 25.56 1.00 0.00 10.56 1.00 0.00 18.06
11 Pengetahuan pembibitan
vegetatif (%) 6.67 1.00 0.00 4.00 1.00 0.00 5.33
12 Pengetahuan teknologi
budidaya (%) 0.56 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.56
13 Akses ke pasar input (%) 0.56 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.56
14 Akses ke pasar output (%) 41.11 1.00 0.00 26.11 1.00 0.00 33.61
15 Keanggotaan kelompok tani
(%) 66.11 1.00 0.00 52.00 1.00 0.00 64.06
16 Keanggotaan koperasi (%) 1.67 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.67
17 Keterlibatan dalam proyek
jeruk (%) 33.33 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 33.33
18 Akses kredit ke bank (%) 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 0.00 0.00
19 Penerapan manjemen
usahatani (%) 0.56 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.56

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).


Keterangan: * : Khusus untuk max dan min dinyatakan dalam satuan orang
** : Max dan min untuk KPP dinyatakan dalam frekuensi kunjungan

Para petani responden ada yang pernah mengikuti pelatihan usahatani

JKS dan ada yang belum. Petani yang pernah mengikuti pelatihan usahatani JKS
189

adalah sebanyak rata-rata 1.49 kali dengan rentangan 0 - 5 kali; dengan rata-rata

terbesar terdapat pada petani di zona dataran tinggi yakni 1.52 kali. Hal ini

dimaklumi bahwa zona dataran tinggi merupakan sentra proyek pengembangan

JKS di waktu yang lalu (1999-2008). Sedangkan pengalaman petani di bidang

usahatani JKS adalah 17.03 tahun dengan rentangan pengalaman 7-37 tahun.

Petani di zona dataran tinggi merupakan petani yang memiliki pengalaman paling

tinggi dengan rata-rata 19.94 tahun.

Para petani responden paling banyak (51%) memiliki anggota keluarga 3-

5 orang per KK, dengan rata-rata 4.82 orang anggota keluarga per KK. Dari jenis

kelamin, jumlah anggota keluarga laki-laki hampir seimbang dengan jumlah

anggota keluarga perempuan (yakni 51% untuk laki-laki dan 49% perempuan).

Tren ini terdapat pada semua zona penelitian. Sebagian besar (83%) anggota

keluarga responden berumur≥ 14 tahun dan sisan ya (17%) berumur < 14 tahun.

Sebanyak 50% anggota keluarga responden memiliki pendidikan > 9 tahun dan

sisanya berpedidikan ≤ 9 tahun. Namun, di zona dataran tinggi, sebagian besar

(70%) responden berpendidikan Sekolah Menengah Pertama atau Sekolah Dasar.

Usahatani JKS adalah usahatani pekarangan (paling banyak kebun berada di

sekitar tempat tinggal petani), di mana jarak kebun jeruk dengan tempat tinggal

sangat dekat yakni rata-rata 14 m dan paling jauh adalah 500 m.

Sedangkan karakteristik lain dari petani responden adalah sebagai

berikut. Banyaknya responden yang melakukan kontak dengan petugas pertanian

lapangan (Penyuluh Pertanian Lapangan-PPL dan Petugas Pengamat Hama

Tanaman-PPHT) dan petugas pertanian lainnya (81%), penggunaan bibit okulasi

(97%), penggunaan lubang tanam jeruk yang standar (18%), pengetahuan petani
190

tentang teknologi budidaya jeruk termasuk pembibitan vegetatif (5%), petani yang

memiliki sumber pendapatan selain dari jeruk sebanyak 87% dan petani yang

memiliki akses ke pasar output adalah sebanyak 64%. Dari data diketahui bahwa

para petani responden memiliki kemampuan manajerial yang belum memadai di

dalam usahatani JKS, terutama dalam hal penerapan manajemen usahatani dan

pengetahuan teknologi budidaya JKS. Selain itu, petani responden memiliki

kemampuan yang masih rendah (kurang dari 1%) dalam hal akses ke pasar input,

anggota koperasi dan kredit ke lembaga perbankan formal. Sebagian besar (64%)

petani tergabung dalam kelompok tani, dengan persentase tertinggi terdapat pada

responden di zona dataran tinggi. Sedangkan, keterlibatan petani responden dalam

proyek jeruk keprok adalah sebesar 33%, semuanya di daerah dataran tinggi.

Dari gambaran karakteristik petani responden tersebut diketahui bahwa

pengetahuan dan keterampilan teknis petani masih rendah. Selain itu,

kelembagaan petani seperti kelompok tani, penyuluhan dan koperasi belum

berkembang dan berperan pada usahatani jeruk keprok SoE. Hal-hal tersebut telah

menyebabkan perilaku petani yang kurang serius di dalam mengelola

usahataninya dan rendahnya penguasaan dan penerapan teknologi produksi jeruk

keprok SoE baik pada daerah dataran tinggi maupun dataran rendah.

Proyek-proyek usahatani jeruk yang bertujuan untuk meningkatkan

motivasi petani juga kurang berhasil. Kebanyakan dana proyek diberikan dalam

bentuk barang seperti anakan JKS, uang tunai dan ternak sebagai sumber pupuk

organik dan pendapatan rumahtangga petani. Namun kebanyakan proyek-proyek

itu kurang berhasil disebabkan (satu dari banyak sebab) karena para petani sering

memahami suatu dana proyek sebagai suatu pemberian (hibah) atau bantuan
191

cuma-cuma tanpa adanya kesadaran untuk memperbaiki produktivitas dan

kesejahteraan petani itu sendiri.

5.2. Penggunaan Input Usahatani Jeruk Keprok SoE

5.2.1. Lahan dan Pola Penggunaannya

Rata-rata kepemilikan lahan usahatani jeruk keprok petani responden di

daerah penelitian adalah sebesar 0.66 ha per petani, dengan kisaran maksimum 3.0

ha dan minimum 0.10 ha per petani. Rata-rata luas pengusahaan JKS di zona

dataran tinggi adalah sebesar 0.92 ha sedangkan zona dataran rendah hanya

sebesar 0.41 ha per petani. Lahan untuk usahatani lain (usahatani campuran antara

jagung, labu, kacang-kacangan dan ubi-ubian) berkisar diantara 0.25 ha hingga

5.0 ha per petani dengan rata-rata 1.40 ha. Selain itu, petani repsonden juga masih

memiliki lahan kosong (belum dimanfaatkan) sebesar 0.20 ha hingga 3.0 ha per

petani dengan rata-rata 1.06 ha. Total lahan yang dimiliki petani berada diantara

1.13 ha hingga 8.0 ha dengan rata-rata 3.1 ha per petani. Dengan demikian, share

penggunaan lahan untuk jeruk keprok adalah berkisar diantara 4.76% hingga

66.67% dengan rata-rata 21.83% dari luas lahan yang digunakan petani.

Sedangkan share lahan yang digunakan terhadap total adalah berkisar diantara 5%

hingga 100% dengan rata-rata 67.60%. Hal ini juga mengindikasikan bahwa

masih ada peluang penggunaan lahan bagi petani jeruk keprok sebesar 32.40%.

Peluang peningkatan ukuran usahatani jeruk keprok SoE di daerah dataran rendah

lebih besar (85%) dibandingkan dengan daerah dataran tinggi (70%) terhadap

total lahan yang dimiliki petani. Menurut petani responden, lahan yang belum

digunakan ini direncanakan untuk ditanami jeruk dan tanaman perdagangan

lainnya seperti kemiri dan kayu mahoni. Secara detail dapat dilihat pada Tabel 41.
192

Tabel 41. Rata-rata Kepemilikan Lahan Petani Responden Jeruk Keprok SoE
\ Karakteristik Dataran Tinggi Datarab Rendah Rata-
Lahan Petani rata
Rata- Max Min Rata- Max Min
rata rata

1 Lahan usahatani jeruk keprok SoE (ha) 0.92 3.00 0.30 0.41 0.85 0.10 0.67
2 Lahan untuk usahatani lain (ha) 1.27 5.00 0.80 1.53 3.00 0.25 1.40
3 Lahan kosong (ha) 1.11 3.00 0.20 1.03 3.00 0.00 1.07
4 Total lahan yang dimiliki (ha) 3.28 8.00 1.70 2.86 5.75 1.13 3.07
5 Share lahan usahatani jeruk (%) 29.02 66.70 5.50 14.73 42.86 4.76 21.87
6 Share lahan yang digunakan Petani (%) 67.53 100 5.00 67.61 100 27.27 67.57

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).

Bila dilihat kondisi kepemilikan lahan per zona contoh, maka zona

dataran tinggi memiliki luas lahan jeruk keprok lebih besar bila dibandingkan

dengan zona lainnya. Namun, lahan usahatani lain di zona dataran rendah masih

lebih besar bila dibandingkan dengan zona dataran tinggi. Diharapkan bahwa

peluang perluasan usahatani jeruk keprok di zona-zona ini lebih besar, jika lahan

kosong tersebut diperuntukan bagi pengembangan jeruk keprok SoE.

Hal yang utama berkaitan dengan penggunaan lahan adalah sistem pola

tanam JKS di tingkat petani. Pengusahaan jeruk keprok SoE terutama ditujukan

untuk tujuan komersial karena sebagian besar (97.10%) hasil produksinya

ditujukan untuk pasar. Walaupun pengusahaannya berorientasi pada pasar, namun

sistem pengusahaannya masih bersifat sederhana yang ditandai dengan tingkat

penggunaan input usahatani modern yang sangat minim. Pola tanam yang

dilakukan petani adalah tanam campur. Pola tanam campuran (jagung, ubi jalar,

keladi, ubi kayu, sayur-sayuran, kayu mahoni, sengon) adalah model yang

dominan dijalankan petani. Walaupun pola tanamnya campuran, namun di dalam

satu kebun jeruk keprok petani, tanaman panganya menempati porsi yang kecil
193

(10-15%) dibandingkan dengan jumlah tanaman jeruk keprok mereka

(perbandingan luasan penanaman). Komposisi inilah yang dijadikan responden di

dalam penelitian ini. Pola tanam campuran diutamakan ketika umur tanaman

kurang dari 4 tahun setelah tanam, di mana tanaman jeruk belum memberikan

naungan yang berarti bagi tanaman lainnya. Pola tanam campuran ini juga yang

telah memberikan kondisi kepadatan populasi tanaman jeruk keprok per ha yang

lebih rendah bila dibandingkan dengan potensialnya.

5.2.2. Bibit dan Jumlah Kepemilikan Tanaman Jeruk Keprok SoE

Sebagian besar (72%) para petani melakukan penanaman jeruk keprok

pada musim tanam tahun 2009/2010. Rata-rata penggunaan bibit tanaman jeruk

yang ditanam petani adalah 56.1 pohon dengan kisaran 16.3 – 92.0 pohon anakan

per petani di zona dataran tinggi. Sedangkan di zona dataran rendah, Rata-rata

penggunaan bibit tanaman jeruk adalah 9.8 pohon dan rata-rata kedua zona adalah

sebesar 33 pohon per petani. Tanaman yang ditanam tahun 2009-2010 adalah bibit

yang berasal dari okulasi (100%). Untuk tanaman yang produktif, petani yang

mengunakan anakan okulasi adalah sebanyak 97% dan sisanya (3%) memakai

bibit dari biji. Hasil wawancara dengan petani responden menunjukkan bahwa

sumber bibit tanaman jeruk yang masih bertumbuh di kebun petani (baik yang

ditanam pada tahun 2010 maupun sebelumnya) yang digunakan petani adalah dari

Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten (35%), penangkar benih lokal (20%),

dari tetangga (15%) dan produksi sendiri (30%).

Kabupaten TTS mempunyai 1 unit Blok Fondasi (BF) seluas 30 m2

dengan jumlah tanaman induk 15 pohon. Bibit jeruk keprok SoE yang ditanam
194

oleh petani berasal dari pembenihan oleh penangkar dengan dukungan Blok

Penggandaan Mata Tempel (BPMT). Lokasi BPMT terletak di kebun Dinas

Pertanian provinsi NTT sebanyak tiga unit dengan luas keseluruhan 120 m2 dan

mampu menghasilkan 30 000 mata temple per tahun. Jenis batang bawah yang

digunakan adalah Rough Lemon (RL). Mata temple dari BPMT digunakan oleh

penangkar untuk menghasilkan tanaman jeruk keprok SoE siap tanam. Daftar

penangkar benih jeruk keprok SoE adalah seperti tercantum pada Tabel 42.

Tabel 42. Penangkar Benih Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor Tengah
Selatan, Tahun 2009

No Nama Penangkar Alamat Kapasitas Produksi


(Batang/Tahun)

1 Kelompok Nekmese Nonofau - Kualeu 50 000


2 Kelompok Sinar Nonofau - Kualeu 50 000
3 Kelompok Suka Maju Nonofau - Kualeu 50 000
4 Kelompok Fajar Boentuka-Batu Putih 50 000
5 Kelompok Karya Oeklani-Desa Oinlasi 30 000
6 Kebun Dinas Pertanian Oenali dan Oelnunuh 50 000
7 Yurits Taneo Oelnunuh 25 000
8 Simon Biliu Oebesa 10 000

Jumlah 315 000

Sumber: Departemen Pertanian, 2009b.

Kondisi bibit tanaman jeruk keprok yang ditanam petani adalah tidak

berlabel biru (100%), dan tidak memenuhi prosedur seperti yang diceritakan di

atas; sehingga mutunya kurang terjamin (bisa saja tidak bebas dari hama-penyakit

sehingga pertumbuhan tanaman tidak baik). Gambar 33 berikut ini

memperlihatkan adanya kondisi bibit tanaman JKS yang diproduksi petani dan

Balai Benih Induk (BBI) di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Produksi bibit petani

jauh lebih rendah kualitasnya dibandingkan dengan bibit yang diproduksi BBI,

namun semuanya tidak berlabel biru.


195

(a) Kondisi Bibit Tanaman Jeruk (b) Kondisi Bibit Tanaman Jerk
Keprok SoE Produksi Petani yang Keprok SoE Produksi BBI tidak
tidak Berlabel Berlabel

Gambar 33. Kondisi Bibit Tanaman Jeruk Keprok SoE

Sebagian besar (94.80%) (seperti yang ditunjukkan Tabel 40 poin 11

terdahulu) petani responden tidak mengetahui bagaimana cara membuat bibit

vegetatif seperti mencangkok, menempel dan menyambung dalam berbagai

bentuk. Petani pada umumnya (97%) tidak mengetahui penentuan bibit yang baik

atau bibit yang berkualitas (terutama dalam ukuran bibit, sumber batang bawah,

batang atas dan umur bibit yang siap tanam). Selain itu, petani responden sedikit

sekali yang pernah mendapatkan pelatihan tentang produksi benih/bibit secara

vegetatif.

Hasil wawancara dengan petani responden menunjukkan bahwa sumber

bibit produksi petani sendiri bersumber dari pohon yang tumbuh di kebun mereka

sendiri yang bukan merupakan pohon induk yang sehat (belum terdeterminasi

oleh Dinas Pertanian yang berwenang seperti Balai Sertifikasi Benih baik

Kabupaten maupun Provinsi). Selain itu, pohon sebagai sumber benih (yang sudah

dideterminasi) juga masih tetap berproduksi. Hal ini dibiarkan oleh petani, karena

pohon tersebut merupakan sumber produksi buah jeruk pada tahun berjalan.
196

Idealnya, pohon jeruk yang merupkan sumber benih vegetatif, selama menjadi

pohon induk tidak boleh berproduksi agar lebih sehat dan kuat. Penentuan pohon

induk sebagai sumber benih JKS di masa datang merupakan hal paling utama

demi peningkatan produktivitas yang tinggi. Tanaman yang sehat bersumber dari

benih yang sehat. Benih yang sehat hanya dapat diperoleh dari pohon induk yang

sehat dan melalui tangan-tangan petani penangkar yang terampil. Jika pohon

induk itu berada di dalam kebun petani, sebaiknya dipastikan agar tidak

berproduksi selama menjadi pohon induk. Petani perlu diberi kompensasi

pendapatan sesuai dengan perkiraan produksi dari pohon yang bersangkutan.

Kompensasi itu sebaiknya diberikan oleh Pemerintah Daerah.

Rata-rata jumlah tanaman yang diusahakan petani responden di daerah

penelitian tercantum pada Tabel 43. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa rata-

rata kepemilikan tanaman jeruk yang belum produktif (umur 1 sampai dengan 4

tahun) lebih besar yakni 57.2% dibandingkan dengan tanaman produktif yang

hanya 42.8% per petani. Petani responden di zona dataran rendah memiliki rata-

rata jumlah tanaman produktif yang lebih banyak (55%) dibandingkan dengan

petani responden di zona dataran tinggi (31%). Tetapi jumlah pohon produktif

secara aktual untuk dataran tinggi adalah lebih banyak (58 pohon per petani per

0.92 ha atau 63 pohon/ha)) dibandingkan dengan dataran rendah yang hanya

memiliki sebesar 28 pohon per petani per 0.41 ha (44 pohon/ha). Jumlah

kepemilikan tanaman untuk kedua daerah pengembangan ini masih sangat sedikit

dibandingkan dengan jumlah secara potensialnya (278 pohon per ha). Daerah

dataran rendah memiliki jumlah tanaman JKS yang paling sedikit dikarenakan

oleh kondisi lingkungan fisik, terutama jumlah kering yang lama (≥ 8 bulan).
197

Tabel 43. Rata-rata Kepemilikan Tanaman Jeruk Keprok SoE Petani Responden

Dataran Tinggi Dataran Rendah Rata-


Rata
No Karakteristik Rata- Max* Min* Rata- Max* Min*
rata rata
1 Tanaman belum berbuah (pohon) 130,00 355,0 10,0 23,00 152,0 2,0 77,00
2 Tanaman sudah berbuah (pohon) 58,00 265,0 12,0 28,00 85,0 5,0 43,00
3 Jumlah total tanaman yang 188,00 620,0 22,0 51,00 237,0 7,0 120,0
dimiliki petani (pohon)
4 Produktivitas (kg/pohon) 8,40 30,0 0,35 4,00 18,1 1,09 6,30
5 Kepadatan populasi (pohon/ha)** 203,00 424,0 50,0 81,00 364,0 28,0 175,0

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah); Lampiran 4 dan 5.

Keterangan: *:Niali max-min jumlah kepemilikan tanaman JKS secara individual


**:Jumlah kepemilikan tanaman JKS oleh petani yakni jumlah
tanaman yang belum berbuah ditambah dengan yang sudah berbuah
per hektar

Rata-rata jumlah tanaman yang dimiliki petani contoh secara total baik

yang sudah berbuah maupun yang belum (poin 3 pada Tabel 43) adalah sebanyak

119.5 pohon per petani per 0.66 ha per luasan lahan yang diusahakan atau

sebanyak 160.13 pohon per ha. Bila dibandingkan dengan populasi tanaman per

ha secara ideal, maka peluang peningkatan jumlah tanaman per ha masih sebesar

37.1%. Secara ideal, satu ha lahan jeruk keprok dengan jarak tanam 6 x 6 meter

dengan pola tanam monokultur adalah 278 pohon. Jumlah tanaman yang dimiliki

petani responden di zona dataran tinggi jauh lebih besar (188.1 pohon/petani/0.92

ha atau 203 pohon per ha) dibandingkan dengan yang dimiliki oleh petani di zona

dataran rendah (50.9 pohon/petani/o.41 ha atau 80.9 per ha). Peluang peningkatan

jumlah populasi tanaman per ha bagi petani di dataran tinggi adalah sebesar 27%

dan dataran rendah adalah sebesar 70% terhadap jumlah populasi potensial 278

pohon per ha. Peluang ini kemungkinan besar tercapai mengingat bahwa JKS

merupakan aset warisan, indikator umur anak dan prestise petani. Namun, perlu

disadari bahwa faktor eksternal seperti iklim yang ekstrim kering di daerah
198

dataran rendah telah menyebabkan sedikitnya jumlah tanaman JKS yang dimiliki

petani per hektarnya. Oleh karena itu, untuk mewujudkan peluang peningkatan

jumlah tanaman jeruk di daerah dataran rendah, maka sistem pengairan usahatani

secara teknis perlu untuk direncanakan dan dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Tingkat produktivitas tanaman jeruk keprok per pohonnya adalah masih

sangat rendah yakni hanya 6.20 kg per pohon atau 1.9 ton/ha (dibandingkan

dengan produktivitas potensialnnnya 250 kg per pohon). Dengan demikian, masih

terdapat peluang peningkatan produktivitas sebesar 97.24% jika diusahakan secara

intensif. Rata-rata produktivitas JKS di zona dataran tinggi adalah 8.4 kg per

pohon atau 2.3 ton/ha dan zona dataran rendah sebesar 4.0 kg per pohon atau 1.1

ton/ha. Produktivitas JKS di zona dataran rendah adalah 50% lebih rendah (faktor

iklim yang kurang mendukung), dibandingkan dengan dataran tinggi. Peluang

peningkatan produktivitas masih sangat besar yakni sebesar 96.6% dan 98.3%

untuk zona dataran tinggi dan zona dataran rendah secara berturut-turut.

Sedangkan rata-rata produktivitas jeruk keprok nasional adalah 22.13 ton/ha atau

80 kg per pohon (Departemen Pertanian, 2009a). Hasil studi Bahar dan Nugraheni

(2008) menunjukkan bahwa produktivitas jeruk keprok di provinsi Sumatra

Selatan adalah sebesar 70.22 kg per pohon dan di Jawa Timur sebesar 38.89 kg

per pohon. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas

JKS di Nusa Tenggara Timur.

Kepemilikan tanaman berdasarkan umur tanaman adalah seperti

tercantum pada Tabel 44 dan Gambar 34. Dari tabel dan gambar tersebut

diketahui bahwa petani responden memiliki umur tanaman sangat beragam dan

kepemilikan dengan tren menurun sejalan dengan bertambahnya umur tanaman.


199

Tabel 44. Rata-Rata Jumlah Kepemilikan Tanaman Jeruk Keprok SoE Petani Responden Berdasarkan Umur Tanaman

Umur Tanaman (Tahun) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20 Total


Dataran Tinggi (pohon) 56.1 31.3 27.0 16.0 7.9 4.6 1.1 2.1 3.1 5.4 3.2 6.1 4.0 5.6 1.9 2.6 2.0 2.9 1.3 1.1 2.7 188.1
Dataran Rendah (pohon) 9.8 5.75 3.49 3.8 2.5 2.6 2.3 1.8 2.5 2 2.33 2.08 1.68 1.64 1.3 1.51 1 0.67 0.8 0.6 0.7 50.9
Rata-Rata (pohon) 32.9 18.5 15.3 9.9 5.2 3.6 1.7 2.0 2.8 3.7 2.8 4.1 2.8 3.6 1.6 2.0 1.5 1.8 1.0 0.9 1.7 119.5

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).

60

50
Jumlah Tanaman (Pohon)

Dataran Tinggi (pohon/petani)


40 Dataran Rendah (pohon/petani)

30

20

10

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20
Umur Tanaman (Tahun)

Sumber: Tabel 44.


Gambar 34. Jumlah Kepemilikan Tanaman Jeruk Keprok SoE Berdasarkan Umur Tanaman
200

Petani contoh senantiasa menanam jeruk keprok dari tahun ke tahun,

namun kekurangan air, bibit yang tidak berkualitas dan perawatan yang tidak

intensif telah menyebabkan banyaknya tanaman yang mati pada umur 2 sampai 5

tahun setelah tanam. Permasalahan utama banyaknya jeruk petani yang mati

adalah kualitas bibit yang rendah. Hal ini dibenarkan oleh staf Balai Benih Induk

(BBI) Provinsi Nusa Tenggara Timur (pers.com tanggal 12 Februari 2010).

Memang ketersediaan benih/bibit jeruk keprok berkualitas yang belum mencukupi

bukan saja merupakan masalah yang dihadapi oleh Provinsi NTT namun juga

merupakan permasalahan secara nasional (Departemen Pertanian, 2008d).

Permasalahan ini diperparah dengan kondisi infrastruktur perbenihan (pohon

induk, Blok Fondasi dan BPMT) jeruk keprok yang belum sepenuhnya memadai.

Sedangkan infrastruktur pengairan usahatani juga tidak tersedia. Padahal

permasalahan pengaiaran usahatani lahan kering adalah sangat penting untuk

difokuskan di dalam pengembangan dan peningkatan produktivitas jeruk kerpok.

Menurut para petani respopnden, banyaknya tanaman jeruk muda yang

mati juga disebabkan oleh adanya serangan hama dan penyakit. Tanaman jeruk

mulai terserang hama dan penyakit sejak tahun 2007. Setiap tanaman yang mati,

petani mengganti dengan tanaman baru namun juga tetap mati pada tahun

berikutnya. Hal ini dibenarkan juga oleh laporan koran Pos Kupang (27 Februari

2010). Sampai dengan tahun 2010, belum ada penelitian yang dijalankan untuk

mengidentifikasi hama dan penyakit yang menyerang jeruk keprok SoE selama

tiga tahun terakhir ini. Petani jeruk sudah sering menyampaikan keluhan kepada

Pemerintah Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan, namun tidak ada tanggapan

yang serius. Kurangnya tenaga teknis lapangan (di bidang hama dan penyakit)
201

yang bertugas memberikan penyuluhan juga memperpanjang penderitaan para

petani di dalam menghadapi permasalahan hama dan penyakit jeruk keprok SoE.

Apabila persoalan ini tidak segera ditangani secara serius dan tuntas, maka

tanaman jeruk keprok SoE akan bernasib sama seperti tanaman apel di dataran

tinggi kabupaten Timor Tengah Selatan yang punah sebagai akibat serangan hama

dan penyakit pada tahun 1982-1984.

5.2.3. Penggunaan Tenaga Kerja Keluarga

Di dalam usahatani JKS, para petani tidak menggunakan tenaga kerja

luar kerluarga. Hal ini disebabkan oleh kecilnya skala usahatani yang diusahakan

dan cukup tersedianya tenaga kerja dalam keluarga. Dengan alasan ini, petani

mengelola usahatani jeruk keprok mereka dengan mengandalkan tenaga kerja

keluarga saja. Penggunaan tenaga kerja keluarga mulai dari persiapan tanam

hingga pemasaran hasil pada kegiatan musim tanam 2009-2010 adalah seperti

tercantum pada Tabel 45 dan Gambar 35

Tabel 45. Rata-Rata Penggunaan Tenaga Kerja Petani Responden

Dataran Tinggi Dataran Rendah Rata-


Kegiatan rata
Rata- Rata-
Max Min Max Min
rata rata
1. Persiapan lahan (HOK) 8.21 30.90 0.67 6.21 25 0.00 7.21
2. Penanaman (HOK) 7.77 25.70 0.00 3.43 20.57 0.57 5.60
3. Pemeliharaan (HOK) 23.17 114.30 1.10 6.95 27.43 3.60 15.06
4. Panen (HOK) 4.55 27.40 0.00 1.80 10.29 0.00 3.17
5. Pascapanen (HOK) 2.27 17.10 0.00 0.98 4.57 0.00 1.63
6. Pemasaran (HOK) 2.78 28.60 0.00 1.68 6.86 0.00 2.23
Total (HOK) 48.75 153.71 10.29 21.05 45.29 6.71 34.90

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).


202

Jumlah Tenaga Kerja (HOK)


25 23.17
Dataran Tinggi
20
Dataran Rendah
15
8.21
10 6.21 7.77
6.95
5 3.43 4.55
0 1.80 2.27
0.98 2.78
1.68

Kegiatan Usahatani

Sumber: Tabel 45.

Gambar 35. Rata-Rata Penggunaan Tenaga Kerja Keluarga Petani Contoh

Jumlah penggunaan tenaga kerja di daerah dataran tinggi adalah 57%

lebih tinggi (48.75 HOK) dibandingkan dengan dataran rendah (21.05 HOK).

Rata-rata penggunaan tenaga kerja keluarga pada usahatani jeruk keprok di daerah

penelitian adalah sebesar 35 HOK. Penggunaan tenaga kerja keluarga paling

banyak dialokasikan untuk kegiatan pemeliharaan (15 HOK atau 42.21% terhadap

total tenaga kerja keluarga yang digunakan untuk usahatani JKS), diikuti oleh

kegiatan persiapan lahan (7.21 HOK) dan penanaman (5.6 HOK). Kegiatan

persiapan lahan terutama ditujukan untuk penggalian lubang tanam. Kegiatan

pemeliharaan adalah kegiatan pembersihan rumput, pemangkasan, penjarangan

buah dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (tanpa menggunakan zat

kimia) serta pemupukan organik (kompos). Walaupun kegiatan panen juga sering

dilakukan oleh pembeli borongan, namun tenaga kerja keluarga juga tetap
203

digunakan oleh para pembeli. Para pembeli borongan menggunakan tenaga kerja

keluarga petani untuk memanen jeruk dengan sistem upah pasar harian yang

berlaku atau dengan imbalan berupa pemberian bahan makanan (beras dan gula)

atau buah jeruk keprok. Kegiatan pascapanen lebih banyak diperuntukan bagi

kegiatan pembersihan (dengan potongan kain), pengkelasan dan pengepakan.

Sedangkan tenaga kerja keluarga untuk pemasaran adalah tenaga kerja dari petani

yang melakukan pemasaran JKS di pasar lokal (desa dan kecamatan), pasar

kabupaten atau pasar provinsi.

Pada saat perhitungan biaya usahatani (untuk kepentingan analisis

pendapatan petani jeruk), komponen biaya untuk tenaga kerja keluarga ini

dihitung sebagai biaya oportunitas (opportunity cost) dengan tingkat upah yang

berlaku di level usahatani yakni Rp. 20 000 per HOK. Komponen biaya tenaga

kerja untuk perhitungan biaya usahatani tersebut adalah tenaga kerja yang

digunakan dalam kaitannya dengan produksi jeruk keprok SoE musim produksi

tahun 2009-2010. Dengan demikian, komponen biaya usahatani yang masuk di

dalam perhitungan pendapatan adalah biaya tenaga kerja untuk pemeliharaan

tanaman produktif, panen, pascapanen dan pemasaran jeruk keprok SoE musim

produksi tahun 2009-2010. Perhitungan detail penggunaan tenaga kerja untuk

kepentingan analisis ini tercantum pada poin 5.7 bab ini.

5.3. Pemeliharaan Tanaman

Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiangan kebun, pemupukan,

pemberantasan organisme pengganggu tanaman (OPT), pemangkasan,

penjarangan buah dan pengairan. Penyiangan adalah kegiatan membuang dan

membersihkan gulma/tumbuhan pengganggu dari sekitar pertanaman pokok baik


204

secara mekanik maupun penggunaan herbisida. Kegiatan penyiangan kebun jeruk

oleh petani semuanya dengan cara manual dengan menggunakan tofa dan parang.

Pemeliharaan tanaman JKS oleh petani masih sangat sederhana dan belum

memakai input-input usahatani modern. Hanya sekitar 20% petani yang

menggunakan pupuk urea untuk memupuk tanamannya pada saat tanam (dengan

rentangan jumlah penggunaan pupuk sebesar 0 hingga 50 kg per petani contoh).

Sedangkan untuk pemeliharaan, petani contoh tidak menggunakan pupuk kimia

baik untuk pertumbuhan tanaman maupun untuk peningkatan produksi buah jeruk.

Petani hampir tidak pernah menggunakan zat kimia seperti pestisida, insektisida

dan fungisida untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman jeruk.

Pemberantasan organisme pengganggu tanaman hanya dilakukan dengan cara

tradisional yakni dengan mengasap tanaman di kebun dan penggunaan air

tembakau untuk pemberantasan semut (17%). Sedangkan petani yang

menggunakan kapur ada sebanyak 28.89%. Petani contoh di dataran rendah tidak

menggunakan kapur dan obat-obatan. Data yang berkaitan dengan pemeliharaan

tanaman jeruk keprok tercantum pada Tabel 46 berikut ini.

Usahatani jeruk keprok SoE, boleh dikatakan, adalah usahatani organik.

Sebanyak 88% petani menggunakan kompos hasil produksi sendiri. Di daerah

dataran tinggi sebanyak 100% petani contoh telah menggunakan kompos selama

pemeliharaan tanaman mereka dalam musim tanam 2009-2010. Kompos lebih

banyak digunakan pada saat penanaman pertama, dan sedikit sekali diberikan

pada tanaman yang sudah berproduksi (terutama untuk tanaman yang sudah

berumur 8 tahun ke atas). Rata-rata penggunaan kompos petani pada tahun 2010

adalah 17.13 kg dengan rentangan 10-80 kg per petani.


205

Tabel 46. Kegiatan Pemeliharaan Tanaman Jeruk Keprok SoE

Dataran Tinggi Dataran Rendah Rata-


rata
Kegiatan Pemeliharaan Rata- Rata-
Max* Min* Max* Min*
rata rata

1. Pemupukan : anorganik (urea) (%) 23.33 50.00 0.00 16.67 20.00 5.00 20.00
2. Pemupukan : kompos (%) 100.00 80.00 10.00 75.00 25.00 10.00 87.50
3. Pengendalian OPT: Kapur (%) 28.89 5.00 0.00 0.00 0.00 0.00 14.44
4. Pengendalian OPT: Obat-obatan (%) 16.67 65000 0.00 0.00 0.00 0.00 8.33
5. Pemangkasan (%) 73.89 1.00 0.00 14.72 1.00 0.00 44.30
6. Penjarangan buah (%) 41.67 1.00 0.00 10.28 1.00 0.00 25.97
7. Pengairan (%) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).


Keterangan: * Nilai max dan min untuk pupuk urea, kompos dan kapur dalam kg
dan obat-obatan dalam Rupiah. Sedangkan pemangkasan,
penjarangan buah dan pengairan adalah variabel dummy

Rata-rata pengeluaran untuk peralatan pertanian bagi petani jeruk keprok

adalah Rp. 14 050 dengan kisaran antara Rp. 9 200 hingga Rp. 22 000 per petani

pada tahun 2010. Hal ini hanya dikhususkan untuk peralatan pertanian yang

berkaitan langsung dengan usahatani jeruk seperti gunting panen dan pangkas

tanaman dan perlatan lainnya seperti pisau okulasi. Sedangkan perlatan lain

seperti tofa, linggis dan parang tidak diperhitungkan di dalam komponen ini

karena merupakan peralatan yang dipakai bersama (sharing cost equipment).

Secara keseluruhan, sebagian besar (44%) petani responden melakukan

pemangkasan tanaman jeruk keprok mereka. Paling banyak (74%) petani contoh

di zona dataran tinggi telah melakukan pemangkasan tanaman dan hanya 15%

untuk petani daerah dataran rendah. Pemangkasan yang dilakukan bukan

pemangkasan bentuk atau pemangkasan pemeliharaan untuk tujuan produktif,

namun hanya sekedar mengeluarkan ranting tanaman yang mati. Secara ideal,

pemangkasan bentuk tanaman ditujukan untuk mendapatkan bentuk pohon atau


206

bentuk tajuk yang ideal sehingga dicapai pertumbuhan dan produktivitas yang

optimal. Selain itu, pemangkasan pemeliharaan bermanfaat untuk merangsang

tumbuhnya tunas-tunas produktif, meningkatkan sanitasi kebun serta mengurangi

resiko serangan OPT dan memudahkan pemeliharaan tanaman. Namun hal-hal ini

tidak dipahami oleh petani. Petunjuk teknis yang sudah dicantumkan di dalam

Standard Operational Procedure (SOP) tanaman jeruk keprok SoE tidak diadopsi

dan diterapkan petani.

Para petani responden sebagian kecil (26%) yang melakukan penjarangan

buah; dengan rentangan 10% daerah dataran rendah dan 42% dataran tinggi dari

total responden. Penjarangan buah yang dipraktekan oleh petani hanya sebatas

membuang buah yang terserang OPT atau yang sudah kering, tanpa alasan

lainnya. Padahal kegiatan penjarangan buah ini sangat penting dalam rangka

menghasilkan buah bermutu, seragam, memperpanjang masa berbuah, menjamin

kontinuitas produksi dan mengurangi resiko kerusakan/kematian tanaman serta

memperpanjang umur produktif tanaman.

Pemangkasan produktif dan penjarangan buah kurang dilakukan petani

karena kedua hal tersebut bertentangan dengan kebiasaan petani di sentra-sentra

pengembangan jeruk. Petani berprinsip “banyak ranting dan banyak buah pada

pohon jeruk berarti banyak rejeki”. Petani lebih mementingkan kuantitas daripada

kualitas produk mereka.

Baik petani contoh di daerah dataran tinggi maupun dataran rendah,

keduanya tidak mengairi jeruk mereka pada musim kemarau. Hal ini disebabkan

oleh ketiadaan sarana pengairan yang dapat digunakan. Banyaknya bunga jeruk

yang gugur selama masa pembungaan pada bulan Agustus-September (puncak


207

kekeringan baik di zona dataran tinggi maupun zona dataran rendah) lebih banyak

disebabkan oleh kekurangan air. Hal ini merupakan salah satu sebab rendahnya

produktivitas jeruk keprok SoE. Sebenarnya, di daerah dataran tinggi di bagian

utara kabupaten TTS, sumber air dari pengunungan Mutis tersedia cukup besar

jika ada pembangunan infrastrukur irigasi bagi pengembangan tanaman jeruk

keprok SoE. Prasarana pengairan dari pegunungan Mutis ini hanya diperuntukan

bagi kebutuhan air minum penduduk yang berdomisili di Kota SoE (ibukota

kabupaten TTS). Sumber lain, sebenarnya juga masih ada yakni pembangunan

embung atau cekdam (wadah untuk menampung air hujan selama musim hujan).

Namun, kekurangan modal telah menyebabkan pembangunan sarana-sarana

pengairan usahatani jeruk ini tidak pernah dilakukan.

5.4. Kegiatan Panen dan Pascapanen

Masa panen jeruk keprok SoE di kabupaten TTS terjadi pada bulan Maret

hingga bulan Agustus seperti tercantum pada Tabel 47. Bulan Juni hingga

Agustus merupakan periode panen raya jeruk keprok SoE.

Kegiatan panen adalah kegiatan memetik buah yang telah siap panen atau

mencapai kematangan optimal sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.

Dari hasil analisis data wawancara diketahui bahwa secara rata-rata terdapat

sebanyak 88.89% petani jeruk memanen jeruk mereka dengan menggunakan

gunting pohon, sebanyak 16.67% masih menggunakan kayu (jolokan) dan 83.89%

memanen langsung dengan cara mematahkan tangkai buah jeruk tanpa

menggunakan peralatan (Tabel 48). Ada sebanyak 14% para petani responden

memanen jeruk mereka dengan menggunakan metode panen campuran dari ketiga

metode tersebut. Bila dibandingkan antar zona, maka petani contoh di zona
208

dataran tinggi lebih banyak menggunakan gunting (97.78%) dibandingkan dengan

petani di zona dataran rendah (78.44%). Kondisi yang sama juga untuk

penggunaan metode panen lainnya, kecuali metode panen dengan menggunakan

tangan, tanpa peralatan.

Tabel 47. Masa Panen Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan

No Kecamatan Bulan Panen Puncak Panen


3 4 5 6 7 8

1 Amanuban Barat Juli


2 Amanuban Tengah Juli
3 Amanuban Timur Juli
4 Amanuban Selatan Juli
5 Mollo Selatan Juni, Juli
6 Mollo Utara Juni, Juli, Agustus
7 Amanatun Utara Juli
8 Amanatun Selatan Juli
9 Kota SoE Juni, Juli
10 Kuanfatu Juli, Agustus
11 Kie Juli, Agustus
12 Polen Juni, Juli
13 Boking Juli, Agustus
14 Fatumnasi Juni, Juli, Agustus
15 Batu Putih Juni

Sumber: Departemen Pertanian, 2009b.

Tabel 48. Kegiatan Panen Jeruk Keprok SoE di Daerah Penelitian


Dataran Tinggi Dataran Rendah
Rata-
Teknik Panen Rata- Rata-
Max* Min* Max Min rata
rata rata
Gunting (%) 97.78 1.00 0.00 78.44 1.00 0.00 88.11
Kayu (%) 18.33 1.00 0.00 15.00 1.00 0.00 16.67
Tangan (%) 76.67 1.00 0.00 90.56 1.00 0.00 83.61
Ketiga-tiganya (%) 15.56 1.00 0.00 12.00 1.00 0.00 13.78
Total Rata-rata (%)1 208.34 196.00 202.17
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).
Keterangan: * Variabel dummy untuk semua nilai max 1 dan min 0
1
Beberapa petani menggunakan metode panen campuran, sehingga
total rata-ratanya lebih dari 100%
209

Setelah panen, sebanyak 61.3% (Tabel 49) dari jumlah petani responden

secara rata-rata melakukan pembersihan buah jeruk dengan menggunakan

potongan kain (dilap), tanpa memakai air dan bahan pengawetan buah. Kemudian

buah jeruk disortir dan dipisahkan atas kelas-kelas secara manual dan visual,

tanpa menggunakan peralatan penyortiran buah. Jumlah petani contoh yang

melakukan hal ini ada sebanyak 54%. Namun Pengkelasan buah di tingkat petani

hanya berdasarkan besar-kecilnya buah yakni buah besar, sedang dan kecil;

dilakukan secara manual dan tanpa pengkelasan yang standar (berdasarkan

diameter buah maupun berat buah). Keterbatasan pengetahuan dan peralatan yang

dimiliki petani telah menghambat penerapan standarisasi buah yang rendah.

Tabel 49. Kegiatan Pascapanen Jeruk Keprok SoE

Dataran Tinggi Dataran Rendah Rata-


Kegiatan Pascapanen Rata- Rata- Rata
Max* Min* Max* Min* (%)
rata rata
Pembersihan (%) 88.89 1.00 0.00 33.69 1.00 0.00 61.29
Pengkelasan (%) 75.00 1.00 0.00 33.48 1.00 0.00 54.24
Pelabelan (%) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Pengepakan** (%) 87.78 1.00 0.00 32.84 1.00 0.00 60.31
Total Rata-rata (%)1 251.67 100.01 175.84
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).
Keterangan: *: Variabel dummy untuk semua nilai max 1 dan min 0
**: menggunakan karung plastik dan gardus/karton berbagai ukuran
dan bahan dasar
1
: Beberapa petani menggunakan metode pascapanen campuran,
sehingga total rata-ratanya lebih dari 100%

Buah JKS adalah tidak berlabel (100%). Secara rata-rata jumlah petani

yang melakukan pengepakan adalah sebanyak 60%. Sebagian besar (88%) petani

responden di dataran tinggi melakukan pengepakan buah jeruk mereka. Hal

sebaliknya terjadi di zona dataran rendah (33%). Petani melakukan pengepakan


210

dengan teknologi yang sangat sederhana yakni menggunakan keranjang anyaman

dari bamboo dengan volume rata-rata 40-50 kg per keranjang. Karung plastik

berkapasitas 30-40 kg juga telah dimanfaatkan oleh petani untuk menyimpan dan

memasarkan jeruk panenan mereka. Selain itu juga, gardus bekas bungkusan

rokok gudang garam bervolume 35-50 kg jeruk juga telah digunakan petani.

Kesehatan buah dan kualitas alat pengepakan tersebut sangat tidak mendukung

kualitas buah jeruk selama proses pemasaran dan transportasi. Akibatnya buah

jeruk mengalami kerusakan sampai dengan 25% (hasil wawancara dengan

responden) selama proses transportasi dan pemasaran sampai ke pasar di tingkat

kecamatan dan kabupaten atau provinsi.

5.5. Sistem Pemasaran Jeruk Keprok SoE

Pada bagian ini pembahasan lebih banyak diarahkan untuk

mendeskripsikan tentang pola pemasaran, efisiensi dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya dalam rangka untuk mengetahui keadaan stakeholder dan

sistem distribusi pemasaran jeruk keprok SoE. Selain itu juga akan dibahas

tentang teknologi dan strategi pemasaran yang sudah dipraktekkan oleh para

stakeholders jeruk keprok SoE di daerah penelitian dalam rangka pilihan

kebijakan perbaikan sistem pemasarannya.

5.5.1. Pola Pemasaran Jeruk Keprok SoE

Pemasaran merupakan kegiatan penting yang harus dilaksanakan untuk

memperoleh nilai dan keuntungan dari produk yang telah dihasilkan. Dengan

adanya pemasaran maka setiap individu/kelompok akan memperoleh apa yang


211

mereka butuhkan dan inginkan dengan cara menciptakan dan mempertukarkan

produk dan nilai dengan individu/kelompok lain. Pemasaran adalah performansi

dari semua kegiatan yang perlu untuk konsepsi (filosofi bisnis), harga, promosi

dan distribusi dari ide, produk dan jasa untuk menciptakan nilai tukar yang

memuaskan tujuan individu dan organisasi (Burns & Bush, 2000). Sedangkan

apabila dipandang dari segi ekonomis, maka kegiatan pemasaran merupakan

kegiatan produktif karena dapat memberikan beberapa bentuk kegunaan yaitu

kegunaan tempat, kegunaan waktu, kegunaan bentuk dan kegunaan pemilikan dari

suatu barang atau jasa.

Proses pemasaran jeruk keprok SoE tidak terlepas dari peran serta lembaga

pemasaran. Adapun fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh lembaga

pemasaran di daerah penelitian adalah:

1. Petani produsen melaksanakan fungsi pertukaran (fungsi penjualan), fungsi

fisik (fungsi pengangkutan dan penyimpanan) dan fungsi penyediaan fasilitas

(fungsi penanggungan resiko, grading dan pembiayaan).

2. Pedagang pengumpul melaksanakan fungsi pertukaran (fungsi penjualan

dan pembelian), fungsi fisik (fungsi penyimpanan) dan fungsi penyedian

fasilitas yang meliputi standarisasi, grading dan pembungkusan.

3. Pedagang Pengecer melaksanakan fungsi pertukaran (fungsi penjualan dan

fungsi pembelian), fungsi fisik (fungsi penyimpanan), fungsi penyediaan

fasilitas (standarisasi dan grading).

Pemasaran jeruk keprok SoE melibatkan berbagai lembaga pemasaran.

Lembaga pemasaran yang dimaksudkan adalah badan-badan yang

menyelenggarakan kegiatan atau fungsi pemasaran terhadap jeruk keprok SoE,


212

mulai dari petani produsen sampai dengan konsumen akhir. Lembaga pemasaran

jeruk keprok SoE meliputi para petani produsen dan para pedagang baik di

tingkat desa, kecamatan, kabupaten maupun provinsi.

Yang dimaksudkan dengan petani produsen adalah mereka yang tugas

utamanya melaksanakan kegiatan usahatani jeruk keprok SoE, tetapi seringkali

juga aktif melakukan kegiatan pemasaran. Petani produsen memiliki beberapa

alternatif di dalam pemasaran jeruk keprok SoE yaitu menjual langsung ke

konsumen akhir atau menjualnya ke pedagang pengumpul atau ke pedagang

pengecer.

Yang dimaksudkan dengan pedagang pengumpul adalah mereka

(pedagang) yang aktif mengumpulkan dan membeli jeruk keprok SoE langsung

dari petani produsen dan menjualnya ke pedagang pengecer. Pedagang pengumpul

bisasnya berdomisili di desa, pusat kecamatan, kabuaten atau provinsi.

Pengumpul yang tinggal di desa atau kecamatan sangat dekat dengan lokasi

produksi jeruk keprok sehingga mereka mengenal dan menjalin hubungan baik

dengan petani produsen.

Pedagang pengecer adalah pedagang kecil yang menjual jeruk keprok

SoE langsung kepada konsumen akhir atau kadang kala kepada pengecer lain.

Pedagang pengecer ini menjual beraneka ragam buah-buahan dan bahkan menjual

juga sayur-sayuran.

Dari uraian di atas diketahui bahwa pemasaran jeruk keprok SoE melalui

berbagai saluran dan tahapan sebelum mencapai konsumen akhir. Dari hasil

penelitian menunjukkan bahwa pemasaran jeruk keprok SoE secara keseluruhan

memiliki empat rantai pemasaran seperti terlukis pada Gambar 36. Perlu dicatat
213

bahwa pola pemasaran dengan empat rantai pemasaran ini berlaku untuk semua

zona pengembangan jeruk keprok SoE di lokasi penelitian.

Biaya Produksi
Rp.1 900 per kg
15 625
2 25%*

9 500 18 050
15 625
Margin Margin 2 425
Margin 6 113
7 600
Konsumen
1 Pedagang Akhir**
Petani Pedagang
Pengecer
Produsen Pengumpul
61%
3 9% Margin 8 538

4 5% 18 050 Margin 0

Gambar 36. Rantai Pemasaran Jeruk Keprok SoE, Tahun 2010

Keterangan: * : Jumlah petani yang menggunakan saluran pemasaran tersebut


**: Konsumen akhir berada di pusat kecamatan, Soe dan Kupang

1. Petani – Pengumpul – Pengecer – Konsumen Akhir (61%)


2. Petani – Pengecer – Konsumen Akhir (25%)
3. Petani – Pengumpul - Konsumen Akhir (9%)
4. Petani – Konsumen Akhir (5%)

Harga di tingkat petani adalah Rp 9 513 per kg di bulatkan


menjadi Rp 9 500 per kg (rata-rata dari kedua zona penelitian)

Persentase (%) pada setiap saluran adalah banyaknya petani yang

menggunakan saluran tersebut di dalam memasarkan jeruk mereka. Kenyataan

menunjukkan bahwa seorang petani menggunakan saluran pemasaran lebih dari

satu di dalam memasarkan jeruknya selama musim panen tahun 2010. Namun,

persentase petani yang dihitung pada gambar di atas adalah mereka yang

menggunakan saluran pemasaran tersebut lebih dari 75% dari volume penjualan

tahun 2010 dibandingkan dengan saluran lainnya (sehingga total pengguna


214

keempat saluran pemasaran tersebut adalah 100%). Hal ini ditujukan untuk

melihat saluran pemasaran mana yang paling banyak digunakan petani di dalam

menjual jeruk keprok mereka.

Margin yang dimaksudkan pada gambar di atas adalah selisih antara

harga jual (Rp) dengan harga beli (Rp) pada masing-masing pelaku pemasaran.

Pada tingkat petani, margin tersebut adalah sebesar Rp 7 600 per kg diperoleh dari

harga jual jeruk keprok kepada pedagang pengumpul dikurangi dengan besarnya

biaya produksi jeruk tersebut (Rp per kg), belum termasuk biaya pemasarannya.

Harga yang tercantum pada gambar di atas adalah harga jual dari masing-masing

lembaga pemasaran. Sedangkan harga jeruk di tingkat konsumen akhir sebesar Rp

18 050 per kg adalah rata-rata harga eceran di tingkat konsumen di berbagai pasar

(kecamatan sebesar Rp 11 500, kabupaten sebesar Rp 18 000 dan provinsi sebesar

Rp 24 500 per kg). Sedangkan harga pada pasar kecamatan, kabupaten dan

provinsi itu merupakan harga rata-rata dari beberapa kelas jeruk keprok SoE yang

dijual secara kg dan borongan per pengepakan. Analisis margin pemasaran secara

detail tercantum pada pembicaraan tentang efisiensi pemasaran jeruk keprok SoE

poin 5.5.2 dari bab ini.

Dari gambar tersebut diketahui bahwa pada saluran satu, petani menjual

jeruk keprok SoE ke pedagang pengumpul, kemudian setelah melakukan

standarisasi dan grading seadanya, pedagang pengumpul menjualnya ke

pedagang pengecer dan terakhir pedagang pengecer menjual jeruk keprok SoE ke

konsumen akhir. Biasanya para pedagang pengumpul membeli jeruk di lokasi

usahatani atau di pasar yang paling dekat dengan usahatani. Kemudian mereka

menjual ke pengecer yang ada di pasar/tempat penjualan di wilayah kecamatan


215

atau di pasar/tempat penjualan di kabupaten di SoE (Ibu kota Kabupaten TTS)

atau ke pasar Provinsi di Kupang (ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur).

Saluran pertama ini paling banyak (61%) digunakan petani di dalam pemasaran

jeruk keprok SoE.

Banyak alasan petani sehingga mereka memilih saluran pertama ini,

antara lain petani tidak mengeluarkan biaya pemasaran, petani terhindar dari

resiko kerusakan dan kegagalan penjualan. Selain itu, ikatan hutang-piutang telah

menyebabkan petani memilih pedagang pengumpul desa sebagai saluran utama

pemasaran jeruk keprok mereka. Petani telah saling mengenal karena hubungan

kekerabatan atau pinjam-meminjam uang di desa mereka.

Pedagang pengumpul di dalam melakukan kegiatannya mengeluarkan

sejumlah biaya untuk melancarkan proses pembelian, standarisasi, grading dan

penjualan kembali jeruknya. Biaya pemasaran yang paling banyak digunakan

adalah biaya transportasi dan fasilitas pengepakan (tali, ember, karung dan

keranjang anyaman). Trasnportasi biasanya dilakukan dengan menggunakan

kendaraan umum. Pengepakan yang digunakan adalah karung plastik dengan

volume sekitar 40 kg, gardus dengan volume sekitar 42 kg atau ember plastik

bak. Demkianpun biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh para pengecer meliputi

biaya transportasi dan pengepakan.

Pada pola pemasaran yang kedua, para petani menjual jeruk keprok SoE

ke pengecer yang ada di pasar desa atau kecamatan atau di pasar kabupaten. Pada

pola ini para petani mengambil peran aktif untuk mendatangi pengecer yang

berada di pasar-pasar dan atau sebaliknya. Sekitar 25% dari total petani responden
216

yang melakukan pemasaran JKS dengan pola ini. Kemudian pengecer

memasarkan jeruk tersebut ke konsumen akhir.

Hasil wawancara dengan para petani menunjukkan bahwa faktor-faktor

penting di dalam pemilihan pembeli-pembeli alternatif (para pedagang potensial)

adalah: kedekatan dengan tempat usahatani, memiliki reputasi yang baik, dapat

menawarkan harga yang bersaing, mempunyai keinginan untuk memberikan

informasi pasar, sering mengunjungi usahatani mereka dan pedagang yang pernah

menolong petani dalam pemenuhan kebutuhan pokok dan keuangan rumahtangga

mereka.

Pada pola pemasaran yang ketiga petani menjual jeruknya ke pedagang

pengumpul. Jumlah petani yang melakukan pemasaran jeruk dengan sistem ini

hanya sebanyak 9%. Kemudian pedagang pengumpul langsung memasarkan

jeruknya ke konsumen akhir.

Pada pola pemasaran keempat, petani secara langsung memasarkan

jeruknya ke konsumen di tingkat pasar kecamatan, kabupaten dan provinsi baik di

kota SoE maupun di kota Kupang.

Saluran yang paling banyak digunakan petani adalah saluran pertama (1)

yaitu 61% diikuti saluran kedua yaitu 25%, saluran ketiga sebanyak 9 % dan

saluran keempat 5%. Jadi para petani lebih banyak menyalurkan jeruknya ke

padagang pengumpul karena petani sudah saling mengenal dan bahkan karena

ada ikatan lain (kekerabatan, ijon atau penjualan di muka dan hutang) antara

pedagang di desa dengan petani.

Dari wawancara dengan beberapa pedagang pengecer di SoE diketahui

bahwa jeruk keprok SoE jarang dikirim ke kota lain karena harganya yang cukup
217

tinggi (Rp 18 050 per kg) dibandingkan dengan harga jeruk impor seperti lokam

dan kino dari Pakistan. Hal ini telah menyebabkan sulitnya pasaran jeruk keprok

SoE ke kota lain. Sebagai perbandingan harga jeruk keprok SoE dengan jeruk

keprok lainnya di kota Kupang adalah jeruk keprok Medan (Sumatra) sebesar Rp

16 500 per kg; jeruk keprok Manggarai (dari kabupaten Manggarai di pulau Flores

NTT) sebesar Rp 15 000 per kg; jeruk keprok impor dari China sebesar Rp 17 500

per kg dan jeruk keprok impor dari Australia sebesar Rp 19 200 per kg. (Catatan:

harga jeruk keprok SoE di kota Kupang dan untuk jeruk keprok lainnya adalah

harga yang berlaku di Supermarket Ramayana di kota Kupang pada bulan Juli

2010. Harga jeruk keprok Manggarai di Ruteng (ibu kota kabupaten Manggarai)

pada bulan Juli 2010(Adar dan Mella, 2010). Dari keadaan harga-harga antar

jeruk keprok dengan berbagai daerah asal yang berbeda itu, maka dapatlah

dikatakan bahwa petani di daerah TTS menghadapi kesulitan yang besar di dalam

memasarkan jeruk mereka ditambah lagi jika sistem usahatani jeruk keprok SoE

mereka belum efisien.

Mahalnya harga jeruk keprok SoE khususnya lebih banyak disebabkan

oleh kondisi infrastruktur terutama jalan dan transportasi mulai dari tingkat

usahatani sampai ke pasar yang kurang memadai. Dari kebun usahatani biasanya

di pikul ke tempat transportasi umum (kendaraan umum) atau dengan

menggunakan ojek kendaraan bermotor roda dua yang membutuhkan biaya tinggi,

sedangkan volume pengangkutan sedikit. Akibatnya, biaya per unit (per kg)

tinggi, sehingga harga jual juga harus tinggi.

Keadaan produksi jeruk SoE di daerah penelitian tahun 2010 sangat

rendah, sedangkan permintaan pasar cukup tinggi. Sebagai perbandingan,


218

produksi jeruk keprok SoE tahun 2007 adalah sebesar 7 431 ton, sedangkan tahun

2008 hanya 5 103 ton dan tahun 2009 sebesar 15 585 ton (Lampiran 1). Hal ini

telah menyebabkan jangkauan pasar jeruk keprok SoE beberapa tahun terakhir ini

hanya berada di sekitar kota SoE dan Kupang. Produksi yang rendah ini sebagai

akibat dari rendahnya tingkat teknologi yang diterapkan di tingkat usahatani

petani.

Selain masalah harga dan produksi jeruk keprok SoE, ketiadaan mitra

bisnis di dalam pemasaran juga merupakan kendala perluasan pangsa pasar jeruk

keprok SoE saat ini. Hasil wawancara dengan para petani menunjukkan bahwa

mereka sebagian besar (90%) tidak mengetahui pasar akhir produk yang mereka

hasilkan. Pasar akhir, jawaban responden, merupakan urusan para pedagang.

5.5.2. Efisiensi Pemasaran Jeruk keprok SoE

Efisiensi pemasaran merupakan ratio antara biaya pemasaran dengan

harga jual jeruk keprok SoE. Efisiensi pemasaran sering digunakan untuk menilai

prestasi kerja (performance) proses pemasaran suatu komoditi. Hasil perhitungan

performansi pemasaran pada berbagai lembaga pemasaran jeruk keprok SoE pada

tahun 2010 adalah seperti yang tercantum pada Tabel 50.

Dari Tabel 50 dan Gambar 37 diketahui bahwa harga jual jeruk keprok

SoE pada berbagai lembaga pemasaran sangat berbeda. Perbedaan ini

menggambarkan bahwa pola permainan pasar sangat menentukan harga jual atau

harga beli jeruk keprok SoE. Hal ini erat kaitannya dengan biaya yang dikeluarkan

oleh berbagai pelaku pasar tersebut. Semakin panjang saluran yang dilalui oleh

produk, maka semakin besar biaya yang dikeluarkan. Untuk menutupi biaya

tersebut maka para pelaku pasar akan menaikkan harga produknya. Selain itu juga
219

harga jual produk jeruk keprok SoE ini berbeda antar lembaga pemasaran

dikarenakan oleh perbedaan letak tempat tinggal atau jarak yang ditempuh oleh

pelaku pasar yang satu dengan yang lainnya.

Tabel 50. Tingkat Efisiensi, Margin dan Profit Pemasaran Jeruk Keprok SoE
Petani Di Daerah Penelitian

Saluran Biaya* Harga Efisiensi Farmer Margin Profit R/C


Pemasaran Rp/Kg Rp/Kg % Share (%) Rp/Kg Rp/Kg Rp

Zona Dataran Tinggi


Pertama 750.0 9 775.0 7.67 53.42 8 525.0 7 775.0 10.37
Kedua 450.0 15 750.0 2.86 86.07 2 550.0 2 100.0 4.67
Ketiga 650.0 9 775.0 6.65 53.42 8 525.0 7 875.0 12.12
Keempat 500.0 18 300.0 2.73 100.00 0.0 17 800.0 35.60

Zona Dataran Rendah


Pertama 925.0 9 250.0 10.00 51.97 8 550.0 7 625.0 8.24
Kedua 600.0 15 500.0 3.87 87.08 2 300.0 1 700.0 2.83
Ketiga 750.0 9 250.0 8.11 51.97 8 550.0 7 800.0 10.40
Keempat 650.0 17 800.0 3.65 100.00 0.0 17 150.0 26.38

Sumber: Lampiran 3.
Keterangan: *: Biaya terdiri dari biaya pengepakan, transportasi, peralatan dan
tenaga kerja (yang menjual jeruk keprok saja)

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa margin pemasaran

merupakan selisih harga jual dan harga beli pada tiingkat lembaga pemasaran

yang bersangkutan. Sedangkan efisiensi pemasaran merupakan rasio antara biaya

dan harga pemasaran jeruk keprok SoE. Bagian keuntungan yang diterima oleh

petani dapat dilihat pada nilai farmer share dari lembaga pemasaran tersebut.

Sebagai tambahan, profit pemasaran merupakan selisih antara margin dengan

biaya pemasaran pada lembaga pemasaran itu. Perhitungan detail pada masing-

masing pelaku (partisipan) dan lembaga pemasaran tercantum pada Lampiran 3.


220

12
10.00
10 Dataran Tinggi
Nilai Efisiensi (%) 8.11
Dataran Rendah
8
7.67
6 6.65
3.87
3.65
4

2 2.73 2.86

4 2 3 1

Saluran Pemasaran

Sumber: Tabel 50.

Gambar 37. Tingkat Efisiensi Pemasaran Jeruk Keprok SoE Antar Zona
Agroklimat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2010 ini jeruk keprok

SoE mengalami peningkatan harga yang cukup tinggi dibandingkan dengan tahun

sebelumnya. Namun data series harga tahunan di tingkat petani hampir tidak

terdokumentasikan dengan baik sehingga sulit untuk dibahas pada penelitian ini.

Berdasarkan saluran pemasaran yang dilalui, jarak dari petani produsen

ke konsumen, panjang saluran pemasaran yang dilalui dan sistem penetapan harga

yang dilakukan oleh petani maka beberapa indikator efisiensi pemasaran jeruk

keprok SoE dapat dilihat pada tabel dan gambar tersebut di atas. Dari data tersebut

diketahui bahwa secara rata-rata margin pemasaran yang terbesar terdapat pada

saluran pemasaran pertama dan ketiga yakni masing-masing sebesar Rp 8 537.50

per kg. Angka ini menunjukkan bahwa terdapat selisih yang cukup besar antara

harga yang diterima oleh petani produsen dengan harga yang dibayarkan oleh

konsumen akhir. Sedangkan margin pemasaran terkecil terdapat pada saluran

keempat. Dengan demikian berdasarkan indikator ini, maka pola saluran


221

pemasaran keempat merupakan saluran pemasaran yang paling efisien yang ada

pada kegiatan pemasaran jeruk keprok SoE pada tahun 2010. Trend yang sama

pula terjadi pada dataran tinggi dan dataran rendah, di mana saluran keempat

memberikan nilai margin yang terkecil dibandingkan dengan saluran-saluran

pemasaran lainnya.

Hal lain yang menunjukan bahwa saluran pemasaran keempat lebih

efisien dari yang lain adalah farmers’ share dan return to cost ratio (R/C).

Semakin besar nilai mutlak dari kedua indikator ini menunjukkan bahwa kegiatan

pemasaran pada pola pemasaran tersebut semakin efisien. Secara rata-rata, pada

saluran keempat bagian yang diterima oleh petani produsen sebesar 100%. Jika

diasumsikan bahwa biaya usahatani untuk memproduksi jeruk keprok soe adalah

sama untuk semua saluran pemasaran tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa

bagian keuntungan terbesar yang diterima oleh petani terdapat pada saluran

pemasaran keempat.

Demikianpun halnya dengan bagian rasio antara keuntungan dan biaya

pemasaran jeruk keprok SoE di TTS. Secara rata-rata, pada saluran pemasaran

keempat, petani produsen mendapatkan sebanyak Rp 30.39 untuk setiap satu

Rupiah biaya yang dikeluarkannya di dalam melakukan kegiatan pemasaran jeruk

keprok SoE. Pada saluran pemasaran pertama terdapat perbedaan yang cukup

besar antara Return to cost ratio yang diterima oleh pedagang pengumpul dengan

yang diterima oleh pedagang pengecer. Hal ini disebabkan oleh karena pedagang

pengumpul memiliki volume penjualan yang cukup besar dibandingkan dengan

volume penjualan yang dimiliki oleh pedagang pengecer. Akibatnya, pedagang

pengumpul lebih cenderung untuk mendapakan keuntunggan yang lebih kecil per
222

satuan biayanya dibandingkan dengan pengecer. Bila dibandingkan antar zona,

maka bagian keuntungan yang diterima oleh petani di dataran tinggi lebih besar

(Rp 35.6) dibandingkan dengan dataran rendah (Rp 26.4) per kg.

Semakin kecil nilai mutlak efisiensi biaya pemasaran yang terdapat pada

suatu saluran pemasaran, maka semakin besarlah tingkat efisiensi pemasaran pada

kegiatan pemasaran yang menggunakan pola pemasaran tersebut. Gambar 37

menunjukkan bahwa tingkat efisiensi yang paling tinggi pada kegiatan pemasaran

JKS secara rata-rata adalah pada pola pemasaran keempat, diikuti saluran

pemasaran kedua, dan seterusnya sampai dengan saluran pertama yang paling

tidak efisien. Nilai rata-rata efisiensi sebesar 3.17 menunjukkan bahwa satu persen

perubahan/kenaikan yang terjadi pada harga akan menyebabkan kenaikan biaya

pemasaran JKS sebesar 3.17 persen. Dengan demikian, kegiatan pemasaran yang

menggunakan saluran keempat akan lebih efisien dibandingkan dengan kegiatan

pemasaran pada pola-pola pemasaran yang lain. Lebih lanjut diketahui bahwa pola

pemasaran keempat pada dataran tinggi jauh lebih efisien (2.7%) dibandingkan

dengan daerah dataran rendah (3.65%).

Hal yang perlu diperhatikan bahwa pola pemasaran keempat ini

menggambarkan suatu kegiatan pemasaran yang sangat sederhana, tidak

melibatkan lembaga-lembaga pemasaran yang kompleks. Faktor pertimbangan

adalah bahwa para petani produsen memiliki modal (tenaga kerja dan uang tunai)

yang sangat terbatas. Pada hal untuk bisa mencapai konsumen akhir dengan

jangkauan wilayah pemasaran yang cukup luas diperlukan modal yang cukup

besar dan kemitraan pemasaran yang lebih luas. Namun, hanya sedikit saja (5%)

petani produsen yang melakukan kegiatan pemasaran pola yang keempat ini.
223

5.5.3. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Efisiensi Pemasaran Jeruk


Keprok SoE Di Daerah Penelitian

Tingkat efisiensi pemasaran jeruk keprok SoE dipenggaruhi oleh

beberapa faktor seperti harga jual, biaya pemasaran, panjang saluran pemasaran

dan hubungan antara petani produsen dan pedagang pengumpul maupun pengecer.

5.5.3.1. Harga Jual

Pada Tabel 50 di atas sudah digambarkan tentang harga jual jeruk

keprok SoE pada berbagai saluran pemasaran. Apabila harga jual ditingkat petani

rendah sedangkan harga yang dibayarkan oleh konsumen tinggi, maka margin

pemasaran akan semakin besar. Hal ini menunjukkan kegiatan pemasarn yang

semakin tidak efisien. Perbandingan antara tingkat harga jual ditingkat petani

dengan harga jual pada tingkat konsumen akhir akan menggambarkan besar-

kecilnya bagian keuntungan yang diterima oleh petani produsen. Semakin kecil

kesenjanggan antara harga yang diterima oleh petani produsen dengan harga yang

dibayarkan oleh konsumen akhir, maka bagian yang diterima oleh petani produsen

(farmer share) semkin besar. Dengan demikian, petani produsen semakin

termotivasi untuk mengahsilkan jeruk keprok SoE yang semakin banyak dan

berkualitas.

Faktor utama yang membuat perbedaan harga jual yang cukup besar pada

tingkat usahatani dan tingkat konsumen akhir adalah faktor tranportasi dan

teknologi pascapanen yang kurang memadai. Daerah sentra produksi jeruk keprok

SoE di daerah penelitian adalah pada daerah pedesaan dengan topografi berbukit

dan begunung. Hal ini sangat memperlambat arus lalulintas dan mempertinggi

biaya pemasaran komoditi pertanian. Teknologi pengepakan, perlakuan buah


224

sebelum dan selama pemasaran berlangsung sangat minim dipraktekkan oleh para

petani dan pedagang jeruk keprok SoE. Hal-hal tersebut sangat memperburuk

kualitas buah dan mempertinggi resiko kegagalan kegiatan pemasaran buah

tersebut. Perbaikan pada fasilitas transportasi dan teknologi pascapanen dapat

meningkatkan farmer share dan yang kemudian akan mempertinggi efisiensi

biaya pemasaran komoditi pertanian di daerah penelitian.

Harga jual jeruk keprok SoE pula sangat erat kaitannya dengan tingkat

pendapatan para petani produsen. Diharapkan bahwa semakin tinggi harga jual

jeruk keprok SoE di tingkat petani, maka semakin tinggi pula pendapatan yang

diperoleh mereka, dengan asumsi hal-hal lain tidak berubah. Pendapatan yang

semakin besar akan mendorong petani produsen untuk semakin banyak

menggunakan input modern di dalam ushatani jeruk keprok SoE mereka dengan

asumsi bahwa petani menyadari akan pentingnya input modern di dalam kegiatan

usahatani jeruk keprok SoE.

5.5.3.2. Biaya Pemasaran

Biaya pemasaran sangat berpengaruh pada efiseinsi pemasaran. Hal ini

erat kaitannya dengan besar-kecilnya harga jual jeruk keprok SoE pada konsumen

akhir. Semakin tinggi biaya pemasaran, maka ada kecendeungan harga jual yang

tinggi pada konsumen akhir dengan asumsi bahwa terjadi pasar persaingan bebas.

Keadaan ini mengakibatkan nilai mutlak efisiensi semakin besar, kegiatan

pemasaran tersebut semakin tidak efisien.

Kegiatan pemasarn di daerah penelitian merupakan kegiatan pemasaran

musiman. Transportasi sangat berpengaruh besar terhadap tinggkat biaya

pemasaran jeruk keprok SoE. Baik petani produsen maupun para pedagang
225

kebanyakan menggunakan transportasi umum untuk mebawa jeruk keprok SoE ke

pasar lokal dan pasar kabupaten di SoE dan pasar di Kupang. Hanya sedikit saja

para pedagang jeruk keprok SoE yang menggunakan kendaraan pribadi untuk

mengangkut jeruk keprok ke pasar. Kondisi jalanpun tidak mendukung untuk

menekan biaya pemasaran ke tingkat yang lebih rendah. Faktor-faktor seperti ini

erat kaitannya dengan efisiensi pemasaran.

5.5.3.3. Panjang Saluran Pemasaran

Panjang-pendeknya saluran pemasaran jeruk keprok SoE sangat

tergantung kepada banyak-sedikitnya lembaga pemasaran yang terlibat di dalam

kegiatan pemasaran tersebut. Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat di

dalam kegiatan pemasaran jeruk keprok, maka semakin panjang saluran

pemasaran yang dilalui oleh komoditi itu. Semakin panjang saluran pemasaran,

maka perbedaan harga yang diterima oleh petani produsen dengan yang

dibayarkan oleh konsumen akhir semakin besar. Hal ini bisa dimengerti karena

setiap lembaga pemasaran mengeluarkan biaya dengan demikian juga lembbaga

tersebut menginginkan keuntungan. Semakin besar perbedaan harga ini maka

akan semakin tidak efisien kegiatan pemasaran jeruk keprok SoE tersebut.

Keadaan infrastruktur dan teknologi pascapanen yang kurang memadai telah

menyebabkan kehilangan hasil yang sangat beragam di antara pola saluran

pemasaran JKS. Tingkat kehilangan hasil yang paling tinggi terjadi pada pola

pemasaran pertama, di mana pola pemasaran ini melibatkan banyak pelaku

pemasarannya. Tingkat kehilangan hasil terjadi selain disebabkan oleh panjangnya

saluran pemasaran, juga dikarenakan oleh minimnya teknologi penanganan


226

produk seperti teknologi pengepakan, fasilitas distribusi dan tempat penjualan

produk. Hal ini telah menyebabkan tingginya tingkat kehilangan hasil.

5.5.3.4. Hubungan antara Petani Produsen dan Pedagang

Variabel ini sangat erat kaitannya dengan pemilihan saluran pemasaran

yang akan digunakan oleh petani produsen di dalam kegiatan pemasaran jeruk

keproknya. Hasil penelitian mmenunjukkan bahwa 60% para petani produsen

mengenal para pedagang pengumpul jeruk keprok SoE karena para pedagang

tersebut bertempat tinggal di desa atau di pusat kecamatan terdekat. Oleh karena

itu para petani yang menggunakan saluran pemasaran pertama lebih banyak (61%)

dibandingkan dengan yang menggunakan saluran pemasaran lainnya. Saluran

pemasaran pertama merupakan saluran pemasaran yang cukup panjang dan

dengan demikian semakin tidak efisien.

Hasil penelitian mmenunjukkan bahwa sebagian besar (61.63% secara

rata-rata) petani produsen menunggu pedagang membeli jeruk keprok SoE mereka

pada tingkat usahatani (transaksi penjualan di kebun jeruk). Pada daerah dataran

tinggi, penjualan jeruk di tingkat usahatani lebih banyak (72%) dibandingkan

dengan daerah dataran rendah (51%). Para petani jeruk keprok SoE di daerah

sampel sangat takut dengan resiko kegagalan pemasaran jeruk keprok SoE mereka

di pasar. Dalam kondisi seperti ini petani produsen kurang memiliki kekuatan

untuk menentukan harga jual jeruk keprok. Petani seperti cenderung bertindak

sebagai “price taker”, mengikuti harga yang ditentukan oleh para pedagang yang

mendatangi usahatani mereka. Pedagang sering bertindak sebagai manager saluran

pemasaran (chain manager). Pada bagian lain para pedagang memanfaatkan

kebutuhan mendadak petani dengan melakukan penjualan di muka (forward sale)


227

pada saat jeruk keprok SoE masih hijau (sistem ijon). Secara rata-rata petani

responden yang melakukan sistem ijon ada sebanyak 28.3% dengan mayoritas

sistem penjualan (ijon) borongan per pohon (24.4%). Kedua keadaan tersebut

(takut resiko dan lemahnya posisi tawar petani) berakibat pada harga jual jeruk

keprok SoE yang sangat rendah. Dengan demikian farmer share semakin kecil.

Kegiatan pemasaran seperti ini merupakan suatu kegiatan pemasarran yang tidak

efisien.

Wawancara dengan para petani menyimpulkan bahwa informasi kunci

baik informasi teknis produksi maupun informasi pasar jarang di dapat oleh para

petani dari para pedagang. Informasi-informasi tersebut sering diperoleh para

petani pada saat mereka pergi berbelanja di pasar dan/atau dari para tetangga

mereka. Informasi pasar di tempat lain seperti informasi harga hampir tidak

pernah di dapat oleh para petani. Minimnya fasilitas komunikasi di daerah sentra

pengembangan jeruk keprok telah menghambat petani untuk mengakses

informasi, baik informasi harga maupun informasi teknologi lainnya yang

berkaitan dengan usahatani jeruk mereka.

5.5.4. Teknologi dan Strategi Pemasaran Jeruk Keprok SoE

McColl-Kennedy dan Kiel (1999) mendefinisikan strategi pemasaran

adalah suatu cara atau metode penggunan sumberdaya pemasaran (produk, harga,

promosi, tempat dan orang) secara terencana dan terkoordinasi dalam rangka

pencapaian tujuan pemasaran yang telah ditetapkan di dalam konteks lingkungan

organisasi pemasaran. Sedangkan Burns dan Bush (2000) memberikan definisi

strategi pemasaran sebagai suatu kegiatan seleksi pasar target, pasar tujuan dan
228

mendesain bauran pemasaran (produk/jasa, harga, distribusi/tempat, dan promosi)

yang perlu untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan dari pasar target. Pada

tulisan ini, pembahasan difokuskan pada cara dan metode yang digunakan oleh

petani produsen di dalam pemasaran jeruk keprok SoE-nya. Sedangkan teknologi

pemasaran yang dikonsepkan di dalam penelitian ini adalah semua peralatan

dan/atau fasilitas pemasaran produk yang digunakan untuk pendistribusiannya

dari produsen kepada konsumen, peralatan dan/atau fasilitas pasar/tempat

penjualan produk, dan peralatan dan/atau fasilitas promosi produk (McColl-

Kennedy dan Kiel, 1999; Chen et al., 2001; Owen et al, 1973; Wei et al., 2001;

Burns dan Bush, 2000; Highley dan Webb, 2001 dan Hawkins et al., 2001).

Teknologi dan strategi Pemasaran yang dipraktekkan oleh para petani

jeruk keprok SoE di daerah penelitian adalah sebagai yang tertera di dalam

penjelasan-penjelasan di bawah ini.

5.5.4.1. Dari Segi Produk

Konsep produk yang dimaksudkan adalah keseluruhan atribut dari bahan

mentah (material), warna, ukuran, berat, asesoris, penampilan, pelayanan kepada

konsumen, jaminan mutu dan label (brand) (McColl Kennedy dan Kiel, 1999 dan

Goletti & Samman, 2000). Gambar 38 menampilkan bentuk jeruk keprok SoE.

Kualitas jeruk keprok SoE (hasil uji selera konsumen di Denpasar dan

Kupang: Adar et al., 2006) sangat disukai dalam hal kemudahan dikupas (kulit

tidak lengket dengan daging buah), rasa, warna daging buah segar dan kulit buah

kuning keemasan. Jeruk berwarna kuning keemasan terasa lebih manis

dibandingkan dengan yang kulitnya kuning mulus bercampur kehijauan. Namun,


229

hanya sedikit konsumen yang mengenal jeruk keprok SoE. Hal ini dikarenakan

produk ini khas, walaupun pengepakan dan perlakuan produk sebelum dan selama

pemasaran belum dilakukan sesuai dengan tuntutan pasar target. Grading hanya

dilakukan oleh sebagian kecil (45%) pedagang jeruk keprok SoE. Petani hampir

tidak pernah mengetahui ukuran (diameter) buah jeruk yang dipasarkan. Petani

menjual JKS atas kelas-kelas berdasarkan besar-kecilnya buah. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ukuran buah jeruk keprok SoE sangat bervariasi mulai dari

yang paling kecil (diamter buah lebih kecil dari 3 cm) sampai dengan yang paling

besar (diamter buah lebih besar dari 9 cm) (Tabel 51). Sedangkan ukuran jeruk

impor dari Cina cukup seragam yaitu hanya berdiameter 5 sampai dengan 6 cm

saja.

Gambar 38. Jeruk Keprok SoE, Produk Unggulan Nasional, Spesifik Lokasi
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur

Tabel 51. Pengkelasan Jeruk Keprok SoE Berdasarkan Berat, Diameter dan
Jumlah Buah per Kg

Kelas Mutu Berdasarkan


Berat buah (gram) Diameter buah (cm) Jumlah buah/kg
Kelas Super > 220 gram > 8 – 9 cm 3-4 buah/kg
Kelas I 180-220 gram > 6,0 – 8 cm 5 -6 buah/kg
Kelas II 140-180 gram > 4.5 – 6.0 cm 7-8 buah/kg
Kelas III ≤ 140 gram ≤ 4.5 cm 9-10 buah/kg
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).
230

Bila dibandingkan dengan jeruk impor seperti kino dan lokam dari

Pakistan, berat buah jeruk keprok SoE yang berdiameter 6 cm adalah 185 gram,

sedangkan jeruk kino dan lokam dengan diameter sama hanya memiliki berat

buah sebesar 135 dan 140 gram secara berurutan. Dengan demikian, 1 kg jeruk

keprok SoE hanya terdiri dari 5-6 buah saja. Sedangkan 1 kg jeruk kino dan lokam

berisi 6-8 buah jeruk. Hal ini diduga karena jeruk impor sudah mendapat

perlakuan khusus sehingga kadar air dalam daging buah rendah.

Perlakuan produk ditingkat petani sebelum dijual hampir tidak ada.

Mayoritas (75%) para petani sampel mengijinkan buah jeruknya dipanen oleh

para pembeli. Hal ini erat kaitannya dengan metode penjualan yang dilakukan

oleh petani jeruk. Kebanyakan (88%) responden petani menjual jeruk dengan

didahului pembersihan sederhana, namun grading dan pemberian bahan kimia

tidak dilakukan (100% responden) seperti pewarnaan, pelilinan dan pengawetan

buah.

Perlakuan produk selama pemasaran tidak ada (dibiarkan secara

alamiah) baik yang dilakukan oleh petani maupun pedagang. Perlakuan produk

setelah pemasaran juga tidak ada, terutama untuk kegiatan evaluasi dan

monitoring dalam rangka mendapatkan indikasi tentang kualitas produk yang

mencapai konsumen akhir. Jaminan mutu/kualitas produk untuk konsumen tidak

ada. Tidak ada jaminan bahwa produk yang dijual dapat memenuhi selera

konsumen dan tidak membahayakan kesehatan konsumen.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar para petani dan

pedagang memakai karung palstik putih (rata-rata berisi 35-40 kg jeruk per

karung) dan gardus bekas pengepakan rokok gudang garam filter (rata-rata berisi
231

42 kg jeruk per gardus) sebagai pembukus buah jeruk. Teknologi pengepakan dan

fasilitas produk lainnya yang sederhana seperti yang sudah digambarkan di atas

telah menyebabkan jangkauan pasar jeruk keprok SoE pendek, yaitu sebagian

besar (99%) dipasarkan sampai di SoE, Kefa (ibukota kabupaten Timor Tengah

Utara) dan Kupang saja. Selain itu, jeruk keprok SoE belum ada yang dijual di

supermarket baik yang ada di Kupang maupun di kota lain. Akibat minimya

teknologi pra dan selama pemasaran berlangsung, jeruk keprok SoE hanya

sanggup bertahan di pasar paling lama 5 hari setelah panen. Sebagai

perbandingan, jeruk kino dan lokam dari Pakistan bisa bertahan 3 bulan di

pasaran. Hal ini disebabkan oleh adanya perlakuan pascapanen yang berteknologi

tinggi seperti pengaturan kadar air dalam buah, pengawetan buah dan pengepakan

yang sangat memadai.

5.5.4.2. Dari Segi Harga

Strategi harga yang dibahas pada bagian ini adalah strategi yang

digunakan baik oleh petani maupun oleh pedagang yang terlibat di dalam

pemasaran jeruk mereka. Adapun strategi harga yang diterapkan oleh pelaku

pemasaran jeruk keprok SoE adalah sebagai berikut:

1. Petani tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan strategi penentuan

harga bagi produk mereka. Harga jual atau harga dasar produk yang

ditentukan tanpa perhitungan ekonomi/untung rugi. Harga yang berlaku

adalah harga yang ditentukan oleh pedagang dan bersaing. Pedagang

pertama-tama menentukan harga. Kemudian petani memberikan tanggapan

atas harga yang ditawarkan pedagang tersebut, sampai pada titik persetujuan
232

harga. Banyak petani (88%) merasa bahwa harga yang ditawarkan oleh para

pedagang selalu lebih rendah sehingga perlu negosiasi (bargaining). Pada

umumnya para petani tidak puas dengan harga yang ditawarkan oleh

pedagang.

2. Pedagang menentukan harga berdasarkan biaya tanpa strategi lain. Biaya-

biaya yang diperhitungkan adalah biaya transportasi, pengepakan, pungutan,

dan tenaga kerja.

3. Pedagang kebanyakan mengikuti harga-harga para pesaing di pasar

terutama para pedagang yang sudah lama memasarkan produk-produk

pertanian di pasar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para petani produsen menjual jeruk

keprok dengan menggunakan beragam metode seperti yang tercantum pada Tabel

52. Dari tabel tersebut diketahui bahwa petani menggunakan beberapa metode

pemasaran JKS yakni penjualan di muka atau ijon, baik sistem penjualan per

pohon, per kg maupun per kebun; dan sistem penjualan pada saat panen, baik per

pohon, per kg maupun per kebun. Dari kedua metode penjualan tersebut (ijon dan

saat panen), maka metode penjualan pada saat panen mendominasi sistem

penjualan yang dipraktekkan oleh petani.

Bila diperhatikan data per zona, maka ada 31% petani contoh di zona

dataran tinggi yang melakukan penjualan ijon, sedangkan di zona dataran rendah

hanya 22%; dengan rata-rata secara total sebesar 28%. Sebagian besar (73.33%

petani di zona dataran tinggi melakukan penjualan per pohon pada saat panen,

sedangkan di zona dataran rendah hanya ada 32.22%. Pada saat panen, secara

rata-rata petani responden lebih banyak (73%) memilih metode penjualan dengan
233

sistem per kg. Di zona dataran rendah, jumlah petani yang menjual jeruk dengan

sistem per kg pada saat panen adalah sebanyak 63%, sedangkan di zona dataran

tinggi berjumlah 87% dari total responden. Dengan demikian, petani lebih banyak

memilih metode penjualan jeruk mereka dengan sistem per kg dan borongan per

pohon pada saat panen.

Tabel 52. Sistem Penjualan Jeruk Keprok SoE: Berdasarkan Jumlah Responden

Dataran Tinggi Dataran Rendah


Metode Penjualan
Rata-rata Max* Min* Rata-rata Max* Min*
Di muka (%):
per pohon 26.67 1.00 0.00 22.22 1.00 0.00
per kg 3.89 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00
per kebun 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Total Rata-rata 30.56 22.22

Saat panen (%):


per pohon 73.33 1.00 0.00 32.22 1.00 0.00
per kg 87.44 1.00 0.00 63.33 1.00 0.00
per kebun 1.67 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00
Total Rata-rata1 172.44 95.55

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).


1
Keterangan: : Beberapa petani melakukan penjualan campuran, sehingga total
% untuk penjualan pada saat panen adalah lebih dari 100%
*: Variabel dummy: max 1 dan min 0

Dari segi tempat penjualan, maka penjualan yang dilakukan di kebun

yang paling banyak dijalankan petani (62%) bila dibandingkan dengan tempat

penjualan lainnya. Zona dataran tinggi merupakan daerah yang paling banyak

(71%) petani contohnya yang memasarkan jeruk keproknya di kebun. Para

pembeli yang mendatangi kebun petani adalah pedagang pengumpul yang berasal

dari desa setempat atau desa tetangga yang paling dekat, dan paling banyak sudah
234

memiliki ikatan kekerabatan atau sudah saling mengenal atau karena ikatan

hutang di antara petani dan pedagang tersebut. Penjelasan secara detail tentang

metode penjualan jeruk keprok SoE daerah penelitian adalah sebagai berikut.

a. Penjualan di muka per pohon (forward sale by trees)

Metode ini diterapkan oleh petani (rata-rata 26% dari petani responden) pada

saat dua atau tiga bulan sebelum jeruk siap dipanen, terutama pada saat di

mana para petani sangat membutuhkan uang tunai. Sekitar bulan Januari,

Pebruari atau Maret, di mana jeruk sudah berbuah, petani pergi ke pedagang

pengumpul setempat (di kampung atau desa mereka), dan meminta pedagang

untuk datang melihat buah jeruk mereka di kebun. Setelah negosiasi dan

sudah ada kesepakatan harga per pohon, pedagang membayar setengah

bagian dari total harga per pohon dan sisanya akan dibayarkan pada saat

panen jeruk. Pedagang terkadang juga membayar dalam bentuk barang seperti

bahan makanan, pakaian atau radio, dan sebagainya. Setelah pedagang

membayar setengah bagian dari harga per pohon, maka semua buah pada

pohon jeruk tersebut menjadi milik pedagang dan petani memiliki kewajiban

untuk menjaga dan melindungi semua buah pada pohon tersebut baik dari

pencuri maupun hama-penyakit. Harga per pohon pada umumnya sangat

rendah yakni hanya Rp 4 000 per kg. Sebagai contoh, harga per pohon sekitar

Rp 100 000/pohon. Sebagai perbandingan, ketika petani menjual jeruknya per

kg, mereka bisa mendapatkan harga sekitar Rp 400 000 per pohon. Jadi, harga

penjualan dengan metode ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan penjualan

per kg pada saat panen. Strategi ini dipraktekkan oleh petani ketika mereka

sangat membutuhkan uang tunai untuk kepentingan pendidikan, pembelian


235

bahan makanan, pengobatan dan atau pembayaran pajak. Dengan semakin

tingginya keterlibatan LSM dan Pemerintah Daerah Kabupaten di dalam

memberikan bantuan dan kredit kepada petani dan keseringan mereka

memberikan informasi tentang kerugian penjualan di muka, maka metode ini

semakin tahun semakin berkurang (pers. Com dengan seorang petani).

b. Pernjualan di muka per kg (forward sale by kg)

Petani yang melakukan penjualan ini secara rata-rata hanya 4% secara total

dan semuanya terdapat di zona dataran tinggi. Proses penjualan ini sama

ceritanya dengan penjualan di muka per pohon, yang sering dilakukan petani

pada dua atau tiga bulan sebelum musim panen jeruk tiba yakni pada bulan

Januari, Februari atau Maret. Harga penjualan dengan metode ini juga lebih

kecil yakni sebesar Rp 4 250 per kg dibandingkan dengan penjualan per kg

pada saat panen sebesar Rp 9 500 per kg (harga rata-rata dari setiap

responden penelitian secara total). Strategi ini dipraktekkan oleh petani ketika

mereka sangat membutuhkan uang tunai untuk kepentingan pendidikan,

pembelian bahan makanan, pengobatan dan/atau pembayaran pajak tahunan

rumahtangga petani jeruk keprok SoE.

c. Penjualan per pohon pada saat panen (per tree sale at harvest)

Metode ini (sekitar 53% secara rata-rata) digunakan oleh para petani

responden pada saat jeruk sudah siap panen (dominan petani daerah dataran

tinggi). Petani merasa beruntung karena mereka tidak melakukan

pengepakan, mengeluarkan biaya transportasi dan melakukan penjualan di

pasar. Ketika buah jeruk sudah siap dipanen, petani pergi ke pedagang, atau
236

sebaliknya, dan melakukan negosiasi tentang harga jeruk per pohon. Para

pedagang boleh memanen jeruk beberapa tahap, biasanya dilakukan dua

tahap. Seperti pada metode pertama, pedagang memiliki seluruh buah yang

ada di pohon setelah ada persetujuan harga per pohon dan petani

berkewajiban menjaga buah pada pohon tersebut sejak pemanenan pertama

sampai dengan yang terakhir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga

jeruk per pohon pada saat panen rata-rata Rp 123 000,- per pohon atau Rp 12

300 per kg (dengan rata-rata produktivitas 10 kg per pohon). Namun tinggi-

rendahnya harga jeruk per pohon sangat tergantung pada banyaknya produksi

buah jeruk per pohon. Para petani merasa cukup beruntung dengan harga

setingkat itu, setelah mereka memperhitungkan semua biaya (biaya

pengepakan, tenaga kerja, transportasi dan pungutan di pasar) yang akan

dikeluarkan jika mereka menjual sendiri ke pasar.

Beberapa alasan mengapa petani lebih banyak menjual jeruknya dengan

metode ini:

 tidak ada biaya panen bagi petani

 petani aman dari gangguan transportasi, grading dan kehilangan hasil

 petani memiliki sedikit sekali informasi tentang harga jeruk di kota.

Menjual dengan metode harga per pohon menghindari petani dari akan

terjadinya harga yang rendah.

 petani dapat menjual dalam volume yang lebih besar bila dibandingkan

dengan jual per kg, sehingga menghemat biaya tenaga kerja.

Menjual jeruk per pohon pada saat panen hanya mungkin jika petani dan

pedagang cukup saling mengenal. Pedagang harus mempercayai petani


237

menjaga jeruknya setelah panen pertama dan mempercayai petani tidak

mencuri buah jeruk mereka yang masih tersisa di pohon. Para petani lebih

menyukai metode ini karena membawa dan menjual jeruk ke pasar akan

merendahkan status sosial mereka.

d. Penjualan per kilogram pada saat panen (per kg sale at harvest)

Secara keseluruhan ada 75% petani di lokasi penelitian melakukan penjualan

jeruk dengan metode per kg pada saat panen (87% petani di zona dataran

tinggi dan 63% petani di zona dataran rendah). Pada metode ini, petani

memanen sendiri jeruknya. Jika diperlukan, terkadang petani juga melakukan

grading dan pengepakan sederhana sebelum atau pada saat jeruk dipasarkan.

Petani atau anggota keluarganya membawa jeruknya ke pedagang di desa

atau di kota, atau mereka menjual sendiri di pasar yang ada di pusat

kecamatan, di pinggir jalan atau di pasar kota kabupaten atau provinsi, atau

hanya menjual di kebun saja. Bila dibandingkan dengan metode lainnya,

maka harga jeruk dengan metode ini lebih tinggi. Sebagai contoh, jika harga

jeruk dengan metode penjualan per pohon pada saat panen adalah sebesar Rp

5 200 per kg, maka penjualan dengan sistem per kg adalah sebesar Rp 12 000

per kg.

e. Penjualan per kebun pada saat panen (per farm sale at harvest)

Metode penjualan per kebun pada saat panen hanya dipraktekkan oleh petani

jeruk keprok di dataran tinggi. Pada saat jeruk siap panen, petani mendatangi

pedagang atau sebaliknya dan melakukan tawar-menawar harga jeruk per

kebun. Setelah ada kesepakatan harga dan pengamatan di lapangan telah


238

dilakukan, maka seluruh buah jeruk yang ada di dalam kebun menjadi milik

pedagang. Petani tetap bertanggung jawab terhadap jeruk yang sisa dari

panenan pertama sampai dengan panenan terakhir. Metode ini mirip dengan

metode pertama dan kedua. Selain itu, kondisi buah jeruk per pohon yang

terdapat di dalam satu kebun tidak sama. Ada pohon dengan jumlah buah

lebih besar dari 50 kg/pohon dan ada juga yang kurang dari 5 kg/pohon.

Harga jual per kebun sedikit lebih rendah bila petani menjualnya dengan

metode harga per pohon pada saat panen. Namun petani merasa cukup

beruntung dengan metode ini karena mereka terhindar dari biaya panen,

transportasi, pengepakan dan pungutan lainnya.

Petani hampir tidak melakukan penjualan JKS berdasarkan tingkat kelas

buah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah dikelaskan (oleh petani

pengecer dan pedagang) atas dasar berat, diameter dan jumlah buah per kg, maka

terdapat perbedaan harga jeruk antar kelas yang cukup besar (Tabel 53). Harga

jeruk yang dijual di muka adalah 49% lebih rendah (Rp 4 250 per kg) bila

dibandingkan dengan harga jual jeruk pada saat panen (Rp 8 800 per kg).

Sedangkan harga jual jeruk dengan sistem borongan adalah 44% lebih rendah (Rp

5 333 per kg) bila dibandingkan dengan metode penjualan per kg pada saat panen

(Rp 12 267 per kg). Harga jual jeruk maksimum terjadi pada jeruk kelas super

yakni Rp 24 500 per kg pada saat panen.

Para petani menggunakan metode penjualan yang berbeda sangat erat

kaitannya dengan luas kebun jeruk, tingkat pendapatan, harga jeruk pada tahun

tersebut, jumlah tenaga kerja keluarga, tingkat pendidikan petani dan jarak tempat

tinggal petani dengan pasar. Petani yang memiliki kebun jeruk yang agak luas
239

merasa mempunyai biaya rendah per pohon dan perbedaan penjualan dengan

metode per pohon dan per kg juga besar. Sehingga petani dengan jumlah pohon

jeruk yang lebih banyak cenderung menjual jeruk mereka dengan metode

penjualan per kg.

Tabel 53. Rata-Rata Harga Jual Jeruk Keprok SoE Di Tingkat Petani Berdasarkan
Sistem Penjualan dan Kelas Mutu

Harga Jual (Rp/Kg) Dataran Tinggi Dataran Rendah


Berdasarkan Sistem
Penjualan dan Kelas Rata- Max* Min* Rata- Max* Min*
Mutu rata rata
Jual di muka: per
pohon dan per kg1) 4 250.0 4 500.0 4 000.0 4 250.0 4 500.0 4 000.0
Saat panen:

Per pohon & kebun 5 333.3 5 500.0 5 000.0 5 000.0 5 000.0 5 000.0
Per kg rata-rata2): 12 266.7 16 525.0 9 125.0 11 560.4 16 525.0 7 625.0
Kelas Super 16 000.0 24 500.0 12 500.0 14 645.8 24 500.0 9 500.0
Kelas I 13 358.3 17 600.0 10 000.0 12 470.8 17 600.0 8 000.0
Kelas II 11 208.3 16 000.0 8 000.0 10 750.0 16 000.0 7 000.0
Kelas III 8 500.0 12 000.0 6 000.0 8 375.0 12 000.0 6 000.0
Total Rata-rata 9 775.0 9 250.0

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).


Keterangan: *: dihitung dari petani secara individu dengan mengkonversikannya
ke kg pada saat panen (khusus untuk penjualan borongan per
pohon atau per kebun).
1)
: Rata-rata harga penjualan di muka per pohon dan kg
2)
: Rata-rata harga masing-masing kelas di tingkat petani (kebun),
pasar kecamatan, pasar kabupaten dan pasar Provinsi di Kupang.

Para petani dengan tingkat pendapatan usahatani yang tinggi cenderung

menjual jeruk mereka per pohon pada saat panen. Harga yang tinggi pada saat

musim jeruk pada tahun tersebut mendorong petani untuk menjual jeruknya

dengan metode penjualan per kg pada saat panen. Petani dengan jumlah anggota

keluarga yang besar memampukan mereka untuk memanen sendiri dan menjual

jeruk mereka dengan sistem per kg. Petani dengan tingkat pendidikan yang lebih
240

tinggi (formal atau informal) lebih suka menjual jeruk mereka per kg. Sama

halnya dengan petani dengan pengalaman berusahatani yang lama cenderung

menjual jeruknya dengan metode per kg. Pengangkutan merupakan isu penting

bagi petani yang tinggal jauh dari pusat pasar dan jalan raya yang tidak memadai.

Petani yang tinggal dekat dengan pasar atau jalan raya beraspal, memanen dan

menjual sendiri jeruk mereka dengan metode penjualan per kg.

5.5.4.3. Dari Segi Promosi

Secara ideal promosi penjualan dapat dilakukan dengan cara iklan,

demonstrasi penjualan, motivasi (sales force) dan publikasi. Namun di tingkat

petani hal-hal ini sulit dilakukan dengan tujuan pemasaran yang dipraktekan

adalah penjualan secara langsung, tanpa ada upaya untuk mempromosikan produk

dengan tujuan untuk meningkatkan volume penjualan. Pedagang hanya sebatas

memajangkan produk di pasar local atau dipinggir jalan (Gambar 39). Pemerintah

kabupaten bersama dengan Pemerintah Provinsi telah berupaya banyak

memperkenalkan jeruk keprok SoE ini di tingkat pusat (di Jakarta) dan kota lain di

Indonesia dengan mengikuti pameran pembangunan. Sebagai contoh, pada tahun

2010, Pemerintah Provinsi NTT telah mengikutsertakan jeruk keprok SoE dalam

pekan flora dan flori di Batam dan Gelar Buah di Istana Negara di Jakarta pada

tanggal 17 Agustus 2010. Selain itu, jenis promosi produk lainnya seperti

advertensi (periklanan) dan publisitas (seminar, tulisan ilmiah yang

dipublikasikan) juga sudah dilakukan oleh berbagai stakeholders seperti

Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga-Lembaga

Penelitian lainnya.
241

5.5.4.4. Dari Segi Distribusi: Tempat Penjualan

Pada bagian terdahulu telah dibahas lebih banyak tentang saluran

pemasaran jeruk keprok SoE. Pada sub bagian ini akan dibahas tentang distribusi

jeruk keprok SoE dengan fokus pada fasilitas dan strategi yang berkaitan dengan

tempat penjualan (point of sale).

Gambar 39. Personal Selling : Memotivasi Pelanggan dengan Cara Memajangkan


Produk di Pinggir Jalan Raya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa:

1. Jangkauan pemasaran jeruk keprok SoE masih sangat terbatas pada pasar

lokal di NTT (99%). Jeruk keprok SoE dikategorikan produk pertanian yang

mudah rusak. Keterbatasan sarana transportasi, gudang dan inventori turut

memperburuk kualitas jeruk keprok SoE.

2. Transportasi darat yang digunakan oleh petani dan pedagang untuk

mendistribusikan produk mereka adalah kendaraan umum (bus dan truk)

dimana jeruk diangkut bersama penumpang dan barang dagangan lainya.

Dari kebun atau rumah petani, jeruk keprok bersama dengan barang dagangan

lainnya terkadang dipikul (dengan tenaga manusia) yang cukup memakan

waktu dengan keamanan yang tidak terjamin dalam perjalanan menuju pasar

tujuan.
242

3. Gudang/tempat penyimpanan dan fasilitas pendingin (cool storage) selama

penyimpanan tidak tersedia baik di tingkat petani maupun di tingkat

pedagang. Akibatnya, tingkat kehilangan hasil pasca panen jeruk tinggi.

4. Peralatan lain untuk pendistribusian seperti box/peti pengangkutan produk

tidak ada. Jeruk dimasukan di dalam karung plastik atau keranjang bamboo

yang kasar atau gardus bekas pembungkusan rokok gudang garam sehingga

mudah rusak.

5. Tidak ada orang atau pedagang yang mengkhususkan diri memasarkan jeruk

keprok SoE, yang ada hanyalah pedagang komoditi pertanian secara umum.

Para pedagang dari desa sering ke pasar dengan membawa jeruk bersamaan

dengan komoditi lain seperti pisang. Petani ke pasar dengan tujuan ganda,

baik untuk menjual hasil pertanian mereka maupun untuk membeli barang

kebutuhan-kebutuhan pokok mereka. Tempat pemajangan produk terletak di

pasar tradisional (31.5%) dan dipinggir jalan raya (60%), Sisanya (8.5%)

tercecer. Sedangkan perbedaan tempat distribusi dan harga dalam pemasaran

JKS berdasarkan tempat penjualan adalah seperti tercantum pada Tabel 54,

Gambar 40 dan Gambar 41.

6. Saluran pemasaran yang paling banyak digunakan adalah dari petani ke

pedagang pengumpul sebanyak 61% (seperti yang sudah dijelaskan pada

bagian terdahulu bab ini).

Dari gambar-gambar tersebut dapat dilihat bahwa mayoritas (62%) petani

contoh secara rata-rata menjual jeruknya di kebun dengan harga yang paling

rendah bila dibandingkan dengan harga jual JKS di pasar-pasar lainnya.

Penjualan jeruk keprok di pasar provinsi di kota Kupang menempati urutan kedua
243

terkecil, namun harga jual jeruk sangat tinggi. Sebanyak 72% petani responden di

daerah dataran tinggi menjual jeruk mereka di kebun, sedangkan di daerah dataran

rendah adalah sebanyak 51% dari total petani respnden.

Tabel 54. Persentase Banyaknya Petani Berdasarkan Tempat Penjualan Jeruk


Keprok SoE

Dataran Tinggi Dataran Rendah Rata-rata


Tempat Penjualan %2
Rata-rata Max1 Min1 Rata-rata Max1 Min1
%2 Kg Kg %2 Kg Kg
Kebun 71,92 800,00 20,00 51,33 250 20 61,63
Pasar kecamatan 13,55 270,00 20,00 36,60 200 29 25,08
Pasar Kabupaten 4,85 200,00 30,00 5,73 200 35 5,29
Pasar propinsi 7,55 350,00 45,00 1,18 50 26 4,37
Lainnya3 2,13 30,00 2,00 5,15 13 2 3,64

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).


Keterangan: 1 : Nilai max dan min (kg) individual petani contoh, dalam satuan kg
(termasuk hasil konversi ke kg dari jumlah penjualan borongan)
2
: Persentase dari jumlah petani
3
: di pinggir jalan, tempat-tempat keramaian umum atau pedagang
keliling.

80
Persentase Penjualan (%)

70
Dataran Tinggi
60
50
40 Dataran Rendah
30
20
10
0
Pasar Pasar
Pasar
Kebun (%) Kecamatan Kabupaten Lainnya (%)
Provinsi (%)
(%) (%)
Dataran Tinggi 72 14 5 8 2
Dataran Rendah 51 37 6 1 5

Tempat Penjualan

Gambar 40. Persentase Petani Berdasarkan Tempat Penjualan Jeruk Keprok SoE
244

30000

Harga Jual (Rp)


25000

20000

15000

10000

5000

0
Pasar Pasar Pasar
Lainnya
Kebun (Rp) Kecamatan Kabupaten Provinsi
(Rp)
(Rp) (Rp) (Rp)
Dataran Tinggi 9775 12500 18000 24500 17000
Dataran Rendah 9250 11000 18000 24500 17000
Tempat Penjualan

Gambar 41. Perbedaan Harga Jeruk Keprok SoE Berdasarkan Tempat Penjualan

Keterampilan petani produsen dalam hal teknologi produksi dan

pemasaran jeruk keprok SoE sangat rendah. Teknologi pemasaran yang rendah ini

telah membuat komoditi andalan lokal ini memiliki pangsa pasar yang kecil,

sebatas di NTT (99%). Keadaan ini diperburuk dengan kondisi produktivitas lahan

yang rendah sedangkan permintaan pasar tinggi. Dengan kata lain, permintaan

terhadap jeruk keprok SoE di provinsi NTT sendiri melebihi penawaraanya.

Akibatnya, harga jeruk keprok SoE lebih tinggi dibandingkan dengan harga jeruk

sejenis lainnya, terutama jeruk impor yang beredar di pasar-pasar di provinsi Nusa

Tenggara Timur. Harga yang tinggi juga disebabkan oleh buruknya infrastruktur

seperti jalan usahatani di daerah-daerah sentra produksi jeruk keprok SoE.

5.6. Produksi dan Produktivitas Usahatani Jeruk Keprok SoE

Tingkat pendapatan usahatani JKS sangat erat kaitannya dengan jumlah

kepemilikan tanaman dan umur tanaman produktif. Kedua hal ini sangat

menentukan tingkat produksi dan penerimaan usahatani JKS.


245

Berdasarkan teori, tanaman jeruk keprok dari bibit yang berkualitas

dengan teknologi budidaya yang memadai akan dapat berbuah pada umur empat

tahun dengan jumlah produksi minimum 2 kg per pohon (Dinas Pertanian, 2010a).

Namun secara empiris di lapangan ditemukan bahwa tanaman jeruk keprok SoE

baru berbuah pada umur lima tahun dengan jumlah produksi hanya 0.6 kg per

pohon (di mana secara potensial seharusnya sudah memiliki produksi sebanyak 20

kg per pohon). Tabel 55 dan Gambar 42 menunjukkan jumlah produksi usahatani

jeruk keprok SoE pada musim produksi tahun 2009-2010, berdasarkan umur

tanaman yang dimiliki petani-petani responden pada saat penelitian ini

berlangsung.

Rata-rata produksi JKS petani contoh secara total adalah 281.3 kg per

petani dengan rentangan tertinggi terdapat pada daerah dataran tinggi (451.3 kg

per o.92 ha atau 487.5 kg per ha) dan daerah dataran rendah sebanyak 111.3 kg

per 0.41 ha (177 kg per ha) per petani responden. Bila diperhatikan per umur

tanaman, dari gambar-gambar tersebut diketahui bahwa jeruk keprok SoE

mencapai produksi maksimum pada umur tanaman 14 tahun setelah tanam dengan

rentangan umur 12 sampai dengan 18 tahun. Rendahnya produksi jeruk keprok

SoE di daerah dataran rendah erat kaitannya dengan kondisi agroklimat yang

kering dan kekurangan curah hujan bulanan selama musim hujan.

Sedangkan gambaran tentang produktivitas per pohon dari jeruk keprok

SoE di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 56 dan Gambar 43. Secara detail

perhitungan produksi dan produktivitas jeruk keprok SoE per desa-desa contoh

dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai Lampiran 8 dari hasil penelitian ini.

Ringkasan penjelasan tentang produktivitas diberikan di bawah ini.


246

Tabel 55. Rata-Rata Jumlah Produksi Jeruk Keprok SoE Petani Responden di Desa-Desa Contoh: Berdasarkan Umur Tanaman

Umur Tanaman (Tahun) 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20 Total Max Min


Dataran Tinggi (kg) 4,7 5,5 1,7 5,4 15,1 40,8 36,3 66,5 50,0 68,9 25,3 32,2 28,5 34,2 15,1 11,1 10,1 451,3 68,9 1,7
Dataran Rendah (kg) 1,66 2,51 3,71 3,9 7,1 11 13 14 12 12 9,64 7,75 4,88 2,59 2,77 1,49 1,44 111,3 13,7 1,4
Rata-Rata (kg) 3,2 4,0 2,7 4,7 11,1 26,1 24,9 40,1 30,8 40,4 17,5 20,0 16,7 18,4 8,9 6,3 5,8 281,3 41,3 1,6

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah); Lampiran 6, 7 dan 8.

80

70
Dataran Tinggi (kg/petani)
60
Produksi (Kg/Petani

Dataran Rendah (kg/petani)


50

40

30

20

10

0
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20
Umur Tanaman (Tahun)

Sumber: Tabel 55.

Gambar 42. Rata-Rata Produksi Jeruk Keprok SoE Berdasarkan Umur Tanaman
247

Tabel 56. Rata-Rata Produktivitas Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh: Berdasarkan Umur Tanaman

Umur Tanaman Rata- Max Min


(Tahun) 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20 rata
Dataran Tinggi 0,6 1,1 2,9 3,2 6,7 8,8 10,9 11,2 11,5 13,1 13,2 13,0 12,9 12,7 9,5 6,9 5,3 8,4 13,2 0,6
(kg/phn)
Dataran Rendah 0,7 1,0 1,6 2,2 2,8 5,7 5,7 6,6 6,9 6,3 7,3 5,1 4,9 3,9 3,5 2,4 2,2 4,0 7,3 0,7
(kg/phn)
Rata-Rata (kg/phn) 0,6 1,1 2,2 2,7 4,8 7,3 8,3 8,9 9,2 9,7 10,3 9,1 8,9 8,3 6,5 4,7 3,8 6,2 10,3 0,6

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah); Lampiran 6, 7 dan 8.

16
Produktivitas (Kg/Pohon)

14
12 Dataran Tinggi (kg/phn)
10 Dataran Rendah (kg/phn)
8
6
4
2
0
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20
Umur Tanaman (Tahun)

Sumber: Tabel 56.


Gambar 43. Rata-Rata Produktivitas Jeruk Keprok SoE Berdasarkan Umur Tanaman
248

Berdasarkan produktivitas per pohon diketahui bahwa produktivitas

tanaman jeruk keprok SoE mencapai maksimumnya pada umur 15 tahun setelah

tanam, musim produksi tahun 2009-2010. Setelah mencapai umur 17 tahun dan

seterusnya, produktivitasnya semakin menurun dan bahkan banyak tanaman mati

dan atau tidak berproduksi setelah mencapai umur 20 tahun lebih setelah tanam.

Berdasarkan teori diketahui bahwa jeruk keprok (dari bibit okulasi atau

cangkokan) tidak akan berproduksi dengan baik setelah tanaman sudah berumur

17 tahun. Hal ini berarti bahwa tanaman jeruk keprok sebaiknya diremajakan atau

diganti pada saat sudah mulai berumur 16-20 tahun.

Secara keseluruhan, rata-rata jumlah produksi JKS di daerah penelitian

adalah 281.3 kg per 0.66 ha (376.9 kg per ha) per petani, dengan rentangan 25

hingga 1 215 kg. Produktivitas JKS pada tahun 2010 adalah sebesar 6.2 kg per

pohon dengan range 0.6 hingga 11.3 kg per pohon produktif. Produktivitas

tertinggi terdapat pada tanaman yang sudah berumur 15 tahun setelah tanam. Bila

diperhatikan pada masing-masing zona, maka rata-rata jumlah produksi di zona

dataran tinggi jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan produksi di zona dataran

rendah. Rata-rata produksi jeruk di daerah dataran tinggi adalah 451.3 kg per 0.92

ha per petani, dengan rentangan 123 hingga 1 215 kg. Produktivitas lahan

usahatani jeruk di daerah ini sebesar 8.4 kg, dengan range 0.6 hingga 14.3 kg per

pohon produktif. Sedangkan rata-rata produksi di daerah dataran rendah adalah

111.3 kg per 0.41 ha per petani, dengan rentangan 25 sampai dengan 410 kg per

petani. Produktivitas lahan usahatani jeruk di zona dataran rendah ini adalah

sebesar 4.0 kg, dengan range 0.7 hingga 7.34 kg per pohon produktif.

Produktivitas tertinggi di daerah dataran rendah terjadi pada tanaman berumur 15


249

tahun. Perbedaan produktivitas jeruk keprok SoE lebih disebabkan oleh adanya

perbedaan penggunaan input produksi, inefisiensi teknis (kemampuan manajerial

petani), faktor lingkungan fisik dan non fisik (peraturan dan kebijakan lainnya).

5.7. Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usahatani Jeruk Keprok SoE

Rata-rata jumlah penjualan dari petani jeruk keprok SoE berdasarkan

metode penjualan dan kelas mutu tercantum pada Tabel 57.

Tabel 57. Rata-Rata Jumlah Penjualan Petani Jeruk Keprok SoE Berdasarkan
Sistem Penjualan dan Kelas Mutu

Dataran Tinggi Dataran Rendah Rata-


Metode Penjualan dan Rata
Kelas Mutu Jeruk Rata- Rata- (%)
% Max Min % Max Min
Keprok SoE rata rata

(Kg) (Kg) (Kg) (Kg) (Kg) (Kg)

Total produksi1) (kg) 451.32 100.00 1 215.00 123.00 111.27 100.00 410.00 25.00 100.00
Jumah yang dijual (kg) 441.68 97.87 1 200.00 115.00 104.57 93.98 385.32 20.00 95.92
Jual di muka per
pohon2) dan per kg(kg) 49.88 11.29 250.00 20.00 12.20 11.67 150.00 5.00 11.48
Saat panen
Per pohon dan per
kebun2) (kg) 130.37 29.52 800.00 25.00 30.90 29.55 250.00 6.00 29.53
Per kg (total kelas)3)
(kg): 261.43 59.19 1 155.30 115.00 61.47 58.78 283.50 9.26 58.99
Kelas Super (kg) 7.67 1.74 43.50 20.00 2.62 2.50 16.50 2.00 2.12
Kelas I (kg) 46.47 10.52 232.00 20.00 11.17 10.68 52.50 2.00 10.60
Kelas II (kg) 169.00 38.26 742.50 30.00 39.88 38.14 173.50 2.26 38.20
Kelas III (kg) 38.30 8.67 137.30 45.00 7.80 7.46 41.00 3.00 8.07
Jumlah untuk
konsumsi dan hal-hal
lainnya (kg) 9.63 2.13 30.00 2.00 6.70 6.41 23.00 1.00 4.27

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah); Lampiran 6, 7 dan 8.


1)
Keterangan: : Rata-rata produksi jeruk keprok petani per luas lahan garapan
usahatani jeruk kerpok SoE
2)
: Dikonversi ke kg oleh petani pada saat panen. Misalnya, satu
karung plastik putih biasanya berisi 40 kg jeruk keprok SoE
3)
: Total penjualan dari keempat kelas mutu jeruk tersebut

Di zona dataran tinggi, dari rata-rata produksi sebesar 451.32 kg per

petani contoh, jumlah yang dijual adalah sebesar 97.87% (441.68 kg) dan sisanya
250

(2.13%) untuk konsumsi dan kepentingan sosial lainnya. Rata-rata jumlah

penjualan di zona dataran rendah adalah 104. 57 kg atau sebesar 93.98% dari rata-

rata produksi per petani pada tahun 2010. Rata-rata penjualan adalah sebesar

97.1% dari jumlah produksi atau sebesar 273.13 kg ditujukan ke pasar. Dengan

demikian dikatakan bahwa usahatani jeruk keprok SoE sudah berorientasi pasar.

Dari segi metode penjualan, secara rata-rata, maka sebagian besar

(59.1%) petani menjual JKS mereka dengan sistem per kg pada saat panen dan

sisanya sebanyak 29.5% menjual dengan metode per pohon saat panen serta

11.4% menjual dengan sistem ijon (per pohon dan per kg). Bila dibandingkan

antar zona, maka jumlah penjualan per kg pada saat panen merupakan hal yang

penting bagi para petani di kedua daerah penelitian ini. Demikian pula halnya

dengan sistem penjualan borongan per pohon, di mana jumlah penjualan jeruk

petani tidak terlalu berbeda antar kedua zona penelitian. Persentase jumlah

penjualan jeruk petani di dataran tinggi dengan sistem ijon sedikit lebih rendah

(11.29%) bila dibandingkan dengan zona dataran rendah (11.67%).

Berdasarkan kelas mutu, maka secara rata-rata jumlah penjualan jeruk

keprok SoE yang paling banyak adalah jeruk kelas II sebesar 38.2%, diikuti kelas

I (10.6%) dan kelas III (8.4%). Sedangkan JKS dengan mutu terbaik (kelas super)

hanya sebesar 1.9%. Hal yang sama juga terjadi pada zona dataran tinggi di mana

jumlah penjualan dengan kelas mutu II merupakan hal yang dominan dilakukan

petani contoh di daerah penelitian. Jumlah penjualan jeruk keprok SoE dengan

kelas mutu II di daerah dataran rendah lebih banyak (39.9%) bila dibandingkan

dengan daerah dataran tinggi yang hanya berjumlah 38.3% dari total penjualan per

kg pada saat panen di masing-masing zona tersebut.


251

Berdasarkan data harga dari berbagai metode penjualan dan kelas mutu

seperti yang tercantum pada Tabel 53 di atas, maka penerimaan petani jeruk dapat

dihitung. Yang dimaksudkan dengan penerimaan di sini adalah jumlah produksi

yang dijual dikalikan dengan harganya, diukur dalam Rp per kg. Penerimaan

berdasarkan sistem penjualan dan kelas mutu yang dilakukan oleh petani

responden di daerah-daerah penelitian adalah seperti yang tercantum pada Tabel

58.

Tabel 58. Rata-Rata Penerimaan Petani Berdasarkan Sistem Penjualan dan Kelas
Mutu Jeruk Keprok SoE
Rata-
Dataran Tinggi Dataran Rendah Rata
Sistem
Penjualan dan Rata- Rata- (%)
Kelas Mutu rata1) % Max Min rata % Max Min

Penerimaan
total Rata-rata2)
(Rp) 3 875 251 100.0 2 4027 550 1 165 000 878 002 100.0 6 455 250 118 803 100.0
Penerimaan
(Rp/Ha) 4 185 271 25 949 754 1 258 200 1369 683 10 070 190 185 332 0.0

Jual di muka
per pohon dan
per kg (Rp) 212 004 5.5 1 125 000 80 000 51 850 5.9 675 000 20 000 5.7
Saat panen:

Per pohon dan


per kebun (Rp) 697 542 18.0 4 400 000 125 000 154 500 17.6 1 250 000 30 000 17.8
3)
Total per kg
(Rp): 2 965 705 76.5 1 850 2550 960 000 671 652 76.5 4 530 250 68 803 76.5

Kelas Super
(Rp) 122 800 3.2 891 750 250 000 38 323 4.4 338 250 19 000 3.8
Kelas I (Rp) 621 149 16.0 4 083 200 200 000 139 258 15.9 924 000 16 000 15.9
Kelas II (Rp) 1 896 206 48.9 11 880 000 240 000 428 746 48.8 2 776 000 15 803 48.9
Kelas III (Rp) 325 550 8.4 1 647 600 270 000 65 325 7.4 492 000 18 000 7.9

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).


1)
Keterangan: : Hasil perkalian data yang tercantum pada Tabel 53 (harga JKS)
dengan Tabel 57 (jumlah penjualan JKS berdasarkan metode
penjualan dan kelas mutu)
2)
: Penerimaan petani berdasarkan rata-rata luas lahan garapan
usahatani jeruk kerpok SoE
3)
: Total penerimaan dari keempat kelas mutu jeruk tersebut
252

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata penerimaan petani dari

usahatani jeruknya, secara rata-rata berjumlah Rp 3 422 342 per hektar. Bila

dibandingkan antar zona, maka penerimaan petani pada daerah dataran tinggi

lebih besar (Rp 4 185 271.4 per hektar) bila dibandingkan dengan daerah dataran

rendah yang hanya sebesar Rp 1 369 683 per hektar per petani contoh, pada tahun

2010. Usahatani JKS tidak cocok untuk daerah dataran rendah yang ekstrim

kering. Rendahnya penerimaan (per hektar) dari usahatani petani jeruk keprok

SoE mengindikasikan rendahnya tingkat pengelolaan usahatani tersebut, terutama

dalam hal penggunaan faktor-faktor produksinya dan pengaruh lingkungan fisik

(tingkat kekeritisan lahan dan iklim kering yang ekstrim) serta faktor non fisik

lainnya.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penerimaan terbesar

diperoleh dari sistem penjualan per kg pada saat panen (Rp 1 792 107.4 per

petani) atau sebesar 75% dari rata-rata penerimaan dan yang paling rendah

diperoleh dari sistem penjualan di muka (per pohon dan per kg) yakni hanya

sebesar Rp. 131 927 per petani) atau 5,6% dari rata-rata penerimaan petani JKS di

daerah-daerah penelitian selama musim panen tahun 2009-2010. Dari segi

persentase penerimaan terhadap jumlah penerimaan di masing-masing zona, maka

tidak ada perbedaan persentase penerimaan antar metode penjualan antar zona

daerah penelitian ini.

Tabel 58 juga menunjukkan bahwa besarnya penerimaan petani dengan

metode penjualan per pohon dan per kebun pada saat panen adalah sebesar Rp 416

606 per petani atau sebesar 18% dari rata-rata penerimaan per petani (18% untuk

dataran tinggi dan 17.6% untuk dataran rendah). Kontribusi penerimaan terbesar
253

dengan sistem per kg berasal dari penjualan jeruk kelas II yakni sebesar 48.8%,

diikuti kelas I sebesar 16% dan kelas III sebesar 8%. Perbedaan ini lebih

disebabkan adanya perbedaan harga dan jumlah penjualan per petani contoh.

Analisis pendapatan dilakukan untuk melihat seberapa besar biaya dan

keuntungan dari agribisnis JKS yang sudah dijalankan oleh petani selama ini.

Pendapatan usahatani dihitung dari selisah antara penerimaan dan biaya usahatani

jeruk keprok SoE per hektar. Dalam perhitungan biaya usahatani, hanya dua input

produksi yakni kompos dan tenaga kerja keluarga yang diperhitungkan karena

ketersediaan datanya. Selain itu, hanya kedua input tersebut yang dimanfaatkan

oleh petani. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, para petani responden tidak

menggunakan pupuk dan obat-obatan anorganik di dalam pengusahaan tanaman

jeruk mereka. Usahatani JKS adalah usahatani organik, tidak menggunakan zat-

zat kimia buatan di dalam proses produksi maupun pascapanen dan

pemasarannya.

Kompos dan tenaga keluarga yang dihitung sebagai komponen biaya

usahatani adalah yang digunakan petani untuk tanaman produktif selama musim

produksi tahun 2009-2010. Dengan demikian, biaya pembelian bibit, tenaga kerja

keluarga untuk persiapan lahan dan penanaman tidak diperhitungkan. Sedangkan

tenaga kerja untuk pemeliharaan tanaman produktif, panen, pascapanen dan

pemasaran diperhitungkan sebagai komponen biaya di dalam perhitungan

pendapatan petani ini. Rata-rata jumlah input yang digunakan oleh petani secara

rata-rata pada kedua zona adalah kompos 5.59 kg dan tenaga kerja keluarga 18.19

HOK (pemeliharaan 11.16; panen 3.18; pascapanen 1.63 dan pemasaran 2.23

HOK). Petani di daerah dataran tinggi menggunakan input yang lebih besar
254

dibandingkan dengan yang di daerah dataran rendah. Namun, penggunaan input

pada daerah penelitian semuanya masih berada di bawah standar operasional

prosedur (SOP) jeruk keprok SoE yang sudah diterbitkan sejak tahun 2006 dan

direvisi tahun 2010 (Dinas Pertanian, 2010b dan 2010c).

Rata-rata biaya usahatani JKS di daerah penelitian adalah seperti

tercantum pada Tabel 59. Dari tabel diketahui bahwa secara rata-rata biaya

usahatani produksi jeruk keprok SoE adalah sebesar Rp 399 738 per ha per petani

dengan rentangan maksimum Rp. 2 803 680 dan minimum Rp 112 320 per ha per

petani. Sedangkan biaya per unit produksi JKS adalah Rp 1 935.4 per kilogram

produksi jeruk keprok SoE. Komponen biaya input terbesar terdapat pada biaya

penggunaan tenaga kerja yakni sebesar 99% dari biaya total.

Tabel 59. Biaya Usahatani Jeruk Keprok SoE di Daerah Penelitian Per Hektar

Rata-
Biaya (Rp/Ha)
Rata
Input
Dataran Tinggi Dataran Rendah
Produksi
Rata- Rp/Ha
Rata-rata Max Min Max Min
rata
Kompos 7 668 64 800 2 160 2 496 30 810 0 5082
Tenaga Kerja 481 680 2 738 880 179 280 307 632 1 154 400 112 320 394 656
Total 489 348 2 803 680 181 440 310 128 1 185210 112 320 399 738
Biaya per unit
Produksi 1 084.3 2 786.4 1935.4
(Rp/Kg)
Persentase Kompos Tenaga Kerja Kompos Tenaga Kerja
(%) terhadap
biaya total 1.6 98.4 0.8 99.2
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).

Bila diperhatikan penggunaan input usahatani JKS pada masing-masing

lokasi sampel, maka dataran tinggi merupakan zona dengan penggunaan input

produksi tertingi (rata-rata biaya Rp 489 348 per ha) dibandingkan zona dataran

rendah dengan rata-rata biaya produksi sebesar Rp 310 128 per ha. Namun
255

komposisi biaya per unit produksi jeruk di daerah dataran rendah sangat besar

yakni Rp 2 786.4 per kg. Komponen tenaga kerja untuk kedua zona masih

menempati persentase terbesar dibandingkan dengan penggunaan input lainnya.

Tabel 60 menunjukkan besarnya penerimaan, biaya dan pendapatan

petani JKS per hektar selama musim produksi tahun 2009-2010. Pendapatan yang

dimaksudkan di sini adalah besarnya penerimaan dikurangi besarnya biaya

usahatani jeruk keprok SoE (per hektar per petani responden) di daerah penelitian.

Tingkat pendapatan rata-rata yang diperoleh petani secara keseluruhan sampel

adalah sebesar Rp 2 377 739.0 dengan rentangan maksimum Rp 23 146 074 dan

minimum Rp 73 011.9 per ha per petani.

Tabel 60. Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usahatani Jeruk Keprok SoE di
Daerah Penelitian
Rata-Rata
Dataran Tinggi (Rp/Ha) Dataran Rendah (Rp/Ha)
Penerimaan, Biaya
& Pendapatan (Rp/Ha)
Rata-rata Max Min Rata-rata Max Min

Penerimaan 4 185 271.4 25 949 754.0 1 258 200 1 369 682.7 10 070 190.0 185 331.9 2 777 477.03

Biaya 489 348.0 2 803 680.0 181 440 310 128.0 1 185 210.0 112 320.0 399 738.00

Pendapatan 3 695 923.4 23 146 074.0 1 076 760 1 059 554.7 8 884 980.0 73 011.9 2 377 739.03
Persentase
biaya/pendapatan1) 13.2 29.8 21.25
(%)
Penerimaan
271 745 000 257 150 000 264 100 000
Potensial2) (Rp)
Penerimaan
1.54 0.53 1.04
Aktual (%)
Peluang
peningkatan 98.46 99.47 98.96
penerimaan (%)

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).


1)
Keterangan: : % biaya terhadap pendapatan rata-rata setiap zona
2)
: jumlah tanaman per ha adalah 278 pohon produktif, jarak tanam 6
x 6 meter, dengan target produksi 50% dari produksi potensial
yakni 100 kg per pohon produktif (umur 12 tahun)

Bila dibandingkan antar zona, maka pendapatan petani di zona dataran

rendah (Rp 1 059 555 per ha) atau hanya sebesar 28.7% saja dari pendapatan
256

petani di daerah dataran tinggi (Rp 3 695 923.4 per ha). Maksimum pendapatan

petani di daerah dataran tinggi adalah Rp 23 146 074) dan dataran rendah Rp 8

884 980 per hektar per petani. Rasio biaya per pendapatan pada zona dataran

rendah jauh lebih besar (30%) bila dibandingkan dengan dataran tinggi (13%).

Berdasarkan hasil analisis pada tabel tersebut, maka diketahui bahwa

tingkat penerimaan rata-rata petani dari usahatani JKS masih sangat rendah yakni

hanya sebesar 1% dari penerimaan potensialnya (1.5% di zona dataran tinggi dan

0.5% di zona dataran rendah). Dengan kata lain agribisnis JKS di daerah

penelitian masih menyimpan potensi yang sangat besar (99%) untuk ditingkatkan

di hari-hari mendatang. Peluang peningkatan penerimaan yang sangat besar ini

hanya dapat dimanfaatkan jika petani dan pelaku agribisnis JKS lainnya mampu

mengalokasikan penggunaan input produksi, pasca panen dan pemasaran secara

efisien. Rendahnya tingkat produksi JKS (yang telah menyebabkan rendahnya

pendapatan petani) disebabkan oleh beberapa permasalahan yang terkait dengan

efisiensi teknis, kemampuan manajerial petaninya, kapasitas yang masih

tersimpan (idle capacity) karena ketiadaan investasi dan kondisi lingkungan fisik

dan non fisik usahatani jeruk keprok SoE tersebut. Pembahasan secara mendalam

tentang permasalahan-permasalahan ini akan dibahas pada bab berikut ini.


VI. ANALISIS PRODUKSI DAN EFISIENSI TEKNIS USAHATANI
JERUK KEPROK SOE DAERAH LAHAN KERING

Pada bagian ini akan dibahas hasil analisis pendugaan fungsi produksi

stokastik frontier dan efisiensi teknis serta faktor-faktor yang mempengaruhi

inefisiensi teknis petani JKS di daerah penelitian di Kabupaten Timor Tengah

Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Basis analisis dan pembahasan adalah

performansi antar zona dan ukuran usahatani dari efisiensi teknis usahatani jeruk

keprok SoE. Pembahasan dimulai dari pengujian perbedaan sistem produksi dan

dilanjutkan dengan pengujian hipotesis antar zona agroklimat dan ukuran

usahatani jeruk keprok SoE.

6.1. Analisis Perbedaan Sistem Produksi antar Zona Agroklimat dan Ukuran
Usahatani Jeruk Keprok SoE

Sebelum memilih bentuk fungsi translog sebagai bentuk fungsi yang

sesuai untuk digunakan di dalam penelitian ini, maka analisis perlu dilakukan

untuk mengetahui apakah sistem produksi antar zona dan ukuran usahatani jeruk

keprok SoE berbeda atau tidak. Untuk mencapai maksud tersebut maka penelitian

ini membagi responden berdasarkan zona agroklimat (dataran tinggi dan dataran

≥ 1 ha)
rendah) dan ukuran usahatani (< 1 ha dan pada daerah dataran tinggi.

Pembedaan ini perlu diuji terlebih dahulu karena pembedaan tidak akan berarti

jika sistem produksi petani jeruk keprok SoE antar zona dan ukuran usahatani

yang berbeda itu sama. Jika petani responden pada zona agroklimat dan ukuran

usahatani yang berbeda itu memiliki sistem produksi yang berbeda, maka analisis

perlu dilakukan secara terpisah agar kesimpulan dan saran kebijakan


258

pengembangan usahatani jeruk keprok SoE ditujukan secara spesifik lokasi dan

ukuran usahatani yang benar. Oleh karena alasan tersebut, maka perlu diuji

terlebih dahulu apakah terdapat perbedaan sistem produksi antar zona agroklimat

dan ukuran usahatani jeruk keprok SoE. Beberapa hasil analisis fungsi stokastik

frontier model translog adalah seperti tercantum pada tabel-tabel berikut dan

secara detail dapat dibaca pada Lampiran 10 dan 11.

Tabel 61. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dengan Dummy Zona Agroklimat
Dataran Tinggi dan Rendah pada Usahatani Jeruk Keprok SoE di
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2010
Variabel Koefisien Standar Error T hitung
Intersep (β 0 ) 2.997 0.257 11.654***
Jumlah Pohon Produktif (β 1 ) 0.438 0.042 10.389***
Kompos (β 2 ) 0.030 0.011 2.806***
Tenaga Kerja (β 3 ) 0.107 0.054 1.978***
Dummy Bibit (β 4 ) 0.239 0.154 1.555***
Dummy Zona (β 5 ) 1.007 0.084 12.030***
σ2 0.444 0.106 4.177***
γ 0.672 0.187 3.583***
LR 15.02***
Keterangan: *: nyata pada α = 1% dan **: nyata pada α = 5%

Hasil analisis fungsi produksi dengan memasukkan dummy zona seperti

tercantum pada Tabel 61 tersebut menunjukkan bahwa produksi jeruk keprok SoE

pada daerah dataran tinggi berbeda dengan sistem produksi jeruk keprok SoE pada

daerah dataran rendah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai varibel dummy zona (β 5 )

yang signifikan pada α = 0.01. Oleh karena itu, dalam pembahasan selanjutnya

akan dibedakan antara petani yang berada di daerah dataran tinggi dan daerah

dataran rendah.

Pendugaan fungsi produksi dengan memasukan variabel dummy ukuran

usahatani (β 5 ) juga telah dilakukan untuk menguji apakah sistem produksi pada
259

ukuran usahatani yang lebih kecil dari satu hektar (< 1 ha) berbeda dengan sistem

≥ 1 ha
produksi pada ukuran usahatani pada daerah dataran tinggi. Hasil

analisisnya adalah seperti yang tercantum pada Tabel 62 berikut ini.

Tabel 62. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dengan Dummy Ukuran Usahatani pada
Usahatani Jeruk Keprok SoE Daerah Dataran Tinggi di Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Tahun 2010
Variabel Koefisien Standar Error T hitung
Intersep (β 0 ) 5.326 0.406 13.117***
Jumlah Pohon Produktif (β 1 ) 0.222 0.061 3.695***
Kompos (β 2 ) -0.084 0.052 -1.620***
Tenaga Kerja (β 3 ) -0.004 0.055 -0.071***
Dummy Bibit (β 4 ) 0.622 0.180 3.464***
Dummy Ukuran Usahatani (β 5 ) -0.232 0.071 -3.281***
σ2 0.359 0.063 5.664***
γ 0.839 0.077 10.941***
LR 19.25***
Keterangan: *: nyata pada α = 1% dan **: nyata pada α = 5%

Dari Tabel 62 diketahui bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan

antara sistem produksi pada ukuran usahatani kecil (< 1 ha) dengan ukuran

usahatani ≥ 1 ha. Semakin kecil ukuran usahatani, maka produksi jeruk keprok

SoE semakin menurun. Hasil analisis menunjukkan bahwa pembahasan pada

masing-masing ukuran usahatani untuk daerah dataran tinggi perlu dilakukan

secara terpisah.

6.2. Pengujian Hipotesis dan Penentuan Model Fungsi Produksi Stokastik


Frontier Usahatani Jeruk Keprok SoE

Pada bagian ini ada dua hipotesis yang diuji. Hipotesis nol yang pertama

adalah bahwa model fungsi produksi translog memiliki nilai nol atau Ho:

β sk = 0; s ≠ k . Jika hipotesis ini benar, maka fungsi produksi frontier Cobb-


260

Douglas adalah sesuai untuk merepresentasikan data dari petani-petani jeruk

keprok SoE dibandingkan dengan bentuk fungsi produksi frontier translog.

Hipotesis nol yang kedua adalah bahwa tidak ada efek inefisiensi teknis

di dalam model fungsi produksi forntier atau Ho: γ = δ 0 = δ1 = ........... = δ 8 = 0 .

Jika hipotesis ini benar, maka fungsi produksi rata-rata tradisional atau ordinary

least square adalah sesuai untuk merepresentasikan data dibandingkan dengan

model fungsi produksi stokastik frontier bentuk translog.

Kedua hipotesis nol ini diuji untuk berbagai model analisis yakni untuk

dataran tinggi, dataran rendah dan semua ukuran usahatani pada zona dataran

tinggi; di mana model fungsi produksi stokastik frontier untuk semua unit analisis

tersebut adalah sama. Hasil pengujian hipotesis-hipotesis tersebut tercantum pada

Tabel 63 berikut ini.

Dari tabel tersebut diketahui bahwa hipotesis nol yang mengatakan

bentuk fungsi Cobb-Douglas lebih sesuai untuk merepresentasikan data

dibandingkan dengan translog ditolak untuk semua model analisis, baik antara

zona agroklimat maupun antar ukuran usahatani jeruk keprok SoE di daerah lahan

kering di NTT. Dengan demikian, maka bentuk fungsi translog telah dipilih untuk

diguanakan untuk merepresentasikan data dari petani-petani jeruk keprok SoE di

dalam penelitian ini. Hipotesis nol yang kedua yang menyatakan bahwa tidak ada

efek inefisiensi teknis di dalam model frontier juga ditolak untuk semua model

analisis, baik antara zona agroklimat maupun antar ukuran usahatani jeruk keprok

SoE di daerah lahan kering di NTT. Dari hasil analisis dan pengujian hipotesis-

hipotesis tersebut disimpulkan bahwa bentuk fungsi translog dan metode MLE

sesuai untuk digunakan di dalam analisis data dari penelitian ini.


261

Tabel 63. Pengujian Hipotesis untuk Parameter-Parameter Fungsi Produksi


Stokastik Frontier Translog Usahatani Jeruk Keprok SoE
Hipotesis Nol Log- LR df Critical Keputusan
Likelihood Rasio Value 5%

Dataran Tinggi -81.39


Ho : β sk = 0; s ≠ k . -97.50 32.20 6 12.59 Tolak H0

Ho : γ = δ 0 = δ1 = ........... = δ 8 = 0 -99.88 36.97 10 18.31 Tolak H0

Dataran Rendah -108.50


Ho : β sk = 0; s ≠ k . -135.90 54.80 6 12.59 Tolak H0

Ho : γ = δ 0 = δ1 = ........... = δ 8 = 0 -119.50 22.00 10 18.31 Tolak H0

Ukuran Usahatani < 1 Ha Zona


Dataran Tinggi -29.63
Ho : β sk = 0; s ≠ k . -39.70 20.20 6 12.59 Tolak H0

Ho : γ = δ 0 = δ1 = ........... = δ 8 = 0 -40.50 21.82 10 18.31 Tolak H0

Ukuran Usahatani≥ 1 Ha Zona


Dataran Tinggi -22.80
Ho : β sk = 0; s ≠ k . -29.70 14.20 6 12.59 Tolak H0

Ho : γ = δ 0 = δ1 = ........... = δ 8 = 0 -42.30 39.05 10 18.31 Tolak H0

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah); Lampiran 12, 13, 14 dan 15.

6.3. Model Empiris Fungsi Produksi Stokastik Frontier Jeruk Keprok SoE

Model fungsi produksi stokastik frontier yang digunakan di dalam

analisis ini adalah fungsi produksi translog. Bentuk fungsi ini lebih fleksibel dari

bentuk fungsi lainnya karena memiliki koefisien estimasi dari second order terms

dan interaksi antar variable-variabel input (Battese, 1992; Greene, 2000).

Variabel-variabel penjelas dalam fungsi produksi ini yakni jumlah pohon

produktif, umur tanaman produktif, kompos, tenaga kerja keluarga dan

penggunaan bibit okulasi. Secara teori dinyatakan bahwa penggunaan pupuk,

obat-obatan pengendalian organisme pengganggu tanaman, air irigasi, peralatan

pertanian, penjarangan buah dan pemangkasan (baik pemangkasan bentuk

maupun produksi) sangat besar pengaruhnya pada produksi JKS. Namun, para
262

petani di daerah penelitian tidak banyak yang menggunakan jenis input-input

seperti itu, sehingga tidak dimasukkan di dalam analisis.

Penelitian ini menggunakan model stokastik frontier dengan metode

pendugaan maximum likelihood estimator (MLE) yang dilakukan melalui proses

dua tahap. Tahap pertama menggunakan metode ordinary least square (OLS)

untuk menduga parameter teknologi dan input-input produksi ( ) dan tahap

kedua menggunakan metode MLE untuk menduga keseluruhan parameter faktor

produksi ( ), interssep ( ) dan varians dari kedua komponen kesalahan v i dan

u i (σ v2 dan σ u 2).

Estimasi maximum likelihood (MLE) untuk parameter fungsi produksi

stochastic frontier dari fungsi translog dan model efek dari inefisiensi teknis

dilakukan secara simultan dengan menggunakan paket computer program Frontier

4.1 dari Coelli (1996).

6.3.1. Analisis Fungsi Produksi Stokastik Frontier Pada Zona Agroklimat


Dataran Tinggi dan Rendah

Dua zona agroklimat yakni dataran tinggi dan dataran rendah memiliki

karakteristik yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Petani sampel di

masing-masing zona menggunakan teknologi produksi yang sama. Untuk

memperhitungkan perbedaan tingkat efisiensi teknis dengan teknologi yang sama

itu, maka model fungsi stokastik frontier diformulasikan dan dianalisis secara

terpisah. Jika tidak dilakukan analsis secara terpisah, maka koefisien estimasinya

akan bias (Greene, 2000 dan Wollni, 2007). Kondisi penggunaan input produksi

JKS petani contoh adalah seperti yang tercantum pada Tabel 64 berikut ini. Perlu

dicatat bahwa jumlah penggunaan kompos, tenaga kerja dan bibit okulasi adalah
263

jumlah input yang digunakan untuk tanaman produktif saja. Tenaga kerja yang

diperhitungkan adalah tenaga kerja keluarga yang digunakan untuk melakukan

pemeliliharaan tanaman produktif yakni penyiangan, pemupukan, pemberantasan

organisme pengganggu tanaman, pemangkasan dan penjarangan buah.

Tabel 64. Ringkasan Statistik dari Variabel-Variabel yang Digunakan di dalam


Model Stokastik Frontier Produksi Jeruk Keprok SoE di Daerah
Dataran Tinggi dan Rendah di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Variabel Dataran Tinggi Dataran Rendah
Mean Max Min Mean Max Min
Faktor Produksi

Produksi (kg) 487.30 1312.2 132.84 176.97 651.0 39.75


Jumlah Pohon Produktif (pohon) 63.00 223.00 13.00 44.00 106.0 9.00
Umur Tanaman Produktif (tahun) 14.45 21.70 7.00 11.94 21.8 6.50
kompos (kg) 7.67 64.80 2.16 3.50 49.5 0.00
Tenaga kerja Keluarga (HOK) 13.72 58.00 8.90 8.59 24.3 5.72
Bibit (dummy) 0.97 1.00 0.00 0.93 1.0 0.00

Faktor Inefisiensi
Penidikan (tahun) 7.41 12.00 1.00 7.91 16.0 3.00
Pengalaman (tahun) 19.93 37.00 9.00 14.13 35.0 7.00
KPPL (…kali) 0.78 3.00 0.00 0.64 2.0 0.00
Umur Petani (tahun) 48.70 60.00 36.0 47.34 63.0 25.00
SPL (dummy) 0.83 1.00 0.00 0.90 1.0 0.00
MP (dummy) 0.87 1.00 0.00 0.63 1.0 0.00
KKT (dummy) 0.66 1.00 0.00 0.52 1.0 0.00
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).

Keterangan: KPPL: kontak dengan petugas pertanian lapangan; SPL: sumber


pendapatan lain selain dari usahatani jeruk keprok SoE; MP:
metode penjualan; KKT: keanggotaan kelompok tani.

Tabel 65 menunjukkan hasil estimasi MLE parameter bersama dengan

nilai t dari model efisiensi frontier dari usahatani JKS di Kabupaten TTS tahun

2010, pada zona dataran tinggi dan dataran rendah. Tabel tersebut menunjukkan

hasil pendugaan bahwa nilai rasio generalized-likelihood (LR) dari fungsi


264

produksi stokastik frontier model ini adalah 36.97 untuk zona dataran tinggi dan

22.00 untuk zona dataran rendah.

Semua nilai LR adalah lebih besar dari nilai tabel. Nilai rasio secara

statistik nyata pada α = 5% untuk zona dataran tinggi dan dataran rendah yang

diperoleh dari tabel distribusi χ2 Chi Square. Artinya, semua fungsi produksi

stokastik frontier untuk kedua daerah penelitian tersebut dapat menerangkan

keberadaan efisiensi dan inefisiensi teknis petani di dalam proses produksi jeruk

keprok SoE.

Parameter γ dugaan merupakan rasio dari varians efisiensi teknis (u i )

terhadap varians total (ε i ) diperoleh nilai berkisar antara 0.94 untuk dataran tinggi

hingga 0.70 untuk dataran rendah. Secara statistik, nilai yang diperoleh tersebut

berbeda nyata dari nol pada α=5% untuk semua unit analisis. Angka ini

menunjukkan bahwa 94% (dataran tinggi) dan 70% (dataran rendah) dari variasi

hasil diantara petani responden disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis dan

sisanya sebesar 6% (dataran tinggi) dan 30% (dataran rendah) disebabkan oleh

efek-efek eksternal seperti iklim, serangan hama penyakit dan kesalahan

permodelan. Secara rata-rata, efek inefisiensi teknis terhadap produksi jeruk

keprok SoE di daerah penelitian ini adalah sangat besar (82%).

Di zona agroklimat dataran rendah, variabilitas output yang dihasilkan

adalah bukan saja berasal dari efek inefisiensi teknis, tetapi juga berasal dari

faktor-faktor eksternal (30%) yang lebih besar dibandingkan di zona dataran

tinggi (6%). Faktor eksternal tersebut antara lain adalah faktor kekeringan yang

berkepanjangan (lebih dari delapan bulan dalam setahun), angin kencang pada

saat jeruk berbunga (bulan Agustus-September) dan curah hujan yang rendah.
265

Tabel 65. Estimasi Parameter dan t Rasio Model Fungsi Produksi Stokastik
Frontier Menggunakan MLE di Dataran Tinggi dan Rendah

Dataran Tinggi Dataran Rendah


Variabel (Parameter)
Estimasi t rasio Estimasi t rasio
Model Stochastic Frontier:
Intersep (β 0 ) 0.802 0.255*** 5.730 1.005***
JPP (β 1 ) 1.555 1.931*** 0.714 0.786***
UTP (β 2 ) 0.006 0.035*** 3.008 1.790***
Kompos (β 3 ) 1.365 1.698*** 0.097 0.352***
Tenaga Kerja (β 4 ) 0.285 0.377*** 1.760 1.620***
0.5*JPP2 (β 5 ) -0.427 -2.968*** 0.071 0.435***
0.5*UTP2 (β 6 ) 0.995 1.818*** 1.615 1.949***
0.5*Kompos2 (β 7 ) -0.248 -1.580*** 0.114 3.270***
0.5* Tenaga Kerja 2 (β 8 ) -0.037 -0.235*** -0.187 -4.890***
JPP*UTP (β 9 ) 0.289 0.996*** 0.124 0.356***
JPP*Kompos (β 10 ) -0.032 -0.384*** 0.144 4.660***
JPP*Tenaga Kerja (β 11 ) 0.147 1.285*** 0.146 1.400***
UTP*Kompos (β 12 ) 0.259 1.665*** 0.085 1.637***
UTP*Tenaga Kerja (β 13 ) -0.131 -1.638*** -0.107 -2.098***
Kompos*Tenaga Kerja (β 14 ) 0.141 1.253*** 0.086 1.820***
Bibit (Dummy) (β 15 ) 0.634 2.605*** 0.198 1.990***
Elastisitas Produksi Parsial:
JPP 0.88 1.16
UTP 4.03 1.34
Kompos 1.05 1.18
Tenaga Kerja 1.16 1.81
Return to scale 6.12 5.49
Parameter Varians:
σ2 0.418 2.412*** 0.270 3.120***
γ 0.936 30.140*** 0.696 3.670***
Log-Likelihood -81.39 -108.5
LR 36.97* 22.00*
Responden 180 180
Luas Lahan JKS (ha/petani) 0.92 0.41
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah); Lampiran 12 dan 13.
Keterangan: *: nyata pada α = 5%; **: nyata pada α = 10%; ***: nyata pada α =
15%; JPP: Jumlah pohon produktif ; UTP:Umur tanaman produktif
266

Keadaan cuaca yang ekstrim kering (9-10 bulan kering, curah hujan yang

hanya 1500 mm dalam setahun) (seperti yang sudah dibahas pada Bab V) sering

merupakan faktor penentu keberhasilan usahatani jeruk keprok SoE di daerah

dataran rendah. Hal ini membuktikan bahwa rendahnya produktivitas JKS (4 kg

per pohon) di daerah dataran rendah lebih disebabkan oleh faktor-faktor selain

faktor inefisiensi teknis. Perbaikan teknologi produksi yang berkaitan dengan

kondisi agroklimat di daerah dataran rendah merupakan hal penting untuk segera

dilakukan. Untuk dapat menyesuaikan kondisi ekstrim kering di daerah dataran

rendah dengan varietas JKS, maka perbaikan bibit JKS yang sesuai dengan

kondisi tersebut mutlak dilakukan. Oleh karenanya, produksi benih yang khas

daerah dataran rendah perlu ditingkatkan. Upaya ini telah mulai dirintis oleh

Pemerintah Daerah Provinsi melalui Balai Benih Induk yang ada di Kecamatan

Batu Putih Kabupaten TTS dan di desa Nonbes Kecamatan Kupang Timur

Kabupaten Kupang. Kedua Balai Benih Induk itu ditujukan untuk melakukan uji

coba tanaman hortikultura khas daerah dataran rendah, termasuk jeruk keprok SoE

(pers.com dengan Kepala Balai Benih Provinsi Nusa Tenggara Timur).

Hipotesis yang menyatakan bahwa tidak ada efek inefisiensi di dalam

model (H0: γ=δ 0 =…..=δ 8 =0) adalah juga ditolak pada tingkat signifikan sebesar

5%. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan usahatani sampel baik di dataran

rendah maupun dataran tinggi di kabupaten TTS beroperasi di bawah frontier

efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE atau secara teknis belum mencapai

produksi maksimumnya. Sebagai perbandingan, hasil penelitian Boshrabadi et al.

(2006) menunjukkan bahwa nilai γ = 1, tidak menjadi persoalan di dalam studi

efisiensi teknis produksi suatu komoditas pertanian.


267

Tabel 65 tersebut juga menunjukkan bahwa tanda dan besaran dari

parameter yang diestimasi dari fungsi produksi stokastik frontier pada model

fungsi translog adalah sesuai dengan yang diharapkan. Nilai koefisien estimasi

dari semua variabel adalah positif. Tanda positif menunjukkan adanya hubungan

yang positif antara faktor-faktor produksi teknis tersebut dengan jumlah produksi

jeruk keprok SoE di daerah-daerah penelitian. Peningkatan penggunaan faktor-

faktor produksi tersebut akan meningkatkan produksi jeruk keprok SoE baik di

zona dataran tinggi, maupun zona dataran rendah. Tanda negatif untuk beberapa

variabel kuadratik dan interaksi menunjukkan bahwa produksi jeruk keprok SoE

menurun sejalan dengan bertambahnya penggunaan atau interaksi variabel-

variabel tersebut pada proses produksi.

Hasil perhitungan elastisitas produksi secara parsial (Tabel 65)

menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan faktor produksi seperti jumlah

pohon produktif, umur tanaman produktif, kompos dan tenaga kerja akan

memberikan peningkatan jumlah produksi jeruk keprok SoE. Semua faktor

produksi pada daerah dataran tinggi memberikan efek yang besar (elastis) pada

produksi jeruk keprok SoE, kecuali untuk jumlah pohon produktif. Pada daerah

dataran rendah, efek penggunaan faktor-faktor produksi tersebut di atas adalah

elastis. Pada daerah dataran tinggi, misalnya, peningkatan jumlah tanaman

produktif sebesar 10% akan meningkatkan produksi JKS sebesar 8%. Jumlah

tanaman produktif memberikan efek yang kecil (inelastis untuk unit analisis

daerah dataran tinggi) pada produksi JKS sejak jumlah kepemilikan tanaman

produktif per hektar dari petani responden masih sangat sedikit yakni 63 pohon

per ha dibandingkan dengan jumlah potensialnya sebesar 278 pohon per ha.
268

Angka-angka tersebut merefleksikan kenyataan ekonomi usahatani JKS yang

berskala kecil di daerah lahan kering di daerah penelitian ini.

Jumlah elastisitas faktor-faktor produksi tersebut adalah > 1 (increasing

return to scale). Hal ini mengindikasikan bahwa petani saat ini sedang

meningkatkan produksinya, yang dalam jangka panjang mereka dapat

menunrunkan biaya produksi per unit output dari usahatani JKS daerah lahan

kering,baik untuk daerah dataran tinggi maupun daerah dataran rendah.

Pada zona dataran tinggi, variabel-variabel yang nyata berpengaruh

terhadap produksi batas (frontier) petani responden adalah variabel jumlah pohon

produktif, kompos dan penggunaan bibit okulasi. Sedangkan variabel umur

tanaman produktif dan tenaga kerja keluarga ditemukan tidak berpengaruh nyata

terhadap produksi jeruk keprok SoE petani responden. Sedangkan pada zona

dataran rendah, terdapat tiga variabel yang berpengaruh nyata yakni umur

tanaman produktif, tenaga kerja dan penggunaan bibit okulasi. Pembahasan detail

dari hal-hal tersebut adalah sebagai berikut.

Jumlah Tanaman Produktif. Tanaman produktif yang dimaksudkan

adalah tanaman JKS yang sudah berumur ≥ 5 tahun. Hasil pendugaan seperti

tercantum pada Tabel 65 menunjukkan bahwa elastisitas produksi batas (frontier)

dari variabel ini ditemukan berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi JKS

pada daerah dataran tinggi. Jumlah tanaman produktif merupakan faktor produksi

penting di dalam peningkatan produksi jeruk keprok SoE. Respon produksi

terhadap tanaman produktif pada daerah dataran tinggi adalah positif, namun

inelastik (nilai elastisitas 0.9). Petani masih rasional jika mempunyai keinginan

untuk menambah jumlah pohon produktif. Hal ini bisa dibenarkan sejak jumlah
269

kepemilikan tanaman produktif petani sampel per hektarnya masih dibawah

jumlah tanaman yang dianjurkan pada standard operational procedure (SOP) jeruk

keprok SoE (Dinas Pertanian, 2010b).

Tren yang berbeda terjadi pada daerah dataran rendah (nilai elasttisitas

sebesar 1.2). Namun, pengaruh jumlah pohon produktif pada daerah dataran

rendah adalah positif dan tidak nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa

penambahan pohon produktif tidak memberikan variasi pada produksi jeruk

keprok SoE. Jadi JPP dianggap konstan. Petani belum mengusahakan JKS secara

besar-besaran karena adanya keterbatasan sumberdaya ekonomi (modal dan

tenaga kerja terampil) dan lingkungan fisik. JKS di daerah ini diusahakan pada

lahan yang sempit (44 pohon per ha per petani) dan kritis sehingga

produktivitasnya sangat rendah yakni 4 kg per pohon. Pengaruh faktor eksternal

terutama iklim yang ekstrim kering di dataran rendah ini cukup besar (30%)

terhadap variasi produksi JKS. Walaupun JPP tidak memberikan efek yang berarti

pada produksi, petani tetap mengusahakan tanaman ini karena sebagai suatu aset

ekonomi dan budaya (warisan, indikator umur dan prestise) yang penting.

Usahatani jeruk keprok SoE di daerah penelitian ini beroperasi di lahan

kering yang kritis yang sudah membutuhkan perubahan teknologi peningkatan

kesuburan untuk produktivitas tanaman yang tinggi. Sistem usahatani tradisional

menunjukkan fakta bahwa pada satu unit lahan terdapat variasi tanaman JKS yang

tinggi (baik yang produktif maupun yang non produktif). Share tanaman produktif

di daerah dataran tinggi adalah 32% dan dataran rendah sebanyak 55% dari total

kepemilikan tanaman jeruk per petani responden, seperti yang sudah dibahas pada

Bab V. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa kepemilikan tanaman jeruk


270

keprok SoE daerah penelitian pada musim produksi tahun 2009-2010 didominasi

oleh tanaman non produktif. Hal ini berarti bahwa petani masih memiliki peluang

peningkatan jumlah tanaman produktif di masa datang, jika pengelolaan kebun

mereka dilakukan secara baik dengan memperhatikan kesuburan lahan dan

teknologi produksi lainnya.

Kenyataan lain menunjukkan bahwa usahatani jeruk keprok SoE di

kabupaten TTS adalah usahatani pada lahan dengan kemiringan lebih besar dari

300 (sebesar 68%) (Bappeda, 2010) terutama untuk daerah dataran tinggi, tanpa

ada sentuhan teknologi konservasi seperti terasering, dan lain sebagainya. Lahan

dengan kemiringan seperti itu adalah rentan terhadap erosi tanah terutama pada

musim hujan pada bulan Desember-Maret. Di sisi lain, teknologi untuk

meningkatkan kesuburan lahan di tingkat petani sangat sederhana, bahkan hanya

membiarkan tanaman jeruk bertumbuh dan berkembang secara alamiah. Faktor

kesuburan lahan ini yang telah menyebabkan jumlah kepemilikan tanaman

produktif setiap petani contoh masih sangat rendah, dengan rata-rata 58 pohon (63

pohon per ha) untuk dataran tinggi dan 28 pohon (44 pohon per ha) untuk daerah

dataran rendah. Jumlah kepemilikan tanaman produktif ini masih sangat rendah

bila dibandingkan dengan jumah secara potensial yakni 278 pohon per hektar

(Dinas Pertanian, 2010b).

Umur Tanaman Produktif. Rata-rata umur tanaman produktif adalah

14.5 tahun untuk dataran tinggi dan 11.9 tahun untuk dataran rendah. Jeruk mulai

berproduksi pertama sejak berumur 5 tahun dan produksinya mulai menurun

setelah umur 15, 16 atau 17 tahun setelah tanam (seperti yang sudah

dideskripsikan pada Bab V tulisan ini). Semakin tua suatu tanaman jeruk, maka
271

tingkat efisiensi semakin meningkat (berdampak positif) dan setelah mencapai

umur teknis tertentu tingkat efisiensinya menurun (berdampak negatif). Informasi

dari variabel ini juga akan mendorong petani apakah dia akan melakukan

penanaman kembali (replanting), peremajaan atau tidak pada musim berikutnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur tanaman produktif pada

daerah dataran rendah berpengaruh positif dan nyata. Sedangkan pada zona

pengembagan jeruk keprok SoE di daerah dataran tinggi, umur tanaman produktif

berhubungan positif dan pengaruhnya tidak nyata. Semakin tua tanaman jeruk,

maka produksinya semakin meningkat (positif), tetapi tidak berpengaruh nyata.

Variabel ini dianggap konstan, di mana pertambahan umur tanaman tidak

menyebabkan variasi produksi JKS. Pada kondisi umur tanaman produktif 14.5

tahun pada dataran tinggi produksi sudah konstan. Dengan memperhatikan

kondisi produktivitas yang rendah (8.4 kg per pohon) dan konstan tersebut,

mengindikasikan perlu adanya perawatan JKS yang intensif.

Setelah umur 17 tahun, secara teknis dan fakta di lapangan menunjukkan

bahwa banyak tanaman jeruk yang mati. Hasil analisis variabel umur kuadratik

(bernilai positif) menunjukkan bahwa JKS yang dimiliki petani responden baik di

daerah dataran tinggi maupun dataran rendah masih berada pada kondisi umur

teknis dan belum mencapai umur produksi maximumnya. Kunci tinggi-rendahnya

produksi dalam hubungannya dengan umur tanaman adalah pemeliharaan dan

kondisi nutrisi tanaman itu sendiri. Lahan kering dengan kondisi lahan yang kritis

dan curah hujan yang rendah disertai dengan sistem pemeliharaan tanaman yang

tradisional atau tidak intensif telah menyebabkan umur tanaman jeruk keprok

pendek dan produktivitas rendah.


272

Jeruk keprok SoE adalah tanaman tahunan, sehingga dalam model

translog, umur tanaman produktif juga dimasukkan sebagai salah satu variabel

interaksi dengan variabel lainnya. Interkasi antara umur tanaman produktif dan

kompos menunjukkan pengaruh positif dan nyata pada produksi jeruk keprok

SoE. Interaksi antar umur tanaman produktif dan tenaga kerja adalah negatif dan

berpengaruh nyata pada produksi jeruk keprok SoE pada kedua zona penelitian

ini. JKS kurang diperhatikan oleh para petani responden. Semakin bertambahnya

umur tanaman, sebaiknya semakin mendapat perawatan yang lebih baik dari para

pengelolanya. Indikator ini menyarankan agar para petani lebih merawat tanaman

mereka secara intensif terutama untuk tanaman yang semakin tua, agar

produksinya meningkat sejalan dengan bertambahnya umur tanaman tersebut.

Faktor umur tanaman produktif merupakan input produksi JKS yang

sangat penting. Hasil analisis elastisitasnya menunjukkan bahwa faktor umur

tanaman produktif merupakan input produksi yang paling elastis dibandingkan

dengan faktor-faktor produksi lainnya, terutama untuk daerah dataran tinggi. Hal

ini mengindikasikan bahwa produksi JKS masih dapat ditingkatkan sejalan

dengan meningkatnya umur tanaman produktif. Hal ini dapat tercapai jika

penggunaan tenaga kerja dan kompos semakin intensif.

Kompos. Penggunaan kompos memberikan efek yang positif dan

berpengaruh nyata pada unit analisis pada daerah dataran tinggi. Peningkatan

penggunaan kompos memberikan efek yang besar dan elastis pada semua unit

analisis yakni 1.05 untuk daerah dataran tinggi dan 1.18 untuk daerah dataran

rendah. Jumlah dan kualitas kompos yang digunakan oleh petani sangat rendah

bila dibandingkan dengan standar operasional prosedur yang telah dibuat oleh
273

Dinas Pertanian NTT (2010b). Rata-rata penggunaan kompos petani contoh pada

daerah dataran tinggi selama musim produksi tahun 2009-2010 adalah 7.7 kg per

petani atau 0.12 kg per pohon produktif. Jumlah ini jauh lebih rendah bila

dibandingkan dengan jumlah yang direkomendasikan sebesar 20 kg per pohon

produktif (Departemen Pertanian, 2008c). Selain jumlah yang sedikit, kualitas

kompos yang diaplikasikan juga rendah.

Pada daerah dataran rendah, penggunaan kompos berhubungan positif

dan tidak memberikan efek yang berarti (dianggap konstan) bagi peningkatan

produksi jeruk keprok SoE. Walaupun penggunaan kompos masih berada jauh di

bawah standar teknis yang direkomendasikan (hanya 0.08 kg per pohon

produktif), kompos masih tetap digunakan oleh petani sebagai suatu sarana

produksi JKS daerah lahan kering. Kompos yang digunakan petani adalah bahan

organik yang langsung diambil dari kandang ternaknya sendiri, tanpa mengetahui

dengan pasti tingkat kandungan nutrien pupuk kandang tersebut. Selain itu, petani

responden juga hanya memberikan kompos pada tanaman produktif dengan

kondisi buah yang kurang lebat pada tahun berjalan. Cara pemberian kompos

seperti ini, dan juga kondisi kompos mentah yang diberikan pada tanaman jeruk

telah menyebabkan kompos belum memberikan efek yang berarti pada tahun

tersebut.

Penggunaan kompos dengan jumlah sedikit itu menggambarkan kecilnya

kemampuan petani untuk mendapatkan atau memproduksi dan menerapkannya

pada usahatani jeruk mereka. Kompos tersedia sangat dekat dengan usahatani

petani karena sebagian besar petani sudah mampu untuk memproduksinya sendiri.

Kondisi ini yang mendorong petani untuk tetap menggunakan kompos di dalam
274

usahatani mereka. Kearifan lokal yang turun-temurun, ditambah dengan

banyaknya lembaga swadaya masyarakat yang memberikan pelatihan pembuatan

pupuk organik untuk petani, telah menyadarkan petani akan pentingnya

penggunaan pupuk organik pada usahatani daerah lahan kering dan kritis sebagai

sumber unsur hara dan kelembaban tanah. Selain itu, hasil analisis interaksi

kompos dengan jumlah dan umur tanaman produktif adalah positif. Hal ini juga

mengindikasikan bahwa kompos merupakan faktor penting untuk peningkatan

produksi jeruk keprok SoE.

Perlu disadari bahwa usahatani jeruk keprok SoE adalah usahatani di

daerah lahan kering dengan sistem tradisional tanpa menggunakan zat-zat kimia

untuk membantu pertumbuhan tanaman jeruk petani. Sandaran utama peningkatan

produktivitas jeruk mereka adalah kesuburan tanah secara alamiah dan

penggunaan kompos. Pupuk organik ini dapat dijadikan andalan sejak usahatani

jeruk dilakukan pada daerah berbukit dengan kondisi lahan yang kritis, di mana

tingkat kesuburannya rendah. Akibatnya, tingkat produktivitas usahatani jeruk

masih sangat rendah.

Upaya perbaikan produktivitas lahan usahatani jeruk keprok SoE

merupakan prioritas pertama di dalam upaya peningkatan efisiensi teknis

produksi. Petani jeruk keprok SoE membutuhkan sentuhan teknologi intensifikasi

usahatani lahan kering yang sudah pada ambang kritis itu. Hal itu, misalnya dapat

dilakukan dengan pembuatan terasering lahan, penggunaan kompos berkualitas,

bibit berlabel biru, pengairan yang memadai, pemberantasan OPT yang

berkelanjutan, dan perbaikan keterampilan dan pengetahuan (kemampuan

manajerial) petani jeruk terutama bagi orang-orang muda.


275

Tenaga kerja. Pada zona dataran rendah, faktor produksi ini

berhubungan positif, elastis dan berpengaruh nyata pada α = 10% terhadap

produksi jeruk keprok SoE. Pada daerah dataran tinggi, penggunaan tenaga kerja

keluarga berhubungan positif, elastis dan berpengaruh tidak nyata dengan

produksi jeruk keprok SoE. Dengan demikian, variabel tenaga kerja dianggap

konstan atau tidak menyebabkan adanya variasi pada produksi. Efek tenaga kerja

terhadap produski masih belum nyata diduga disebabkan oleh penggunaan tenaga

kerja yang kurang profesional dengan tingkat pendidikan yang rendah (Sekolah

Dasar) dan jumlah penggunaannya masih sedikit. Tenaga kerja keluarga belum

serius mengelola jeruk keprok SoE. Mereka hanya menekuni usahatani jeruk

keprok SoE pada skala operasi yang kecil (< 1 ha). Ini berarti bahwa terdapat

kapasitas tenaga kerja yang masih belum didayagunakan (idle capacity), sebagai

akibat ketiadaan investasi dan permodalan petani. Tenaga kerja lebih tertarik pada

sumber pendapatan lain di luar usahatani jeruk. Akibatnya, usahatani jeruk tidak

terawat. Sedangkan pendapatan dari luar usahatani jeruk itu tidak digunakan

untuk menyewa tenaga kerja yang seharusnya lebih profesional untuk

pemeliharaan tanaman jeruk keprok SoE.

Penggunaan tenaga kerja keluarga untuk kegiatan pemeliharaan tanaman

produktif di dalam usahatani jeruk keprok SoE masih sangat kecil yakni hanya

13.72 HOK di daerah dataran tinggi dan 8.59 HOK untuk daerah dataran rendah

per musim produksi tahun 2009-2010. Jumlah ini masih sangat rendah (90% lebih

rendah) bila dibandingkan dengan standar penggunaan tenaga kerja sebesar 100

HOK untuk tanaman jeruk yang sudah berproduksi (Milla et al., 2002). Alokasi

penggunaan tenaga kerja yang sedikit ini dapat dijadikan indikator bahwa
276

usahatani jeruk keprok SoE merupakan usahatani sampingan bagi petani jeruk

pada proses produksi tahun 2009-2010. Kenyataan menunjukkan bahwa kebun

jeruk petani yang tidak terawat dengan baik, bukan dikarenakan oleh ketiadaan

tenaga kerja, namun lebih disebabkan oleh alokasi tenaga kerja keluarga petani ke

sumber-sumber pendapatan lain di luar usahatani jeruk.

Keanekaragaman kegiatan usaha rumahtangga petani jeruk seperti

kegiatan usahatani jagung, ternak dan ubi-ubian telah menyebabkan sedikitnya

perhatian petani pada usahatani jeruk keprok SoE. Selain itu, petani tidak

menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga yang lebih profesional di dalam

pengelolaan usahatani jeruk mereka. Hal ini disebabkan oleh rendahnya

kemampuan pembiayaan petani terhadap input produksi ini, sebagai akibat

rendahnya penerimaan dari usahatani jeruk keprok SoE.

Penggunaan bibit okulasi. Efek penggunaan bibit okulasi terhadap

produksi jeruk keprok SoE adalah positif dan nyata pada α = 5% untk daerah

dataran tinggi dan dataran rendah. Bibit okulasi yang digunakan petani tidak

berlabel biru (100%). Penggunaan bibit yang tidak berlabel tidak memberikan

jaminan tanaman yang sehat dan berproduksi tinggi. Bibit yang digunakan petani

untuk tanaman jeruk keprok yang sudah berproduksi sampai dengan tahun 2009-

2010 lebih banyak (65%) adalah produksi sendiri dan dari para penangkar lokal

yang tidak bersertifikat sebagai penangkar. Pasokan bibit dari Pemerintah sangat

sedikit, tidak mampu memenuhi kebutuhan petani jeruk setiap tahun. Di pihak

lain, 95% petani responden tidak mengetahui bagaimana cara untuk menghasilkan

bibit vegetatif (mencangkok, menempel, menyambung) yang berkualitas baik.

Petani responden pada umumnya (97%) tidak mengetahui penentuan bibit yang
277

baik atau bibit berkualitas (terutama dalam hal ukuran bibit, sumber batang

bawah, batang atas dan umur bibit yang siap tanam). Pelatihan pembuatan bibit

vegetatif berkualitas baik sangat perlu untuk segera dilakukan di dalam upaya

peningkatan efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE tersebut.

Hasil wawancara dengan petani responden menunjukkan bahwa sumber

bibit produksi petani sendiri bersumber dari pohon yang tumbuh di kebun mereka

sendiri yang bukan merupakan pohon induk yang sehat (belum terdeterminasi

oleh Dinas yang berwenang seperti Balai Sertifikasi Benih baik Kabupaten

maupun Provinsi). Selain itu, pohon sebagai sumber benih (yang sudah

dideterminasi) juga masih tetap berproduksi. Hal ini dibiarkan oleh petani, karena

pohon tersebut merupakan sumber produksi pada tahun berjalan. Idealnya, pohon

jeruk yang merupkan sumber benih vegetatif, selama menjadi pohon induk tidak

boleh berproduksi agar lebih sehat dan kuat.

Lima tahun terakhir (2006-2010) upaya Pemerintah Daerah Kabupaten

dan Provinsi didukung juga oleh Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat baik

lokal maupun internasional adalah memperluas areal tanam (jumlah pohon jeruk

keprok yang dimiliki petani) sebagai uapaya mengatasi terancam punahnya jeruk

keprok SoE yang tingkat kematiannya dari tahun ke tahun terus meningkat

(selama periode tersebut di atas). Pemberian anakan jeruk kepada petani adalah

dalam bentuk hibah. Salah satu dampak dari kebijakan ini adalah jumlah

kepemilikan tanaman jeruk keprok SoE yang belum menghasilkan pada tingkat

petani sampel lebih banyak (65%) dibandingkan dengan tanaman yang sudah

berproduksi (35%) (seperti yang sudah dibahas pada Bab V disertasi ini). Namun,

metode penanaman jeruk petani juga tidak memenuhi standar teknis budidaya.
278

6.3.2. Analisis Fungsi Produksi Stokastik Frontier Antar Ukuran Usahatani


pada Daerah Dataran Tinggi di Kabupaten Timor Tengah Selatan

Ringkasan statistik data yang digunakan di dalam fungsi produksi

stokastik frontier antar ukuran usahatani adalah seperti tercantum pada Tabel 66.

Tabel 66. Ringkasan Statistik dari Variabel-Variabel yang Digunakan di dalam


Model Stokastik Frontier Produksi Jeruk Keprok SoE di Kabupaten
Timor Tengah Selatan: Antar Ukuran Usahatani
Variabel Ukuran Usahatani
Ukuran < 1 Ha Ukuran ≥ 1 Ha
Mean Max Min Mean Max Min
Faktor Produksi:

Produksi (kg) 246.3 1021.0 132.8 433.3 1312.2 135.0


Jumlah pohon produktif (pohon) 57.0 182.0 13.0 56.0 223.0 18.0
Umur tanaman produktif (tahun) 14.7 19.3 7.0 14.29 21.7 7.5
kompos (kg) 6.9 26.5 2.2 10.54 64.8 8.4
Tenaga kerja (HOK) 11.35 58.0 4.8 14.36 45.09 8.9
Bibit (dummy) 0.96 1.0 0.0 0.98 1.0 0.0

Faktor Inefisiensi:
Penidikan (tahun) 7.27 12.0 3.0 7.51 12.0 1.0
Pengalaman (tahun) 17.78 33.0 9.0 19.61 37.0 9.0
KPPL (…kali) 0.82 3.0 0.0 0.77 1.0 0.0
Umur Petani (tahun) 48.55 60.0 36.0 48.80 58.0 37.0
SPL (dummy) 0.86 1.0 0.0 0.86 1.0 0.0
MP (dummy) 0.83 1.0 0.0 0.86 1.0 0.0
KKT (dummy) 0.66 1.0 0.0 0.70 1.0 0.0
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).
Keterangan: KPPL: kontak dengan petugas pertania lapangan;SPL: sumber
pendapatan lain selain dari usahatani JKS; MP: metode penjualan;
KKT: keanggotaan kelompok tani

Perlu diketahui bahwa jumlah kompos dan tenaga kerja keluarga yang

tercantum pada tabel tersebut adalah jumlah input-input yang digunakan hanya

untuk tanaman produktif selama musim produksi 2009-2010. Sedangkan bibit

(dummy) adalah jenis bibit okulasi yang digunakan petani untuk kondisi tanaman
279

jeruk yang masih berproduksi pada tahun 2009-2010. Hasil estimasi parameter

fungsi produksi stokastik frontier bentuk fungsi translog antar ukuran usahatani di

zona dataran tinggi adalah seperti tercantum pada Tabel 67.

Tabel 67. Estimasi Parameter dan t Rasio dari Model Fungsi Produksi Stokastik
Frontier dengan Menggunakan MLE
Variabel Para Ukuran < 1 Ha Ukuran ≥ 1 Ha
meter
Estimasi t-rasio Estimasi t-rasio
Model Stochastic Frontier:
Intersep β0 0.452 0.447*** 0.989 0.307***
JPP β1 2.643 2.844*** 2.465 2.979***
UTP β2 0.075 0.177*** 0.233 1.422***
Kompos β3 1.481 1.490*** 0.741 1.494***
Tenaga kerja β4 0.771 1.590*** 0.322 0.421***
0.5* JPP 2
β5 -0.904 -2.952*** -0.625 -3.802***
0.5*UTP2 β6 0.662 1.685*** 0.141 1.707***
0.5*Kompos 2
β7 -0.172 -0.607*** -0.314 -1.591***
0.5*Tenaga kerja2
β8 -0.071 -0.221*** 0.026 0.174***
JPP *UTP β9 0.892 2.129*** 0.409 0.667***
JPP *Kompos β 10 0.177 1.021*** 0.047 0.463***
JPP *Tenaga kerja β 11 0.330 1.480*** 0.071 0.626***
UTP*Kompos β 12 0.455 1.474*** 0.318 1.771***
UTP*Tenaga Kerja β 13 -0.193 -1.548*** -0.337 -1.737***
Kompos*Tenaga kerja β 14 0.073 0.379*** -0.007 -0.058***
Bibit (dummy) β 15 0.510 1.652*** 0.809 3.864***
Elastisitas Produksi Parsial:
JPP 2.53 1.34
UTP 5.72 1.64
Kompos 3.26 1.02
Tenaga kerja 1.55 1.56
Return to Scale: 13.07 5.55
Parameter Varians:
σ2 0.184 4.877*** 0.809 0.905***
γ 0.999 226.840*** 0.972 31.230***
Log-Likelihood -29.63 -22.78
LR 21.82* 39.05*
Responden (orang) 74 106
Luas Lahan JKS (ha) 0.76 1.19
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah); Lampiran 14 dan 15.
Keterangan: *: nyata pada α = 5%; **: nyata pada α = 10%; ***: nyata pada α =
15%; JPP: Jumlah pohon produktif ; UTP:Umur tanaman produktif
280

Perlu dicatat bahwa semua responden penelitian di zona dataran rendah

memiliki luas lahan usahatani jeruk keprok SoE kurang dari 1 ha. Dengan kondisi

tersebut, maka zona dataran rendah tidak dimasukkan di dalam analisis antar

ukuran usahatani (seperti yang dilakukan pada zona dataran tinggi). Ukuran

usahatani menentukan efisiensi (Bizimana dan Ferrer, 2004). Ukuran usahatani

sebesar satu ha dijadikan patokan dengan pertimbangan bahwa kebun jeruk

keprok yang didaftar untuk diregistrasi dan yang berhak mendapatkan sertifikasi

kebun dari Pemerintah (Pusat atau Daerah) adalah kebun jeruk yang berukuran

minimal 1 ha (pers.com dengan staf Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2010).

Tujuan analisis ini adalah untuk menentukan ukuran usahatani yang mana yang

memberikan nilai efisiensi teknis yang lebih tinggi, pada basis penggunaan

teknologi produksi yang sudah dipraktekkan oleh petani contoh di daerah

penelitian.

Di zona dataran tinggi, dengan rata-rata ukuran usahatani sebesar 0.76 ha

per petani (pada ukuran usahatani lebih kecil dari 1 ha) terdapat gangguan

inefisiensi yang sangat signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh adanya nilai gamma

yang sangat besar (0.99) dengan nilai rasio generalized-likelihood (LR) dari

fungsi produksi stokastik frontier lebih besar dari nilai tabel distribusi χ2 Chi

Square. Nilai rasio secara statistik nyata pada α = 5% untuk semua basis analisis,

baik pada ukuran usahatani kecil maupun luas. Artinya, semua fungsi produksi

stokastik frontier untuk daerah penelitian tersebut dapat menerangkan keberadaan

efisiensi dan inefisiensi teknis petani di dalam proses produksi jeruk keprok SoE

di daerah dataran tinggi di kabupaten Timor Tengah Selatan. Dengan kata lain,

inefisiensi merupakan masalah utama di dalam usahatani jeruk keprok.


281

Tanda dan besaran dari parameter yang diestimasi dari fungsi produksi

stokastik frontier pada model fungsi translog adalah sesuai dengan yang

diharapkan. Nilai koefisien estimasi dari semua variabel adalah positif. Koefisien

yang bernilai positif menunjukkan adanya hubungan yang positif antara faktor-

faktor produksi teknis tersebut dengan jumlah produksi jeruk keprok SoE di

daerah penelitian. Peningkatan penggunaan faktor-faktor produksi tersebut akan

meningkatkan produksi jeruk keprok SoE pada berbagai ukuran usahatani.

Dari Tabel 67, untuk ukuran usahatani yang lebih kecil dari satu hektar

diketahui bahwa variabel-variabel yang nyata berpengaruh terhadap produksi

batas (frontier) petani responden adalah variabel jumlah pohon produktif, kompos,

tenaga kerja keluarga dan penggunaan bibit okulasi. Sedangkan variabel umur

tanaman produktif ditemukan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi jeruk

petani responden. Sedangkan untuk ukuran usahatani yang ≥ 1 ha, semua variabel

berpengaruh nyata pada produksi jeruk keprok SoE, kecuali tenaga kerja.

Pengaruh jumlah pohon produktif terhadap produksi JKS adalah positif,

elastis dan nyata. Peningkatan jumlah pohon produktif akan memberikan nilai

ekonomi yang lebih tinggi kepada petani pengelola kebun jeruk keprok tersebut.

Estimasi elastisitas produksi (parameter dugaan pada fungsi produksi

stokastik frontier model fungsi translog tersebut) menunjukkan bahwa pada

ukursan usahatani ≥ 1 ha, pengaruh dari umur tanaman produktif lebih besar

(elastis) dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya. Peningkatan umur

tanaman produktif sebesar 10% akan memberikan peningkatan produksi jeruk

keprok sebesar 16.4% untuk ukuran usahatani yang lebih luas. Hal ini

mengindikasikan bahwa petani sangat diharapkan untuk tetap meningkatkan


282

perawatan tanaman produktif jeruk pada usahatani mereka agar umur ekonomis

tanaman tetap bertambah sejalan dengan pertambahan umur tanaman tersebut.

Dari data diketahui bahwa tanaman produktif milik petani responden masih pada

kondisi umur teknis yang produktif yakni 14 tahun. Hasil analisis fungsi kuadrat

umur menunjukkan bahwa tanaman jeruk keprok SoE pada daerah dataran tinggi

pada kedua ukuran usahatani itu berpengaruh positif dan nyata. Hal ini

mengindikasikan bahwa tanaman JKS yang dimiliki petani belum saatnya

diremajakan karena belum mencapai umur teknis dan produksi maksimum.yang

dibutuhkan petani adalah perawatan tanaman produktif yang intensif agar lebih

produktif dan efisien. Kurangnya perawatan tanaman produktif dapat diketahui

dari interaksi umur tanaman produktif dengan tenaga kerja (petani) yang

berpengaruh negatif dan nyata pada produksi JKS.

Hasil perhitungan elastisitas parsial produksi tersebut juga menunjukkan

bahwa kompos dan tenaga kerja memberikan efek yang besar (elastis) terhadap

produksi JKS. Kenyataan menunjukkan bahwa usahatani jeruk keprok daerah

lahan kering di Timor Barat masih merupakan usahatani organik, maka

peningkatan jumlah dan kualitas kompos adalah hal yang sangat penting.

Pertanian organik merupakan salah satu cara menghadapi tekanan globalisasi (di

bidang hortikultura), yang lebih mementingkan produktivitas yang tinggi dengan

teknologi modern (benih transgenik, pupuk kimia, obat hama) yang semuanya

hasil rekayasa kimia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan

kesehatan manusia; tanpa memperhatikan kondisi agroekologi setempat dan

keberlanjutan pertanian itu sendiri (Winangun, 2005). Namun, tuntutan ini sulit

untuk dipenuhi petani kecil dan tradisional yang memiliki masalah modal usaha.
283

Tenaga kerja hanya memberikan efek yang berarti dan paling elastis pada

usahatani kecil. Perlu diingat bahwa tingkat pendidikan petani JKS yang rata-rata

Sekolah Dasar dan kemampuan investasi petani yang rendah telah menyebabkan

petani hanya mampu mengelola usahatani kecil lebih baik dibandingkan dengan

usahatani yang lebih besar. Tenaga kerja upahan yang seharusnya lebih

profesional tidak digunakan petani responden karena kekurangan biaya usahatani.

Hal ini diduga telah menghasilkan analisis pengaruh tenaga kerja keluarga yang

tidak nyata pada produksi JKS untuk ukuran usahatani ≥ 1 ha.

Jumlah elastisitas faktor-faktor produksi JKS pada kedua ukuran

usahatani di daerah dataran tinggi adalah > 1 (increasing return to scale). Hal ini

mengindikasikan bahwa petani saat ini sedang meningkatkan produksinya, yang

dalam jangka panjang mereka dapat menunrunkan biaya produksi per unit output

dari usahatani JKS daerah lahan kering pada dataran tinggi. Petani masih sangat

rasional jika mempunyai keinginan untuk menambah jumah penggunaan faktor-

faktor produksi yang sudah ada pada usahatani jeruk keprok SoE mereka.

Pada usahatani dengan ukuran kecil (< 1 ha) dan besar (≥ 1 ha), respons

produksi terhadap semua faktor produksi yang digunakan adalah elastis. Faktor-

faktor produksi tersebut merupakan faktor-faktor produksi yang penting untuk

diperhatikan pada usahatani kecil dan tradisional, terutama tenaga kerja. Hasil ini

sangat sesuai dengan hasil penelitian Wollni (2007), Dhehibi et al. (2007) dan

Binswanger dan Sillers (1983). Kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan

bahwa tenaga kerja merupakan faktor produksi utama (padat karya) di dalam

usahatani kecil; sedangkan usahatani besar membutuhkan modal yang lebih besar

(padat modal) dibandingkan dengan tenaga kerja.


284

Selain itu, pada usahatani kecil (kurang dari 1 ha) sebaiknya kegiatan

usahatani lebih difokuskan untuk meningkatkan penggunaan tenaga kerja keluarga

agar pengelolaan kebun jeruk semakin intensif dan menarik minat petani.

Pengelolaan kebun jeruk secara intensif mungkin dapat meningkatkan nilai

ekonomi jeruk pada ukuran usahatani kecil, sehingga semakin menarik minat

petani untuk secara serius memperhatikan dan memelihara tanaman jeruk keprok

SoE di masa datang. Dengan strategi ini, petani dapat mengalokasikan tenaga

kerja keluarga yang lebih banyak di dalam pemeliharaan tanaman jeruk mereka.

6.4. Analisis Efisiensi dan Inefisiensi Teknis Produksi Jeruk Keprok SoE

6.4.1. Efisiensi Teknis Produksi Jeruk Keprok SoE

Efisiensi teknis dianalisis dengan menggunakan fungsi produksi stokastik

frontier model fungsi translog melalui pendekatan dari sisi input. Sebaran efisiensi

teknis hasil estimasi MLE dari model yang digunakan ditampilkan pada Tabel 68.

Hasil penelitian terdahulu (Kumbakar, 2001; Bakhsh, 2006; Ball, 1985;

Boshrabadi et al., 2006; Dhehibi et al., 2007a dan 2007b; Lambarraa, 2007;

Vedenov et al., 2007; Wollni, 2007) menunjukkan bahwa nilai indeks efisiensi

hasil analisis dikategorikan cukup efisien jika lebih besar dari 0.70. Dengan

menelusuri sebaran nilai efisiensi teknis per individu petani responden, ditemukan

bahwa pada dataran tinggi terdapat 50% dari total petani responden yang sudah

efisien atau secara konsisten telah mencapai tingkat efisiensi lebih besar dari 70%;

dengan rentangan minimum 0.21 hingga 0.95. Sedangkan jumlah responden

petani yang nilai efisiensinya berada di bawah 0.70 adalah sebanyak 50% juga. Di
285

sini terlihat bahwa separuh dari jumlah petani jeruk keprpk SoE menderita

permasalahan inefisiensi teknis di dalam produksi jeruk keproknya.

Tabel 68. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Responden Berdasarkan Zona

Efisiensi Teknis (%) Datarn Tinggi Dataran Rendah


Jumlah % Jumlah %
ET ≤ 20 0 0.00 0 0.00
20 < ET ≤ 30 14 7.78 3 1.67
30 < ET ≤ 40 14 7.78 15 8.33
40 < ET ≤ 50 18 10.00 34 18.89
50 < ET ≤ 60 18 10.00 28 15.56
60 < ET ≤ 70 26 14.44 42 23.33
70 < ET ≤ 80 39 21.67 40 22.22
80 < ET ≤ 90 42 23.33 18 10.00
ET > 90 9 5.00 0 0.00
Mean efficiency 0.65 0.607
Min 0.21 0.268
Max 0.95 0.885
% Petani yang efisien ( > 70%) 50 32.2

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).

Bila dibandingkan antar zona, maka jumlah petani yang cukup efisien di

daerah dataran tinggi lebih banyak (50%) bila dibandingkan dengan daerah

dataran rendah (32.2%). Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar (68%)

para petani jeruk di daerah dataran rendah menderita permasalahan inefisiensi di

dalam berusahatani jeruk keprok mereka. Hanya 5% petani di daerah dataran

≥ 90%. Petani di daerah dataran rendah


tinggi yang memiliki nilai efisiensi teknis

belum ada (0%) yang memiliki tingkat efisiensi teknis ≥ 90%.

Rentangan nilai efisiensi teknis petani jeruk keprok SoE di daerah

dataran tinggi 0.21 hingga 0.95; dengan nilai rata-rata sebesar 0.65. Sedangkan

nilai rata-rata efisiensi teknis untuk zona dataran rendah adalah 0.61 dengan nilai

terendah 0.27 dan nilai tertinggi 0.89 (Gambar 44). Hal ini menyarankan bahwa
286

baik pada daerah dataran tinggi maupun dataran rendah masih terdapat peluang

yang besar (> 40%) untuk meningkatkan efisiensi teknis produksi jeruk keprok

SoE dengan menggunakan teknologi dan sumberdaya yang sudah ada. Petani

responden masih memilikki kesempatan untuk memperoleh hasil potensial yang

lebih tinggi hingga mencapai hasil maksimal seperti yang diperoleh petani paling

efisien secara teknis. Dalam jangka pendek, petani JKS di daerah penelitian

berpeluang untuk meningkatkan produksi dengan menerapkan keterampilan dan

teknik budidaya yang digunakan oleh petani yang paling efisien.

Mean Efisiensi

0.92 Luas (Ha)

1,00
Mean Efiisiensi (%)

0.65
0,80 0.61
0.41
0,60
0,40
0,20
0,00 Zona
Dataran Tinggi Dataran Rendah

Sumber: Tabel 68.

Gambar 44. Rata-Rata Luas Usahatani dan Mean Efisiensi Antar Zona
Pengembangan Usahatani Jeruk Keprok SoE.

Sebaran efisiensi teknis berdasarkan pada zona dataran tinggi dan dataran

rendah pengembangan usahatani JKS di daerah penelitian dapat dilihat pada

Gambar 45 berikut ini. Dari Gambar diketahui bahwa jumlah petani di zona

dataran tinggi yang sudah menjalankan usahatani JKS secara efisien (dengan

tingkat efisiensi lebih besar dari 70%) lebih banyak dibandingkan dengan zona

dataran rendah. Perbedaan ini erat kaitannya dengan perbedaan penggunaan


287

faktor-faktor produksi, inefisiensi (kemampuan manajerial petani), idle capacity

dan kondisi lingkungan fisik dan non fisik (kebijakan) pada kedua daerah tersebut.

Dataran Tinggi 23.3


25,0 23.3
22.2
Dataran Rendah 21.7
% Jumlah Responden

18.9
20,0
15.6
14.4
15,0

10.0 10.0 10.0


10,0 7.8 8.3
7.8
5.0
5,0
1.7
0.0 0.0 0.0
0,0
ET ≤ 20 20 < ET 30 < ET 40 < ET 50 < ET 60 < ET 70 < ET 80 < ET ET > 90
≤ 30 ≤ 40 ≤ 50 ≤ 60 ≤ 70 ≤ 80 ≤ 90

Sebaran Nilai Efisiensi Teknis

Sumber: Tabel 68.


Gambar 45. Sebaran Efisiensi Teknis Produksi Jeruk Keprok SoE Pada Zona Agroklimat
Dataran Tinggi dan Dataran Rendah

Perbandingan nilai rata-rata efisiensi teknis antar ukuran usahatani di

daerah penelitian tercantum pada Tabel 69. Dengan menelusuri sebaran nilai

efisiensi teknis per individu petani responden antar ukuran usahatani (Tabel 69,

Gambar 46), ditemukan bahwa jumlah petani yang cukup efisien (dengan nilai

rata-rata efisiensi > 70%) di zona dataran tinggi dengan ukuran usahatani≥ 1 ha

adalah lebih banyak (43%) bila dibandingkan dengan ukuran usahatani jeruk

keprok yang lebih kecil dari satu ha (4%). Hal ini mengindikasikan bahwa

gangguan inefisiensi pada usahatani JKS yang lebih luas lebih kecil bila

dibandingkan dengan ukuran usahatani jeruk keprok SoE yang lebih kecil. Hal ini

juga dapat dilihat pada nilai gamma seperti yang sudah dibahas pada sub bagian

sebelumnya.
288

Tabel 69. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Contoh Berdasarkan Ukuran Usahatani
Pada Daerah Dataran Tinggi
Efisiensi Teknis (%) Dataran Tinggi
< 1 Ha ≥ 1 Ha
Jumlah % Jumlah %
ET ≤ 20 3 1.67 0 0.00
20 < ET ≤ 30 15 8.33 5 2.78
30 < ET ≤ 40 12 6.67 2 1.11
40 < ET ≤ 50 19 10.56 8 4.44
50 < ET ≤ 60 10 5.56 5 2.78
60 < ET ≤ 70 8 4.44 9 5.00
70 < ET ≤ 80 0 0.00 19 10.56
80 < ET ≤ 90 3 1.67 39 21.67
ET > 90 4 2.22 19 10.56
Mean efficiency 0.460 0.750
Min 0.165 0.238
Max 0.999 0.955
% Petani yang efisien ( > 70%) 3.9 42.8

Sumber: Data Perimer, 2010 (diolah).

25,00
ukuran Usahatani < 1 Ha 21.67

20,00 Ukuran Usahatani > = 1 Ha


% Jumlah Responden

15,00

10.56 10.56 10.56


10,00 8.33
6.67
5.56
4.44 5.00
5,00 4.44
2.78 2.78 2.22
1.67 1.67
1.11
0.00 0.00
0,00
ET ≤ 20 20 < ET 30 < ET 40 < ET 50 < ET 60 < ET 70 < ET 80 < ET ET > 90
≤ 30 ≤ 40 ≤ 50 ≤ 60 ≤ 70 ≤ 80 ≤ 90

Sebaran Nilai Efisiensi Teknis

Sumber: Tabel 69.


Gambar 46. Sebaran Efisiensi Teknis Produksi Jeruk Keprok SoE Antar Ukuran
Usahatani di Daerah Dataran Tinggi
289

Perbandingan antar ukuran usahatani menunjukkan bahwa hampir

seluruh (96%) petani dengan ukuran usahatani kecil (< 1 ha) menderita

permasalahan inefisiensi di dalam usahatani jeruk keprok SoE mereka. Tabel 69

tersebut juga membuktikan bahwa hanya 2.2% petani jeruk beroperasi di atas

tingkat efisiensi 90% pada ukuran usahatani kecil sementara 11% untuk ukuran

usahatani yang lebih besar (≥ 1 ha).

Tabel 69 dan Gambar 47 menunjukkan bahwa nilai rata-rata efisiensi

teknis untuk ukuran usahatani ≥ 1 ha di zona dataran tinggi lebih besar (0.75) bila

dibandingkan dengan ukuran usahatani yang lebih kecil dari satu hektar (0.46).

Hal ini menunjukkan bahwa semakin luas ukuran usahatani jeruk keprok SoE,

maka tingkat efisiensinya semakin tinggi. Dengan demikian diharapkan bahwa

petani dapat mampu meningkatkan ukuran usahataninya menjadi minimal satu ha

per petani jeruk keprok SoE.

1.19
Mean Efisiensi (%) dan Luas (Ha)

Mean Efisiensi Luas (Ha)


1,2

1 0.76 0.75

0,8
0.46
0,6

0,4

0,2

0
< 1 Ha ≥ 1 Ha
Ukuran Usahatani

Sumber: Tabel 69.


Gambar 47. Rata-Rata Luas Usahatani dan Mean Efisiensi Antar Ukuran
Usahatani Jeruk Keprok SoE di Daerah Dataran Tinggi
290

Tingkat pencapaian efisiensi teknis usahatani JKS berdasarkan kelompok

umur tanaman produktif baik berbasiskan zona agroklimat maupun ukuran

usahatani tercantum pada Tabel 70.

Tabel 70. Rata-Rata Produktivitas dan Efisiensi Teknis Usahatani Jeruk Keprok
SoE Berdasarkan Kelompok Umur Tanaman Produktif pada Zona
Agroklimat dan Ukuran Usahatani yang Berbeda

Kelompok Umur
Zona Agroklimat Ukuran Usahatani
Tanaman Produktif
(Tahun)
Dataran Dataran < 1 Ha ≥ 1 Ha
Tinggi Rendah
5 - ≤ 10 tahun:
Produktivitas (kg/Ha) 469.1 124.8 511.7 405.0
Efisiensi Teknis 0.61 0.60 0.41 0.75
Sebaran Efisiensi Teknis 0.21<ET≤0.93 0.33<ET≤0.87 0.24<ET≤0.79 0.45<ET≤0.93
%* 5.0 20.5 4.1 5.7
10 - ≤ 15 Tahun:
Produktivitas (kg/Ha) 482.2 176.9 597.3 461.8
Efisiensi Teknis 0.67 0.61 0.53 0.80
Sebaran Efisiensi Teknis 0.23<ET≤0.95 0.27<ET≤0.89 0.17<ET≤0.99 0.24<ET≤0.96
%* 57.0 73.9 56.8 57.5
15 - ≤ 20 tahun:
Produktivitas (kg/Ha) 489.0 210.1 551.9 441.0
Efisiensi Teknis 0.69 0.61 0.44 0.79
Sebaran Efisiensi Teknis 0.23<ET≤0.93 0.45<ET≤0.78 0.28<ET≤0.94 0.25<ET≤0.95
%* 37.0 5.6 39.1 35.8
> 20 Tahun:
Produktivitas (kg/Ha) 255.0 0.0 0.0 255.0
Efisiensi Teknis 0.64 0.0 0.0 0.66
Sebaran Efisiensi Teknis 0.0 0.0 0.0 0.0
%* 0.6 0.0 0.0 0.9
Sumber: Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi (Data Primer Tahun
2010, diolah).
Keterangan: *: Persentase terhadap total sampel

Dari Tabel 70 diketahui bahwa umur tanaman produktivitas yang berbeda

menunjukkan tingkat pencapaian rata-rata produktivitas dan efisiensi teknis, baik

pada basis zona agroklimat maupun ukuran usahatani, berbeda. Tingkat

pencapaian efisiensi teknis pada kelompok umur tanaman produktif 15 - ≤ 20

tahun tergolong tinggi untuk daerah dataran tinggi dan dataran rendah. Sedangkan

tingkat pencapaian efisiensi teknis tergolong tinggi untuk kelompok umur


291

tanaman produktif 10 - ≤ 15 tahun pada ukuran usahatani < 1 ha dan ≥ 1 ha.

Kelompok umur tanaman produktif 5 - ≤ 10 tahun dan ≥ 20 tahun menunjukkan

tingkat efisiensi teknis yang rendah untuk semua unit analisis (dataran tinggi,

≥ 1 ha). Namun, sebagian besar


dataran rendah, ukuran usahatani < 1 ha dan

petani responden memiliki kelompok umur tanaman 10 - ≤ 15 tahun. Pada

kelompok umur tersebut, sistem usahatani JKS belum efisien secara teknis,

kecuali untuk skala operasi usahatani yang≥ 1 ha. Rentangan efisiensi teknis antar

usahatani di dalam kelompok umur tanaman produktif yang sama sangat besar.

Sebagai contoh, untuk kelompok umur tanaman produktif 15 - ≤ 20 tahun pada

daerah dataran tinggi, sebaran efisiensi teknisnya mulai dari usahatani yang sangat

tidak efisien dengan nilai ET sebesar 0.23 sampai dengan yang sangat efisien

secara teknis dengan nilai ET sebesar 0.93. Walaupun, jenis input produksi yang

digunakan sama, namun karena metode produksi yang petani terapkan pada

usahatani mereka berbeda, maka tingkat efisiensi teknisnya juga berbeda.

Perbedaan tersebut merupakan cerminan adanya perbedaan kemampuan

manajerial dan keterampilan teknis petani yang berbeda.

Tingkat efisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE adalah lebih rendah

bila dibandingkan dengan hasil penelitian-penelitian terdahulu pada tanaman-

tanaman tahunan. Sebagai contoh adalah penelitian dari Dhehibi et al. (2007) pada

Jeruk (0.68) di Tunisia; Vedenov et al. (2007) pada Kopi (0.87) di Mexico;

Wollni (2007) pada kopi (0.81) di Costa Rica, Trewin et al. (1995) pada padi di

Indonesia (0.87), Sukiyono (2005) pada cabe di Indonesia (0.74), Morinaga

(2006) pada jeruk (0.7), dan Hazarika dan Subramanian (1999) pada teh (0.88) di

India. Namun, tingkat efisiensi teknis hasil penelitian dari Lambarraa et al. (2007)
292

pada jeruk (0.64) di Spain dan Bravo-Ureta et al. (1990) pada kapas (0.58) adalah

lebih kecil dari hasil penelitian ini, khususnya pada daerah dataran tinggi (0.65) di

Timor Barat. Jika petani jeruk keprok SoE berusaha untuk meningkatkan luas

usahataninya pada level lebih besar dari satu ha, maka tingkat efisiensi teknisnya

mungkin dapat menjadi lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian-

penelitian tersebut di atas. Untuk penelitian-penelitian efisiensi teknis dengan

pendekatan stokastik frontier yang sudah dilakukan di Indonesia, telah dicatat

bahwa tingkat efisiensi teknis untuk kacang-kacangan (0.63) oleh Squires (1991)

adalah lebih rendah dari hasil penelitian ini. Sedangkan hasil penelitian pada

tanaman padi di Indonesia memberikan nilai efisiensi teknis yang lebih tinggi

yakni Squires dan Tabor (1991) sebesar 0.70; Roche (1994) sebesar 0.82 dan

Trewin et al. (1995) sebesar 0.87 dan Daryanto (2000) sebesar 0.77 untuk padi

dengan sistem teknologi irigasi.

6.4.2. Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis Produksi Jeruk Keprok SoE


Berdasarkan Zona Agroklimat Dataran Tinggi dan Dataran Rendah

Dua zona, dataran tinggi dan dataran rendah, dijadikan fokus dengan

alasan untuk memperhitungkan heterogenitas daerah dalam hal sistem produksi,

kondisi agroekologi, tingkat persaingan usaha dan kelembagaan petani (Wollni,

2007) yang dapat mempengaruhi tingkat efisiensi usahatani. Selain itu, kebijakan

pengembangan jeruk keprok SoE di TTS sejak sepuluh tahun terakhir ditujukan

pada daerah spesifik dataran tinggi dan dataran rendah. Kedua zona tersebut

merupakan kawasan sentra pengembangan jeruk keprok SoE Kabupaten TTS di

Provinsi NTT. Pertanyaan yang hendak dijawab adalah zona manakah yang dapat

memberikan tingkat efisiensi yang tinggi dan faktor-faktor apa saja yang
293

menentukan performansi efisiensi seperti itu, serta bagaimana memperbaiki

efisiensi dan kapabilitas petaninya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi teknis petani responden

dianalisis secara simultan dengan menggunakan model efek inefisiensi teknis dari

fungsi produksi stokastik frontier. Ringkasan statistik dari variabel-variabel yang

digunakan di dalam model frontier produksi JKS adalah seperti yang sudah

tercantum pada Tabel 64 di atas. Hasil estimasi model efek inefisiensi teknis

dicantumkan pada Tabel 71.

Tabel 71. Estimasi Parameter dan t Rasio dari Model Efek Inefisiensi Teknis
Produksi Stokastik Frontier Berdasarkan Zona Agroklimat
Zona Agroklimat
Variabel
Dataran Tinggi Dataran Rendah
(Parameter)
Estimasi t rasio Estimasi t rasio
Model Efek Inefisiensi
Intersep (δ 0 ) 0.260 0.576*** 0.187 0.107
Pendidikan (δ 1 ) 0.295 1.015*** 0.060 0.348
Pengalaman (δ 2 ) -0.402 -1.590*** -0.352 -1.650**
Kontak dengan Petugas Pertanian
Lapangan (δ 3 ) -0.218 -1.600*** 0.168 0.829
Umur Petani (δ 4 ) -0.115 -0.124*** -0.018 -0.021
Kuadrat umur petani (δ 5 ) -0.229 -0.358*** 0.037 0.081
Sumber pendapatan lain (δ 6 ) -0.264 -1.550*** 0.326 0.899
Metode penjualan (δ 7 ) -0.310 -1.520*** 0.033 0.243
Keanggotaan kelompok tani (δ 8 ) -0.468 -1.962*** 0.039 0.261

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).


Keterangan: *: nyata pada α = 5%; **: nyata pada α = 10%; ***: nyata pada α = 15%

Tanda dan besaran koefisien hasil estimasi di dalam model inefisiensi

teknis seperti tercantum pada tabel tersebut ada yang sesuai dan ada yang tidak

sesuai seperti yang diharapkan. Koefisien estimasi yang negatif menunjukkan

efek yang positif pada efisiensi teknis. Penambahan penggunaan faktor tersebut
294

akan meningkatkan efisiensi teknis jeruk keprok SoE. Sedangkan variabel-

variabel dengan koefisien estimasi di dalam model inefisiensi yang positif

menunjukkan bahwa penambahan penggunaan faktor tersebut akan mengurangi

efisiensi teknis jeruk keprok.

Pada daerah dataran tinggi, hasil pendugaan model efek inefisiensi teknis

pad Tabel 71 menunjukkan bahwa faktor-faktor yang nyata berpengaruh dalam

menjelaskan inefisiensi teknis di dalam proses produksi petani responden pada α

= 5%; α = 10%; dan α = 15%; adalah pengalaman berusahatani jeruk, kontak

dengan petugas pertanian lapangan, sumber pendapatan lain, metode penjualan

dan keanggotaan kelompok tani. Sedangkan pendidikan dan umur petani tidak

berpengaruh nyata terhadap efisiensi teknis. Pada daerah dataran rendah, semua

variabel tidak berpengaruh nyata, kecuali pengalaman petani responden.

Pendidikan formal. Diharapkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh

yang positif terhadap kemampuan manajerial petani dan dengan demikian juga

terhadap efisiensi. Fenomena ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang

dimiliki oleh petani menentukan kemampuan mereka untuk menerapkan tehnologi

yang ada, sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka semakin baik

kemampuan mereka untuk berproduksi secara efisien (Jamison dan Lau, 1982).

Pendidikan membantu petani untuk menggunakan informasi secara efisien. Petani

dengan pendidikan yang lebih tinggi memperoleh informasi lebih banyak dan

berkemampuan untuk menggunakan input-input usahatani secara produktif.

Tabel 71 menunjukkan bahwa faktor lamanya pendidikan formal petani

berhubungan negatif dan tidak nyata efeknya terhadap efisiensi teknis produksi

usahatani jeruk keprok SoE pada semua zona agroklimat. Hal ini
295

mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan formal petani tidak merupakan faktor

penting di dalam usahatani jeruk keprok SoE. Dapat juga dikatakan bahwa petani

dengan pendidikan yang lebih tinggi kurang tertarik pada usahatani jeruk keprok

SoE. Faktor pendidikan dianggap konstan, tidak berpengaruh apa-apa terhadap

efisiensi. Rata-rata lama pendidikan formal petani contoh adalah 7 tahun atau

setara dengan kelas satu Sekolah Menengah Pertama, dengan rentangan dari yang

tidak tamat Sekolah Dasar (3 tahun) sampai dengan yang berpendidikan Sekolah

Menengah Atas (16 tahun). Tingkat pendidikan yang masih rendah dan yang

bukan merupakan pendidikan kejuruan di duga merupakan faktor-faktor penting

yang telah menyebabkan tidak nyatanya pengaruh variabel ini terhadap efisiensi

produksi JKS. Pemerintah perlu untuk menggagas pendidikan kejuruan dengan

fokus komoditas unggulan lokal sebagai penggerak ekonomi daerah.

Dampak peningkatan pendidikan terhadap efisiensi produksi jeruk

keprok SoE masih belum nyata. Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil

penelitian dari Dhehibi et al. (2007a) dan Silva & Stefanou (2007), di mana

pendidikan formal berpengaruh positif dan nyata terhadap efisiensi teknis jeruk di

Tunisia. Hasil yang sama juga telah didapat oleh Utama (2003) pada usahatani

padi sawah di Indonesia, Wilson et al. (1998) di pada usahatani kentang UK dan

Villano dan Fleming (2006) pada usahatani padi di Filipina. Sedangkan hasil

penelitian dari Wollni (2007) pada kopi di Costa Rica; Ogundari dan Ojo (2006)

pada ubi kayu, Ogundari et al. (2006) pada jagung di Nigeria dan Bakhsh et al.

(2006) pada kentang di Pakistan menunjukkan bahwa pendidikan formal

berhubungan negatif dan tidak nyata terhadap efisiensi teknis (sama halnya

dengan hasil penelitian efisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE ini).
296

Pengalaman usahatani. Petani dengan pengalaman berusahatani yang

lebih lama diharapkan bisa lebih terampil di dalam mengelola usahatani jeruk

yang akan berdampak positif terhadap efisiensi usaha. Hubungan inefisiensi teknis

dengan pengalaman usahatani petani contoh adalah negatif. Pada zona dataran

tinggi dan dataran rendah, pengalaman petani berpengaruh positif dan nyata pada

α = 10% dan 15% terhadap efisiensi teknis. Seperti yang diharapkan bahwa

efisiensi teknis meningkat sejalan dengan bertambahnya pengalaman petani pada

usahatani jeruk keprok SoE.

Kondisi tanda dan besaran nilai koefisien hasil estimasi model efek

inefisiensi teknis tersebut menunjukkan bahwa semakin berpengalaman petani,

maka semakin efisien dalam berproduksi dan dalam menggunakan input-input

produksi. Dengan kata lain, semakin berpengalaman petani, maka akan semakin

meningkatkan efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE. Hasil penelitian ini

sesuai dengan yang ditemukan oleh Admassie (1999), Daryanto (2000), Siregar

(1987) dan Ajibefun et al. (2002). Hasil penelitian Wollni (2007) juga

menunjukkan penagalman petani berhubungan positif dan nyata pada tingkat

efisiensi teknis pada kopi di Costa Rica. Hasil penelitian-penelitian tersebut

menunjukkan bahwa pengalaman adalah faktor yang signifikan dan penting di

dalam upaya peningkatan efisiensi teknis usahatani petani.

Kontak dengan Petugas Petanian Lapangan (KPPL). Kontak dengan

penyuluh dan petugas pertanian lapangan lainnya, dapat dilakukan dua arah,

petani mengunjungi penyuluh atau sebaliknya. Keberadaan petugas penyuluh dan

intensitas pertemuan dengan para penyuluh yang dilakukan akan mempengaruhi

tingkat produktivitas tanaman jeruk. Semakin intensif penyuluhan yang dilakukan


297

maka petani jeruk akan semakin memahami tehnik budidaya, panen atau pasca

panen yang baik dan petani diharapkan menghasilkan jeruk dengan tingkat

produktivitas tinggi dan berproduksi lebih efisien (berdampak positif).

Pada daerah dataran tinggi, harapan tersebut sesuai dengan hasil

penelitian ini, di mana koefisien estimasi untuk variabel KPPL adalah positif dan

berpengaruh nyata pada α = 15% terhadap efisiensi teknis usahatani jeruk keprok

SoE. Sedangkan pada daerah dataran rendah, KPPL berhubungan negatif dan

tidak nyata terhadap efisiensi teknis. Kondisi ini dapat dijadikan sebagai suatu

cerminan rendahnya frekuensi kontak petugas pertanian di lapangan dengan

petani, dan atau sebaliknya. Tabel 64 di atas menunjukkan bahwa rata-rata kontak

petugas pertanian lapangan dengan petani adalah 0.78 untuk daerah dataran tinggi

dan 0.64 untuk daerah dataran rendah. Indikator rendahnya pengetahuan teknis

budidaya dan pascapanen petani jeruk kerpok SoE merupakan salah satu bukti

dari rendahnya kontak petugas dengan petani dan atau petani dengan petugas

pertanian lapangan (baik Penyuluh Pertanian Lapngan maupun Petugas Pengamat

Hama tanaman jeruk keprok SoE).

Hasil penelitian Wollni (2007) pada kopi dan Bakhsh et al. (2006) pada

kentang adalah sejalan dengan hasil penelitian jeruk keprok SoE khususnya pada

daerah dataran tinggi, di mana kontak dengan petugas pertanian lapangan

berhubungan positif dan nyata pada tingkat efisiensi usahatani.

Pada daerah dataran rendah, KPPL adalah negatif dan tidak nyata

terhadap efisiensi teknis. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa Pemerintah

Daerah, dalam hal ini, petugas pertanian lapangan belum serius mengawasi

usahatani jeruk keprok SoE. Selain itu, petugas pertanian lapangan yang
298

ditempatkan di sentra-sentra pengembangan jeruk keprok SoE adalah bukan

petugas yang memiliki spesifikasi di bidang usahatani jeruk. PPL yang ada di

desa-desa contoh adalah petugas yang memiliki latar belakang pendidikan

pertanian dan peternakan secara umum. Selain itu, jumlah Petugas belum

seimbang dengan luas wilayah kerja mereka (seperti yang sudah di bahas pada

Bab II disertasi ini tentang kelembagaan usahatani).

Umur petani. Variabel ini akan merefleksikan struktur tenaga kerja

keluarga petani pengelola usahatani jeruk dan tingkat produktivitas mereka.

Masalah keengganan pemuda untuk bertani yang dialami oleh hampir semua

daerah di NTT, bahkan di Indonesia, merupakan hal penting untuk diperhatikan

dalam pembangunan pertanian daerah lahan kering. Umur petani menjadi faktor

penting dalam kaitannya dengan efisiensi produksi karena persoalan regenerasi

pengelola dan produktivitas tenaga kerja usahatani jeruk keprok. Secara alamiah,

semakin tua seorang pekerja, maka kemampuan kerjanya semakin menurun dan

berdampak negatif terhadap efisiensi. Jika generasi muda enggan bertani, maka

pengelolaan usahatani akan didominasi oleh tenaga kerja non produktif. Hal ini

akan berdampak negatif pada tingkat efisiensi usahatani jeruk.

Hasil penelitian ini menemukan hal yang terbalik dengan anggapan

bahwa semakin tua seorang petani kemampuan kerjanya semakin menurun dan

berdampak negatif terhadap efisiensi. Semua tanda nilai koefisien estimasi model

efek inefisiensi teknis adalah positif dan tidak berpengaruh nyata terhadap

efisiensi baik pada daerah dataran tinggi maupun dataran rendah. Keadaan ini

tidak sesuai dengan yang diharapkan. Semakin bertambah umur petani, maka

pengalaman dan keterampilannya semakin tinggi tetapi semakin lemah dalam


299

berusaha. Sedangkan petani yang lebih muda, mungkin kurang berpengalaman

dan memiliki keterampilan yang rendah, tetapi mereka pada umumnya lebih

tertarik pada inovasi baru. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa petani

yang sudah banyak memiliki pengalaman dan keterampilan berusahatani, lebih

produktif bila dibandingkan dengan petani muda yang baru memulai usahatani

jeruk keprok SoE. Nilai positif pada koefisien umur petani itu juga dapat

dijadikan sebagai indikator bahwa petani responden masih berbada pada umur

produktif (rata-rata umur petani 48 tahun) (Tabel 64), dimana mereka masih

memiliki kemampuan kerja yang tinggi dan berdampak pada tingginya

produktivitas. Produktivitas usahatani yang tinggi akan memberikan tingkat

efisiensi yang tinggi pula.

Hasil penelitian yang sejalan dengan penemuan pada penelitian ini adalah

Bakhsh et al. (2006) pada kentang di Pakistan dan Erwidodo (1992a dan 1992b)

pada padi sawah di Indonesia. Sedangkan hasil penelitian dari Dhehibi et al.

(2007a) dan (2007b) keduanya pada jeruk; Wollni (2007) pada kopi; dan

Ogundari et al. (2006) pada jagung menunjukkan bahwa umur petani berhubungan

negatif dengan tingkat efisiensi. Hal ini mengindikasikan bahwa petani semakin

tua, maka kemampuan kerjanya semakin menurun sehingga akan menurunkan

tingkat efisiensi teknis usahataninya, faktor-faktor lainnya tetap.

Sumber pendapatan lain. Petani yang memiliki sumber pendapatan lain

diluar usahatani jeruk cenderung tidak berproduksi secara efisien (berpengaruh

negatif) karena mereka tidak begitu takut akan resiko kegagalan produksi atau

karena kekurangan tenaga kerja untuk mengelola kebun dengan baik sehingga

menyebabkan inefisiensi. Tetapi jika pendapatan yang diperoleh dari luar


300

usahatani tersebut dipakai untuk membeli input-input produksi, sehingga produksi

meningkat, maka pengaruhnya terhadap efisiensi adalah positif. Pengaruh positif

ini juga dapat diakibatkan oleh adanya informasi yang lebih baik yang didapat

selama petani tersebut berkeja di luar usahataninya. Sebaliknya petani yang tidak

memiliki sumber pendapatan lain, akan berupaya untuk mengelola usahataninya

sebaik mungkin karena kegagalan dalam berproduksi akan membuat mereka

tidak memiliki pendapatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon efisiensi teknis terhadap

sumber pendapatan di luar usahatani jeruk keprok SoE adalah positif dan

berpengaruh nyata terhadap efisiensi pada α = 15% (khusunya di zona dataran

tinggi). Semakin besar pendapatan yang diperoleh dari sumber di luar usahatani

jeruk (terutama dari usahatani ternak dan jagung), maka usahatani jeruk semakin

efisien. Hal ini membuktikan bahwa pendapatan yang diperoleh dari sumber lain

itu dimanfaatkan petani untuk meningkatkan efisiensi usahatani jeruk mereka.

Perlu diketahui bahwa usahatani jeruk didaerah dataran tinggi memang cukup

menarik minat petani karena memberikan kontribusi pendapatan yang cukup besar

di waktu yang lalu (musim produksi tahun 2000-2003: hasil penelitian Adar et al.,

2003). Hasil penelitian Wollni (2007) menunjukkan bahwa sumber pendapatan

lain memberikan efek yang positif dan nyata terhadap efisiensi teknis usahatani

kopi di Costa Rica.

Hasil estimasi model efek inefisiensi teknis di zona dataran rendah

menemukan bahwa tanda dan besaran koefisien dugaannya adalah negatif dan

berpengaruh tidak nyata terhadap efisiensi teknis. Fenomena ini menjelaskan

bahwa dengan adanya sumber pendapatan di luar usahatani jeruk keprok SoE
301

telah menyebabkan menurunnya efisiensi teknis produksi usahatani jeruk keprok

SoE. Pengaruh negatif ini menunjukkan bahwa pendapatan yang diperoleh dari

luar usahatani tidak digunakan untuk meningkatkan produksi jeruk keprok SoE.

Selain itu, kegiatan mencari pendapatan di luar usahatani telah mengurangi tenaga

kerja keluarga yang sedianya digunakan untuk kegiatan usahatani jeruk keprok

SoE. Akibatnya, usahatani jeruk keprok SoE tidak dirawat secara intensif dan

selanjutnya menyebabkan rendahnya produksi dan efisiensi teknis. Fenomena

tersebut dapat juga mengindikasikan bahwa usahatani JKS merupakan usahatani

sampingan, kurang menarik dan memotivasi petani karena nilai ekonominya

masih rendah. Hal ini dapat dibuktikan dengan rendahnya pendapatan yang

diterima petani dataran rendah dari usahatani jeruk keproknya. Dengan demikian,

maka dapatlah dikatakan bahwa usahatani jeruk keprok Soe sebaiknya tidak perlu

dilakukan di daerah dataran rendah.

Metode penjualan. Penjualan jeruk keprok SoE dilakukan petani dengan

beberapa metode yakni penjualan per kg saat panen, penjualan di muka sebelum

musim panen tiba (baik per kg maupun borongan), dan penjualan borongan per

pohon atau borongan per kebun pada saat panen (penjelasan secara detail sudah

diberikan pada Bab V). Pada penjualan dengan sistem ijon dan borongan

seringkali petani tidak memanen sendiri jeruknya dengan tidak mempraktekkan

teknik panen yang benar dan pedagang pemberi ijon atau pembeli borongan sering

meninggalkan sisa buah jeruk yang berkualitas rendah di pohon sampai musim

berbunga jeruk lewat. Hal-hal ini mengurangi tingkat produktivitas dan efisiensi

jeruk pada musim panen tahun berikutnya (berpengaruh negatif terhadap

efisiensi). Sistem penjualan per kg pada saat panen akan meningkatkan


302

keuntungan petani karena harganya lebih tinggi dibandingkan dengan sistem

penjualan lainnya. Petani termotivasi untuk membeli input-input produksi yang

dapat berpengaruh positif terhadap efisiensi. Sistem penjualan individu yang

sering dipraktekkan oleh petani di TTS dapat mengurangi keuntungan petani

karena mereka sering mendapatkan harga yang lebih rendah pada saat panen raya

tiba.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode penjualan per kg pada saat

panen berhubungan positif dan berpengaruh nyata terhadap efisiensi teknis

produksi jeruk kerpok SoE (khusus zona dataran tinggi). Peningkatan praktek

penjualan per kg pada saat panen dapat meningkatkan efisiensi produksi jeruk

keprok SoE. Petani yang memiliki kebun jeruk yang agak luas merasa mempunyai

biaya rendah per pohon dan perbedaan penjualan dengan metode per pohon dan

per kg juga besar. Sehingga petani dengan jumlah pohon jeruk yang lebih banyak

(seperti petani pada daerah dataran tinggi ini) cenderung menjual jeruk mereka

dengan metode penjualan per kg pada saat panen. Selain itu, harga jual dengan

metode per kg pada saat panen lebih tinggi dibandingkan dengan metode lainnya.

Di Zona dataran rendah, respon efisiensi terhadap variabel ini relatif

kecil, negatif dan tidak nyata. Penjualan per kg pada saat panen berhubungan

negatif dan tidak nyata dengan efisiensi produksi. Jadi, metode penjualan JKS di

daerah dataran rendah dianggap konstan atau tidak memberikan pengaruh apa-apa

terhadap efisiensi. Petani dapat melakukan penjualan secara ijon, borongan atau

per kg pada saat panen. Petani dengan jumlah kepemilikan pohon produktif yang

sedikit cenderung menjual JKS mereka dengan sistem ijon dan borongan. Hal ini

memberikan kemudahan kepada petani karena mereka tidak direpotkan dengan


303

biaya pemasaran dan resiko pasar lainnya. Namun, sistem ijon dan borongan ini

sering menyebabkan keterlambatan panen (pembeli biasanya memanen sendiri).

Buah yang tersisa pada pohon JKS menghambat pembungaan sehingga

menghilangkan kesempatan pohon tersebut untuk berproduksi pada tahun

berikutnya. Produksi berkurang, maka efisiensi produksi juga menurun.

Keikutsertaan dalam kelompok tani. Petani yang tergabung dalam

kelompok tani akan lebih cepat mendapatkan informasi-informasi yang berkaitan

dengan peningkatan produktivitas jeruk dan atau informasi pasar dibandingkan

dengan petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani. Diharapkan pula bahwa

petani yang menjadi anggota kelompok tani memiliki akses yang lebih mudah

terhadap berbagai sumberdaya yang dibutuhkan di dalam pengelolaan usahatani

jeruk. Hal ini dapat meningkatkan efisiensi usaha (berpengaruh positif).

Pada daerah dataran tinggi, nilai koefisien estimasi keanggotaan

kelompok tani bertanda positif dan sesuai dengan yang diharapkan. Variabel

keanggotaan kelompok tani di zona dataran tinggi berpengaruh nyata pada α = 5%

terhadap efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE. Keiikutsertaan petani di

dalam kelompok tani dapat meningkatkan efisiensi produksi jeruk keprok SoE.

Ketiadaan pengaruh dari variabel keanggotaan kelompok tani terhadap efisiensi

teknis terutama di dataran rendah lebih banyak dikaitkan dengan lemahnya

keberadaan kelompok tani sebagai suatu lembaga penunjang peningkatan

produksi usahatani jeruk keprok. Kelompok tani bukan merupakan faktor penting

bagi petani daerah dataran rendah. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian

besar (52%) petani responden daerah dataran rendah tergabung di dalam

kelompok tani. Namun, kegiatan kelompok tani-kelompok tani di daerah


304

penelitian tidak fokus pada kegiatan usahatani jeruk keprok saja, tetapi pada

berbagai kegiatan pertanian dan proyek pembangunan desa secara umum.

Kelompok tani didirikan dalam rangka untuk memenuhi persyaratan mendapatkan

bantuan sosial dari pemerintah atau LSM. Kelompok tani masih lemah dan perlu

diberdayakan ke arah peningkatan efisiensi produksi JKS.

6.4.3. Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis Produksi Jeruk Keprok SoE


Berdasarkan Ukuran Usahatani di Daerah Dataran Tinggi

Ukuran usahatani secara khusus dibedakan karena hal itu dapat

merefleksikan kekayaan (harta) rumahtangga petani yang dapat memberikan

pendapatan rutin kepada mereka. Besar-kecilnya ukuran usahatani mempengaruhi

tingkat efisiensi (Wollni, 2007). Hal ini dapat dikaitkan dengan kemampuan

petani untuk mengakses tenaga kerja, modal usaha dan input usahatani lainnya.

Hal-hal tersebut akan menentukan ukuran usahatani yang dapat memberikan

tingkat efisiensi yang tinggi dibandingkan dengan ukuran usahatani lainnya

(Binswanger dan Sillers, 1983; Kalirajan dan Shand, 1985, 1986 dan 1989; dan

Kurniawan, 2008).

Di dalam penelitian ini, ukuran usahatani yang dipakai adalah < 1 ha dan ≥

1 ha. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 41% responden petani

jeruk keprok SoE di daerah dataran tinggi memiliki luas usahatani < 1 ha.

Pertanyaannya adalah apakah luasan usahatani seperti itu sudah memberikan

efisiensi yang tinggi atau tidak, dan faktor-faktor apa saja yang menjadi

determinan-determinannya. Hasil pendugaan parameter dari model efek

inefisiensi teknis fungsi produksi stokastik frotnier antar ukuran usahatani di zona

dataran tinggi adalah seperti yang tercantum pada Tabel 72.


305

Tabel 72. Estimasi Parameter dan t Rasio dari Model Efek Inefisiensi Teknis
Fungsi Produksi Stokastik Frontier dengan Menggunakan MLE

Parameter Ukuran Usahatani Dataran Tinggi


< 1 ha ≥ 1 ha
Estimasi t-rasio Estimasi t-rasio
Model Efek Inefisiensi:
Intersep (δ 0 ) 3.869 0.949*** 1.831 0.502***
Pendidikan formal (δ 1 ) 0.309 0.997*** 0.295 0.531***
Pengalaman usahatani (δ 2 ) 0.453 0.367*** -0.428 -1.560***
Kontak Petugas Pertanian (δ 3 ) 0.142 0.615*** -0.501 -1.842***
Umur petani (δ 4 ) -0.179 -0.196*** 0.444 0.363***
Kuadrat umur petani (δ 5 ) -0.356 -0.638*** 0.887 0.515***
sumber pendapatan lain (δ 6) 0.277 0.144*** -0.602 -1.470***
Metode penjualan JKS (δ 7 ) -0.365 -2.230*** -0.375 -1.490***
Keanggotaan kelompok tani (δ 8) -0.499 -1.636*** -1.683 -1.904***
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).
Keterangan: * : nyata pada α = 5%; ** : nyata pada α = 10%; *** : nyata pada α = 15%

Tabel tersebut memperlihatkan bahwa untuk ukuran usahatani yang kecil,

faktor-faktor seperti pendidikan, pengalaman usahatani, kontak dengan petugas

petanian lapangan dan sumber pendapatan lain berhubungan negatif dan tidak

nyata dengan efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE. Faktor umur petani

memiliki hubungan yang positif dan tidak nyata terhadap efisiensi teknis.

Sedangkan faktor metode penjualan dan keanggotaan kelompok tani berpengaruh

positif dan nyata pada α = 5% dan 10% terhadap efisiensi teknis produksi JKS.

Pada ukuran usahatani yang lebih besar (≥ 1 ha), semua faktor-faktor

inefisiensi teknis berpengaruh nyata secara positif terhadap efisiensi teknis,

kecuali faktor pendidikan dan umur petani. Hal ini menunjukkan bahwa

peningkatan penggunaan faktor-faktor tersebut dapat meningkatkan efisiensi

teknis produksi jeruk keprok SoE. Pendidikan dan umur petani memberikan efek

negatif dan tidak nyata terhadap efisiensi produksi jeruk keprok SoE. Hal ini
306

mengindikasikan bahwa faktor pendidikan dan umur tidak merupakan faktor-

faktor penting di dalam usahatani jeruk keprok SoE di Provinsi NTT.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa pengalaman petani, kontak

dengan petugas pertanian lapangan, sumber pendapatan lain, metode penjualan

dan keanggotaan kelompok tani merupakan faktor-faktor penting yang perlu

diperhatikan secara sungguh-sungguh di dalam usahatani jeruk keprok berukuran

besar. Upaya peningkatan keterampilan petani terkait faktor-faktor tersebut

mungkin dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti pelatihan, magang dan

percontohan di tingkat usahatani. Penerapan metode-metode tersebut diharapkan

dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan informasi bagi petani dalam

pengelolaan kebun jeruk sehat dan bermutu (Departemen Pertanian, 2008c).

Dengan memperhatikan tanda dan besaran dari variabel kontak dengan

pertugas pertanian, perlu dicatat bahwa Pemerintah Daerah (seperti yang sudah

dijelaskan sebelumnya) dan petani belum serius memperhatikan pengeloaan

usahatani jeruk keprok SoE, terutama untuk ukuran usahatani kecil. Kebijakan

pengembangan jeruk keprok SoE yang dilakukan pemerintah pada lima tahun

terakhir ini dan selanjutnya, lebih difokuskan pada usahatani jeruk keprok dengan

ukuran usahatani minimal satu hektar. Persyaratan luasan minimal ini ditujukan

dalam rangka pemberian sertifikasi kebun jeruk yang memenuhi standar kualitas

yang sudah ditetapkan di dalam Good Agricultural Practices (GAP) kebun buah

di Indonesia (Departemen Pertanian, 2008c dan 2009c) dan Standard Operational

Procedure (SOP) jeruk keprok SoE (Departemen Pertanian, 2006 dan Dinas

Pertanian, 2010b). Harapannya adalah semakin besar ukuran usahatani jeruk

keprok SoE, tingkat efisiensi teknisnya semakin besar.


VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab

terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Baik pada daerah dataran rendah maupun dataran tinggi, rendahnya

produktivitas usahatani jeruk keprok SoE disebabkan oleh penggunaan input-

input produksi seperti jumlah pohon produktif, kompos, tenaga kerja dan bibit

okulasi yang tidak memenuhi standar teknis budidaya yang baik (Good

Agricultural Prcatices-GAP) dan Standard Operational Procedure-SOP);

ukuran usahatani kecil; tingkat penguasaan teknologi yang rendah serta

tingkat inefisiensi yang tinggi.

2. Baik pada daerah dataran tinggi maupun dataran rendah, petani belum mampu

mengelola usahatani jeruk keprok SoE secara efisien. Hal ini berarti sebagian

besar petani pada kedua zona agroklimat tersebut masih beroperasi di bawah

produktivitas yang seharusnya. Jadi, perbedaan zona agroklimat tidak

berpengaruh pada efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE. Namun,

perbedaan zona agroklimat dan ukuran usahatani berpengaruh pada

produktivitas jeruk keprok SoE. Produktivitas rendah karena zona agroklimat

dan ukuran usahatani yang berbeda. Semakin besar ukuran usahatani, maka

tingkat produktivitas semakin tinggi. Selain itu, semakin besar ukuran

usahatani jeruk keprok SoE, maka tingkat efisiensinya semakin tinggi.

Usahatani jeruk keprok SoE yang berlahan kecil adalah tidak efisien secara

teknis. Pada daerah dataran tinggi dengan lahan usahatani yang besar

menunjukkan tingkat pencapaian efisiensi teknis yang tinggi dan sudah


308

efisien secara teknis. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian efisiensi

pada tanaman pangan (bukan tanaman tahunan) yang menunjukkan bahwa

ukuran usahatani kecil lebih efisien dibandingkan dengan ukuran usahatani

yang lebih besar (small but efficient). Pada tanaman pangan, “flow of income”

bagi petani dapat terjadi sepanjang tahun (dua sampai tiga kali berproduksi).

Sedangkan pada tanaman tahunan seperti jeruk, ketersediaan pendapatan bagi

petani tidak sepanjang tahun. Hal ini diperparah lagi dengan kondisi ukuran

usahatani yang kecil. Oleh karena itu, upaya pengembangan usahatani jeruk

keprok SoE ke depan membutuhkan penetapan skala operasi minimal.

Standar ukuran usahatani minimal tersebut diharapkan dapat memberikan

pendapatan bagi petani yang tersedia sepanjang tahun. Kemudian, hal ini

akan merupakan insentif ekonomi bagi petani untuk mengelola usahatani

jeruknya secara komersial dan efisien.

3. Baik daerah dataran tinggi maupun dataran rendah, kelompok umur tanaman

produktif yang berbeda menunjukkan tingkat pencapaian efisiensi teknis yang

berbeda. Hal ini disebabkan oleh tingkat produktivitas antar kelompok umur

tanaman produktif tersebut berbeda. Sebelum mencapai produktivitas

maksimum, semakin tua umur tanaman produktif, maka semakin efisien

secara teknis. Jadi, umur tanaman produktif, sebagai ciri khas fungsi

produksi tanaman tahunan, merupakan input yang paling penting.

4. Pengetahuan, keterampilan teknis dan kemampuan manajerial petani yang

rendah dan kelembagaan usahatani yang masih lemah telah menyebabkan

petani menilai usahatani jeruk sebagai usaha sampingan. Petani belum

mendapatkan insentif ekonomi yang cukup untuk mengelola usahatani jeruk


309

keprok SoE dengan baik. Secara ekonomi, petani belum menilai usahatani

jeruk keprok SoE sebagai suatu usaha yang komersial dan bernilai ekonomi

tinggi. Hal ini telah berdampak pada tingginya tingkat inefisiensi teknis

produksi jeruk keprok SoE baik pada daerah dataran rendah, dataran tinggi,

ukuran usahatani kecil maupun ukuran usahatani yang besar.

7.2. Rekomendasi Kebijakan

Upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas dan efisieni produksi

jeruk keprok SoE, dengan merujuk pada hasil penelitian ini adalah:

1. Upaya-upaya peningkatan produktivitas yang perlu dilakukan baik pada

daerah dataran tinggi maupun dataran rendah adalah (1) penetapan skala

operasi usahatani ke ukuran yang minimal satu hektar per petani, (2)

perbaikan teknologi input produksi (meningkatkan penggunaan faktor-faktor

produksi yang masih kurang (under use)), dan (3) perbaikan teknologi proses

produksi (pola tanam monokultur, sistem pemeliharaan tanaman produktif

yang intensif, pengadaan infrastrukutr perbenihan, pengairan dan peralatan

pemeliharaan tanaman), dan (4) pelatihan tematik bagi petani dalam hal

pengetahuan dan keterampilan proses produksi jeruk keprok SoE yang utuh.

2. Upaya-upaya peningkatan efisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE pada

daerah dataran tinggi dan dataran rendah dapat dilakukan antara lain dengan

upaya peningkatan pengetahuan, keterampilan teknis dan kapabilitas

manajerial serta penguatan kelembagaan petani. Beberapa hal yang dapat

dilakukan adalah (1) meningkatkan kegiatan sekolah lapang bagi Petani dan

Petugas Pertanian Lapangan khususnya yang terkait dengan pemeliharaan

tanaman jeruk, (2) meningkatkan kegiatan pelatihan usahatani jeruk keprok


310

SoE untuk meningkatkan pengalaman petani, (3) meningkatan aplikasi dan

adopsi SOP jeruk keprok SoE melalui pelatihan dan sertifikasi kebun jeruk

yang memenuhi persyaratan Global GAP dan SOP, (4) meningkatkan

intensitas penyuluhan pertanian, (5) meningkatkan sumber-sumber

pendapatan, (6) meningkatkan partisipasi dalam kelompok tani, (7)

meningkatkan akses petani ke pasar input dan output, dan (8) menjaring

kemitraan dengan lembaga perbankan atau supermarket yang ada di Kupang

(dengan Pemerintah Daerah sebagai fasilitator atau mediator dalam kemitraan

tersebut).

3. Berkaitan dengan upaya-upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi teknis,

yang perlu diperhatikan pula adalah penanganan pascapanen jeruk keprok

SoE di tingkat petani. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas dan

memperluas jangkauan pemasarannya. Beberapa hal penting yang sebaiknya

dilakukan antara lain pelatihan tematik bagi petani dan pedagang dalam hal

pengetahuan dan keterampilan panen, pascapanen dan pemasaran jeruk

keprok SoE yang utuh, baik dari segi produk, harga, distribusi dan promosi

serta kapabilitas petani. Perbaikan teknologi panen (metode panen dengan

menggunakan gunting, standarisasi, pengkelasan produk (atas berat dan

ukuran buah) dan model pengepakan yang baik dan berlabel, perbaikan

metode penjualan adalah juga beberapa hal yang perlu diperhatikan baik oleh

petani, Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan maupun Pemerintah

Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

4. Upaya-upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi teknis tersebut perlu

disikapi dengan strategi pengembangan secara terpadu dan terintegrasi (mulai


311

dari Pemerintah Pusat, Provinsi sampai ke Pemerintah Kabupaten). Beberapa

pendekatan yang mungkin adalah (1) pendekatan kawasan agribisnis jeruk

keprok SoE, (2) penataan manajemen rantai pasokan (supply chain

management), (3) penerapan budidaya pertanian yang baik (Good

Agricultural Practices - GAP dan Standard Operational Procedure - SOP), (4)

fasilitasi investasi dengan sistem kredit tanpa agunan, dan (5) pengembangan

kelembagaan usaha terkait agribisnis jeruk keprok SoE terutama kelompok

tani, koperasi petani jeruk dan lembaga penyuluhan pertanian serta pengamat

hama tanaman.

5. Penelitian ini masih memiliki banyak keterbatasan seperti yang sudah dibahas

pada Bab Pendahuluan. Keterbatasan-keterbatasan yang ada sangat terkait

dengan ketersediaan data empiris dan metodologi analisis. Oleh karena itu,

beberapa saran untuk penelitian lanjutan adalah pertama, analisis perubahan

teknologi dan efisiensi (antar waktu dan farm) dengan menggunakan panel

data. Kedua, jika ketersediaan data harga (input dan output) sudah memadai

dan persyaratan lainnya terpenuhi, maka analisis efisiensi ekonomi jeruk

keprok SoE perlu untuk dilakukan. Ketiga, studi lanjutan juga perlu

difokuskan pada nilai ekonomi dari usahatani diversifikasi (tanaman dan

ternak) untuk mengetahui peta sumber-sumber pendapatan usahatani petani

jeruk keprok SoE. Keempat, jika data jumlah produksi dan penggunaan input

produksi usahatani jeruk keprok SoE tersedia secara lengkap (yang memenuhi

asumsi fungsi produksi monoperiodic), maka analisis efisiensi teknis

berdasarkan umur tanaman produktif adalah penting untuk dilakukan.

Kelima, hasil penelitian ini juga mengindikasikan adanya kebutuhan kajian


312

lanjutan tentang efek faktor-faktor eksternal seperti pengaruh organisme

pengganggu tanaman, tingkat kesuburan lahan, fluktuasi harga (input dan

output) dan kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap produksi, produktivitas

dan efisiensi produksi jeruk keprok SoE.


DAFTAR PUSTAKA

Adar, D. and M. S. Nanjan. 2003. Business Analysis of Mandarin Farming in


North Mollo Sub-District of TTS District of NTT Province. Paper
Presented at the International Workshop on Small Agribusiness
Management Initiatives. April 12-15, 2003. Bundaberg.

Adar, D., M. Bano dan S. Seran. 2004. Keunggulan Buah Jeruk Keprok SoE
Terhadap Jeruk-Jeruk Impor di Beberapa Kota di Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Buletin IMPAS, 10(2): 27-34.

___________________________. 2005. Analisis Selera dan Daya Beli Konsumen


Jeruk Keprok SoE di Beberapa Kota di Indonesia. Buletin IMPAS, 11(1):
28-35.

Adar, D. dan W. I. I. Mella. 2010. Model Pengembangan Jeruk Keprok Bagi Para
Petani Kecil di Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Lahan Kering, Universitas Nusa
Cendana, Kupang.

Admassie, A. 1999. Sources of Efficiency Differentials in Smallholder


Agriculture. Quarterly Journal of International Agriculture, 38(1): 203-
220.

Afriat, S. N. 1972. Efficiency Estimation of Production Function. International


Economic Review, 13(2): 568-598.

Aigner, D. and S. F. Chu. 1968. On Estimating the Industry Production Function.


American Economic Review, 58(3): 826-839.

Ajibefun, I. A., G. E. Battesse and A. G. Daramola. 2002. Determinants of


Technical Efficiency in Small Holder Crops Farming: Application of
Stochastic Frontier Production Function. Quaterly Journal of
International Agriculture, 41(3): 225-240.

Ali, M. and J. C. Flinn. 1989. Profit Efficiency Among Basmati Rice Producers in
Pakistan Punjab. American Journal of Agricultural Economics, 71(2):
303-310.

Ali, M. and D. Byerlee. 1991. Economic Efficiency of Small Farmers in A


Changing World: A Survey of Recent Evidence. Journal of Inernational
Development, 3(1): 1-17.

Alrwis, K. N. and E. Francis. 2004. Technical, Allocative and Economics


Efficiency of Broiler Farms in the Central Region of Saudi Arabia: Data
Envelopment Analysis Approach [Abstract]. Research Report.
Department of Agricultral Economics, College of Food and Sciences,
King Saud University, Ryadh.
314

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2010. Rencana Pembangunan Jangka


Menengah (RPJM) Kabupaten Timor Tengah Selatan. Bappeda
Kabupaten Timor Tengah Selatan, SoE.

Badan Pusat Statistik. 2006. Nusa Tenggara Timur dalam Angka 2006. Badan
Pusat Statistik, Kupang.

_________________. 2008a. Nusa Tenggara Timur dalam Angka 2008. Badan


Pusat Statistik, Kupang.

_________________. 2008b. Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam Angka


2008. Badan Pusat Statistik, SoE.

_________________. 2009a. Nusa Tenggara Timur dalam Angka 2009. Badan


Pusat Statistik, Kupang.

_________________. 2009b. Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam Angka


2008. Badan Pusat Statistik, SoE.

_________________. 2009c. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

_________________. 2010a. Nusa Tenggara Timur dalam Angka 2010. Badan


Pusat Statistik, Kupang.

_________________. 2010b. Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam Angka


2008. Badan Pusat Statistik, SoE.

_________________. 2010c. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Bahar, Y. H. dan W. Nugraheni. 2008. Hasil Survei Produktivitas Hortikultura di


Indonesia. Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian,
Jakarta. Diakses dari http://www.deptan.go.id, tanggal 15 September
2010.

Bakhsh, K., B. Ahmad and S. Hassan. 2006. Food Security Through Increasing
Technical Efficiency. Asian Journal of Plant Science, 5(6): 970-976.

Ball, V. E. 1985. Output, Input dan Productivity Measurement in United State


Agriculture, 1948-1979. American Journal of Agricultural Economics,
2(3): 475-485.

Bank Indonesia. 2008. Based Line Economic Survey Komoditas Unggulan


Provinsi NTT. Hasil Penelitian. Bank Indonesia, Kupang.

Bateman, D. A., M. Nishimizu and J. M. Page. 1988. Regional Productivity


Differentials and Development Policy in Yugoslavia, 1965-1978. Journal
of Comparative Economics, 12(1): 24-42.
315

Battese, G. E. 1992. Frontier Production Function and Technical Efficiency: A


Survey of Empirical Application in Agricultural Economics. Journal of
Agricultural Economics, 7(1): 185-208.

Battese, G. E. and T. J. Coelli. 1988. Prediction of Firm Level Technical


Efficiencies with a Generalized Frontier Production Function and Panel
Data. Journal of Econometrics, 38(3): 387-399.

Battese, G. E. and T. J. Coelli. 1992. Frontier Production Functions, Technical


Efficiency and Panel Data: with Application to Paddy Farmers in India.
The Journal of Productivity Analysis, 3(1): 153-169.

Battese, G. E. and T. J. Coelli. 1995. A Model for Technical Inefficiency Effect


in a Stochastic Frontier Production for Panel Data. Empirical
Economics, 20(2): 325-332.

Bettie, B. and C. R. Taylor. 1994. Ekonomi Produksi. Terjemahan. Fakultas


Ekonomi Universitas Gajah Mada. Gajah Mada Univercity Press,
Yogyakarta.

Berndt, E. R. and L. R. Christensen. 1973. The Translog Function and the


Substitution of Equipment Structures and Labour in U.S. Manufacturing,
1929-1968. Journal of Econometrics, 1(1): 10-16.

Binger, B. R. and E. Hoffman. 1988. Microeconomics with Calculus. Scott,


Foresman and Company, London.

Binswanger, H. P. and D. A. Sillers. 1983. Risk Aversion and Credit Constraints


in Farmers’ Decision Making: a Reinterpretation. Journal of
Development Studies, 20(1): 5-21.

Bizimana, N. and S. R. D. Ferrer. 2004. Farm Size, Land Fragmentation and


Economic Efficiency in Southern Rwanda. Journal of Agricultural
Economics 43(2): 244-262. Diakses dari http://purl.umn.edu/9489,
tanggal 20 Agustus 2008.

Boshrabadi, H. M., R. Villano and E. Fleming. 2006. Analysis of Technical


Efficiency and Varietal Differences in Pistachio Production in Iran:
Using a Meta-Frontier Analysis. Working Paper Series No. 2006-9. The
University of New England, Armidale.

Bravo-Ureta, B. E. and A. E. Pinheiro. 1993. Efficiency Analysis of Developing


Country Agriculture: A Review of the Frontier Function Literature.
Agriculture and Resource Economic Review, 22(1): 88-101.

Bravo-Ureta, B. E., D. Solis, V. H. M. Lopez, J. F. Maripani and T. Rivas. 2007.


Technical Efficiency in Farming: A Meta-Regression Analysis. Journal
of Productivity Analysis, 27(1): 57-72.
316

Burns, C. A. and R. F. Bush. 2000. Marketing Research. Third Edition. Prentice


Hall International Inc, Florida.

Callan, S. J. 1987. Productivity, Scale Economies and Technical Change:


Reconsidered. Southern Economic Journal, 54(3): 715-724.

Casseli, F. and W. J. Coleman. 2006. The World Technology Frontier. The


American Economic Review, 37(3): 499-521.

Chambers, R. G. 1994. Applied Production Analysis: A Dual Approach.


Cambridge University Press, New York.

Chand, R. and J. L. Kaul. 1986. A Note on the Use of the Cobb-Douglas Profit
Function. American Journal of Agricultural Economics, 53(1): 162-164.

Chen, N., L. An and K. Ma. 2001. The Post Harvest Handling System for Melon
in Northwestern China: Status, Problems dan Prospects. Proceedings on
Quality Assurance in Agricultural Produce No. 105: 38-43. Organized by
Australian Center for International Agricultural Research, Canberra.

Christensen, L. R., D. W. Jorgenson and L. J. Lau. 1973. Transcendental


Logarithmic Production Frontiers. Review of Economic and Statistics,
5(1): 82-86.

Coelli, T. J. 1992. A Computer Program for Frontier Production Function


Estimation. Economics Letter, 39(1): 29-32.

Coelli, T. J. 1995. Recent Development in Frontier Estimation and Efficiency


Measurement. Australlian Journal of Agricultural Economics, 39(1): 219-
245.

Coelli, T. J. 1996. A Guide to Frontier Version 4.1: A Computer Program for


Stochastic Frontier Production and Cost Function Estimation. Centre for
Efficiency and Productivity Analysis. University of New England Press,
Armidale.

Coelli, T. J. and E. Fleming. 2004. Diversification Economies and Specialization


Efficiencies in a Mixed Food and Coffee Smallholders Farming System
in Papua New Guinea. Journal of Agricultural Economics, 31(2): 229-39.

Coelli, T. J. and S. Parelman. 1996a. Efficiency Measurement, Multi-Output


Technologies and Distance Functions: With Application to European
Railways. CREPP Discussion Paper No. 96/05, University of Liege,
Liege.

Coelli, T. J. and S. Parelman. 1996b. A Comparison of Parametric and Non


Parametric Distance Functions: With Application to European Railways.
CREPP Discussion Paper No. 96/05, University of Liege, Liege.
317

Coelli, T. J, D. S. P. Rao and G. E. Battese. 1998. An Introduction to Efficiency


and Productivity Analysis. Kluwer Academic Publisher, Boston.

Daryanto, H . K. S. 2000. Analysis of the Technical Efficiency of Rice Production


in West Java Province Indonesia: A Stochastic Frontier Production
Function Approach. PhD Dissertation. School of Economics, The
University of New England, Armidale.

Debertin, D. L. 1986. Agricultural Production Economics. Collier Macmillan


Publisher, New York.

Departemen Pertanian. 2003. Profil Jeruk Seri II. Direktorat Tanaman Buah,
Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura, Departemen Pertanian,
Jakarta.

_________________. 2005. Program Pengembangan Hortikultura. Direktorat


Jenderal Bina Produksi Hortikultura, Departemen Pertanian, Jakarta.
Diakses dari http://www.deptan.go.id, tanggal 15 Agustus 2008.

_________________. 2006. Standar Prosedur Operasional (SPO) Jeruk Keprok


SoE: Kabupaten Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan dan
Kupang; Provinsi Nusa Tenggara Timur. Direktorat Budidaya Tanaman
Buah, Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian, Jakarta.

_________________. 2007. Produksi, Volume dan Nilai Ekspor-Impor


Hortikultura Indonesia Tahun 1997-2006. Direktorat Jenderal
Hortikultura, Departemen Pertanian, Jakarta. Diakses dari
http://www.deptan.go.id, tanggal 12 Januari 2009.

_________________. 2008a. Hasil Survei Produktivitas Hortikultura di Provinsi


Jawa Timur dan Sumatera Selatan. Direktorat Jenderal Hortikultura,
Departemen Pertanian, Jakarta. Diakses dari http://www.deptan.go.id,
tanggal 12 Januari 2009.

_________________. 2008b. Gambaran Kinerja Makro Hortikultura Indonesia.


Direktorat Budidaya Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Hortikultura,
Departemen Pertanian, Jakarta. Diakses dari http://www.deptan.go.id,
tanggal 09 Januari 2010.

_________________. 2008c. Panduan Budidaya Buah yang Benar (Good


Agricultural Practices) Menuju Sertifikasi Prima 3, 2 dan 1. Direktorat
Budidaya Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen
Pertanian, Jakarta.

_________________. 2008d. Pengembangan Jeruk Keprok Nasional. Direktorat


Budidaya Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen
Pertanian, Jakarta. Diakses dari http://www.deptan.go.id, tanggal 15
Januari 2010.
318

_________________. 2009a. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan


Produktivitas Jeruk Tahun 1995-2008. Direktorat Budidaya Tanaman
Buah, Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian, Jakarta.
Diakses dari http://www.deptan.go.id, tanggal 12 September 2009.

_________________. 2009b. Profil Jeruk Keprok di Indonesia. Direktorat


Budidaya Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen
Pertanian, Jakarta.

_________________. 2009c. Pedoman Penilaian Kebun Buah GAP. Direktorat


Budidaya Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen
Pertanian, Jakarta.

_________________. 2010. Komoditas Tanaman Binaan Departemen Pertanian


Republik Indonesia. Direktorat Budidaya Tanaman Buah, Direktorat
Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian, Jakarta. Diakses dari
http://www.deptan.go.id, tanggal 2 September 2010.

Dhehibi, B., L. Lachaal, M. Elloumi and E. B. Messaoud. 2007a. Measuring


Irrigation Water Use Efficiency; Using Stochastic Production Frontier:
An Application on Citrus Producing Farms in Tunisia. African Journal of
Agricultural and Resource Economics, 1(2): 114-128.

_________________________________________________. 2007b. Measuring


and Sources of Technical Efficiency in the Tunisian Citrus Growing
Sector. Paper Presented at the 1st Mediterranean Conference of Agro-
Food Social Scientists; 103rd EAAE Seminar on Adding Value to the
Agro-Food Supply Chain in the Future Euro Mediterranean Space. April
23rd-25th, 2007, Barcelona.

Dinas Kehutanan, 2008. Laporan Tahunan Kegiatan Dinas Kehutanan Tahun


2008. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Timor Tengah
Selatan, SoE.

Dinas Pertanian. 2007a. Keadaan Tanaman Buah-Buahan Tahun 2004-2006.


Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Kupang.

____________. 2007b. Hasil Verifikasi dan Validasi Data Tanaman Buah-Buahan


Tahun 1997-2006. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan
Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang.

____________. 2007c. Survei Komoditas Pertanian Unggulan Kabupaten Timor


Tengah Selatan. Laporan Penelitian. Dinas Pertanian dan Ketahanan
Pangan Kabupaten Timor Tengah Selatan, SoE.

____________. 2009. Pertanian Dalam Angka. Rekapan Data Tanaman Pangan


dan Hortikultura Serta Data Pendukung Pertanian Lainnya di Kabupaten
319

Timor Tengah Selatan. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan


Kabupaten Timor Tengah Selatan, SoE.

____________. 2010a. Keadaan Tanaman Buah-Buahan Tahun 2002-2008. Dinas


Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Kupang.

____________. 2010b. Standar Prosedur Operasional Jeruk Keprok SoE:


Kabupaten Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan dan Kupang
(Revisi). Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan Provinsi
Nusa Tenggara Timur, Kupang.

____________. 2010c. Laporan Tahunan Kegiatan Tahun 2009. Dinas Pertanian


dan Ketahanan Pangan Kabupaten Timor Tengah Selatan, SoE.

Doll, J. P. and F. Orazem. 1984. Production Economics: Theory and Applications.


John Wiley & Sons Inc, New York.

D’Sounza, G., D. Cypher and T. Phipps. 1993. Factors Affecting the Adoption of
Sustainable Agricultural Practices. Agricultural and Resource Economic
Review, 22(2): 159-165.

Easter, K. W., M. E. Abel and G. Norson. 1977. Regional Differences in


Agricultural Productivity in Selected Areas of India. American Journal of
Agricultural Economics, 57(2): 257-265.

Erwidodo. 1992a. Stochastic Production Frontier and Panel Data: Measuring


Economic Efficiency on Wetland Rice Farms in West Java. Jurnal Agro
Ekonomi, 11(2): 19-36.

________. 1992b. Stochastic Profit Frontier and Panel Data: Measuring Economic
Efficiency on Rice Farms in West Java. Jurnal Agro Ekonomi, 11(2): 19-
38.

Fare, R. and C. A. K. Lovell. 1978. Measuring the Technical Efficiency of


Production. Journal of Economic Theory, 19: 150-162.

Farel, M. J. 1957. The Measurement of Productive Efficiency. Journal of The


Royal Statistical Society, Series A, 120(1): 253-290.

Food and Agricultural Organization (FAO). 2010. Statistical Year Book of


Agriculture. Diakses dari faostat.fao.org, tanggal 2 September 2010.

Forsund, F. R., C. A. Lovell and P. S. Schmidt. 1980. A Survey of Frontier


Production Function and of their Relationship to Efficiency
Measurement. Journal of Econometrics, 13(1): 4-27.
320

Furtan, W. H. and R. S. Gray. 1981. The Translog Production Function:


Application to Saskatchewan Agricultural. Canadian Journal of
Agricultural Economics, 29(1): 82-86.

Goletti, F. and E. Samman. 2000. Globalisation and the Benefits of a Broad-Based


Approach to Post-Harvest Systems Development. In: Jonhson, G. I., Le
van To, D. D. Nguyen and M. C. Webb. Editors. Proceedings on Quality
Assurance in Agricultural Produce No. 100: 18-40. Organized by
Australian Center for International Agricultural Research (ACIAR),
Canberra.

Greene, W. H. 1993. Maximum Likelihood Estimation of Econometric Frontier


Functions. Jornal of Econometric, 13(10: 27-56.

Greene, W. H. 2000. Econometric Analysis. Prenctice Hall Int., London.

Hallam, D and F. Machado. 1996. Efficiency Analysis with Panel Data: a Study of
Portuguese Dairy Farm. Eurepean Review on Agricultural Economics,
12(1): 79-93.

Halter, A. N., H. O. Carter and J. G. Hocking. 1966. A Note on the


Transcendental Production Function. Econometrica, 34(4): 966-974.

Hayami, Y. 1970. On the Use of the Cobb Douglas Production Function on the
Cross Country Analysis of Agricultural Production. American Journal of
Agricultural Economics, 57(2): 327-329.

Hazarika, C. And S. R. Subramanian. 1999. Estimation of Technical Efficiency in


the Stochastic Frontier Production Function Model: An Application to
the Tea Industry in Assam. Indian Journal of Agricultural Economics,
54(2): 201-211.

Hawkins, D. I., R. J. Best and K. A. Coney. 2001. Consumer Bahaviour: Building


Marketing Strategy. Irwin-McGraw-Hill, New York.

Highley, E. and M. Webb. 2001. Linking Farmers to Markets. Newsletter on


Postharvest No. 56: 6-7. Organized by Australian Center for
International Agricultural Research, Canberra.

Igliori, D. C. 2005. Determinants of Technical Inefficiency in Agriculture and


Cattle Ranching: A Spatial Analysis for the Brazilian Amazon.
Discussion Paper No.09.2005. Diakses dari http://purl.umn.edu/31927,
tanggal 15 Agustus 2008.

Jamison, D. T. and L. J. Lau. 1982. Farmer Education and Farm Efficiency. John
Hopkins, London.
321

Jondrow, J., C. A. K. Lovell, I. S. Meterov and P. S. Schmidt. 1982. On


Estimation of Technical Inefficiency in the Stochastic Frontier
Production Model. Journal of Econometrics, 19(3): 233-238.

Kalirajan, K. P. 1981. An Econometric Analysis of Yield Variability in Paddy


Production. Canadian Journal of Agricultural Economics, 29(2): 283-
294.

____________. 1984. Farm-Spesific Technical Efficiencies and Development


Policies. Journal of Econometric Studies, 11(1): 3-13.

____________. 1990. On Measuring Economic Efficiency. Journal of Applied


Econometrics, 5(1): 75-85.

____________. 1991. The Importance of Efficient Use in the Adoption of


Technology: A Micro Panel Data Analysis. Journal of Productivity
Analysis, 2(2): 113-126.

Kalirajan, K. P. and J. C. Flinn. 1983. The Measurement of Farm-Specific


Technical Efficiency. Pakistan Journal of Applied Economics, 2(1): 167-
180.

Kalirajan, K. P. and R. T. Shand. 1985. Types of Education and Agricultural


Productivity : A Quantitative Analysis of Tamil Nadu Rice Farming. The
Journal of Development Studies, 21(2): 232-243.

_________________________. 1986. Estimating Location Spesific and Firm


Specific Technical Efficiency: An Analysis of Malaysian Agiculture.
Journal of Economic Development, 11(1): 147-160.

_________________________. 1989. A Generalized Measure of Technical


Efficiency. Pakistan Journal of Applied Economics, 21(1): 25-34.

Kaneda, H. 1982. Specification of Production Function for Analysing Technical


Change and Factors Inputs in Agricultural Development. Journal of
Development Economics, 11(1): 97-108.

Kodde, D. A. and F. C. Palm. 1986. Wald Criteria for Jointly Testing Equality and
Inequality Restrictions. Econometrica, 54: 1243-1248.

Kopp, R. J. and V. K. Smith. 1980. Frontier Production Function Estimates for


Steam Electrict Generation: A Comparative Analysis. Southern
Economic Journal, 7: 1049-1059.

Kumbhakar, S. C. 2001. Estimation of Profit Functions, When Profit is not


Maximum. American Journal of Agricultural Economics, 83(1): 1-19.
322

______________. 2002. Specification and Estimation of Production Risk, Risk


Preference and Technical Efficiency. American Journal of Agricultural
Economics, 84(1): 8-22.

Kumbhakar, S. C. and C. A. K. Lovell. 2003. Stochastic Frontier Analysis.


Cambridge University Press, London.

Kumbhakar, S. C. and E. G. Tsionas. 2005. The Joint Measurement and


Allocative Efficiencies: an Application of Bayesian Inference in Non
Linear Random Effect Models. Journal of the American Statistical
Association, 100(471): 736-747. Diakses dari
http://www.ingentaconnect.com, tanggal 11 Agustus 2008.

Kurniawan, A. Y. 2008. Analisis Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usahatani


Jagung pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan
Selatan. Thesis Magister Sains. Sekolah Pasacasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Lambarraa, L., J. M. Gil and T. Serra. 2007. Are the Spanish Citrus Farms
Efficient? Paper Presented at the 1st Mediterranean Conference of Agro-
Food Social Scientists, 103rd EAAE Seminar on Adding Value to the
Agro-Food Supply Chain in the Future Euro Mediterranean Space. April
23rd-25th, 2007, Barcelona.

Liefert, W., M. B. Gardner and E. Serova. 2003. Allocative Efficiency in Russian


Agriculture: The Case of Fertilizers and Grains. American Journal of
Agricultural Economics, 85(5): 1228-1233.

Linn, B. H., H. Taylor, H. Delvo and L. Bull. 1995. Factors Influencing Herbicide
Use in Corn Production in the North Central Region. Review of
Agricultural Economics, 17(1): 159-169.

Lovell, C. A. K. 1996. Applying Efficiency Measurement Techniques to the


Measurement of Productivity Change. Journal of Productivity Analysis,
7(1): 125-146.

Mahadevan, R. 2002. A Frontier Approach to Measuring Total Factor


Productivity Growth in Singapore Service’s Sector. Journal of Economic
Studies, 29(1): 48-58.

Mason, R., S. Wei, D. Adar, E. Woods and S. Singgih. 2002. Preferences of


Domestic and Imported Mandarin in Bali, Indonesia. Food Australia
Journal, 54(5): 193-195.

McColl-Kennedy, J. R. and G. C. Kiel. 2000. Marketing: A Strategic Approach.


Nelson Inc., Melbourne.
323

Milla, K., D. Adar dan M. Sabuna. 2002. Studi Kelayakan Usahatani Jeruk
Keprok SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Laporan Penelitian.
Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

Morinaga, K. 2006. New Technologies for Improving Quality and Efficiency of


Citrus Fruit Production in Mountainous Area of Japan. Journal of Japan
Society of Horticulture, 70(2): 241-245.

Ogundari, K. and S. O. Ojo. 2006. An Examination of Technical, Economic and


Allocative Efficiency of Small Farms: The Case Study of Cassava
Farmers in Osun State of Nigeria. Journal of Central European
Agriculture, 7(3): 423-432.

Ogundari, K., S. O. Ojo and I. A. Ajibehun. 2006. Economies of Scale and Cost
Efficiency in Small Maize Production: Empirical Evidence from Nigeria.
Journal of Social Science, 13(2): 131-136.

Owen, K., V. Wright and G. Griffith. 2000. Quality, Uncertainty & Consumer
Valuation of Fruits and Vegetables. Australian Agribusiness Review,
8(4): 340-348.

Parikh, A. and M. K. Shah. 1995. Measurement of Economic Efficiency in


Pakistan Agricuture. American Journal of Agricultural Economics, 77(3):
675-685.

Pellu, N., D. Adar dan N. Serman. 2001. Analisis Ekonomi Usahatani Jeruk
Keprok SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Laporan Penelitian.
Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

Picaso-Tadeo, A. J. and E. Reig-Martinez. 2006. Outsourcing and Efficiency: The


Case of Spanish Citrus Farming. Agricultural Economics, International
Association of Agricultural Economists, 35(2): 213-222.

Pindyck, R. S. and D. L. Rubenfield. 1998. Econometric Models and Economic


Forecasts. Fourth Edn. Irwin McGraw-Hill, Boston.

Ray, S. C. 2004. Measuring Scale Efficiency from a Translog Production. Journal


of Productivity Analysis, 11(1): 183-194.

Reig-Martinez, E. and A. J. Picazo-Tadeo. 2004. Analysing Farming Systems


with Data Envelopment Analysis: Citrus Farming in Spain. Agricultural
Systems, 82(1): 17-30.

Richmond, J. 1974. Estimating the Efficiency of the Production. International


Economic Review, 15(3): 515-521.
324

Roche, F. E. 1994. The Technical and Price Efficiency of Fertilizer Use in


Irrigated Rice Production. Bulletin of Indonesian Economic Studies,
30(1):59-83.

Saon R. 2004. The Changing Role of Technological Factors in Explaining


Efficiency in India Firms. Journal of Economic Literature, 24(1): 127-
140.

Schmidt, P. 1977. On the Statistical Estimation of Parametric Frontier Production


Function. Review of Economics and Statistics, 37(2): 355-374.

___________. 1986. Frontier Production Function. Econometric Review, 4(2):


289-328.

Schmidt, P. and C. A. K. Lovell. 1979. Estimating Technical and Allocative


Inefficiency Relative to Stochastic Production and Cost Functions.
Journal of Econometrics, 9(2): 343-366.

Sharma, K. R. and P. S. Leung. 2000. Technical Efficiency of Carp Production in


India: A Stochastic Frontier Production Function Analysis. Aquaculture
Resource, 31: 937-947.

Silva, E. and S. E. Stefanou. 2007. Dynamic Efficiency Measurement: Theory and


Application. American Journal of Agricultural Economics, 89(2): 398-
419.

Sirait, H. 2007. Inefisiensi Teknis, Stagnasi Teknologi dan Total Faktor


Produktivitas Industri Manufaktur Usaha Menengah dan Usaha Besar:
Pendekatan Stochastic Production Frontier. Disertasi Doktor. Sekolah
Pasacasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Siregar, M. 1987. Effects of Some Selected Variables on Rice Farmers’ Technical


Efficiency. Jurnal Agro Ekonomi, 6(1): 94-102.

Soekartawi. 2003. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. Cetakan ke-6. Rajawali


Press, Jakarta.

Squires, D. and S. Tabor. 1991. Technical Efficiency and Future Production Gains
in Indonesia. Developing Economics, 29: 258-270.

Suek, J., N. Zigma dan S. Widinugraheni. 1998. Analisis Usahatani Jeruk: Suatu
Telaahan Agronomis. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian, Universitas
Nusa Cendana, Kupang.

Sukiyono, K. 2005. Faktor Penentu Tingkat Efisiensi Teknis Cabai Merah di


Kecamatan Selupu Rejang, Kebupaten Rejang Lebong. Jurnal Agro
Ekonomi, 23(2): 176-190.
325

Sumaryanto. 2001. Estimasi Tingkat Efisiensi Usahatani Padi dengan Fungsi


Produksi Frontier Stokastik. Jurnal Agro Ekonomi,19(1): 65-84.

Sumaryanto, Wahida dan M. Siregar. 2003. Determinan Efisiensi Teknis


Usahatani di Lahan Sawah Irigasi. Jurnal Agro Ekonomi, 21(1): 72-96.

Supriyanto, A. 2006. Program Pembangunan dan Pengembangan Agribisnis Jeruk


Keprok di Indonesia. Makalah Disampaikan pada Workshop Apresiasi
Prosedur Operasional Standar Jeruk Keprok SoE, Tanggal 16-18 Mei
2006, Kupang.

Tadesse, B. and S. Krishnamoorthy. 1997. Technical Efficiency in Paddy Farms


of Tamil Nadu: An Analysis Based on Farm Size and Ecological Zone.
Journal of Agricultural Economics, 16(3):185-192.

Trewin, R., L. Weiguo, Erwidodo and S. Bahri. 1995. Analysis of Technical


Efficiency Over Time of West Javanese Rice Farms. Australian Journal
of Agricultural Economics, 39:143-163.

Udoh, E. J. 2005. Technical Inefficiency in Vegetable Farms of Humid Region:


An Analysis of Dry Season Farming by Urban Women in South Zone.
Negeria Journal Agricultural Social Science, 2: 80-85.

Ulveling, E. F. and L. B. Fletcher. 1970. A Cobb Douglas Production Function


with Variable Return to Scale. American Journal of Agricultural
Economics, 57(3): 322-326.

Utama, S. P. 2003. Kajian Efisiensi Teknis Usahatani Padi Sawah pada Petani
Peserta Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) di
Sumatra Barat. Jurnal Akta Agrosia, 6(2): 67-74.

Vedenov, D., J. Houston and G. Cardenas. 2007. Production Efficiency and


Diversification in Mexican Coffee Producing Districts. Journal of
Agricultural and Applied Economics, 39(3) :749-763

Villano, R. and E. Fleming. 2005. Technical Inefficiency and Production Risk in


Rice Farming: Evidence from Central Luzon Philippines. Asian
Economic Journal, 20(1): 29-46.

Wang, H. and P. Schmidt. 2002. One Step and Two Step Estimation of the Effects
of Exogenous Variables on Technical Efficiency Levels. Journal of
Productivity Analysis, 18: 129-144.

Wei, S., E. Woods and D. Adar. 2001. West Timor Mandarin Marketing Case
Study: Implications for Supply Chain Management in Developing
Countries. Proceedings on Agriproduct Supply Chain Management in
Developing Countries No. 105: 49-53. Organized by Australian Center
for International Agricultural Research, Canberra.
326

Wilson, P., D. Hadley, S. Ramsden and I. Kaltsas. 1998. Measuring and


Explaining Technical Efficiency in UK Potato Production. American
Journal of Agricultural Economics, 49(3): 294-305.

Winangun, W. Y. 2005. Membangun Karakter Petani Organik Sukses dalam Era


Globalisasi. Penerbit Kanisius, Jakarta.

Wollni, M. 2007. Productive Efficiency of Specialty and Conventional Coffee


Farmers in Costa Rica: Accounting for the Use of Different
Technologies and Self Selection. Paper Presented at the American
Agricultural Economics Association Annual Meeting. July 29- August
1, 2007, Portland.

Woods, E., S. Wei, D. Adar, S. Singgih. 2002. Supply Chain Management as


Beyond Operational Efficiency. Acta Horticulture Journal, 57(5): 425-
431.

Wu, S. Y. and B. Roe. 2007. Contract Enforcement, Social Efficiency and


Distribution: Some Experimental Evidence. American Journal of
Agricultural Economics, 89(2): 243-258.

Yao, S. And Z. Liu. 1998. Measuring Determinant of Grain Production and


Technical Efficiency in China. Journal of Agricultural Economics,
49(2): 294-305.

Yusuf, Masyhuri, H. Jangkung dan Masniah. 2009. Analisis Kelayakan Usahatani


Jeruk Keprok SoE Di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Laporan Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang.

Zellner, A., J. Kmenta and J. Dreze. 1966. Specification and Estimation of Cobb-
Douglas Production Function. Econometrica, 34(4):784-795.
Lampiran 1. Jumlah Tanaman, Luas Panen dan Produksi Jeruk Keprok SoE per Kecamatan, Tahun 2004-2008
Tabel 1. Jumlah Tanaman Jeruk Keprok SoE, Tahun 2004-2008
No Kecamatan Jumlah Tanaman (Pohon)
2004 2005 2006 2007 2008 Total (Pohon) Rata-rata (Pohon)
1 Mollo Utara 267 832. 0 323 808. 0 349 808. 0 347 297. 0 347 031. 0 1 635 776. 0 327 155. 2
2 Mollo Selatan 170 176. 0 165 171. 0 190 100. 0 193 750. 0 191 640. 0 910 837. 0 182 167. 4
3 Amanuban Barat 33 585. 0 43 085. 0 54 451. 0 99 501. 0 145 156. 0 375 778. 0 75 155. 6
4 Kota SoE 44 079. 0 43 375. 0 43 375. 0 48 855. 0 46 855. 0 226 539. 0 45 307. 8
5 Amanuban Selatan 47 479. 0 41 945. 0 41 945. 0 41 106. 0 38 701. 0 211 176. 0 42 235. 2
6 Fatumnasi 41 241. 0 40 000. 0 40 000. 0 39 720. 0 38 500. 0 199 461. 0 39 892. 2
7 Amanatun Selatan 31 676. 0 23 483. 0 23 483. 0 22 539. 0 32 812. 0 133 993. 0 26 798. 6
8 Kunfatu 10 863. 0 10 763. 0 16 490. 0 43 220. 0 43 600. 0 124 936. 0 24 987. 2
9 Pollen 15 700. 0 19 700. 0 19 700. 0 18 969. 0 18 969. 0 93 038. 0 18 607. 6
10 Amanuban Tengah 14 613. 0 12 729. 0 14 729. 0 14 025. 0 23 764. 0 79 860. 0 15 972. 0
11 KiE 10 120. 0 10 120. 0 10 125. 0 10 125. 0 10 125. 0 50 615. 0 10 123. 0
12 Nunkolo 14 676. 0 10 676. 0 10 676. 0 7 372. 0 6 223. 0 49 623. 0 9 924. 6
13 Amanuban Timur 5 657. 0 5 182. 0 5 182. 0 4 972. 0 14 612. 0 35 605. 0 7 121. 0
14 Toianas 0. 0 3 555. 0 7 615. 0 9 000. 0 9 000. 0 29 170. 0 5 834. 0
15 Kolbano 0. 0 1 332. 0 7 332. 0 7 182. 0 9 182. 0 25 028. 0 5 005. 6
16 Boking 4 598. 0 4 643. 0 4 700. 0 5 685. 0 4 685. 0 24 311. 0 4 862. 2
17 Oenino 81. 0 42. 0 3 470. 0 7 144. 0 7 184. 0 17 921. 0 3 584. 2
18 Batu Putih 2 273. 0 2 273. 0 2 273. 0 2 273. 0 2 273. 0 11 365. 0 2 273. 0
19 kotolin 0. 0 850. 0 850. 0 4 451. 0 3 915. 0 10 066. 0 2 013. 2
20 Amanatun Utara 1 660. 0 1 928. 0 1 928. 0 698. 0 1 498. 0 7 712. 0 1 542. 4
21 Kualin 1 225. 0 1 113. 0 1 113. 0 1 118. 0 1 108. 0 5 677. 0 1 135. 4
Sumber: Dinas Pertanian, 2009.
Keterangan: 1 ha = 278 pohon (jarak tanam 6 x 6 m)
Lampiran 1. Lanjutan
Tabel 2. Luas Panen Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2004-2008
No Kecamatan Luas Panen (Pohon)
2004 2005 2006 2007 2008 Total (Pohon) Rata-rata (Pohon)
1 Mollo Utara 120 566.0 145 266.0 124 031.0 143 640.0 130 614.0 664 117.0 132 823.4
2 Mollo Selatan 41 405.0 12 311.0 65 000.0 128 750.0 128 750.0 376 216.0 75 243.2
3 kota SoE 3 786.0 7 337.0 36 054.0 36 054.0 36 054.0 119 285.0 23 857.0
4 Fatumnasi 9 593.0 2 150.0 6 350.0 38 500.0 31 500.0 88 093.0 17 618.6
5 Kuanfatu 9 600.0 3 200.0 10 600.0 15 000.0 15 000.0 53 400.0 10 680.0
6 Amanuban Tengah 7 641.0 8 199.0 9 400.0 9 400.0 9 098.0 43 738.0 8 747.6
7 Amanatun Selatan 6 698.0 4 816.0 8 424.0 8 020.0 8 020.0 35 978.0 7 195.6
8 Pollen 10 788.0 3 391.0 5 349.0 5 349.0 5 349.0 30 226.0 6 045.2
9 KiE 1 400.0 1 400.0 8 410.0 8 410.0 8 410.0 28 030.0 5 606.0
10 Nunkolo 6 850.0 2 477.0 2 763.0 5 373.0 3 898.0 21 361.0 4 272.2
11 Amanuban Barat 115.0 2 118.0 4 264.0 4 095.0 4 095.0 14 687.0 2 937.4
12 Amanuban Timur 1 740.0 1 800.0 1 800.0 2 625.0 1 500.0 9 465.0 1 893.0
13 Boking 193.0 326.0 1 536.0 2 894.0 2 894.0 7 843.0 1 568.6
14 Kotolin 0.0 350.0 350.0 3 800.0 2 900.0 7 400.0 1 480.0
15 Batu Putih 2 165.0 1 130.0 1 130.0 1 130.0 1 130.0 6 685.0 1 337.0
16 Toianas 0.0 600.0 1 000.0 1 000.0 1 000.0 3 600.0 720.0
17 Kualin 0.0 851.0 874.0 930.0 137.0 2 792.0 558.4
18 Amanatun Utara 306.0 306.0 611.0 601.0 421.0 2 245.0 449.0
19 Oenino 81.0 25.0 585.0 585.0 610.0 1 886.0 377.2
20 Amanuban Selatan 254.0 330.0 184.0 182.0 182.0 1 132.0 226.4
Sumber: Dinas Pertanian, 2009.
Keterangan: 1 ha = 278 pohon (jarak tanam 6 x 6 m
Lampiran 1. Lanjutan
Tabel 3. Jumlah Produksi Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2004-2008
No Kecamatan Jumlah Produksi (Kw)
Total (Kw) Rata-rata (Kw)
2004 2005 2006 2007 2008
1 Mollo Utara 57 169.0 43 579.0 37 209.0 21 546.0 26 123.0 185 626.0 37 125.2
2 Mollo Selatan 12 421.0 3 693.0 19 500.0 19 312.0 25 750.0 80 676.0 16 135.2
3 kota SoE 757.0 1 467.0 7 210.0 3 605.0 7 211.0 20 250.0 4 050.0
4 Fatumnasi 1 918.0 537.0 1 587.0 5 775.0 6 300.0 16 117.0 3 223.4
5 Kuanfatu 2 880.0 960.0 3 180.0 2 250.0 3 000.0 12 270.0 2 454.0
6 Amanatun Selatan 1 333.0 963.0 1 684.0 802.0 1 604.0 6 386.0 1 277.2
7 Amanuban Tengah 1 528.0 1 639.0 188.0 940.0 1 820.0 6 115.0 1 223.0
8 Pollen 2 157.0 678.0 1 069.0 534.0 1 070.0 5 508.0 1 101.6
9 KiE 350.0 350.0 2 105.0 841.0 1 682.0 5 328.0 1 065.6
10 Nunkolo 1 712.0 619.0 690.0 537.0 780.0 4 338.0 867.6
11 Amanuban Barat 28.0 529.0 1 066.0 614.0 819.0 3 056.0 611.2
12 Amanuban Timur 348.0 360.0 360.0 262.0 300.0 1 630.0 326.0
13 Batu Putih 433.0 226.0 226.0 113.0 226.0 1 224.0 244.8
14 Boking 28.0 48.0 230.0 289.0 579.0 1 174.0 234.8
15 Kotolin 0.0 70.0 70.0 380.0 580.0 1 100.0 220.0
16 Toianas 0.0 120.0 200.0 100.0 200.0 620.0 124.0
17 Amantun Utara 61.0 61.0 122.0 60.0 84.0 388.0 77.6
18 Kualin 0.0 127.0 131.0 93.0 27.0 378.0 75.6
19 Oenino 12.0 3.0 87.0 58.0 122.0 282.0 56.4
20 Amanuban Selatan 50.0 66.0 36.0 18.0 36.0 206.0 41.2
Sumber: Dinas Pertanian, 2009.
Keterangan: 1 ha = 278 pohon (jarak tanam 6 x 6 m
331

Lampiran 2. Penelitian Terdahulu dengan Metode Stokastik Frontier di


Bidang Pertanian, Berdasarkan Jenis Komoditas dan Tahun
Penelitian

Pengarang Tahun Negara Produk Jumlah Mean


Pertama 1) Obs. TE

Bravo-Ureta* 1993 3rd World Agregate Agriculture (Pertanian) 30.0 72.0


Squires 1991 Indonesia Beans (Kacang-kacangan) 305.0 63.0
Alrwis* 2004 Saudi Arabia Cassava (singkong) 101.0 59.0
Ogundari* 2006 Nigeria Cassava (singkong) 200.0 90.3
Cassava (singkong) 161.0 57.0
Dhehibi* 2007 Tunisia Citrus (jeruk) 150.0 86.0
Dhehibi* 2007a Tunisia Citrus (jeruk) 144.0 67.7
Lambarraa* 2007 Spain Citrus (jeruk) 859.0 64.1
Picazo-
Tadeo* 2006 Spain Citrus (jeruk) 0.0 0.0
Wollni* 2007 Costa Rica Coffee (Kopi) 216.0 0.0
Vedenov* 2007 Mexico Coffee (Kopi) 120.0 87.0
Bravo-
Ureta** 1990 Paraguay Cotton (kapas) 87.0 58.0
Aguilar 1993 Kenya Crops (Tanaman Pangan) 347.0 93.9
Ali 1994 Pakistan Crops (Tanaman Pangan) 436.0 24.0
Araujo 1999 Brazil Crops (Tanaman Pangan) 100.0 86.7
Bhattacharrya 1996 India Crops (Tanaman Pangan) 105.0 85.6
Bravo-Ureta 1994 Paraguay Crops (Tanaman Pangan) 94.0 58.5
Coelli 1996 India Crops (Tanaman Pangan) 277.0 73.4
Demir 1998 Turkey Crops (Tanaman Pangan) 67.0 55.0
Liu 2000 China Crops (Tanaman Pangan) 3 964.0 86.8
Rawlins 1985 Jamaica Crops (Tanaman Pangan) 101.0 71.7
Taylor 1986 Brazil Crops (Tanaman Pangan) 217.0 70.5
Taylor* 1986 Brazil Crops (Tanaman Pangan) 433.0 17.9
Tian 2000 China Crops (Tanaman Pangan) 298.0 89.2
Wang 1996 China Crops (Tanaman Pangan) 1 786.0 62.1
Yao 1998 China Crops (Tanaman Pangan) 30.0 64.1
Ahmad 1996 USA Dairy (Susu) 1 027.0 81.0
Battese 1988 Australia Dairy (Susu) 336.0 70.7
Bravo-Ureta 1990 USA Dairy (Susu) 404.0 83.9
Bravo-Ureta 1991 USA Dairy (Susu) 511.0 83.0
Brummer 2002 Germany, Dairy (Susu) 300.0 86.9
Cuesta 2000 Spain Dairy (Susu) 410.0 82.7
Dawson 1987 UK Dairy (Susu) 434.0 85.0
Dawson 1988 UK Dairy (Susu) 406.0 81.0
Dawson 1990 UK Dairy (Susu) 306.0 86.9
Dawson 1990 UK Dairy (Susu) 306.0 85.7
332

Lampiran 2. Lanjutan

Dawson 1991 UK Dairy (Susu) 306 86


Dawson 1991 UK Dairy (Susu) 22.0 89.0
Ghosh 1994 USA Dairy (Susu) 145.0 91.9
Hallam 1996 Portugal Dairy (Susu) 340.0 81.0
Heshmati 1994 Sweden Dairy (Susu) 600.0 82.3
Heshmati 1998 Sweden Dairy (Susu) 3 979.0 94.5
Iraizoz 2005 Spain Dairy (Susu) 2 594.0 84.3
Khumbakar 1989 USA Dairy (Susu) 89.0 78.9
Khumbakar 1991 USA Dairy (Susu) 519.0 70.4
Khumbakar 1995 Sweden Dairy (Susu) 1 425.0 84.7
Latruffe 2004 Netherlands Dairy (Susu) 250.0 80.5
Pierani 2003 Italy Dairy (Susu) 533.0 66.2
Reinhard 1999 Netherlands Dairy (Susu) 1 545.0 89.4
Silva* 2007 Pennsylvania Dairy (Susu) 6.0 89.0
Reinhard 2000 Netherlands Dairy (Susu) & Cattle (ternak) 1 535.0 89.5
Reinhard 2000 Netherlands Dairy (Susu) & Cattle (ternak) 2 589.0 83.8
Ray* 2004 India Firms (industri pertanian) 5 286.0 35.0
Casseli* 2006 World GDP 52.0 65.0
Ivaldi 1994 France Grains (biji-bijian) 405.0 61.2
Kalaitzandonak 1992 USA Grains (biji-bijian) 250.0 85.0
Java Rice (padi di jawa) 429.0 69.0
Bagi 1983 USA Livestock (ternak) 97.0 77.0
Abdulai 2001 Nicaragua Maize (Jagung) 120.0 72.0
Kalaitzandonak 1995 Guatemala Maize (Jagung) 82.0 74.0
Kalirajan 1986 Philipines Maize (Jagung) 73.0 64.7
Paul 2004 USA Maize (Jagung) 16590.0 93.5
Phillips 1986 Guatemala Maize (Jagung) 1 384.0 76.0
Seyoum 1998 Ethipio Maize (Jagung) 20.0 86.6
Mung beans (kacang hijau) 69.0 55.0
Squires** 1991a Indonesia Off Java Rice (padi luar Jawa) 323.0 70.0
Hasnah 2004 Sumatra Oil Palm (Minyak Sawit) 80.0 66.0
Karagiannis 2001 Greece Olive (Zaitun) 770.0 78.6
Sharma 1997 USA Other Animals (ternak lainnya) 60.0 74.9
Admassie 1999 Ethiopia Other Crops (Tan. Pangan Lain) 64.0 90.8
Ajibehun 1999 Nigeria Other Crops (Tan. Pangan Lain) 98.0 67.0
Ajibehun 2002 Nigeria Other Crops (Tan. Pangan Lain) 67.0 82.0
Amaza 2002 Nigeria Other Crops (Tan. Pangan Lain) 123.0 69.0
Battese 1989 India Other Crops (Tan. Pangan Lain) 289.0 83.7
Binam 2004 Cameroon Other Crops (Tan. Pangan Lain) 150.0 75.0
Coelli 2004 PNG Other Crops (Tan. Pangan Lain) 72.0 78.0
Giannakas 2000 Greece Other Crops (Tan. Pangan Lain) 875.0 69.7
Heshmati 1997 Sweden Other Crops (Tan. Pangan Lain) 929.0 75.8
333

Lampiran 2. Lanjutan

Lansink 2000 Netherlands Other Crops (Tan. Pangan Lain) 985.0 66.9
Parikh 1995 Pakistan Other Crops (Tan. Pangan Lain) 436.0 88.5
Tran 1993 Vietnam Other Crops (Tan. Pangan Lain) 165.0 59.0
Tzouvelekas 2001 Greece Other Crops (Tan. Pangan Lain) 29.0 76.0
Tzouvelekas 2001 Greece Other Crops (Tan. Pangan Lain) 86.0 63.9
Bakshoodeh 2001 Iran Other Grains (Biji-bijian lain) 164.0 33.0
Battese 1993 India Other Grains (Biji-bijian lain) 279.0 84.0
Battese 1997 Pakistan Other Grains (Biji-bijian lain) 330.0 90.0
Battese 1993a India Other Grains (Biji-bijian lain) 279.0 84.0
Battese 1993a Pakistan Other Grains (Biji-bijian lain) 273.0 74.6
Hadri 2003 England Other Grains (Biji-bijian lain) 606.0 86.4
Hadri 2003 England Other Grains (Biji-bijian lain) 612.0 86.0
Kurkalova 2003 Ukraina Other Grains (Biji-bijian lain) 164.0 94.2
Peanuts (Kacang-kacangan) 177.0 68.0
Boshrabadi* 2006 Iran Pistachio 475.0 54.0
Heshmati 1996 Uganda Plantain 144.0 65.3
Johnson 1994 Ukraina Potato (Kentang) 6 136.0 71.5
Wilson* 1998 UK Potato (Kentang) 140.0 89.5
Abdulai 2000 Ghana Rice (Padi) 120.0 73.0
Ali* 1989 Pakistan Rice (Padi) 120.0 72.0
Audibert 1997 Mali Rice (Padi) 836.0 69.5
Battese 1992 India Rice (Padi) 129.0 89.1
Battese* 1992 India Rice (Padi) 129.0 89.1
Dawson 1991 Philipines Rice (Padi) 101.0 69.7
Ekanayake 1987 Sri Lanka Rice (Padi) 62.0 75.0
Huang 1997 China Rice (Padi) 358.0 72.0
Kalirajan 1983 Philipines Rice (Padi) 79.0 50.0
Kalirajan 1984 Philipines Rice (Padi) 81.0 63.0
Kalirajan 1986 Malaysia Rice (Padi) 191.0 65.0
Kalirajan 1989 India Rice (Padi) 102.0 70.0
Kalirajan 1990 Philipines Rice (Padi) 103.0 79.0
Kalirajan 1991 India Rice (Padi) 120.0 69.0
Kalirajan 2001 India Rice (Padi) 500.0 67.5
Khumbakar 1994 India Rice (Padi) 227.0 75.5
Rep Of
Kwon 2004 Korea Rice (Padi) 5 130.0 75.0
Roche* 1994 Indonesia Rice (Padi) 7 117.0 82.0
Sherlund 2002 Cote d'Ivoire Rice (Padi) 464.0 43.0
Tadesse* 1997 India Rice (Padi) 129.0 83.0
Trewin 1995 Indonesia Rice (Padi) 1 026.0 86.5
Wadud 2000 Bangladesh Rice (Padi) 150.0 79.0
Xu 1998 China Rice (Padi) 30.0 84.8
334

Lampiran 2. Lanjutan

Shah 1994 Pakistan Sugarcane (Tebu) 380.0 79.2


Sharma 1999 USA Swine 53.0 75.2
Hazarika* 1999 India Tea ('Teh) 67.0 88.0
Iraizoz 2003 Spain Vegetables (sayur-sayuran) 46.0 80.0
Bashir 1995 Pakistan Wheat (Gandum) 150.0 33.0
Battese 1996 Pakistan Wheat (Gandum) 499.0 68.0
Giannakas 2001 Canada Wheat (Gandum) 900.0 76.9
Wilson 2001 UK Wheat (Gandum) 362.0 87.0
Bagi 1982 USA Whole farm (total usahatani) 48.0 80.5
Bravo-Ureta 1997 Dominican Whole farm (total usahatani) 60.0 70.0
Bravo-Ureta* 2007 World Whole farm (total usahatani) 167.0 76.6
Brummer 2000 Germany Whole farm (total usahatani) 5 093.0 96.0
Brummer 2001 Slovenia Whole farm (total usahatani) 185.0 74.4
Fan 1991 China Whole farm (total usahatani) 406.0 77.9
Huang 1984 India Whole farm (total usahatani) 151.0 89.0
Mochebelele 2000 Lesotho Whole farm (total usahatani) 150.0 70.0
Rezitis 2002 Greece Whole farm (total usahatani) 21 856.0 70.5
Rezitis 2003 Greece Whole farm (total usahatani) 5 544.0 70.2
Wang 1996 China Whole farm (total usahatani) 1 889.0 61.0
Wu 1995 China Whole farm (total usahatani) 28.0 54.1

Mean 75.5

Keterangan: 1) : semua studi yang tidak diberi tanda * bersumber dari


Bravo-Ureta et al. (2007)
* : bersumber dari artikel yang bersangkutan
** : bersumber dari Bravo-Ureta et al. (1993)
331

Lampiran 2. Penelitian Terdahulu dengan Metode Stokastik Frontier di


Bidang Pertanian, Berdasarkan Jenis Komoditas dan Tahun
Penelitian

Pengarang Tahun Negara Produk Jumlah Mean


Pertama 1) Obs. TE

Bravo-Ureta* 1993 3rd World Agregate Agriculture (Pertanian) 30.0 72.0


Squires 1991 Indonesia Beans (Kacang-kacangan) 305.0 63.0
Alrwis* 2004 Saudi Arabia Cassava (singkong) 101.0 59.0
Ogundari* 2006 Nigeria Cassava (singkong) 200.0 90.3
Cassava (singkong) 161.0 57.0
Dhehibi* 2007 Tunisia Citrus (jeruk) 150.0 86.0
Dhehibi* 2007a Tunisia Citrus (jeruk) 144.0 67.7
Lambarraa* 2007 Spain Citrus (jeruk) 859.0 64.1
Picazo-
Tadeo* 2006 Spain Citrus (jeruk) 0.0 0.0
Wollni* 2007 Costa Rica Coffee (Kopi) 216.0 0.0
Vedenov* 2007 Mexico Coffee (Kopi) 120.0 87.0
Bravo-
Ureta** 1990 Paraguay Cotton (kapas) 87.0 58.0
Aguilar 1993 Kenya Crops (Tanaman Pangan) 347.0 93.9
Ali 1994 Pakistan Crops (Tanaman Pangan) 436.0 24.0
Araujo 1999 Brazil Crops (Tanaman Pangan) 100.0 86.7
Bhattacharrya 1996 India Crops (Tanaman Pangan) 105.0 85.6
Bravo-Ureta 1994 Paraguay Crops (Tanaman Pangan) 94.0 58.5
Coelli 1996 India Crops (Tanaman Pangan) 277.0 73.4
Demir 1998 Turkey Crops (Tanaman Pangan) 67.0 55.0
Liu 2000 China Crops (Tanaman Pangan) 3 964.0 86.8
Rawlins 1985 Jamaica Crops (Tanaman Pangan) 101.0 71.7
Taylor 1986 Brazil Crops (Tanaman Pangan) 217.0 70.5
Taylor* 1986 Brazil Crops (Tanaman Pangan) 433.0 17.9
Tian 2000 China Crops (Tanaman Pangan) 298.0 89.2
Wang 1996 China Crops (Tanaman Pangan) 1 786.0 62.1
Yao 1998 China Crops (Tanaman Pangan) 30.0 64.1
Ahmad 1996 USA Dairy (Susu) 1 027.0 81.0
Battese 1988 Australia Dairy (Susu) 336.0 70.7
Bravo-Ureta 1990 USA Dairy (Susu) 404.0 83.9
Bravo-Ureta 1991 USA Dairy (Susu) 511.0 83.0
Brummer 2002 Germany, Dairy (Susu) 300.0 86.9
Cuesta 2000 Spain Dairy (Susu) 410.0 82.7
Dawson 1987 UK Dairy (Susu) 434.0 85.0
Dawson 1988 UK Dairy (Susu) 406.0 81.0
Dawson 1990 UK Dairy (Susu) 306.0 86.9
Dawson 1990 UK Dairy (Susu) 306.0 85.7
332

Lampiran 2. Lanjutan

Dawson 1991 UK Dairy (Susu) 306 86


Dawson 1991 UK Dairy (Susu) 22.0 89.0
Ghosh 1994 USA Dairy (Susu) 145.0 91.9
Hallam 1996 Portugal Dairy (Susu) 340.0 81.0
Heshmati 1994 Sweden Dairy (Susu) 600.0 82.3
Heshmati 1998 Sweden Dairy (Susu) 3 979.0 94.5
Iraizoz 2005 Spain Dairy (Susu) 2 594.0 84.3
Khumbakar 1989 USA Dairy (Susu) 89.0 78.9
Khumbakar 1991 USA Dairy (Susu) 519.0 70.4
Khumbakar 1995 Sweden Dairy (Susu) 1 425.0 84.7
Latruffe 2004 Netherlands Dairy (Susu) 250.0 80.5
Pierani 2003 Italy Dairy (Susu) 533.0 66.2
Reinhard 1999 Netherlands Dairy (Susu) 1 545.0 89.4
Silva* 2007 Pennsylvania Dairy (Susu) 6.0 89.0
Reinhard 2000 Netherlands Dairy (Susu) & Cattle (ternak) 1 535.0 89.5
Reinhard 2000 Netherlands Dairy (Susu) & Cattle (ternak) 2 589.0 83.8
Ray* 2004 India Firms (industri pertanian) 5 286.0 35.0
Casseli* 2006 World GDP 52.0 65.0
Ivaldi 1994 France Grains (biji-bijian) 405.0 61.2
Kalaitzandonak 1992 USA Grains (biji-bijian) 250.0 85.0
Java Rice (padi di jawa) 429.0 69.0
Bagi 1983 USA Livestock (ternak) 97.0 77.0
Abdulai 2001 Nicaragua Maize (Jagung) 120.0 72.0
Kalaitzandonak 1995 Guatemala Maize (Jagung) 82.0 74.0
Kalirajan 1986 Philipines Maize (Jagung) 73.0 64.7
Paul 2004 USA Maize (Jagung) 16590.0 93.5
Phillips 1986 Guatemala Maize (Jagung) 1 384.0 76.0
Seyoum 1998 Ethipio Maize (Jagung) 20.0 86.6
Mung beans (kacang hijau) 69.0 55.0
Squires** 1991a Indonesia Off Java Rice (padi luar Jawa) 323.0 70.0
Hasnah 2004 Sumatra Oil Palm (Minyak Sawit) 80.0 66.0
Karagiannis 2001 Greece Olive (Zaitun) 770.0 78.6
Sharma 1997 USA Other Animals (ternak lainnya) 60.0 74.9
Admassie 1999 Ethiopia Other Crops (Tan. Pangan Lain) 64.0 90.8
Ajibehun 1999 Nigeria Other Crops (Tan. Pangan Lain) 98.0 67.0
Ajibehun 2002 Nigeria Other Crops (Tan. Pangan Lain) 67.0 82.0
Amaza 2002 Nigeria Other Crops (Tan. Pangan Lain) 123.0 69.0
Battese 1989 India Other Crops (Tan. Pangan Lain) 289.0 83.7
Binam 2004 Cameroon Other Crops (Tan. Pangan Lain) 150.0 75.0
Coelli 2004 PNG Other Crops (Tan. Pangan Lain) 72.0 78.0
Giannakas 2000 Greece Other Crops (Tan. Pangan Lain) 875.0 69.7
Heshmati 1997 Sweden Other Crops (Tan. Pangan Lain) 929.0 75.8
333

Lampiran 2. Lanjutan

Lansink 2000 Netherlands Other Crops (Tan. Pangan Lain) 985.0 66.9
Parikh 1995 Pakistan Other Crops (Tan. Pangan Lain) 436.0 88.5
Tran 1993 Vietnam Other Crops (Tan. Pangan Lain) 165.0 59.0
Tzouvelekas 2001 Greece Other Crops (Tan. Pangan Lain) 29.0 76.0
Tzouvelekas 2001 Greece Other Crops (Tan. Pangan Lain) 86.0 63.9
Bakshoodeh 2001 Iran Other Grains (Biji-bijian lain) 164.0 33.0
Battese 1993 India Other Grains (Biji-bijian lain) 279.0 84.0
Battese 1997 Pakistan Other Grains (Biji-bijian lain) 330.0 90.0
Battese 1993a India Other Grains (Biji-bijian lain) 279.0 84.0
Battese 1993a Pakistan Other Grains (Biji-bijian lain) 273.0 74.6
Hadri 2003 England Other Grains (Biji-bijian lain) 606.0 86.4
Hadri 2003 England Other Grains (Biji-bijian lain) 612.0 86.0
Kurkalova 2003 Ukraina Other Grains (Biji-bijian lain) 164.0 94.2
Peanuts (Kacang-kacangan) 177.0 68.0
Boshrabadi* 2006 Iran Pistachio 475.0 54.0
Heshmati 1996 Uganda Plantain 144.0 65.3
Johnson 1994 Ukraina Potato (Kentang) 6 136.0 71.5
Wilson* 1998 UK Potato (Kentang) 140.0 89.5
Abdulai 2000 Ghana Rice (Padi) 120.0 73.0
Ali* 1989 Pakistan Rice (Padi) 120.0 72.0
Audibert 1997 Mali Rice (Padi) 836.0 69.5
Battese 1992 India Rice (Padi) 129.0 89.1
Battese* 1992 India Rice (Padi) 129.0 89.1
Dawson 1991 Philipines Rice (Padi) 101.0 69.7
Ekanayake 1987 Sri Lanka Rice (Padi) 62.0 75.0
Huang 1997 China Rice (Padi) 358.0 72.0
Kalirajan 1983 Philipines Rice (Padi) 79.0 50.0
Kalirajan 1984 Philipines Rice (Padi) 81.0 63.0
Kalirajan 1986 Malaysia Rice (Padi) 191.0 65.0
Kalirajan 1989 India Rice (Padi) 102.0 70.0
Kalirajan 1990 Philipines Rice (Padi) 103.0 79.0
Kalirajan 1991 India Rice (Padi) 120.0 69.0
Kalirajan 2001 India Rice (Padi) 500.0 67.5
Khumbakar 1994 India Rice (Padi) 227.0 75.5
Rep Of
Kwon 2004 Korea Rice (Padi) 5 130.0 75.0
Roche* 1994 Indonesia Rice (Padi) 7 117.0 82.0
Sherlund 2002 Cote d'Ivoire Rice (Padi) 464.0 43.0
Tadesse* 1997 India Rice (Padi) 129.0 83.0
Trewin 1995 Indonesia Rice (Padi) 1 026.0 86.5
Wadud 2000 Bangladesh Rice (Padi) 150.0 79.0
Xu 1998 China Rice (Padi) 30.0 84.8
334

Lampiran 2. Lanjutan

Shah 1994 Pakistan Sugarcane (Tebu) 380.0 79.2


Sharma 1999 USA Swine 53.0 75.2
Hazarika* 1999 India Tea ('Teh) 67.0 88.0
Iraizoz 2003 Spain Vegetables (sayur-sayuran) 46.0 80.0
Bashir 1995 Pakistan Wheat (Gandum) 150.0 33.0
Battese 1996 Pakistan Wheat (Gandum) 499.0 68.0
Giannakas 2001 Canada Wheat (Gandum) 900.0 76.9
Wilson 2001 UK Wheat (Gandum) 362.0 87.0
Bagi 1982 USA Whole farm (total usahatani) 48.0 80.5
Bravo-Ureta 1997 Dominican Whole farm (total usahatani) 60.0 70.0
Bravo-Ureta* 2007 World Whole farm (total usahatani) 167.0 76.6
Brummer 2000 Germany Whole farm (total usahatani) 5 093.0 96.0
Brummer 2001 Slovenia Whole farm (total usahatani) 185.0 74.4
Fan 1991 China Whole farm (total usahatani) 406.0 77.9
Huang 1984 India Whole farm (total usahatani) 151.0 89.0
Mochebelele 2000 Lesotho Whole farm (total usahatani) 150.0 70.0
Rezitis 2002 Greece Whole farm (total usahatani) 21 856.0 70.5
Rezitis 2003 Greece Whole farm (total usahatani) 5 544.0 70.2
Wang 1996 China Whole farm (total usahatani) 1 889.0 61.0
Wu 1995 China Whole farm (total usahatani) 28.0 54.1

Mean 75.5

Keterangan: 1) : semua studi yang tidak diberi tanda * bersumber dari


Bravo-Ureta et al. (2007)
* : bersumber dari artikel yang bersangkutan
** : bersumber dari Bravo-Ureta et al. (1993)
335

Lampiran 3 Perhitungan Efisiensi Pemasaran Jeruk Keprok SoE

Tabel 1. Rata-Rata Harga , Farmer Share dan Margin Pemasaran Jeruk Keprok
SoE Pada Zona Dataran Tinggi, Tahun 2010
Saluran Harga pada Lembaga Pemasaran Farmer Margin
Pemasaran Petani Pengumpul Pengecer Share Pemasaran
Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg % Rp/Kg
Pertama 9 775 15 750 18 300 53.42 8 525.0
Kedua 15 750 - 18 300 86.07 2 550.0
Ketiga 9 775 18 300 53.42 8 525.0
Keempat 18 300 100.00 0.0
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).

Tabel 2. Tingkat Efisiensi Biaya, Profit dan R/C Pemasaran Petani Jeruk Keprok
SoE Pada Zona Dataran Tinggi, Tahun 2010
Saluran Biaya Harga Efisiensi Profit R/C
Pemasaran Rp/kg Rp/kg % Rp/Kg Rp
Pertama 750 9 775 7.67 7 775 10.37
Kedua 450 15 750 2.86 2 100 4.67
Ketiga 650 9 775 6.65 7 875 12.12
Keempat 500 18 300 2.73 17 800 35.60
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).

Tabel 3. Rata-Rata Harga , Farmer Share dan Margin Pemasaran Jeruk Keprok
SoE Pada Zona Dataran Rendah, Tahun 2010
Saluran Harga pada Lembaga Pemasaran Farmer Margin
Pemasaran Petani Pengumpul Pengecer Share
Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg % Rp/Kg
Pertama 9 250 15 500 17 800 51.97 8 550.0
Kedua 15 500 - 17 800 87.08 2 300.0
Ketiga 9 250 17 800 51.97 8 550.0
Keempat 17 800 100.00 0.0
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).

Tabel 4. Tingkat Efisiensi Biaya, Profit dan R/C Pemasaran Petani Jeruk Keprok
SoE Pada Zona Dataran Rendah, Tahun 2010
Saluran Biaya Harga Efisiensi Profit R/C
Pemasaran Rp/kg Rp/kg % Rp/Kg Rp
Pertama 925 9 250 10.00 7 625 8.24
Kedua 600 15 500 3.87 1 700 2.83
Ketiga 750 9 250 8.11 7 800 10.40
Keempat 650 17 800 3.65 17 150 26.38
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).
Lampiran 4. Jumlah Kepemilikan Tanaman Jeruk Keprok SoE Berdasarkan Umur Tanaman di Zona Dataran Tinggi
Umur Tanaman (Tahun) Belum Sudah TOTAL
Desa/ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20 Berbuah Berbuah POHON
Kepemilikan Tanaman (pohon/petani) : (phn) (phn) (phn)
Ajobaki
Mean 92.0 38.3 36.9 18.7 14.0 4.7 0.2 0.8 0.9 7.3 1.3 9.7 0.3 8.7 0.7 4.7 0.8 3.7 1.3 1.0 1.8 185.9 62.0 247.9
% to T 37.1 15.5 14.9 7.5 5.6 1.9 0.1 0.3 0.4 3.0 0.5 3.9 0.1 3.5 0.3 1.9 0.3 1.5 0.5 0.4 0.7 74.99 25.01 100.00
MAX 200.0 200.0 200.0 200.0 200.0 50.0 5.0 15.0 20.0 40.0 20.0 30.0 10.0 30.0 20.0 30.0 10.0 15.0 20.0 25.0 7.0 550.00 265.00 620.00
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 10.00 12.00 42.00
Obesi
Mean 73.8 18.3 25.0 25.3 12.5 4.7 1.2 3.7 4.8 8.7 5.0 7.5 5.2 3.7 1.7 3.3 2.5 2.7 1.4 0.1 2.8 146.2 71.3 213.8
% to T 34.5 8.6 11.7 11.8 5.8 2.2 0.5 1.7 2.3 4.1 2.3 3.5 2.4 1.7 0.8 1.5 1.2 1.2 0.7 0.0 1.3 68.4 33.4 100.0
MAX 200.0 110.0 50.0 200.0 50.0 30.0 20.0 50.0 30.0 50.0 30.0 30.0 30.0 20.0 20.0 30.0 20.0 20.0 8.0 2.0 8.0 350.0 150.0 410.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 20.0 30.0 80.0
Binaus
Mean 64.5 51.2 39.0 16.8 4.8 5.4 0.3 1.0 1.3 3.0 2.7 3.2 4.3 3.0 2.0 2.0 3.0 3.7 2.0 0.1 2.2 174.8 44.1 215.6
% to T 29.9 23.7 18.1 7.8 2.2 2.5 0.2 0.5 0.6 1.4 1.2 1.5 2.0 1.4 0.9 0.9 1.4 1.7 0.9 0.0 1.0 81.1 20.5 100.0
MAX 200.0 150.0 100.0 150.0 50.0 50.0 10.0 20.0 20.0 40.0 20.0 25.0 30.0 20.0 20.0 20.0 20.0 20.0 30.0 2.0 10.0 550.0 109.0 620.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 5.0 0.0 0.0 10.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 15.0 12.0 51.0
Oelbubuk
Mean 53.7 56.2 39.3 23.7 5.3 3.9 2.3 1.3 1.5 3.0 3.0 5.5 3.5 4.7 1.3 2.2 1.8 2.7 2.0 1.7 2.4 175.8 48.3 221.1
% to T 24.3 25.4 17.8 10.7 2.4 1.8 1.1 0.6 0.7 1.4 1.4 2.5 1.6 2.1 0.6 1.0 0.8 1.2 0.9 0.8 1.1 79.5 21.8 100.0
MAX 200.0 200.0 120.0 100.0 50.0 50.0 50.0 25.0 15.0 30.0 20.0 50.0 30.0 50.0 20.0 20.0 10.0 10.0 15.0 10.0 12.0 350.0 136.0 385.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 30.0 17.0 127.0
Tobu
Mean 36.2 18.0 16.3 7.8 9.2 5.8 0.8 3.0 3.0 5.5 3.9 5.4 7.0 6.7 2.7 1.2 2.6 3.0 1.0 2.6 3.8 78.3 67.3 145.5
% to T 24.9 12.4 11.2 5.3 6.3 4.0 0.6 2.1 2.1 3.8 2.7 3.7 4.8 4.6 1.8 0.8 1.8 2.1 0.7 1.8 2.6 53.8 46.2 100.0
MAX 100.0 100.0 100.0 80.0 50.0 50.0 10.0 30.0 30.0 50.0 40.0 30.0 50.0 40.0 20.0 15.0 25.0 30.0 12.0 20.0 12.0 200.0 164.0 240.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 20.0 25.0 70.0
Tune
Mean 16.3 6.1 5.7 3.8 1.7 3.2 1.8 2.9 6.8 4.7 3.5 5.3 3.5 7.0 3.0 2.2 1.3 1.8 1.8 1.1 2.8 31.8 54.5 86.3
MAX 50.0 50.0 40.0 30.0 20.0 30.0 20.0 30.0 40.0 50.0 20.0 25.0 20.0 40.0 20.0 25.0 10.0 22.0 20.0 7.0 13.0 100.0 105.0 130.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 10.0 17.0 47.0
Sumber: Data Primer, 2010.
Lampiran 5. Jumlah Kepemilikan Tanaman Jeruk Keprok SoE Berdasarkan Umur Tanaman di Zona Dataran Rendah
Umur Tanaman (Tahun) Belum Sudah TOTAL
Desa/ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20 Berbuah Berbuah POHON
Kepemilikan Tanaman (pohon/petani) : (phn) (phn) (phn)
Kuanfatu
Mean 13.5 9.8 3.3 4.8 4.2 3.7 4.8 2.5 3.1 3.2 3.7 3.0 2.0 2.4 1.8 1.7 2.5 0.7 1.4 0.4 1.3 31.7 42.4 73.9
% to T 18.3 13.3 4.5 6.5 5.6 5.0 6.5 3.4 4.2 4.3 5.0 4.1 2.7 3.2 2.5 2.3 3.4 0.9 1.9 0.6 1.8 42.9 57.4 100.0
MAX 100.0 30.0 10.0 30.0 40.0 25.0 20.0 20.0 30.0 20.0 20.0 20.0 20.0 20.0 10.0 20.0 20.0 10.0 15.0 7.0 5.0 120.0 85.0 130.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 5.0 10.0 21.0
Kelle
Mean 12.8 5.2 5.5 2.5 2.5 2.8 1.8 1.6 1.8 3.3 1.8 3.2 1.8 1.3 1.1 1.5 0.9 0.5 0.6 0.6 0.6 26.0 27.6 53.6
% to T 24.0 9.6 10.3 4.7 4.7 5.2 3.3 2.9 3.4 6.1 3.4 6.0 3.4 2.4 2.0 2.7 1.7 0.9 1.1 1.1 1.1 48.5 51.5 100.0
MAX 50.0 30.0 30.0 20.0 10.0 15.0 20.0 10.0 20.0 20.0 20.0 20.0 20.0 10.0 10.0 10.0 10.0 7.0 7.0 5.0 4.0 55.0 72.0 97.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 10.0 10.0 30.0
Oni
Mean 13.3 6.5 5.4 8.6 3.2 4.0 2.2 2.5 3.3 1.1 3.0 1.0 1.9 1.8 1.8 1.0 1.1 0.7 0.9 1.0 0.5 34.9 31.0 64.9
% to T 20.5 10.1 8.4 13.3 4.9 6.2 3.3 3.9 5.1 1.6 4.6 1.5 3.0 2.8 2.8 1.5 1.7 1.1 1.4 1.5 0.8 53.7 47.8 100.0
MAX 50.0 50.0 50.0 100.0 30.0 30.0 20.0 20.0 20.0 10.0 20.0 10.0 15.0 10.0 20.0 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0 5.0 200.0 86.0 237.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 10.0 5.0 15.0
Nunusunu
Mean 6.8 5.0 1.8 3.3 1.3 2.0 2.0 1.4 2.0 2.2 2.0 2.0 1.3 1.7 1.5 2.3 0.2 1.0 0.5 0.2 0.6 16.9 24.4 41.3
% to T 16.5 12.1 4.3 8.1 3.2 4.8 4.8 3.5 4.8 5.3 4.8 4.8 3.2 4.2 3.6 5.7 0.5 2.4 1.3 0.6 1.5 41.0 59.0 100.0
MAX 20.0 20.0 10.0 15.0 15.0 30.0 20.0 10.0 20.0 20.0 10.0 15.0 15.0 10.0 20.0 20.0 6.0 10.0 10.0 5.0 10.0 35.0 72.0 97.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 5.0 6.0 15.0
Kiubat
Mean 6.3 4.0 2.8 1.7 2.0 2.0 2.2 1.6 2.9 1.1 1.9 1.8 1.9 1.9 1.1 1.6 0.8 0.9 1.0 1.0 0.7 14.7 26.3 41.1
% to T 15.3 9.7 6.8 4.1 4.9 4.9 5.4 4.0 7.1 2.7 4.5 4.5 4.5 4.6 2.6 3.8 2.0 2.2 2.4 2.4 1.6 35.9 64.1 100.0
MAX 20.0 20.0 10.0 15.0 10.0 10.0 20.0 10.0 20.0 15.0 10.0 20.0 20.0 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0 5.0 7.0 5.0 35.0 67.0 97.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.0 5.0 7.0
Mio
Mean 6.1 4.0 2.1 2.1 1.6 1.1 0.8 1.1 2.0 1.2 1.6 1.4 1.1 0.7 0.5 1.0 0.5 0.3 0.3 0.5 0.5 14.3 16.3 30.5
MAX 10.0 20.0 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0 5.0 20.0 10.0 10.0 10.0 8.0 10.0 6.0 10.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 30.0 45.0 60.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.0 6.0 15.0
Sumber: Data Primer, 2010.
Lampiran 6. Jumlah Produksi Berdasarkan Umur Tanaman Produktif di Zona Dataran Tinggi
Umur Tanaman (Tahun) Produksi Produktivitas Lahan
Desa 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20 (kg/petani) Kg/Phn (Ha)
Ajobaki
Mean 9.0 8.0 1.7 5.0 15.8 67.7 17.5 134.5 1.3 107.6 5.0 47.0 17.5 42.2 15.5 5.5 14.1 514.9 8.3 1.1
MAX 85.00 80.00 50.00 100.00 300.00 450.00 290.00 500.00 40.00 500.00 150.00 400.00 170.00 400.00 365.00 130.00 60.00 895.0 21.4 2.0
MIN 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 145.0 1.9 0.4
Kg/Phn 0.64 1.71 10.00 6.00 16.96 9.23 13.82 13.82 4.00 12.32 7.50 10.07 21.04 11.52 11.63 5.50 7.71 9.62
Obesi
Mean 10.4 7.2 2.6 6.8 31.8 90.0 65.8 78.4 75.3 71.0 22.1 47.7 27.7 37.2 14.7 0.0 16.5 605.2 8.8 1.0
MAX 38.0 65.0 50.0 75.0 300.0 500.0 350.0 360.0 600.0 480.0 230.0 225.0 250.0 295.0 127.0 0.0 92.0 1215.0 20.3 2.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 174.0 4.2 0.3
Kg/Phn 0.83 1.55 2.23 1.86 6.58 10.39 13.15 10.45 14.39 19.36 13.28 14.59 11.07 13.95 10.23 0.00 5.84
Binaus
Mean 2.6 4.5 0.2 3.7 2.6 23.7 42.1 34.0 43.3 45.3 43.8 27.2 53.4 50.0 22.0 0.6 13.9 413.0 9.4 0.9
MAX 30.0 45.0 5.0 75.0 34.0 250.0 250.0 250.0 300.0 450.0 430.0 250.0 250.0 440.0 370.0 10.0 120.0 829.0 22.1 2.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 123.0 2.3 0.3
Kg/Phn 0.54 0.84 0.50 3.67 1.98 7.89 15.78 10.74 10.00 15.10 21.88 13.39 17.81 13.39 11.00 6.33 6.24
Oelbubuk
Mean 1.6 4.5 1.2 4.0 10.3 26.2 40.3 63.7 55.0 59.5 32.3 43.3 29.7 51.8 25.1 14.5 12.4 475.4 9.8 0.9
MAX 25.0 50.0 30.0 100.0 200.0 175.0 280.0 500.0 300.0 250.0 540.0 400.0 300.0 300.0 260.0 200.0 70.0 760.0 23.0 3.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 160.0 3.5 0.4
Kg/Phn 0.31 1.15 0.50 3.00 6.89 8.72 13.44 11.58 15.71 12.75 24.25 20.00 16.18 19.43 12.34 8.35 5.15
Tobu
Mean 3.3 5.7 1.8 8.9 16.6 18.2 29.0 60.3 78.8 77.2 31.0 17.0 28.0 31.0 8.0 11.4 12.3 438.7 7.5 0.9
MAX 30.0 40.0 25.0 150.0 300.0 120.0 200.0 500.0 500.0 400.0 300.0 200.0 350.0 360.0 200.0 100.0 60.0 806.0 16.4 1.5
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 175.0 2.2 0.3
Kg/Phn 0.36 0.98 2.20 2.97 5.53 3.30 7.44 11.17 11.26 11.58 11.63 14.57 10.63 10.22 8.03 4.34 3.22
Tune
Mean 1.0 3.1 2.7 4.1 13.5 19.3 23.1 28.2 46.0 53.0 17.5 10.7 14.7 12.1 5.2 3.9 9.1 287.3 6.4 0.7
MAX 7.0 40.0 40.0 50.0 150.0 300.0 150.0 180.0 350.0 300.0 150.0 120.0 250.0 200.0 70.0 50.0 63.0 413.0 17.9 1.5
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 130.0 1.6 0.3
Kg/Phn 0.61 0.99 1.45 1.40 1.98 4.14 6.61 5.28 13.14 7.57 5.83 4.92 11.00 6.87 2.89 3.47 3.21
Sumber: Data Primer, 2010.
Lampiran 7. Jumlah Produksi Berdasarkan Umur Tanaman Produktif di Zona Bdataran Rendah
Umur Tanaman (Tahun) Produksi Produktivitas Lahan
Desa 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20 (kg/petani) Kg/Phn (Ha)
Kuanfatu
Mean 3.2 5.1 10.7 5.8 11.8 17.0 25.6 21.8 11.0 12.2 16.2 11.0 11.2 3.6 5.5 1.4 8.3 181.3 4.3 0.6
MAX 28.0 35.0 80.0 60.0 75.0 100.0 150.0 250.0 100.0 150.0 120.0 100.0 130.0 50.0 75.0 20.0 65.0 410.0 17.4 0.9
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 43.0 1.4 0.3
Kg/Phn 0.76 1.40 2.21 2.31 3.77 5.37 6.98 7.28 5.50 5.07 8.82 6.62 4.47 5.40 3.90 3.31 6.23
Kelle
Mean 1.7 2.6 2.3 3.5 6.3 22.3 12.0 27.7 18.5 14.0 11.2 13.6 8.0 2.2 2.0 1.5 4.2 153.7 5.6 0.5
MAX 8.0 16.0 30.0 55.0 50.0 200.0 100.0 250.0 160.0 150.0 125.0 100.0 160.0 40.0 25.0 20.0 35.0 329.0 15.4 0.8
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 43.0 1.1 0.3
Kg/Phn 0.67 0.93 1.30 2.26 3.45 6.84 6.55 8.56 10.09 10.77 10.47 9.30 8.89 4.79 3.59 2.50 7.41
Oni
Mean 2.1 3.7 3.2 4.6 10.8 8.3 15.0 2.8 17.3 12.0 11.5 1.2 5.8 3.1 4.1 1.9 0.9 108.3 3.5 0.4
MAX 20.0 48.0 40.0 34.0 70.0 130.0 150.0 34.0 200.0 200.0 150.0 15.0 100.0 50.0 50.0 20.0 10.0 365.0 10.2 0.8
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 29.0 1.1 0.3
Kg/Phn 0.66 0.92 1.46 1.83 3.25 7.78 5.00 2.80 8.97 6.55 6.27 1.17 5.27 4.48 4.43 1.93 1.80
Nunusunu
Mean 0.7 1.1 2.0 2.5 3.6 10.1 8.9 12.9 6.3 11.3 7.7 9.2 1.3 2.8 0.8 1.2 0.8 83.3 3.4 0.3
MAX 5.0 8.0 16.0 15.0 24.0 170.0 65.0 60.0 70.0 100.0 100.0 80.0 40.0 30.0 10.0 30.0 10.0 210.0 10.0 0.8
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 29.0 1.2 0.1
Kg/Phn 0.50 0.56 1.00 1.77 1.78 4.66 4.45 6.47 4.75 6.54 5.27 3.93 6.67 2.77 1.56 5.00 1.32
Kiubat
Mean 1.3 1.8 2.4 3.9 5.7 5.4 10.7 10.2 9.8 8.7 7.5 5.7 1.2 3.2 2.0 2.0 2.5 83.8 3.2 0.4
MAX 8.0 9.0 25.0 25.0 35.0 120.0 150.0 130.0 130.0 101.0 80.0 50.0 20.0 70.0 20.0 30.0 30.0 225.0 12.6 0.8
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 30.0 1.1 0.1
Kg/Phn 0.63 0.88 1.07 2.39 1.95 4.88 5.75 5.55 5.27 4.58 7.03 3.62 1.40 3.52 2.00 2.07 3.70
Mio
Mean 1.1 0.8 1.7 3.3 4.5 4.8 7.6 6.5 6.2 3.5 3.2 5.8 1.8 0.7 2.2 1.0 0.9 55.6 3.4 0.3
MAX 6.0 8.0 25.0 30.0 50.0 50.0 65.0 50.0 70.0 35.0 60.0 60.0 25.0 15.0 40.0 10.0 10.0 92.0 9.0 0.5
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 25.0 1.1 0.1
Kg/Phn 0.65 0.75 2.04 2.94 2.23 4.14 4.77 4.64 5.67 5.00 5.94 5.65 3.93 2.22 6.50 2.00 1.93
Sumber: Data Primer, 2010.
Lampiran 8. Jumlah Pohon, Produksi dan Produktivitas Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman

Tabel 1. Rata-Rata Jumlah Pohon Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman Secara Total
Pohon/ Lahan
Umur Tanaman (Tahun) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20 Petani (Ha)
Rata-Rata Jumlah
Pohon/Petani:
Ajobaki 92.0 38.3 36.9 18.7 14.0 4.7 0.2 0.8 0.9 7.3 1.3 9.7 0.3 8.7 0.7 4.7 0.8 3.7 1.3 1.0 1.8 247.9 1.07
Obesi 73.8 18.3 25.0 25.3 12.5 4.7 1.2 3.7 4.8 8.7 5.0 7.5 5.2 3.7 1.7 3.3 2.5 2.7 1.4 0.1 2.8 213.8 1.05
Binaus 64.5 51.2 39.0 16.8 4.8 5.4 0.3 1.0 1.3 3.0 2.7 3.2 4.3 3.0 2.0 2.0 3.0 3.7 2.0 0.1 2.2 215.6 0.90
Oelbubuk 53.7 56.2 39.3 23.7 5.3 3.9 2.3 1.3 1.5 3.0 3.0 5.5 3.5 4.7 1.3 2.2 1.8 2.7 2.0 1.7 2.4 221.1 0.90
Tobu 36.2 18.0 16.3 7.8 9.2 5.8 0.8 3.0 3.0 5.5 3.9 5.4 7.0 6.7 2.7 1.2 2.6 3.0 1.0 2.6 3.8 145.5 0.92
Tune 16.3 6.1 5.7 3.8 1.7 3.2 1.8 2.9 6.8 4.7 3.5 5.3 3.5 7.0 3.0 2.2 1.3 1.8 1.8 1.1 2.8 86.3 0.68
Kuanfatu 13.5 9.8 3.3 4.8 4.2 3.7 4.8 2.5 3.1 3.2 3.7 3.0 2.0 2.4 1.8 1.7 2.5 0.7 1.4 0.4 1.3 73.9 0.55
Kelle 12.8 5.2 5.5 2.5 2.5 2.8 1.8 1.6 1.8 3.3 1.8 3.2 1.8 1.3 1.1 1.5 0.9 0.5 0.6 0.6 0.6 53.6 0.53
Oni 13.3 6.5 5.4 8.6 3.2 4.0 2.2 2.5 3.3 1.1 3.0 1.0 1.9 1.8 1.8 1.0 1.1 0.7 0.9 1.0 0.5 64.9 0.39
Nunusunu 6.8 5.0 1.8 3.3 1.3 2.0 2.0 1.4 2.0 2.2 2.0 2.0 1.3 1.7 1.5 2.3 0.2 1.0 0.5 0.2 0.6 41.3 0.33
Kiubat 6.3 4.0 2.8 1.7 2.0 2.0 2.2 1.6 2.9 1.1 1.9 1.8 1.9 1.9 1.1 1.6 0.8 0.9 1.0 1.0 0.7 41.1 0.37
Mio 6.1 4.0 2.1 2.1 1.6 1.1 0.8 1.1 2.0 1.2 1.6 1.4 1.1 0.7 0.5 1.0 0.5 0.3 0.3 0.5 0.5 30.5 0.28

Average (Pohon/Petani) 32.9 18.5 15.3 9.9 5.2 3.6 1.7 2.0 2.8 3.7 2.8 4.1 2.8 3.6 1.6 2.0 1.5 1.8 1.2 0.9 1.7 119.5 0.66
% terhadap total 27.5 15.5 12.8 8.3 4.3 3.0 1.4 1.6 2.3 3.1 2.3 3.4 2.4 3.0 1.3 1.7 1.3 1.5 1.0 0.7 1.4 100.0 172.46
Max 92.0 56.2 39.3 25.3 14.0 5.8 4.8 3.7 6.8 8.7 5.0 9.7 7.0 8.7 3.0 4.7 3.0 3.7 2.0 2.6 3.8 247.9 1.07
Min 6.1 4.0 1.8 1.7 1.3 1.1 0.2 0.8 0.9 1.1 1.3 1.0 0.3 0.7 0.5 1.0 0.2 0.3 0.3 0.1 0.5 30.5 0.28

Sumber: Data Primer, 2010.


Lampiran 8. Lanjutan
Tabel 2. Rata-Rata Jumlah Pohon Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman di Zona Dataran Tinggi
Umur Tanaman (Tahun) 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0 15.0 16.0 17.0 18.0 19.0 20.0 >20 Pohon/ Lahan
Rata-rata Jumlah Pohon/Petani Petani (Ha)
Ajobaki 92.0 38.3 36.9 18.7 14.0 4.7 0.2 0.8 0.9 7.3 1.3 9.7 0.3 8.7 0.7 4.7 0.8 3.7 1.3 1.0 1.8 247.9 1.09
Obesi 73.8 18.3 25.0 25.3 12.5 4.7 1.2 3.7 4.8 8.7 5.0 7.5 5.2 3.7 1.7 3.3 2.5 2.7 1.4 0.1 2.8 213.8 1.05
Binaus 64.5 51.2 39.0 16.8 4.8 5.4 0.3 1.0 1.3 3.0 2.7 3.2 4.3 3.0 2.0 2.0 3.0 3.7 2.0 0.1 2.2 215.6 0.90
Oelbubuk 53.7 56.2 39.3 23.7 5.3 3.9 2.3 1.3 1.5 3.0 3.0 5.5 3.5 4.7 1.3 2.2 1.8 2.7 2.0 1.7 2.4 221.1 0.90
Tobu 36.2 18.0 16.3 7.8 9.2 5.8 0.8 3.0 3.0 5.5 3.9 5.4 7.0 6.7 2.7 1.2 2.6 3.0 1.0 2.6 3.8 145.5 0.92
Tune 16.3 6.1 5.7 3.8 1.7 3.2 1.8 2.9 6.8 4.7 3.5 5.3 3.5 7.0 3.0 2.2 1.3 1.8 1.8 1.1 2.8 86.3 0.68
Average (Pohon/Petani) 56.1 31.3 27.0 16.0 7.9 4.6 1.1 2.1 3.1 5.4 3.2 6.1 4.0 5.6 1.9 2.6 2.0 2.9 1.6 1.1 2.7 188.1 0.92
Max (pohon/petani) 92.0 56.2 39.3 25.3 14.0 5.8 2.3 3.7 6.8 8.7 5.0 9.7 7.0 8.7 3.0 4.7 3.0 3.7 2.0 2.6 3.8 247.9 1.1
Min (pohon/petani) 16.3 6.1 5.7 3.8 1.7 3.2 0.2 0.8 0.9 3.0 1.3 3.2 0.3 3.0 0.7 1.2 0.8 1.8 1.0 0.1 1.8 86.3 0.7

Sumber: Data Primer, 2010.

Tabel 3. Rata-Rata Jumlah Pohon Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman di Dataran Rendah
Umur Tanaman (Tahun) 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0 15.0 16.0 17.0 18.0 19.0 20.0 >20 Pohon/ Lahan

Rata-rata Jumlah Pohon/Petani: Petani (Ha)

Kuanfatu 13.5 9.8 3.3 4.8 4.2 3.7 4.8 2.5 3.1 3.2 3.7 3.0 2.0 2.4 1.8 1.7 2.5 0.7 1.4 0.4 1.3 73.9 0.55
Kelle 12.8 5.2 5.5 2.5 2.5 2.8 1.8 1.6 1.8 3.3 1.8 3.2 1.8 1.3 1.1 1.5 0.9 0.5 0.6 0.6 0.6 53.6 0.53
Oni 13.3 6.5 5.4 8.6 3.2 4.0 2.2 2.5 3.3 1.1 3.0 1.0 1.9 1.8 1.8 1.0 1.1 0.7 0.9 1.0 0.5 64.9 0.39

Nunusunu 6.8 5.0 1.8 3.3 1.3 2.0 2.0 1.4 2.0 2.2 2.0 2.0 1.3 1.7 1.5 2.3 0.2 1.0 0.5 0.2 0.6 41.3 0.33

Kiubat 6.3 4.0 2.8 1.7 2.0 2.0 2.2 1.6 2.9 1.1 1.9 1.8 1.9 1.9 1.1 1.6 0.8 0.9 1.0 1.0 0.7 41.1 0.37

Mio 6.1 4.0 2.1 2.1 1.6 1.1 0.8 1.1 2.0 1.2 1.6 1.4 1.1 0.7 0.5 1.0 0.5 0.3 0.3 0.5 0.5 30.5 0.28

Average (Pohon/Petani) 9.8 5.8 3.5 3.8 2.5 2.6 2.3 1.8 2.5 2.0 2.3 2.1 1.7 1.6 1.3 1.5 1.0 0.7 0.8 0.6 0.7 50.9 0.41
Max 13.5 9.8 5.5 8.6 4.2 4.0 4.8 2.5 3.3 3.3 3.7 3.2 2.0 2.4 1.8 2.3 2.5 1.0 1.4 1.0 1.3 73.9 0.55
Min 6.1 4.0 1.8 1.7 1.3 1.1 0.8 1.1 1.8 1.1 1.6 1.0 1.1 0.7 0.5 1.0 0.2 0.3 0.3 0.2 0.5 30.5 0.28
Sumber: Data Primer, 2010.
Lampiran 8. Lanjutan

Tabel 4. Rata-Rata Produksi Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman Secara Total
Umur Tanaman
(Tahun) 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0 15.0 16.0 17.0 18.0 19.0 20.0 >20 Kg/ Lahan
Jumlah Produksi (Kg/Petani): Petani (Ha)

Ajobaki 9.0 8.0 1.7 5.0 15.8 67.7 17.5 134.5 1.3 107.6 5.0 47.0 17.5 42.2 15.5 5.5 14.1 514.9 1.09
Obesi 10.4 7.2 2.6 6.8 31.8 90.0 65.8 78.4 75.3 71.0 22.1 47.7 27.7 37.2 14.7 0.0 16.5 605.2 1.05
Binaus 2.6 4.5 0.2 3.7 2.6 23.7 42.1 34.0 43.3 45.3 43.8 27.2 53.4 50.0 22.0 0.6 13.9 413.0 0.90
Oelbubuk 1.6 4.5 1.2 4.0 10.3 26.2 40.3 63.7 55.0 59.5 32.3 43.3 29.7 51.8 25.1 14.5 12.4 475.4 0.90
Tobu 3.3 5.7 1.8 8.9 16.6 18.2 29.0 60.3 78.8 77.2 31.0 17.0 28.0 31.0 8.0 11.4 12.3 438.7 0.92
Tune 1.0 3.1 2.7 4.1 13.5 19.3 23.1 28.2 46.0 53.0 17.5 10.7 14.7 12.1 5.2 3.9 9.1 267.3 0.68
Kuanfatu 3.2 5.1 10.7 5.8 11.8 17.0 25.6 21.8 11.0 12.2 16.2 11.0 11.2 3.6 5.5 1.4 8.3 181.3 0.55
Kelle 1.7 2.6 2.3 3.5 6.3 22.3 12.0 27.7 18.5 14.0 11.2 13.6 8.0 2.2 2.0 1.5 4.2 153.7 0.53
Oni 2.1 3.7 3.2 4.6 10.8 8.3 15.0 2.8 17.3 12.0 11.5 1.2 5.8 3.1 4.1 1.9 0.9 108.3 0.39
Nunusunu 0.7 1.1 2.0 2.5 3.6 10.1 8.9 12.9 6.3 11.3 7.7 9.2 1.3 2.8 0.8 1.2 0.8 83.3 0.33
Kiubat 1.3 1.8 2.4 3.9 5.7 5.4 10.7 10.2 9.8 8.7 7.5 5.7 1.2 3.2 2.0 2.0 2.5 83.8 0.37
Mio 1.1 0.8 1.7 3.3 4.5 4.8 7.6 6.5 6.2 3.5 3.2 5.8 1.8 0.7 2.2 1.0 0.9 55.6 0.28
Average
(Kg/Petani) 3.2 4.0 2.7 4.7 11.1 26.1 24.9 40.1 30.8 40.4 17.5 20.0 16.7 18.4 8.9 6.3 5.8 281.3 0.66
% terhadap total 1.1 1.4 1.0 1.7 3.9 9.3 8.8 14.2 10.9 14.1 6.2 7.1 5.9 7.1 3.2 1.3 2.8 100.0 0.24
Max 10.4 8.0 10.7 8.9 31.8 90.0 65.8 134.5 78.8 107.6 43.8 47.7 53.4 51.8 25.1 14.5 16.5 605.2 1.09
Min 0.7 0.8 0.2 2.5 2.6 4.8 7.6 2.8 1.3 3.5 3.2 1.2 1.2 0.7 0.8 0.0 0.8 55.6 0.28

Sumber: Data Primer, 2010.


Lampiran 8. Lanjutan

Tabel 5. Rata-Rata Produksi Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman di Zona Dataran Tinggi
Umur Tanaman (Tahun) 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0 15.0 16.0 17.0 18.0 19.0 20.0 >20 Kg/ Lahan
Jumlah Produksi (Kg/Petani): Petani (Ha)
Ajobaki 9.0 8.0 1.7 5.0 15.8 67.7 17.5 134.5 1.3 107.6 5.0 47.0 17.5 42.2 15.5 5.5 14.1 514.9 1.09
Obesi 10.4 7.2 2.6 6.8 31.8 90.0 65.8 78.4 75.3 71.0 22.1 47.7 27.7 37.2 14.7 0.0 16.5 605.2 1.05
Binaus 2.6 4.5 0.2 3.7 2.6 23.7 42.1 34.0 43.3 45.3 43.8 27.2 53.4 50.0 22.0 0.6 13.9 413.0 0.90
Oelbubuk 1.6 4.5 1.2 4.0 10.3 26.2 40.3 63.7 55.0 59.5 32.3 43.3 29.7 51.8 25.1 14.5 12.4 475.4 0.90
Tobu 3.3 5.7 1.8 8.9 16.6 18.2 29.0 60.3 78.8 77.2 31.0 17.0 28.0 31.0 8.0 11.4 12.3 438.7 0.92
Tune 1.0 3.1 2.7 4.1 13.5 19.3 23.1 28.2 46.0 53.0 17.5 10.7 14.7 12.1 5.2 3.9 9.1 267.3 0.68
Average (Kg/Petani) 4.7 5.5 1.7 5.4 15.1 40.8 36.3 66.5 50.0 68.9 25.3 32.2 28.5 34.2 15.1 11.1 10.1 451.3 0.92
Max (kg/petani) 10.4 8.0 2.7 8.9 31.8 90.0 65.8 134.5 78.8 107.6 43.8 47.7 53.4 51.8 25.1 14.5 16.5 605.2 1.1
Min (kg/petani) 1.0 3.1 0.2 3.7 2.6 18.2 17.5 28.2 1.3 45.3 5.0 10.7 14.7 12.1 5.2 0.0 9.1 267.3 0.7
Sumber: Data Primer, 2010.

Tabel 6. Rata-Rata Produksi Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman di Zona Dataran Rendah
Umur Tanaman (Tahun) 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0 15.0 16.0 17.0 18.0 19.0 20.0 >20 Kg/ Lahan
Jumlah Produksi (Kg/Petani): Petani (Ha)
Kuanfatu 3.2 5.1 10.7 5.8 11.8 17.0 25.6 21.8 11.0 12.2 16.2 11.0 11.2 3.6 5.5 1.4 8.3 181.3 0.55
Kelle 1.7 2.6 2.3 3.5 6.3 22.3 12.0 27.7 18.5 14.0 11.2 13.6 8.0 2.2 2.0 1.5 4.2 153.7 0.53
Oni 2.1 3.7 3.2 4.6 10.8 8.3 15.0 2.8 17.3 12.0 11.5 1.2 5.8 3.1 4.1 1.9 0.9 108.3 0.39
Nunusunu 0.7 1.1 2.0 2.5 3.6 10.1 8.9 12.9 6.3 11.3 7.7 9.2 1.3 2.8 0.8 1.2 0.8 83.3 0.33
Kiubat 1.3 1.8 2.4 3.9 5.7 5.4 10.7 10.2 9.8 8.7 7.5 5.7 1.2 3.2 2.0 2.0 2.5 83.8 0.37
Mio 1.1 0.8 1.7 3.3 4.5 4.8 7.6 6.5 6.2 3.5 3.2 5.8 1.8 0.7 2.2 1.0 0.9 55.6 0.28
Average (Kg/Petani) 1.7 2.5 3.7 3.9 7.1 11.3 13.3 13.7 11.5 12.3 9.5 7.8 4.9 2.6 2.8 1.5 1.4 111.3 0.41
Max 3.2 5.1 10.7 5.8 11.8 22.3 25.6 27.7 18.5 14.0 16.2 13.6 11.2 3.6 5.5 2.0 8.3 181.3 0.55
Min 0.7 0.8 1.7 2.5 3.6 4.8 7.6 2.8 6.2 3.5 3.2 1.2 1.2 0.7 0.8 1.0 0.8 55.6 0.28
Sumber: Data Primer, 2010.
Lampiran 8. Lanjutan
Tabel 7. Rata-Rata Produktivitas Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman Secara Total
Umur Tanaman (Tahun) 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20
Produktivitas (Kg/Pohon produktif):
Ajobaki 0.6 1.7 10.0 6.0 17.0 9.2 13.8 13.8 4.0 12.3 7.5 10.1 21.0 11.5 11.6 5.5 7.7
Obesi 0.8 1.6 2.2 1.9 6.6 10.4 13.2 10.5 14.4 19.4 13.3 14.6 11.1 14.0 10.2 0.0 5.8
Binaus 0.5 0.8 0.5 3.7 2.0 7.9 15.8 10.7 10.0 15.1 21.9 13.4 17.8 13.4 11.0 6.3 6.2
Oelbubuk 0.3 1.2 0.5 3.0 6.9 8.7 13.4 11.6 15.7 12.8 24.3 20.0 16.2 19.4 12.3 8.3 5.2
Tobu 0.4 1.0 2.2 3.0 5.5 3.3 7.4 11.2 11.3 11.6 11.6 14.6 10.6 10.2 8.0 4.3 3.2
Tune 0.6 1.0 1.5 1.4 2.0 4.1 6.6 5.3 13.1 7.6 5.8 4.9 11.0 6.9 2.9 3.5 3.2
Kuanfatu 0.8 1.4 2.2 2.3 3.8 5.4 7.0 7.3 5.5 5.1 8.8 6.6 4.5 5.4 3.9 3.3 6.2
Kelle 0.7 0.9 1.3 2.3 3.5 6.8 6.5 8.6 10.1 10.8 10.5 9.3 8.9 4.8 3.6 2.5 7.4
Oni 0.7 0.9 1.5 1.8 3.3 7.8 5.0 2.8 9.0 6.5 6.3 1.2 5.3 4.5 4.4 1.9 1.8
Nunusunu 0.5 0.6 1.0 1.8 1.8 4.7 4.5 6.5 4.8 6.5 5.3 3.9 6.7 2.8 1.6 5.0 1.3
Kiubat 0.6 0.9 1.1 2.4 2.0 4.9 5.8 5.5 5.3 4.6 7.0 3.6 1.4 3.5 2.0 2.1 3.7
Mio 0.7 0.8 2.0 2.9 2.2 4.1 4.8 4.6 5.7 5.0 5.9 5.6 3.9 2.2 6.5 2.0 1.9
Total Average (Kg/Pohon) 0.6 1.1 2.2 2.7 4.8 7.3 8.3 8.9 9.2 9.7 10.3 9.1 8.9 8.3 6.5 4.7 3.8

Tabel 8. Rata-Rata Produktivitas Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman di Zona Dataran Tinggi
Umur Tanaman (Tahun) 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20
Produktivitas (Kg/Pohon produktif)
Ajobaki 0.6 1.7 10.0 6.0 17.0 9.2 11.2 13.0 4.0 14.1 7.5 10.1 15.8 12.7 11.6 5.5 7.7
Obesi 0.9 1.2 2.2 2.2 7.5 10.4 13.2 11.3 14.4 17.6 13.6 14.6 13.3 14.4 10.2 0.0 5.6
Binaus 0.5 0.8 0.5 3.7 2.0 7.6 13.8 12.5 11.4 15.1 16.7 13.4 15.8 15.3 11.0 6.3 6.5
Oelbubuk 0.5 0.9 0.8 3.0 12.0 6.2 13.4 14.5 13.5 12.4 24.3 17.1 19.4 17.8 12.3 9.7 5.8
Tobu 0.5 0.9 2.2 3.0 5.5 3.3 7.4 11.2 10.1 11.3 11.6 14.6 10.6 10.2 8.0 4.3 3.1
Tune 0.5 1.3 1.5 1.4 2.4 4.1 6.3 6.6 11.3 8.7 5.8 6.6 11.0 6.9 3.5 3.3 3.1
Average (kg/pohon) 0.6 1.1 2.9 3.2 6.7 8.8 10.9 11.2 11.5 13.1 13.2 13.0 12.9 12.7 9.5 6.9 5.3

Sumber: Data Primer, 2010.


Lampiran 8. Lanjutan
Tabel 9. Rata-Rata Produktivitas Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman di Zona Dataran
Rendah
Umur Tanaman (Tahun) 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20
Produktivitas (Kg/Pohon produktif):
Kuanfatu 0.8 1.4 2.2 2.3 3.8 4.6 5.9 8.5 6.9 5.1 8.8 6.8 5.4 4.1 4.6 3.3 5.8
Kelle 0.7 0.9 1.3 2.3 3.5 6.8 6.5 9.1 8.4 10.8 10.5 9.3 8.9 3.9 2.9 2.5 8.3
Oni 0.6 1.0 1.5 2.1 2.9 7.8 5.0 2.8 9.0 7.3 6.3 1.6 4.4 4.5 4.4 1.9 1.8
Nunusunu 0.4 0.6 1.0 1.8 1.8 4.7 4.5 6.6 4.8 6.5 5.3 3.9 6.7 2.8 1.6 5.0 1.3
Kiubat 0.6 0.8 1.3 2.4 2.0 4.9 5.8 5.1 5.3 5.3 5.6 3.6 1.9 3.5 2.0 2.9 2.8
Mio 0.6 0.9 2.0 3.1 2.2 4.1 4.6 4.6 5.7 5.0 5.9 5.6 3.9 3.3 5.2 2.0 1.9
Average (Kg/Pohon) 0.6 0.9 1.6 2.2 2.8 5.7 5.7 6.6 6.9 6.3 7.3 5.1 4.9 3.9 3.5 2.4 2.2

Tabel 10. Jumlah Pohon Berdasarkan Kategori Umur di Zona Dataran Tinggi.
Desa Kategori Umur Tanaman (Tahun) Kategori Umur Tanaman (Tahun)
<5 5 - <10 10 - < 15 15 - 20 >20 Total <5 5 - <10 10 - < 15 15 - 20 >20 Total
Jumlah Pohon Per Petani Berdasarkan Kategori Umur di Zona Dataran Tinggi % Jumlah Pohon Berdasarkan Kategori Umur di Zona Dataran Tinggi
Ajobaki 185.9 20.6 27.4 12.2 1.8 247.9 74.99 8.31 11.05 4.91 0.74 100.0
Obesi 142.5 26.8 30.1 11.6 2.8 213.8 66.64 12.55 14.06 5.42 1.33 100.0
Binaus 171.5 12.9 16.2 12.9 2.2 215.6 79.53 5.97 7.50 5.97 1.04 100.0
Oelbubuk 172.8 14.4 19.7 11.8 2.4 221.1 78.17 6.53 8.89 5.32 1.09 100.0
Tobu 78.3 21.8 28.5 13.1 3.8 145.5 53.78 15.00 19.56 9.02 2.63 100.0
Tune 31.8 16.4 24.0 11.2 2.8 86.3 36.86 19.05 27.82 12.98 3.28 100.0
Kuanfatu 31.5 18.3 14.2 8.5 1.3 73.9 42.64 24.77 19.27 11.51 1.81 100.0
Kelle 26.0 10.5 11.5 5.1 0.6 53.6 48.54 19.54 21.41 9.46 1.06 100.0
Oni 33.9 15.2 8.8 6.5 0.5 64.9 52.18 23.37 13.61 10.07 0.77 100.0
Nunusunu 16.9 8.7 9.2 5.8 0.6 41.3 40.95 21.16 22.37 13.97 1.53 100.0
Kiubat 14.7 10.8 8.6 6.3 0.7 41.1 35.88 26.22 20.86 15.42 1.62 100.0
Mio 14.2 6.7 6.0 3.2 0.5 30.5 46.67 21.86 19.56 10.38 1.53 100.0
Sumber: Data Primer, 2010.
Lampiran 8. Lanjutan

Tabel 11. Jumlah Produksi Berdasarkan Kategori Umur di Zona Dataran Tinggi, Dataran Rendah dan Total, Tahun 2010
Desa Kategori Umur Tanaman (Tahun) Kategori Umur Tanaman (Tahun)
<5 5 - <10 10 - < 15 15 - 20 >20 Total <5 5 - <10 10 - < 15 15 - 20 >20 Total

Jumlah (Kg/Petani) Berdasarkan Kategori Umur di Zona Dataran Tinggi % Jumlah Produksi Berdasarkan Kategori Umur di Zona Dataran Tinggi

Ajobaki 0.0 39.5 328.6 132.8 14.1 514.9 0.00 7.66 63.81 25.78 2.74 100.0
Obesi 0.0 58.8 380.5 149.3 16.5 605.2 0.00 9.72 62.87 24.67 2.73 100.0
Binaus 0.0 13.6 188.4 197.1 13.9 413.0 0.00 3.29 45.61 47.72 3.37 100.0
Oelbubuk 0.0 21.7 244.7 196.7 12.4 475.4 0.00 4.56 51.47 41.38 2.60 100.0
Tobu 0.0 36.4 263.5 126.5 12.3 438.7 0.00 8.30 60.06 28.83 2.81 100.0
Tune 0 24.4 169.6 64.1 9.1 267.3 0 9.14 63.47 23.98 3.404 100.0

Mean -1 0 32.4 262.5 144.4 13.1 451.3 0 7.13 57.88 32.06 2.95 100.0
Kuanfatu 0.0 36.5 87.6 48.9 8.3 181.3 0.00 20.15 48.32 26.95 4.58 100.0
Kelle 0.0 16.4 94.5 38.6 4.2 153.7 0.00 10.69 61.48 25.09 2.73 100.0
Oni 0.0 24.3 55.4 27.6 0.9 108.3 0.00 22.48 51.20 25.49 0.83 100.0

Nunusunu 0.0 9.9 49.6 23.0 0.8 83.3 0.00 11.84 59.54 27.61 1.00 100.0
Kiubat 0.0 15.0 44.8 21.5 2.5 83.8 0.00 17.91 53.48 25.67 2.94 100.0
Mio 0.0 11.4 28.7 14.7 0.9 55.6 0 20.43 51.59 26.36 1.62 100.0
Mean -2 0 18.92 60.11 29.03 2.93 111.3 0 17.05 54.15 26.16 2.64 100.0
Mean Total 0 25.66 161.33 86.72 8.00 281.3 0 9.11 57.27 30.78 2.84 100.0

\ Sumber: Data Primer, 2010.


Lampiran 8. Lanjutan

Tabel 12. Jumlah Produktivitas Berdasarkan Kategori Umur di Zona Dataran Tinggi, Dataran Rendah dan Total, Tahun 2010

Desa Kategori Umur Tanaman (Tahun) Kategori Umur Tanaman (Tahun)


<5 5 - <10 10 - < 15 15 - 20 >20 Total <5 5 - <10 10 - < 15 15 - 20 >20 Total

Produktivitas (Kg/Pohon Produktif) Berdasarkan Kategori Umur di Zona Dataran Tinggi % Berdasarkan Kategori Umur di Zona Dataran Tinggi

Ajobaki 0.0 7.1 10.6 13.5 7.7 38.9 0.00 18.18 27.37 34.62 19.84 100.0
Obesi 0.0 2.6 13.6 12.6 5.8 34.6 0.00 7.54 39.14 36.46 16.86 100.0
Binaus 0.0 1.5 11.9 16.8 6.2 36.4 0.00 4.13 32.69 46.04 17.14 100.0
Oelbubuk 0.0 2.4 12.4 20.1 5.2 40.1 0.00 5.91 31.05 50.18 12.86 100.0
Tobu 0.0 2.4 8.9 11.9 3.2 26.5 0.00 9.11 33.82 44.91 12.16 100.0
Tune 0.0 1.3 7.3 7.0 3.2 18.8 0.00 6.83 39.00 37.13 17.04 100.0
Mean-1 0.0 2.9 10.8 13.6 5.2 32.5 0.00 8.62 33.84 41.56 15.98 100.00

Kuanfatu 0.0 2.1 6.0 6.5 6.2 20.9 0.00 10.01 28.96 31.18 29.85 100.0
Kelle 0.0 1.7 8.6 7.9 7.4 25.6 0.00 6.72 33.44 30.88 28.95 100.0
Oni 0.0 1.6 6.2 4.7 1.8 14.4 0.00 11.31 43.33 32.82 12.54 100.0
Nunusunu 0.0 1.1 5.4 5.0 1.3 12.9 0.00 8.73 41.81 39.22 10.24 100.0
Kiubat 0.0 1.4 5.2 3.9 3.7 14.2 0.0 9.8 36.63 27.62 26.02 100
Mio 0.0 1.7 4.8 5.2 1.9 13.7 0.00 12.54 35.25 38.18 14.03 100.00
Mean-2 0 1.6 6.1 5.6 3.7 16.9 0 9.5 35.7 32.8 22.0 100

Mean Total 0 2.2 8.4 9.6 0.9 21.2 0 10.6 39.8 45.4 4.2 100

Sumber: Data Primer, 2010.


348

Lampiran 8. Lanjutan

Tabel 13. Luas Lahan, Jumlah dan Umur Tanaman Produktif yang Dimiliki Petani
Responden

Dataran Tinggi Dataran Rendah


Lahan Jumlah Umur Lahan Jumlah Umur
NO Jeruk Tanaman Tanaman Jeruk Tanaman Tanaman
RESP Keprok Produktif Produktif Keprok Produktif Produktif
(Ha) (Pohon) (Thn) (Ha) (Pohon) (Thn)
1 0.50 38.00 9.67 0.50 25.00 10.67
2 0.50 20.00 13.67 0.75 60.00 10.33
3 2.00 100.00 10.00 0.50 54.00 13.25
4 2.00 60.00 21.67 0.75 72.00 13.17
5 2.00 70.00 12.25 0.25 47.00 12.50
6 1.50 62.00 16.00 0.55 10.00 9.00
7 1.00 31.00 17.67 0.50 45.00 12.33
8 1.00 22.00 15.50 0.50 10.00 11.00
9 1.50 97.00 15.80 0.35 20.00 12.00
10 0.50 64.00 16.00 0.50 16.00 12.67
11 0.50 32.00 18.33 0.50 52.00 13.80
12 1.50 265.00 14.00 0.75 55.00 9.25
13 1.50 212.00 14.00 0.75 67.00 13.20
14 2.00 35.00 13.75 0.50 40.00 15.25
15 1.00 72.00 14.25 0.85 38.00 13.00
16 1.00 55.00 19.50 0.50 30.00 10.25
17 1.50 92.00 14.00 0.75 60.00 12.80
18 1.25 62.00 16.25 0.45 35.00 13.00
19 1.00 27.00 14.50 0.50 67.00 12.67
20 0.50 20.00 16.00 0.75 85.00 14.40
21 1.00 107.00 14.80 0.75 55.00 14.60
22 1.00 62.00 7.50 0.50 67.00 13.00
23 1.50 62.00 15.20 0.75 55.00 12.20
24 0.50 45.00 9.00 0.50 67.00 13.60
25 0.40 12.00 7.00 0.35 25.00 8.33
26 0.50 36.00 13.67 0.30 50.00 12.00
27 0.50 20.00 14.50 0.50 45.00 12.75
28 1.00 26.00 17.67 0.40 12.00 10.50
29 1.00 37.00 14.40 0.25 20.00 9.75
30 0.50 36.00 13.67 0.75 14.00 15.25
31 1.00 70.00 11.20 0.50 17.00 15.00
32 1.00 95.00 12.33 0.75 38.00 11.40
33 1.50 150.00 11.45 0.50 25.00 10.75
34 1.00 85.00 12.00 0.50 12.00 16.00
35 1.20 65.00 14.00 0.40 14.00 14.40
349

Tabel 13. Lanjutan

36 0.50 37.00 13.60 0.25 14.00 13.40


37 0.50 52.00 14.14 0.75 14.00 14.25
38 1.00 75.00 12.86 0.75 27.00 11.25
39 1.50 105.00 10.14 0.65 35.00 9.80
40 1.00 110.00 13.83 0.60 27.00 13.25
41 1.00 110.00 14.60 0.75 14.00 11.33
42 1.50 112.00 12.20 0.35 15.00 15.20
43 1.00 105.00 12.80 0.35 10.00 10.50
44 1.00 30.00 12.50 0.50 15.00 9.67
45 1.20 43.00 18.25 0.50 17.00 13.50
46 1.00 80.00 9.67 0.75 12.00 11.67
47 1.25 75.00 12.40 0.75 30.00 10.00
48 1.00 52.00 11.57 0.75 72.00 12.00
49 2.00 35.00 17.33 0.25 47.00 13.00
50 2.00 60.00 13.80 0.75 55.00 10.67
51 1.50 35.00 17.33 0.65 67.00 15.33
52 1.00 60.00 13.33 0.50 45.00 10.50
53 1.20 65.00 16.00 0.40 12.00 14.00
54 0.50 37.00 14.00 0.25 20.00 8.33
55 0.50 52.00 13.60 0.35 25.00 11.75
56 1.00 75.00 11.25 0.30 50.00 12.60
57 0.50 60.00 16.50 0.50 45.00 10.75
58 0.75 55.00 15.40 0.75 14.00 10.67
59 1.00 100.00 16.00 0.35 15.00 10.00
60 0.25 75.00 16.00 0.35 10.00 14.00
61 1.00 32.00 16.25 0.50 35.00 9.75
62 1.00 21.00 14.25 0.25 5.00 12.00
63 0.50 25.00 15.00 0.35 12.00 13.67
64 0.25 35.00 17.00 0.60 20.00 10.75
65 1.50 109.00 12.75 0.25 12.00 13.50
66 1.00 30.00 14.00 0.50 21.00 13.33
67 1.00 100.00 10.00 0.25 28.00 11.75
68 0.50 42.00 16.00 0.50 6.00 14.00
69 0.50 20.00 15.00 0.25 11.00 9.67
70 1.00 26.00 16.33 0.35 30.00 10.33
71 1.00 37.00 14.25 0.25 31.00 13.00
72 1.00 36.00 17.25 0.30 20.00 11.00
73 1.00 55.00 14.25 0.25 15.00 12.00
74 0.75 32.00 15.33 0.75 72.00 11.86
75 1.00 37.00 17.67 0.25 47.00 9.67
76 0.75 16.00 17.67 0.75 55.00 10.60
77 0.50 12.00 19.00 0.35 67.00 13.40
350

Tabel 13. Lanjutan

78 0.50 32.00 14.33 0.25 5.00 8.00


79 0.50 21.00 15.00 0.50 20.00 10.33
80 0.75 40.00 14.50 0.25 26.00 12.33
81 1.00 42.00 19.33 0.30 37.00 14.00
82 0.75 36.00 16.50 0.25 5.00 10.00
83 1.20 64.00 12.71 0.75 55.00 12.17
84 1.50 60.00 13.75 0.50 67.00 15.75
85 0.50 36.00 12.33 0.50 45.00 12.75
86 0.50 32.00 14.67 0.40 12.00 10.67
87 2.00 70.00 13.00 0.25 20.00 7.00
88 1.50 62.00 15.20 0.35 25.00 11.50
89 1.00 107.00 14.60 0.30 50.00 13.80
90 1.00 62.00 15.75 0.50 45.00 13.00
91 1.00 30.00 13.80 0.25 7.00 12.00
92 0.75 27.00 17.33 0.15 11.00 15.00
93 2.00 35.00 18.33 0.25 10.00 11.00
94 0.80 62.00 16.00 0.25 19.00 13.67
95 0.50 47.00 12.60 0.30 10.00 12.50
96 0.45 30.00 11.67 0.30 14.00 12.00
97 0.50 37.00 15.67 0.20 46.00 10.83
98 0.35 17.00 18.67 0.30 12.00 9.00
99 0.75 70.00 12.50 0.25 15.00 8.00
100 0.50 42.00 14.40 0.13 10.00 11.00
101 0.50 136.00 14.60 0.25 10.00 9.50
102 0.50 32.00 16.50 0.25 11.00 11.00
103 1.00 30.00 14.67 0.30 13.00 10.67
104 1.00 30.00 11.80 0.35 10.00 15.00
105 1.00 123.00 14.60 0.25 13.00 9.00
106 1.00 40.00 16.33 0.75 72.00 12.80
107 0.75 20.00 14.00 0.25 47.00 13.75
108 1.00 22.00 17.00 0.50 67.00 12.17
109 1.20 70.00 14.20 0.50 45.00 12.50
110 1.00 40.00 15.67 0.40 12.00 10.67
111 1.00 40.00 13.67 0.25 20.00 21.80
112 1.00 26.00 18.33 0.25 10.00 10.50
113 0.50 52.00 13.33 0.25 9.00 15.00
114 3.00 83.00 13.25 0.20 6.00 12.00
115 1.00 123.00 13.60 0.75 55.00 14.50
116 1.00 40.00 15.25 0.55 67.00 14.14
117 1.00 30.00 13.25 0.35 25.00 9.00
118 1.00 30.00 13.00 0.30 50.00 15.40
119 0.50 37.00 17.50 0.50 45.00 9.00
120 0.35 17.00 17.67 0.35 10.00 11.00
351

Tabel 13. Lanjutan

121 1.00 60.00 8.33 0.25 5.00 12.00


122 1.00 34.00 15.67 0.25 8.00 14.00
123 0.50 60.00 14.80 0.10 8.00 18.50
124 0.75 55.00 15.20 0.20 8.00 11.50
125 1.00 100.00 15.29 0.25 13.00 13.67
126 0.75 48.00 14.25 0.25 10.00 10.50
127 1.00 60.00 10.50 0.25 9.00 11.00
128 1.00 50.00 14.67 0.20 6.00 11.00
129 1.00 107.00 14.40 0.25 6.00 12.67
130 1.00 62.00 15.50 0.25 12.00 15.67
131 1.00 42.00 16.50 0.10 12.00 11.00
132 1.00 164.00 12.29 0.50 12.00 12.00
133 1.50 58.00 12.75 0.35 25.00 14.00
134 0.50 75.00 13.50 0.30 50.00 13.80
135 0.25 75.00 15.80 0.50 45.00 12.20
136 0.75 40.00 15.00 0.75 72.00 13.83
137 1.00 25.00 13.00 0.25 47.00 10.75
138 0.50 43.00 15.00 0.25 13.00 10.50
139 1.00 112.00 14.00 0.75 55.00 13.86
140 0.50 70.00 14.25 0.45 67.00 11.83
141 1.00 107.00 13.60 0.35 25.00 9.00
142 1.00 62.00 16.40 0.30 50.00 12.20
143 1.00 42.00 16.50 0.50 45.00 13.00
144 1.00 164.00 15.00 0.35 10.00 10.00
145 1.50 58.00 13.33 0.75 55.00 12.50
146 0.50 75.00 14.60 0.80 67.00 12.60
147 1.00 40.00 15.67 0.50 45.00 11.17
148 1.50 30.00 17.00 0.40 12.00 10.33
149 1.00 30.00 17.33 0.35 10.00 10.00
150 1.00 60.00 13.17 0.25 13.00 12.50
151 0.50 105.00 13.83 0.15 6.00 9.50
152 0.50 55.00 12.60 0.30 14.00 9.50
153 1.00 45.00 16.40 0.25 9.00 6.50
154 1.50 70.00 10.33 0.35 25.00 10.00
155 0.75 60.00 16.80 0.30 50.00 12.00
156 0.50 57.00 11.20 0.50 45.00 12.86
157 0.75 67.00 14.00 0.40 12.00 13.20
158 1.00 45.00 13.00 0.25 20.00 9.00
159 1.00 32.00 16.00 0.25 15.00 11.25
160 0.50 41.00 13.60 0.20 10.00 7.50
161 1.00 59.00 13.00 0.25 13.00 10.00
162 0.50 36.00 12.00 0.40 6.00 13.00
163 1.00 80.00 9.75 0.35 10.00 9.50
352

Tabel 13. Lanjutan

164 0.25 47.00 15.20 0.25 13.00 9.50


165 0.35 67.00 15.40 0.25 15.00 13.50
166 0.50 55.00 13.67 0.20 17.00 13.00
167 0.50 57.00 13.20 0.25 10.00 10.00
168 0.75 67.00 13.00 0.25 13.00 15.00
169 1.00 45.00 13.25 0.35 10.00 13.67
170 0.25 75.00 14.00 0.40 17.00 14.25
171 0.75 40.00 16.67 0.40 12.00 8.00
172 1.00 25.00 11.50 0.25 20.00 11.50
173 0.50 43.00 15.00 0.25 15.00 10.00
174 0.25 47.00 16.25 0.20 10.00 7.00
175 0.75 67.00 15.50 0.25 6.00 13.00
176 0.50 55.00 15.00 0.25 12.00 11.33
177 1.00 30.00 17.00 0.10 12.00 18.67
178 0.50 37.00 17.67 0.30 12.00 13.60
179 0.35 17.00 19.33 0.25 15.00 14.00
180 0.75 67.00 12.20 0.13 10.00 13.50
Mean 0.92 57.71 14.46 0.41 27.94 11.94
Max 3.00 265.00 21.67 0.85 85.00 21.80
min 0.25 12.00 7.00 0.10 5.00 6.50

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).


353

Lampiran 9. Prosedur Pengolahan Data dengan Menggunakan Software


Frontier 4.1c

1. Menyusun data dalam microsoft Excel. Contoh penyusunan data:

No Jenis Data Y X1 X2 X3
Respnden
1 1 400 20 10 7
2 1 350 30 12 9
3 1 500 35 15 10
4 1 460 40 18 12
5 1 700 50 25 15
Catatan: jika data cross-section maka jenis data diisi dengan angka satu (1).

2. Menyimpan data dalam folder frontier 4.1, dan disimpan dalam bentuk file

*.txt, misalnya jeruk.txt (menjawab pertanyaan dengan memilih OK dan

kemudian YES).

3. Kemudian menutup file yang terdapat di Excel.

4. Membuka folder frontier 4.1 dan mengubah file dengan ekxtensi *.txt tadi

menjadi *.dta, misalnya jeruk.dta

5. Membuka program kerja frontier 4.1 dengan mejawab instruksi sebagai

berikut:

a. Do you wish to type instruction at the terminal (t) or use instruction file

(f)? Dijawab dengan mengetik t (karena file tadi sudah ada di folder

frontier 4.1)

b. Enter 1 if you wish to estimate the error component model or 2 for the

TE effect model? Dijawab dengan mengetik huruf 1

c. Enter the name of your data file? Dijawab dengan mengetik nama file

data misalnya jeruk.dta

d. Enter the name of your output file? Dijawab dengan mengetik nama

output file, misalnya jeruk.out


354

e. Are you estimating a production or cost functions? Enter 1 for

production or 2 for cost function. Dijawab dengan mengetik angka 1

f. Is the dependent variable logged? (y or n) dijawab dengan mengetik y

g. How many cross section in the data? Dijawab dengan mengetik

banyaknya data cross section, misalnya 180 (karena ada 180 responden)

h. How many time period in the data? Dijawab dengan mengetik 1

i. How many observations in total in the data? Dijawab 180

j. How many regressors are there? Dijawab 5 (jika ada 5 variabel

(independen atau X)

k. Does the model include deltas? (y or n). Dijawab y (jika model

inefisiensi dianalisis secara simultan)

l. How many varibel Zs are there? Dijawab 4 (jika jumlah variabel

inefisiensi ada 4)

m. Do you wish to supply starting values? Dijawab n

Setelah semua prosedur dilaksanakan dengan benar, maka akan keluar outputnya

dengan nama file jeruk.out. Catatan: kalau output tidak keluar maka ada kesalahan

dalam pengetikan jawaban pada instruksi frontier 4.1, misalnya data jumlah

observasi ada 180 tetapi diketik dengan jumlah 100, jumlah regressor ada 4 tetapi

diketik 10, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, file data perlu diperiksa kembali,

termasuk tanda titik atau tanda koma.


355

Lampiran 10. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dengan Dummy Zona


Agroklimat Dataran Tinggi dan Rendah pada Usahatani
Jeruk Keprok SoE

Output from the program FRONTIER (Version 4.1c)

instruction file = terminal

data file = zona3.dta

Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993)

The model is a production function

the ols estimates are :

coefficient standard-error t-ratio

beta 0 0.26547836E+01 0.25140533E+00 0.10559774E+02

beta 1 0.41708191E+00 0.40726354E-01 0.10241081E+02

beta 2 0.28058410E-01 0.11095984E-01 0.25286996E+01

beta 3 0.95579653E-01 0.54859672E-01 0.17422571E+01

beta 4 0.22967288E+00 0.15559737E+00 0.14760717E+01

beta 5 0.10647150E+01 0.75613092E-01 0.14081093E+02

the final mle estimates are :

coefficient standard-error t-ratio

beta 0 0.29966401E+01 0.25712231E+00 0.11654532E+02

beta 1 0.43810288E+00 0.42166282E-01 0.10389886E+02

beta 2 0.30287543E-01 0.10794790E-01 0.28057558E+01

beta 3 0.10650642E+00 0.53856965E-01 0.19775792E+01

beta 4 0.23965395E+00 0.15413328E+00 0.15548488E+01

beta 5 0.10073438E+01 0.83738046E-01 0.12029703E+02

sigma-squared 0.44413452E+00 0.10633041E+00 0.41769286E+01

gamma 0.67174197E+00 0.18747516E+00 0.35830986E+01

LR 0.15021858E+02
356

Lampiran 11. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dengan Dummy Ukuran


Usahatani pada Usahatani Jeruk Keprok SoE di Daerah
Dataran Tinggi

Output from the program FRONTIER (Version 4.1c)

instruction file = terminal

data file = zona5.dta

Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993)

The model is a production function

The dependent variable is logged

the ols estimates are :

coefficient standard-error t-ratio

beta 0 0.51134127E+01 0.40756368E+00 0.12546292E+02

beta 1 0.19320027E+00 0.59773157E-01 0.32322246E+01

beta 2 0.64425740E-01 0.54743825E-01 0.11768586E+01

beta 3 0.18464464E-01 0.59630608E-01 0.30964743E+00

beta 4 0.53518632E+00 0.19158758E+00 0.27934291E+01

beta 5 -0.29808824E+00 0.65819977E-01 -0.45288414E+01

the final mle estimates are :

coefficient standard-error t-ratio

beta 0 0.53258192E+01 0.40603156E+00 0.13116761E+02

beta 1 0.22263692E+00 0.60419489E-01 0.36848527E+01

beta 2 -0.83668883E-01 0.51668420E-01 -0.16193428E+01

beta 3 -0.39200618E-02 0.54845949E-01 -0.71474044E-01

beta 4 0.62185897E+00 0.17950899E+00 0.34642219E+01

beta 5 -0.23182168E+00 0.70651970E-01 -0.32811779E+01

sigma-squared 0.35879405E+00 0.63351247E-01 0.56635673E+01

gamma 0.83916855E+00 0.76700605E-01 0.10940833E+02

LR 0.19253099E+02
357

Lampiran 12. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknis


Usahatani Jeruk Keprok SoE di Daerah Dataran Tinggi
Output from the program FRONTIER (Version 4.1c)

instruction file = terminal


data file = zona11.DTA

Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993)


The model is a production function

the final mle estimates are:

coefficient standard-error t-ratio


beta 0 0.80244899E+00 0.31431669E+01 0.25529952E+00
beta 1 0.15545719E+01 0.80509223E+00 0.19309240E+01
beta 2 0.66212229E-02 0.17037110E+00 0.35928760E-01
beta 3 0.13540009E+01 0.80321453E+00 0.16981776E+01
beta 4 0.28547671E+00 0.75749900E+00 0.37686744E+00
beta 5 -0.42566769E+00 0.14340471E+00 -0.29682964E+01
beta 6 0.99454349E+00 0.54271126E+00 0.18178046E+01
beta 7 -0.24817096E+00 0.15693065E+00 -0.15814056E+01
beta 8 -0.37229976E-01 0.15838321E+00 -0.23506264E+00
beta 9 0.28957914E+00 0.29071378E+00 0.99609713E+00
beta10 -0.31677332E-01 0.82499068E-01 -0.38397200E+00
beta11 0.14674643E+00 0.11415843E+00 0.12854632E+01
beta12 0.25990855E+00 0.15609754E+00 0.16650394E+01
beta13 -0.13113224E+00 0.08007302E+00 -0.16376574E+01
beta14 0.14140193E+00 0.11308830E+00 0.12503675E+01
beta15 0.63361532E+00 0.24322115E+00 0.26050996E+01
delta 0 0.26043351E+01 0.45158379E+01 0.57671138E+00
delta 1 0.29522135E+00 0.29088472E+00 0.10149084E+01
delta 2 -0.40216166E-00 0.25179290E+01 -0.15971922E+01
delta 3 -0.21762101E+00 0.13598432E+00 -0.16003389E+01
delta 4 -0.11461422E+00 0.92326720E+00 -0.12413982E+00
delta 5 -0.22907412E+00 0.63964978E+00 -0.35812429E+00
delta 6 -0.26373594E+00 0.16969213E+00 -0.15542027E+01
delta 7 -0.30981541E+00 0.20326524E+00 -0.15241914E+01
delta 8 -0.46769424E+00 0.23852523E+00 -0.19620571E+01
sigma-squared 0.41780858E+00 0.17318773E+00 0.24124606E+01
gamma 0.93574257E+00 0.31042460E-01 0.30143957E+02

log likelihood function = -0.81391005E+02

LR test of the one-sided error = 0.36975517E+02


with number of restrictions = 10
[note that this statistic has a mixed chi-square distribution]
number of iterations = 32
(maximum number of iterations set at : 100)
number of cross-sections = 180
number of time periods = 1
total number of observations = 180
thus there are: 0 obsns not in the panel

technical efficiency estimates :

firm year eff.-est.


1 1 0.93178724E+00
2 1 0.54792727E+00
3 1 0.80274767E+00
4 1 0.68629000E+00
5 1 0.77642337E+00
6 1 0.88700685E+00
358

Lampiran 12. Lanjutan

7 1 0.82734113E+00
8 1 0.84654932E+00
9 1 0.85268631E+00
10 1 0.87993906E+00
11 1 0.62369365E+00
12 1 0.64344458E+00
13 1 0.67175203E+00
14 1 0.46479649E+00
15 1 0.91291236E+00
16 1 0.79251509E+00
17 1 0.79662632E+00
18 1 0.90804514E+00
19 1 0.41490323E+00
20 1 0.82758755E+00
21 1 0.88189737E+00
22 1 0.55632129E+00
23 1 0.88238050E+00
24 1 0.37024328E+00
25 1 0.82136145E+00
26 1 0.47900487E+00
27 1 0.77003873E+00
28 1 0.70041767E+00
29 1 0.61700957E+00
30 1 0.55543807E+00
31 1 0.59635089E+00
32 1 0.68694619E+00
33 1 0.88124361E+00
34 1 0.53457823E+00
35 1 0.86798459E+00
36 1 0.87569398E+00
37 1 0.88048332E+00
38 1 0.83101478E+00
39 1 0.63289134E+00
40 1 0.73174127E+00
41 1 0.92966191E+00
42 1 0.62337070E+00
43 1 0.47149983E+00
44 1 0.52766387E+00
45 1 0.44100802E+00
46 1 0.64566031E+00
47 1 0.77162929E+00
48 1 0.78756995E+00
49 1 0.78059837E+00
50 1 0.94722399E+00
51 1 0.76617052E+00
52 1 0.77873511E+00
53 1 0.83995820E+00
54 1 0.87118354E+00
55 1 0.89552506E+00
56 1 0.86662525E+00
57 1 0.42825751E+00
58 1 0.73197414E+00
59 1 0.79606424E+00
60 1 0.51811516E+00
61 1 0.70375283E+00
62 1 0.73505353E+00
63 1 0.61392980E+00
64 1 0.62248320E+00
65 1 0.31043703E+00
66 1 0.69544365E+00
67 1 0.63798104E+00
68 1 0.41222605E+00
359

Lampiran 12. Lanjutan

69 1 0.70287511E+00
70 1 0.70086934E+00
71 1 0.63110913E+00
72 1 0.43443640E+00
73 1 0.76510634E+00
74 1 0.60267578E+00
75 1 0.79474438E+00
76 1 0.69587721E+00
77 1 0.46028449E+00
78 1 0.52011723E+00
79 1 0.87707870E+00
80 1 0.71301783E+00
81 1 0.93161758E+00
82 1 0.93195841E+00
83 1 0.28597998E+00
84 1 0.88360435E+00
85 1 0.70480589E+00
86 1 0.51403306E+00
87 1 0.63155571E+00
88 1 0.90446120E+00
89 1 0.85137276E+00
90 1 0.58901035E+00
91 1 0.49677437E+00
92 1 0.29789525E+00
93 1 0.78967567E+00
94 1 0.85404099E+00
95 1 0.80459327E+00
96 1 0.75799756E+00
97 1 0.84211132E+00
98 1 0.85925600E+00
99 1 0.52564501E+00
100 1 0.59147926E+00
101 1 0.63525924E+00
102 1 0.79661024E+00
103 1 0.72528096E+00
104 1 0.85272968E+00
105 1 0.74532573E+00
106 1 0.76242695E+00
107 1 0.87554506E+00
108 1 0.88759823E+00
109 1 0.60521063E+00
110 1 0.79446664E+00
111 1 0.86300523E+00
112 1 0.89598280E+00
113 1 0.36009879E+00
114 1 0.90709632E+00
115 1 0.81031981E+00
116 1 0.76125398E+00
117 1 0.73411821E+00
118 1 0.83111340E+00
119 1 0.84206452E+00
120 1 0.82483116E+00
121 1 0.61515546E+00
122 1 0.44812163E+00
123 1 0.39715529E+00
124 1 0.66998061E+00
125 1 0.80498803E+00
126 1 0.68743274E+00
127 1 0.89909052E+00
128 1 0.81669016E+00
129 1 0.84625654E+00
130 1 0.58902161E+00
360

Lampiran 12. Lanjutan

131 1 0.27674041E+00
132 1 0.46070368E+00
133 1 0.76540496E+00
134 1 0.24980813E+00
135 1 0.46352622E+00
136 1 0.33453611E+00
137 1 0.74344312E+00
138 1 0.46649932E+00
139 1 0.47445083E+00
140 1 0.64495990E+00
141 1 0.81076132E+00
142 1 0.59138527E+00
143 1 0.27801976E+00
144 1 0.57937473E+00
145 1 0.75894999E+00
146 1 0.23426711E+00
147 1 0.76391512E+00
148 1 0.72485173E+00
149 1 0.82905563E+00
150 1 0.77751595E+00
151 1 0.28558339E+00
152 1 0.62889751E+00
153 1 0.25377942E+00
154 1 0.67466943E+00
155 1 0.31570435E+00
156 1 0.34900083E+00
157 1 0.33301370E+00
158 1 0.63980777E+00
159 1 0.39090304E+00
160 1 0.48606473E+00
161 1 0.36135577E+00
162 1 0.45900372E+00
163 1 0.21045963E+00
164 1 0.22563444E+00
165 1 0.28296604E+00
166 1 0.47654435E+00
167 1 0.37579715E+00
168 1 0.30556948E+00
169 1 0.59931441E+00
170 1 0.50207174E+00
171 1 0.33354253E+00
172 1 0.79831585E+00
173 1 0.39695914E+00
174 1 0.23369176E+00
175 1 0.27307128E+00
176 1 0.52168293E+00
177 1 0.73260300E+00
178 1 0.78008779E+00
179 1 0.82467841E+00
180 1 0.27887367E+00

Mean efficiency = 0.65103291E+00


361

Lampiran 13. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknis


Usahatani Jeruk Keprok SoE di Daerah Dataran Rendah
Output from the program FRONTIER (Version 4.1c)

instruction file = terminal


data file = zona bb.dta
Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993)
The model is a production function
The dependent variable is logged

the final mle estimates are :


coefficient standard-error t-ratio
beta 0 0.57297922E+01 0.57012208E+01 0.10050115E+01
beta 1 0.71379629E+00 0.90786030E+00 0.78624025E+00
beta 2 0.30084365E+01 0.16791860E+01 0.17914587E+01
beta 3 0.96624098E-01 0.27474661E+00 0.35168440E+00
beta 4 0.17604050E+01 0.10859670E+01 0.16210480E+01
beta 5 0.71172205E-01 0.16379596E+00 0.43451747E+00
beta 6 0.16152988E+01 0.82838503E+00 0.19499372E+01
beta 7 0.11410630E+00 0.34884489E-01 0.32709752E+01
beta 8 -0.18749232E+00 0.38300690E-01 -0.48952726E+01
beta 9 0.12427816E+00 0.34944480E+00 0.35564456E+00
beta10 0.14406979E+00 0.30926082E-01 0.46585207E+01
beta11 0.14580153E+00 0.10294514E+00 0.14163032E+01
beta12 0.08546708E+00 0.05222231E+00 0.16366009E+01
beta13 -0.10666011E+00 0.05084360E+00 -0.20978068E+01
beta14 0.86091513E-01 0.47582887E-01 0.18092957E+01
beta15 0.19819563E+00 0.99709778E-01 0.19857640E+01
delta 0 0.18705126E+00 0.17448120E+01 0.10720425E+00
delta 1 0.60106341E-01 0.17273749E+00 0.34796351E+00
delta 2 -0.35154121E-01 0.21211216E+00 -0.16573371E+01
delta 3 0.16763670E+00 0.20213528E+00 0.82932925E+00
delta 4 -0.18366857E-01 0.90368442E+00 -0.20324415E-01
delta 5 0.37927260E-01 0.46939231E+00 0.80800770E-01
delta 6 0.32547146E+00 0.36202426E+00 0.89903219E+00
delta 7 0.33220195E-01 0.13664184E+00 0.24311875E+00
delta 8 0.38961388E-01 0.14957784E+00 0.26047567E+00
sigma-squared 0.27005058E+00 0.86547676E-01 0.31202523E+01
gamma 0.69633303E+00 0.18985665E+00 0.36676778E+01

log likelihood function = -0.10850274E+03


LR test of the one-sided error = 0.22033237E+02
with number of restrictions = 10
[note that this statistic has a mixed chi-square distribution]
number of iterations = 44
(maximum number of iterations set at : 100)
number of cross-sections = 180
number of time periods = 1
total number of observations = 180
thus there are: 0 obsns not in the panel

Mean efficiency = 0.60662658E+00


362

Lampiran 14. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknis Pada
Ukuran Usahatani < 1 Ha di Daerah dataran Tinggi
Output from the program FRONTIER (Version 4.1c)
instruction file = terminal
data file = zona12.DTA
Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993)
The model is a production function

the final mle estimates are :


coefficient standard-error t-ratio
beta 0 0.45159061E+00 0.10086403E+01 0.44772215E+00
beta 1 0.26431821E+01 0.92931168E+00 0.28442364E+01
beta 2 0.75171154E-01 0.42371818E+00 0.17740838E+00
beta 3 0.14809791E+01 0.99175858E+00 0.14932859E+01
beta 4 0.77032589E+00 0.48596416E+01 0.15851496E+01
beta 5 -0.90365738E+00 0.30608516E+00 -0.29523071E+01
beta 6 0.66266719E+00 0.39316513E+00 0.16854679E+01
beta 7 -0.17227097E+00 0.28355467E+00 -0.60754059E+00
beta 8 -0.71021493E-01 0.31995959E+00 -0.22197020E+00
beta 9 0.89263962E+00 0.41918382E+00 0.21294701E+01
beta10 0.17747904E+00 0.17377769E+00 0.10212993E+01
beta11 0.33067721E+00 0.22310603E+00 0.14821527E+01
beta12 0.45531005E+00 0.26056393E+00 0.17474025E+01
beta13 -0.19372151E+00 0.12517559E+00 -0.15475979E+01
beta14 0.73467011E-01 0.19399433E+00 0.37870701E+00
beta15 0.50992918E+00 0.30864256E+00 0.16521673E+01
delta 0 0.38689818E+01 0.40748317E+01 0.94948261E+00
delta 1 0.30925725E+00 0.31025150E+00 0.99679535E+00
delta 2 0.45320985E-02 0.12333253E-01 0.36746985E+00
delta 3 0.14232405E+00 0.23111891E+00 0.61580443E+00
delta 4 -0.17884872E+00 0.91021334E+00 -0.19649099E+00
delta 5 -0.35755822E+00 0.56033635E+00 -0.63811356E+00
delta 6 0.27719743E-01 0.19237260E+00 0.14409403E+00
delta 7 -0.36477551E+00 0.16355314E+00 -0.22303180E+01
delta 8 -0.49962034E+00 0.30538327E+00 -0.16360436E+01
sigma-squared 0.18422043E+00 0.37771271E-01 0.48772630E+01
gamma 0.99999999E+00 0.44084802E-02 0.22683554E+03

log likelihood function = -0.29630012E+02

LR test of the one-sided error = 0.21818000E+02


with number of restrictions = 10
[note that this statistic has a mixed chi-square distribution]
number of iterations = 35
maximum number of iterations set at : 100)
number of cross-sections = 74
number of time periods = 1
total number of observations = 74
thus there are: 0 obsns not in the panel

Mean efficiency = 0.46071729E+00


363

Lampiran 15. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknis Pada
Ukuran Usahatani ≥ 1 Ha di Daerah dataran Tinggi
Output from the program FRONTIER (Version 4.1c)
instruction file = terminal
data file = zona13.dta
Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993)
The model is a production function

the final mle estimates are :


coefficient standard-error t-ratio
beta 0 0.98863077E+00 0.32176534E+01 0.30725210E+00
beta 1 0.24654136E+01 0.82752237E+00 0.29792712E+01
beta 2 0.23251431E+00 0.16336991E+00 0.14232428E+01
beta 3 0.74112702E+00 0.49719657E+00 0.14906117E+01
beta 4 0.32213147E+00 0.76595172E+00 0.42056367E+00
beta 5 -0.62487001E+00 0.16434603E+00 -0.38021606E+01
beta 6 0.14143694E+00 0.08283381E+00 0.17074784E+01
beta 7 -0.31426880E+00 0.19716870E+00 -0.15939081E+01
beta 8 0.26207628E-01 0.15025359E+00 0.17442264E+00
beta 9 0.40928042E+00 0.61358383E+00 0.66703265E+00
beta10 0.46919978E-01 0.10132963E+00 0.46304303E+00
beta11 0.70770239E-01 0.11299874E+00 0.62629228E+00
beta12 0.31834238E+00 0.17973163E+00 0.17712096E+01
beta13 -0.33742051E+00 0.19420458E+00 -0.17374489E+01
beta14 0.65700353E-02 0.11309975E+00 0.58090625E-01
beta15 0.80917459E+00 0.20911637E+00 0.38694942E+01
delta 0 0.18314135E+01 0.36491961E+01 0.50186752E+00
delta 1 0.29506665E+00 0.55681229E+00 0.52992123E+00
delta 2 -0.42757736E-01 0.72475236E+00 -0.15560987E+01
delta 3 -0.50112727E+01 0.27202962E+00 -0.18421807E+01
delta 4 0.44397995E+00 0.12215071E+01 0.36346899E+00
delta 5 0.88689282E+00 0.17203021E+01 0.51554481E+00
delta 6 -0.60158783E+00 0.40750539E+00 -0.14772811E+01
delta 7 -0.37560437E+00 0.25095703E+00 -0.14966880E+01
delta 8 -0.16363356E+01 0.85901085E+00 -0.19049068E+01
sigma-squared 0.80903600E+00 0.89405447E+00 0.90490683E+00
gamma 0.97219827E+00 0.31134299E-01 0.31225956E+02

log likelihood function = -0.22784726E+02

LR test of the one-sided error = 0.39049504E+02


with number of restrictions = 10
[note that this statistic has a mixed chi-square distribution]
number of iterations = 51
(maximum number of iterations set at : 100)
number of cross-sections = 106
number of time periods = 1
total number of observations = 106
thus there are: 0 obsns not in the panel

Mean efficiency = 0.75030645E+00

Das könnte Ihnen auch gefallen