Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
DAMIANUS ADAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
SURAT PERNYATAAN
gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan komisi
perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah
Damianus Adar
NRP. H361060011
ABSTRACT
DAMIANUS ADAR
DISERTASI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup:
NRP : H361060011
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Mengetahui,
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Ayah dan Ibu tercinta (Alm) yang dari kejauhan di dunia seberang selalu
memberikan doa yang tidak pernah hentinya demi keberhasilan studi saya ini.
Terima kasih banyak ayah....ibu...., atas segalanya yang tercurahkan kepadaku
sampai dengan detik ini. Mohon maaf atas salah dan khilafku. Semoga kamu
ayah dan ibu selalu berbahagia dalam kerajaan-Nya.
Halaman
I. PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1
xvi
4.3.1. Analisis Keragaan Usahatani Jeruk Keprok SoE .......... 168
4.3.2. Spesifikasi Model untuk Analisis Fungsi Produksi
Stokastik Frontier .......................................................... 169
4.3.3. Spesifikasi Model untuk Analisis Inefisiensi Teknis .... 173
4.3.4. Elastisitas Produksi Jeruk Keprok SoE ......................... 175
4.3.5. Pengujian Hipotesis …………………………............... 176
4.4. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian ......... 178
xvii
6.3.1. Analisis Fungsi Produksi Stokastik Frontier Antar
Zona Agroklimat Dataran Tinggi dan Rendah .............. 262
6.3.2. Analisis Fungsi Produksi Stokastik Frontier Antar
Ukuran Usahatani pada Daerah Dataran Tinggi
Kabupaten Timor Tengah Selatan ................................. 278
6.4. Analisis Efisiensi dan Inefisiensi Teknis Produksi Jeruk Keprok
SoE .............................................................................................. 284
6.4.1. Efisiensi Teknis Produksi Jeruk Keprok SoE ……........ 284
6.4.2. Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis Produksi Jeruk
Keprok SoE Berdasarkan Zona Agroklimat Dataran
Tinggi dan Dataran Rendah ........................................... 292
6.4.3. Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis Produksi Jeruk
Keprok SoE Berdasarkan Ukuran Usahatani Daerah
Dataran Tinggi ............................................................... 304
xviii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
3. Tanaman Menghasilkan, Luas Panen, Hasil per Hektar, Hasil per Pohon
dan Produksi Buah-Buahan di Indonesia, Tahun 2006 …………………. 34
5. Komposisi Produksi Jeruk Indonesia, Tahun 2001, 2006 dan 2008 …..... 36
15. Keadaan Luas Panen Jeruk Keprok di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2002-2008 ...................................................................................... 54
xix
18. Perkembangan Penggunaan Lahan, Tahun 2004-2008 .............................
64
19. Sebaran Kondisi Agroklimat di Kabupaten Timor Tengah Selatan,
Tahun 2008 ……………………………………………………………… 66
26. Keadaan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jeruk Keprok SoE di
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2002-2008…………………... 78
28. Rata-Rata Jumlah Tanaman, Luas Panen dan Produksi Jeruk Keprok
SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2004-2008 ………….. 81
31. Luas Kawasan Hutan Menurut Pola Tata Guna, Tahun 2007 …………... 88
33. Rangking dan Sentra Produksi KPJu Unggulan per Sektor Usaha di
Kabupaten Timor Tengah Selatan ............................................................. 90
xx
36. Jumlah Penelitian dan Nilai Mean Efisiensi Teknis Berdasarkan
Kelompok Komoditas ............................................................................... 102
38. Beberapa Karakteristik dari Empat Metode Pengukuran Efisiensi .......... 129
41. Rata-Rata Kepemilikan Lahan Petani Responden Jeruk Keprok SoE ….. 192
43. Rata-Rata Kepemilikan Tanaman Jeruk Keprok SoE Petani Responden.. 197
47 Masa Panen Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan ...... 208
48. Kegiatan Panen Jeruk Keprok SoE di Daerah Penelitian ......…………... 208
50. Tingkat Efisiensi, Margin dan Profit Pemasaran Jeruk Keprok SoE
Petani di Daerah Penelitian …………………........................................... 219
52. Sistem Penjualan Jeruk Keprok SoE: Berdasarkan Jumlah Responden ... 233
53. Rata-Rata Harga Jual Jeruk Keprok SoE di Tingkat Petani Berdasarkan
Sistem Penjualan dan Kelas Mutu ……………………………………..... 239
xxi
56. Rata-Rata Produktivitas Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh:
Berdasarkan Umur Tanaman ……………………………………………. 247
62. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dengan Dummy Ukuran Usahatani pada
Usahatani Jeruk Keprok SoE Daerah Dataran Tinggi di Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Tahun 2010........................................................... 259
67. Estimasi Parameter dan t Rasio dari Model Fungsi Produksi Stokastik
Frontier dengan Menggunakan MLE …………………............................ 279
68. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Responden Berdasarkan Zona ………... 285
xxii
Agroklimat dan Ukuran Usahatani yang Berbeda...................................... 290
71. Estimasi Parameter dan t Rasio dari Model Efek Inefisiensi Teknis
Produksi Stokastik Frontier Berdasarkan Zona Agroklimat .………….... 293
72. Estimasi Parameter dan t Rasio dari Model Efek Inefisiensi Teknis
Fungsi Produksi Stokastik Frontier dengan Menggunakan MLE ............. 305
xxiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
11. Tren Total Luas Panen dan Produksi Jeruk Keprok di Nusa
Tenggara Timur, Tahun 2002-2008 ……………………….............. 57
15. Jumlah Hari Hujan dan Curah Hujan Bulanan Di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Tahun 2008 ............................................................ 66
16. Rata-Rata Curah Hujan dan Hari Hujan Bulanan, Tahun 2003-
xxiv
2008 …….......................................................................................... 67
18. Rata-Rata Luas Panen dan Persentase Terhadap Total Luas Panen
Sayuran di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2003-2007 ... 72
21. Rata-Rata Luas Panen Jeruk Keprok SoE per Kecamatan, Tahun
2004-2008 ………………................................................................. 82
30. Peta Lokasi Penelitian: Kabupaten Timor Tengah Selatan .............. 162
xxv
33. Kondisi Bibit Tanaman Jeruk Keprok SoE ...................................... 195
35. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja Keluarga Petani Contoh ……. 202
36. Rantai Pemasaran Jeruk Keprok SoE, Tahun 2010 ……………….. 213
45. Sebaran Efisiensi Teknis Produksi Jeruk Keprok SoE pada Zona
Agroklimat Dataran Tinggi dan Rendah ………………….............. 287
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Jumlah Tanaman, Luas Panen dan Produksi Jeruk Keprok SoE per
Kecamatan di Kabuapten Timor Tengah Selatan Tahun 2004-2008... 328
14. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknis pada Ukuran
Usahatani< 1 Ha di Daerah Dataran Tinggi ....................................... 362
15. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknis pada Ukuran
Usahatani ≥ 1 Ha di Daerah Dataran Tinggi ...................................... 363
xxvii
I. PENDAHULUAN
value commodity) dan merupakan salah satu buah yang cukup banyak digemari
masyarakat pada berbagai kalangan. Rasa dan kemudahan cara menyajikan dan
mengkonsumsi jeruk, harga buah yang relatif murah, daya simpan buah yang
cukup lama serta kandungan gizi yang tinggi mendorong minat masyarakat untuk
Pada tahun 2007, dengan total produksi jeruk 2 565 543 ton (Departemen
Pertanian, 2008a), Indonesia telah masuk di jajaran 10 besar produsen jeruk dunia
menjadi 2 625 884 ton dan memposisikan Indonesia menjadi Negara produsen
terbesar ke enam di dunia setelah Brazil, USA, Mexico, India dan China (FAO,
2010). Pada tahun yang sama, untuk kelompok jeruk keprok Indonesia berada
pada posisi kedua setelah China. Hampir 97.3% pertanaman jeruk yang ada di
Indonesia merupakan jeruk Siam dan keprok dengan produktivitas yang rendah
dan mutu buah yang tidak seragam. Musim panen yang relatif bersamaan pada
bulan Mei, Juni dan Juli seringkali mengakibatkan harga rendah dan sangat
merugikan petani.
Indonesia. Sifat tanaman jeruk yang relatif cepat berbuah, potensi produksi dan
produktivitas yang cukup tinggi, daya adaptasi yang luas, serapan pasar yang
cukup tinggi serta dukungan informasi dan teknologi perjerukan yang lebih maju
petani maupun pekebun buah untuk memilih jeruk sebagai tanaman yang
diusahakan. Nilai ekonomis jeruk tercermin dari tingkat kesejahteraan petani jeruk
dan keluarganya yang relatif baik. Komoditas jeruk dapat tumbuh dan diusahakan
yang berbeda, dan dapat dikonsumsi oleh masyarakat pada berbagai golongan
pendapatan.
(2007) dan 40.09 kg (2008) per kapita per tahun; jauh lebih rendah bila
kg per kapita per tahun (Departemen Pertanian, 2008b). Pada tahun 2003,
konsumsi jeruk dalam negeri baru mencapai 2.9 kg per kapita per tahun.
Sedangkan tahun 2005 adalah sebesar 3.5 kg per kapita per tahun. Angka-angka
yaitu sekitar 6.9 kg per kapita per tahun, sedangkan pada negara maju dapat
sebesar 10% setiap tahun. Hal ini sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk
dalam negeri tidak dapat diimbangi dengan produksi domestik. Hal ini telah
diperoleh berfluktuasi, impor buah jeruk Indonesia terus meningkat. Pada tahun
3
2001 jumlah impor jeruk segar sebesar 77 855 ton; pada tahun 2004 telah
mencapai 95 744 ton; tahun 2006 berjumlah 96 584 ton dan pada tahun 2008
berjumlah 143 600 ton (Departemen Pertanian, 2008b dan FAO, 2010). Namun
demikian, jeruk Indonesia juga telah mampu menembus pasar luar negeri
(ekspor) meskipun dalam volume yang relatif kecil. Volume ekspor jeruk
Indonesia lebih banyak berupa produk jeruk segar. Pada tahun 2003, volume
ekspor jeruk Indonesia mencapai 1 158 ton dan pada tahun 2006 menurun menjadi
470.76 ton. Hal ini tidak sejalan dengan meningkatnya luas panen dan produksi
dan 22.40%.
satu sumber pendapatan asli. Kontribusi jeruk terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) sektor pertanian pada tahun 2003 mencapai Rp. 2 339 milyar (atau lebih
dari 2.3 trilyun rupiah). Sedangkan pada tahun 2006 sebesar Rp. 6 129.08 milyar
disusul jeruk keprok (36.7%), jeruk besar (pamelo) (1.7%), jeruk manis (1.0%)
dan grape fruit (0.14%) (Departemen Pertanian, 2009a). Jeruk keprok (Citrus
reticulata Blanco) dipahami berasal dari daratan China bagian Tenggara sehingga
Eropa diduga melalui jalur perdagangan dengan China pada masa lalu; sedangkan
jeruk keprok di Indonesia diduga dibawa oleh orang Eropa selama masa
penjajahan. Jeruk Keprok merupakan salah satu jeruk harapan yang nantinya
jeruk Keprok varietas Grabag, Tawangmangu, Batu 55, Garut, SoE, serta varietas
Jeruk keprok telah diketahui secara luas oleh masyarakat Indonesia dan
merupakan jenis buah-buahan yang tergolong sedikit lebih mahal. Produksi jeruk
yang sesuai dengan kondisi iklim (angin, curah hujan dan suhu udara) dan kondisi
Padang, keprok Siompu dari Sulawesi Tengah, keprok SoE di Provinsi Nusa
2009b).
antara berbagai jenis buah-buahan yang diproduksi oleh para petani di provinsi
NTT, dari segi luas panen selama tahun 2004 hingga 2008, jeruk keprok
menduduki tempat ketiga setelah pisang dan Alpukat. Sedangkan dari segi jumlah
produksi selama periode tersebut, jeruk ini menempati urutan keempat setelah
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menyumbang sebesar 23% terhadap total
produksi jeruk keprok di NTT dan merupakan daerah prioritas pertama dengan
5
tahun 1998 telah dijadikan sebagai komoditas andalan baik tingkat Provinsi NTT
Provinsi NTT menunjukkan bahwa secara agroekologi (keadaan iklim dan tanah),
jeruk keprok SoE layak untuk dikembangkan di TTS. Data produksi jeruk keprok
SoE di TTS menunjukkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun, namun data
luas lahan berfluktuatif. Pada tahun 2005, luas panen jeruk keprok SoE adalah 1
445 ha dan meningkat menjadi 2 218 ha pada tahun 2006, tetapi menurun menjadi
meningkatkan luas panen sebesar 7 050 ha sampai dengan tahun 2013. Dari segi
produktivitas, pada tahun 2004, produktivitas jeruk ini hanya 2.2 ton per hektar,
tahun 2005 meningkat menjadi 2.7 ton dan tahun 2006 sebesar 3.5 ton per hektar
(Dinas Pertanian, 2007a). Pada tahun 2009, produktivitas jeruk keprok SoE
meningkat menjadi 4.5 ton per hektar (Dinas Pertanian, 2010a), tetapi masih
berada di bawah produksi nasional 26.2 ton per hektar (BPS, 2010c). Sedangkan
secara potensial, produktivitas jeruk keprok adalah sebesar 69 ton per hektar.
Jeruk keprok SoE bukan saja telah menjadi primadona petani di NTT
tetapi juga bagi konsumen lainnya di Indonesia yang direfleksikan oleh hasil
survei konsumen di Surabaya dan Denpasar (Mason et al., 2002 dan Adar et al.,
2005). Keprok SoE memiliki warna campuran kuning keemasan dengan warna
telah membuat jeruk keprok SoE memiliki kualitas yang tidak tertandingi di
selama tiga tahun berturut-turut yaitu tahun 2003, 2004 dan 2005).
menjadi salah satu sumber pendapatan daerah dan petani. Kontribusi dari jeruk
keprok SoE terhadap pendapatan rumah tangga petani jeruk adalah sebesar 60-
75% (Adar et al., 2005). Jeruk ini dibudidayakan hampir di setiap pekarangan
Selatan, komoditas ini merupakan sumber utama pendapatan tunai petani. Hasil
penelitian Milla et al. (2002) menunjukkan bahwa dari segi ekonomi, jeruk keprok
SoE sangat layak untuk dikembangkan. Secara sosial, komoditas ini sudah
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat TTS secara turun temurun dan sudah
lama diusahakan oleh mereka sejak tahun 1930-an. Jeruk keprok SoE merupakan
Kabupaten TTS terhadap komoditas ini sangat tinggi. Hal ini terbukti dengan
adanya berbagai proyek pengembangan komoditas ini, baik yang dibiayai oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun melalui bantuan luar negeri. Jeruk
keprok SoE sudah dipromosikan dengan sangat baik oleh Pemerintah Provinsi
Tengah Selatan (SoE adalah ibu kota Kabupaten TTS). Balai Benih Induk (BBI)
milik Pemerintah Provinsi NTT didirikan secara khusus untuk menyediakan bibit
jeruk keprok SoE secara eksklusif kepada petani di dataran tinggi dan di dataran
rendah. Hal ini didukung pula dengan adanya larangan dari pemerintah terhadap
panen jeruk keprok SoE sejak tahun 1998-2002 yang disebut dengan proyek
keprok SoE di kabupaten ini masih rendah. Hasil penelitian Adar et al. (2005)
dengan hasil uji coba lapangan di Balai Benih Induk milik Pemerintah Provinsi
NTT yang berlokasi di Oebubuk TTS pada tahun 2002 dan hasil penelitian Ditjen
Pertanian, 2003).
Selain tinggkat produktivitas jeruk keprok SoE per pohon yang masih rendah
permintaan pasar untuk varietas yang dihasilkan di TTS ini. Besarnya kontribusi
jeruk keprok SoE terhadap pendapatan petani jeruk, layaknya secara agroekologi
jeruk keprok ini merupakan indikator bahwa komoditas ini sangat penting dan
perlu diperhitungkan sebagai salah satu sumber perekonomian daerah NTT pada
keprok SoE diduga karena belum efisiennya proses produksi dan kurang
hal ini mendorong perlu adanya kebutuhan akan analisis efisiensi teknis produksi
hal yang penting bagi pertumbuhan produktivitas dan stabilisasi produksi jeruk
jeruk keprok SoE akan sangat membantu untuk mengambil keputusan apakah
Dengan studi kasus pada jeruk keprok SoE di Kabupaten TTS di Pulau
Timor bagian barat, penelitian ini merupakan suatu usaha penghimpunan data
(98%) (Adar et al., 2005) segmen pasar jeruk keprok SoE adalah di pulau Timor,
NTT dan sisanya (2%) dipasarkan di luar NTT. Kajian terhadap efisiensi teknis
usahatani jeruk keprok SoE spesifik daerah lahan kering dapat membantu
Dengan demikian, upaya peningkatan produksi, mutu dan daya saing produk
penduduk, meningkatnya pendapatan dan selera atau gaya hidup masyarakat dan
ekspor. Hal ini dikarenakan masih rendahnya produktivitas jeruk dalam negeri.
Dari segi kualitas dan kontinuitas pasokan yang sesuai dengan persyaratan pasar,
Persoalan ini secara umum disebabkan oleh: (1) sistem usahatani jeruk masih
pasca panen) anjuran, (2) luas areal panen jeruk yang masih kecil dibandingkan
dengan luas areal yang masih tersedia (3) lemahnya permodalan dan kelembagaan
petani (4) masa panen yang seragam (bersifat musiman), (5) ketersediaan
benih/bibit jeruk yang belum mencukupi, dan (6) dukungan pemerintah yang
10
2006 dan Departemen Pertanian, 2008d)) adalah untuk (1) mencukupi kebutuhan
konsumsi dalam negeri, (2) memenuhi bahan baku industri dalam negeri, (3)
mensubstitusi impor, dan (4) mengisi peluang pasar ekspor. Untuk mewujudkan
hal tersebut, maka pemerintah melakukan revitalisasi daerah sentra produksi jeruk
keprok yang sudah ada dan membangun areal pengembangan baru untuk jeruk
keprok. Salah satu daerah sentra pengembangan jeruk keprok di Idonesia yang
mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah Pusat dan Daerah adalah
Kabupaten TTS. Dari berbagai jenis buah-buahan yang diusahakan oleh petani,
dari segi luas lahan garapan jeruk merupakan terbesar ketiga setelah mangga dan
pisang. Sedangkan dari segi produksi, jeruk keprok menempati urutan pertama,
namun produktivitasnya masih rendah yakni 4.5 ton/ha (Dinas Pertanian, 2010a).
Tren luas panen (ha) dan produksi (ton) jeruk keprok SoE di kabupaten TTS
Seperti terlihat pada gambar bahwa meningkatnya luas panen (14%) dan
areal tanaman jeruk di Kabupaten TTS menjadi indikasi bahwa sebagian besar
komoditas ini.
dikembangkan di bagian selatan dan utara Kabupaten TTS. Jeruk keprok SoE
telah menjuarai lomba buah unggulan tingkat nasional selama tiga tahun berturut-
dikembangkan baik untuk dataran tinggi maupun untuk dataran rendah, dengan
modifikasi genetik sesuai petunjuk teknis. Oleh karena itu, berbagai upaya
sejak tahun 2000. Program ini ditujukan untuk (1) mengembalikan kemampuan
produksi jeruk keprok SoE dan meningkatkan produktivitas lahan kering, (2)
target yang telah dicanangkan itu, maka pemerintah daerah telah merencanakan
perluasan areal sebesar 7 050 ha untuk pengembangan usahatani jeruk keprok SoE
lain, produktivitas jeruk keprok SoE adalah masih rendah dan kuantitas pasokan
ke pasar masih sedikit. Hal ini erat kaitannya dengan adanya pengaruh faktor-
pengalokasian sumberdaya yang mereka miliki. Atas dasar inilah pokok sentral
produksi usahatani (on farm research) jeruk keprok SoE. Tujuannya adalah agar
efisiensi (dengan teknologi yang sudah ada) atau perubahan teknologi (introduksi
teknologi baru).
pengembangan usaha menuju usaha yang efisien. Sering ditemukan bahwa banyak
13
rendahnya produktivitas. Berkaitan dengan hal ini, maka persoalan pertama yang
akan dikaji di dalam penelitian ini adalah mengapa produksi dan produktivitas
jeruk keprok SoE rendah, baik pada basis ukuran usahatani (farm size) maupun
produksi yang efisien. Persoalannya adalah petani jeruk keprok SoE di daerah
TTS memiliki ukuran usahatani yang kecil dan terpencar-pencar, tidak merupakan
agroklimat yang kurang mendukung usahatani jeruk keprok SoE merupakan suatu
TTS, jumlah bulan kering diantara 7-8 bulan dalam setahun yang dimulai sejak
bulan April. Musim berbunga jeruk keprok adalah bulan Agustus setiap tahun, di
mana merupakan puncak kekeringan dan angin kencang di daerah TTS, baik pada
dataran tinggi maupun dataran rendah. Akibatnya, bunga jeruk berguguran dan
produktivitas per pohon pasti rendah. Sejauh ini belum ada modifikasi teknologi
Permasalahan kedua yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah faktor-
faktor apa yang menentukan produktivitas jeruk keprok SoE, pada basis skala
produksi baik antara skala maupun zona agroklimat yang berbeda akan
aktual akan bervariasi antar petani sebagai akibat dari adanya variasi sistem
produksi dan kualitas tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi
tersebut.
faktor pengaruh rendahnya produktivitas usahatani jeruk keprok. Selain itu, petani
kurang memperhatikan perawatan tanaman jeruk. Banyak jeruk yang sudah tua
produktivitas lahan jeruk. Sistem tanam campur (seperti jeruk dan ubi-ubian) telah
merusak akar tanaman jeruk, akibatnya akar jeruk gampang terserang penyakit.
Penjarangan buah juga hampir tidak pernah dilakukan petani. Hal ini telah
menyebabkan buah jeruk yang dipanen sangat bervariasi dalam hal ukuran dan
tingkat kematangan.
Teknologi panen dan pasca panen kurang memadai. Ini berakibat pada
tingkat produktivitas yang rendah dan kehilangan hasil produk sampai dengan 40
per pohon atau per kebun, maka frekuensi panen jeruk sangat tergantung pada
kemauan pembeli. Sering terjadi bahwa panen jeruk dilakukan dua atau tiga kali.
kecil pada pohon bahkan sampai dengan musim berbunga tiba. Akibatnya proses
pembungaan terhambat dan jeruk tidak serempak berbunga. Hal ini akan
terdapat pada tingkat para pedagang sangat terbatas dan belum berkembang.
Demikian juga industri pengolahan baik industri rumah tangga maupun industri
berskala menengah ataupun besar belum tersedia. Standar keamanan produk (food
kondisi ini sangat penting. Kekurangan biaya juga menghambat para petani untuk
berkelanjutan dengan para konsumen. Petani sering kekurangan uang tunai pada
saat buah jeruk masih hijau (belum siap dipanen). Untuk menutupi berbagai
kebutuhan uang tunai seperti untuk biaya pendidikan, kesehatan dan kebutuhan
konsumsi, petani sering melakukan sistem penjualan jeruk per pohon atau per kg
sebelum musim panen tiba (forward sale). Metode penjualan ini sangat merugikan
petani karena harga jeruk sangat rendah bila dibandingkan dengan harga jual pada
saat panen. Persoalan kekurangan modal tunai petani ini merupakan hal penting
mendukung efisiensi usahatani jeruk juga merupakan hal yang penting untuk
dikaji. Hal ini sangat terkait dengan besar-kecilnya biaya produksi dan pemasaran
hasil jeruk. Harga-harga faktor produksi yang tidak dapat dijangkau oleh petani
(baik faktor internal maupun eksternal), maka akan terjawab pula permasalahan
17
penelitian ketiga yakni apakah produksi jeruk keprok SoE baik pada basis zona
keprok SoE di TTS adalah faktor sosial ekonomi petani. Usahatani jeruk keprok
SoE sudah lama dipraktekkan oleh petani di daerah TTS, namun masih dikelola
kg/pohon (Adar et al., 2004) dan 16 kg per pohon pada tahun 2008 (BPS, 2009b).
permasalahan keempat yang akan dikaji di dalam penelitian ini adalah faktor-
faktor apa yang menentukan efisiensi produksi dan bagaimana keterkaitan antar
faktor-faktor tersebut pada sistem usahatani jeruk keprok SoE dan zona
depan.
variabel tingkat pendidikan (formal dan non formal), umur dan pengalaman
yang dialami oleh hampir semua daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur
lahan kering. Umur petani menjadi faktor penting dalam kaitannya dengan
petani cukup tinggi (60-75%) namun secara magnitut petani jeruk masih
luar usahatani jeruk juga merupakan hal yang berpengaruh pada inefisiensi.
Sistem penjualan jeruk yang didominasi oleh penjualan borongan per pohon pada
saat panen sebesar 79 persen (Adar et al., 2004) dan sistem penjualan lainnya
seperti sistem ijon, borongan per kebun dan penjualan per kilogram merupakan
keprok SoE. Mayoritas petani melakukan penjualan secara individu. Hal ini
keprok. Akibat selanjutnya adalah harga yang diterima petani jauh lebih rendah
(34%) dibandingkan dengan yang diterima pedagang (66%) (Adar et al., 2005).
Yang sangat penting adalah para pelaku usahatani jeruk keprok SoE
sistematik untuk produk mereka. Hal ini termasuk kekurangan informasi pasar
seperti data pada tingkat harga pada berbagai level pemasaran, daya beli
konsumen, pola konsumsi, tingkat pertumbuhan pasar dan preferensi pasar untuk
produk-produk mereka (Wei et al., 2002; Woods et al., 2002 dan Adar et al.,
2005). Penentuan harga jeruk didominasi oleh para pedagang baik di pedagang
desa, kecamatan maupun pedagang kabupaten atau provinsi. Petani juga tidak
pasar untuk para petani merupakan faktor-faktor penarik bagi mereka untuk bisa
mengerti bahwa pengelolaan pada tingkat usahatani dan pasca panen merupakan
kesuksesan di pasar. Salah satu sarana untuk memperoleh informasi pasar adalah
melalui mitra, misalnya dengan membuat langganan dengan pedagang atau mitra
bisnis lainnya. Namun hal ini sulit dilakukan karena kendala sosial seperti
perbedaan pendidikan, status sosial dan ekonomi di antara petani dan pedagang.
rumah tangga petani di mana 78% dari total penduduk TTS adalah petani. Sejak
tahun 1997 sampai tahun 2009, daerah ini termasuk di dalam program
merupakan hal yang sangat penting mengingat kondisi geografis NTT yang
dan kelembagaan petani serta stabilisasi produksi jeruk keprok SoE khususnya di
maka permasalahan kelima yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah
efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE di masa datang dan untuk
dengan pendekatan fungsi produksi stochastic frontier dan data cross section.
20
meningkatkan produktivitasnya.
Walaupun sudah banyak studi efisiensi yang dilakukan oleh para peneliti
di bidang pertanian, namun lebih banyak ditujukan pada tanaman semusim atau
produk peternakan dengan menggunakan data panel dan pendekatan primal, dan
masih sangat sedikit analisis yang dilakukan terhadap tingkat efisiensi jeruk (salah
satu tanaman tahunan), dan lebih khusus lagi di daerah dengan karakteristik khas
tanaman tahunan, antar skala usahatani dan antar zona agroklimat dengan data
melengkapi literatur produksi stokastik frontier dan membantu para petani kecil
Daerah dataran tinggi (dengan ketinggian tempat berada pada > 500 m
ketinggian tempat berada pada≤ 5 0 0 m d pl dan jumlah bulan k erin g > 7 bulan
pendekatan pengembangan usahatani jeruk keprok SoE adalah sama untuk kedua
dan hasil studi pustaka terdahulu menunjukkan bahwa sistem pengembangan jeruk
21
produksi dan efisiensi jeruk keprok SoE pada masing-masing zona tersebut adalah
produktivitas aktual dan potensial usahatani JKS, fenomena penurunan luas areal
menghasilkan produktivitas dan efisiensi produksi yang tinggi, dan pada tataran
dan efisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE, baik pada daerah dataran
secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari faktor-faktor penentu
22
produktivitas dan efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE berdasarkan zona
agroklimat (dataran tinggi dan rendah) dan ukuran usahatani (kecil dan besar)
dengan pendekatan fungsi produksi stokastik frontier dan data cross section di
daerah lahan kering di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara khusus, tujuan
usahatani.
teknis usahatani jeruk keprok SoE berdasarkan zona agroklimat dan ukuran
usahatani.
usahatani.
teknologi serta strategi pascapanen yang lebih baik yang bisa menjamin kualitas
jeruk keprok SoE yang tinggi. Usahatani di Provinsi Nusa Tenggara Timur
mempunyai potensi jeruk keprok SoE yang cukup besar tetapi keragaannya masih
jauh dari standar yang memuaskan terutama di dalam hal produktivtas, efisiensi,
produktivitas dan efisiensi produksi usahatani lahan kering, maka lahan potensial
daerah lahan kering, pelaku usaha dan instansi terkait dengan usahatani jeruk
keprok SoE di Provinsi NTT. Diharapkan bahwa hasil pengkajian terhadap tingkat
teknologi produksi dan pascapanen jeruk di daerah lahan kering, maka penelitian
ini akan merupakan sumber informasi yang sangat berharga bagi agenda
pemerintah.
pertanian, hasil studi ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang berharga.
tingkat produksi dan efisiensi serta teknologi pascapanen yang perlu diperbaiki
dalam rangka meningkatkan produktivitas usahatani jeruk keprok SoE bagi petani
kering dan ukuran-ukuran usahatani tertentu, serta strategi apa yang perlu
kabupaten lain di NTT terutama untuk pengembangan jeruk keprok varietas lain
pulau Sumba.
usahatani jeruk keprok SoE diharapkan bahwa suplai jeruk produksi dalam negeri
dikurangi dalam tataran skala tertentu. Dalam jangka panjang, perbaikan tingkat
dengan negara Timor Leste dan Australia merupakan suatu potensi pasar ekspor
produksi stokastik frontier untuk analisis produktivitas dan efisiensi teknis dengan
25
pendekatan fungsi produksi dan data cross-section, antar ukuran usahatani dan
zona agroklimat. Bagi kalangan akademisi seperti mahasiswa, dosen dan peneliti,
informasi dari hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi kegiatan penelitian
1.5. Novelties
pertanian sudah banyak, namun lebih ditujukan pada tanaman semusim atau
produk peternakan dengan menggunakan data panel dan pendekatan primal, dan
masih sangat sedikit analisis yang dilakukan terhadap tingkat produktivitas dan
efisiensi jeruk (salah satu tanaman tahunan), dan lebih khusus lagi di daerah
dengan karakteristik khas daerah lahan kering. Penelitian tentang jeruk keprok
SoE sudah pernah dilakukan terutama dari sudut pandang kelayakan finansial dan
penelitian ini dilakukan, belum pernah diadakan. Dari tataran teoritis dan
agroklimat dan antar ukuran usahatani lahan kering dengan data cross-section dan
merupakan novelties dari penelitian ini. Selain itu, dari tataran empiris, strategi-
mengelola usahatani jeruk keprok SoE di daerah lahan kering juga merupakan
Timur. Penelitian ini juga akan merekomendasikan zona agroklimat dan ukuran
usahatani mana yang lebih sesuai untuk mengembangkan jeruk keprok SoE.
Pendekatan pengembangan jeruk keprok SoE dengan fokus pada zona agroklimat
produksi yang lebih baik dari zona dan ukuran usahatani lainnya dapat sangat
datang.
tingkat petani dengan pendekatan fungsi produksi frontier, dengan bentuk fungsi
pada dua zona agroklimat dan dua ukuran usahatani jeruk keprok SoE di daerah
lahan kering. Aspek lain di luar produksi, seperti teknologi panen, pascapanen,
yang mendukung hasil dan pembahasan hasil penelitian keragaan usahatani dan
jeruk keprok SoE tidak dilakukan di dalam penelitian ini dengan alasan-
lain, petani jeruk belum mampu memproduksi jeruk keprok SoE yang
kerpok SoE daerah lahan kering di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih
penggunaan input-input usahatani jeruk yang ada. Pada tataran ini, analisis
28
penggunaan input pada proporsi yang optimal pada harga dan teknologi
yang ada atau pada kondisi biaya input minimum belum merupakan hal
input dan alat analisis data yang belum tersedia. Di dalam melakukan
analisis efisiensi biaya beberapa hal yang diperlukan adalah seperti berikut
ini:
eksplisit diturunkan (hal ini dapat dilakukan jika bentuk fungsi Cobb-
dan error term dari inefisiensi alokatif yang muncul di dalam frontier
biaya. Masalah ini sampai kini belum teratasi (Coelli et al., 1998).
tanaman tahunan. Periode analisis dalam penelitian ini adalah short run dan
hanya pada musim produksi tahun 2009/2010. Dengan ketersediaan data seri
4. Tidak semua koefisien estimasi dari model efisiensi dan inefisiensi teknis di
hasil estimasi juga tidak konsisten dengan harapan sebelumnya. Masalah ini
diduga berasal dari data survei yang digunakan. Akurasi data hasil
telah berlalu. Para petani responden tidak memiliki catatan usahatani tentang
5. Keterbatasan lainnya adalah jumlah sampel yang terbatas. Hal ini dapat saja
suhu, curah hujan, dan fakror-faktor sosial ekonomi seperti budaya kerja,
value commodity) dan merupakan salah satu buah yang cukup banyak digemari
masyarakat pada berbagai kalangan. Rasa dan kemudahan cara menyajikan dan
mengkonsumsi jeruk, harga buah yang relatif murah, daya simpan buah yang
cukup lama serta kandungan gizi yang tinggi mendorong minat masyarakat untuk
Pada tahun 2007, dengan total produksi jeruk 2 565 543 ton (Departemen
Pertanian, 2008a), Indonesia telah masuk di jajaran 10 besar produsen jeruk dunia
menjadi 2 625 884 ton dan memposisikan Indonesia menjadi Negara produsen
terbesar ke enam di dunia setelah Brazil, USA, Mexico, India dan China (FAO,
2010). Pada tahun yang sama, untuk kelompok jeruk keprok Indonesia berada
pada posisi kedua setelah China. Hampir 97.3% pertanaman jeruk yang ada di
Indonesia merupakan jeruk Siam dan keprok dengan produktivitas yang rendah
dan mutu buah yang tidak seragam. Musim panen yang relatif bersamaan pada
bulan Mei, Juni dan Juli seringkali mengakibatkan harga rendah dan sangat
merugikan petani.
Indonesia. Sifat tanaman jeruk yang relatif cepat berbuah, potensi produksi dan
produktivitas yang cukup tinggi, daya adaptasi yang luas, serapan pasar yang
cukup tinggi serta dukungan informasi dan teknologi perjerukan yang lebih maju
petani maupun pekebun buah untuk memilih jeruk sebagai tanaman yang
diusahakan. Nilai ekonomis jeruk tercermin dari tingkat kesejahteraan petani jeruk
dan keluarganya yang relatif baik. Komoditas jeruk dapat tumbuh dan diusahakan
yang berbeda, dan dapat dikonsumsi oleh masyarakat pada berbagai golongan
pendapatan.
(2007) dan 40.09 kg (2008) per kapita per tahun; jauh lebih rendah bila
kg per kapita per tahun (Departemen Pertanian, 2008b). Pada tahun 2003,
konsumsi jeruk dalam negeri baru mencapai 2.9 kg per kapita per tahun.
Sedangkan tahun 2005 adalah sebesar 3.5 kg per kapita per tahun. Angka-angka
yaitu sekitar 6.9 kg per kapita per tahun, sedangkan pada negara maju dapat
sebesar 10% setiap tahun. Hal ini sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk
dalam negeri tidak dapat diimbangi dengan produksi domestik. Hal ini telah
diperoleh berfluktuasi, impor buah jeruk Indonesia terus meningkat. Pada tahun
3
2001 jumlah impor jeruk segar sebesar 77 855 ton; pada tahun 2004 telah
mencapai 95 744 ton; tahun 2006 berjumlah 96 584 ton dan pada tahun 2008
berjumlah 143 600 ton (Departemen Pertanian, 2008b dan FAO, 2010). Namun
demikian, jeruk Indonesia juga telah mampu menembus pasar luar negeri
(ekspor) meskipun dalam volume yang relatif kecil. Volume ekspor jeruk
Indonesia lebih banyak berupa produk jeruk segar. Pada tahun 2003, volume
ekspor jeruk Indonesia mencapai 1 158 ton dan pada tahun 2006 menurun menjadi
470.76 ton. Hal ini tidak sejalan dengan meningkatnya luas panen dan produksi
dan 22.40%.
satu sumber pendapatan asli. Kontribusi jeruk terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) sektor pertanian pada tahun 2003 mencapai Rp. 2 339 milyar (atau lebih
dari 2.3 trilyun rupiah). Sedangkan pada tahun 2006 sebesar Rp. 6 129.08 milyar
disusul jeruk keprok (36.7%), jeruk besar (pamelo) (1.7%), jeruk manis (1.0%)
dan grape fruit (0.14%) (Departemen Pertanian, 2009a). Jeruk keprok (Citrus
reticulata Blanco) dipahami berasal dari daratan China bagian Tenggara sehingga
Eropa diduga melalui jalur perdagangan dengan China pada masa lalu; sedangkan
jeruk keprok di Indonesia diduga dibawa oleh orang Eropa selama masa
penjajahan. Jeruk Keprok merupakan salah satu jeruk harapan yang nantinya
jeruk Keprok varietas Grabag, Tawangmangu, Batu 55, Garut, SoE, serta varietas
Jeruk keprok telah diketahui secara luas oleh masyarakat Indonesia dan
merupakan jenis buah-buahan yang tergolong sedikit lebih mahal. Produksi jeruk
yang sesuai dengan kondisi iklim (angin, curah hujan dan suhu udara) dan kondisi
Padang, keprok Siompu dari Sulawesi Tengah, keprok SoE di Provinsi Nusa
2009b).
antara berbagai jenis buah-buahan yang diproduksi oleh para petani di provinsi
NTT, dari segi luas panen selama tahun 2004 hingga 2008, jeruk keprok
menduduki tempat ketiga setelah pisang dan Alpukat. Sedangkan dari segi jumlah
produksi selama periode tersebut, jeruk ini menempati urutan keempat setelah
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menyumbang sebesar 23% terhadap total
produksi jeruk keprok di NTT dan merupakan daerah prioritas pertama dengan
5
tahun 1998 telah dijadikan sebagai komoditas andalan baik tingkat Provinsi NTT
Provinsi NTT menunjukkan bahwa secara agroekologi (keadaan iklim dan tanah),
jeruk keprok SoE layak untuk dikembangkan di TTS. Data produksi jeruk keprok
SoE di TTS menunjukkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun, namun data
luas lahan berfluktuatif. Pada tahun 2005, luas panen jeruk keprok SoE adalah 1
445 ha dan meningkat menjadi 2 218 ha pada tahun 2006, tetapi menurun menjadi
meningkatkan luas panen sebesar 7 050 ha sampai dengan tahun 2013. Dari segi
produktivitas, pada tahun 2004, produktivitas jeruk ini hanya 2.2 ton per hektar,
tahun 2005 meningkat menjadi 2.7 ton dan tahun 2006 sebesar 3.5 ton per hektar
(Dinas Pertanian, 2007a). Pada tahun 2009, produktivitas jeruk keprok SoE
meningkat menjadi 4.5 ton per hektar (Dinas Pertanian, 2010a), tetapi masih
berada di bawah produksi nasional 26.2 ton per hektar (BPS, 2010c). Sedangkan
secara potensial, produktivitas jeruk keprok adalah sebesar 69 ton per hektar.
Jeruk keprok SoE bukan saja telah menjadi primadona petani di NTT
tetapi juga bagi konsumen lainnya di Indonesia yang direfleksikan oleh hasil
survei konsumen di Surabaya dan Denpasar (Mason et al., 2002 dan Adar et al.,
2005). Keprok SoE memiliki warna campuran kuning keemasan dengan warna
telah membuat jeruk keprok SoE memiliki kualitas yang tidak tertandingi di
selama tiga tahun berturut-turut yaitu tahun 2003, 2004 dan 2005).
menjadi salah satu sumber pendapatan daerah dan petani. Kontribusi dari jeruk
keprok SoE terhadap pendapatan rumah tangga petani jeruk adalah sebesar 60-
75% (Adar et al., 2005). Jeruk ini dibudidayakan hampir di setiap pekarangan
Selatan, komoditas ini merupakan sumber utama pendapatan tunai petani. Hasil
penelitian Milla et al. (2002) menunjukkan bahwa dari segi ekonomi, jeruk keprok
SoE sangat layak untuk dikembangkan. Secara sosial, komoditas ini sudah
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat TTS secara turun temurun dan sudah
lama diusahakan oleh mereka sejak tahun 1930-an. Jeruk keprok SoE merupakan
Kabupaten TTS terhadap komoditas ini sangat tinggi. Hal ini terbukti dengan
adanya berbagai proyek pengembangan komoditas ini, baik yang dibiayai oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun melalui bantuan luar negeri. Jeruk
keprok SoE sudah dipromosikan dengan sangat baik oleh Pemerintah Provinsi
Tengah Selatan (SoE adalah ibu kota Kabupaten TTS). Balai Benih Induk (BBI)
milik Pemerintah Provinsi NTT didirikan secara khusus untuk menyediakan bibit
jeruk keprok SoE secara eksklusif kepada petani di dataran tinggi dan di dataran
rendah. Hal ini didukung pula dengan adanya larangan dari pemerintah terhadap
panen jeruk keprok SoE sejak tahun 1998-2002 yang disebut dengan proyek
keprok SoE di kabupaten ini masih rendah. Hasil penelitian Adar et al. (2005)
dengan hasil uji coba lapangan di Balai Benih Induk milik Pemerintah Provinsi
NTT yang berlokasi di Oebubuk TTS pada tahun 2002 dan hasil penelitian Ditjen
Pertanian, 2003).
Selain tinggkat produktivitas jeruk keprok SoE per pohon yang masih rendah
permintaan pasar untuk varietas yang dihasilkan di TTS ini. Besarnya kontribusi
jeruk keprok SoE terhadap pendapatan petani jeruk, layaknya secara agroekologi
jeruk keprok ini merupakan indikator bahwa komoditas ini sangat penting dan
perlu diperhitungkan sebagai salah satu sumber perekonomian daerah NTT pada
keprok SoE diduga karena belum efisiennya proses produksi dan kurang
hal ini mendorong perlu adanya kebutuhan akan analisis efisiensi teknis produksi
hal yang penting bagi pertumbuhan produktivitas dan stabilisasi produksi jeruk
jeruk keprok SoE akan sangat membantu untuk mengambil keputusan apakah
Dengan studi kasus pada jeruk keprok SoE di Kabupaten TTS di Pulau
Timor bagian barat, penelitian ini merupakan suatu usaha penghimpunan data
(98%) (Adar et al., 2005) segmen pasar jeruk keprok SoE adalah di pulau Timor,
NTT dan sisanya (2%) dipasarkan di luar NTT. Kajian terhadap efisiensi teknis
usahatani jeruk keprok SoE spesifik daerah lahan kering dapat membantu
Dengan demikian, upaya peningkatan produksi, mutu dan daya saing produk
penduduk, meningkatnya pendapatan dan selera atau gaya hidup masyarakat dan
ekspor. Hal ini dikarenakan masih rendahnya produktivitas jeruk dalam negeri.
Dari segi kualitas dan kontinuitas pasokan yang sesuai dengan persyaratan pasar,
Persoalan ini secara umum disebabkan oleh: (1) sistem usahatani jeruk masih
pasca panen) anjuran, (2) luas areal panen jeruk yang masih kecil dibandingkan
dengan luas areal yang masih tersedia (3) lemahnya permodalan dan kelembagaan
petani (4) masa panen yang seragam (bersifat musiman), (5) ketersediaan
benih/bibit jeruk yang belum mencukupi, dan (6) dukungan pemerintah yang
10
2006 dan Departemen Pertanian, 2008d)) adalah untuk (1) mencukupi kebutuhan
konsumsi dalam negeri, (2) memenuhi bahan baku industri dalam negeri, (3)
mensubstitusi impor, dan (4) mengisi peluang pasar ekspor. Untuk mewujudkan
hal tersebut, maka pemerintah melakukan revitalisasi daerah sentra produksi jeruk
keprok yang sudah ada dan membangun areal pengembangan baru untuk jeruk
keprok. Salah satu daerah sentra pengembangan jeruk keprok di Idonesia yang
mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah Pusat dan Daerah adalah
Kabupaten TTS. Dari berbagai jenis buah-buahan yang diusahakan oleh petani,
dari segi luas lahan garapan jeruk merupakan terbesar ketiga setelah mangga dan
pisang. Sedangkan dari segi produksi, jeruk keprok menempati urutan pertama,
namun produktivitasnya masih rendah yakni 4.5 ton/ha (Dinas Pertanian, 2010a).
Tren luas panen (ha) dan produksi (ton) jeruk keprok SoE di kabupaten TTS
Seperti terlihat pada gambar bahwa meningkatnya luas panen (14%) dan
areal tanaman jeruk di Kabupaten TTS menjadi indikasi bahwa sebagian besar
komoditas ini.
dikembangkan di bagian selatan dan utara Kabupaten TTS. Jeruk keprok SoE
telah menjuarai lomba buah unggulan tingkat nasional selama tiga tahun berturut-
dikembangkan baik untuk dataran tinggi maupun untuk dataran rendah, dengan
modifikasi genetik sesuai petunjuk teknis. Oleh karena itu, berbagai upaya
sejak tahun 2000. Program ini ditujukan untuk (1) mengembalikan kemampuan
produksi jeruk keprok SoE dan meningkatkan produktivitas lahan kering, (2)
target yang telah dicanangkan itu, maka pemerintah daerah telah merencanakan
perluasan areal sebesar 7 050 ha untuk pengembangan usahatani jeruk keprok SoE
lain, produktivitas jeruk keprok SoE adalah masih rendah dan kuantitas pasokan
ke pasar masih sedikit. Hal ini erat kaitannya dengan adanya pengaruh faktor-
pengalokasian sumberdaya yang mereka miliki. Atas dasar inilah pokok sentral
produksi usahatani (on farm research) jeruk keprok SoE. Tujuannya adalah agar
efisiensi (dengan teknologi yang sudah ada) atau perubahan teknologi (introduksi
teknologi baru).
pengembangan usaha menuju usaha yang efisien. Sering ditemukan bahwa banyak
13
rendahnya produktivitas. Berkaitan dengan hal ini, maka persoalan pertama yang
akan dikaji di dalam penelitian ini adalah mengapa produksi dan produktivitas
jeruk keprok SoE rendah, baik pada basis ukuran usahatani (farm size) maupun
produksi yang efisien. Persoalannya adalah petani jeruk keprok SoE di daerah
TTS memiliki ukuran usahatani yang kecil dan terpencar-pencar, tidak merupakan
agroklimat yang kurang mendukung usahatani jeruk keprok SoE merupakan suatu
TTS, jumlah bulan kering diantara 7-8 bulan dalam setahun yang dimulai sejak
bulan April. Musim berbunga jeruk keprok adalah bulan Agustus setiap tahun, di
mana merupakan puncak kekeringan dan angin kencang di daerah TTS, baik pada
dataran tinggi maupun dataran rendah. Akibatnya, bunga jeruk berguguran dan
produktivitas per pohon pasti rendah. Sejauh ini belum ada modifikasi teknologi
Permasalahan kedua yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah faktor-
faktor apa yang menentukan produktivitas jeruk keprok SoE, pada basis skala
produksi baik antara skala maupun zona agroklimat yang berbeda akan
aktual akan bervariasi antar petani sebagai akibat dari adanya variasi sistem
produksi dan kualitas tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi
tersebut.
faktor pengaruh rendahnya produktivitas usahatani jeruk keprok. Selain itu, petani
kurang memperhatikan perawatan tanaman jeruk. Banyak jeruk yang sudah tua
produktivitas lahan jeruk. Sistem tanam campur (seperti jeruk dan ubi-ubian) telah
merusak akar tanaman jeruk, akibatnya akar jeruk gampang terserang penyakit.
Penjarangan buah juga hampir tidak pernah dilakukan petani. Hal ini telah
menyebabkan buah jeruk yang dipanen sangat bervariasi dalam hal ukuran dan
tingkat kematangan.
Teknologi panen dan pasca panen kurang memadai. Ini berakibat pada
tingkat produktivitas yang rendah dan kehilangan hasil produk sampai dengan 40
per pohon atau per kebun, maka frekuensi panen jeruk sangat tergantung pada
kemauan pembeli. Sering terjadi bahwa panen jeruk dilakukan dua atau tiga kali.
kecil pada pohon bahkan sampai dengan musim berbunga tiba. Akibatnya proses
pembungaan terhambat dan jeruk tidak serempak berbunga. Hal ini akan
terdapat pada tingkat para pedagang sangat terbatas dan belum berkembang.
Demikian juga industri pengolahan baik industri rumah tangga maupun industri
berskala menengah ataupun besar belum tersedia. Standar keamanan produk (food
kondisi ini sangat penting. Kekurangan biaya juga menghambat para petani untuk
berkelanjutan dengan para konsumen. Petani sering kekurangan uang tunai pada
saat buah jeruk masih hijau (belum siap dipanen). Untuk menutupi berbagai
kebutuhan uang tunai seperti untuk biaya pendidikan, kesehatan dan kebutuhan
konsumsi, petani sering melakukan sistem penjualan jeruk per pohon atau per kg
sebelum musim panen tiba (forward sale). Metode penjualan ini sangat merugikan
petani karena harga jeruk sangat rendah bila dibandingkan dengan harga jual pada
saat panen. Persoalan kekurangan modal tunai petani ini merupakan hal penting
mendukung efisiensi usahatani jeruk juga merupakan hal yang penting untuk
dikaji. Hal ini sangat terkait dengan besar-kecilnya biaya produksi dan pemasaran
hasil jeruk. Harga-harga faktor produksi yang tidak dapat dijangkau oleh petani
(baik faktor internal maupun eksternal), maka akan terjawab pula permasalahan
17
penelitian ketiga yakni apakah produksi jeruk keprok SoE baik pada basis zona
keprok SoE di TTS adalah faktor sosial ekonomi petani. Usahatani jeruk keprok
SoE sudah lama dipraktekkan oleh petani di daerah TTS, namun masih dikelola
kg/pohon (Adar et al., 2004) dan 16 kg per pohon pada tahun 2008 (BPS, 2009b).
permasalahan keempat yang akan dikaji di dalam penelitian ini adalah faktor-
faktor apa yang menentukan efisiensi produksi dan bagaimana keterkaitan antar
faktor-faktor tersebut pada sistem usahatani jeruk keprok SoE dan zona
depan.
variabel tingkat pendidikan (formal dan non formal), umur dan pengalaman
yang dialami oleh hampir semua daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur
lahan kering. Umur petani menjadi faktor penting dalam kaitannya dengan
petani cukup tinggi (60-75%) namun secara magnitut petani jeruk masih
luar usahatani jeruk juga merupakan hal yang berpengaruh pada inefisiensi.
Sistem penjualan jeruk yang didominasi oleh penjualan borongan per pohon pada
saat panen sebesar 79 persen (Adar et al., 2004) dan sistem penjualan lainnya
seperti sistem ijon, borongan per kebun dan penjualan per kilogram merupakan
keprok SoE. Mayoritas petani melakukan penjualan secara individu. Hal ini
keprok. Akibat selanjutnya adalah harga yang diterima petani jauh lebih rendah
(34%) dibandingkan dengan yang diterima pedagang (66%) (Adar et al., 2005).
Yang sangat penting adalah para pelaku usahatani jeruk keprok SoE
sistematik untuk produk mereka. Hal ini termasuk kekurangan informasi pasar
seperti data pada tingkat harga pada berbagai level pemasaran, daya beli
konsumen, pola konsumsi, tingkat pertumbuhan pasar dan preferensi pasar untuk
produk-produk mereka (Wei et al., 2002; Woods et al., 2002 dan Adar et al.,
2005). Penentuan harga jeruk didominasi oleh para pedagang baik di pedagang
desa, kecamatan maupun pedagang kabupaten atau provinsi. Petani juga tidak
pasar untuk para petani merupakan faktor-faktor penarik bagi mereka untuk bisa
mengerti bahwa pengelolaan pada tingkat usahatani dan pasca panen merupakan
kesuksesan di pasar. Salah satu sarana untuk memperoleh informasi pasar adalah
melalui mitra, misalnya dengan membuat langganan dengan pedagang atau mitra
bisnis lainnya. Namun hal ini sulit dilakukan karena kendala sosial seperti
perbedaan pendidikan, status sosial dan ekonomi di antara petani dan pedagang.
rumah tangga petani di mana 78% dari total penduduk TTS adalah petani. Sejak
tahun 1997 sampai tahun 2009, daerah ini termasuk di dalam program
merupakan hal yang sangat penting mengingat kondisi geografis NTT yang
dan kelembagaan petani serta stabilisasi produksi jeruk keprok SoE khususnya di
maka permasalahan kelima yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah
efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE di masa datang dan untuk
dengan pendekatan fungsi produksi stochastic frontier dan data cross section.
20
meningkatkan produktivitasnya.
Walaupun sudah banyak studi efisiensi yang dilakukan oleh para peneliti
di bidang pertanian, namun lebih banyak ditujukan pada tanaman semusim atau
produk peternakan dengan menggunakan data panel dan pendekatan primal, dan
masih sangat sedikit analisis yang dilakukan terhadap tingkat efisiensi jeruk (salah
satu tanaman tahunan), dan lebih khusus lagi di daerah dengan karakteristik khas
tanaman tahunan, antar skala usahatani dan antar zona agroklimat dengan data
melengkapi literatur produksi stokastik frontier dan membantu para petani kecil
Daerah dataran tinggi (dengan ketinggian tempat berada pada > 500 m
ketinggian tempat berada pada≤ 5 0 0 m d pl dan jumlah bulan k erin g > 7 bulan
pendekatan pengembangan usahatani jeruk keprok SoE adalah sama untuk kedua
dan hasil studi pustaka terdahulu menunjukkan bahwa sistem pengembangan jeruk
21
produksi dan efisiensi jeruk keprok SoE pada masing-masing zona tersebut adalah
produktivitas aktual dan potensial usahatani JKS, fenomena penurunan luas areal
menghasilkan produktivitas dan efisiensi produksi yang tinggi, dan pada tataran
dan efisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE, baik pada daerah dataran
secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari faktor-faktor penentu
22
produktivitas dan efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE berdasarkan zona
agroklimat (dataran tinggi dan rendah) dan ukuran usahatani (kecil dan besar)
dengan pendekatan fungsi produksi stokastik frontier dan data cross section di
daerah lahan kering di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara khusus, tujuan
usahatani.
teknis usahatani jeruk keprok SoE berdasarkan zona agroklimat dan ukuran
usahatani.
usahatani.
teknologi serta strategi pascapanen yang lebih baik yang bisa menjamin kualitas
jeruk keprok SoE yang tinggi. Usahatani di Provinsi Nusa Tenggara Timur
mempunyai potensi jeruk keprok SoE yang cukup besar tetapi keragaannya masih
jauh dari standar yang memuaskan terutama di dalam hal produktivtas, efisiensi,
produktivitas dan efisiensi produksi usahatani lahan kering, maka lahan potensial
daerah lahan kering, pelaku usaha dan instansi terkait dengan usahatani jeruk
keprok SoE di Provinsi NTT. Diharapkan bahwa hasil pengkajian terhadap tingkat
teknologi produksi dan pascapanen jeruk di daerah lahan kering, maka penelitian
ini akan merupakan sumber informasi yang sangat berharga bagi agenda
pemerintah.
pertanian, hasil studi ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang berharga.
tingkat produksi dan efisiensi serta teknologi pascapanen yang perlu diperbaiki
dalam rangka meningkatkan produktivitas usahatani jeruk keprok SoE bagi petani
kering dan ukuran-ukuran usahatani tertentu, serta strategi apa yang perlu
kabupaten lain di NTT terutama untuk pengembangan jeruk keprok varietas lain
pulau Sumba.
usahatani jeruk keprok SoE diharapkan bahwa suplai jeruk produksi dalam negeri
dikurangi dalam tataran skala tertentu. Dalam jangka panjang, perbaikan tingkat
dengan negara Timor Leste dan Australia merupakan suatu potensi pasar ekspor
produksi stokastik frontier untuk analisis produktivitas dan efisiensi teknis dengan
25
pendekatan fungsi produksi dan data cross-section, antar ukuran usahatani dan
zona agroklimat. Bagi kalangan akademisi seperti mahasiswa, dosen dan peneliti,
informasi dari hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi kegiatan penelitian
1.5. Novelties
pertanian sudah banyak, namun lebih ditujukan pada tanaman semusim atau
produk peternakan dengan menggunakan data panel dan pendekatan primal, dan
masih sangat sedikit analisis yang dilakukan terhadap tingkat produktivitas dan
efisiensi jeruk (salah satu tanaman tahunan), dan lebih khusus lagi di daerah
dengan karakteristik khas daerah lahan kering. Penelitian tentang jeruk keprok
SoE sudah pernah dilakukan terutama dari sudut pandang kelayakan finansial dan
penelitian ini dilakukan, belum pernah diadakan. Dari tataran teoritis dan
agroklimat dan antar ukuran usahatani lahan kering dengan data cross-section dan
merupakan novelties dari penelitian ini. Selain itu, dari tataran empiris, strategi-
mengelola usahatani jeruk keprok SoE di daerah lahan kering juga merupakan
Timur. Penelitian ini juga akan merekomendasikan zona agroklimat dan ukuran
usahatani mana yang lebih sesuai untuk mengembangkan jeruk keprok SoE.
Pendekatan pengembangan jeruk keprok SoE dengan fokus pada zona agroklimat
produksi yang lebih baik dari zona dan ukuran usahatani lainnya dapat sangat
datang.
tingkat petani dengan pendekatan fungsi produksi frontier, dengan bentuk fungsi
pada dua zona agroklimat dan dua ukuran usahatani jeruk keprok SoE di daerah
lahan kering. Aspek lain di luar produksi, seperti teknologi panen, pascapanen,
yang mendukung hasil dan pembahasan hasil penelitian keragaan usahatani dan
jeruk keprok SoE tidak dilakukan di dalam penelitian ini dengan alasan-
lain, petani jeruk belum mampu memproduksi jeruk keprok SoE yang
kerpok SoE daerah lahan kering di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih
penggunaan input-input usahatani jeruk yang ada. Pada tataran ini, analisis
28
penggunaan input pada proporsi yang optimal pada harga dan teknologi
yang ada atau pada kondisi biaya input minimum belum merupakan hal
input dan alat analisis data yang belum tersedia. Di dalam melakukan
analisis efisiensi biaya beberapa hal yang diperlukan adalah seperti berikut
ini:
eksplisit diturunkan (hal ini dapat dilakukan jika bentuk fungsi Cobb-
dan error term dari inefisiensi alokatif yang muncul di dalam frontier
biaya. Masalah ini sampai kini belum teratasi (Coelli et al., 1998).
tanaman tahunan. Periode analisis dalam penelitian ini adalah short run dan
hanya pada musim produksi tahun 2009/2010. Dengan ketersediaan data seri
4. Tidak semua koefisien estimasi dari model efisiensi dan inefisiensi teknis di
hasil estimasi juga tidak konsisten dengan harapan sebelumnya. Masalah ini
diduga berasal dari data survei yang digunakan. Akurasi data hasil
telah berlalu. Para petani responden tidak memiliki catatan usahatani tentang
5. Keterbatasan lainnya adalah jumlah sampel yang terbatas. Hal ini dapat saja
suhu, curah hujan, dan fakror-faktor sosial ekonomi seperti budaya kerja,
Pada bab ini dibahas tentang berbagai studi pustaka yang berkaitan
dengan keragaan jeruk di Indonesia, di Provinsi NTT dan di Kabupaten TTS serta
studi empiris terdahulu yang berkaitan dengan efisiensi di bidang pertanian dan
jeruk keprok SoE. Sumber-sumber data adalah data sekunder. Pembahasan pada
keragaan jeruk di Indonesia difokuskan pada aspek luas lahan, produksi, ekspor,
Provinsi NTT dan di Kabupaten TTS dideskripsikan tentang kondisi dan prospek
pengembangan jeruk keprok pada usahatani lahan kering dan kekhasan jeruk
ulasan studi tersebut ditarik suatu kesimpulan yang dijadikan sumber keputusan
dan alasan tentang pentingnya jeruk keprok SoE pada perekonomian masyarakat
panen, produksi dan produktivitas jeruk di Indonesia tahun 2002 - 2008 disajikan
pada Tabel 1.
menurun sebesar 24% yakni dari produksi sebesar 1 004 632 ton pada tahun 1995
menjadi sebesar 691 433 ton pada tahun 2001. Luas panen jeruk Indonesia tahun
32
1995 adalah sebesar 46 036 ha dan tahun 2001 sebesar 35 367 ha atau menurun
sebesar 30.2% dalam periode tahun 1995-2001. Namun setelah terjadinya krisis
meningkatnya luas panen. Luas panen jeruk tahun 2003 adalah 69 139 ha dengan
produksi 1 529 824 ton dan produktivitas rata-rata 22.13 ton/ha. Periode waktu
tahun 2007-2008, baik luas panen maupun produksi jeruk Indonesia terus
menurun. Trend luas panen dan produksi jeruk di Indonesia tahun 1995-2008
Tahun
Perkembangan
2002 2003 2006 2007 2008
Luas Panen (Ha) 47 824 69 139 72 390 69 500 63 695
Produksi (Ton) 968 132 1 529 824 2 565 543 2 625 884 2 322 581
Produktivitas (Ton/ha) 20.24 22.13 35.44 37.78 35.44
3000000
2 625 884
Luas Panen (Ha) dan Produksi (Ton)
2 565 543
setelah pisang seperti tercantum pada Tabel 2 dan 3. Di sini terlihat bahwa jeruk
Rata-rata
Produksi
No Komoditas Produksi %**
2006 2007 2008 2006-2008
1 Pisang 5 037 472 5 454 226 6 004 615 5 498 771.00 28.6
2 Jeruk * 2 565 543 2 625 884 2 467 632 2 553 019.67 13.3
Jeruk
3 Siam/Keprok 2 479 852 2 551 635 2 391 011 2 474 166.00 12.9
4 Mangga 1 621 997 1 818 619 2 105 085 1 848 567.00 9.6
5 Nenas 1 427 781 1 395 566 1 433 133 1 418 826.67 7.4
6 Salak 861 950 805 879 862 465 843 431.33 4.4
7 Rambutan 801 077 705 823 978 259 828 386.33 4.3
8 Durian 747 848 594 842 682 323 675 004.33 3.5
9 Pepaya 643 451 621 524 717 899 660 958.00 3.4
10 Nangka 683 904 601 929 675 455 653 762.67 3.4
11 Semangka 392 587 350 780 371 498 371 621.67 1.9
12 Alpukat 239 463 201 635 244 215 228 437.67 1.2
13 Duku/Langsat 157 655 178 026 158 649 164 776.67 0.9
14 Jambu Biji 19 618 179 474 212 260 137 117.33 0.7
15 Markisa 119 683 106 788 138 027 121 499.33 0.6
16 Jambu Air 128 648 94 015 111 495 111 386.00 0.6
17 Sawo 107 169 101 263 120 649 109 693.67 0.6
18 Sukun 88 339 92 014 113 778 98 043.67 0.5
19 Manggis 72 634 112 722 78 674 88 010.00 0.5
20 Jeruk Besar 85 691 74 249 76 621 78 853.67 0.4
21 Belimbing 70 298 59 984 72 397 67 559.67 0.4
22 Sirsak 84 373 55 798 55 042 65 071.00 0.3
23 Blewah 67 708 57 725 55 991 60 474.67 0.3
24 Melon 5 537 59 815 56 883 40 745.00 0.2
T O T AL 18 510 278 18 900 215 20 184 056 19 198 183.00 100
Sumber: BPS Indonesia, 2009c dan Departemen Pertanian, 2010.
Keterangan: * : Data penjumlahan jeruk siem/keprok dan jeruk besar
** : % Terhadap Total Rata-Rata Indonesia, Tahun 2006-2008
34
Pada tahun 2006, produksi jeruk seperti tercantum pada Tabel 3 adalah
sebesar 2 565 543 ton. Namun produktivitas jeruk Indonesia baik hasil per ha
produktivitas potensialnya.
Tabel 3. Tanaman Menghasilkan, Luas Panen, Hasil per Hektar, Hasil per Pohon
dan Produksi Buah-Buahan di Indonesia, Tahun 2006
yakni sebesar 35.44 ton/ha (masih berada di bawah produksi potensial jeruk
sebesar 60-65 ton/ha). Demikian juga produktivitas per pohonnya yang sebsar 92
kg/pohon masih berada jauh di bawah produksi potensialnya 250 kg/pohon. Bila
penyediaan dan pengalokasian input produksi yang lebih efisien. Perlu dicatat
bahwa permintaan terhadap jeruk di Indonesia dari tahun ke tahun pasti meningkat
penawaran jeruk Indonesia di kemudian hari akan merupakan hal penting untuk
diperhatikan keseimbangannya.
banyak dibudidayakan adalah jenis siem dan keprok. Sampai dengan tahun 2007,
tercatat 24 varietas unggul jeruk yang sudah secara resmi dilepas oleh pemerintah
mengalami penurunan yang cukup besar. Namun sejak tahun 2000 produksi jeruk
areal tanam, meningkatnya konsumsi penduduk per kapita per tahun dan pasar
ekspor. Produksi jeruk terbesar disumbangkan oleh jeruk siem disusul jeruk
36
keprok, jeruk manis, grape fruit dan jeruk besar (pamelo) dengan jumlah produksi
Tabel 5. Komposisi Produksi Jeruk Indonesia, Tahun 2001, 2006 dan 2008
buah impor yang patut mendapat perhatian, mengingat angka impor jeruk ke
Indonesia dalam sembilan tahun terakhir ini terus meningkat. Jumlah impor
Indonesia dengan tren kenaikan yang cukup tajam (baik dalam bentuk buah segar
maupun hasil olahannya) yaitu sebesar 36 775 ton pada tahun 1999, meningkat
menjadi 59 358 ton pada tahun 2003 dan 96 583.61 ton pada tahun 2006. Pada
tahun 2003, volume impor jeruk segar menduduki posisi ke-2 setelah apel
Tabel 6. Nilai dan Volume Ekspor - Impor Buah-Buahan Indonesia, Tahun 2006
Tahun 2006
NO KOMODITAS Ekspor Impor
Nilai (US $) Volume (Kg) Nilai (US $) Volume (Kg)
1. Pisang 1 672 617 5 280 641 242 863 151 967
2. Nenas 111 933 603 204 920 547 38 870 40 517
3. Alpukat 8 822 3 518 38 589 21 968
4. Jambu Biji 101 774 131 810 215 887 187 683
5. Mangga 966 652 930 066 621 452 948 145
6. Manggis 3 894 391 5 857 407 42 29
7. Jeruk 419 333 470 763 67 405 027 96 583 609
8. Pepaya 13 860 11 914 31 162 109 549
9 Melon 461 165 217 350 552 961 888 760
10. Buah-buahan Lainnya 10 982 445 27 903 699 183 918 927 263 590 404
Total Buah-buahan 130 454 662 245 727 715 253 065 780 362 522 631
Pada tahun 2006, nilai impor jeruk tersebut didominasi oleh jeruk
mandarin dari Cina. Nilai impor jeruk mandarin China sebesar US$ 36 juta atau
54% dari total impor jeruk tahun 2006. Pengurangan tariff impor secara bertahap
38
menunju Free Trade Area (FTA) ASEAN-China yang disepakati tahun 2005
sudah mulai memunculkan dampak negatif. Nilai impor jeruk mandarin China
dari tahun ke tahun terus meningkat. Jika pada tahun 2006 nilai impor jeruk
mandarin China hanya sebesar US$ 36 juta, maka tahun 2007 sudah meningkat
menjadi sebesar US$ 62.9 juta dan tahun 2008 sebesar US$ 84.7 juta (Kompas, 03
Agustus 2009). Pada kuartal I tahun 2009, nilai impor jeruk keprok mandarin
Gambar 3. Dari gambar terlihat bahwa impor jeruk setelah tahun 2000 selalu
memiliki kebijakan (aturan) khusus untuk membatasi kuota impor dan peredaran
160000
Volume Impor (Ton) 143 600
140000
120000
Volume Impor (Ton)
luar negeri (ekspor) meskipun dalam volume yang relatif kecil. Volume ekspor
jeruk Indonesia lebih banyak berupa produk jeruk segar. Pada tahun 2003, volume
ekspor jeruk Indonesia mencapai 1 158 ton, dan menurun ke 94 ton pada tahun
1500 1 590
1 249
1 158
1000 1 128
482
500 471
413
94
0
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun
mengingat potensi produksi jeruk dalam negeri sangat besar. Untuk itu berbagai
negeri agar dapat memenuhi kebutuhan di dalam negeri sendiri, baik untuk
nasional melalui suatu penataan rantai pasokan (supply chain management, SCM)
40
yang terpadu dan komprehensif merupakan langkah strategis yang harus segera
produksi jeruk dalam negeri lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan domestik
kapanpun tetap perlu dilakukan. Hal ini menjadi kebijakan dalam rangka
rangka memenuhi kebutuhan konsumsi dan produksi serta target ekspor dan impor
jeruk, maka telah ditetapkan sasaran produksi dan target pengembangan areal
(Ton)
Tahun Produksi Kebutuhan Bahan Impor
dalam Negeri Industri Ekspor
Pengolahan
2010 2 355 500 1 925 500 96 200 3 000 128 019
2015 2 686 000 2 210 400 110 500 5 000 128 019
2020 3 140 000 2 600 100 130 000 7 000 130 000
2025 3 956 000 3 303 000 165 000 10 000 130 000
pengembangan kebun jeruk skala besar dikembangkan oleh swasta, dengan luas
sekitarnya. SPO itu disusun oleh Dinas Pertanian Dirjen Hortikultura setelah
mendapat masukan dari berbagai stakeholder jeruk, termasuk para petani jeruk
satu sumber pendapatan asli. Kontribusi jeruk terhadap produk domestik bruto
(PDB) sektor pertanian pada tahun 2003 mencapai Rp. 2 339 milyar (atau lebih
dari 2.3 trilyun rupiah) dan pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp. 6 129.08
milyar (atau lebih dari 6.13 trilyun rupiah). Kondisi ini telah memposisikan jeruk
sebagai penyumbang terbesar kedua terhadap PDB setelah pisang (Tabel 8).
tidak saja diarahkan pada rehabilitasi di lokasi lama tetapi juga pengembangan di
(1) menyusun peta kesesuaian lahan dalam bentuk kolonisasi (yaitu kawasan
ekonomis yang saling beredekatan/berada pada satu alur jalur transportasi) dan
konsolidasi), (2) menyediakan bibit jeruk bebas penyakit, (3) menerapkan standar
(6) meningkatkan efisiensi rantai pasokan dan (7) membentuk jaringan informasi.
42
Jeruk keprok sebenarnya terdiri dari beberapa macam. Jenis King atau
dikenal dengan nama King orange yang berasal dari Vietnam. Jeruk ini buahnya
besar, berkulit kasar dan mempunyai mutu buah bagus (Supriyanto, 2006). Di
Indonesia jenis jeruk keprok ini dikenal dengan nama jeruk jepun. Pada
beberapa hybrid jeruk keprok dengan jeruk lainnya terutama dengan jenis jeruk
43
manis (Citrus cinensis) seperti Murcott, Vreemont, dan jenis hybrid lainnya hasil
persilangan.
tinggi (highland) dan dataran rendah (lowland) (Supriyanto, 2006). Jeruk keprok
atas permukaan laut (dpl). Selanjutnya Supriyanto menjelaskan bahwa kulit buah
jeruk keprok dataran tinggi biasanya berwarna menarik yaitu orange hingga
kemerahan. Jenis jeruk keprok dataran tinggi yang sudah dilepas oleh pemerintah
(Menteri Pertanian) diantaranya adalah jeruk keprok SoE (NTT), keprok Garut-1
(Sumut) dan keprok Gayo (NAD). Jeruk keprok dataran rendah tumbuh dan
berkembang dengan baik pada ketinggian 0-500 m dpl. Kulit buah berwarna
kuning kehijauan hingga orange. Jenis jeruk keprok dataran rendah yang sudah
Siompu (Sulteng), keprok Wangkang (Kalbar), keprok Pulau Tengah (Jambi) dan
Sebagai contoh, jeruk keprok SoE di daerah Timor Barat Provinsi Nusa Tenggara
Timur, jeruk tersebut dibudidayakan petani baik di dataran tinggi maupun dataran
rendah (yang mendekati elevasi 500 m dpl). Memang dari segi penampilan warna
kulit buah, jeruk keprok SoE pada daerah dataran tinggi berwarna kuning
keemasan, sedangkan pada daerah dataran rendah didominasi oleh warna kulit
terhadap produksi jeruk nasional), diiukuti Provinsi Jawa Timur (13%), Sulawesi
Barat (10%) dan Kalimantan Barat (8%). Provinsi-provinsi lain seperti Bali,
terhadap total produksi jeruk nasional. Sedangkan Provinsi Nusa Tenggara Timur
berada pada urutan yang ke sebelas dan menyumbang sebesar 1.72% (atau sebesar
39 375 ton) terhadap produksi jeruk nasional (rata-rata produksi tahun 2007-2008;
produksi baru dapat dikembangkan di sembilan Provinsi dengan luas 5.6 juta
dengan luas lahan potensial sebesar 203 431 ha atau sebesar 4% dari total luas
Selatan (TTS) memiliki luas lahan potensial untuk pengembangan jeruk sebesar
65 000 ha (32%) dari total luas lahan potensial untuk pengembangan jeruk di
daerah sentra pengembangan varietas jeruk keprok SoE. Budidaya jeruk keprok
yang berarti bagi pendapatan rumahtangga petani sepereti yang tercantum pada
Tabel 11 dan Gambar 5. Di daerah ini terdapat sekitar 20 jenis buah-buahan yang
2005 sebesar 3.17 trilyun Rupiah. Dari jumlah tersebut kontribusi jeruk sebesar
6.1 milyar Rupiah (terbesar kedua setelah pisang). Tahun 2007 meningkat
menjadi sebesar 4.236 trilyun Rupiah dan sebesar 4.625 trilyun pada tahun 2008,
dimana kontribusi terbesar berasal dari pisang (67.6%), diikuti oleh papaya (10%),
kelima setelah pisang, mangga, alpukat dan papaya dan menyumbang sebesar
9.6% terhadap total produksi buah-buahan di provinsi NTT selama tahun 2005-
Kontribusi
Jenis Buah-
No Produksi (Ton) TOTAL Nilai
Buahan
Ekonomi (%)
2005 2006 2007 2008 (T0N) % 2005-
Ton % Ton % Ton % Ton % 2008
1 Alpukat 39 566.0 16.9 54 647.0 16.5 66 606.0 15.0 11 545.0 2.5 172 364.0 11.70 2.79
2 Mangga 57 170.0 24.4 70 967.0 21.5 60 279.0 13.6 109 893.0 23.7 298 309.0 20.25 6.45
3 Pisang 55 677.0 23.8 81 886.0 24.8 192 112.0 43.3 191 342.0 41.2 521 017.0 35.37 67.58
4 Jeruk Keprok 29 308.0 12.5 46 743.0 14.1 43 980.0 9.9 21 520.0 4.6 141 605.0 9.61 7.65
5 Pepaya 22 338.0 9.5 31 193.0 9.4 36 391.0 8.2 64 248.0 13.8 154 170.0 10.47 10.00
6 Nangka 12 398.0 5.3 18 949.0 5.7 20 036.0 4.5 30 888.0 6.6 82 271.0 5.59 1.33
7 Jambu Biji 6 333.0 2.7 11 495.0 3.5 4 549.0 1.0 7 579.0 1.6 29 956.0 2.03 0.40
8 Sirsak 4 411.0 1.9 5 436.0 1.6 2 041.0 0.5 3 024.0 0.7 14 912.0 1.01 0.97
9 Jeruk Besar 3 275.0 1.4 4 941.0 1.5 6 453.0 1.5 6 743.0 1.5 21 412.0 1.45 0.58
10 Sukun 1 054 0.4 1 222 0.4 667.0 0.2 2 214.0 0.5 5 157.0 0.35 0.33
11 Nenas 836.0 0.4 856.0 0.3 2 139.0 0.5 5 674.0 1.2 9 505.0 0.65 0.62
12 Rambutan 775.0 0.3 791.0 0.2 2 383.0 0.5 5 115.0 1.1 9 064.0 0.62 0.59
13 Salak 447.0 0.2 611.0 0.2 144.0 0.0 824.0 0.2 2 026.0 0.14 0.35
14 Durian 249 0.1 343 0.1 514.0 0.1 787.0 0.2 1 893.0 0.13 0.05
15 Belimbing 177 0.1 272 0.1 365.0 0.1 742.0 0.2 1 556.0 0.11 0.03
16 Sawo 174 0.1 192 0.1 1 019.0 0.2 812.0 0.2 2 197.0 0.15 0.14
17 Jambu Air 101 0.04 130 0.04 3 629.0 0.8 1 174.0 0.3 5 034.0 0.34 0.08
18 Petay 32 0.0 42 0.0 109.0 0.0 96.0 0.0 279.0 0.02 0.02
19 Melinjo 26 0.0 30 0.0 131.0 0.0 209.0 0.0 396.0 0.03 0.03
20 Duku 9 0.004 9 0.003 8.0 0.0 64.0 0.0 90.0 0.01 0.00
NTT 234 289 100.0 330 674 100.0 443 555.0 100. 464 547.0 100. 1 473 056 100.0 100.00
600000
521 017
Produksi (Ton)
500000
400000
Produksi (Ton)
298 309
300000
172 364
200000 154 170 141 605
82 271
100000
29 956 21 412 14 912
9 505 9 064 5 157 5 034
0
Jenis Buah-Buahan
40
35.4 % Produksi
Produksi (% Terhadap Total)
35
30
25
20.3
20
15 11.7
10.5 9.6
10 5.6
5 2.0 1.5 1.0 0.6 0.6 0.4 0.3 0.1
0
Jenis Buah-Buahan
provinsi NTT, dari segi luas panen selama tahun 2005 hingga 2008, jeruk keprok
menduduki tempat ketiga setelah mangga dan pisang (Tabel 12 dan Gambar 7).
Tabel 12. Luas Panen Buah-Buahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun
2005-2008
Jenis Buah-
No Buahan Luas Panen (Ha)
Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %
1 Alpukat 9 358 13.04 11 717 12.91 10 317 11.35 1 508 7.43 32 900 12.0
2 Belimbing 79 0.11 110 0.12 64 0.07 31 0.15 284 0.10
4 Durian 157 0.22 282 0.31 181 0.20 85 0.42 705 0.26
5 Jambu Biji 1 454 2.03 2 075 2.29 1 386 1.52 398 1.96 5 313 1.94
6 Jambu Air 101 0.14 130 0.14 689 0.76 142 0.70 1 062 0.39
7 Jeruk Keprok 10 987 15.31 13 260 14.61 13 083 14.39 2 043 6.45 38 639 14.1
8 Jeruk Besar 788 1.10 944 1.04 910 1.00 235 1.16 2 877 1.05
9 Mangga 23 471 32.71 29 200 32.16 32 425 35.66 8 849 43.60 93 945 34.3
10 Nangka 4 911 6.84 8 259 9.10 3 499 3.85 2 722 13.41 19 391 7.08
11 Nenas 197 0.27 248 0.27 327 0.36 59 0.29 831 0.30
12 Pepaya 3 065 4.27 3 784 4.17 4 835 5.32 778 3.83 12 462 4.55
13 Pisang 14 589 20.33 17 728 19.53 20 585 22.64 3 186 15.70 56 088 20.5
14 Rambutan 474 0.66 541 0.60 521 0.57 371 1.83 1 907 0.70
15 Salak 163 0.23 174 0.19 56 0.06 27 0.13 420 0.15
16 Sawo 66 0.09 106 0.12 546 0.60 120 0.59 838 0.31
17 Sirsak 790 1.10 934 1.03 1 019 1.12 212 1.04 2 955 1.08
18 Sukun 1 054 1.47 1 222 1.35 332 0.37 214 1.05 2 822 1.03
NTT 71 764 100 90 788 100 90 928 100 20 297 100 273 777 100
Kecenderungan luas panen dan jumlah produksi jeruk keprok NTT ini
selama empat tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang sangat tinggi. Hal ini
Trend secara total selama tahun 2005-2008 untuk luas panen dan produksi buah-
Pepaya Alpukat
12462 32900
5% 12%
Nangka
19391
7%
Jeruk Keprok
38639
14%
Mangga
93945
35%
Pisang
56088
21%
500000 464547
443555
450000
400000
330674
350000
300000 Luas Panen (Ha)
234289 Produski (Ton)
250000
200000
150000
90788 90928
100000 71764
50000 20297
0
2005 2006 2007 2008
tahun ke tahun meningkat. Produksi buah di NTT secara total selama 2005-2008
meningkat sebesar 98.28% (Tabel 13). Sedangkan dari segi luas panen, secara
Penurunan luas panen pada tahun 2008 lebih besar dipengaruhi oleh turunnya luas
panen komoditas jeruk keprok sebesar -90% dibandingkan dengan tahun 2007
(Tabel 13). Komoditas yang luas panennya meningkat adalah duku, jambu air dan
sawo. Perbandingan dan kesenjangan antara luas tanam dan luas panen serta
Tabel 13. Perkembangan Luas Panen dan Produksi Buah-Buahan di Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Tahun 2005-2008
(%)
No Jenis Buah-Buahan Perkembangan 2005-2008
Luas Panen Produksi
1 Alpukat -83.89 -70.82
2 Belimbing -60.76 319.21
3 Duku/Langsat 850.00 611.11
4 Durian -45.86 216.06
5 Jambu Biji -72.63 19.67
6 Jambu Air 40.59 1062.38
7 Jeruk Keprok -88.09 -26.39
8 Jeruk Besar -70.18 105.89
9 Mangga -62.30 92.22
10 Nangka -44.57 149.14
11 Nenas -70.05 578.71
12 Pepaya -74.62 187.62
13 Pisang -78.16 243.66
14 Rambutan -21.73 560.00
15 Salak -83.44 84.34
16 Sawo 81.82 366.67
17 Sirsak -73.16 -31.44
18 Sukun -79.70 110.06
19 Melinjo -46.15 703.85
NTT -71.72 98.28
Tabel 14. Luas Tanam dan Produksi Komoditi Buah-Buahan Di Nusa Tenggara Timur, Tahun 2004-2008
4 RAMBUTAN 100
- Luas Tanam (ha) 8 457 9 395 10 722 7 847 8 515 8 987 0,69
- Luas Panen (Ha) 374 474 541 521 371 456 -0,80
- Produktivitas (Kw/Ha) 16 16 15 46 138 46 785,97 4,60 kg/phn
- Produksi (Ton) 582 775 791 2 383 5 115 1 929 778,87
- Potensi Produktivitas (Kw/Ha) 400 400 400 400 400 400 0,00 40 kg/phn
- Kesenjangan Prodvitas (Kw/Ha) 384,44 383,65 385,38 354,26 262,13 353,97 -31,82
- Kesenjangan Produktivitas (%) 96,11 95,91 96,34 88,57 65,53 88,49
5 SALAK 2000
- Luas Tanam (ha) 890 947 1 156 492 465 790 -47,75
- Luas Panen (Ha) 126 163 174 56 27 109 -78,57
- Produktivitas (Kw/Ha) 24,68 27,42 35,11 25,71 305,19 84 1136,44 0,42 kg/phn
- Produksi (Ton) 311 447 611 144 824 467 164,95
- Potensi Produktivitas (Kw/Ha) 250 250 250 250 250 250 0,00 1,25 kg/phn
- Kesenjangan Prodvitas (Kw/Ha) 225,32 222,58 214,89 224,29 -55,19 166,38 -124,49
- Kesenjangan Produktivitas (%) 90,13 89,03 85,95 89,71 -22,07 66,55
6 NENAS 25000
- Luas Tanam (ha) 525 665 720 647 419 595 -20,19
- Luas Panen (Ha) 151 197 248 327 59 196 -60,93
- Produktivitas (Kw/Ha) 40,26 42,44 34,52 65,41 961,86 229 2289,12 0,09 kg/phn
- Produksi (Ton) 608 836 856 2 139 5 675 2 023 833,39
- Potensi Produktivitas (Kw/Ha) 500 500 500 500 500 500 0,00 0,2 kg/phn
- Kesenjangan Prodvitas (Kw/Ha) 459,74 457,56 465,48 434,59 -461,86 271,10 -200,46
penggunaan bibit tanaman dari produksi sendiri (bukan benih unggul), sistem
pengelolaan tradisional dan skala usaha yang masih kecil (kurang dari 1 ha per
KK petani tanaman) dan struktur pasar yang oligopsoni (pasar persaingan tidak
sempurna di mana para pembeli jauh lebih sedikit dibandingkan dengan para
petani produsen/penjual) sehingga harga kurang bersaing dan posisi tawar petani
varietas jeruk keprok SoE seperti yang tercantum pada Tabel 15 dan Tabel 16
Tabel 15. Keadaan Luas Panen Jeruk Keprok di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2002-2008
%
No Kabupaten Luas Panen (Ha) Total
thdp
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 total
1 TTS 1 042 1 157 1 336 1 445 2 218 2 089 1409 10 696 17.4
2 TTU 858 1 035 1 035 1 231 1 682 1 718 90 7 649 12.4
3 Belu 528 1 054 1 053 1 364 1 732 1 732 56 7 519 12.2
4 Kupang 743 1 078 1 078 1 159 1 159 1 154 39 6 410 10.4
5 Alor 630 716 716 979 979 693 67 4 780 7.8
6 Ende 315 384 528 881 892 1 015 126 4 141 6.7
7 Lembata 188 531 532 864 904 860 30 3 909 6.4
8 Ngada 280 328 416 677 698 731 18 3 148 5.1
9 Flores Timur 400 348 367 460 683 637 12 2 907 4.7
10 Sumba Barat 189 315 357 623 647 631 50 2 812 4.6
11 Sumba Timur 231 322 322 322 671 862 32 2 762 4.5
12 Sikka 266 345 345 504 516 482 9 2 467 4.1
13 Manggarai 278 265 265 377 377 375 96 2 033 3.3
14 Manggarai Barat 96 96 95 5 292 0.5
15 Rote Ndao 15 15 1 1 2 4 38 0.1
16 Kota Kupang 0 4 4 5 5 5 0 23 0.1
NTT 5 948 7 897 8 369 10 988 13 260 13 081 2 043 61 586 100
12000
10 696
10000
6 410
6000
4 780
4 141 3 909
4000 3 148 2 907
2 812 2 762
2 467
2 033
2000
292 38 23
0
Kabupaten
Tabel 16. Keadaan Produksi Jeruk Keprok di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Tahun 2002-2008
%
No Kabupaten Produksi (Ton) Total
thdp
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 total
1 TTS 1 492 2 987 7 821 5 856 7 431 5 103 7 199 37 889 20.8
2 Ende 887 912 1 223 2 717 5 855 6 109 2 383 20 086 10.65
3 TTU 708 1 949 1 949 2 997 4 517 3 881 1 213 17 214 9.13
4 Belu 642 1 100 1 100 2 668 3 807 4 451 969 14 737 7.81
5 Alor 774 1 815 1 815 2 923 2 923 2 908 1 368 14 526 7.70
6 Lembata 905 1 163 1 163 2 372 4 976 2 241 216 13 036 6.91
7 Ngada 1 086 1 480 1 564 2 593 3 099 1 095 163 11 080 5.87
8 Sumba Barat 971 897 1 071 1 996 2 127 2 521 1 027 10 610 5.63
9 Sumba Timur 744 661 661 661 3 032 2 869 1 283 9 911 5.25
10 Manggarai 969 955 955 1 575 1 575 864 2 067 8 960 4.75
11 Kupang 1 143 1 252 1 262 1 359 1 359 1 643 444 8 462 4.49
12 Sikka 933 1 049 1 049 1 596 1 649 1 349 508 8 133 4.31
13 Flores Timur 846 551 557 793 1 695 1 738 137 6 317 3.35
14 Mangga Barat 338 338 658 35 1 369 0.73
15 Rote Ndao 35 35 1 1 5 30 107 0.06
16 Kota Kupang 6 6 12 12 12 1 49 0.03
NTT 12 100 16 812 18 153 29 308 46 743 43 980 21 520 188 616 100
40000 37 889
Kabupaten
Luas panen dan produksi jeruk keprok di NTT menurun sejak tahun 2006
(Gambar 11). Produktivtas jeruk keprok daerah TTS dari tahun ke tahun
meningkat. Pada tahun 2004, produktivitas jeruk ini hanya 2.2 ton per hektar,
tahun 2005 meningkat menjadi 2.7 ton dan 2006 sebesar 3.5 ton per hektar serta
meningkat menjadi 16.7 ton/ha pada tahun 2008. Bila dibandingkan dengan
produktivitas potensialnya yang sebesar 40-65 ton per hektar, maka keadaan
produktivitas aktual dan potensial jeruk keprok di NTT masih terlalu besar seperti
tercantum pada Tabel 17. Rendahnya produktivitas jeruk keprok di provinsi Nusa
50000
46 743
35000
30000 29 308
25000
22 231 21 520
20000
16 812
15000
13 081
12 100
10000 13 260
10 988
5000 7 897 8 369
5 948
2 043
0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Tahun
Tabel 17. Kesenjangan Antara Produktivitas Aktual dan Potensial Jeruk Keprok di
Nusa Tenggara Timur, 2003-2008.
Luas Panen (Ha) 7 897 8 369 10 988 13 260 13 081 2 043 9273.00
Produktivitas
7.66 9.56 9.97 12.04 10.30 33.53 13.84
(Kg/Pohon)
Selatan. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU),
sebelah selatan berbatasan dengan Laut Timor, sebelah timur berbatasan dengan
darat langsung yaitu Kabupaten Belu, Kabupaten Timor Tengah Utara dan
Kabupaten Kupang. Secara geografis juga relatif dekat dengan Kota Kupang
sebagai Ibu Kota Propinsi Nusa Tenggara Timur, sehingga berpeluang mencapai
Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan pasar. Kabupaten Timor Tengah Selatan juga
dekat dengan Kota Atambua sebagai kota terdepan menuju Negara Timor Leste.
Tengah Selatan sangat strategis karena berada diantara dua Kota PKN yaitu
Kupang dan Atambua sesuai RTRW Propinsi Nusa Tengara Timur. Sehubungan
dengan posisi tersebut Kabupaten Timor Tengah Selatan memiliki akses pasar
Dari luas wilayah Kabupaten TTS sebesar 394 700 ha yang seluruhnya
berupa daratan, Kabupaten TTS terbagi dalam 32 kecamatan, 228 desa dan 12
terluas (8.05% dari luasan total kabupaten), diikuti oleh Amanuban Timur
kecamatan lain memiliki luasan kurang dari 6% terhadap total dengan kecamatan
Kota SoE sebagai ibukota kabupaten menjadi kecamatan yang luasnya paling
kecil (0.53% dari total luas Kabupaten Timor Tengah Selatan). Secara detail dapat
10
8.1
8
6.2 6.2 6.0
Luas (%)
5.5 5.5
6 4.8 4.5 4.4
3.7 3.6 3.4
4 3.2 3.2 3.2 3.2 3.0
Kecamatan
2.9
3 2.7 2.7 2.6 Persentase Terhadap Luas Kab TTS
2.5
Luas (%)
2 1.5
1.2 1.1 1.1
0.9 0.8 0.8
1 0.7 0.5 0.5
Kecamatan
tempat lainnya yang secara umum didominasi oleh daerah bergunung-gunung dan
dua kategori yaitu wilayah dataran rendah yang dominan berada di wilayah
Selatan dan wilayah dataran tinggi yang dominan berada di wilayah Tengah dan
sebagai berikut:
didasarkan bada upaya mendukung konservasi lahan yang rentan akan longsor dan
61
erosi pada wilayah dengan kelerengan lebih dari 40º. Sehubungan kelerengan
lahan yang rentan akan longsor dan erosi terutama pada wilayah dengan
Oktober), tanah longsor dan erosi yang biasa terjadi di wilayah TTS pada saat
TTS memiliki rencana jangka menengah untuk kegiatan konservasi tanah dan air
Kabupaten TTS memiliki jenis batuan sedimen, beku, vulkanik dan batuan
malihan yaitu (1) batuan sedimen terdiri dari batuan gamping, kalisutit, batu pasir,
lanau, serpih dan lempung, (2) batuan beku terdiri dari batuan ultra dan diorit, dan
(3) batuan malihan adalah malihan berderajat rendah sampai tinggi dari batu
memiliki harkat nitrogen rendah, harkat fosfat tinggi, harkat kalium sangat tinggi
dan bahan organik sedang (Dinas Pertanian, 2010c). Dilaporkan pula bahwa nilai
PH tanah di Kabupaten TTS cenderung netral untuk 51.4% wilayah diikuti agak
masam. Kondisi lainnya, bahwa tanah di Kabupaten TTS tidak terdapat salinitas
tanah. Tekstur tanah di Kabupaten TTS adalah sedang sampai kasar, sehingga
sebagai berikut:
lahan yang tinggi sedangkan pada daerah lain kurang produktif (lihat Gambar 13
tentang tingkat kekritisan lahan di TTS). Demikian juga faktor lainnya yang
terjadinya erosi tanah. Jika tidak ditunjangi dengan kegiatan pertanian yang
berbasis konservasi, maka tingkat produktivitas lahan pasti menjadi rendah. Curah
hujan dengan intensitas yang tinggi sangat berpengaruh besar pada terjadinya
erosi tanah yang berakibat pada rendahnya kandungan unsur hara dan
Total lahan di Kabupaten Timor Tengah Selatan seluas 394 700 ha, yang
terdiri dari lahan basah sebesar 23 682 ha (6 %) dan lahan kering sebesar 371 018
pengurangan yang dipengaruhi oleh aspek tenaga kerja yang terbatas (pers.com
Perubahan fungsi lahan dari tahun 2004-2008 tercantum pada Tabel 18.
Dari jenis penggunaan lahan pada tahun 2008, luasan penggunaan lahan
yang paling kecil adalah lahan sawah (0.82%) dan yang terbesar adalah lahan
hutan (hutan negara dan hutan rakyat) sebesar 27%, diikuti lahan untuk
dengan tekstur dan resistensi yang bervariasi. Jenis tanahnya berasal dari endapan
Alluvial ataupun Latosol dengan tingkat kesuburan bervariasi dari sedang sampai
dengan cukup subur. Wilayah kabupaten TTS bagian utara umumnya termasuk
dalam zona iklim yang relatif lembab, sedangkan di bagian selatan relatif
Daerah TTS memiliki musim hujan selama tiga sampai empat bulan
(Desember - Maret) dengan rata-rata curah hujan 1150 mm per tahun (Dinas
Pertanian, 2009) dan bulan kering berkisar lima sampai delapan bulan (April –
Nopember). Empat puluh Sembilan persen (49%) wilayah kabupaten TTS berada
pada ketinggian 0-500 m dpl, sedangkan 51% sisanya berada pada ketinggian
lebih dari 500 m dpl dari total wilayah seluas 394 700 km2. Sebaran kondisi
barat dan musim Timur. Musim barat dikenal dengan musim hujan, lamanya
empat bulan (mulai bulan Nopember dan berakhir bulan Februari) dengan jumlah
hari hujan rata-rata 76 hari dan curah hujan rata-rata 1 617 mm dalam tahun 2008
(BPS, 2009b). Musim timur dikenal dengan musim kemarau atau musim kering,
lamanya delapan bulan (mulai bulan Maret dan berakhir bulan Oktober). Angin
bertiup kencang terutama pada musim barat, dengan kecapatan 33-34 km per jam.
Suhu pada tahun 2009 minimum 230C dan maksimum 250C. Fluktuasi jumlah
Hari Hujan (HH) dan Curah Hujan (CH) bulanan tahun 2008 (total dan rata-rata
4500 4 2 48 450
3 938 3 93
4000 3 870 400
Hari Hujan (hh) & Curah Hujan (mm)
Hari Hujan (hh) & Curah Hujan (mm)
3 87
3 500 350
3 722 372
hh
3 000 300 hh
mm
2 500 250 mm
2 000 200
Bulan Bulan
Gambar 15. Jumlah Hari Hujan dan Curah Hujan Bulanan Di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Tahun 2008
67
Pada tahun 2008, jumlah hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Maret,
sedangkan jumlah curah hujan terbesar terjadi pada bulan Februari. Sedangkan
fluktuasi jumlah hari hujan dan curah hujan bulanan selama periode tahun 2003-
2008 tercantum pada Gambar 16. Trend selama enam tahunan itu menunjukkan
bahwa bulan terkering di kabupaten TTS selalu terjadi selama tiga bulan yakni
bulan Juli, Agustus dan September di mana curah hujanya tidak ada sama sekali.
450 2 003 20
2 003
2 004 18
400 2 004
2 005
2 005
16
350 2 006
2 006
2 007 14 2 007
300
Curah Hujan (mm)
2 008
Hari Hujan (hh)
2 008
12
250
10
200
8
150
6
100
4
50 2
0 0
Juni
Jan
Mar
Okt
Juli
Des
Nop
Sept
Feb
Agust
Mei
April
Juni
Jan
Mar
Okt
Juli
Des
Nop
Sept
Feb
Agust
Mei
April
Bulan Bulan
Gambar 16. Rata-Rata Curah Hujan dan Hari Hujan Bulanan, Tahun 2003-2008
volume dan intensitas hujan tidak merata yaitu di wilayah bagian Barat dan Utara
68
TTS, curah hujanya relatif tinggi, bagian wilayah Tengah relatif sedang dan makin
ekonomi berbasis pertanian pada sumberdaya air sangat besar. Adanya Gunung
sumber daya air yang mendukung munculnya mata air dan adanya sungai-sungai
yang tetap mensuplai air sepanjang tahun diantaranya sungai Noel Mina dan Noel
Benenain. Kabupaten Timor Tengah Selatan juga memiliki ratusan mata air yang
Pada bagian ini akan dibahas tentang kondisi luas panen, produksi,
kabupaten Timor Tengah Selatan. Pembahasan pada bagian ini ditujukan untuk
lebih mendalami kondisi umum pertanian daerah kabupaten TTS agar diskusi dan
pembahasan tentang efisiensi yang berkaitan dengan usahatani jeruk keprok SoE
Selatan. Pada tahun 2007 total luas areal panen tanaman pangan adalah 87 176 Ha
69
dengan tingkat produksi 211 960 ton seperti tercantum pada Tabel 20 dan 21.
Bila dilihat menurut komoditinya, luas areal panen tanaman bahan makanan tahun
jagung dengan luas areal 60 337 ha (75.34%) dan tingkat produksi 96 575 ton,
atau mencapai 62.47% dari total produksi komoditi tanaman pangan (Gambar 17).
Selanjutnya ubi kayu (dengan rata-rata luas panen 10 067 ha (12.56%) dan
produksi 30 713.67 ton (25.04%)). Padi menempati urutan yang ketiga, yang
kemudian diikuti oleh kacang tanah, ubi jalar, produk pertanian dan kedelai
80 75.34
70 62.47
% Terhadap Total 70
60 Produksi Tan Pangan
60
50
Produksi (%)
50
yaitu sebesar (306%), diikuti oleh kacang kedelai (188%), produk pertanian
(28%), jagung (21%) dan padi (8%). Sedangkan tanaman lainnya mengalami
penurunan yang cukup besar, seperti ubi kayu (-53%) dan ubi jalar (-52%).
288%) selama kurun waktu 2005-2007. Sedangkan ubi kayu dan ubi jalar
tanaman tersebut.
Padi terutama padi sawah yang menempati luasan hanya 0.82% dari total
1. Tanaman Sayur-Sayuran
meningkat untuk semua jenis yang diusahakan (Tabel 22 dan Gambar 18). Luas
panen tanaman sayuran yang meningkat sangat besar adalah bawang merah
(1293%), kangkung (1050%), kacang panjang (483%), petsai (250%) dan cabe
merah dan bawang putih menempati luas panen yang lebih besar bila
72
24.40% dari total luas panen untuk 11 komoditas tersebut. Luas panen untuk
Tomat
69.8
6%
Kangkung
74.4 Bawang Putih
Bayam
6% 287.8
77.2 Petsai 24%
7% 87.75
7%
Gambar 18. Rata-Rata Luas Panen dan Persentase Terhadap Total Luas Panen
Sayuran di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2003-2007
adalah terong dari 43.20 ton tahun 2005 menjadi 406 ton tahun 2006. Sedangkan
penurunan produksi paling besar adalah kacang merah 574.72 ton tahun 2005
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 23 dan Gambar 19. Trend perkembangan
meningkat sebesar 144.3%, kecuali tanaman tomat yang menurun sebesar 6.67%.
Komoditi sayuran yang meningkat paling besar adalah tanaman kangkung, namun
kontribusinya hanya sebesar 7.5% terhadap produksi total sayuran dalam periode
diikuti oleh bawang putih (19.10%), petsai (17%) dan tomat (9.64%). Sedangkan
Bawang Putih 2 745 5 080 4 920 2 690 3 300 3 747 1.30 7.53 20.22
Petsay 2 800 6 700 8 200 15 800 8 525 8 405 9.58 16.88 204.46
Kc.panjang 180 260 360 560 745 421 0.87 0.85 313.89
Wortel 7 500 9 000 12 000 12 751 12 100 10 670 15.51 21.44 61.33
Cabe 300 420 660 600 950 586 1.00 1.18 216.67
Tomat 4 500 4 300 7 000 4 000 4 200 4 800 6.88 9.64 -6.67
Terung 2 500 2 400 3 000 6 400 3 750 3 610 8.28 7.25 50.00
Buncis 3 825 2 250 3 000 4 950 5 600 3 925 7.30 7.88 46.41
Kangkung 900 1 100 2 700 3 550 10 350 3 720 5.00 7.47 1050.00
Bayam 235 350 360 450 535 386 0.50 0.78 127.66
Total 29 735 38 830 48 500 59 191 72 635 49 778 59.29 100 144.27
Buncis
Bawang Merah
3 925
9 508
8%
19%
Tomat Petsai
4 800 8 405
10% 17%
2. Tanaman Biofarmaka
Tabel 24. Luas panen dan Produksi Komoditi Biofarmaka di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Tahun 2008
17 .28
Produksi (%)
20 20
15 15
10 10
5 5
0.58 0.65
0 0
Gambar 20. Ranking Luas Panen dan Produksi Berdasarkan Jenis Tanaman
Biofarmaka di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2007
Baik dari segi luas panen maupun produksi, kunyit menempati urutan
yang pertama (29%). Catatan yang perlu diperhatikan adalah bahwa pengusahaan
75
tanaman ini oleh petani masih bersifat tradisional (tidak menggunakan input-input
produksi yang berkualitas) dan masih merupakan usaha sampingan. Petani masih
menggunakan input lokal seperti benih dan tanpa perlakuan lainnya untuk
penyebaran usahataninya tidak merata pada semua kecamatan yang ada di TTS.
3. Tanaman Buah-Buahan
produksi terbesar untuk jeruk keprok di NTT terdapat di Kabupaten TTS. Jeruk
dan dijadikan sebagai komoditas andalan baik tingkat provinsi NTT maupun
Seperti halnya jenis-jenis jeruk keprok di Indonesia, jenis jeruk keprok di NTT
juga dikenal dengan label daerah asalnya masing-masing, seperti, untuk menyebut
beberapa, keprok SoE asal kabupaten TTS, keprok ende asal kabupaten Ende,
kapok manggarai asal kabupaten Manggarai dan keprok Sumba asal kabupaten
Sumba Barat.
yang masih berbasiskan pengetahuan yang belum memadai dan jangkauan pasar
Kabupaten TTS terkenal dengan produksi jeruk keprok SoE. Sejak tahun
1960-an sampai sekarang, jeruk keprok SoE (JKS) menjadi komoditas unggulan
76
buah-buahan di kabupaten TTS. Hal ini disebabkan karena keprok SoE sangat
disukai oleh konsumen baik di NTT maupun di luar NTT. Hasil penelitian taste
panel di Denpasar menunjukkan bahwa jeruk impor masih superior dalam hal
rasa, tekstur dan warna kulit buah, sedangkan keprok SoE memiliki keunggulan
penampilan daging buah dan kualitas secara keseluruhan (Mason et al., 2002).
dalam hal tekstur dan penampilan daging buah dibandingkan dengan keprok
madura dan jeruk impor yang ada (Adar et al., 2005). Dari hasil penelitian yang
secara potensial memiliki keunggulan dalam hal lebih segar dan berkadar air
tinggi seperti yang direfleksikan dari hasil survei konsumen pada segmen tampak
luar dan kualitas keseluruhan dari buah jeruk tersebut. Warna kulit yang kuning
keemasan dari jeruk keprok SoE yang siap dipanen memberikan makna tersendiri
tersebut, dari tabel diketahui bahwa luas panen dan produksi buah-buahan di
jeruk keprok SoE merupakan buah yang diunggulkan. Dari segi luas panen dan
jumlah produksi, jeruk keprok SoE menduduki tempat yang kedua setelah
mangga. Jumlah produksi jeruk ini meningkat dari tahun ke tahun. Dari segi luas
panen menunjukkan tren peningkatan terjadi selama periode tahun 2002-2007 dan
Tabel 25. Luas Panen dan Produksi Buah-Buahan di Kabupaten TTS, Tahun 2002-2008
Alpokat 594.0 2 470.0 2 663.0 2 791.0 3 243.0 3 077.0 47.0 1 128.0 4 952.0 5 176.0 7 265.0 8 593.0 21 235.0 286.0
Belimbing 2.0 2.0 2.0 5.0 6.0 12.0 4.0 4.0 4.0 4.0 6.0 8.0 72.0 145.0
Jambu biji 201.0 28.0 42.0 213.0 270.0 430.0 40.0 34.0 58.0 60.0 566.0 2 051.0 1 232.0 427.0
Jeruk Keprok 1 042.0 1 157.0 1 336.0 1 445.0 2 218.0 2 089.0 1 409.0 1 492.0 2 987.0 7 821.0 5 856.0 7 431.0 5 103.0 7 199.0
Jeruk Besar 51.0 97.0 46.0 77.0 99.0 123.0 39.0 224.0 684.0 235.0 449.0 751.0 1 097.0 608.0
Mangga 1 283.0 1 565.0 2 338.0 3 277.0 3 894.0 4 362.0 3 582.0 3 801.0 1 659.0 2 771.0 3 959.0 4 785.0 4 991.0 35 042.0
Nangka 118.0 139.0 210.0 278.0 405.0 574.0 245.0 601.0 748.0 861.0 907.0 594.0 2 074.0 2 284.0
Nenas 13.0 7.0 7.0 9.0 11.0 16.0 4.0 51.0 62.0 62.0 73.0 53.0 93.0 389.0
Pepaya 795.0 851.0 1 102.0 422.0 698.0 808.0 92.0 1 486.0 2 596.0 2 789.0 3 209.0 5 528.0 4 962.0 4 672.0
Pisang 1 104.0 764.0 780.0 838.0 967.0 1 219.0 95.0 2 953.0 3 177.0 3 598.0 4 272.0 5 360.0 11 288.0 5 263.0
Rambutan 1.0 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0 1.0 6.0 12.0 12.0 12.0 12.0 8.0 5.0
Salak 0.0 0.0 1.0 1.0 1.0 1.0 0.0 0.0 0.0 2.0 3.0 3.0 2.0
Sirsak 112.0 115.0 195.0 67.0 86.0 298.0 26.0 342.0 287.0 293.0 357.0 710.0 598.0 236.0
Sukun 378.0 146.0 244.0 295.0 339.0 76.0 25.0 1 790.0 735.0 954.0 1 456.0 1 555.0 83.0 241.0
Total 5 694.0 7 343.0 8 967.0 9 720.0 12 239.0 13 087.0 5 610.0 13 912.0 17 961.0 24 636.0 28 389.0 37 434.0 52 839.0 56 799.0
Secara total, luas panen jeruk keprok SoE ini mengalami kenaikan
sebesar 26% dan produksi meningkat sebesar 79% dalam periode tahun 2002-
menunjukkan bahwa komoditas ini secara sosial sudah diterima masyarakat dan
secara finansial layak untuk diusahakan oleh petani seperti yang sudah dikaji oleh
Produktivitas jeruk keprok SoE masih jauh dari yang diharapkan. Tabel
Dari tabel ini diketahui bahwa produktivitas rata-rata (tahun 2002-2008) dari jeruk
Tabel 26. Keadaan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jeruk Keprok SoE di
Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2002-2008
kecamatan dengan populasi seperti tercantum pada Tabel 27. Dari Tabel ini
diketahui bahwa ada tujuh kecamatan sentra produksi dan rencana pengembangan
dominan yakni Mollo Utara dan Mollo Selatan; sedangkan untuk dataran rendah
Tabel 27. Sebaran Populasi Tanaman Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Tahun 2008
jeruk keprok SoE selama tahun 2002-2008 meningkat. Hal ini bisa dijadikan
sebagai indikator bahwa jeruk ini merupakan komoditas penting dan bisa
ekonomi petani jeruk. Namun, tingkat produksi dan produktivitas jeruk keprok
80
SoE adalah masih sangat rendah dan berkecenderungan menurun dari tahun 2008
ke tahun 2010 (pers. Com dengan Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian
kabupaten TTS selama periode waktu 2004-2008 tercantum pada Tabel 28 dan
Gambar 21 dan Gambar 22. Tabel tersebut menunjukkan bahwa Sentra utama
Selatan adalah jenis jeruk keprok SoE. Jeruk ini memiliki ciri-ciri umum antara
lain tinggi tanaman berkisar 4-8 m, warna buah matang kuning kemerah-merahan
atau kuning keemasan, bentuk buah bulat pendek dengan ukuran diameter 6.86 x
6.66 cm, tingkat kekerasan buah lunak atau agak lunak, warna daging buah
orange, berat buah 100-125 gram, rasa buah manis dan segar, tekstur daging buah
berserat halus dan potensi produksi 50-250 kg per pohon per musim panen.
81
Tabel 28. Rata-Rata Jumlah Tanaman, Luas Panen dan Produksi Jeruk Keprok
SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2004-2008
1 Mollo Utara 327 155.2 38.41 132 823.4 43.69 3 712.52 52.60
2 Mollo Selatan 182 167.4 21.39 75 243.2 24.75 1 613.52 22.86
3 Amaban Barat 75 155.6 8.82 2 937.4 0.97 61.12 0.87
4 Kota SoE 45 307.8 5.32 23 857.0 7.85 405.00 5.74
5 Amaban Selatan 42 235.2 4.96 226.4 0.07 4.12 0.06
6 Fatumnasi 39 892.2 4.68 17 618.6 5.80 322.34 4.57
7 Amatun Selatan 26 798.6 3.15 7 195.6 2.37 127.72 1.81
8 Kuanfatu 24 987.2 2.93 10 680.0 3.51 245.40 3.48
9 Pollen 18 607.6 2.18 6 045.2 1.99 110.16 1.56
10 Amaban Tengah 15 972.0 1.88 8 747.6 2.88 122.30 1.73
11 Kie 10 123.0 1.19 5 606.0 1.84 106.56 1.51
12 Nunkolo 9 924.6 1.17 4 272.2 1.41 86.76 1.23
13 Amaban Timur 7 121.0 0.84 1 893.0 0.62 32.60 0.46
14 Toianas 5 834.0 0.68 720.0 0.24 12.40 0.18
15 Kolbano 5 005.6 0.59 350.4 0.12 4.80 0.07
16 Boking 4 862.2 0.57 1 568.6 0.52 23.48 0.33
17 Oenino 3 584.2 0.42 377.2 0.12 5.64 0.08
18 Batu Putih 2 273.0 0.27 1 337.0 0.44 24.48 0.35
19 Kotolin 2 013.2 0.24 1 480.0 0.49 22.00 0.31
20 Amatun Utara 1 542.4 0.18 449.0 0.15 7.76 0.11
21 Kualin 1 135.4 0.13 558.4 0.18 7.56 0.11
Kabupaten TTS 851 697.4 100.00 303 986.2 100.00 7 058.24 100.00
Jeruk keprok SoE merupakan salah satu jenis buah unggulan nasional
setelah mendapatkan pelepasan oleh Pemerintah Pusat pada tahun 1998 dan
mendapatkan juara pertama selama tiga tahun berturut-turut (2003, 2004, dan
2005) dalam kontes buah nasional yang diselenggarakan oleh majalah Trubus
Indonesia (Adar et al., 2005). Namun sistem pengelolaan usahatani komoditas ini
43.7
45
40
30
Luas Panen (%)
24.8
25
20
15
10 7.8
5.8
3.5 2.9
5 2.4 2.0 1.8 1.4 1.0 0.6 0.5 0.5 0.4 0.2 0.2 0.1 0.1 0.1 0.1
0
Kecamatan
Gambar 21. Rata-Rata Luas Panen Jeruk Keprok SoE per Kecamatan, Tahun
2004-2008
60
52.60
Produksi (%)
50
Produksi (%)
40
30 22.86
20
10 5.74 4.57
3.48
1.81 1.73 1.56 1.51 1.23 0.87 0.46 0.35 0.33 0.31
0.18 0.11 0.11 0.08 0.07 0.06
0
Kecamatan
Luas areal panen tanaman perkebunan pada tahun 2007 sebesar 33 690.05
ha atau menurun sebesar -2.8% dibandingkan dengan tahun 2006 (34 649.01 ha).
Tingkat produksi tahun 2007 adalah sebesar 7 337.49ton atau meningkat sebesar
Selatan adalah seperti tercantum pada Tabel 29, dengan kontribusinya (%)
masing-masing komoditas seperti tercantum pada Gambar 23. Dari tabel dan
pertama baik dari segi luas panen (43%) maupun produksi (48%), diikuti oleh
tanaman kelapa dan jambu mente. Sedangkan tanaman kakao (yang membutuhkan
Tabel 29. Luas dan Produksi Tanaman Perkebunan di Kabupaten Timor Tengah
Selatan, Tahun 2007
43 .47 50 47 .75
45
43 .41
45
40
33.59 40
35
35
30
Luas Panen (%)
Produksi (%)
30 % Produksi (Ton)
25
25
20
20
15 15
10.09 9.3 5
10 10
3 .42
5 2 .16 5 2 .25 1.93 1.22
1.2 1 0.03
0.14
0 0
Gambar 23. Rangking Luas Panen dan Produksi Beberpa Jenis Tanaman
Perkebunan di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2007
(semuanya lebih kecil dari 1 ton/ha, kecuali tanaman kopi). Sistem usahatani
bagian di dalam sistem/proses produksi yang efisien dan berskala ekonomi tinggi,
PDRB TTS tahun 2007, setelah tanaman bahan makanan (33%). Jenis usaha
ternak di Kabupaten Timor Tengah Selatan terdiri dari ternak besar (sapi, kerbau,
kuda) dan ternak kecil (kambing, domba) serta unggas (ayam kampung dan itik).
Populasi hewan ternak pada tahun 2007 mencapai 834 657 ekor meningkat
sebesar 11.82% dibandingkan dengan tahun 2006 (746 398 ekor). Untuk populasi
Selatan 87 ekor, kambing dan babi paling banyak terdapat di Amanuban Timur
dan Fatumnasi masing-masing 6 391 ekor dan 19 609 ekor. Jumlah populasi
3 88589 (46.56%)
400000
Jumlah Ternak (Ekor)
350000
Jumlah Ternak (ekor)
250000
155276 (18.60%)
200000
150000
100000 33879 (4.06%)
2 656 (0.3%)
50000 2 936 (0.4%) 3 88 (0.1%)
0
Jenis Ternak
G
Sumber: BPS, 2008b.
Gambar 24. Jumlah Ternak dan Persentase Terhadap Total di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Tahun 2007
86
usaha lepas (ekstensif) dengan sistem semi intensif sebatas pada ternak kuda dan
babi. Namun semuanya masih merupakan usaha skala kecil dan tradisional yang
utama terkait pemeliharaan ternak di Kabupaten TTS adalah masalah tata ruang,
ini Pemerintah Daerah melalui Bappeda Kabupaten TTS telah membuat pemetaan
Keuntungan yang paling besar sering terjadi pada para pedagang (pers.com
dengan petani peternak, 27 Maret 2010 di SoE). Selain itu, masalah hijauan
Kontribusi subsektor ini terhadap PDRB TTS tahun 2007 adalah yang
Tengah Selatan terdiri dari usaha perikanan darat dan usaha perikanan laut. Bila
87
dilihat dari jumlah dan nilai produksinya usaha perikanan di Kabupaten Timor
Tengah Selatan didominasi oleh usaha perikanan laut yakni 52% (Tabel 30).
Produksi ikan laut di Kabupaten Timor Tengah Selatan pada tahun 2006
perikanan laut tahun 2005 mencapai 487.9 ton turun menjadi 449.9 ton tahun
2006. Untuk produksi perikanan laut tahun 2006 paling banyak ikan terbang
mencapai 67 ton. Sedangkan tahun 2007, produksi perikanan laut mencapai 849.9
ton atau meningkat sebesar 88.91% dibandingkan dengan tahun 2006. Produksi
perikanan laut tahun 2007 didominasi oleh jenis ikan pari dan tongkol.
sekitar 128 km, sehingga potensi perikanan laut masih terus dapat ditingkatkan.
Peralatan (kapal) penangkapan ikan oleh nelayan di TTS didominasi oleh jenis
perahu tanpa motor (86.32%) dan kapal motor (13.68%). Menurut jenis alat
(11.27%). Peluang-peluang usaha pengolahan ikan juga dapat terus dibina dan
ditingkatkan, baik atas bantuan Pemerintah Pusat maupun Daerah Provinsi NTT.
88
lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Undang-
TTS memberikan kontribusi kecil. Tahun 2006 sub sektor ini memberikan
kontribusi sebesar Rp 1.61 miliar (atas dasar harga berlaku) atau 0.2%.
menurut tata gunanya di tahun 2007. Dari tabel diketahui bahwa hutan produksi
tetap merupakan hutan yang paling luas (49.66%) di kabupaten TTS diikuti oleh
hutan lindung (34.59%) dan cagar alam (9.54%). Sedangkan hutan marga satwa
Tabel 31. Luas Kawasan Hutan Menurut Pola Tata Guna, Tahun 2007
Sampai dengan tahun 2007, terdapat enam komoditi hasil produksi hutan
(kayu) di wilayah Kabupaten TTS, yaitu kayu rimba campur olahan (3 037 961
89
m3), kayu jati olahan (1 405 739 m3), kayu papi (161.1ton), kayu merah (320 089
m3), kayu mahoni (121 571 m3) dan kayu cendana (20.9) ton. Sedangkan untuk
produksi non kayu untuk tahun 2007 asam 5 535 ton, kemiri 644.1 ton, gumbal
cendana 20.9 ton, minyak cendana 975 ton dan madu 3 224 liter.
32. Tabel tersebut menunjukkan bahwa produksi hasil hutan baik kayu maupun
non kayu menunjukkan trend yang positif selama periode waktu 2005-2007,
kecuali produksi kayu cendana dan gubal cendana yang mengalami penurunan.
Peningkatan produksi yang sangat tinggi terjadi pada produksi kayu merah dan
mahoni. Sedangkan peningkatan produksi untuk jenis non kayu adalah asam dan
minyak cendana. Asam dan minyak cendana merupakan juga komoditas unggulan
(Undana) yang dibiayai oleh Bank Indonesia Kupang tahun 2008 memberikan
rekomendasi beberapa Komoditi, Produk dan Jenis Usaha (KPJu) unggulan yang
Kabupaten TTS per sektor usaha adalah seperti yang tercantum pada Tabel 33
berikut ini.
Tabel 33. Rangking dan Sentra Produksi Komoditi, Produk dan Jenis Usaha
Unggulan per Sektor Usaha di Kabupaten Timor Tengah Selatan
No. Sektor Usaha/ Skor Terbobot* Kecamatan Sentra Produksi Tahun 2008**
KPJu Unggulan
Biofarmaka***
1 Kunyit 0.1589 Batuputih, Amanuban Timur, Nunkolo
2 Lengkuas 0.1509 Amanuban Timur, Batuputih, Nunkolo
3 Jahe 0.1353 Batuputih, Nunkolo, Amanuban Timur
4 Kencur 0.9374 Nunkolo, Amanuban Timur, Batuputih
5 Temulawak 0.3520 Batuputih, Amanuban Barat, Kualin
Peternakan
1 Sapi 0.3304 Pollen, Toianas, Fatumnasi
2 Babi 0.1282 Fatumnasi, Batu Putih, Amanuban Timur
3 Kambing 0.1217 Amanuban Timur, Kot'olin, Amanuban Barat
4 Ayam Kampung 0.1059 Amanuban Timur, Mollo Utara, Amanuban
Barat
5 Kuda 0.1012 Fatumnasi, Mollo Utara, Mollo Selatan
Perkebunan
1 Kelapa 0.1429 Amanuban Selatan, Amanatun Selatan, Batu
Putih
2 Jambu Mente 0.1382 Oenino, Fatumnasi, Amanuban Barat
3 Pinang 0.1307 Nunkolo, Kualin, Kuanfatu
4 Kemiri 0.1207 Amanuban Tengah, Mollo Utara, Kuanfatu
5 Kopi 0.1183 Mollo Utara, Fatumnasi, Mollo Selatan
Perikanan
1 Cakalang 0.1295 Perikanan laut di dominasi di bagian Selatan
2 Tongkol 0.1172 TTS, sehingga data per kecamatan tidak tersedia
3 Kakap 0.1163
4 Nila 0.1123
5 Peperek 0.1061
Kehutanan****
1 Asam (Ton) 3287 Tidak dibudidayakan, sehingga data per
2 Madu (Liter) 3027 kecamatan tidak tersedia.
3 Minyak Cendana 955
(Liter)
4 Gubal Cendana 79
(Ton)
5 Ampas Cendana -
(Ton)
Sumber: Data Primer, 2007-2008 (diolah) dan Bank Indonesia Kantor Cabang
Kupang, 2008.
Keterangan: * : Skor terbobot diadopsi dari hasil penelitian BI, tahun 2008
** : Berdasarkan rangking produksi dari tertinggi ke terendah
tahun 2008, diambil 3 kecamatan pertama dalam rangkingnya
*** : Berdasarkan produksi (Kg) tahun 2008, skor terbobot
tidak ada
**** : Berdasarkan produksi hasil hutan non kayu tahun 2007,
data skor terbobot tidak tersedia
92
2008), seluruh KPJu berada pada Kuadran I, yaitu mempunyai prospek dan
potensi saat ini yang sangat baik atau baik. Kedudukan KPJu unggulan di
faktor prospek dan potensi saat ini dapat digambarkan pada grafik kuadran
Keterangan:
1 Jagung
2 ubi kayu
3 Produk pertanian
4 Padi
5 Kacang Tanah
6 Kacang Kedelai
7 kelapa
8 Pinang
9 Asam
10 Kunyit
11 Jahe
12 Nila Merah
13 Mujair
14 Ekor Kuning
15 Cakalang
16 Penangkaran Benih
17 Jeruk Keprok SoE
18 Tenun
19 Kerajinan Ukiran Kayu
20 Mebel Kayu
21 Madu
22 Sapi
23 Hasil Ternak
24 Dagang Aneka Kerajinan
25 Hasil Pertanian
26 Dagang Elektronik
27 Hotel/Losmen
pada Tabel 34. Untuk tanaman pangan dan hortikultura fokus pengembangan
ditujukan pada tanaman jeruk keprok SoE, jagung, kacang tanah, produk
tembakau, jambu mente, kakao, kopi, kelapa, kemiri dan pinang. Tanaman
94
kehutanan diutamakan jarak dan asam. Peternakan difokuskan pada ternak sapi,
Hal penting yang perlu mendapat perhatian di masa datang adalah tingkat
produktivitas jagung saat ini (tahun 2009) masih 1.5 ton/ha, lebih rendah bila
halnya produk pertanian. Produktivitas saat mencapai 0.8 ton/ha atau 55% lebih
penggunaan bibit tanaman dan ternak dari produksi sendiri (bukan benih unggul),
sistem pengelolaan tradisional dan skala usaha yang masih kecil (kurang dari 1 ha
per kepala keluarga petani tanaman) dan strukur pasar yang oligopsoni (pasar
persaingan tidak sempurna di mana para pembeli jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan para petani produsen/penjual) sehingga harga kurang bersaing dan posisi
seperti yang tercantum pada Tabel 35. Penyebaran beberapa Lembaga Swadaya
dan di Kabupaten TTS secara khusus adalah seperti yang tertera pada Gambar 26.
95
KOMODITI LEMBAGA
Jeruk Keprok SoE Dinas Pertanian (PPL) TTS & Provinsi, LIPI, OECF, LSM Plan
Internasional, LSM Haumeni, LSM Alpha Omega, ACIAR, BPTP
NTT, PT Undana
Jagung Dinas Pertanian (PPL) TTS & Provinsi, Koperasi, LSM Haumeni,
LSM Alpha Omega, AusAid
Sapi Dinas Peternakan (PPL) TTS & Provinsi, Koperasi, LSM Alpha
Omega, AusAid
Kambing Dinas Peternakan (PPL) TTS & Provinsi, Koperasi, LSM Alpha
Omega, AusAid
Ayam Dinas Peternakan (PPL) TTS & Provinsi, Koperasi, LSM Alpha
Omega, AusAid
3* 12
11 19
1
1 2
2
1 11
19 2 19 14
3 2 19
9 1
2
5 2 2
16
4
2
19 18
6
15 7
19 6
17 19 3
13
6 5
17 8 17 17
18
10
19
6
4*
8 19
di bawah ini).
2. Veco (kacang tanah, kakao, kopi, beras organik, kopi dan Rumput Laut),
tahun 2005-2008.
Security), 2008-200.
19. WVI (rumput laut dan pertanian umum melalui program pengembangan
97
ekonomi).
pertanian secara umum dan khususnya jeruk keprok SoE di kabupaten TTS.
kapabilitas petani dan pemberdayaan kelompok tani yang ada di kabupaten TTS.
Kelompok Tani
lapangan yang perlu disiapkan dan dibina secara berkesinambungan agar mampu
kelembagaan. Jumlah kelompok tani yang telah dibentuk dan dibina oleh Dinas
Pertanian dan Ketahanan pangan Kabupaten TTS sampai dengan tahun 2009
1 203 buah, kelompok tingkat lanjut sebanyak 100 buah dan kelompok madya
Penyuluhan Pertanian
petani dari sistem dan pola pertanian tradisional menjadi pola pertanian agribisnis.
kabupaten TTS memiliki 183 orang penyuluh pertanian yang terdiri dari 137 org
pertanian) dan satu orang PPL yang dikontrak Pemerintah Daerah. Seluruh tenaga
Kebijakan Pemerintah Pusat menetapkan satu orang PPL untuk satu desa.
kekurangan tenaga PPL sebanyak 57orang (atau 57 desa yang belum mendapatkan
tenaga PPL). Selain kurangnya jumlah PPL, masalah tingkat pendidikan PPL di
kabupaten TTS adalah hal yang penting untuk diperhatikan. PPL yang
Pada bagian ini dibahas dua hal penting yang berkaitan dengan studi-studi
empiris terdahulu. Pada bagian pertama diawali dengan telaahan pustaka yang
berkaitan dengan metode stokastik frontier yang sudah banyak diaplikasikan oleh
99
tentang studi-studi terdahulu yang berkaitan dengan komoditas jeruk keprok SoE.
produktivitas dapat dibedakan atas perubahan teknologi (technical chage, TC) dan
merupakan ukuran relatif dari kemampuan manajerial untuk teknologi yang sudah
ada. Hal ini berarti bahwa efisiensi teknis terjadi karena adanya perbaikan pada
Model frontier dapat diklasifikasikan atas dua tipe yakni parametrik dan
atas dua yakni komponen yang merefleksikan inefisiensi (one-sided error) dan
komponen yang menangkap gangguan yang datang dari luar yang tidak dapat
dalam pendekatan primal dan dual, tergantung pada perilaku asumsi yang
fungsi biaya maupun fungsi keuntungan akhir-akhir ini mendapat perhatian yang
dibedakan atas dasar jenis data yang digunakan yakni data cross section dan data
panel.
tidak ada manfaat yang jelas untuk membedakan satu metode atas metode lainnya.
Tetapi hasil penelitian empiris dengan menggunakan data pertanian yang telah
dilakukan oleh Sharma dan Leung (2000), Wang dan Schmidt (2002) dan Udoh
bahwa pemilihan suatu metode yang khusus untuk analisis efisiensi dapat secara
Salah satu penelitian terbaru yang mencoba untuk mengatasi hal tersebut
adalah studi dari Bravo-Ureta et al. (2007). Secara detail, studi tersebut mencoba
mengkaji beberapa hal yakni: (1) apakah metode parametrik (baik deterministik
parametric, (2) apakah bentuk fungsi memiliki efek pada TE, (3) apakah model
data panel menghasilkan nilai mean TE yang sama dengan yang dihasilkan model
frontier dengan data cross section, (4) apakah nilai TE dari pendekatan primal
berbeda dengan pendekatan dual, (5) apakah model dengan ukuran contoh dan
jumlah variabel (banyak atau sedikit) memiliki pengaruh pada nilai TE, (6)
apakah nilai TE bervariasi antar jenis komoditas yang dianalisis, (7) apakah lokasi
geografis (Negara) menghasilkan mean TE yang spesifik, dan (8) apakah tingkat
101
jawaban atas permasalahan tersebut, Bravo-Ureta et al. (2007) mengkaji 191 hasil
estimasi yang dihasilkan oleh model parametrik fungsi stokastik frontier lebih
stokastik frontier adalah metode yang paling banyak digunakan oleh para peneliti
lebih detil pada bagian III (Kerangka Pemikiran) dari penelitian ini.
deterministik maupun stokastik frontier, hanya sedikit saja yang di arahkan pada
tanaman tahunan terutama komoditas jeruk. Dari 141 penelitian pustaka seperti
yang tercantum pada Lampiran tersebut, hanya empat (2.84%) yang melakukan
frontier dilakukan pada produk ternak dan susu (21%), disusul dengan penelitian
Secara terperinci tentang jumlah penelitian dan nilai mean efisiensi teknis
Tabel 36. Jumlah Penelitian dan Nilai Mean Efisiensi Teknis Berdasarkan
Kelompok Komoditas
Dari tabel tersebut diketahui bahwa nilai rata-rata efisiensi teknis yang
paling tinggi terdapat pada studi ternak dan susu (81.1), disusul dengan produk
lainnya (79.3). Sedangkan nilai mean efisiensi teknis untuk tanaman pangan
lainnya dan jagung adalah 77.5 dan 77.8 secara berturut-turut. Nilai mean efisiensi
teknis untuk jeruk yakni 72.61. Hasil penelitian Bravo-Ureta et al. (2007)
dipelajari peneliti, diikuti oleh ternak dan susu, padi, total pertanian, jagung dan
teknis tertinggi pada ternak dan susu (84.5%) dan terendah gandum (68.2%).
secara khusus hasil penelitian pada komoditas jeruk, kopi, teh dan pistachio
103
(semuanya adalah tanaman tahunan) akan diringkas seperti tercantum pada Tabel
37. Fokus kajian pada tabel tersebut adalah terutama tentang sampel, bentuk
Sumber: Lampiran 2.
tingkat efisiensi pada jeruk yang digunakan para peneliti tersebut di atas paling
bentuk fungsi Cobb-Douglas, Translog dan Probit. Data yang digunakan adalah
panel data.
tersebut adalah lahan, tenaga kerja, pupuk kandang, pupuk kimia, pestisida, air
adalah share tenaga kerja keluarga, share tanaman produktif, umur petani, kuadrat
umur petani, pengalaman petani, pelatihan pertanian, persepsi tentang air irigasi,
menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut ada yang berpengaruh nyata dan ada
(2007) yang menggunakan analisis efisiensi pada berbagai literatur fungsi frontier
parametrik, data panel dan cross section, bentuk fungsi Cobb-Douglas dan
106
hasil studi di atas menunjukkan bahwa nilai rata-rata mean efisiensi teknis untuk
parametrik deterministik. Beberapa studi seperti Kumbakar dan Lovell (2003) dan
Bravo-Ureta et al. (2007) juga menemukan bahwa nilai estimasi untuk model non
yang melakukan studi dengan menggunakan model non parametrik masih sedikit.
Dari berbagai studi yang ditelaah terdapat pola yang menarik untuk
fungsi yang paling banyak digunakan dalam berbagai studi terdahulu itu. Di
rata mean efisiensi teknis yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk fungsi
Namun hasil ini tidak signifikan secara statistik. Hal ini dipertegas lagi oleh hasil
studi Kopp dan Smith (1980), diacu dalam Bravo-Ureta et al. (2007) yang
perbedaan bentuk fungsi dalam analisis efisiensi dan produktivitas terdapat pada
Zellner et al. (1966), Hayami (1970), Ulvelling dan Fletcher (1970), Futan dan
Gray (1981), dan Kaneda (1982). Selain itu, di dalam model deterministik, nilai
rata-rata mean efisiensi untuk pendekatan primal menghasilkan nilai estimasi yang
Hasil kajian Battese dan Coelli (1992), Bravo-Ureta dan Pinheiro (1993),
dan Bravo-Ureta et al. (2007) memperlihatkan bahwa panel data secara umum
107
hasil estimasi dengan menggunakan data cross section. Namun, studi dari Greene
data (baik data panel maupun cross section) terhadap magnitut nilai analisis
efisiensi berdasarkan geografis (negara atau benua) dan ada juga yang membahas
perbedaan antar zona ekologi seperti Easter et al. (1977), Batteman et al. (1988),
Ali and Byerlee (1991), Roche (1994), Tadesse dan Krishnamoorthy (1997), Ray
(2004), Boshrabadi et al. (2006), Ogundari dan Ojo (2006) dan Bravo-Ureta et al.
(2007). Dari sekian banyak literatur ini tak satupun yang mengkaji efisiensi pada
jeruk berbasiskan letak geografi, zona ekologi atau agroekologi maupun skala
usaha.
ternyata tidak terdapat perbedaan yang berarti. Namun, distribusi gamma memiliki
nilai efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan lainnya (Bravo-Ureta dan
Pinheiro, 1993).
menggunakan prosedur satu atau dua langkah telah dilakukan oleh Kalirajan
(1991), Parikh dan Shah (1995), Battese dan Coelli (1995), dan Hallam dan
fungsi produksi frontier dan langkah kedua melakukan estimasi terhadap sumber-
sumber efisiensi.
Hal penting menarik lainnya dari berbagi pustaka di atas adalah tentang
berbagai studi adalah kemampuan para petani untuk mengambil keputusan dalam
hal, antara lain, pemilihan benih, pola tanam, tenaga kerja, tingkat dan waktu
penerapan pupuk dan pestisida serta teknik penanaman dan panen. Varibel-
variabel sosial ekonomi sebenarnya tidak merupakan bagian dari proses produksi
digunakan di dalam penjelasan tingkat variasi di dalam efisiensi teknis antara lain
Hasil studi dari Dhehibi et al. (2007) pada pengukuran dan sumber-sumber
teknis pada produksi jeruk di Tunisia adalah 86%. Hal ini menyarankan bahwa
translog menunjukkan bahwa lahan, tenaga kerja, pupuk dan biaya produksi
efisiensi teknis pada produksi jeruk di Tunisia adalah share tanaman produktif,
studi ini ditemukan juga bahwa fungsi translog lebih baik digunakan untuk
Dari kajian terhadap berbagai literatur tersebut dapat pula dikatakan bahwa
para peneliti kurang sekali memperhatikan aspek skala usahatani dan aspek zona
efisiensi antara skala usahatani kecil dan skala besar (Tadesse dan Krisnamoorthy,
efisiensi produksi (Easter et al., 1977; Kaneda, 1982; Bateman et al., 1988; Ali
dan Byerlee, 1991; D’Sounza et al., 1993; Ogundari dan Ojo, 2006; dan
terhadap estimasi nilai efisiensi antar skala usahatani dan zona agroklimat di
110
daerah lahan kering. Hal ini akan menentukan kebijakan pembangunan pertanian
yang khas daerah lahan kering dan khususnya pengembangan jeruk keprok di
masa datang.
komparatif dan kompetitif dan sangat cocok untuk dikembangkan di Pulau Timor
khusunya di Kabupaten TTS. Komoditi ini mempunyai prospek yang sangat baik
pemerintah Provinsi NTT telah membangun dua pusat Balai Benih di Pulau Timor
(satu untuk budidaya jeruk dataran tinggi dan yang lainnya untuk budidaya jeruk
dataran rendah). Balai-balai benih ini mensuplai bibit jeruk keprok yang
pemerrintah NTT telah menjalin kerja sama dengan pemerintah Jepang dalam
proyek Overseas Economic Cooperation Fund (OECF) yang sudah berjalan sejak
tahun 1997 dan berakhir 2002. Kegiatan utama proyek kerja sama ini adalah pada
Kabupaten TTS mencatat bahwa luas pemanenan jeruk keprok SoE di Kabupaten
TTS pada tahun 1997 adalah sebesar 1 709 ha dengan produksi sebesar 9 316 ton.
Kisaran produksi per pohonnya adalah 26-30 kg (kira-kira 156-180 buah per
pohon dengan rata-rata 6-7 buah per kg dengan diameter buah rata-rata 5-7.5 cm).
111
Catatan produksi ini masih jauh berada di bawah produksi potensial yang bisa
keprok SoE ini diakibatkan oleh adanya berbagai faktor seperti teknik budidaya
yang sangat sederhana. Hanya dua persen saja petani yang memakai pupuk kimia
seperti urea dan TSP, dan pestisida. Sebagian besar (75%) petani memakai pupuk
kandang. Hama dan penyakit tanaman jeruk dibiarkan secara alamiah, tanpa
adanya perhatian dan perlakuan khusus dari petani. Hal ini bisa dipahami karena
Hasil penelitian Pellu et al. (2001) tentang nilai ekonomi jeruk keprok SoE
kontribusinya sangat besar (75%) terhadap total pendapatan rumah tangga petani
jeruk di kabupaten TTS. Sedangkan penelitian Milla et al. (2002) dan Yusuf et al.
(2009) merekomendasikan bahwa jeruk keprok SoE secara finansial sangat layak
untuk dikembangkan di daerah TTS bagian Selatan dan Utara. Dari segi preferensi
kota Kupang menunjukkan bahwa jeruk keprok SoE sangat disukai oleh
konsumen dalam hal warnanya yang kuning keemasan, rasa manis, tekstur lembut
dan mudah dikupas (Mason et al., 2002 dan Adar et al., 2005). Namun, sistem
pemasaran (teknologi, strategi dan supply chain) jeruk keprok SoE ini sangat
perlu untuk diperbaiki agar lebih efisien dan membawa keuntungan yang lebih
112
besar bagi petani jeruk itu (Wei et al., 2001; Woods et al., 2002; Adar et al.,
2005).
International; Suek et al., Pellu et al., Milla et al., Adar et al. dan Mason et al.,
analisisnya masih bersifat parsial saja, dan hampir semua menyarankan bahwa ada
internasional maupun di Indonesia, pada jeruk umumnya dan jeruk keprok SoE
pada khususnya, maka penelitian ini merupakan hal yang sangat penting untuk
dilaksanakan.
produksi sampai pada tingkat konsumen akhir. Penelitian yang akan dilakukan ini
adalah merupakan hal yang sangat penting bagi program pembangunan pertanian
khususnya jeruk keprok SoE di Kabupaten TTS, Provinsi NTT. Kajian empiris
yang dominan pada lahan sawah (lahan basah), khususnya padi dan jagung. Selain
produksi stokastik frontier lebih banyak memakai pendekatan primal dan data
panel yang khas daerah subtropis, tanpa memperhatikan skala usaha dan zona
fungsi produksi stokastik frontier dengan pendekatan dual dan data cross-section,
khas tanaman tahunan, antar skala dan zona spesifik daerah lahan kering. Jeruk
113
keprok SoE ini tidak dapat tumbuh baik jika dibudidayakan di tempat lain, selain
berikut:
2. Berdasarkan data potensi dan prospek, jeruk keprok SoE merupakan komoditas
keprok SoE secara finansial layak untuk dikembangkan di daerah dataran tinggi
3. Studi terdahulu pada jeruk sangat sedikit. Dari beberapa studi yang ada itu,
agroklimat.
dengan data cross section, dengan memperhatikan ukuran usahatani dan zona
agroklimat daerah lahan kering. Penggunaan data cross section pada tingkat
SoE. Ada suatu harapan bahwa pengambilan data primer pada tingkat usahatani
(on farm research) dapat memberikan kegunaan langsung bagi petani dan
Dengan demikian, penggunaan data panel untuk studi jangka pendek seperti
penelitian untuk disertasi ini agak sulit untuk dibuat. Akhirnya diharapkan
yang khas tanaman tahunan tropis di daerah lahan kering. Secara ringkas
Dua bagian penting yang dibahas pada Bab ini yakni tentang kerangka
teori dan kerangka pemikiran operasional yang dipakai di dalam penelitian jeruk
Fokus utama pembahasan pada bagian ini adalah pada telaahan kerangka
teori yang mendasari pemilihan metode dan pendekatan yang digunakan untuk
bagian yakni sistem produksi satu output dengan satu input produksi atau dengan
multi input, atau multi input dengan multi output. Berbagai sistem anlisis produksi
tersebut memakai konsep fungsi produksi yang sama. Konsep fungsi produksi
(production function) sudah banyak dibahas oleh para ahli ekonomi pertanian
yang antara lain oleh Doll dan Orazem (1984), Debertin (1986), Binger dan
Hoffman (1988), dan Bettie dan Taylor (1994). Dari semua konsep diketahui
116
antara sejumlah input yang digunakan dengan output yang dihasilkan dalam suatu
dihadapi oleh suatu perusahaan. Dalam suatu proses produksi terdapat banyak
digunakan dalam analisis fungsi produksi, karena analisis ini hanya merupakan
produksi pertanian terdapat variabel peubah tak bebas (dependent variable) (Y)
(independent variable) (X); atau dalam bentuk umumnya Y = f(X). Lebih lanjut
usahatani.
atau produsen. Jika diasumsikan bahwa faktor produksi adalah homogen dan
informasi tersedia lengkap (sempurna) tentang teknologi yang ada, maka fungsi
produksi mewakili sejumlah metode untuk menghasilkan output. Lebih jelas lagi,
fungsi produksi menunjukkan jumlah maksimum output yang bisa dicapai dengan
yang tidak jauh berbeda dengan definisi fungsi produksi dan banyak digunakan
menekankan kepada kondisi output maksimum yang dapat dihasilkan dalam suatu
proses produksi.
pertama, kondisi di mana produk rata-rata atau avarage product (AP) meningkat,
daerah ini dikatakan sebagai daerah yang irasional atau daerah tidak atau belum
efisien; tahap kedua, kondisi yang ditandai memuncaknya kurva produk rata-rata
atau Marginal Product (MP) tetapi masih positif, daerah ini disebut daerah yang
rasional atau efisien; dan tahap ketiga, kondisi yang ditandai menurunnya produk
marginal (MP negatif), daerah ini disebut sebagai daerah yang tidak rasional atau
Skala ekonomi usaha merupakan respon dari perubahan output yang dihasilkan
faktor produksi ke-i (∑E pi ) maka ada tiga kemungkinan keadaan fase pergerakan
elastisitas produksi dari faktor produksi ke-i lebih besar dari satu (∑E pi > 1).
faktor produksi ke-i lebih kecil dari satu (∑Epi < 1).
teknis produksi yang akan dicapai dapat ditangkap dan dijelaskan dengan bantuan
juga dapat ditangkap pada saat yang bersamaan. Di samping itu juga dapat
data dan sifat dari beberapa variabel yang tidak dapat terukur (faktor eksternal)
Nusa Tenggara Timur sudah lama diusahakan oleh petani, maka analisis terhadap
Konsep dan pengukuran efisiensi merupakan suatu hal yang penting (Farrell,
1957). Masalah pengukuran efisiensi produksi dari suatu industri merupakan hal
penting baik untuk tujuan pengembangan teori ekonomi maupun bagi kepentingan
teoritis terhadap efisiensi secara relatif dari sistem-sistem ekonomi yang berbeda-
beda hendak dijadikan uji empiris, maka sangatlah perlu untuk membuat beberapa
mengetahui seberapa besar kenaikan output yang diharapkan dari industri tersebut
hubungan antara input dan output suatu industri. Secara tegas dinyatakan bahwa
di mana y adalah output industri dan x adalah input yang digunakan untuk
produksi. Perhitungan efisiensi secara relatif dapat dilakukan terhadap fungsi ini.
Secara khusus, inefisiensi teknis ditentukan oleh jumlah deviasi dari fungsi
suatu industri untuk beroperasi pada fungsi produksi (frontier). Hal ini
menunjukkan inefisiensi yang disebabkan oleh waktu dan metode dari aplikasi
inefisiensi teknis adalah informasi yang tidak lengkap, keterampilan teknis yang
Pengertian efisiensi di dalam tulisan ini diambil dari tulisan Farrell (1957),
diacu dalam Coelli et al. (1998). Farel memperkenalkan bahwa efisiensi terdiri
optimal pada harga dan teknologi produksi yang tetap (given). AE merupakan
minimisasi rasio biaya dari input. Gabungan kedua efisiensi ini disebut efisiensi
ekonomi (Economic Efficiency-EE) atau disebut juga efisiensi total. Hal ini berarti
bahwa produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan baik secara teknis maupun
menggunakan contoh sederhana dari suatu industri yang menggunakan hanya dua
y = f ( x1 , x2 ) ........................................................................................... (3.2)
dapat ditulis:
Asumsi CRS dibuat dengan catatan bahwa fungsi produksi itu sudah
sangat efisien (beroperasi pada skala optimal) pada daerah dua dari fungsi
meningkat dengan proporsi yang sama). Suatu fungsi produksi homogen derajat n
akan menghasilkan suatu return to scale parameter dari suatu nilai n yang
untuk menghasilkan output yang sama), seperti yang diilustrasikan pada Gambar
27 berikut ini. Asumsi CRS ini dinyatakan secara eksplisit untuk menunjukkan
x2/y
xa
P xb
xc
xe
Io
P
0 x1/y
Pada Gambar 27, Io adalah isoquant dan garis PP adalah garis isocost
(kombinasi input yang dapat dibeli dengan anggaran yang sama). Titik X a secara
teknis tidak efisien dan titik X b secara teknis efisien karena terletak pada isoquant,
tetapi secara alokatif tidak efisien. Titik X c secara teknis tidak efisien tetapi secara
alokatif efisien karena menempati kombinasi harga input yang efisien pada garis
isocost PP. Titik X e secara teknis dan alokatif efisien atau disebut juga efisien
secara ekonomis. Jarak antara titik X c dan X b adalah besarnya biaya yang
tempat kombinasi penggunaan input yang efisien secara teknis dan alokatif.
Dari gambar di atas juga diketahui bahwa ketiga efisiensi (TE, AE dan EE)
0X b 0X c 0X c
TE = ; AE = dan EE = ...................................... (3.4)
0X a 0X b 0X a
Perlu diingat bahwa ketiga nilai efisiensi tersebut berkisar antara 0 dan 1, di mana
efisiensi ekonomi dapat dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama, apabila biaya
yang tersedia sudah tertentu besarnya, maka menggunakan input secara optimal
hanya dapat dicapai dengan cara memaksimumkan output. Kedua, jika output
yang akan dicapai sudah tertentu besarnya, optimasi dari proses produksi hanya
efisiensi produksi adalah non parametrik dan parametrik (Coelli et al., 1998).
Pendekatan parametrik untuk estimasi fungsi produksi, fungsi biaya atau profit
terdiri dari spesifikasi bentuk fungsi parametrik dan penggunaan beberapa metode
data empiris untuk mengestimasi parameter dari fungsi tersebut. Kekuatan utama
atau actual dari usahatani dan komponen-komponen acak (noise) yang adalah
stokastik dan bukan karena operator inefisiensi. Selain itu, metode parametrik
mengijinkan uji statistik seperti uji hipotesis atas struktur produksi dan tingkat
secara eksplisit bentuk fungsi yang menggambarkan teknologi yang ada, asumsi
(1957) dikenal juga sebagai Data Envelopment Analysis (DEA). Metode ini telah
banyak diaplikasikan oleh, untuk menyebutkan beberapa, Charles et al. (1981) dan
Färe dan Lovell (1978), diacu dalam Bravo-Ureta et al. (2007) yang melibatkan
analisis multi input, multi output dan variasi skala penerimaan (Variabel Retrun
pendekatan non parametrik ini adalah tidak menghendaki bentuk fungsi yang
deterministik dan mengasumsikan bahwa semua deviasi dari frontier adalah akibat
terjadinya inefisiensi.
Rasio output dari usahatani ke-i yang diteliti secara relatif terhadap output
potensial yang didefinisikan dengan fungsi frontier, dengan vektor input x i yang
digunakan untuk mendefinisikan efisiensi teknis dari usahatani ke-i adalah sebagai
berikut:
yi exp( xi β − ui )
TEi = = = exp(−ui ) ............................................. (3.6)
exp( xi β ) exp( xi β )
yang memakai nilai yang berada diantara 0 dan 1. Nilai 0 menunjukkan bahwa
deviasi dari frontier disebabkan oleh gangguan statistik dan nilai 1 menunjukkan
bahwa deviasi tersebut disebabkan oleh adanya inefisiensi teknis. Ukuran ini
menunjukkan magnitut dari output dari usahatani ke-i relatif terhadap output yang
efisien dari pemakaian vektor input yang sama. Efisiensi teknis yang digambarkan
dengan rumus (3.6) di atas dapat diestimasi dengan rasio output yang diteliti yakni
125
y i , terhadap nilai estimasi dari output frontier yakni exp( xi β ) yang diperoleh dari
∑ u diminimisasi,
i =1
i terhadap kendala ui ≥ 0, i =1,2,...........N . Farrell juga
efficiency 1). Efisiensi teknis merefleksikan suatu kemampuan dari suatu usahatani
untuk mendapatkan output maksimum dari penggunaan suatu set input. Efisiensi
usahatani secara proporsional pada tingkat harga tertentu. Kedua ukuran efisiensi
usahatani yang sangat efisien sudah diketahui. Namun dalam praktek, hal ini sulit
dijumpai. Oleh karena itu Farrell menyarankan bahwa fungsi produksi dapat
diestimasi dari data sample dengan menggunakan baik non parametrik maupun
Selanjutnya Coelli et al. menjelaskan tentang hasil studi dari Aigner dan
1
Farrell menggunakan istilah efisiensi harga (price efficiency) untuk efisiensi alokatif dan
menggunakan istilah efisiensi total (overal efficiency) untuk efisiensi ekonomis. Namun dalam
disertasi ini, akan digunakan istilah efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis. Hal ini sesuai
dengan istilah yang sudah lazim digunakan di dalam tulisan ilmiah akhir-akhir ini.
126
Kelompok frontier ini deterministik karena output dibatasi dari atas oleh fungsi
produksi yang tidak stokastik. Ini berbeda dengan pendekatan non parametrik
di mana
usahatani ke-i;
Pendekatan ini dikembangkan lebih lanjut antara lain oleh Forsund, et al.
adanya noise dan dugaan yang dihasilkan tidak memiliki properti statistika, dan
(2) sukar diterapkan untuk usahatani yang outputnya lebih dari satu.
127
yang selanjutnya dikembangkan oleh Richmond (1974) dan Greene (1980). Tidak
et al. (1998) menspesifikasi model yang serupa dengan persamaan (3.6) di atas,
tidak bias untuk slope parameter, tetapi penduga OLS dari intercept β 0 yang bias
distribusi kesalahan pengganggu yang diperoleh dari residual OLS. Coelli et al.
terpotong diatas nol. Distribusi parameter tunggal lainnya yang sudah banyak
mean U i , diturunkan dari momen residual OLS, dan bukan mengadopsi prosedur-
128
(2000).
adalah hasil analisis dapat diuji kelayakan statistiknya. Sementara itu, kelemahan
pendekatan ini terletak pada diperlukannya bentuk fungsional tertentu dan semua
Satu kritik utama dari model deterministik frontier tersebut adalah tidak
terhadap frontier. Semua deviasi dari frontier diasumsikan sebagai hasil dari
reduced sampel. Hal ini dikenal dengan pendekatan probabilistic frontier, namun
Least Square (LS), Total Factor Productivity (TFP), Data Envelopment Analysis
(DEA) dan Stochastic Frontier (SF) (Coelli et al., 1998) secara ringkas dapat
disajikan pada Tabel 38. Metode-metode tersebut berbeda satu dengan lainnya
tersebut dapat dilihat pada Coelli et al., 1998). Secara khusus, kelebihan dan
kelemahan dari fungsi stochastic frontier dapat diikuti pada sub bagian berikut ini.
129
Metode Karakteristik
Metode Karakteristik
parametrik dan non parametrik) adalah konsep deterministik dan stokastik. Model
bahwa deviasi dari frontier disebabkan oleh adanya inefisiensi. Sedangkan analisis
teknis dari output frontier disebabkan oleh faktor-faktor khusus (faktor internal)
atau faktor-faktor eksternal acak. Model produksi stokastik frontier ini dibedakan
antara lain oleh Schmidt (1977), Forsund et al. (1980), Schmidt (1986), Schmidt
dan Lovel (1979), Callan (1987), Ball (1985), Battese (1992), Lovell (1996),
akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan model
yang sama sebagai akibat dari penggunaan metode produksi yang berbeda.
produksi antar perusahaan atau industri. Kedua, adanya variasi proses produksi
tersebut terdapat dua jenis error term yakni vi dan ui . Kesalahan pengganggu
pada nilai-nilai dari variabel output, bersama-sama dengan kombinasi efek dari
bernilai non negatif dan berkaitan dengan faktor internal yang diduga
non negative truncation dengan rata-rata µ i dan varians σ u2 . Lovell dan Schmidt
variabel acak normal dengan mean 0 dan varians konstan ( σ v2 ) bebas dari ui yang
distribution.
stokastik frontier karena nilai-nilai output dibatasi oleh variabel stokastik (acak),
133
diilustrasikan dalam dua dimensi seperti tercantum pada Gambar 28 (Coelli et al.,
1998). Input x pada sumbu horisontal dan output y pada sumbu vertikal.
Hasil observasi output dan input dari dua usahatani i dan j telah digambarkan.
output yang diobservasi ditandai dengan titik x. Nilai dari output stokastik frontier
deterministik. Hal ini bisa terjadi karena aktivitas produksinya dipengaruhi oleh
oleh keadaan yang tidak menguntungkan yakni variabel v j negatif. Tentu output-
output stokastik frontier y i * dan y j * adalah tidak dapat diamati karena kesalahan
pengganggu acak vi dan vj tidak dapat diamati. Tetapi bagian deterministik dari
model stokastik frontier pasti terletak diantara output stokastik frontier. Pada
kedua kasus tersebut, hasil produksi petani berada di bawah fungsi produksi
y
Frontier output (yi*)
Fungsi produksi
y = exp( xi β + vi ) if vi >0
y = exp( xβ ) >0
B
A
Frontier output (yj*)
yj x y = exp( x j β + v j ) if v j <0
yi x
0 xi xj x
dengan COLS tetapi properti dari kedua estimator tersebut dalam contoh yang
finit secara analitik tidak dapat ditentukan. Bukti empiris yang telah dikaji oleh
Coelli dan kawan-kawan itu menunjukkan bahwa ML secara signifikan lebih baik
dibandingkan dengan COLS ketika kontribusi dari efek inefisiensi teknis terhadap
total variansnya lebih besar dibandingkan dengan hasil dari COLS. Jadi metode
dalam kaitannya dengan penggunaan data sampel yang berbeda. Berdasarkan hal-
hal tersebut di atas, maka penelitian efisiensi jeruk keprok SoE ini dan juga pada
penelitian tanaman tahunan seperti yang sudah dibahas pada Bab II terdahulu
akan dibahas fungsi Cobb-Douglas dan translog karena kedua fungsi ini yang
fungsi lainnya dapat ditelaah pada berbagai literatur ekonomi produksi (Debertin,
n
y = β 0 ∑ xij
βj
.................................................................................... (3.9)
j =1
elastisitas produksi yang bersifat tetap, (3) teknologi yang digunakan dalam proses
produksi adalah sama, dan (4) adanya interaksi antara faktor-faktor produksi yang
memiliki parameter yang dapat diduga dengan metode kuadrat terkecil (least
karena dapat dibuat menjadi bentuk linier dan dapat dilakukan dengan perangkat
lunak komputer dan (3) jumlah elastisitas dari masing-masing faktor produksi atau
(1) elastisitas produksinya konstan, (2) elastisitas substitusi input bersifat elastis
sempurna, (3) elastisitas harga silang untuk semua faktor dalam kaitannya dengan
harga input lain mempunyai arah dan besaran yang sama, (4) elastisitas harga
permintaan input terhadap harga output selalu elastis dan (5) meskipun parameter
dalam fungsi produksi Cobb-Douglas sangat mudah untuk diestimasi dari data
Coelli et al., 1998). Hal ini lebih banyak dikarenakan oleh kesederhanaannya.
Suatu transformasi logaritma melengkapi suatu model yang adalah linear di dalam
ini diestimasi. Kesederhanaan ini merupakan juga suatu keterbatasan dari properti
input dan skala penerimaan yang konstan. Demikian juga jumlah elastisitas
137
substitusi dari fungsi Cobb-Douglas adalah satu (Zellner et al., 1966; Chand dan
Kaul, 1986).
literatur frontier. Dua bentuk fungsi alternatif yang sangat popular adalah
production function (seperti studi dari Forsund et al., 1980; dan Kumbakar, 2002),
dalam bentuk sistem seperti sistem persamaan antar efisiensi teknis dan inefisiensi
teknis produksi suatu usahatani. Namun hal ini memerlukan perhitungan yang
sangat kompleks (Coelli et al., 1998). Fungsi produksi translog diperkenalkan oleh
di mana
diasumsikan positif, (2) fungsi tidak pernah mencapai maksimum jika tingkat
input yang digunakan terbatas, (3) nilai elastisitas substitusi tidak selalu satu dan
138
(4) bentuk isoquant Translog tergantung pada parameter β ik, jika parameter β ik
substitusinya sama dengan satu tetapi jika parameter β ik meningkat, maka output
juga akan meningkat secara nyata jika input-input yang digunakan tetap.
mewakili data secara memadai. Uji ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji
menggunakan bentuk fungsi translog antara lain adalah: (1) bentuk fungsi adalah
fleksibel dalam arti bahwa bentuk fungsi tersebut dapat mengakomodasi berbagai
struktur produksi, 2) restriksi lebih sedikit pada elastisitas produksi dan elastisitas
antara lain adalah: (1) lebih sulit untuk menginterpretasi, (2) dalam mengestimasi
masalah derajad bebas dan multikolinearitas dan (3) dapat menderita dari
Secara matematik nilai harapan (mean atau nilai rata-rata) dari efisiensi
teknis yakni TE i =exp(-u i ) dapat dihitung untuk asumsi-asumsi distribusi yang ada
untuk efek efisiensi teknis. Jika u i s adalah i.i.d variabel-variabel acak yang
[ ( )] (
E[exp(− ui )]= 2 1 − φ σ γ exp γσ
2
2 ) ......................................... (3.11)
139
di mana φ (⋅) adalah fungsi distribusi dari variabel acak standar normal dan
masing sebagai varians populasi dan varians dari u. Penduga ML untuk mean
alternatif untuk mean efisiensi teknis adalah rata-rata aritmatik dari prediktor
yang dihitung oleh program FRONTIER. Tetapi rata-rata aritmatik bisa saja tidak
Hal ini melibatkan efek inefisiensi teknis, u i , yang tidak bisa diamati. Walaupun
nilai sebenarnya dari vektor parameter β dari model stokastik frontier diketahui,
φ (γei σ A )
E [u i ei ]= γei + σ A ..................................................... (3.12)
1 − φ (γei σ A )
variabel acak standar normal. Battese dan Coelli (1988) menunjukkan bahwa
prediktor terbaik untuk exp(-u i ) atau estimasi untuk efisiensi teknis dari setiap
140
persamaan (3.13).
1 − φ (σ A + γei σ A )
TEi = E [exp(ui ) ei ]=
1 − φ (γei σ A )
( )
exp γei + σ A2 / 2 ................. (3.13)
3. Menggunakan nilai dari β , σ 2 dan γ dari langkah pertama dan kedua untuk
diperoleh bersamaan dengan nilai tengah efisiensi teknis model tersebut. Model
persamaan (3.14).
Yi
TEi = = exp(−u i )
[ f ( X i ; β ) exp(vi )] ........................................... (3.15)
bahwa efisiensi suatu usahatani dibedakan efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis.
Efisiensi teknis ditentukan oleh berbagai variabel faktor internal dan eksternal
petani yakni perubahan teknologi yang tidak merubah proporsi faktor produksi
dan tidak merubah daya substitusi teknis antar input. Efisiensi alokatif, termasuk
Faktor-faktor eksternal dapat dikategorikan atas dua yakni (1) strictly external,
karena mutlak berada di luar kendali petani (seperti iklim, hama dan penyakit
tanaman) dan (2) quasi external, karena dengan suatu tindakan kolektif, intens dan
infrastruktur).
efisiensi usahatani.
2000). Metode pertama adalah prosedur dua tahap. Tahap pertama adalah estimasi
nilai efisiensi atau efek-efek inefisiensi untuk usahatani individu setelah estimasi
fungsi produksi frontier. Tahap kedua adalah estimasi model regresi di mana nilai
yang diaplikasi oleh Battese dan Coelli (1992), dan Coelli et al. (1998).
Persoalan pendekatan mana yang lebih baik, apakah prosedur dua tahap
atau satu tahap, di dalam literatur frontier adalah masih belum terselesaikan dan
membutuhkan penelitian empiris yang lebih lanjut (Admassie, 1999, diacu dalam
Bravo-Ureta et al., 2007). Prosedur dua langkah telah banyak digunakan untuk
meneliti sumber TE dalam berbagai studi (Hallam dan Machado, 1996; Kalirajan,
1984, 1990 dan 1991; dan Parikh dan Shah, 1995). Pendekatan ini dikritik oleh
secara langsung dalam model frontier produksi karena variabel semacam ini
mungkin memiliki dampak langsung terhadap efisiensi (Battesse dan Coelli, 1988,
1992 dan 1995; Kumbhakar dan Lovell, 2003; dan Kumbhakar dan Tsionas,
2005). Battese dan Coelli (1995) dan Coelli, et al. (1998) menyatakan bahwa
produksi stokastik dan model inefisiensi secara simultan, dengan kondisi efek
Kalirajan dan Flinn, 1983; dan Kalirajan, 1981 telah mempertahankan prosedur
dua langkah dengan menekankan bahwa atribut sosial ekonomi mempunyai efek
144
langsung.
Eficiency Effect Model (TE Effect Model) yang digagas oleh Battese dan Coelli
(1995) maupun Yao dan Liu (1998). Model ini mengestimasi besarnya nilai
Version 4.1 (Coelli, 1996; Coelli dan Parelman, 1996a dan 1996b; dan Coelli et
al., 1998) dengan pilihan TE Effect Model. Sebelum ditemukannya program ini,
dimana:
Model yang dispesifikasi oleh Coelli, et al. (1998) yakni spesfikasi efek-
secara independen (tapi tidak identik) dari variabel-variabel acak yang non
145
negatif. Untuk usahatani i dalam tahun t, efek inefisiensi teknis u it diperoleh dari
1xM dari varibel-variabel bebas yang diamati yang memiliki nilai tetap konstan,
dan δ adalah vektor Mx1 dari parameter-parameter yang tidak diketahui untuk
Distribusi truncated normal dimulai dari perpotongan di atas titik nol dari
distribusi normal dengan mean µ dan varians σ 2 . Hal ini berimplikasi bahwa
terdapat peluang tertinggi untuk efek-efek inefisiensi berada sekitar titik nol. Ini
dalam gilirannya berimplikasi bahwa secara relatif terdapat efisiensi teknis yang
tinggi. Di dalam dunia nyata terdapat kemungkinan ada sedikit usahatani yang
setengah normal. Perlu dicatat bahwa terdapat berbagai bentuk ukuran distribusi,
tergantung pada besaran dan tanda dari µ. Estimasi Distribusi truncated normal
dari fungsi produksi stokastik frontier melibatkan estimasi dari parameter µ dan
suatu model yang cukup baik untuk merepresentasikan data, karena model
146
hipotesis nol dapat dilakukan baik dengan uji Wald maupun LR test.
nol (Ho) yakni tidak ada efek inefisiensi teknis di dalam model tersebut.
Pernyataan ini dapat diuji dengan menyusun hipotesis nol dan hipotesis
estimasi. Dengan kata lain, Wald test menunjukkan rasio nilai gamma ( γ ) dengan
nilai standar error hasil estimasi. Jika Ho: γ = 0 benar dan diterima, maka
dari efisiensi teknis di dalam residual total. Sejak diperkenalkan, tes statistik ini
telah dilaksanakan dalam hampir setiap analisis empiris yang memakai model
pendekatan stokastik frontier. Aigner dan Chu (1968) menemukan bahwa statistik
Wald memberikan nilai yang sangat kecil (insignifikan). Selain itu, Coelli (1995)
juga mendapatkan hasil bahwa statistik Wald memiliki properti ukuran yang
sangat buruk. Oleh karena itu disarankannya untuk menggunakan uji generalized
Untuk mendeteksi ada-tidaknya efek inefisiensi teknis di dalam model, tes LR ini
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan jenis tes lainnya (Wollni,
2007). Uji statistik ini dihitung dengan memakai formula pada persamaan (3.18)
sebagai berikut:
147
nol dan hipotesis alternatifnya. Tolak H 0 jika LR > χ 2 restriksi (Tabel 1 Kodde dan
Palm, 1986) dan sebaliknya, H 0 diterima jika LR < χ 2 restriksi (Tabel 1 Kodde dan
bahwa efek inefisiensi teknis tidak ada di dalam model fungsi produksi tersebut.
Jika hipotesis nol ini diterima, maka model fungsi produksi tersebut sudah cukup
mewakili data empiris (Coelli et al., 1998). Villano dan Fleming (2005)
menekankan bahwa jika γ = 0 dan semua koefisien dari δ adalah 0, maka produksi
stokastik frontier adalah sama dengan fungsi produksi rata-rata (OLS) yang tidak
(1968) dan Jondrow et al. (1982) akan memberikan nilai perkiraan varians dalam
σ 2 = σ v2 + σ u2 ................................................................................. (3.19)
dan
σ u2
γ= .............................................................................................. (3.20)
σ2
parameter γ ini merupakan kontribusi dari efisiensi teknis terhadap efek residual
model stokastik frontier diprogram di dalam FRONTIER dan disebut model 2 atau
model efek efisiensi teknis (TE) yang dianalisis secara simultan (satu tahap).
dari koefisien hasil estimasi seperti halnya pada fungsi Cobb-Douglas. Oleh
produksi adalah seperti petunjuk Greene (2000) dan Wollni (2007) (persamaan
usahatani jeruk keprok SoE. Dengan demikian, maka jika jumlah elastisitas > 1
dikatakan increasing return to scale; jika = 1 constant return to scale dan jika < 1
∂ ln Y n
E Xk : = β k + β kk ln X k + ∑ β kj ln Xj .................... (3.21)
∂ ln X k j≠k
di mana:
E Xk : elastistas dari input X k
βk : koefisien estimasi dari input X k
X k dan X j : jumlah rata-rata penggunaan dari jenis input k dan j
n : jumlah variabel-variabel input yang berinteraksi
tanaman pangan terutama padi dan jagung yang merupakan tanaman semusim.
Penelitian efisiensi teknis jeruk belum pernah dilakukan di Indonesia. Dari 141
hasil penelitian (baik nasional maupun internasional) yang telah direview pada
Bab II, penulis hanya menemukan empat studi efisiensi yang berbasiskan
komoditas andalan di provinsi NTT merupakan suatu hal yang sangat penting dan
Dari tinjauan teoritis dan telaahan studi terdahulu, penelitian yang telah
sebelumnya pada beberapa hal berikut ini. Pertama, Studi terdahulu pada
komoditas pertanian pada umumnya dan khusus pada jeruk menggunakan data
sekunder dengan jenis data panel. Namun studi yang telah dilakukan ini
merupakan terobosan baru dengan menggunakan data primer (on farm) dengan
jenis data cross section. Keunggulan pendekatan data primer ini adalah pemberian
menggunakan Technical Efficiency Effect Model (TE Effect Model) dengan fungsi
yang lebih fleksibel (translog). Keempat, penelitian ini menganalis efisiensi teknis
produksi pada basis perbedaan zona agroklimat dan ukuran usahatani jeruk yang
Estimation (MLE) dengan pendekatan stokastik frontier pada data cross section di
daerah lahan kering; sekaligus melihat perbedaan tingkat efisiensi usahatani jeruk
pada zona agroklimat ekstrim basah (dataran tinggi) dan ekstrim kering (dataran
sebagai akibat dari kemampuan manajerial petani yang kurang memadai, bisa
dijelaskan. Usahatani jeruk keprok SoE dipusatkan pada dua zona agroklimat
yakni zona dataran tinggi dan dataran rendah dan beroperasi pada ukuran
usahatani yang beragam antar petani. Zona agroklimat dicirikan terutama oleh
ketinggian tempat dari permukaan laut (dpl) dan jumlah bulan basah-bulan kering.
Zona dataran tinggi adalah daerah yang terletak di atas 500 m dpl dengan jumlah
bulan basah lebih dari lima bulan dan jumlah bulan kering tidak lebih dari tujuh
bulan dalam setahun. Sedangkan zona dataran rendah adalah daerah yang terletak
≤ 500 m dpl dengan jumlah bulan basah tidak lebih dari lima bulan dan jumlah
usahatani, tingkat persaingan usaha dan kelembagaan petani (Wollni, 2007) yang
pengembangan jeruk keprok SoE di TTS sejak lima tahun terakhir ditujukan pada
daerah spesifik dataran tinggi dan dataran rendah. Kedua zona tersebut merupakan
kawasan sentra pengembangan jeruk keprok SoE kabupaten TTS di provinsi NTT.
Pertanyaan yang hendak dijawab adalah zona manakah yang dapat memberikan
tingkat efisiensi yang tinggi dan faktor-faktor apa saja yang menentukan
tingkat efisiensi (Wollni, 2007). Hal ini dapat dikaitkan dengan kemampuan
petani untuk mengakses tenaga kerja, modal usaha dan input usahatani lainnya.
Ukuran usahatani yang dipakai di dalam penelitian ini adalah < 1 ha dan ≥
1 ha. Data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten TTS tahun 2008
menunjukkan bahwa mayoritas (78%) petani jeruk keprok SoE di daerah itu
memiliki luas usahatani sebesar < 1 ha. Pertanyaannya adalah apakah luasan
usahatani seperti itu sudah memberikan efisiensi yang tinggi atau tidak, dan
Untuk mencapai tujuan penelitian yang sudah ditetapkan maka, data cross
section pada jumlah input dan output produksi, faktor-faktor penentu inefisiensi
teknis serta faktor-faktor eksternal yang relevan perlu dikumpulkan. Dari berbagai
teori yang telah dipelajari, efisiensi teknis usahatani dipengaruhi oleh berbagai
areal panen, jumlah tanaman produktif, bibit, pupuk buatan (Urea, TSP, NPK,
tenaga kerja (dalam dan luar keluarga), populasi tanaman, pemangkasan dan
produktif, umur tanaman produktif, kompos, tenaga kerja dan bibit tanaman.
fungsi produksi jeruk keprok SoE. Coelli et al. (1998) menunjukkan bahwa
berumur 5 tahun dan produksinya mulai menurun setelah berumur lebih besar dari
20 tahun setelah tanam. Semakin banyak jumlah tanaman jeruk yang produktif
positif). Hal yang sama juga untuk umur tanaman produktif, di mana diharapkan
dari kedua variabel ini juga akan mendorong petani apakah sudah saatnya untuk
153
musim berikutnya.
menggunakan input usahatani modern seperti pupuk dan pestisida kimia. Petani
Input ini diharapkan dapat berdampak positif pada produksi jeruk keprok SoE.
Input produksi tenaga kerja yang digunakan petani adalah tenaga kerja
keluarga saja. Variabel ini juga diharapkan berpengaruh positif terhadap produksi
produksi jeruk dengan tujuan agar dapat menghasilkan spesifikasi model yang
lebih akurat. Perlu juga dicatat bahwa variabel dummy untuk bibit merefleksikan
investasi petani dengan menggunakan bibit yang lebih cepat berproduksi (okulasi,
menggunakan biji. Varibel ini bernilai satu jika petani menggunakan bibit okulasi
fluktuasi harga, produk impor atau produk saingan lainnya, juga turut
mempengaruhi tingkat efisiensi dan atau inefisiensi usahatani jeruk keprok SoE.
Faktor-faktor eksternal tersebut tidak dapat dikontrol oleh petani dan diasumsikan
inefisiensi. Secara teoritis dan bersumberkan data hasil penelitian ini, maka
1. Pendidikan Formal
semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka semakin baik kemampuan mereka
2. Pengalaman Berusahatani
lebih terampil di dalam mengelola usahatani jeruk yang akan berdampak positif
SoE adalah Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan Petugas Pengamat Hama
penyuluh dan intensitas pertemuan dengan para penyuluh yang dilakukan dapat
yang dilakukan maka petani jeruk semakin memahami tehnik budidaya, panen
atau pasca panen yang baik dan petani diharapkan menghasilkan jeruk dengan
4. Umur Petani
bertani yang dialami oleh hampir semua daerah di NTT merupakan hal penting
petani menjadi faktor penting dalam kaitannya dengan efisiensi produksi karena
keprok. Secara alamiah, semakin tua seorang pekerja, maka kemampuan kerjanya
semakin menurun dan berdampak negatif terhadap efisiensi. Jika generasi muda
enggan bertani, maka pengelolaan usahatani akan didominasi oleh tenaga kerja
non produktif. Hal ini akan berdampak negatif pada tingkat efisiensi usahatani
jeruk. Variabel kuadrat umur petani juga digunakan di dalam analisis penelitian
produksi jeruk keprok SoE. Diasumsikan bahwa setelah mencapai suatu tingkatan
umur tertentu kemampuan kerja petani akan menurun yakni setelah mencapai
tidak begitu takut akan resiko kegagalan produksi atau karena kekurangan tenaga
Tetapi jika pendapatan yang diperoleh dari luar usahatani tersebut dipakai untuk
terhadap efisiensi adalah positif. Pengaruh positif ini juga dapat diakibatkan oleh
adanya informasi yang lebih baik yang didapat selama petani tersebut berkeja di
luar usahataninya. Sebaliknya petani yang tidak memiliki sumber pendapatan lain,
6. Metode Penjualan
dengan beberapa metode yakni penjualan per kg saat panen, penjualan di muka
sebelum musim panen tiba (ijon), penjualan borongan per pohon atau borongan
per kebun. Pada penjualan dengan sistem ijon dan borongan, petani tidak
memanen sendiri jeruknya dan pedagang pemberi ijon atau pembeli borongan
sering meninggalkan sisa buah jeruk yang berkualitas rendah di pohon sampai
157
musim berbunga jeruk lewat. Selain itu, pembeli sering tidak mempraktekkan
teknik panen yang benar. Hal-hal ini mengurangi tingkat produktivitas dan
efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE pada musim produksi tahun berikutnya
(berpengaruh negatif terhadap efisiensi). Sistem penjualan per kg pada saat panen
petani karena mereka sering mendapatkan harga yang lebih rendah pada saat
Petani yang tergabung dalam kelompok tani akan lebih cepat mendapatkan
atau informasi pasar dibandingkan dengan petani yang tidak tergabung dalam
kelompok tani. Diharapkan pula bahwa petani yang menjadi anggota kelompok
tani memiliki akses yang lebih mudah terhadap berbagai sumberdaya yang
efisiensi alokatif dan ekonomis tidak terpenuhi (seperti yang sudah dibahas pada
Bab I tentang keterbatasan dari penelitian ini). Seperti yang diilustrasikan Gambar
efisiensi dan inefisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE di daerah penelitian ini.
158
Produksi Efisiensi
Faktor Internal:
Faktor Internal:
Alokasi Penggunaan Input Sumber-Sumber Efisiensi Teknis
A. Output: (1) model fungsi produksi stokastik frontier untuk tanaman tahunan daerah
lahan kering, (2) nilai efisiensi teknis, (3) faktor-faktor penentu produksi dan
efisiensi/inefisiensi teknis jeruk keprok SoE, dan (4) rumusan kebijakan
peningkatan produksi dan efisiensi produksi jeruk keprok SoE
Gambar 29. Kerangka Pemikiran Penelitian Produksi dan Efisiensi Jeruk Keprok SoE
159
berbagai sumber, terutama yang terkait dengan faktor-faktor sosial ekonomi dan
tersebut.
nilai kesalahan pengganggu (error term) yang terdiri dari dua efek yakni efek
inefisiensi dan efek faktor eksternal. Efek inefisiensi dapat diketahui dengan nilai
gamma dan sisanya adalah efek faktor-faktor eksternal (seperti beberapa contoh
pada gambar di atas) yang berada di luar kendali pengelola usahatani jeruk keprok
pada fungsi produksi translog. Output penelitian berupa nilai TE, determinan-
produksi stokastik frontier tanaman tahunan khas daerah lahan kering. Hal-hal ini
regional, penyediaan lapangan kerja dan kesejahteraan petani jeruk keprok SoE.
160
3.2.2. Hipotesis
kelompok tani.
3. Semakin luas ukuran usahatani jeruk keprok SoE, maka tingkat efisiensi
menentukan lokasi (kabupaten, zona, kecamatan dan desa contoh) dan petani
contoh. Tahap pertama, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) (Gambar 30) di
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dipilih sebagai lokasi penelitian dengan
pertimbangan bahwa: (1) Kabupaten TTS merupakan sentra utama produksi dan
pengembangan jeruk varietas keprok SoE daerah lahan kering di NTT, (2) jeruk
pertanian tanaman pangan dan hortikultura Kabupaten TTS, (3) komoditas jeruk
keprok SoE memiliki peranan yang strategis dalam menunjang perekonomian baik
secara mikro maupun makro, dan (4) secara agroekologis, sosial dan finansial
jeruk keprok SoE sesuai dan layak untuk dikembangkan di Kabupaten Timor
Tengah Selatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tahap kedua adalah penentuan
zona agroklimat secara purposive. Dua zona agroklimat yakni zona dataran tinggi
dan zona dataran rendah telah ditentukan sebagai lokasi penelitian ini (alasan
pemilihan kedua zona ini sudah dibahas pada bagian kerangka pemikiran pada
Bab III).
sampel (kecamatan Mollo Utara, Mollo Tengah dan Tobu di zona agroklimat
dataran tinggi dan kecamatan Kuanfatu, Amanuban Selatan dan Kualin di zona
dataran rendah) (seperti tercantum pada Gambar 31). Semua kecamatan tersebut
Zona
Dataran
Tinggi
Zona
Dataran
Rendah
Jumlah desa-desa contoh yang telah diambil adalah sebanyak 12 desa dengan
pengembangan jeruk dan memiliki produksi jeruk tertinggi (urutan pertama dan
kedua) tahun 2009 (dibandingkan dengan desa lainnya di dalam kecamatan yang
sama, berdasarkan data produksi pada buku Potensi Desa, Monografi Desa dan
Tahap kelima adalah penentuan petani contoh. Setiap desa contoh tidak
semuanya adalah petani jeruk keprok SoE. Selain itu, pola tanam yang diterapkan
petani di dalam usahatani jeruk tidak semuanya monokultur, jarak tanam tidak
teratur, dengan ukuran usahatani yang bervariasi. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan sejumlah petani jeruk keprok SoE yang sesuai dengan tujuan
1. Melakukan pendataan (daftar populasi) petani jeruk keprok SoE per desa
memiliki lebih dari 80% tanaman jeruk di dalam satu kebun, kemudian
dikelompokan atas dua yakni petani dengan ukuran usahatani jeruk sebesar
usahatani jeruk keprok SoE sebanyak 30 orang untuk setiap desa sampel
Hasil survei pada tahap ini menunjukkan bahwa secara total 71% petani
jeruk keprok SoE di desa-desa contoh memiliki ukuran usahatani sebesar < 1 ha.
tersebut tidak seimbang yakni sebanyak 254 orang petani yang memiliki ukuran
usahatani < 1 ha dan sisanya 106 orang memiliki ukuran usahatani≥ 1 ha (dari
jumlah total responden sebanyak 360 orang petani jeruk). Pada zona dataran
tinggi terdapat 74 orang petani dengan ukuran usahatani < 1 ha dan 106 petani
dengan ukuran usahatani≥ 1 ha. Hal ini terjadi karena responden pada daerah
dataran tinggi lebih banyak memiliki kebun jaruk dengan ukuran ≥ 1 ha. Dengan
kondisi seperti itu, maka berapapun jumlah populasi petani dengan ukuran < 1 ha
pada desa-desa contoh semuanya (100%) dijadikan sampel penelitian ini. Semua
petani jeruk pada desa-desa contoh di zona dataran rendah tidak memiliki
berdasarkan luasan hektar ini dapat saja bias, karena petani lebih gampang
tingkat kabupaten TTS dan Dinas Pertanian dan Perkebunan provinsi NTT, mitra
dipilih dengan sengaja, sesuai dengan jenis dan tujuan penggunaan data yang
Tabel 39.
180 petani jeruk keprok SoE (30 petani 180 petani jeruk keprok SoE
setiap desa contoh secara disproporsional (30 petani setiap desa contoh
dari dua ukuran usahatani sehingga 74 petani dan semuanya berukuran
dengan ukuran usahatani < 1 ha dan 106 usahatani < 1 ha): dipilih
petani dengan ukuran ≥ 1 ha): dipilih dengan dengan simple random
cluster-simple random sampling sampling
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer
merupakan data cross section yang diperoleh dari hasil wawancara petani contoh
pada masing-masing zona dan ukuran usahatani. Data cross section ini merupakan
pendapatan usahatani jeruk dan efisiensi produksi jeruk keprok SoE petani-petani
dengan menggunakan kuesioner. Jenis data primer yang dikumpulkan antara lain
adalah data jumlah produksi dan harga jeruk keprok, berbagai input usahatani
(jumlah dan harga input ditingkat petani), proses produksi (sistem pemeliharaan
kemampuan manajerial petani dan data lainnya yang sesuai dengan kebutuhan
analisis seperti yang tercantum pada model yang telah dibangun untuk
kepentingan penelitian ini. Data primer yang dikumpulkan adalah data musim
tanam 2009/2010 (jenis data yang dibutuhkan, secara detail tercantum pada
167
Data sekunder telah diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS) baik di
responden lain seperti PPL, BPP, Dinas Pertanian, LK dan LSM juga
terlebih dahulu analisis perlu dilakukan untuk mengetahui apakah sistem produksi
antar zona dan usahatani jeruk keprok SoE berbeda atau tidak. Untuk mencapai
agroklimat (dataran tinggi dan dataran rendah) dan ukuran usahatani (< 1 ha dan≥
1 ha). Fungsi produksi untuk melakukan analisis ini adalah sebagai berikut:
Y i = f(X 1 , X 3 , X 4 , D z , D u ) ...................................................................
(4.1)
di mana:
SoE (efisiensi dan strategi pemasaran) dan analisis pendapatan petani jeruk
keprok SoE.
dianalisis adalah sistem distribusi (saluran distribusi dan logistik dari distribusi
fisik seperti penanganan produk, gudang dan transportasi), pasar akhir, aliran
informasi pasar dan strategi pemasaran (mix personal selling dan tingkat
penggunaan teknologi pemasaran jeruk keprok SoE). Selain itu, konstruksi nilai
produk pada saluran pemasaran juga diidentifikasi dan dianalisis. Pada bagian ini
telah dianalisis harga, biaya, margin, farmer share, keuntungan, R/C rasio dan
formula:
5. R/C rasio adalah rasio antara keuntungan dan biaya pemasaran ............ (4.6)
di mana:
169
K : Keuntungan pemasaran.
SoE, seperti tercantum pada tujuan pertama dari penelitian ini. Dari berbagai
frontier merupakan metode yang paling baik dibandingkan dengan metode lainnya
dan banyak digunakan untuk analisis efisiensi di bidang pertanian. Atas dasar
pertimbangan itu dan dengan memperhatikan tujuan penelitian serta kondisi data
produksi jeruk keprok SoE, maka di dalam penelitian ini digunakan fungsi
untuk mengukur efisiensi teknis dari usahatani jeruk keprok SoE dan faktor-faktor
produksi stokastik frontier merupakan model yang sesuai untuk analisis data pada
usahatani jeruk keprok SoE daerah lahan kering di provinsi Nusa Tenggara Timur.
Seperti yang sudah dikenal umum bahwa bentuk fungsi Cobb-Douglas, yang
170
adalah lebih fleksibel dari bentuk fungsi lainnya karena memiliki koefisien
estimasi dari second order terms dan interaksi antar variabel-variabel input
(Battesse, 1992; Greene, 2000). Hasil pengujian hipotesis di dalam penelitian ini
efisiensi dan tidak memerlukan adanya asumsi bahwa semua usahatani adalah
efisien. Tahapan analisis data untuk perhitungan efisiensi teknis dan inefisiensi
produksi jeruk keprok SoE dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi seperti umur
tanaman produktif, bibit, pupuk kandang (kompos), jumlah pohon produktif dan
produksi jeruk keprok SoE. Tanaman jeruk yang berumur 5 sampai dengan 20
tahun atau lebih dikategorikan tanaman yang produktif. Jeruk mulai berproduksi
pertama sejak berumur 5 tahun dan produksinya mulai menurun setelah umur 20
tahun setelah tanam. Semakin tinggi jumlah tanaman jeruk yang produktif yang
171
produksi JKS. Informasi dari kedua variabel ini juga mendorong petani apakah
atau tidak pada musim berikutnya. Variabel kompos dan tenaga kerja diharapkan
berpengaruh positif terhadap produksi jeruk keprok SoE. Perlu juga dicatat bahwa
dengan bibit yang diperoleh dengan menggunakan biji. Penggunaan bibit okulasi
4 4 6
Ln Y = β + ∑ β ln X + 0.5∑∑ β jsk ln X ijk ln X isk + θ ik D + V −U ...... (4.7)
ik 0k j =1 jk ijk j =1 s =1
ihk ik ik
di mana:
daerah penelitian ini. Perlu dicatat bahwa persamaan (4.7) di atas terdiri atas
empat model yakni dua model untuk zona (zona dataran tinggi dan dataran
rendah) dan dua model untuk ukuran usahatani (ukuran usahatani 1 dan 2 di zona
dataran tinggi). Perlu dicatat bahwa semua ukuran usahatani di zona dataran
rendah berada pada luasan kurang dari satu hektar per petani responden. Ukuran
usahatani 1 adalah ukuran usahatani < 1 ha dan ukuran usahatani 2 adalah ukuran
usahatani ≥ 1 ha). Model untuk ukuran usahatani sama dengan untuk zona, dengan
Maximum Likelihood Estimation (MLE). Tanda dan besaran dari nilai koefisien
yang diharapkan β 1 , β 3, β 4, θ > 0 dan β 2 < 0. Nilai koefisien yang positif berarti
jeruk keprok SoE diharapkan akan meningkat pula. Sedangkan koefisien yang
bernilai negatif akan berlaku hal sebaliknya, yakni jika ada penambahan
dan hal ini dihasilkan secara langsung dari program Frontier 4.1 (Coelli, 1995;
Coelli et al., 1998). Perbedaan nilai efisiensi teknis antar zona dan ukuran
produksi yang berbeda antar zona dan ukuran, kapasitas petani yang belum
digunakan (idle capacity), efek inefisiensi, dan faktor lingkungan fisik (curah
173
hujan, suhu, kelembaban, jenis tanah) maupun non fisik (peraturan dan kebijakan
efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE, sesuai dengan tujuan kedua di dalam
penelitian ini. Efisiensi teknis dapat diukur dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
estimasi teknis tersebut berhubungan terbalik dengan nilai efek inefisiensi teknis
dan hanya digunakan untuk fungsi yang memiliki jumlah output dan input tertentu
ini mengacu kepada model efek inefisiensi teknis dari Battese dan Coelli (1995)
dan Coelli et al., (1998). Variabel u i yang digunakan untuk mengukur efek dari
inefisiensi teknis, diasumsikan bebas (tapi tidak identik) yang tidak negatif, dan
seperti (untuk menyebut beberapa) studi dari Coelli et al. (1998); Dhehibi et al.
(2007); Lambarra et al. (2007); dan Wollni (2007) diketahui bahwa terdapat
tingkat inefisiensi teknis ushatani jeruk keprok SoE adalah pendidikan formal
dengan petugas pertanian lapangan (PPL dan PPHT), umur petani, sumber
pendapatan di luar usahatani jeruk dan sistem penjualan jeruk keprok (penjualan
per kg maupun borongan pada saat panen atau dengan sistem ijon baik per kg
tersebut sudah dibahas pada bagian kerangka pemikiran Bab III. Faktor-faktor
5 4
u = δ + ∑ δ lk zilk + ∑ ωmk Dimk ................... (4.9)
ik 0k l =1 m=2
di mana:
usahatani), seperti halnya pada model fungsi produksi di atas. Nilai koefisien
parameter dugaan yang diharapkan adalah negatif kecuali untuk variabel umur
petani dan sumber pendapatan lain. Koefisien yang bernilai positif menunjukkan
inefisiensi juga semakin tinggi, dan sebaliknya untuk koefisien yang bernilai
semakin menurun. Namun, hal yang terpenting adalah signifikan tidaknya faktor
produksi dan fungsi inefisiensi (persamaan 4.7 dengan 4.9) dilakukan secara
dari koefisien hasil estimasi seperti halnya pada fungsi Cobb-Douglas. Oleh
faktor produksi menentukan skala usaha atau tingkat pengembalian hasil (return
to scale) usahatani jeruk keprok SoE. Dengan demikian, maka jika jumlah
scale dan jika < 1 decreasing return to scale. Analisis elastisitas ini diaplikasikan
pada semua basis analisis baik antar zona maupun ukuran usahatani.
∂ ln Y 4
E Xk : = β k + β kk ln X k + ∑ β kj ln Xj .................... (4.10)
∂ ln X k j≠k
di mana:
Pada bagian ini ada dua hipotesis yang diuji. Hipotesis nol yang pertama
adalah bahwa model fungsi produksi translog memiliki nilai nol atau Ho:
Hipotesis nol yang kedua adalah bahwa tidak ada efek inefisiensi teknis
Jika hipotesis ini benar, maka fungsi produksi rata-rata tradisional atau ordinary
Kedua hipotesis nol ini diuji untuk berbagai model analisis yakni untuk
dataran tinggi, dataran rendah dan semua ukuran usahatani pada zona dataran
tinggi; di mana model fungsi produksi stokastik frontier untuk semua unit analisis
tingkat signifikan tertentu (seperti 1%, 5%, 10% atau 15%) diuji dengan kriteria
yang digunakan adalah uji one-sided generalized likelihood ratio (LR-test) dengan
persamaan (4.11).
L( H 0 )
LR = − 2ln = − 2{ln[L( H 0 )] − ln[L( H1 )]} .......................... (4.11)
L ( H 1 )
nol dan hipotesis alternatifnya. Tolak H 0 jika LR > χ 2 Chi-Square dan sebaliknya,
gamma, maka critical value diambil dari mixed Chi-Square (Tabel 1 Kodde dan
Palm, 1986).
σ 2 = σ v2 + σ u2 ..................................................................................... (4.12)
σ u2
γ = 2 .............................................................................................. (4.13)
σ
parameter γ ini merupakan kontribusi dari inefisiensi teknis terhadap efek residual
total. Hasil perhitungan dari persamaan 4.11 sampai dengan 4.13 akan
dibandingkan antar zona dataran tinggi dan dataran rendah serta antar ukuran
usahatani jeruk keprok SoE untuk mengetahui seberapa besar gangguan inefisiensi
pada berbagai basis analisis tersebut untuk semua basis analisis baik antar zona
maupun ukuran usahatani. Perlu dicatat bahwa analisis pengujian terhadap kedua
hipotesis tersebut di atas dilakukan pada tahap awal, setelah analisis perbedaan
178
penelitian dijalankan.
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dan pengukuran variabel-
variabel yang digunakan di dalam penelitian ini, baik yang digunakan untuk
keprok SoE. Petani yang menjadi responden di dalam penelitian ini adalah
minimal memiliki lebih dari 80% tanaman jeruk keprok SoE dikebunya.
berdasarkan ketinggian tempat dari permukan laut (dpl) dan jumlah bulan
kering, sehingga ada zona dataran tinggi (di atas 500 m dpl, jumlah bulan
kering ≤ 7 bulan; dan zona dataran rendah berada≤ 500 m dpl , jumlah
lainnya seperti jumlah bulan basah, curah hujan, kelembaban dan suhu
3. Daerah lahan kering adalah daerah yang tidak tergenang air sepanjang
4. Ukuran usahatani adalah luasan usahatani jeruk keprok SoE yang dimiliki
petani dan diukur dalam satuan hektar. Ukuran usahatani ini dikelompokan
179
atas dua yakni kelompok pertama dengan luasan lahan jeruk < 1 ha dan
7. Pupuk buatan (anorganik) adalah pupuk kimia yang terbuat dari bahan-
bahan kimia hasil produksi pabrik antara lain pupuk urea, TSP, KCL,
hama dan penyakit tanaman jeruk keprok SoE pada tahun 2009-2010 dan
9. Luas lahan usahatani adalah luas areal tanaman jeruk keprok SoE yang
10. Jumlah pohon produktif adalah banyaknya pohon jeruk keprok SoE yang
dimiliki petani responden dan yang sudah menghasilkan buah yakni yang
berumur 5 sampai dengan lebih dari 20 tahun setelah tanam pada musim
11. Tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja sewaan dan tenaga kerja keluarga
untuk pekerjaan usahatani jeruk keprok SoE, diukur dalam hari orang kerja
(HOK). Perhitungan HOK adalah sama dengan (jumlah hari kerja x jumlah
tenaga kerja x jumlah kerja per hari kerja) dibagi 7. Perhitungan tenaga
analisis efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE adalah tenaga kerja
saja.
12. Bibit okulasi adalah bibit tanaman jeruk sebagai hasil mata tempel,
musim produksi tahun 2010 dan 0 untuk yang tidak). Untuk berbagai
13. Irigasi adalah petani yang menggunakan air irigasi untuk tanaman
1 untuk petani yang mengairi jeruknya dengan air irigasi dan nilai 0 untuk
buah selama musim produksi tahun 2009-2010, dan 0 untuk yang tidak)
16. Umur petani adalah usia petani responden saat penelitian (2010), diukur
dalam tahun.
18. Pengalaman adalah lamanya petani berusahatani jeruk keprok SoE sampai
19. Jumlah anggota keluarga adalah jumlah orang yang hidup di dalam satu
yang dilakukan oleh petani kepada petugas pertanian lapangan atau oleh
yang berkaitan dengan usahatani jeruk keprok SoE, diukur dengan skor (1,
21. Pangsa luas lahan garapan usahatani jeruk keprok adalah rasio antara luas
jeruk keprok SoE yang diikuti petani dan diukur dengan skor (1, 2, dan
tahun 2009-2010.
23. Sumber pendapatan lain digunakan sebagai variabel dummy yaitu bernilai
1 jika memiliki sumber pendapatan lain pada tahun 2009-2010 dan 0 jika
tidak memiliki sumber pendapatan lain selain dari budidaya keprok SoE.
24. Metode penjualan adalah cara penjualan yang dilakukan petani responden
per kg pada saat panen pada tahun 2010 dan 0 untuk yang menjual dengan
metode penjualan ijon, borongan per pohon atau per kebun baik pada saat
bahwa seorang petani menjual jeruknya dengan lebih dari satu metode
ini, maka seorang petani responden diberi skor 1 jika salah satu metode
penjualan dilakukanya pada tahun 2010 adalah penjualan per kg pada saat
panen. Pada metode penjualan dengan sistem harga per kg pada saat
183
pasar atau ke pedagang dengan sistem harga Rp per kg. Data volume
penjualan pada musim panen tahun 2010 pada berbagai metode penjualan
25. Keanggotaan kelompok tani adalah variabel dummy bernilai 1 jika petani
usahataninya pada tahun 2010 dan nilai 0 jika tidak bergabung dengan
kelompok tani.
26. Keikutsertaan dalam proyek jeruk adalah variabel dummy (1 untuk petani
yang pernah terlibat di dalam proyek jeruk sejak tahun 2008 sampai
dengan tahun 2010, dan 0 untuk yang tidak pernah). Proyek jeruk di sini
yang dilakukan oleh Pemerintah maupun swasta dan LSM, baik dengan
27. Akses kredit usahatani jeruk adalah variabel dummy (1 untuk petani yang
variabel dummy di mana 1 untuk petani yang tahu dan 0 tidak tahu. Petani
yang tahu cara membuat bibit baik secara okulasi, cangkok atau
184
usaha vegetatif, berapa bulan siap dipindahkan, media dan peralatan untuk
pembuatanya.
1 untuk petani yang tahu dan 0 tidak tahu. Petani yang tahu perlu
standar.
30. Akses ke pasar input adalah variabel dummy (1 untuk yang memiliki
31. Akses ke pasar output adalah variabel dummy (1 untuk petani yang
32. Teknik panen sesuai anjuran adalah variabel dummy (1 untuk yang
melakukan teknik panen sesuai anjuran dan 0 untuk yang tidak). Teknik
panjang tangkai buah yang tertinggal pada buah maximum 1 cm dan buah
tidak terluka saat panen. Selain itu, panen hanya pada buah yang sudah
34. Penentuan harga jual adalah variabel dummy (1 harga jual jeruk tahun
35. Keikutsertaan dalam koperasi adalah variabel dummy yaitu bernilai 1 jika
petani menjadi anggota koperasi sejak tahun 2009 sampai dengan tahun
kegiatan pascapanen tahun 2010 dengan rata-rata nilai 0,75 dari total nilai
masing-masing responden.
(biaya bibit, irigasi, pupuk, pestisida, peralatan kerja dan tenaga kerja, dan
39. Upah tenaga kerja adalah adalah sewa tenaga kerja yang berlaku di tingkat
usahatani tahun 2010 yang dihitung dalam satuan Rupiah per hari orang
kerja.
40. Harga pupuk kandang merupakan harga beli pupuk kandang di tingkat
petani pada tahun 2009-2010 yang dihitung dalam Rupiah per kg.
41. Harga pupuk anorganik (urea, TSP, KCl dan NPK) merupakan harga beli
pupuk buatan tahun 2009-2010 yang dihitung dalam Rupiah per kg.
42. Harga pestisida merupakan harga beli obatan-obatan pertanian tahun 2009-
43. Biaya peralatan kerja adalah harga beli peralatan kerja khusus untuk
yang dibeli petani selama tahun 2009-2010 dan dihitung dalam satuan
Bab ini terdiri dari tujuh sub bagian. Pertama-tama akan dibahas tentang
pemasaran dan pendapatan usahatani petani jeruk keprok SoE (JKS) selama
contoh) dengan distribusi lokasi seperti yang telah dibahas pada Bab IV.
Sedangkan jumlah sampel petani adalah berjumlah 360 orang atau 30 orang setiap
desa contoh. Secara detail tentang karakteristik responden tercantum pada Tabel
40. Para petani di daerah dataran rendah sebagian besar (64.85%) berumur sekitar
35-55 tahun (dengan umur minimal 25 tahun, maksimal 63 tahun dengan rata-rata
umur 47.34 tahun). Sedangkan rata-rata umur responden di zona dataran tinggi
adalah 48.70 tahun dengan rentangan 36-60 tahun. Dengan demikian, sebagian
besar responden petani berada pada usia produktif. Dari jenis kelamin, sebagian
besar (99%) responden laki-laki dan sisanya (1%) adalah responden perempuan.
Dilihat dari tingkat pendidikan formal, para petani sebagian besar (74.74%)
adalah 7.54 tahun dengan lama maksimal 16 tahun dan minimal 1 tahun. Rata-rata
(7.91 tahun atau masih pada jenjang Pendidikan Dasar) dengan rentangan 3
JKS dan ada yang belum. Petani yang pernah mengikuti pelatihan usahatani JKS
189
adalah sebanyak rata-rata 1.49 kali dengan rentangan 0 - 5 kali; dengan rata-rata
terbesar terdapat pada petani di zona dataran tinggi yakni 1.52 kali. Hal ini
usahatani JKS adalah 17.03 tahun dengan rentangan pengalaman 7-37 tahun.
Petani di zona dataran tinggi merupakan petani yang memiliki pengalaman paling
5 orang per KK, dengan rata-rata 4.82 orang anggota keluarga per KK. Dari jenis
anggota keluarga perempuan (yakni 51% untuk laki-laki dan 49% perempuan).
Tren ini terdapat pada semua zona penelitian. Sebagian besar (83%) anggota
keluarga responden berumur≥ 14 tahun dan sisan ya (17%) berumur < 14 tahun.
Sebanyak 50% anggota keluarga responden memiliki pendidikan > 9 tahun dan
sekitar tempat tinggal petani), di mana jarak kebun jeruk dengan tempat tinggal
(97%), penggunaan lubang tanam jeruk yang standar (18%), pengetahuan petani
190
tentang teknologi budidaya jeruk termasuk pembibitan vegetatif (5%), petani yang
memiliki sumber pendapatan selain dari jeruk sebanyak 87% dan petani yang
memiliki akses ke pasar output adalah sebanyak 64%. Dari data diketahui bahwa
dalam usahatani JKS, terutama dalam hal penerapan manajemen usahatani dan
kemampuan yang masih rendah (kurang dari 1%) dalam hal akses ke pasar input,
anggota koperasi dan kredit ke lembaga perbankan formal. Sebagian besar (64%)
petani tergabung dalam kelompok tani, dengan persentase tertinggi terdapat pada
proyek jeruk keprok adalah sebesar 33%, semuanya di daerah dataran tinggi.
berkembang dan berperan pada usahatani jeruk keprok SoE. Hal-hal tersebut telah
keprok SoE baik pada daerah dataran tinggi maupun dataran rendah.
motivasi petani juga kurang berhasil. Kebanyakan dana proyek diberikan dalam
bentuk barang seperti anakan JKS, uang tunai dan ternak sebagai sumber pupuk
itu kurang berhasil disebabkan (satu dari banyak sebab) karena para petani sering
memahami suatu dana proyek sebagai suatu pemberian (hibah) atau bantuan
191
daerah penelitian adalah sebesar 0.66 ha per petani, dengan kisaran maksimum 3.0
ha dan minimum 0.10 ha per petani. Rata-rata luas pengusahaan JKS di zona
dataran tinggi adalah sebesar 0.92 ha sedangkan zona dataran rendah hanya
sebesar 0.41 ha per petani. Lahan untuk usahatani lain (usahatani campuran antara
5.0 ha per petani dengan rata-rata 1.40 ha. Selain itu, petani repsonden juga masih
memiliki lahan kosong (belum dimanfaatkan) sebesar 0.20 ha hingga 3.0 ha per
petani dengan rata-rata 1.06 ha. Total lahan yang dimiliki petani berada diantara
1.13 ha hingga 8.0 ha dengan rata-rata 3.1 ha per petani. Dengan demikian, share
penggunaan lahan untuk jeruk keprok adalah berkisar diantara 4.76% hingga
66.67% dengan rata-rata 21.83% dari luas lahan yang digunakan petani.
Sedangkan share lahan yang digunakan terhadap total adalah berkisar diantara 5%
hingga 100% dengan rata-rata 67.60%. Hal ini juga mengindikasikan bahwa
masih ada peluang penggunaan lahan bagi petani jeruk keprok sebesar 32.40%.
Peluang peningkatan ukuran usahatani jeruk keprok SoE di daerah dataran rendah
lebih besar (85%) dibandingkan dengan daerah dataran tinggi (70%) terhadap
total lahan yang dimiliki petani. Menurut petani responden, lahan yang belum
lainnya seperti kemiri dan kayu mahoni. Secara detail dapat dilihat pada Tabel 41.
192
Tabel 41. Rata-rata Kepemilikan Lahan Petani Responden Jeruk Keprok SoE
\ Karakteristik Dataran Tinggi Datarab Rendah Rata-
Lahan Petani rata
Rata- Max Min Rata- Max Min
rata rata
1 Lahan usahatani jeruk keprok SoE (ha) 0.92 3.00 0.30 0.41 0.85 0.10 0.67
2 Lahan untuk usahatani lain (ha) 1.27 5.00 0.80 1.53 3.00 0.25 1.40
3 Lahan kosong (ha) 1.11 3.00 0.20 1.03 3.00 0.00 1.07
4 Total lahan yang dimiliki (ha) 3.28 8.00 1.70 2.86 5.75 1.13 3.07
5 Share lahan usahatani jeruk (%) 29.02 66.70 5.50 14.73 42.86 4.76 21.87
6 Share lahan yang digunakan Petani (%) 67.53 100 5.00 67.61 100 27.27 67.57
Bila dilihat kondisi kepemilikan lahan per zona contoh, maka zona
dataran tinggi memiliki luas lahan jeruk keprok lebih besar bila dibandingkan
dengan zona lainnya. Namun, lahan usahatani lain di zona dataran rendah masih
lebih besar bila dibandingkan dengan zona dataran tinggi. Diharapkan bahwa
peluang perluasan usahatani jeruk keprok di zona-zona ini lebih besar, jika lahan
Hal yang utama berkaitan dengan penggunaan lahan adalah sistem pola
tanam JKS di tingkat petani. Pengusahaan jeruk keprok SoE terutama ditujukan
penggunaan input usahatani modern yang sangat minim. Pola tanam yang
dilakukan petani adalah tanam campur. Pola tanam campuran (jagung, ubi jalar,
keladi, ubi kayu, sayur-sayuran, kayu mahoni, sengon) adalah model yang
satu kebun jeruk keprok petani, tanaman panganya menempati porsi yang kecil
193
dalam penelitian ini. Pola tanam campuran diutamakan ketika umur tanaman
kurang dari 4 tahun setelah tanam, di mana tanaman jeruk belum memberikan
naungan yang berarti bagi tanaman lainnya. Pola tanam campuran ini juga yang
telah memberikan kondisi kepadatan populasi tanaman jeruk keprok per ha yang
pada musim tanam tahun 2009/2010. Rata-rata penggunaan bibit tanaman jeruk
yang ditanam petani adalah 56.1 pohon dengan kisaran 16.3 – 92.0 pohon anakan
per petani di zona dataran tinggi. Sedangkan di zona dataran rendah, Rata-rata
penggunaan bibit tanaman jeruk adalah 9.8 pohon dan rata-rata kedua zona adalah
sebesar 33 pohon per petani. Tanaman yang ditanam tahun 2009-2010 adalah bibit
yang berasal dari okulasi (100%). Untuk tanaman yang produktif, petani yang
mengunakan anakan okulasi adalah sebanyak 97% dan sisanya (3%) memakai
bibit dari biji. Hasil wawancara dengan petani responden menunjukkan bahwa
sumber bibit tanaman jeruk yang masih bertumbuh di kebun petani (baik yang
ditanam pada tahun 2010 maupun sebelumnya) yang digunakan petani adalah dari
Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten (35%), penangkar benih lokal (20%),
dengan jumlah tanaman induk 15 pohon. Bibit jeruk keprok SoE yang ditanam
194
oleh petani berasal dari pembenihan oleh penangkar dengan dukungan Blok
Pertanian provinsi NTT sebanyak tiga unit dengan luas keseluruhan 120 m2 dan
mampu menghasilkan 30 000 mata temple per tahun. Jenis batang bawah yang
digunakan adalah Rough Lemon (RL). Mata temple dari BPMT digunakan oleh
penangkar untuk menghasilkan tanaman jeruk keprok SoE siap tanam. Daftar
penangkar benih jeruk keprok SoE adalah seperti tercantum pada Tabel 42.
Tabel 42. Penangkar Benih Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor Tengah
Selatan, Tahun 2009
Kondisi bibit tanaman jeruk keprok yang ditanam petani adalah tidak
berlabel biru (100%), dan tidak memenuhi prosedur seperti yang diceritakan di
atas; sehingga mutunya kurang terjamin (bisa saja tidak bebas dari hama-penyakit
memperlihatkan adanya kondisi bibit tanaman JKS yang diproduksi petani dan
Balai Benih Induk (BBI) di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Produksi bibit petani
jauh lebih rendah kualitasnya dibandingkan dengan bibit yang diproduksi BBI,
(a) Kondisi Bibit Tanaman Jeruk (b) Kondisi Bibit Tanaman Jerk
Keprok SoE Produksi Petani yang Keprok SoE Produksi BBI tidak
tidak Berlabel Berlabel
bentuk. Petani pada umumnya (97%) tidak mengetahui penentuan bibit yang baik
atau bibit yang berkualitas (terutama dalam ukuran bibit, sumber batang bawah,
batang atas dan umur bibit yang siap tanam). Selain itu, petani responden sedikit
vegetatif.
bibit produksi petani sendiri bersumber dari pohon yang tumbuh di kebun mereka
sendiri yang bukan merupakan pohon induk yang sehat (belum terdeterminasi
oleh Dinas Pertanian yang berwenang seperti Balai Sertifikasi Benih baik
Kabupaten maupun Provinsi). Selain itu, pohon sebagai sumber benih (yang sudah
dideterminasi) juga masih tetap berproduksi. Hal ini dibiarkan oleh petani, karena
pohon tersebut merupakan sumber produksi buah jeruk pada tahun berjalan.
196
Idealnya, pohon jeruk yang merupkan sumber benih vegetatif, selama menjadi
pohon induk tidak boleh berproduksi agar lebih sehat dan kuat. Penentuan pohon
induk sebagai sumber benih JKS di masa datang merupakan hal paling utama
demi peningkatan produktivitas yang tinggi. Tanaman yang sehat bersumber dari
benih yang sehat. Benih yang sehat hanya dapat diperoleh dari pohon induk yang
sehat dan melalui tangan-tangan petani penangkar yang terampil. Jika pohon
induk itu berada di dalam kebun petani, sebaiknya dipastikan agar tidak
penelitian tercantum pada Tabel 43. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa rata-
rata kepemilikan tanaman jeruk yang belum produktif (umur 1 sampai dengan 4
tahun) lebih besar yakni 57.2% dibandingkan dengan tanaman produktif yang
hanya 42.8% per petani. Petani responden di zona dataran rendah memiliki rata-
rata jumlah tanaman produktif yang lebih banyak (55%) dibandingkan dengan
petani responden di zona dataran tinggi (31%). Tetapi jumlah pohon produktif
secara aktual untuk dataran tinggi adalah lebih banyak (58 pohon per petani per
memiliki sebesar 28 pohon per petani per 0.41 ha (44 pohon/ha). Jumlah
kepemilikan tanaman untuk kedua daerah pengembangan ini masih sangat sedikit
dibandingkan dengan jumlah secara potensialnya (278 pohon per ha). Daerah
dataran rendah memiliki jumlah tanaman JKS yang paling sedikit dikarenakan
oleh kondisi lingkungan fisik, terutama jumlah kering yang lama (≥ 8 bulan).
197
Tabel 43. Rata-rata Kepemilikan Tanaman Jeruk Keprok SoE Petani Responden
Rata-rata jumlah tanaman yang dimiliki petani contoh secara total baik
yang sudah berbuah maupun yang belum (poin 3 pada Tabel 43) adalah sebanyak
119.5 pohon per petani per 0.66 ha per luasan lahan yang diusahakan atau
sebanyak 160.13 pohon per ha. Bila dibandingkan dengan populasi tanaman per
ha secara ideal, maka peluang peningkatan jumlah tanaman per ha masih sebesar
37.1%. Secara ideal, satu ha lahan jeruk keprok dengan jarak tanam 6 x 6 meter
dengan pola tanam monokultur adalah 278 pohon. Jumlah tanaman yang dimiliki
petani responden di zona dataran tinggi jauh lebih besar (188.1 pohon/petani/0.92
ha atau 203 pohon per ha) dibandingkan dengan yang dimiliki oleh petani di zona
dataran rendah (50.9 pohon/petani/o.41 ha atau 80.9 per ha). Peluang peningkatan
jumlah populasi tanaman per ha bagi petani di dataran tinggi adalah sebesar 27%
dan dataran rendah adalah sebesar 70% terhadap jumlah populasi potensial 278
pohon per ha. Peluang ini kemungkinan besar tercapai mengingat bahwa JKS
merupakan aset warisan, indikator umur anak dan prestise petani. Namun, perlu
disadari bahwa faktor eksternal seperti iklim yang ekstrim kering di daerah
198
dataran rendah telah menyebabkan sedikitnya jumlah tanaman JKS yang dimiliki
petani per hektarnya. Oleh karena itu, untuk mewujudkan peluang peningkatan
jumlah tanaman jeruk di daerah dataran rendah, maka sistem pengairan usahatani
secara teknis perlu untuk direncanakan dan dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
sangat rendah yakni hanya 6.20 kg per pohon atau 1.9 ton/ha (dibandingkan
intensif. Rata-rata produktivitas JKS di zona dataran tinggi adalah 8.4 kg per
pohon atau 2.3 ton/ha dan zona dataran rendah sebesar 4.0 kg per pohon atau 1.1
ton/ha. Produktivitas JKS di zona dataran rendah adalah 50% lebih rendah (faktor
peningkatan produktivitas masih sangat besar yakni sebesar 96.6% dan 98.3%
untuk zona dataran tinggi dan zona dataran rendah secara berturut-turut.
Sedangkan rata-rata produktivitas jeruk keprok nasional adalah 22.13 ton/ha atau
80 kg per pohon (Departemen Pertanian, 2009a). Hasil studi Bahar dan Nugraheni
Selatan adalah sebesar 70.22 kg per pohon dan di Jawa Timur sebesar 38.89 kg
per pohon. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas
tercantum pada Tabel 44 dan Gambar 34. Dari tabel dan gambar tersebut
diketahui bahwa petani responden memiliki umur tanaman sangat beragam dan
Tabel 44. Rata-Rata Jumlah Kepemilikan Tanaman Jeruk Keprok SoE Petani Responden Berdasarkan Umur Tanaman
60
50
Jumlah Tanaman (Pohon)
30
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20
Umur Tanaman (Tahun)
namun kekurangan air, bibit yang tidak berkualitas dan perawatan yang tidak
intensif telah menyebabkan banyaknya tanaman yang mati pada umur 2 sampai 5
tahun setelah tanam. Permasalahan utama banyaknya jeruk petani yang mati
adalah kualitas bibit yang rendah. Hal ini dibenarkan oleh staf Balai Benih Induk
bukan saja merupakan masalah yang dihadapi oleh Provinsi NTT namun juga
induk, Blok Fondasi dan BPMT) jeruk keprok yang belum sepenuhnya memadai.
mati juga disebabkan oleh adanya serangan hama dan penyakit. Tanaman jeruk
mulai terserang hama dan penyakit sejak tahun 2007. Setiap tanaman yang mati,
petani mengganti dengan tanaman baru namun juga tetap mati pada tahun
berikutnya. Hal ini dibenarkan juga oleh laporan koran Pos Kupang (27 Februari
2010). Sampai dengan tahun 2010, belum ada penelitian yang dijalankan untuk
mengidentifikasi hama dan penyakit yang menyerang jeruk keprok SoE selama
tiga tahun terakhir ini. Petani jeruk sudah sering menyampaikan keluhan kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan, namun tidak ada tanggapan
yang serius. Kurangnya tenaga teknis lapangan (di bidang hama dan penyakit)
201
petani di dalam menghadapi permasalahan hama dan penyakit jeruk keprok SoE.
Apabila persoalan ini tidak segera ditangani secara serius dan tuntas, maka
tanaman jeruk keprok SoE akan bernasib sama seperti tanaman apel di dataran
tinggi kabupaten Timor Tengah Selatan yang punah sebagai akibat serangan hama
luar kerluarga. Hal ini disebabkan oleh kecilnya skala usahatani yang diusahakan
dan cukup tersedianya tenaga kerja dalam keluarga. Dengan alasan ini, petani
keluarga saja. Penggunaan tenaga kerja keluarga mulai dari persiapan tanam
hingga pemasaran hasil pada kegiatan musim tanam 2009-2010 adalah seperti
Kegiatan Usahatani
lebih tinggi (48.75 HOK) dibandingkan dengan dataran rendah (21.05 HOK).
Rata-rata penggunaan tenaga kerja keluarga pada usahatani jeruk keprok di daerah
banyak dialokasikan untuk kegiatan pemeliharaan (15 HOK atau 42.21% terhadap
total tenaga kerja keluarga yang digunakan untuk usahatani JKS), diikuti oleh
kegiatan persiapan lahan (7.21 HOK) dan penanaman (5.6 HOK). Kegiatan
kimia) serta pemupukan organik (kompos). Walaupun kegiatan panen juga sering
dilakukan oleh pembeli borongan, namun tenaga kerja keluarga juga tetap
203
digunakan oleh para pembeli. Para pembeli borongan menggunakan tenaga kerja
keluarga petani untuk memanen jeruk dengan sistem upah pasar harian yang
berlaku atau dengan imbalan berupa pemberian bahan makanan (beras dan gula)
atau buah jeruk keprok. Kegiatan pascapanen lebih banyak diperuntukan bagi
Sedangkan tenaga kerja keluarga untuk pemasaran adalah tenaga kerja dari petani
yang melakukan pemasaran JKS di pasar lokal (desa dan kecamatan), pasar
pendapatan petani jeruk), komponen biaya untuk tenaga kerja keluarga ini
dihitung sebagai biaya oportunitas (opportunity cost) dengan tingkat upah yang
berlaku di level usahatani yakni Rp. 20 000 per HOK. Komponen biaya tenaga
kerja untuk perhitungan biaya usahatani tersebut adalah tenaga kerja yang
digunakan dalam kaitannya dengan produksi jeruk keprok SoE musim produksi
tanaman produktif, panen, pascapanen dan pemasaran jeruk keprok SoE musim
oleh petani semuanya dengan cara manual dengan menggunakan tofa dan parang.
Pemeliharaan tanaman JKS oleh petani masih sangat sederhana dan belum
menggunakan pupuk urea untuk memupuk tanamannya pada saat tanam (dengan
baik untuk pertumbuhan tanaman maupun untuk peningkatan produksi buah jeruk.
Petani hampir tidak pernah menggunakan zat kimia seperti pestisida, insektisida
menggunakan kapur ada sebanyak 28.89%. Petani contoh di dataran rendah tidak
dataran tinggi sebanyak 100% petani contoh telah menggunakan kompos selama
banyak digunakan pada saat penanaman pertama, dan sedikit sekali diberikan
pada tanaman yang sudah berproduksi (terutama untuk tanaman yang sudah
berumur 8 tahun ke atas). Rata-rata penggunaan kompos petani pada tahun 2010
1. Pemupukan : anorganik (urea) (%) 23.33 50.00 0.00 16.67 20.00 5.00 20.00
2. Pemupukan : kompos (%) 100.00 80.00 10.00 75.00 25.00 10.00 87.50
3. Pengendalian OPT: Kapur (%) 28.89 5.00 0.00 0.00 0.00 0.00 14.44
4. Pengendalian OPT: Obat-obatan (%) 16.67 65000 0.00 0.00 0.00 0.00 8.33
5. Pemangkasan (%) 73.89 1.00 0.00 14.72 1.00 0.00 44.30
6. Penjarangan buah (%) 41.67 1.00 0.00 10.28 1.00 0.00 25.97
7. Pengairan (%) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
adalah Rp. 14 050 dengan kisaran antara Rp. 9 200 hingga Rp. 22 000 per petani
pada tahun 2010. Hal ini hanya dikhususkan untuk peralatan pertanian yang
berkaitan langsung dengan usahatani jeruk seperti gunting panen dan pangkas
tanaman dan perlatan lainnya seperti pisau okulasi. Sedangkan perlatan lain
seperti tofa, linggis dan parang tidak diperhitungkan di dalam komponen ini
pemangkasan tanaman jeruk keprok mereka. Paling banyak (74%) petani contoh
di zona dataran tinggi telah melakukan pemangkasan tanaman dan hanya 15%
namun hanya sekedar mengeluarkan ranting tanaman yang mati. Secara ideal,
bentuk tajuk yang ideal sehingga dicapai pertumbuhan dan produktivitas yang
resiko serangan OPT dan memudahkan pemeliharaan tanaman. Namun hal-hal ini
tidak dipahami oleh petani. Petunjuk teknis yang sudah dicantumkan di dalam
Standard Operational Procedure (SOP) tanaman jeruk keprok SoE tidak diadopsi
buah; dengan rentangan 10% daerah dataran rendah dan 42% dataran tinggi dari
total responden. Penjarangan buah yang dipraktekan oleh petani hanya sebatas
membuang buah yang terserang OPT atau yang sudah kering, tanpa alasan
lainnya. Padahal kegiatan penjarangan buah ini sangat penting dalam rangka
pengembangan jeruk. Petani berprinsip “banyak ranting dan banyak buah pada
pohon jeruk berarti banyak rejeki”. Petani lebih mementingkan kuantitas daripada
keduanya tidak mengairi jeruk mereka pada musim kemarau. Hal ini disebabkan
oleh ketiadaan sarana pengairan yang dapat digunakan. Banyaknya bunga jeruk
kekeringan baik di zona dataran tinggi maupun zona dataran rendah) lebih banyak
disebabkan oleh kekurangan air. Hal ini merupakan salah satu sebab rendahnya
utara kabupaten TTS, sumber air dari pengunungan Mutis tersedia cukup besar
keprok SoE. Prasarana pengairan dari pegunungan Mutis ini hanya diperuntukan
bagi kebutuhan air minum penduduk yang berdomisili di Kota SoE (ibukota
kabupaten TTS). Sumber lain, sebenarnya juga masih ada yakni pembangunan
embung atau cekdam (wadah untuk menampung air hujan selama musim hujan).
Masa panen jeruk keprok SoE di kabupaten TTS terjadi pada bulan Maret
hingga bulan Agustus seperti tercantum pada Tabel 47. Bulan Juni hingga
Kegiatan panen adalah kegiatan memetik buah yang telah siap panen atau
Dari hasil analisis data wawancara diketahui bahwa secara rata-rata terdapat
gunting pohon, sebanyak 16.67% masih menggunakan kayu (jolokan) dan 83.89%
menggunakan peralatan (Tabel 48). Ada sebanyak 14% para petani responden
memanen jeruk mereka dengan menggunakan metode panen campuran dari ketiga
metode tersebut. Bila dibandingkan antar zona, maka petani contoh di zona
208
petani di zona dataran rendah (78.44%). Kondisi yang sama juga untuk
Tabel 47. Masa Panen Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Setelah panen, sebanyak 61.3% (Tabel 49) dari jumlah petani responden
potongan kain (dilap), tanpa memakai air dan bahan pengawetan buah. Kemudian
buah jeruk disortir dan dipisahkan atas kelas-kelas secara manual dan visual,
melakukan hal ini ada sebanyak 54%. Namun Pengkelasan buah di tingkat petani
hanya berdasarkan besar-kecilnya buah yakni buah besar, sedang dan kecil;
diameter buah maupun berat buah). Keterbatasan pengetahuan dan peralatan yang
Buah JKS adalah tidak berlabel (100%). Secara rata-rata jumlah petani
yang melakukan pengepakan adalah sebanyak 60%. Sebagian besar (88%) petani
dari bamboo dengan volume rata-rata 40-50 kg per keranjang. Karung plastik
berkapasitas 30-40 kg juga telah dimanfaatkan oleh petani untuk menyimpan dan
memasarkan jeruk panenan mereka. Selain itu juga, gardus bekas bungkusan
rokok gudang garam bervolume 35-50 kg jeruk juga telah digunakan petani.
Kesehatan buah dan kualitas alat pengepakan tersebut sangat tidak mendukung
kualitas buah jeruk selama proses pemasaran dan transportasi. Akibatnya buah
sistem distribusi pemasaran jeruk keprok SoE. Selain itu juga akan dibahas
tentang teknologi dan strategi pemasaran yang sudah dipraktekkan oleh para
memperoleh nilai dan keuntungan dari produk yang telah dihasilkan. Dengan
dari semua kegiatan yang perlu untuk konsepsi (filosofi bisnis), harga, promosi
dan distribusi dari ide, produk dan jasa untuk menciptakan nilai tukar yang
memuaskan tujuan individu dan organisasi (Burns & Bush, 2000). Sedangkan
kegunaan tempat, kegunaan waktu, kegunaan bentuk dan kegunaan pemilikan dari
Proses pemasaran jeruk keprok SoE tidak terlepas dari peran serta lembaga
mulai dari petani produsen sampai dengan konsumen akhir. Lembaga pemasaran
jeruk keprok SoE meliputi para petani produsen dan para pedagang baik di
pengecer.
(pedagang) yang aktif mengumpulkan dan membeli jeruk keprok SoE langsung
Pengumpul yang tinggal di desa atau kecamatan sangat dekat dengan lokasi
produksi jeruk keprok sehingga mereka mengenal dan menjalin hubungan baik
SoE langsung kepada konsumen akhir atau kadang kala kepada pengecer lain.
Pedagang pengecer ini menjual beraneka ragam buah-buahan dan bahkan menjual
juga sayur-sayuran.
Dari uraian di atas diketahui bahwa pemasaran jeruk keprok SoE melalui
berbagai saluran dan tahapan sebelum mencapai konsumen akhir. Dari hasil
memiliki empat rantai pemasaran seperti terlukis pada Gambar 36. Perlu dicatat
213
bahwa pola pemasaran dengan empat rantai pemasaran ini berlaku untuk semua
Biaya Produksi
Rp.1 900 per kg
15 625
2 25%*
9 500 18 050
15 625
Margin Margin 2 425
Margin 6 113
7 600
Konsumen
1 Pedagang Akhir**
Petani Pedagang
Pengecer
Produsen Pengumpul
61%
3 9% Margin 8 538
4 5% 18 050 Margin 0
satu di dalam memasarkan jeruknya selama musim panen tahun 2010. Namun,
persentase petani yang dihitung pada gambar di atas adalah mereka yang
menggunakan saluran pemasaran tersebut lebih dari 75% dari volume penjualan
keempat saluran pemasaran tersebut adalah 100%). Hal ini ditujukan untuk
melihat saluran pemasaran mana yang paling banyak digunakan petani di dalam
harga jual (Rp) dengan harga beli (Rp) pada masing-masing pelaku pemasaran.
Pada tingkat petani, margin tersebut adalah sebesar Rp 7 600 per kg diperoleh dari
harga jual jeruk keprok kepada pedagang pengumpul dikurangi dengan besarnya
biaya produksi jeruk tersebut (Rp per kg), belum termasuk biaya pemasarannya.
Harga yang tercantum pada gambar di atas adalah harga jual dari masing-masing
18 050 per kg adalah rata-rata harga eceran di tingkat konsumen di berbagai pasar
Rp 24 500 per kg). Sedangkan harga pada pasar kecamatan, kabupaten dan
provinsi itu merupakan harga rata-rata dari beberapa kelas jeruk keprok SoE yang
dijual secara kg dan borongan per pengepakan. Analisis margin pemasaran secara
detail tercantum pada pembicaraan tentang efisiensi pemasaran jeruk keprok SoE
Dari gambar tersebut diketahui bahwa pada saluran satu, petani menjual
pedagang pengecer dan terakhir pedagang pengecer menjual jeruk keprok SoE ke
usahatani atau di pasar yang paling dekat dengan usahatani. Kemudian mereka
Saluran pertama ini paling banyak (61%) digunakan petani di dalam pemasaran
antara lain petani tidak mengeluarkan biaya pemasaran, petani terhindar dari
resiko kerusakan dan kegagalan penjualan. Selain itu, ikatan hutang-piutang telah
pemasaran jeruk keprok mereka. Petani telah saling mengenal karena hubungan
adalah biaya transportasi dan fasilitas pengepakan (tali, ember, karung dan
volume sekitar 40 kg, gardus dengan volume sekitar 42 kg atau ember plastik
bak. Demkianpun biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh para pengecer meliputi
Pada pola pemasaran yang kedua, para petani menjual jeruk keprok SoE
ke pengecer yang ada di pasar desa atau kecamatan atau di pasar kabupaten. Pada
pola ini para petani mengambil peran aktif untuk mendatangi pengecer yang
berada di pasar-pasar dan atau sebaliknya. Sekitar 25% dari total petani responden
216
adalah: kedekatan dengan tempat usahatani, memiliki reputasi yang baik, dapat
informasi pasar, sering mengunjungi usahatani mereka dan pedagang yang pernah
mereka.
pengumpul. Jumlah petani yang melakukan pemasaran jeruk dengan sistem ini
Saluran yang paling banyak digunakan petani adalah saluran pertama (1)
yaitu 61% diikuti saluran kedua yaitu 25%, saluran ketiga sebanyak 9 % dan
saluran keempat 5%. Jadi para petani lebih banyak menyalurkan jeruknya ke
padagang pengumpul karena petani sudah saling mengenal dan bahkan karena
ada ikatan lain (kekerabatan, ijon atau penjualan di muka dan hutang) antara
bahwa jeruk keprok SoE jarang dikirim ke kota lain karena harganya yang cukup
217
tinggi (Rp 18 050 per kg) dibandingkan dengan harga jeruk impor seperti lokam
dan kino dari Pakistan. Hal ini telah menyebabkan sulitnya pasaran jeruk keprok
SoE ke kota lain. Sebagai perbandingan harga jeruk keprok SoE dengan jeruk
keprok lainnya di kota Kupang adalah jeruk keprok Medan (Sumatra) sebesar Rp
16 500 per kg; jeruk keprok Manggarai (dari kabupaten Manggarai di pulau Flores
NTT) sebesar Rp 15 000 per kg; jeruk keprok impor dari China sebesar Rp 17 500
per kg dan jeruk keprok impor dari Australia sebesar Rp 19 200 per kg. (Catatan:
harga jeruk keprok SoE di kota Kupang dan untuk jeruk keprok lainnya adalah
harga yang berlaku di Supermarket Ramayana di kota Kupang pada bulan Juli
2010. Harga jeruk keprok Manggarai di Ruteng (ibu kota kabupaten Manggarai)
pada bulan Juli 2010(Adar dan Mella, 2010). Dari keadaan harga-harga antar
jeruk keprok dengan berbagai daerah asal yang berbeda itu, maka dapatlah
dikatakan bahwa petani di daerah TTS menghadapi kesulitan yang besar di dalam
memasarkan jeruk mereka ditambah lagi jika sistem usahatani jeruk keprok SoE
oleh kondisi infrastruktur terutama jalan dan transportasi mulai dari tingkat
usahatani sampai ke pasar yang kurang memadai. Dari kebun usahatani biasanya
menggunakan ojek kendaraan bermotor roda dua yang membutuhkan biaya tinggi,
sedangkan volume pengangkutan sedikit. Akibatnya, biaya per unit (per kg)
produksi jeruk keprok SoE tahun 2007 adalah sebesar 7 431 ton, sedangkan tahun
2008 hanya 5 103 ton dan tahun 2009 sebesar 15 585 ton (Lampiran 1). Hal ini
telah menyebabkan jangkauan pasar jeruk keprok SoE beberapa tahun terakhir ini
hanya berada di sekitar kota SoE dan Kupang. Produksi yang rendah ini sebagai
petani.
Selain masalah harga dan produksi jeruk keprok SoE, ketiadaan mitra
bisnis di dalam pemasaran juga merupakan kendala perluasan pangsa pasar jeruk
keprok SoE saat ini. Hasil wawancara dengan para petani menunjukkan bahwa
mereka sebagian besar (90%) tidak mengetahui pasar akhir produk yang mereka
harga jual jeruk keprok SoE. Efisiensi pemasaran sering digunakan untuk menilai
performansi pemasaran pada berbagai lembaga pemasaran jeruk keprok SoE pada
Dari Tabel 50 dan Gambar 37 diketahui bahwa harga jual jeruk keprok
menggambarkan bahwa pola permainan pasar sangat menentukan harga jual atau
harga beli jeruk keprok SoE. Hal ini erat kaitannya dengan biaya yang dikeluarkan
oleh berbagai pelaku pasar tersebut. Semakin panjang saluran yang dilalui oleh
produk, maka semakin besar biaya yang dikeluarkan. Untuk menutupi biaya
tersebut maka para pelaku pasar akan menaikkan harga produknya. Selain itu juga
219
harga jual produk jeruk keprok SoE ini berbeda antar lembaga pemasaran
dikarenakan oleh perbedaan letak tempat tinggal atau jarak yang ditempuh oleh
Tabel 50. Tingkat Efisiensi, Margin dan Profit Pemasaran Jeruk Keprok SoE
Petani Di Daerah Penelitian
Sumber: Lampiran 3.
Keterangan: *: Biaya terdiri dari biaya pengepakan, transportasi, peralatan dan
tenaga kerja (yang menjual jeruk keprok saja)
merupakan selisih harga jual dan harga beli pada tiingkat lembaga pemasaran
dan harga pemasaran jeruk keprok SoE. Bagian keuntungan yang diterima oleh
petani dapat dilihat pada nilai farmer share dari lembaga pemasaran tersebut.
biaya pemasaran pada lembaga pemasaran itu. Perhitungan detail pada masing-
12
10.00
10 Dataran Tinggi
Nilai Efisiensi (%) 8.11
Dataran Rendah
8
7.67
6 6.65
3.87
3.65
4
2 2.73 2.86
4 2 3 1
Saluran Pemasaran
Gambar 37. Tingkat Efisiensi Pemasaran Jeruk Keprok SoE Antar Zona
Agroklimat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2010 ini jeruk keprok
SoE mengalami peningkatan harga yang cukup tinggi dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Namun data series harga tahunan di tingkat petani hampir tidak
terdokumentasikan dengan baik sehingga sulit untuk dibahas pada penelitian ini.
ke konsumen, panjang saluran pemasaran yang dilalui dan sistem penetapan harga
yang dilakukan oleh petani maka beberapa indikator efisiensi pemasaran jeruk
keprok SoE dapat dilihat pada tabel dan gambar tersebut di atas. Dari data tersebut
diketahui bahwa secara rata-rata margin pemasaran yang terbesar terdapat pada
per kg. Angka ini menunjukkan bahwa terdapat selisih yang cukup besar antara
harga yang diterima oleh petani produsen dengan harga yang dibayarkan oleh
pemasaran keempat merupakan saluran pemasaran yang paling efisien yang ada
pada kegiatan pemasaran jeruk keprok SoE pada tahun 2010. Trend yang sama
pula terjadi pada dataran tinggi dan dataran rendah, di mana saluran keempat
pemasaran lainnya.
efisien dari yang lain adalah farmers’ share dan return to cost ratio (R/C).
Semakin besar nilai mutlak dari kedua indikator ini menunjukkan bahwa kegiatan
pemasaran pada pola pemasaran tersebut semakin efisien. Secara rata-rata, pada
saluran keempat bagian yang diterima oleh petani produsen sebesar 100%. Jika
diasumsikan bahwa biaya usahatani untuk memproduksi jeruk keprok soe adalah
sama untuk semua saluran pemasaran tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa
bagian keuntungan terbesar yang diterima oleh petani terdapat pada saluran
pemasaran keempat.
pemasaran jeruk keprok SoE di TTS. Secara rata-rata, pada saluran pemasaran
keprok SoE. Pada saluran pemasaran pertama terdapat perbedaan yang cukup
besar antara Return to cost ratio yang diterima oleh pedagang pengumpul dengan
yang diterima oleh pedagang pengecer. Hal ini disebabkan oleh karena pedagang
pengumpul lebih cenderung untuk mendapakan keuntunggan yang lebih kecil per
222
maka bagian keuntungan yang diterima oleh petani di dataran tinggi lebih besar
(Rp 35.6) dibandingkan dengan dataran rendah (Rp 26.4) per kg.
Semakin kecil nilai mutlak efisiensi biaya pemasaran yang terdapat pada
suatu saluran pemasaran, maka semakin besarlah tingkat efisiensi pemasaran pada
menunjukkan bahwa tingkat efisiensi yang paling tinggi pada kegiatan pemasaran
JKS secara rata-rata adalah pada pola pemasaran keempat, diikuti saluran
pemasaran kedua, dan seterusnya sampai dengan saluran pertama yang paling
tidak efisien. Nilai rata-rata efisiensi sebesar 3.17 menunjukkan bahwa satu persen
pemasaran JKS sebesar 3.17 persen. Dengan demikian, kegiatan pemasaran yang
pemasaran pada pola-pola pemasaran yang lain. Lebih lanjut diketahui bahwa pola
pemasaran keempat pada dataran tinggi jauh lebih efisien (2.7%) dibandingkan
adalah bahwa para petani produsen memiliki modal (tenaga kerja dan uang tunai)
yang sangat terbatas. Pada hal untuk bisa mencapai konsumen akhir dengan
jangkauan wilayah pemasaran yang cukup luas diperlukan modal yang cukup
besar dan kemitraan pemasaran yang lebih luas. Namun, hanya sedikit saja (5%)
petani produsen yang melakukan kegiatan pemasaran pola yang keempat ini.
223
beberapa faktor seperti harga jual, biaya pemasaran, panjang saluran pemasaran
dan hubungan antara petani produsen dan pedagang pengumpul maupun pengecer.
keprok SoE pada berbagai saluran pemasaran. Apabila harga jual ditingkat petani
rendah sedangkan harga yang dibayarkan oleh konsumen tinggi, maka margin
pemasaran akan semakin besar. Hal ini menunjukkan kegiatan pemasarn yang
semakin tidak efisien. Perbandingan antara tingkat harga jual ditingkat petani
dengan harga jual pada tingkat konsumen akhir akan menggambarkan besar-
kecilnya bagian keuntungan yang diterima oleh petani produsen. Semakin kecil
kesenjanggan antara harga yang diterima oleh petani produsen dengan harga yang
dibayarkan oleh konsumen akhir, maka bagian yang diterima oleh petani produsen
termotivasi untuk mengahsilkan jeruk keprok SoE yang semakin banyak dan
berkualitas.
Faktor utama yang membuat perbedaan harga jual yang cukup besar pada
tingkat usahatani dan tingkat konsumen akhir adalah faktor tranportasi dan
teknologi pascapanen yang kurang memadai. Daerah sentra produksi jeruk keprok
SoE di daerah penelitian adalah pada daerah pedesaan dengan topografi berbukit
dan begunung. Hal ini sangat memperlambat arus lalulintas dan mempertinggi
sebelum dan selama pemasaran berlangsung sangat minim dipraktekkan oleh para
petani dan pedagang jeruk keprok SoE. Hal-hal tersebut sangat memperburuk
Harga jual jeruk keprok SoE pula sangat erat kaitannya dengan tingkat
pendapatan para petani produsen. Diharapkan bahwa semakin tinggi harga jual
jeruk keprok SoE di tingkat petani, maka semakin tinggi pula pendapatan yang
diperoleh mereka, dengan asumsi hal-hal lain tidak berubah. Pendapatan yang
menggunakan input modern di dalam ushatani jeruk keprok SoE mereka dengan
asumsi bahwa petani menyadari akan pentingnya input modern di dalam kegiatan
erat kaitannya dengan besar-kecilnya harga jual jeruk keprok SoE pada konsumen
akhir. Semakin tinggi biaya pemasaran, maka ada kecendeungan harga jual yang
tinggi pada konsumen akhir dengan asumsi bahwa terjadi pasar persaingan bebas.
pemasaran jeruk keprok SoE. Baik petani produsen maupun para pedagang
225
pasar lokal dan pasar kabupaten di SoE dan pasar di Kupang. Hanya sedikit saja
para pedagang jeruk keprok SoE yang menggunakan kendaraan pribadi untuk
menekan biaya pemasaran ke tingkat yang lebih rendah. Faktor-faktor seperti ini
pemasaran yang dilalui oleh komoditi itu. Semakin panjang saluran pemasaran,
maka perbedaan harga yang diterima oleh petani produsen dengan yang
dibayarkan oleh konsumen akhir semakin besar. Hal ini bisa dimengerti karena
akan semakin tidak efisien kegiatan pemasaran jeruk keprok SoE tersebut.
pemasaran JKS. Tingkat kehilangan hasil yang paling tinggi terjadi pada pola
yang akan digunakan oleh petani produsen di dalam kegiatan pemasaran jeruk
mengenal para pedagang pengumpul jeruk keprok SoE karena para pedagang
tersebut bertempat tinggal di desa atau di pusat kecamatan terdekat. Oleh karena
itu para petani yang menggunakan saluran pemasaran pertama lebih banyak (61%)
rata-rata) petani produsen menunggu pedagang membeli jeruk keprok SoE mereka
pada tingkat usahatani (transaksi penjualan di kebun jeruk). Pada daerah dataran
dengan daerah dataran rendah (51%). Para petani jeruk keprok SoE di daerah
sampel sangat takut dengan resiko kegagalan pemasaran jeruk keprok SoE mereka
di pasar. Dalam kondisi seperti ini petani produsen kurang memiliki kekuatan
untuk menentukan harga jual jeruk keprok. Petani seperti cenderung bertindak
sebagai “price taker”, mengikuti harga yang ditentukan oleh para pedagang yang
pada saat jeruk keprok SoE masih hijau (sistem ijon). Secara rata-rata petani
responden yang melakukan sistem ijon ada sebanyak 28.3% dengan mayoritas
sistem penjualan (ijon) borongan per pohon (24.4%). Kedua keadaan tersebut
(takut resiko dan lemahnya posisi tawar petani) berakibat pada harga jual jeruk
keprok SoE yang sangat rendah. Dengan demikian farmer share semakin kecil.
Kegiatan pemasaran seperti ini merupakan suatu kegiatan pemasarran yang tidak
efisien.
baik informasi teknis produksi maupun informasi pasar jarang di dapat oleh para
petani pada saat mereka pergi berbelanja di pasar dan/atau dari para tetangga
mereka. Informasi pasar di tempat lain seperti informasi harga hampir tidak
pernah di dapat oleh para petani. Minimnya fasilitas komunikasi di daerah sentra
adalah suatu cara atau metode penggunan sumberdaya pemasaran (produk, harga,
promosi, tempat dan orang) secara terencana dan terkoordinasi dalam rangka
strategi pemasaran sebagai suatu kegiatan seleksi pasar target, pasar tujuan dan
228
yang perlu untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan dari pasar target. Pada
tulisan ini, pembahasan difokuskan pada cara dan metode yang digunakan oleh
Kennedy dan Kiel, 1999; Chen et al., 2001; Owen et al, 1973; Wei et al., 2001;
Burns dan Bush, 2000; Highley dan Webb, 2001 dan Hawkins et al., 2001).
jeruk keprok SoE di daerah penelitian adalah sebagai yang tertera di dalam
konsumen, jaminan mutu dan label (brand) (McColl Kennedy dan Kiel, 1999 dan
Goletti & Samman, 2000). Gambar 38 menampilkan bentuk jeruk keprok SoE.
Kualitas jeruk keprok SoE (hasil uji selera konsumen di Denpasar dan
Kupang: Adar et al., 2006) sangat disukai dalam hal kemudahan dikupas (kulit
tidak lengket dengan daging buah), rasa, warna daging buah segar dan kulit buah
hanya sedikit konsumen yang mengenal jeruk keprok SoE. Hal ini dikarenakan
produk ini khas, walaupun pengepakan dan perlakuan produk sebelum dan selama
pemasaran belum dilakukan sesuai dengan tuntutan pasar target. Grading hanya
dilakukan oleh sebagian kecil (45%) pedagang jeruk keprok SoE. Petani hampir
tidak pernah mengetahui ukuran (diameter) buah jeruk yang dipasarkan. Petani
menunjukkan bahwa ukuran buah jeruk keprok SoE sangat bervariasi mulai dari
yang paling kecil (diamter buah lebih kecil dari 3 cm) sampai dengan yang paling
besar (diamter buah lebih besar dari 9 cm) (Tabel 51). Sedangkan ukuran jeruk
impor dari Cina cukup seragam yaitu hanya berdiameter 5 sampai dengan 6 cm
saja.
Gambar 38. Jeruk Keprok SoE, Produk Unggulan Nasional, Spesifik Lokasi
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur
Tabel 51. Pengkelasan Jeruk Keprok SoE Berdasarkan Berat, Diameter dan
Jumlah Buah per Kg
Bila dibandingkan dengan jeruk impor seperti kino dan lokam dari
Pakistan, berat buah jeruk keprok SoE yang berdiameter 6 cm adalah 185 gram,
sedangkan jeruk kino dan lokam dengan diameter sama hanya memiliki berat
buah sebesar 135 dan 140 gram secara berurutan. Dengan demikian, 1 kg jeruk
keprok SoE hanya terdiri dari 5-6 buah saja. Sedangkan 1 kg jeruk kino dan lokam
berisi 6-8 buah jeruk. Hal ini diduga karena jeruk impor sudah mendapat
Mayoritas (75%) para petani sampel mengijinkan buah jeruknya dipanen oleh
para pembeli. Hal ini erat kaitannya dengan metode penjualan yang dilakukan
oleh petani jeruk. Kebanyakan (88%) responden petani menjual jeruk dengan
buah.
alamiah) baik yang dilakukan oleh petani maupun pedagang. Perlakuan produk
setelah pemasaran juga tidak ada, terutama untuk kegiatan evaluasi dan
ada. Tidak ada jaminan bahwa produk yang dijual dapat memenuhi selera
pedagang memakai karung palstik putih (rata-rata berisi 35-40 kg jeruk per
karung) dan gardus bekas pengepakan rokok gudang garam filter (rata-rata berisi
231
42 kg jeruk per gardus) sebagai pembukus buah jeruk. Teknologi pengepakan dan
fasilitas produk lainnya yang sederhana seperti yang sudah digambarkan di atas
telah menyebabkan jangkauan pasar jeruk keprok SoE pendek, yaitu sebagian
besar (99%) dipasarkan sampai di SoE, Kefa (ibukota kabupaten Timor Tengah
Utara) dan Kupang saja. Selain itu, jeruk keprok SoE belum ada yang dijual di
supermarket baik yang ada di Kupang maupun di kota lain. Akibat minimya
teknologi pra dan selama pemasaran berlangsung, jeruk keprok SoE hanya
perbandingan, jeruk kino dan lokam dari Pakistan bisa bertahan 3 bulan di
pasaran. Hal ini disebabkan oleh adanya perlakuan pascapanen yang berteknologi
tinggi seperti pengaturan kadar air dalam buah, pengawetan buah dan pengepakan
Strategi harga yang dibahas pada bagian ini adalah strategi yang
digunakan baik oleh petani maupun oleh pedagang yang terlibat di dalam
pemasaran jeruk mereka. Adapun strategi harga yang diterapkan oleh pelaku
harga bagi produk mereka. Harga jual atau harga dasar produk yang
atas harga yang ditawarkan pedagang tersebut, sampai pada titik persetujuan
232
harga. Banyak petani (88%) merasa bahwa harga yang ditawarkan oleh para
umumnya para petani tidak puas dengan harga yang ditawarkan oleh
pedagang.
pertanian di pasar.
keprok dengan menggunakan beragam metode seperti yang tercantum pada Tabel
52. Dari tabel tersebut diketahui bahwa petani menggunakan beberapa metode
pemasaran JKS yakni penjualan di muka atau ijon, baik sistem penjualan per
pohon, per kg maupun per kebun; dan sistem penjualan pada saat panen, baik per
pohon, per kg maupun per kebun. Dari kedua metode penjualan tersebut (ijon dan
saat panen), maka metode penjualan pada saat panen mendominasi sistem
Bila diperhatikan data per zona, maka ada 31% petani contoh di zona
dataran tinggi yang melakukan penjualan ijon, sedangkan di zona dataran rendah
hanya 22%; dengan rata-rata secara total sebesar 28%. Sebagian besar (73.33%
petani di zona dataran tinggi melakukan penjualan per pohon pada saat panen,
sedangkan di zona dataran rendah hanya ada 32.22%. Pada saat panen, secara
rata-rata petani responden lebih banyak (73%) memilih metode penjualan dengan
233
sistem per kg. Di zona dataran rendah, jumlah petani yang menjual jeruk dengan
sistem per kg pada saat panen adalah sebanyak 63%, sedangkan di zona dataran
tinggi berjumlah 87% dari total responden. Dengan demikian, petani lebih banyak
memilih metode penjualan jeruk mereka dengan sistem per kg dan borongan per
Tabel 52. Sistem Penjualan Jeruk Keprok SoE: Berdasarkan Jumlah Responden
yang paling banyak dijalankan petani (62%) bila dibandingkan dengan tempat
penjualan lainnya. Zona dataran tinggi merupakan daerah yang paling banyak
pembeli yang mendatangi kebun petani adalah pedagang pengumpul yang berasal
dari desa setempat atau desa tetangga yang paling dekat, dan paling banyak sudah
234
memiliki ikatan kekerabatan atau sudah saling mengenal atau karena ikatan
hutang di antara petani dan pedagang tersebut. Penjelasan secara detail tentang
metode penjualan jeruk keprok SoE daerah penelitian adalah sebagai berikut.
Metode ini diterapkan oleh petani (rata-rata 26% dari petani responden) pada
saat dua atau tiga bulan sebelum jeruk siap dipanen, terutama pada saat di
mana para petani sangat membutuhkan uang tunai. Sekitar bulan Januari,
Pebruari atau Maret, di mana jeruk sudah berbuah, petani pergi ke pedagang
pengumpul setempat (di kampung atau desa mereka), dan meminta pedagang
untuk datang melihat buah jeruk mereka di kebun. Setelah negosiasi dan
bagian dari total harga per pohon dan sisanya akan dibayarkan pada saat
panen jeruk. Pedagang terkadang juga membayar dalam bentuk barang seperti
membayar setengah bagian dari harga per pohon, maka semua buah pada
pohon jeruk tersebut menjadi milik pedagang dan petani memiliki kewajiban
untuk menjaga dan melindungi semua buah pada pohon tersebut baik dari
rendah yakni hanya Rp 4 000 per kg. Sebagai contoh, harga per pohon sekitar
kg, mereka bisa mendapatkan harga sekitar Rp 400 000 per pohon. Jadi, harga
penjualan dengan metode ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan penjualan
per kg pada saat panen. Strategi ini dipraktekkan oleh petani ketika mereka
Petani yang melakukan penjualan ini secara rata-rata hanya 4% secara total
dan semuanya terdapat di zona dataran tinggi. Proses penjualan ini sama
ceritanya dengan penjualan di muka per pohon, yang sering dilakukan petani
pada dua atau tiga bulan sebelum musim panen jeruk tiba yakni pada bulan
Januari, Februari atau Maret. Harga penjualan dengan metode ini juga lebih
pada saat panen sebesar Rp 9 500 per kg (harga rata-rata dari setiap
responden penelitian secara total). Strategi ini dipraktekkan oleh petani ketika
c. Penjualan per pohon pada saat panen (per tree sale at harvest)
Metode ini (sekitar 53% secara rata-rata) digunakan oleh para petani
responden pada saat jeruk sudah siap panen (dominan petani daerah dataran
pasar. Ketika buah jeruk sudah siap dipanen, petani pergi ke pedagang, atau
236
sebaliknya, dan melakukan negosiasi tentang harga jeruk per pohon. Para
tahap. Seperti pada metode pertama, pedagang memiliki seluruh buah yang
ada di pohon setelah ada persetujuan harga per pohon dan petani
jeruk per pohon pada saat panen rata-rata Rp 123 000,- per pohon atau Rp 12
rendahnya harga jeruk per pohon sangat tergantung pada banyaknya produksi
buah jeruk per pohon. Para petani merasa cukup beruntung dengan harga
metode ini:
Menjual dengan metode harga per pohon menghindari petani dari akan
petani dapat menjual dalam volume yang lebih besar bila dibandingkan
Menjual jeruk per pohon pada saat panen hanya mungkin jika petani dan
mencuri buah jeruk mereka yang masih tersisa di pohon. Para petani lebih
menyukai metode ini karena membawa dan menjual jeruk ke pasar akan
jeruk dengan metode per kg pada saat panen (87% petani di zona dataran
tinggi dan 63% petani di zona dataran rendah). Pada metode ini, petani
grading dan pengepakan sederhana sebelum atau pada saat jeruk dipasarkan.
atau di kota, atau mereka menjual sendiri di pasar yang ada di pusat
kecamatan, di pinggir jalan atau di pasar kota kabupaten atau provinsi, atau
maka harga jeruk dengan metode ini lebih tinggi. Sebagai contoh, jika harga
jeruk dengan metode penjualan per pohon pada saat panen adalah sebesar Rp
5 200 per kg, maka penjualan dengan sistem per kg adalah sebesar Rp 12 000
per kg.
e. Penjualan per kebun pada saat panen (per farm sale at harvest)
Metode penjualan per kebun pada saat panen hanya dipraktekkan oleh petani
jeruk keprok di dataran tinggi. Pada saat jeruk siap panen, petani mendatangi
dilakukan, maka seluruh buah jeruk yang ada di dalam kebun menjadi milik
pedagang. Petani tetap bertanggung jawab terhadap jeruk yang sisa dari
panenan pertama sampai dengan panenan terakhir. Metode ini mirip dengan
metode pertama dan kedua. Selain itu, kondisi buah jeruk per pohon yang
terdapat di dalam satu kebun tidak sama. Ada pohon dengan jumlah buah
lebih besar dari 50 kg/pohon dan ada juga yang kurang dari 5 kg/pohon.
Harga jual per kebun sedikit lebih rendah bila petani menjualnya dengan
metode harga per pohon pada saat panen. Namun petani merasa cukup
beruntung dengan metode ini karena mereka terhindar dari biaya panen,
pengecer dan pedagang) atas dasar berat, diameter dan jumlah buah per kg, maka
terdapat perbedaan harga jeruk antar kelas yang cukup besar (Tabel 53). Harga
jeruk yang dijual di muka adalah 49% lebih rendah (Rp 4 250 per kg) bila
dibandingkan dengan harga jual jeruk pada saat panen (Rp 8 800 per kg).
Sedangkan harga jual jeruk dengan sistem borongan adalah 44% lebih rendah (Rp
5 333 per kg) bila dibandingkan dengan metode penjualan per kg pada saat panen
(Rp 12 267 per kg). Harga jual jeruk maksimum terjadi pada jeruk kelas super
kaitannya dengan luas kebun jeruk, tingkat pendapatan, harga jeruk pada tahun
tersebut, jumlah tenaga kerja keluarga, tingkat pendidikan petani dan jarak tempat
tinggal petani dengan pasar. Petani yang memiliki kebun jeruk yang agak luas
239
merasa mempunyai biaya rendah per pohon dan perbedaan penjualan dengan
metode per pohon dan per kg juga besar. Sehingga petani dengan jumlah pohon
jeruk yang lebih banyak cenderung menjual jeruk mereka dengan metode
Tabel 53. Rata-Rata Harga Jual Jeruk Keprok SoE Di Tingkat Petani Berdasarkan
Sistem Penjualan dan Kelas Mutu
Per pohon & kebun 5 333.3 5 500.0 5 000.0 5 000.0 5 000.0 5 000.0
Per kg rata-rata2): 12 266.7 16 525.0 9 125.0 11 560.4 16 525.0 7 625.0
Kelas Super 16 000.0 24 500.0 12 500.0 14 645.8 24 500.0 9 500.0
Kelas I 13 358.3 17 600.0 10 000.0 12 470.8 17 600.0 8 000.0
Kelas II 11 208.3 16 000.0 8 000.0 10 750.0 16 000.0 7 000.0
Kelas III 8 500.0 12 000.0 6 000.0 8 375.0 12 000.0 6 000.0
Total Rata-rata 9 775.0 9 250.0
menjual jeruk mereka per pohon pada saat panen. Harga yang tinggi pada saat
musim jeruk pada tahun tersebut mendorong petani untuk menjual jeruknya
dengan metode penjualan per kg pada saat panen. Petani dengan jumlah anggota
keluarga yang besar memampukan mereka untuk memanen sendiri dan menjual
jeruk mereka dengan sistem per kg. Petani dengan tingkat pendidikan yang lebih
240
tinggi (formal atau informal) lebih suka menjual jeruk mereka per kg. Sama
menjual jeruknya dengan metode per kg. Pengangkutan merupakan isu penting
bagi petani yang tinggal jauh dari pusat pasar dan jalan raya yang tidak memadai.
Petani yang tinggal dekat dengan pasar atau jalan raya beraspal, memanen dan
petani hal-hal ini sulit dilakukan dengan tujuan pemasaran yang dipraktekan
adalah penjualan secara langsung, tanpa ada upaya untuk mempromosikan produk
memajangkan produk di pasar local atau dipinggir jalan (Gambar 39). Pemerintah
memperkenalkan jeruk keprok SoE ini di tingkat pusat (di Jakarta) dan kota lain di
2010, Pemerintah Provinsi NTT telah mengikutsertakan jeruk keprok SoE dalam
pekan flora dan flori di Batam dan Gelar Buah di Istana Negara di Jakarta pada
tanggal 17 Agustus 2010. Selain itu, jenis promosi produk lainnya seperti
Penelitian lainnya.
241
pemasaran jeruk keprok SoE. Pada sub bagian ini akan dibahas tentang distribusi
jeruk keprok SoE dengan fokus pada fasilitas dan strategi yang berkaitan dengan
1. Jangkauan pemasaran jeruk keprok SoE masih sangat terbatas pada pasar
lokal di NTT (99%). Jeruk keprok SoE dikategorikan produk pertanian yang
Dari kebun atau rumah petani, jeruk keprok bersama dengan barang dagangan
waktu dengan keamanan yang tidak terjamin dalam perjalanan menuju pasar
tujuan.
242
tidak ada. Jeruk dimasukan di dalam karung plastik atau keranjang bamboo
yang kasar atau gardus bekas pembungkusan rokok gudang garam sehingga
mudah rusak.
5. Tidak ada orang atau pedagang yang mengkhususkan diri memasarkan jeruk
keprok SoE, yang ada hanyalah pedagang komoditi pertanian secara umum.
Para pedagang dari desa sering ke pasar dengan membawa jeruk bersamaan
dengan komoditi lain seperti pisang. Petani ke pasar dengan tujuan ganda,
baik untuk menjual hasil pertanian mereka maupun untuk membeli barang
pasar tradisional (31.5%) dan dipinggir jalan raya (60%), Sisanya (8.5%)
JKS berdasarkan tempat penjualan adalah seperti tercantum pada Tabel 54,
contoh secara rata-rata menjual jeruknya di kebun dengan harga yang paling
Penjualan jeruk keprok di pasar provinsi di kota Kupang menempati urutan kedua
243
terkecil, namun harga jual jeruk sangat tinggi. Sebanyak 72% petani responden di
daerah dataran tinggi menjual jeruk mereka di kebun, sedangkan di daerah dataran
80
Persentase Penjualan (%)
70
Dataran Tinggi
60
50
40 Dataran Rendah
30
20
10
0
Pasar Pasar
Pasar
Kebun (%) Kecamatan Kabupaten Lainnya (%)
Provinsi (%)
(%) (%)
Dataran Tinggi 72 14 5 8 2
Dataran Rendah 51 37 6 1 5
Tempat Penjualan
Gambar 40. Persentase Petani Berdasarkan Tempat Penjualan Jeruk Keprok SoE
244
30000
20000
15000
10000
5000
0
Pasar Pasar Pasar
Lainnya
Kebun (Rp) Kecamatan Kabupaten Provinsi
(Rp)
(Rp) (Rp) (Rp)
Dataran Tinggi 9775 12500 18000 24500 17000
Dataran Rendah 9250 11000 18000 24500 17000
Tempat Penjualan
Gambar 41. Perbedaan Harga Jeruk Keprok SoE Berdasarkan Tempat Penjualan
pemasaran jeruk keprok SoE sangat rendah. Teknologi pemasaran yang rendah ini
telah membuat komoditi andalan lokal ini memiliki pangsa pasar yang kecil,
sebatas di NTT (99%). Keadaan ini diperburuk dengan kondisi produktivitas lahan
yang rendah sedangkan permintaan pasar tinggi. Dengan kata lain, permintaan
Akibatnya, harga jeruk keprok SoE lebih tinggi dibandingkan dengan harga jeruk
sejenis lainnya, terutama jeruk impor yang beredar di pasar-pasar di provinsi Nusa
Tenggara Timur. Harga yang tinggi juga disebabkan oleh buruknya infrastruktur
kepemilikan tanaman dan umur tanaman produktif. Kedua hal ini sangat
dengan teknologi budidaya yang memadai akan dapat berbuah pada umur empat
tahun dengan jumlah produksi minimum 2 kg per pohon (Dinas Pertanian, 2010a).
Namun secara empiris di lapangan ditemukan bahwa tanaman jeruk keprok SoE
baru berbuah pada umur lima tahun dengan jumlah produksi hanya 0.6 kg per
pohon (di mana secara potensial seharusnya sudah memiliki produksi sebanyak 20
jeruk keprok SoE pada musim produksi tahun 2009-2010, berdasarkan umur
berlangsung.
Rata-rata produksi JKS petani contoh secara total adalah 281.3 kg per
petani dengan rentangan tertinggi terdapat pada daerah dataran tinggi (451.3 kg
per o.92 ha atau 487.5 kg per ha) dan daerah dataran rendah sebanyak 111.3 kg
per 0.41 ha (177 kg per ha) per petani responden. Bila diperhatikan per umur
mencapai produksi maksimum pada umur tanaman 14 tahun setelah tanam dengan
SoE di daerah dataran rendah erat kaitannya dengan kondisi agroklimat yang
SoE di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 56 dan Gambar 43. Secara detail
perhitungan produksi dan produktivitas jeruk keprok SoE per desa-desa contoh
dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai Lampiran 8 dari hasil penelitian ini.
Tabel 55. Rata-Rata Jumlah Produksi Jeruk Keprok SoE Petani Responden di Desa-Desa Contoh: Berdasarkan Umur Tanaman
80
70
Dataran Tinggi (kg/petani)
60
Produksi (Kg/Petani
40
30
20
10
0
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20
Umur Tanaman (Tahun)
Gambar 42. Rata-Rata Produksi Jeruk Keprok SoE Berdasarkan Umur Tanaman
247
Tabel 56. Rata-Rata Produktivitas Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh: Berdasarkan Umur Tanaman
16
Produktivitas (Kg/Pohon)
14
12 Dataran Tinggi (kg/phn)
10 Dataran Rendah (kg/phn)
8
6
4
2
0
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20
Umur Tanaman (Tahun)
tanaman jeruk keprok SoE mencapai maksimumnya pada umur 15 tahun setelah
tanam, musim produksi tahun 2009-2010. Setelah mencapai umur 17 tahun dan
dan atau tidak berproduksi setelah mencapai umur 20 tahun lebih setelah tanam.
Berdasarkan teori diketahui bahwa jeruk keprok (dari bibit okulasi atau
cangkokan) tidak akan berproduksi dengan baik setelah tanaman sudah berumur
17 tahun. Hal ini berarti bahwa tanaman jeruk keprok sebaiknya diremajakan atau
adalah 281.3 kg per 0.66 ha (376.9 kg per ha) per petani, dengan rentangan 25
hingga 1 215 kg. Produktivitas JKS pada tahun 2010 adalah sebesar 6.2 kg per
pohon dengan range 0.6 hingga 11.3 kg per pohon produktif. Produktivitas
tertinggi terdapat pada tanaman yang sudah berumur 15 tahun setelah tanam. Bila
dataran tinggi jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan produksi di zona dataran
rendah. Rata-rata produksi jeruk di daerah dataran tinggi adalah 451.3 kg per 0.92
ha per petani, dengan rentangan 123 hingga 1 215 kg. Produktivitas lahan
usahatani jeruk di daerah ini sebesar 8.4 kg, dengan range 0.6 hingga 14.3 kg per
111.3 kg per 0.41 ha per petani, dengan rentangan 25 sampai dengan 410 kg per
petani. Produktivitas lahan usahatani jeruk di zona dataran rendah ini adalah
sebesar 4.0 kg, dengan range 0.7 hingga 7.34 kg per pohon produktif.
tahun. Perbedaan produktivitas jeruk keprok SoE lebih disebabkan oleh adanya
petani), faktor lingkungan fisik dan non fisik (peraturan dan kebijakan lainnya).
Tabel 57. Rata-Rata Jumlah Penjualan Petani Jeruk Keprok SoE Berdasarkan
Sistem Penjualan dan Kelas Mutu
Total produksi1) (kg) 451.32 100.00 1 215.00 123.00 111.27 100.00 410.00 25.00 100.00
Jumah yang dijual (kg) 441.68 97.87 1 200.00 115.00 104.57 93.98 385.32 20.00 95.92
Jual di muka per
pohon2) dan per kg(kg) 49.88 11.29 250.00 20.00 12.20 11.67 150.00 5.00 11.48
Saat panen
Per pohon dan per
kebun2) (kg) 130.37 29.52 800.00 25.00 30.90 29.55 250.00 6.00 29.53
Per kg (total kelas)3)
(kg): 261.43 59.19 1 155.30 115.00 61.47 58.78 283.50 9.26 58.99
Kelas Super (kg) 7.67 1.74 43.50 20.00 2.62 2.50 16.50 2.00 2.12
Kelas I (kg) 46.47 10.52 232.00 20.00 11.17 10.68 52.50 2.00 10.60
Kelas II (kg) 169.00 38.26 742.50 30.00 39.88 38.14 173.50 2.26 38.20
Kelas III (kg) 38.30 8.67 137.30 45.00 7.80 7.46 41.00 3.00 8.07
Jumlah untuk
konsumsi dan hal-hal
lainnya (kg) 9.63 2.13 30.00 2.00 6.70 6.41 23.00 1.00 4.27
petani contoh, jumlah yang dijual adalah sebesar 97.87% (441.68 kg) dan sisanya
250
penjualan di zona dataran rendah adalah 104. 57 kg atau sebesar 93.98% dari rata-
rata produksi per petani pada tahun 2010. Rata-rata penjualan adalah sebesar
97.1% dari jumlah produksi atau sebesar 273.13 kg ditujukan ke pasar. Dengan
demikian dikatakan bahwa usahatani jeruk keprok SoE sudah berorientasi pasar.
(59.1%) petani menjual JKS mereka dengan sistem per kg pada saat panen dan
sisanya sebanyak 29.5% menjual dengan metode per pohon saat panen serta
11.4% menjual dengan sistem ijon (per pohon dan per kg). Bila dibandingkan
antar zona, maka jumlah penjualan per kg pada saat panen merupakan hal yang
penting bagi para petani di kedua daerah penelitian ini. Demikian pula halnya
dengan sistem penjualan borongan per pohon, di mana jumlah penjualan jeruk
petani tidak terlalu berbeda antar kedua zona penelitian. Persentase jumlah
penjualan jeruk petani di dataran tinggi dengan sistem ijon sedikit lebih rendah
keprok SoE yang paling banyak adalah jeruk kelas II sebesar 38.2%, diikuti kelas
I (10.6%) dan kelas III (8.4%). Sedangkan JKS dengan mutu terbaik (kelas super)
hanya sebesar 1.9%. Hal yang sama juga terjadi pada zona dataran tinggi di mana
jumlah penjualan dengan kelas mutu II merupakan hal yang dominan dilakukan
petani contoh di daerah penelitian. Jumlah penjualan jeruk keprok SoE dengan
kelas mutu II di daerah dataran rendah lebih banyak (39.9%) bila dibandingkan
dengan daerah dataran tinggi yang hanya berjumlah 38.3% dari total penjualan per
Berdasarkan data harga dari berbagai metode penjualan dan kelas mutu
seperti yang tercantum pada Tabel 53 di atas, maka penerimaan petani jeruk dapat
yang dijual dikalikan dengan harganya, diukur dalam Rp per kg. Penerimaan
berdasarkan sistem penjualan dan kelas mutu yang dilakukan oleh petani
58.
Tabel 58. Rata-Rata Penerimaan Petani Berdasarkan Sistem Penjualan dan Kelas
Mutu Jeruk Keprok SoE
Rata-
Dataran Tinggi Dataran Rendah Rata
Sistem
Penjualan dan Rata- Rata- (%)
Kelas Mutu rata1) % Max Min rata % Max Min
Penerimaan
total Rata-rata2)
(Rp) 3 875 251 100.0 2 4027 550 1 165 000 878 002 100.0 6 455 250 118 803 100.0
Penerimaan
(Rp/Ha) 4 185 271 25 949 754 1 258 200 1369 683 10 070 190 185 332 0.0
Jual di muka
per pohon dan
per kg (Rp) 212 004 5.5 1 125 000 80 000 51 850 5.9 675 000 20 000 5.7
Saat panen:
Kelas Super
(Rp) 122 800 3.2 891 750 250 000 38 323 4.4 338 250 19 000 3.8
Kelas I (Rp) 621 149 16.0 4 083 200 200 000 139 258 15.9 924 000 16 000 15.9
Kelas II (Rp) 1 896 206 48.9 11 880 000 240 000 428 746 48.8 2 776 000 15 803 48.9
Kelas III (Rp) 325 550 8.4 1 647 600 270 000 65 325 7.4 492 000 18 000 7.9
usahatani jeruknya, secara rata-rata berjumlah Rp 3 422 342 per hektar. Bila
dibandingkan antar zona, maka penerimaan petani pada daerah dataran tinggi
lebih besar (Rp 4 185 271.4 per hektar) bila dibandingkan dengan daerah dataran
rendah yang hanya sebesar Rp 1 369 683 per hektar per petani contoh, pada tahun
2010. Usahatani JKS tidak cocok untuk daerah dataran rendah yang ekstrim
kering. Rendahnya penerimaan (per hektar) dari usahatani petani jeruk keprok
(tingkat kekeritisan lahan dan iklim kering yang ekstrim) serta faktor non fisik
lainnya.
diperoleh dari sistem penjualan per kg pada saat panen (Rp 1 792 107.4 per
petani) atau sebesar 75% dari rata-rata penerimaan dan yang paling rendah
diperoleh dari sistem penjualan di muka (per pohon dan per kg) yakni hanya
sebesar Rp. 131 927 per petani) atau 5,6% dari rata-rata penerimaan petani JKS di
tidak ada perbedaan persentase penerimaan antar metode penjualan antar zona
metode penjualan per pohon dan per kebun pada saat panen adalah sebesar Rp 416
606 per petani atau sebesar 18% dari rata-rata penerimaan per petani (18% untuk
dataran tinggi dan 17.6% untuk dataran rendah). Kontribusi penerimaan terbesar
253
dengan sistem per kg berasal dari penjualan jeruk kelas II yakni sebesar 48.8%,
diikuti kelas I sebesar 16% dan kelas III sebesar 8%. Perbedaan ini lebih
disebabkan adanya perbedaan harga dan jumlah penjualan per petani contoh.
keuntungan dari agribisnis JKS yang sudah dijalankan oleh petani selama ini.
Pendapatan usahatani dihitung dari selisah antara penerimaan dan biaya usahatani
jeruk keprok SoE per hektar. Dalam perhitungan biaya usahatani, hanya dua input
produksi yakni kompos dan tenaga kerja keluarga yang diperhitungkan karena
ketersediaan datanya. Selain itu, hanya kedua input tersebut yang dimanfaatkan
oleh petani. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, para petani responden tidak
jeruk mereka. Usahatani JKS adalah usahatani organik, tidak menggunakan zat-
pemasarannya.
usahatani adalah yang digunakan petani untuk tanaman produktif selama musim
produksi tahun 2009-2010. Dengan demikian, biaya pembelian bibit, tenaga kerja
pendapatan petani ini. Rata-rata jumlah input yang digunakan oleh petani secara
rata-rata pada kedua zona adalah kompos 5.59 kg dan tenaga kerja keluarga 18.19
HOK (pemeliharaan 11.16; panen 3.18; pascapanen 1.63 dan pemasaran 2.23
HOK). Petani di daerah dataran tinggi menggunakan input yang lebih besar
254
prosedur (SOP) jeruk keprok SoE yang sudah diterbitkan sejak tahun 2006 dan
tercantum pada Tabel 59. Dari tabel diketahui bahwa secara rata-rata biaya
usahatani produksi jeruk keprok SoE adalah sebesar Rp 399 738 per ha per petani
dengan rentangan maksimum Rp. 2 803 680 dan minimum Rp 112 320 per ha per
petani. Sedangkan biaya per unit produksi JKS adalah Rp 1 935.4 per kilogram
produksi jeruk keprok SoE. Komponen biaya input terbesar terdapat pada biaya
Tabel 59. Biaya Usahatani Jeruk Keprok SoE di Daerah Penelitian Per Hektar
Rata-
Biaya (Rp/Ha)
Rata
Input
Dataran Tinggi Dataran Rendah
Produksi
Rata- Rp/Ha
Rata-rata Max Min Max Min
rata
Kompos 7 668 64 800 2 160 2 496 30 810 0 5082
Tenaga Kerja 481 680 2 738 880 179 280 307 632 1 154 400 112 320 394 656
Total 489 348 2 803 680 181 440 310 128 1 185210 112 320 399 738
Biaya per unit
Produksi 1 084.3 2 786.4 1935.4
(Rp/Kg)
Persentase Kompos Tenaga Kerja Kompos Tenaga Kerja
(%) terhadap
biaya total 1.6 98.4 0.8 99.2
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).
lokasi sampel, maka dataran tinggi merupakan zona dengan penggunaan input
produksi tertingi (rata-rata biaya Rp 489 348 per ha) dibandingkan zona dataran
rendah dengan rata-rata biaya produksi sebesar Rp 310 128 per ha. Namun
255
komposisi biaya per unit produksi jeruk di daerah dataran rendah sangat besar
yakni Rp 2 786.4 per kg. Komponen tenaga kerja untuk kedua zona masih
petani JKS per hektar selama musim produksi tahun 2009-2010. Pendapatan yang
usahatani jeruk keprok SoE (per hektar per petani responden) di daerah penelitian.
adalah sebesar Rp 2 377 739.0 dengan rentangan maksimum Rp 23 146 074 dan
Tabel 60. Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usahatani Jeruk Keprok SoE di
Daerah Penelitian
Rata-Rata
Dataran Tinggi (Rp/Ha) Dataran Rendah (Rp/Ha)
Penerimaan, Biaya
& Pendapatan (Rp/Ha)
Rata-rata Max Min Rata-rata Max Min
Penerimaan 4 185 271.4 25 949 754.0 1 258 200 1 369 682.7 10 070 190.0 185 331.9 2 777 477.03
Biaya 489 348.0 2 803 680.0 181 440 310 128.0 1 185 210.0 112 320.0 399 738.00
Pendapatan 3 695 923.4 23 146 074.0 1 076 760 1 059 554.7 8 884 980.0 73 011.9 2 377 739.03
Persentase
biaya/pendapatan1) 13.2 29.8 21.25
(%)
Penerimaan
271 745 000 257 150 000 264 100 000
Potensial2) (Rp)
Penerimaan
1.54 0.53 1.04
Aktual (%)
Peluang
peningkatan 98.46 99.47 98.96
penerimaan (%)
rendah (Rp 1 059 555 per ha) atau hanya sebesar 28.7% saja dari pendapatan
256
petani di daerah dataran tinggi (Rp 3 695 923.4 per ha). Maksimum pendapatan
petani di daerah dataran tinggi adalah Rp 23 146 074) dan dataran rendah Rp 8
884 980 per hektar per petani. Rasio biaya per pendapatan pada zona dataran
rendah jauh lebih besar (30%) bila dibandingkan dengan dataran tinggi (13%).
tingkat penerimaan rata-rata petani dari usahatani JKS masih sangat rendah yakni
hanya sebesar 1% dari penerimaan potensialnya (1.5% di zona dataran tinggi dan
0.5% di zona dataran rendah). Dengan kata lain agribisnis JKS di daerah
penelitian masih menyimpan potensi yang sangat besar (99%) untuk ditingkatkan
hanya dapat dimanfaatkan jika petani dan pelaku agribisnis JKS lainnya mampu
tersimpan (idle capacity) karena ketiadaan investasi dan kondisi lingkungan fisik
dan non fisik usahatani jeruk keprok SoE tersebut. Pembahasan secara mendalam
Pada bagian ini akan dibahas hasil analisis pendugaan fungsi produksi
Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Basis analisis dan pembahasan adalah
performansi antar zona dan ukuran usahatani dari efisiensi teknis usahatani jeruk
keprok SoE. Pembahasan dimulai dari pengujian perbedaan sistem produksi dan
6.1. Analisis Perbedaan Sistem Produksi antar Zona Agroklimat dan Ukuran
Usahatani Jeruk Keprok SoE
sesuai untuk digunakan di dalam penelitian ini, maka analisis perlu dilakukan
untuk mengetahui apakah sistem produksi antar zona dan ukuran usahatani jeruk
keprok SoE berbeda atau tidak. Untuk mencapai maksud tersebut maka penelitian
ini membagi responden berdasarkan zona agroklimat (dataran tinggi dan dataran
≥ 1 ha)
rendah) dan ukuran usahatani (< 1 ha dan pada daerah dataran tinggi.
Pembedaan ini perlu diuji terlebih dahulu karena pembedaan tidak akan berarti
jika sistem produksi petani jeruk keprok SoE antar zona dan ukuran usahatani
yang berbeda itu sama. Jika petani responden pada zona agroklimat dan ukuran
usahatani yang berbeda itu memiliki sistem produksi yang berbeda, maka analisis
pengembangan usahatani jeruk keprok SoE ditujukan secara spesifik lokasi dan
ukuran usahatani yang benar. Oleh karena alasan tersebut, maka perlu diuji
terlebih dahulu apakah terdapat perbedaan sistem produksi antar zona agroklimat
dan ukuran usahatani jeruk keprok SoE. Beberapa hasil analisis fungsi stokastik
frontier model translog adalah seperti tercantum pada tabel-tabel berikut dan
Tabel 61. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dengan Dummy Zona Agroklimat
Dataran Tinggi dan Rendah pada Usahatani Jeruk Keprok SoE di
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2010
Variabel Koefisien Standar Error T hitung
Intersep (β 0 ) 2.997 0.257 11.654***
Jumlah Pohon Produktif (β 1 ) 0.438 0.042 10.389***
Kompos (β 2 ) 0.030 0.011 2.806***
Tenaga Kerja (β 3 ) 0.107 0.054 1.978***
Dummy Bibit (β 4 ) 0.239 0.154 1.555***
Dummy Zona (β 5 ) 1.007 0.084 12.030***
σ2 0.444 0.106 4.177***
γ 0.672 0.187 3.583***
LR 15.02***
Keterangan: *: nyata pada α = 1% dan **: nyata pada α = 5%
tercantum pada Tabel 61 tersebut menunjukkan bahwa produksi jeruk keprok SoE
pada daerah dataran tinggi berbeda dengan sistem produksi jeruk keprok SoE pada
daerah dataran rendah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai varibel dummy zona (β 5 )
yang signifikan pada α = 0.01. Oleh karena itu, dalam pembahasan selanjutnya
akan dibedakan antara petani yang berada di daerah dataran tinggi dan daerah
dataran rendah.
usahatani (β 5 ) juga telah dilakukan untuk menguji apakah sistem produksi pada
259
ukuran usahatani yang lebih kecil dari satu hektar (< 1 ha) berbeda dengan sistem
≥ 1 ha
produksi pada ukuran usahatani pada daerah dataran tinggi. Hasil
Tabel 62. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dengan Dummy Ukuran Usahatani pada
Usahatani Jeruk Keprok SoE Daerah Dataran Tinggi di Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Tahun 2010
Variabel Koefisien Standar Error T hitung
Intersep (β 0 ) 5.326 0.406 13.117***
Jumlah Pohon Produktif (β 1 ) 0.222 0.061 3.695***
Kompos (β 2 ) -0.084 0.052 -1.620***
Tenaga Kerja (β 3 ) -0.004 0.055 -0.071***
Dummy Bibit (β 4 ) 0.622 0.180 3.464***
Dummy Ukuran Usahatani (β 5 ) -0.232 0.071 -3.281***
σ2 0.359 0.063 5.664***
γ 0.839 0.077 10.941***
LR 19.25***
Keterangan: *: nyata pada α = 1% dan **: nyata pada α = 5%
antara sistem produksi pada ukuran usahatani kecil (< 1 ha) dengan ukuran
usahatani ≥ 1 ha. Semakin kecil ukuran usahatani, maka produksi jeruk keprok
secara terpisah.
Pada bagian ini ada dua hipotesis yang diuji. Hipotesis nol yang pertama
adalah bahwa model fungsi produksi translog memiliki nilai nol atau Ho:
Hipotesis nol yang kedua adalah bahwa tidak ada efek inefisiensi teknis
Jika hipotesis ini benar, maka fungsi produksi rata-rata tradisional atau ordinary
Kedua hipotesis nol ini diuji untuk berbagai model analisis yakni untuk
dataran tinggi, dataran rendah dan semua ukuran usahatani pada zona dataran
tinggi; di mana model fungsi produksi stokastik frontier untuk semua unit analisis
dibandingkan dengan translog ditolak untuk semua model analisis, baik antara
zona agroklimat maupun antar ukuran usahatani jeruk keprok SoE di daerah lahan
kering di NTT. Dengan demikian, maka bentuk fungsi translog telah dipilih untuk
dalam penelitian ini. Hipotesis nol yang kedua yang menyatakan bahwa tidak ada
efek inefisiensi teknis di dalam model frontier juga ditolak untuk semua model
analisis, baik antara zona agroklimat maupun antar ukuran usahatani jeruk keprok
SoE di daerah lahan kering di NTT. Dari hasil analisis dan pengujian hipotesis-
hipotesis tersebut disimpulkan bahwa bentuk fungsi translog dan metode MLE
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah); Lampiran 12, 13, 14 dan 15.
6.3. Model Empiris Fungsi Produksi Stokastik Frontier Jeruk Keprok SoE
analisis ini adalah fungsi produksi translog. Bentuk fungsi ini lebih fleksibel dari
bentuk fungsi lainnya karena memiliki koefisien estimasi dari second order terms
maupun produksi) sangat besar pengaruhnya pada produksi JKS. Namun, para
262
dua tahap. Tahap pertama menggunakan metode ordinary least square (OLS)
u i (σ v2 dan σ u 2).
stochastic frontier dari fungsi translog dan model efek dari inefisiensi teknis
Dua zona agroklimat yakni dataran tinggi dan dataran rendah memiliki
karakteristik yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Petani sampel di
itu, maka model fungsi stokastik frontier diformulasikan dan dianalisis secara
terpisah. Jika tidak dilakukan analsis secara terpisah, maka koefisien estimasinya
akan bias (Greene, 2000 dan Wollni, 2007). Kondisi penggunaan input produksi
JKS petani contoh adalah seperti yang tercantum pada Tabel 64 berikut ini. Perlu
dicatat bahwa jumlah penggunaan kompos, tenaga kerja dan bibit okulasi adalah
263
jumlah input yang digunakan untuk tanaman produktif saja. Tenaga kerja yang
Faktor Inefisiensi
Penidikan (tahun) 7.41 12.00 1.00 7.91 16.0 3.00
Pengalaman (tahun) 19.93 37.00 9.00 14.13 35.0 7.00
KPPL (…kali) 0.78 3.00 0.00 0.64 2.0 0.00
Umur Petani (tahun) 48.70 60.00 36.0 47.34 63.0 25.00
SPL (dummy) 0.83 1.00 0.00 0.90 1.0 0.00
MP (dummy) 0.87 1.00 0.00 0.63 1.0 0.00
KKT (dummy) 0.66 1.00 0.00 0.52 1.0 0.00
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).
nilai t dari model efisiensi frontier dari usahatani JKS di Kabupaten TTS tahun
2010, pada zona dataran tinggi dan dataran rendah. Tabel tersebut menunjukkan
produksi stokastik frontier model ini adalah 36.97 untuk zona dataran tinggi dan
Semua nilai LR adalah lebih besar dari nilai tabel. Nilai rasio secara
statistik nyata pada α = 5% untuk zona dataran tinggi dan dataran rendah yang
diperoleh dari tabel distribusi χ2 Chi Square. Artinya, semua fungsi produksi
keberadaan efisiensi dan inefisiensi teknis petani di dalam proses produksi jeruk
keprok SoE.
terhadap varians total (ε i ) diperoleh nilai berkisar antara 0.94 untuk dataran tinggi
hingga 0.70 untuk dataran rendah. Secara statistik, nilai yang diperoleh tersebut
berbeda nyata dari nol pada α=5% untuk semua unit analisis. Angka ini
menunjukkan bahwa 94% (dataran tinggi) dan 70% (dataran rendah) dari variasi
hasil diantara petani responden disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis dan
sisanya sebesar 6% (dataran tinggi) dan 30% (dataran rendah) disebabkan oleh
adalah bukan saja berasal dari efek inefisiensi teknis, tetapi juga berasal dari
tinggi (6%). Faktor eksternal tersebut antara lain adalah faktor kekeringan yang
berkepanjangan (lebih dari delapan bulan dalam setahun), angin kencang pada
saat jeruk berbunga (bulan Agustus-September) dan curah hujan yang rendah.
265
Tabel 65. Estimasi Parameter dan t Rasio Model Fungsi Produksi Stokastik
Frontier Menggunakan MLE di Dataran Tinggi dan Rendah
Keadaan cuaca yang ekstrim kering (9-10 bulan kering, curah hujan yang
hanya 1500 mm dalam setahun) (seperti yang sudah dibahas pada Bab V) sering
per pohon) di daerah dataran rendah lebih disebabkan oleh faktor-faktor selain
kondisi agroklimat di daerah dataran rendah merupakan hal penting untuk segera
rendah dengan varietas JKS, maka perbaikan bibit JKS yang sesuai dengan
kondisi tersebut mutlak dilakukan. Oleh karenanya, produksi benih yang khas
daerah dataran rendah perlu ditingkatkan. Upaya ini telah mulai dirintis oleh
Pemerintah Daerah Provinsi melalui Balai Benih Induk yang ada di Kecamatan
Batu Putih Kabupaten TTS dan di desa Nonbes Kecamatan Kupang Timur
Kabupaten Kupang. Kedua Balai Benih Induk itu ditujukan untuk melakukan uji
coba tanaman hortikultura khas daerah dataran rendah, termasuk jeruk keprok SoE
model (H0: γ=δ 0 =…..=δ 8 =0) adalah juga ditolak pada tingkat signifikan sebesar
5%. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan usahatani sampel baik di dataran
efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE atau secara teknis belum mencapai
parameter yang diestimasi dari fungsi produksi stokastik frontier pada model
fungsi translog adalah sesuai dengan yang diharapkan. Nilai koefisien estimasi
dari semua variabel adalah positif. Tanda positif menunjukkan adanya hubungan
yang positif antara faktor-faktor produksi teknis tersebut dengan jumlah produksi
faktor produksi tersebut akan meningkatkan produksi jeruk keprok SoE baik di
zona dataran tinggi, maupun zona dataran rendah. Tanda negatif untuk beberapa
variabel kuadratik dan interaksi menunjukkan bahwa produksi jeruk keprok SoE
pohon produktif, umur tanaman produktif, kompos dan tenaga kerja akan
produksi pada daerah dataran tinggi memberikan efek yang besar (elastis) pada
produksi jeruk keprok SoE, kecuali untuk jumlah pohon produktif. Pada daerah
produktif sebesar 10% akan meningkatkan produksi JKS sebesar 8%. Jumlah
tanaman produktif memberikan efek yang kecil (inelastis untuk unit analisis
daerah dataran tinggi) pada produksi JKS sejak jumlah kepemilikan tanaman
produktif per hektar dari petani responden masih sangat sedikit yakni 63 pohon
per ha dibandingkan dengan jumlah potensialnya sebesar 278 pohon per ha.
268
return to scale). Hal ini mengindikasikan bahwa petani saat ini sedang
menunrunkan biaya produksi per unit output dari usahatani JKS daerah lahan
terhadap produksi batas (frontier) petani responden adalah variabel jumlah pohon
tanaman produktif dan tenaga kerja keluarga ditemukan tidak berpengaruh nyata
terhadap produksi jeruk keprok SoE petani responden. Sedangkan pada zona
dataran rendah, terdapat tiga variabel yang berpengaruh nyata yakni umur
tanaman produktif, tenaga kerja dan penggunaan bibit okulasi. Pembahasan detail
adalah tanaman JKS yang sudah berumur ≥ 5 tahun. Hasil pendugaan seperti
dari variabel ini ditemukan berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi JKS
pada daerah dataran tinggi. Jumlah tanaman produktif merupakan faktor produksi
terhadap tanaman produktif pada daerah dataran tinggi adalah positif, namun
inelastik (nilai elastisitas 0.9). Petani masih rasional jika mempunyai keinginan
untuk menambah jumlah pohon produktif. Hal ini bisa dibenarkan sejak jumlah
269
jumlah tanaman yang dianjurkan pada standard operational procedure (SOP) jeruk
Tren yang berbeda terjadi pada daerah dataran rendah (nilai elasttisitas
sebesar 1.2). Namun, pengaruh jumlah pohon produktif pada daerah dataran
rendah adalah positif dan tidak nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa
keprok SoE. Jadi JPP dianggap konstan. Petani belum mengusahakan JKS secara
tenaga kerja terampil) dan lingkungan fisik. JKS di daerah ini diusahakan pada
lahan yang sempit (44 pohon per ha per petani) dan kritis sehingga
terutama iklim yang ekstrim kering di dataran rendah ini cukup besar (30%)
terhadap variasi produksi JKS. Walaupun JPP tidak memberikan efek yang berarti
pada produksi, petani tetap mengusahakan tanaman ini karena sebagai suatu aset
ekonomi dan budaya (warisan, indikator umur dan prestise) yang penting.
menunjukkan fakta bahwa pada satu unit lahan terdapat variasi tanaman JKS yang
tinggi (baik yang produktif maupun yang non produktif). Share tanaman produktif
di daerah dataran tinggi adalah 32% dan dataran rendah sebanyak 55% dari total
kepemilikan tanaman jeruk per petani responden, seperti yang sudah dibahas pada
keprok SoE daerah penelitian pada musim produksi tahun 2009-2010 didominasi
oleh tanaman non produktif. Hal ini berarti bahwa petani masih memiliki peluang
kabupaten TTS adalah usahatani pada lahan dengan kemiringan lebih besar dari
300 (sebesar 68%) (Bappeda, 2010) terutama untuk daerah dataran tinggi, tanpa
ada sentuhan teknologi konservasi seperti terasering, dan lain sebagainya. Lahan
dengan kemiringan seperti itu adalah rentan terhadap erosi tanah terutama pada
produktif setiap petani contoh masih sangat rendah, dengan rata-rata 58 pohon (63
pohon per ha) untuk dataran tinggi dan 28 pohon (44 pohon per ha) untuk daerah
dataran rendah. Jumlah kepemilikan tanaman produktif ini masih sangat rendah
bila dibandingkan dengan jumah secara potensial yakni 278 pohon per hektar
14.5 tahun untuk dataran tinggi dan 11.9 tahun untuk dataran rendah. Jeruk mulai
setelah umur 15, 16 atau 17 tahun setelah tanam (seperti yang sudah
dideskripsikan pada Bab V tulisan ini). Semakin tua suatu tanaman jeruk, maka
271
dari variabel ini juga akan mendorong petani apakah dia akan melakukan
daerah dataran rendah berpengaruh positif dan nyata. Sedangkan pada zona
pengembagan jeruk keprok SoE di daerah dataran tinggi, umur tanaman produktif
berhubungan positif dan pengaruhnya tidak nyata. Semakin tua tanaman jeruk,
menyebabkan variasi produksi JKS. Pada kondisi umur tanaman produktif 14.5
kondisi produktivitas yang rendah (8.4 kg per pohon) dan konstan tersebut,
bahwa banyak tanaman jeruk yang mati. Hasil analisis variabel umur kuadratik
(bernilai positif) menunjukkan bahwa JKS yang dimiliki petani responden baik di
daerah dataran tinggi maupun dataran rendah masih berada pada kondisi umur
kondisi nutrisi tanaman itu sendiri. Lahan kering dengan kondisi lahan yang kritis
dan curah hujan yang rendah disertai dengan sistem pemeliharaan tanaman yang
tradisional atau tidak intensif telah menyebabkan umur tanaman jeruk keprok
translog, umur tanaman produktif juga dimasukkan sebagai salah satu variabel
interaksi dengan variabel lainnya. Interkasi antara umur tanaman produktif dan
kompos menunjukkan pengaruh positif dan nyata pada produksi jeruk keprok
SoE. Interaksi antar umur tanaman produktif dan tenaga kerja adalah negatif dan
berpengaruh nyata pada produksi jeruk keprok SoE pada kedua zona penelitian
ini. JKS kurang diperhatikan oleh para petani responden. Semakin bertambahnya
umur tanaman, sebaiknya semakin mendapat perawatan yang lebih baik dari para
pengelolanya. Indikator ini menyarankan agar para petani lebih merawat tanaman
mereka secara intensif terutama untuk tanaman yang semakin tua, agar
dengan faktor-faktor produksi lainnya, terutama untuk daerah dataran tinggi. Hal
dengan meningkatnya umur tanaman produktif. Hal ini dapat tercapai jika
berpengaruh nyata pada unit analisis pada daerah dataran tinggi. Peningkatan
penggunaan kompos memberikan efek yang besar dan elastis pada semua unit
analisis yakni 1.05 untuk daerah dataran tinggi dan 1.18 untuk daerah dataran
rendah. Jumlah dan kualitas kompos yang digunakan oleh petani sangat rendah
bila dibandingkan dengan standar operasional prosedur yang telah dibuat oleh
273
Dinas Pertanian NTT (2010b). Rata-rata penggunaan kompos petani contoh pada
daerah dataran tinggi selama musim produksi tahun 2009-2010 adalah 7.7 kg per
petani atau 0.12 kg per pohon produktif. Jumlah ini jauh lebih rendah bila
dan tidak memberikan efek yang berarti (dianggap konstan) bagi peningkatan
produksi jeruk keprok SoE. Walaupun penggunaan kompos masih berada jauh di
produktif), kompos masih tetap digunakan oleh petani sebagai suatu sarana
produksi JKS daerah lahan kering. Kompos yang digunakan petani adalah bahan
organik yang langsung diambil dari kandang ternaknya sendiri, tanpa mengetahui
dengan pasti tingkat kandungan nutrien pupuk kandang tersebut. Selain itu, petani
kondisi buah yang kurang lebat pada tahun berjalan. Cara pemberian kompos
seperti ini, dan juga kondisi kompos mentah yang diberikan pada tanaman jeruk
telah menyebabkan kompos belum memberikan efek yang berarti pada tahun
tersebut.
pada usahatani jeruk mereka. Kompos tersedia sangat dekat dengan usahatani
petani karena sebagian besar petani sudah mampu untuk memproduksinya sendiri.
Kondisi ini yang mendorong petani untuk tetap menggunakan kompos di dalam
274
penggunaan pupuk organik pada usahatani daerah lahan kering dan kritis sebagai
sumber unsur hara dan kelembaban tanah. Selain itu, hasil analisis interaksi
kompos dengan jumlah dan umur tanaman produktif adalah positif. Hal ini juga
daerah lahan kering dengan sistem tradisional tanpa menggunakan zat-zat kimia
penggunaan kompos. Pupuk organik ini dapat dijadikan andalan sejak usahatani
jeruk dilakukan pada daerah berbukit dengan kondisi lahan yang kritis, di mana
usahatani lahan kering yang sudah pada ambang kritis itu. Hal itu, misalnya dapat
produksi jeruk keprok SoE. Pada daerah dataran tinggi, penggunaan tenaga kerja
produksi jeruk keprok SoE. Dengan demikian, variabel tenaga kerja dianggap
konstan atau tidak menyebabkan adanya variasi pada produksi. Efek tenaga kerja
terhadap produski masih belum nyata diduga disebabkan oleh penggunaan tenaga
kerja yang kurang profesional dengan tingkat pendidikan yang rendah (Sekolah
Dasar) dan jumlah penggunaannya masih sedikit. Tenaga kerja keluarga belum
serius mengelola jeruk keprok SoE. Mereka hanya menekuni usahatani jeruk
keprok SoE pada skala operasi yang kecil (< 1 ha). Ini berarti bahwa terdapat
kapasitas tenaga kerja yang masih belum didayagunakan (idle capacity), sebagai
akibat ketiadaan investasi dan permodalan petani. Tenaga kerja lebih tertarik pada
sumber pendapatan lain di luar usahatani jeruk. Akibatnya, usahatani jeruk tidak
terawat. Sedangkan pendapatan dari luar usahatani jeruk itu tidak digunakan
produktif di dalam usahatani jeruk keprok SoE masih sangat kecil yakni hanya
13.72 HOK di daerah dataran tinggi dan 8.59 HOK untuk daerah dataran rendah
per musim produksi tahun 2009-2010. Jumlah ini masih sangat rendah (90% lebih
rendah) bila dibandingkan dengan standar penggunaan tenaga kerja sebesar 100
HOK untuk tanaman jeruk yang sudah berproduksi (Milla et al., 2002). Alokasi
penggunaan tenaga kerja yang sedikit ini dapat dijadikan indikator bahwa
276
usahatani jeruk keprok SoE merupakan usahatani sampingan bagi petani jeruk
jeruk petani yang tidak terawat dengan baik, bukan dikarenakan oleh ketiadaan
tenaga kerja, namun lebih disebabkan oleh alokasi tenaga kerja keluarga petani ke
perhatian petani pada usahatani jeruk keprok SoE. Selain itu, petani tidak
menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga yang lebih profesional di dalam
produksi jeruk keprok SoE adalah positif dan nyata pada α = 5% untk daerah
dataran tinggi dan dataran rendah. Bibit okulasi yang digunakan petani tidak
berlabel biru (100%). Penggunaan bibit yang tidak berlabel tidak memberikan
jaminan tanaman yang sehat dan berproduksi tinggi. Bibit yang digunakan petani
untuk tanaman jeruk keprok yang sudah berproduksi sampai dengan tahun 2009-
2010 lebih banyak (65%) adalah produksi sendiri dan dari para penangkar lokal
yang tidak bersertifikat sebagai penangkar. Pasokan bibit dari Pemerintah sangat
sedikit, tidak mampu memenuhi kebutuhan petani jeruk setiap tahun. Di pihak
lain, 95% petani responden tidak mengetahui bagaimana cara untuk menghasilkan
Petani responden pada umumnya (97%) tidak mengetahui penentuan bibit yang
277
baik atau bibit berkualitas (terutama dalam hal ukuran bibit, sumber batang
bawah, batang atas dan umur bibit yang siap tanam). Pelatihan pembuatan bibit
vegetatif berkualitas baik sangat perlu untuk segera dilakukan di dalam upaya
bibit produksi petani sendiri bersumber dari pohon yang tumbuh di kebun mereka
sendiri yang bukan merupakan pohon induk yang sehat (belum terdeterminasi
oleh Dinas yang berwenang seperti Balai Sertifikasi Benih baik Kabupaten
maupun Provinsi). Selain itu, pohon sebagai sumber benih (yang sudah
dideterminasi) juga masih tetap berproduksi. Hal ini dibiarkan oleh petani, karena
pohon tersebut merupakan sumber produksi pada tahun berjalan. Idealnya, pohon
jeruk yang merupkan sumber benih vegetatif, selama menjadi pohon induk tidak
lokal maupun internasional adalah memperluas areal tanam (jumlah pohon jeruk
keprok yang dimiliki petani) sebagai uapaya mengatasi terancam punahnya jeruk
keprok SoE yang tingkat kematiannya dari tahun ke tahun terus meningkat
(selama periode tersebut di atas). Pemberian anakan jeruk kepada petani adalah
dalam bentuk hibah. Salah satu dampak dari kebijakan ini adalah jumlah
kepemilikan tanaman jeruk keprok SoE yang belum menghasilkan pada tingkat
petani sampel lebih banyak (65%) dibandingkan dengan tanaman yang sudah
berproduksi (35%) (seperti yang sudah dibahas pada Bab V disertasi ini). Namun,
metode penanaman jeruk petani juga tidak memenuhi standar teknis budidaya.
278
stokastik frontier antar ukuran usahatani adalah seperti tercantum pada Tabel 66.
Faktor Inefisiensi:
Penidikan (tahun) 7.27 12.0 3.0 7.51 12.0 1.0
Pengalaman (tahun) 17.78 33.0 9.0 19.61 37.0 9.0
KPPL (…kali) 0.82 3.0 0.0 0.77 1.0 0.0
Umur Petani (tahun) 48.55 60.0 36.0 48.80 58.0 37.0
SPL (dummy) 0.86 1.0 0.0 0.86 1.0 0.0
MP (dummy) 0.83 1.0 0.0 0.86 1.0 0.0
KKT (dummy) 0.66 1.0 0.0 0.70 1.0 0.0
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).
Keterangan: KPPL: kontak dengan petugas pertania lapangan;SPL: sumber
pendapatan lain selain dari usahatani JKS; MP: metode penjualan;
KKT: keanggotaan kelompok tani
Perlu diketahui bahwa jumlah kompos dan tenaga kerja keluarga yang
tercantum pada tabel tersebut adalah jumlah input-input yang digunakan hanya
(dummy) adalah jenis bibit okulasi yang digunakan petani untuk kondisi tanaman
279
jeruk yang masih berproduksi pada tahun 2009-2010. Hasil estimasi parameter
fungsi produksi stokastik frontier bentuk fungsi translog antar ukuran usahatani di
Tabel 67. Estimasi Parameter dan t Rasio dari Model Fungsi Produksi Stokastik
Frontier dengan Menggunakan MLE
Variabel Para Ukuran < 1 Ha Ukuran ≥ 1 Ha
meter
Estimasi t-rasio Estimasi t-rasio
Model Stochastic Frontier:
Intersep β0 0.452 0.447*** 0.989 0.307***
JPP β1 2.643 2.844*** 2.465 2.979***
UTP β2 0.075 0.177*** 0.233 1.422***
Kompos β3 1.481 1.490*** 0.741 1.494***
Tenaga kerja β4 0.771 1.590*** 0.322 0.421***
0.5* JPP 2
β5 -0.904 -2.952*** -0.625 -3.802***
0.5*UTP2 β6 0.662 1.685*** 0.141 1.707***
0.5*Kompos 2
β7 -0.172 -0.607*** -0.314 -1.591***
0.5*Tenaga kerja2
β8 -0.071 -0.221*** 0.026 0.174***
JPP *UTP β9 0.892 2.129*** 0.409 0.667***
JPP *Kompos β 10 0.177 1.021*** 0.047 0.463***
JPP *Tenaga kerja β 11 0.330 1.480*** 0.071 0.626***
UTP*Kompos β 12 0.455 1.474*** 0.318 1.771***
UTP*Tenaga Kerja β 13 -0.193 -1.548*** -0.337 -1.737***
Kompos*Tenaga kerja β 14 0.073 0.379*** -0.007 -0.058***
Bibit (dummy) β 15 0.510 1.652*** 0.809 3.864***
Elastisitas Produksi Parsial:
JPP 2.53 1.34
UTP 5.72 1.64
Kompos 3.26 1.02
Tenaga kerja 1.55 1.56
Return to Scale: 13.07 5.55
Parameter Varians:
σ2 0.184 4.877*** 0.809 0.905***
γ 0.999 226.840*** 0.972 31.230***
Log-Likelihood -29.63 -22.78
LR 21.82* 39.05*
Responden (orang) 74 106
Luas Lahan JKS (ha) 0.76 1.19
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah); Lampiran 14 dan 15.
Keterangan: *: nyata pada α = 5%; **: nyata pada α = 10%; ***: nyata pada α =
15%; JPP: Jumlah pohon produktif ; UTP:Umur tanaman produktif
280
memiliki luas lahan usahatani jeruk keprok SoE kurang dari 1 ha. Dengan kondisi
tersebut, maka zona dataran rendah tidak dimasukkan di dalam analisis antar
ukuran usahatani (seperti yang dilakukan pada zona dataran tinggi). Ukuran
keprok yang didaftar untuk diregistrasi dan yang berhak mendapatkan sertifikasi
kebun dari Pemerintah (Pusat atau Daerah) adalah kebun jeruk yang berukuran
Tujuan analisis ini adalah untuk menentukan ukuran usahatani yang mana yang
memberikan nilai efisiensi teknis yang lebih tinggi, pada basis penggunaan
penelitian.
per petani (pada ukuran usahatani lebih kecil dari 1 ha) terdapat gangguan
inefisiensi yang sangat signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh adanya nilai gamma
yang sangat besar (0.99) dengan nilai rasio generalized-likelihood (LR) dari
fungsi produksi stokastik frontier lebih besar dari nilai tabel distribusi χ2 Chi
Square. Nilai rasio secara statistik nyata pada α = 5% untuk semua basis analisis,
baik pada ukuran usahatani kecil maupun luas. Artinya, semua fungsi produksi
efisiensi dan inefisiensi teknis petani di dalam proses produksi jeruk keprok SoE
di daerah dataran tinggi di kabupaten Timor Tengah Selatan. Dengan kata lain,
Tanda dan besaran dari parameter yang diestimasi dari fungsi produksi
stokastik frontier pada model fungsi translog adalah sesuai dengan yang
diharapkan. Nilai koefisien estimasi dari semua variabel adalah positif. Koefisien
yang bernilai positif menunjukkan adanya hubungan yang positif antara faktor-
faktor produksi teknis tersebut dengan jumlah produksi jeruk keprok SoE di
Dari Tabel 67, untuk ukuran usahatani yang lebih kecil dari satu hektar
batas (frontier) petani responden adalah variabel jumlah pohon produktif, kompos,
tenaga kerja keluarga dan penggunaan bibit okulasi. Sedangkan variabel umur
petani responden. Sedangkan untuk ukuran usahatani yang ≥ 1 ha, semua variabel
berpengaruh nyata pada produksi jeruk keprok SoE, kecuali tenaga kerja.
elastis dan nyata. Peningkatan jumlah pohon produktif akan memberikan nilai
ekonomi yang lebih tinggi kepada petani pengelola kebun jeruk keprok tersebut.
ukursan usahatani ≥ 1 ha, pengaruh dari umur tanaman produktif lebih besar
keprok sebesar 16.4% untuk ukuran usahatani yang lebih luas. Hal ini
perawatan tanaman produktif jeruk pada usahatani mereka agar umur ekonomis
Dari data diketahui bahwa tanaman produktif milik petani responden masih pada
kondisi umur teknis yang produktif yakni 14 tahun. Hasil analisis fungsi kuadrat
umur menunjukkan bahwa tanaman jeruk keprok SoE pada daerah dataran tinggi
pada kedua ukuran usahatani itu berpengaruh positif dan nyata. Hal ini
dibutuhkan petani adalah perawatan tanaman produktif yang intensif agar lebih
dari interaksi umur tanaman produktif dengan tenaga kerja (petani) yang
bahwa kompos dan tenaga kerja memberikan efek yang besar (elastis) terhadap
peningkatan jumlah dan kualitas kompos adalah hal yang sangat penting.
Pertanian organik merupakan salah satu cara menghadapi tekanan globalisasi (di
teknologi modern (benih transgenik, pupuk kimia, obat hama) yang semuanya
keberlanjutan pertanian itu sendiri (Winangun, 2005). Namun, tuntutan ini sulit
untuk dipenuhi petani kecil dan tradisional yang memiliki masalah modal usaha.
283
Tenaga kerja hanya memberikan efek yang berarti dan paling elastis pada
usahatani kecil. Perlu diingat bahwa tingkat pendidikan petani JKS yang rata-rata
Sekolah Dasar dan kemampuan investasi petani yang rendah telah menyebabkan
petani hanya mampu mengelola usahatani kecil lebih baik dibandingkan dengan
usahatani yang lebih besar. Tenaga kerja upahan yang seharusnya lebih
Hal ini diduga telah menghasilkan analisis pengaruh tenaga kerja keluarga yang
usahatani di daerah dataran tinggi adalah > 1 (increasing return to scale). Hal ini
dalam jangka panjang mereka dapat menunrunkan biaya produksi per unit output
dari usahatani JKS daerah lahan kering pada dataran tinggi. Petani masih sangat
faktor produksi yang sudah ada pada usahatani jeruk keprok SoE mereka.
Pada usahatani dengan ukuran kecil (< 1 ha) dan besar (≥ 1 ha), respons
produksi terhadap semua faktor produksi yang digunakan adalah elastis. Faktor-
diperhatikan pada usahatani kecil dan tradisional, terutama tenaga kerja. Hasil ini
sangat sesuai dengan hasil penelitian Wollni (2007), Dhehibi et al. (2007) dan
bahwa tenaga kerja merupakan faktor produksi utama (padat karya) di dalam
usahatani kecil; sedangkan usahatani besar membutuhkan modal yang lebih besar
Selain itu, pada usahatani kecil (kurang dari 1 ha) sebaiknya kegiatan
agar pengelolaan kebun jeruk semakin intensif dan menarik minat petani.
ekonomi jeruk pada ukuran usahatani kecil, sehingga semakin menarik minat
petani untuk secara serius memperhatikan dan memelihara tanaman jeruk keprok
SoE di masa datang. Dengan strategi ini, petani dapat mengalokasikan tenaga
kerja keluarga yang lebih banyak di dalam pemeliharaan tanaman jeruk mereka.
6.4. Analisis Efisiensi dan Inefisiensi Teknis Produksi Jeruk Keprok SoE
frontier model fungsi translog melalui pendekatan dari sisi input. Sebaran efisiensi
teknis hasil estimasi MLE dari model yang digunakan ditampilkan pada Tabel 68.
Boshrabadi et al., 2006; Dhehibi et al., 2007a dan 2007b; Lambarraa, 2007;
Vedenov et al., 2007; Wollni, 2007) menunjukkan bahwa nilai indeks efisiensi
hasil analisis dikategorikan cukup efisien jika lebih besar dari 0.70. Dengan
menelusuri sebaran nilai efisiensi teknis per individu petani responden, ditemukan
bahwa pada dataran tinggi terdapat 50% dari total petani responden yang sudah
efisien atau secara konsisten telah mencapai tingkat efisiensi lebih besar dari 70%;
petani yang nilai efisiensinya berada di bawah 0.70 adalah sebanyak 50% juga. Di
285
sini terlihat bahwa separuh dari jumlah petani jeruk keprpk SoE menderita
Bila dibandingkan antar zona, maka jumlah petani yang cukup efisien di
daerah dataran tinggi lebih banyak (50%) bila dibandingkan dengan daerah
dataran rendah (32.2%). Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar (68%)
dataran tinggi 0.21 hingga 0.95; dengan nilai rata-rata sebesar 0.65. Sedangkan
nilai rata-rata efisiensi teknis untuk zona dataran rendah adalah 0.61 dengan nilai
terendah 0.27 dan nilai tertinggi 0.89 (Gambar 44). Hal ini menyarankan bahwa
286
baik pada daerah dataran tinggi maupun dataran rendah masih terdapat peluang
yang besar (> 40%) untuk meningkatkan efisiensi teknis produksi jeruk keprok
SoE dengan menggunakan teknologi dan sumberdaya yang sudah ada. Petani
lebih tinggi hingga mencapai hasil maksimal seperti yang diperoleh petani paling
efisien secara teknis. Dalam jangka pendek, petani JKS di daerah penelitian
Mean Efisiensi
1,00
Mean Efiisiensi (%)
0.65
0,80 0.61
0.41
0,60
0,40
0,20
0,00 Zona
Dataran Tinggi Dataran Rendah
Gambar 44. Rata-Rata Luas Usahatani dan Mean Efisiensi Antar Zona
Pengembangan Usahatani Jeruk Keprok SoE.
Sebaran efisiensi teknis berdasarkan pada zona dataran tinggi dan dataran
Gambar 45 berikut ini. Dari Gambar diketahui bahwa jumlah petani di zona
dataran tinggi yang sudah menjalankan usahatani JKS secara efisien (dengan
tingkat efisiensi lebih besar dari 70%) lebih banyak dibandingkan dengan zona
dan kondisi lingkungan fisik dan non fisik (kebijakan) pada kedua daerah tersebut.
18.9
20,0
15.6
14.4
15,0
daerah penelitian tercantum pada Tabel 69. Dengan menelusuri sebaran nilai
efisiensi teknis per individu petani responden antar ukuran usahatani (Tabel 69,
Gambar 46), ditemukan bahwa jumlah petani yang cukup efisien (dengan nilai
rata-rata efisiensi > 70%) di zona dataran tinggi dengan ukuran usahatani≥ 1 ha
adalah lebih banyak (43%) bila dibandingkan dengan ukuran usahatani jeruk
keprok yang lebih kecil dari satu ha (4%). Hal ini mengindikasikan bahwa
gangguan inefisiensi pada usahatani JKS yang lebih luas lebih kecil bila
dibandingkan dengan ukuran usahatani jeruk keprok SoE yang lebih kecil. Hal ini
juga dapat dilihat pada nilai gamma seperti yang sudah dibahas pada sub bagian
sebelumnya.
288
Tabel 69. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Contoh Berdasarkan Ukuran Usahatani
Pada Daerah Dataran Tinggi
Efisiensi Teknis (%) Dataran Tinggi
< 1 Ha ≥ 1 Ha
Jumlah % Jumlah %
ET ≤ 20 3 1.67 0 0.00
20 < ET ≤ 30 15 8.33 5 2.78
30 < ET ≤ 40 12 6.67 2 1.11
40 < ET ≤ 50 19 10.56 8 4.44
50 < ET ≤ 60 10 5.56 5 2.78
60 < ET ≤ 70 8 4.44 9 5.00
70 < ET ≤ 80 0 0.00 19 10.56
80 < ET ≤ 90 3 1.67 39 21.67
ET > 90 4 2.22 19 10.56
Mean efficiency 0.460 0.750
Min 0.165 0.238
Max 0.999 0.955
% Petani yang efisien ( > 70%) 3.9 42.8
25,00
ukuran Usahatani < 1 Ha 21.67
15,00
seluruh (96%) petani dengan ukuran usahatani kecil (< 1 ha) menderita
tersebut juga membuktikan bahwa hanya 2.2% petani jeruk beroperasi di atas
tingkat efisiensi 90% pada ukuran usahatani kecil sementara 11% untuk ukuran
teknis untuk ukuran usahatani ≥ 1 ha di zona dataran tinggi lebih besar (0.75) bila
dibandingkan dengan ukuran usahatani yang lebih kecil dari satu hektar (0.46).
Hal ini menunjukkan bahwa semakin luas ukuran usahatani jeruk keprok SoE,
1.19
Mean Efisiensi (%) dan Luas (Ha)
1 0.76 0.75
0,8
0.46
0,6
0,4
0,2
0
< 1 Ha ≥ 1 Ha
Ukuran Usahatani
Tabel 70. Rata-Rata Produktivitas dan Efisiensi Teknis Usahatani Jeruk Keprok
SoE Berdasarkan Kelompok Umur Tanaman Produktif pada Zona
Agroklimat dan Ukuran Usahatani yang Berbeda
Kelompok Umur
Zona Agroklimat Ukuran Usahatani
Tanaman Produktif
(Tahun)
Dataran Dataran < 1 Ha ≥ 1 Ha
Tinggi Rendah
5 - ≤ 10 tahun:
Produktivitas (kg/Ha) 469.1 124.8 511.7 405.0
Efisiensi Teknis 0.61 0.60 0.41 0.75
Sebaran Efisiensi Teknis 0.21<ET≤0.93 0.33<ET≤0.87 0.24<ET≤0.79 0.45<ET≤0.93
%* 5.0 20.5 4.1 5.7
10 - ≤ 15 Tahun:
Produktivitas (kg/Ha) 482.2 176.9 597.3 461.8
Efisiensi Teknis 0.67 0.61 0.53 0.80
Sebaran Efisiensi Teknis 0.23<ET≤0.95 0.27<ET≤0.89 0.17<ET≤0.99 0.24<ET≤0.96
%* 57.0 73.9 56.8 57.5
15 - ≤ 20 tahun:
Produktivitas (kg/Ha) 489.0 210.1 551.9 441.0
Efisiensi Teknis 0.69 0.61 0.44 0.79
Sebaran Efisiensi Teknis 0.23<ET≤0.93 0.45<ET≤0.78 0.28<ET≤0.94 0.25<ET≤0.95
%* 37.0 5.6 39.1 35.8
> 20 Tahun:
Produktivitas (kg/Ha) 255.0 0.0 0.0 255.0
Efisiensi Teknis 0.64 0.0 0.0 0.66
Sebaran Efisiensi Teknis 0.0 0.0 0.0 0.0
%* 0.6 0.0 0.0 0.9
Sumber: Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi (Data Primer Tahun
2010, diolah).
Keterangan: *: Persentase terhadap total sampel
tahun tergolong tinggi untuk daerah dataran tinggi dan dataran rendah. Sedangkan
tingkat efisiensi teknis yang rendah untuk semua unit analisis (dataran tinggi,
kelompok umur tersebut, sistem usahatani JKS belum efisien secara teknis,
kecuali untuk skala operasi usahatani yang≥ 1 ha. Rentangan efisiensi teknis antar
usahatani di dalam kelompok umur tanaman produktif yang sama sangat besar.
daerah dataran tinggi, sebaran efisiensi teknisnya mulai dari usahatani yang sangat
tidak efisien dengan nilai ET sebesar 0.23 sampai dengan yang sangat efisien
secara teknis dengan nilai ET sebesar 0.93. Walaupun, jenis input produksi yang
digunakan sama, namun karena metode produksi yang petani terapkan pada
Tingkat efisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE adalah lebih rendah
tanaman tahunan. Sebagai contoh adalah penelitian dari Dhehibi et al. (2007) pada
Jeruk (0.68) di Tunisia; Vedenov et al. (2007) pada Kopi (0.87) di Mexico;
Wollni (2007) pada kopi (0.81) di Costa Rica, Trewin et al. (1995) pada padi di
(2006) pada jeruk (0.7), dan Hazarika dan Subramanian (1999) pada teh (0.88) di
India. Namun, tingkat efisiensi teknis hasil penelitian dari Lambarraa et al. (2007)
292
pada jeruk (0.64) di Spain dan Bravo-Ureta et al. (1990) pada kapas (0.58) adalah
lebih kecil dari hasil penelitian ini, khususnya pada daerah dataran tinggi (0.65) di
Timor Barat. Jika petani jeruk keprok SoE berusaha untuk meningkatkan luas
usahataninya pada level lebih besar dari satu ha, maka tingkat efisiensi teknisnya
mungkin dapat menjadi lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian-
bahwa tingkat efisiensi teknis untuk kacang-kacangan (0.63) oleh Squires (1991)
adalah lebih rendah dari hasil penelitian ini. Sedangkan hasil penelitian pada
tanaman padi di Indonesia memberikan nilai efisiensi teknis yang lebih tinggi
yakni Squires dan Tabor (1991) sebesar 0.70; Roche (1994) sebesar 0.82 dan
Trewin et al. (1995) sebesar 0.87 dan Daryanto (2000) sebesar 0.77 untuk padi
Dua zona, dataran tinggi dan dataran rendah, dijadikan fokus dengan
2007) yang dapat mempengaruhi tingkat efisiensi usahatani. Selain itu, kebijakan
pengembangan jeruk keprok SoE di TTS sejak sepuluh tahun terakhir ditujukan
pada daerah spesifik dataran tinggi dan dataran rendah. Kedua zona tersebut
Provinsi NTT. Pertanyaan yang hendak dijawab adalah zona manakah yang dapat
memberikan tingkat efisiensi yang tinggi dan faktor-faktor apa saja yang
293
dianalisis secara simultan dengan menggunakan model efek inefisiensi teknis dari
digunakan di dalam model frontier produksi JKS adalah seperti yang sudah
tercantum pada Tabel 64 di atas. Hasil estimasi model efek inefisiensi teknis
Tabel 71. Estimasi Parameter dan t Rasio dari Model Efek Inefisiensi Teknis
Produksi Stokastik Frontier Berdasarkan Zona Agroklimat
Zona Agroklimat
Variabel
Dataran Tinggi Dataran Rendah
(Parameter)
Estimasi t rasio Estimasi t rasio
Model Efek Inefisiensi
Intersep (δ 0 ) 0.260 0.576*** 0.187 0.107
Pendidikan (δ 1 ) 0.295 1.015*** 0.060 0.348
Pengalaman (δ 2 ) -0.402 -1.590*** -0.352 -1.650**
Kontak dengan Petugas Pertanian
Lapangan (δ 3 ) -0.218 -1.600*** 0.168 0.829
Umur Petani (δ 4 ) -0.115 -0.124*** -0.018 -0.021
Kuadrat umur petani (δ 5 ) -0.229 -0.358*** 0.037 0.081
Sumber pendapatan lain (δ 6 ) -0.264 -1.550*** 0.326 0.899
Metode penjualan (δ 7 ) -0.310 -1.520*** 0.033 0.243
Keanggotaan kelompok tani (δ 8 ) -0.468 -1.962*** 0.039 0.261
teknis seperti tercantum pada tabel tersebut ada yang sesuai dan ada yang tidak
efek yang positif pada efisiensi teknis. Penambahan penggunaan faktor tersebut
294
Pada daerah dataran tinggi, hasil pendugaan model efek inefisiensi teknis
dan keanggotaan kelompok tani. Sedangkan pendidikan dan umur petani tidak
berpengaruh nyata terhadap efisiensi teknis. Pada daerah dataran rendah, semua
yang positif terhadap kemampuan manajerial petani dan dengan demikian juga
yang ada, sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka semakin baik
kemampuan mereka untuk berproduksi secara efisien (Jamison dan Lau, 1982).
dengan pendidikan yang lebih tinggi memperoleh informasi lebih banyak dan
berhubungan negatif dan tidak nyata efeknya terhadap efisiensi teknis produksi
usahatani jeruk keprok SoE pada semua zona agroklimat. Hal ini
295
penting di dalam usahatani jeruk keprok SoE. Dapat juga dikatakan bahwa petani
dengan pendidikan yang lebih tinggi kurang tertarik pada usahatani jeruk keprok
efisiensi. Rata-rata lama pendidikan formal petani contoh adalah 7 tahun atau
setara dengan kelas satu Sekolah Menengah Pertama, dengan rentangan dari yang
tidak tamat Sekolah Dasar (3 tahun) sampai dengan yang berpendidikan Sekolah
Menengah Atas (16 tahun). Tingkat pendidikan yang masih rendah dan yang
yang telah menyebabkan tidak nyatanya pengaruh variabel ini terhadap efisiensi
keprok SoE masih belum nyata. Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil
penelitian dari Dhehibi et al. (2007a) dan Silva & Stefanou (2007), di mana
pendidikan formal berpengaruh positif dan nyata terhadap efisiensi teknis jeruk di
Tunisia. Hasil yang sama juga telah didapat oleh Utama (2003) pada usahatani
padi sawah di Indonesia, Wilson et al. (1998) di pada usahatani kentang UK dan
Villano dan Fleming (2006) pada usahatani padi di Filipina. Sedangkan hasil
penelitian dari Wollni (2007) pada kopi di Costa Rica; Ogundari dan Ojo (2006)
pada ubi kayu, Ogundari et al. (2006) pada jagung di Nigeria dan Bakhsh et al.
berhubungan negatif dan tidak nyata terhadap efisiensi teknis (sama halnya
dengan hasil penelitian efisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE ini).
296
lebih lama diharapkan bisa lebih terampil di dalam mengelola usahatani jeruk
yang akan berdampak positif terhadap efisiensi usaha. Hubungan inefisiensi teknis
dengan pengalaman usahatani petani contoh adalah negatif. Pada zona dataran
tinggi dan dataran rendah, pengalaman petani berpengaruh positif dan nyata pada
α = 10% dan 15% terhadap efisiensi teknis. Seperti yang diharapkan bahwa
Kondisi tanda dan besaran nilai koefisien hasil estimasi model efek
produksi. Dengan kata lain, semakin berpengalaman petani, maka akan semakin
meningkatkan efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE. Hasil penelitian ini
sesuai dengan yang ditemukan oleh Admassie (1999), Daryanto (2000), Siregar
(1987) dan Ajibefun et al. (2002). Hasil penelitian Wollni (2007) juga
penyuluh dan petugas pertanian lapangan lainnya, dapat dilakukan dua arah,
maka petani jeruk akan semakin memahami tehnik budidaya, panen atau pasca
panen yang baik dan petani diharapkan menghasilkan jeruk dengan tingkat
penelitian ini, di mana koefisien estimasi untuk variabel KPPL adalah positif dan
berpengaruh nyata pada α = 15% terhadap efisiensi teknis usahatani jeruk keprok
SoE. Sedangkan pada daerah dataran rendah, KPPL berhubungan negatif dan
tidak nyata terhadap efisiensi teknis. Kondisi ini dapat dijadikan sebagai suatu
petani, dan atau sebaliknya. Tabel 64 di atas menunjukkan bahwa rata-rata kontak
petugas pertanian lapangan dengan petani adalah 0.78 untuk daerah dataran tinggi
dan 0.64 untuk daerah dataran rendah. Indikator rendahnya pengetahuan teknis
budidaya dan pascapanen petani jeruk kerpok SoE merupakan salah satu bukti
dari rendahnya kontak petugas dengan petani dan atau petani dengan petugas
Hasil penelitian Wollni (2007) pada kopi dan Bakhsh et al. (2006) pada
kentang adalah sejalan dengan hasil penelitian jeruk keprok SoE khususnya pada
Pada daerah dataran rendah, KPPL adalah negatif dan tidak nyata
terhadap efisiensi teknis. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa Pemerintah
Daerah, dalam hal ini, petugas pertanian lapangan belum serius mengawasi
usahatani jeruk keprok SoE. Selain itu, petugas pertanian lapangan yang
298
petugas yang memiliki spesifikasi di bidang usahatani jeruk. PPL yang ada di
pertanian dan peternakan secara umum. Selain itu, jumlah Petugas belum
seimbang dengan luas wilayah kerja mereka (seperti yang sudah di bahas pada
Masalah keengganan pemuda untuk bertani yang dialami oleh hampir semua
dalam pembangunan pertanian daerah lahan kering. Umur petani menjadi faktor
pengelola dan produktivitas tenaga kerja usahatani jeruk keprok. Secara alamiah,
semakin tua seorang pekerja, maka kemampuan kerjanya semakin menurun dan
berdampak negatif terhadap efisiensi. Jika generasi muda enggan bertani, maka
pengelolaan usahatani akan didominasi oleh tenaga kerja non produktif. Hal ini
bahwa semakin tua seorang petani kemampuan kerjanya semakin menurun dan
berdampak negatif terhadap efisiensi. Semua tanda nilai koefisien estimasi model
efek inefisiensi teknis adalah positif dan tidak berpengaruh nyata terhadap
efisiensi baik pada daerah dataran tinggi maupun dataran rendah. Keadaan ini
tidak sesuai dengan yang diharapkan. Semakin bertambah umur petani, maka
dan memiliki keterampilan yang rendah, tetapi mereka pada umumnya lebih
produktif bila dibandingkan dengan petani muda yang baru memulai usahatani
jeruk keprok SoE. Nilai positif pada koefisien umur petani itu juga dapat
dijadikan sebagai indikator bahwa petani responden masih berbada pada umur
produktif (rata-rata umur petani 48 tahun) (Tabel 64), dimana mereka masih
Hasil penelitian yang sejalan dengan penemuan pada penelitian ini adalah
Bakhsh et al. (2006) pada kentang di Pakistan dan Erwidodo (1992a dan 1992b)
pada padi sawah di Indonesia. Sedangkan hasil penelitian dari Dhehibi et al.
(2007a) dan (2007b) keduanya pada jeruk; Wollni (2007) pada kopi; dan
Ogundari et al. (2006) pada jagung menunjukkan bahwa umur petani berhubungan
negatif dengan tingkat efisiensi. Hal ini mengindikasikan bahwa petani semakin
negatif) karena mereka tidak begitu takut akan resiko kegagalan produksi atau
karena kekurangan tenaga kerja untuk mengelola kebun dengan baik sehingga
ini juga dapat diakibatkan oleh adanya informasi yang lebih baik yang didapat
selama petani tersebut berkeja di luar usahataninya. Sebaliknya petani yang tidak
sumber pendapatan di luar usahatani jeruk keprok SoE adalah positif dan
tinggi). Semakin besar pendapatan yang diperoleh dari sumber di luar usahatani
jeruk (terutama dari usahatani ternak dan jagung), maka usahatani jeruk semakin
efisien. Hal ini membuktikan bahwa pendapatan yang diperoleh dari sumber lain
Perlu diketahui bahwa usahatani jeruk didaerah dataran tinggi memang cukup
menarik minat petani karena memberikan kontribusi pendapatan yang cukup besar
di waktu yang lalu (musim produksi tahun 2000-2003: hasil penelitian Adar et al.,
lain memberikan efek yang positif dan nyata terhadap efisiensi teknis usahatani
menemukan bahwa tanda dan besaran koefisien dugaannya adalah negatif dan
bahwa dengan adanya sumber pendapatan di luar usahatani jeruk keprok SoE
301
SoE. Pengaruh negatif ini menunjukkan bahwa pendapatan yang diperoleh dari
luar usahatani tidak digunakan untuk meningkatkan produksi jeruk keprok SoE.
Selain itu, kegiatan mencari pendapatan di luar usahatani telah mengurangi tenaga
kerja keluarga yang sedianya digunakan untuk kegiatan usahatani jeruk keprok
SoE. Akibatnya, usahatani jeruk keprok SoE tidak dirawat secara intensif dan
masih rendah. Hal ini dapat dibuktikan dengan rendahnya pendapatan yang
diterima petani dataran rendah dari usahatani jeruk keproknya. Dengan demikian,
maka dapatlah dikatakan bahwa usahatani jeruk keprok Soe sebaiknya tidak perlu
beberapa metode yakni penjualan per kg saat panen, penjualan di muka sebelum
musim panen tiba (baik per kg maupun borongan), dan penjualan borongan per
pohon atau borongan per kebun pada saat panen (penjelasan secara detail sudah
diberikan pada Bab V). Pada penjualan dengan sistem ijon dan borongan
teknik panen yang benar dan pedagang pemberi ijon atau pembeli borongan sering
meninggalkan sisa buah jeruk yang berkualitas rendah di pohon sampai musim
berbunga jeruk lewat. Hal-hal ini mengurangi tingkat produktivitas dan efisiensi
karena mereka sering mendapatkan harga yang lebih rendah pada saat panen raya
tiba.
produksi jeruk kerpok SoE (khusus zona dataran tinggi). Peningkatan praktek
penjualan per kg pada saat panen dapat meningkatkan efisiensi produksi jeruk
keprok SoE. Petani yang memiliki kebun jeruk yang agak luas merasa mempunyai
biaya rendah per pohon dan perbedaan penjualan dengan metode per pohon dan
per kg juga besar. Sehingga petani dengan jumlah pohon jeruk yang lebih banyak
(seperti petani pada daerah dataran tinggi ini) cenderung menjual jeruk mereka
dengan metode penjualan per kg pada saat panen. Selain itu, harga jual dengan
metode per kg pada saat panen lebih tinggi dibandingkan dengan metode lainnya.
kecil, negatif dan tidak nyata. Penjualan per kg pada saat panen berhubungan
negatif dan tidak nyata dengan efisiensi produksi. Jadi, metode penjualan JKS di
daerah dataran rendah dianggap konstan atau tidak memberikan pengaruh apa-apa
terhadap efisiensi. Petani dapat melakukan penjualan secara ijon, borongan atau
per kg pada saat panen. Petani dengan jumlah kepemilikan pohon produktif yang
sedikit cenderung menjual JKS mereka dengan sistem ijon dan borongan. Hal ini
biaya pemasaran dan resiko pasar lainnya. Namun, sistem ijon dan borongan ini
dengan petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani. Diharapkan pula bahwa
petani yang menjadi anggota kelompok tani memiliki akses yang lebih mudah
kelompok tani bertanda positif dan sesuai dengan yang diharapkan. Variabel
dalam kelompok tani dapat meningkatkan efisiensi produksi jeruk keprok SoE.
produksi usahatani jeruk keprok. Kelompok tani bukan merupakan faktor penting
bagi petani daerah dataran rendah. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian
penelitian tidak fokus pada kegiatan usahatani jeruk keprok saja, tetapi pada
bantuan sosial dari pemerintah atau LSM. Kelompok tani masih lemah dan perlu
tingkat efisiensi (Wollni, 2007). Hal ini dapat dikaitkan dengan kemampuan
petani untuk mengakses tenaga kerja, modal usaha dan input usahatani lainnya.
(Binswanger dan Sillers, 1983; Kalirajan dan Shand, 1985, 1986 dan 1989; dan
Kurniawan, 2008).
Di dalam penelitian ini, ukuran usahatani yang dipakai adalah < 1 ha dan ≥
1 ha. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 41% responden petani
jeruk keprok SoE di daerah dataran tinggi memiliki luas usahatani < 1 ha.
efisiensi yang tinggi atau tidak, dan faktor-faktor apa saja yang menjadi
inefisiensi teknis fungsi produksi stokastik frotnier antar ukuran usahatani di zona
Tabel 72. Estimasi Parameter dan t Rasio dari Model Efek Inefisiensi Teknis
Fungsi Produksi Stokastik Frontier dengan Menggunakan MLE
petanian lapangan dan sumber pendapatan lain berhubungan negatif dan tidak
nyata dengan efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE. Faktor umur petani
memiliki hubungan yang positif dan tidak nyata terhadap efisiensi teknis.
positif dan nyata pada α = 5% dan 10% terhadap efisiensi teknis produksi JKS.
kecuali faktor pendidikan dan umur petani. Hal ini menunjukkan bahwa
teknis produksi jeruk keprok SoE. Pendidikan dan umur petani memberikan efek
negatif dan tidak nyata terhadap efisiensi produksi jeruk keprok SoE. Hal ini
306
mungkin dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti pelatihan, magang dan
pertugas pertanian, perlu dicatat bahwa Pemerintah Daerah (seperti yang sudah
usahatani jeruk keprok SoE, terutama untuk ukuran usahatani kecil. Kebijakan
pengembangan jeruk keprok SoE yang dilakukan pemerintah pada lima tahun
terakhir ini dan selanjutnya, lebih difokuskan pada usahatani jeruk keprok dengan
ukuran usahatani minimal satu hektar. Persyaratan luasan minimal ini ditujukan
dalam rangka pemberian sertifikasi kebun jeruk yang memenuhi standar kualitas
yang sudah ditetapkan di dalam Good Agricultural Practices (GAP) kebun buah
Procedure (SOP) jeruk keprok SoE (Departemen Pertanian, 2006 dan Dinas
7.1. Kesimpulan
input produksi seperti jumlah pohon produktif, kompos, tenaga kerja dan bibit
okulasi yang tidak memenuhi standar teknis budidaya yang baik (Good
2. Baik pada daerah dataran tinggi maupun dataran rendah, petani belum mampu
mengelola usahatani jeruk keprok SoE secara efisien. Hal ini berarti sebagian
besar petani pada kedua zona agroklimat tersebut masih beroperasi di bawah
dan ukuran usahatani yang berbeda. Semakin besar ukuran usahatani, maka
Usahatani jeruk keprok SoE yang berlahan kecil adalah tidak efisien secara
teknis. Pada daerah dataran tinggi dengan lahan usahatani yang besar
efisien secara teknis. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian efisiensi
yang lebih besar (small but efficient). Pada tanaman pangan, “flow of income”
bagi petani dapat terjadi sepanjang tahun (dua sampai tiga kali berproduksi).
petani tidak sepanjang tahun. Hal ini diperparah lagi dengan kondisi ukuran
usahatani yang kecil. Oleh karena itu, upaya pengembangan usahatani jeruk
pendapatan bagi petani yang tersedia sepanjang tahun. Kemudian, hal ini
3. Baik daerah dataran tinggi maupun dataran rendah, kelompok umur tanaman
berbeda. Hal ini disebabkan oleh tingkat produktivitas antar kelompok umur
secara teknis. Jadi, umur tanaman produktif, sebagai ciri khas fungsi
keprok SoE dengan baik. Secara ekonomi, petani belum menilai usahatani
jeruk keprok SoE sebagai suatu usaha yang komersial dan bernilai ekonomi
tinggi. Hal ini telah berdampak pada tingginya tingkat inefisiensi teknis
produksi jeruk keprok SoE baik pada daerah dataran rendah, dataran tinggi,
jeruk keprok SoE, dengan merujuk pada hasil penelitian ini adalah:
daerah dataran tinggi maupun dataran rendah adalah (1) penetapan skala
operasi usahatani ke ukuran yang minimal satu hektar per petani, (2)
produksi yang masih kurang (under use)), dan (3) perbaikan teknologi proses
pemeliharaan tanaman), dan (4) pelatihan tematik bagi petani dalam hal
pengetahuan dan keterampilan proses produksi jeruk keprok SoE yang utuh.
daerah dataran tinggi dan dataran rendah dapat dilakukan antara lain dengan
dilakukan adalah (1) meningkatkan kegiatan sekolah lapang bagi Petani dan
adopsi SOP jeruk keprok SoE melalui pelatihan dan sertifikasi kebun jeruk
meningkatkan akses petani ke pasar input dan output, dan (8) menjaring
tersebut).
SoE di tingkat petani. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas dan
dilakukan antara lain pelatihan tematik bagi petani dan pedagang dalam hal
keprok SoE yang utuh, baik dari segi produk, harga, distribusi dan promosi
ukuran buah) dan model pengepakan yang baik dan berlabel, perbaikan
metode penjualan adalah juga beberapa hal yang perlu diperhatikan baik oleh
fasilitasi investasi dengan sistem kredit tanpa agunan, dan (5) pengembangan
tani, koperasi petani jeruk dan lembaga penyuluhan pertanian serta pengamat
hama tanaman.
5. Penelitian ini masih memiliki banyak keterbatasan seperti yang sudah dibahas
dengan ketersediaan data empiris dan metodologi analisis. Oleh karena itu,
teknologi dan efisiensi (antar waktu dan farm) dengan menggunakan panel
data. Kedua, jika ketersediaan data harga (input dan output) sudah memadai
keprok SoE perlu untuk dilakukan. Ketiga, studi lanjutan juga perlu
jeruk keprok SoE. Keempat, jika data jumlah produksi dan penggunaan input
produksi usahatani jeruk keprok SoE tersedia secara lengkap (yang memenuhi
Adar, D., M. Bano dan S. Seran. 2004. Keunggulan Buah Jeruk Keprok SoE
Terhadap Jeruk-Jeruk Impor di Beberapa Kota di Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Buletin IMPAS, 10(2): 27-34.
Adar, D. dan W. I. I. Mella. 2010. Model Pengembangan Jeruk Keprok Bagi Para
Petani Kecil di Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Lahan Kering, Universitas Nusa
Cendana, Kupang.
Ali, M. and J. C. Flinn. 1989. Profit Efficiency Among Basmati Rice Producers in
Pakistan Punjab. American Journal of Agricultural Economics, 71(2):
303-310.
Badan Pusat Statistik. 2006. Nusa Tenggara Timur dalam Angka 2006. Badan
Pusat Statistik, Kupang.
Bakhsh, K., B. Ahmad and S. Hassan. 2006. Food Security Through Increasing
Technical Efficiency. Asian Journal of Plant Science, 5(6): 970-976.
Chand, R. and J. L. Kaul. 1986. A Note on the Use of the Cobb-Douglas Profit
Function. American Journal of Agricultural Economics, 53(1): 162-164.
Chen, N., L. An and K. Ma. 2001. The Post Harvest Handling System for Melon
in Northwestern China: Status, Problems dan Prospects. Proceedings on
Quality Assurance in Agricultural Produce No. 105: 38-43. Organized by
Australian Center for International Agricultural Research, Canberra.
Departemen Pertanian. 2003. Profil Jeruk Seri II. Direktorat Tanaman Buah,
Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura, Departemen Pertanian,
Jakarta.
D’Sounza, G., D. Cypher and T. Phipps. 1993. Factors Affecting the Adoption of
Sustainable Agricultural Practices. Agricultural and Resource Economic
Review, 22(2): 159-165.
________. 1992b. Stochastic Profit Frontier and Panel Data: Measuring Economic
Efficiency on Rice Farms in West Java. Jurnal Agro Ekonomi, 11(2): 19-
38.
Hallam, D and F. Machado. 1996. Efficiency Analysis with Panel Data: a Study of
Portuguese Dairy Farm. Eurepean Review on Agricultural Economics,
12(1): 79-93.
Hayami, Y. 1970. On the Use of the Cobb Douglas Production Function on the
Cross Country Analysis of Agricultural Production. American Journal of
Agricultural Economics, 57(2): 327-329.
Jamison, D. T. and L. J. Lau. 1982. Farmer Education and Farm Efficiency. John
Hopkins, London.
321
Kodde, D. A. and F. C. Palm. 1986. Wald Criteria for Jointly Testing Equality and
Inequality Restrictions. Econometrica, 54: 1243-1248.
Lambarraa, L., J. M. Gil and T. Serra. 2007. Are the Spanish Citrus Farms
Efficient? Paper Presented at the 1st Mediterranean Conference of Agro-
Food Social Scientists, 103rd EAAE Seminar on Adding Value to the
Agro-Food Supply Chain in the Future Euro Mediterranean Space. April
23rd-25th, 2007, Barcelona.
Linn, B. H., H. Taylor, H. Delvo and L. Bull. 1995. Factors Influencing Herbicide
Use in Corn Production in the North Central Region. Review of
Agricultural Economics, 17(1): 159-169.
Milla, K., D. Adar dan M. Sabuna. 2002. Studi Kelayakan Usahatani Jeruk
Keprok SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Laporan Penelitian.
Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Ogundari, K., S. O. Ojo and I. A. Ajibehun. 2006. Economies of Scale and Cost
Efficiency in Small Maize Production: Empirical Evidence from Nigeria.
Journal of Social Science, 13(2): 131-136.
Owen, K., V. Wright and G. Griffith. 2000. Quality, Uncertainty & Consumer
Valuation of Fruits and Vegetables. Australian Agribusiness Review,
8(4): 340-348.
Pellu, N., D. Adar dan N. Serman. 2001. Analisis Ekonomi Usahatani Jeruk
Keprok SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Laporan Penelitian.
Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Squires, D. and S. Tabor. 1991. Technical Efficiency and Future Production Gains
in Indonesia. Developing Economics, 29: 258-270.
Suek, J., N. Zigma dan S. Widinugraheni. 1998. Analisis Usahatani Jeruk: Suatu
Telaahan Agronomis. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian, Universitas
Nusa Cendana, Kupang.
Utama, S. P. 2003. Kajian Efisiensi Teknis Usahatani Padi Sawah pada Petani
Peserta Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) di
Sumatra Barat. Jurnal Akta Agrosia, 6(2): 67-74.
Wang, H. and P. Schmidt. 2002. One Step and Two Step Estimation of the Effects
of Exogenous Variables on Technical Efficiency Levels. Journal of
Productivity Analysis, 18: 129-144.
Wei, S., E. Woods and D. Adar. 2001. West Timor Mandarin Marketing Case
Study: Implications for Supply Chain Management in Developing
Countries. Proceedings on Agriproduct Supply Chain Management in
Developing Countries No. 105: 49-53. Organized by Australian Center
for International Agricultural Research, Canberra.
326
Zellner, A., J. Kmenta and J. Dreze. 1966. Specification and Estimation of Cobb-
Douglas Production Function. Econometrica, 34(4):784-795.
Lampiran 1. Jumlah Tanaman, Luas Panen dan Produksi Jeruk Keprok SoE per Kecamatan, Tahun 2004-2008
Tabel 1. Jumlah Tanaman Jeruk Keprok SoE, Tahun 2004-2008
No Kecamatan Jumlah Tanaman (Pohon)
2004 2005 2006 2007 2008 Total (Pohon) Rata-rata (Pohon)
1 Mollo Utara 267 832. 0 323 808. 0 349 808. 0 347 297. 0 347 031. 0 1 635 776. 0 327 155. 2
2 Mollo Selatan 170 176. 0 165 171. 0 190 100. 0 193 750. 0 191 640. 0 910 837. 0 182 167. 4
3 Amanuban Barat 33 585. 0 43 085. 0 54 451. 0 99 501. 0 145 156. 0 375 778. 0 75 155. 6
4 Kota SoE 44 079. 0 43 375. 0 43 375. 0 48 855. 0 46 855. 0 226 539. 0 45 307. 8
5 Amanuban Selatan 47 479. 0 41 945. 0 41 945. 0 41 106. 0 38 701. 0 211 176. 0 42 235. 2
6 Fatumnasi 41 241. 0 40 000. 0 40 000. 0 39 720. 0 38 500. 0 199 461. 0 39 892. 2
7 Amanatun Selatan 31 676. 0 23 483. 0 23 483. 0 22 539. 0 32 812. 0 133 993. 0 26 798. 6
8 Kunfatu 10 863. 0 10 763. 0 16 490. 0 43 220. 0 43 600. 0 124 936. 0 24 987. 2
9 Pollen 15 700. 0 19 700. 0 19 700. 0 18 969. 0 18 969. 0 93 038. 0 18 607. 6
10 Amanuban Tengah 14 613. 0 12 729. 0 14 729. 0 14 025. 0 23 764. 0 79 860. 0 15 972. 0
11 KiE 10 120. 0 10 120. 0 10 125. 0 10 125. 0 10 125. 0 50 615. 0 10 123. 0
12 Nunkolo 14 676. 0 10 676. 0 10 676. 0 7 372. 0 6 223. 0 49 623. 0 9 924. 6
13 Amanuban Timur 5 657. 0 5 182. 0 5 182. 0 4 972. 0 14 612. 0 35 605. 0 7 121. 0
14 Toianas 0. 0 3 555. 0 7 615. 0 9 000. 0 9 000. 0 29 170. 0 5 834. 0
15 Kolbano 0. 0 1 332. 0 7 332. 0 7 182. 0 9 182. 0 25 028. 0 5 005. 6
16 Boking 4 598. 0 4 643. 0 4 700. 0 5 685. 0 4 685. 0 24 311. 0 4 862. 2
17 Oenino 81. 0 42. 0 3 470. 0 7 144. 0 7 184. 0 17 921. 0 3 584. 2
18 Batu Putih 2 273. 0 2 273. 0 2 273. 0 2 273. 0 2 273. 0 11 365. 0 2 273. 0
19 kotolin 0. 0 850. 0 850. 0 4 451. 0 3 915. 0 10 066. 0 2 013. 2
20 Amanatun Utara 1 660. 0 1 928. 0 1 928. 0 698. 0 1 498. 0 7 712. 0 1 542. 4
21 Kualin 1 225. 0 1 113. 0 1 113. 0 1 118. 0 1 108. 0 5 677. 0 1 135. 4
Sumber: Dinas Pertanian, 2009.
Keterangan: 1 ha = 278 pohon (jarak tanam 6 x 6 m)
Lampiran 1. Lanjutan
Tabel 2. Luas Panen Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2004-2008
No Kecamatan Luas Panen (Pohon)
2004 2005 2006 2007 2008 Total (Pohon) Rata-rata (Pohon)
1 Mollo Utara 120 566.0 145 266.0 124 031.0 143 640.0 130 614.0 664 117.0 132 823.4
2 Mollo Selatan 41 405.0 12 311.0 65 000.0 128 750.0 128 750.0 376 216.0 75 243.2
3 kota SoE 3 786.0 7 337.0 36 054.0 36 054.0 36 054.0 119 285.0 23 857.0
4 Fatumnasi 9 593.0 2 150.0 6 350.0 38 500.0 31 500.0 88 093.0 17 618.6
5 Kuanfatu 9 600.0 3 200.0 10 600.0 15 000.0 15 000.0 53 400.0 10 680.0
6 Amanuban Tengah 7 641.0 8 199.0 9 400.0 9 400.0 9 098.0 43 738.0 8 747.6
7 Amanatun Selatan 6 698.0 4 816.0 8 424.0 8 020.0 8 020.0 35 978.0 7 195.6
8 Pollen 10 788.0 3 391.0 5 349.0 5 349.0 5 349.0 30 226.0 6 045.2
9 KiE 1 400.0 1 400.0 8 410.0 8 410.0 8 410.0 28 030.0 5 606.0
10 Nunkolo 6 850.0 2 477.0 2 763.0 5 373.0 3 898.0 21 361.0 4 272.2
11 Amanuban Barat 115.0 2 118.0 4 264.0 4 095.0 4 095.0 14 687.0 2 937.4
12 Amanuban Timur 1 740.0 1 800.0 1 800.0 2 625.0 1 500.0 9 465.0 1 893.0
13 Boking 193.0 326.0 1 536.0 2 894.0 2 894.0 7 843.0 1 568.6
14 Kotolin 0.0 350.0 350.0 3 800.0 2 900.0 7 400.0 1 480.0
15 Batu Putih 2 165.0 1 130.0 1 130.0 1 130.0 1 130.0 6 685.0 1 337.0
16 Toianas 0.0 600.0 1 000.0 1 000.0 1 000.0 3 600.0 720.0
17 Kualin 0.0 851.0 874.0 930.0 137.0 2 792.0 558.4
18 Amanatun Utara 306.0 306.0 611.0 601.0 421.0 2 245.0 449.0
19 Oenino 81.0 25.0 585.0 585.0 610.0 1 886.0 377.2
20 Amanuban Selatan 254.0 330.0 184.0 182.0 182.0 1 132.0 226.4
Sumber: Dinas Pertanian, 2009.
Keterangan: 1 ha = 278 pohon (jarak tanam 6 x 6 m
Lampiran 1. Lanjutan
Tabel 3. Jumlah Produksi Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2004-2008
No Kecamatan Jumlah Produksi (Kw)
Total (Kw) Rata-rata (Kw)
2004 2005 2006 2007 2008
1 Mollo Utara 57 169.0 43 579.0 37 209.0 21 546.0 26 123.0 185 626.0 37 125.2
2 Mollo Selatan 12 421.0 3 693.0 19 500.0 19 312.0 25 750.0 80 676.0 16 135.2
3 kota SoE 757.0 1 467.0 7 210.0 3 605.0 7 211.0 20 250.0 4 050.0
4 Fatumnasi 1 918.0 537.0 1 587.0 5 775.0 6 300.0 16 117.0 3 223.4
5 Kuanfatu 2 880.0 960.0 3 180.0 2 250.0 3 000.0 12 270.0 2 454.0
6 Amanatun Selatan 1 333.0 963.0 1 684.0 802.0 1 604.0 6 386.0 1 277.2
7 Amanuban Tengah 1 528.0 1 639.0 188.0 940.0 1 820.0 6 115.0 1 223.0
8 Pollen 2 157.0 678.0 1 069.0 534.0 1 070.0 5 508.0 1 101.6
9 KiE 350.0 350.0 2 105.0 841.0 1 682.0 5 328.0 1 065.6
10 Nunkolo 1 712.0 619.0 690.0 537.0 780.0 4 338.0 867.6
11 Amanuban Barat 28.0 529.0 1 066.0 614.0 819.0 3 056.0 611.2
12 Amanuban Timur 348.0 360.0 360.0 262.0 300.0 1 630.0 326.0
13 Batu Putih 433.0 226.0 226.0 113.0 226.0 1 224.0 244.8
14 Boking 28.0 48.0 230.0 289.0 579.0 1 174.0 234.8
15 Kotolin 0.0 70.0 70.0 380.0 580.0 1 100.0 220.0
16 Toianas 0.0 120.0 200.0 100.0 200.0 620.0 124.0
17 Amantun Utara 61.0 61.0 122.0 60.0 84.0 388.0 77.6
18 Kualin 0.0 127.0 131.0 93.0 27.0 378.0 75.6
19 Oenino 12.0 3.0 87.0 58.0 122.0 282.0 56.4
20 Amanuban Selatan 50.0 66.0 36.0 18.0 36.0 206.0 41.2
Sumber: Dinas Pertanian, 2009.
Keterangan: 1 ha = 278 pohon (jarak tanam 6 x 6 m
331
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan
Lansink 2000 Netherlands Other Crops (Tan. Pangan Lain) 985.0 66.9
Parikh 1995 Pakistan Other Crops (Tan. Pangan Lain) 436.0 88.5
Tran 1993 Vietnam Other Crops (Tan. Pangan Lain) 165.0 59.0
Tzouvelekas 2001 Greece Other Crops (Tan. Pangan Lain) 29.0 76.0
Tzouvelekas 2001 Greece Other Crops (Tan. Pangan Lain) 86.0 63.9
Bakshoodeh 2001 Iran Other Grains (Biji-bijian lain) 164.0 33.0
Battese 1993 India Other Grains (Biji-bijian lain) 279.0 84.0
Battese 1997 Pakistan Other Grains (Biji-bijian lain) 330.0 90.0
Battese 1993a India Other Grains (Biji-bijian lain) 279.0 84.0
Battese 1993a Pakistan Other Grains (Biji-bijian lain) 273.0 74.6
Hadri 2003 England Other Grains (Biji-bijian lain) 606.0 86.4
Hadri 2003 England Other Grains (Biji-bijian lain) 612.0 86.0
Kurkalova 2003 Ukraina Other Grains (Biji-bijian lain) 164.0 94.2
Peanuts (Kacang-kacangan) 177.0 68.0
Boshrabadi* 2006 Iran Pistachio 475.0 54.0
Heshmati 1996 Uganda Plantain 144.0 65.3
Johnson 1994 Ukraina Potato (Kentang) 6 136.0 71.5
Wilson* 1998 UK Potato (Kentang) 140.0 89.5
Abdulai 2000 Ghana Rice (Padi) 120.0 73.0
Ali* 1989 Pakistan Rice (Padi) 120.0 72.0
Audibert 1997 Mali Rice (Padi) 836.0 69.5
Battese 1992 India Rice (Padi) 129.0 89.1
Battese* 1992 India Rice (Padi) 129.0 89.1
Dawson 1991 Philipines Rice (Padi) 101.0 69.7
Ekanayake 1987 Sri Lanka Rice (Padi) 62.0 75.0
Huang 1997 China Rice (Padi) 358.0 72.0
Kalirajan 1983 Philipines Rice (Padi) 79.0 50.0
Kalirajan 1984 Philipines Rice (Padi) 81.0 63.0
Kalirajan 1986 Malaysia Rice (Padi) 191.0 65.0
Kalirajan 1989 India Rice (Padi) 102.0 70.0
Kalirajan 1990 Philipines Rice (Padi) 103.0 79.0
Kalirajan 1991 India Rice (Padi) 120.0 69.0
Kalirajan 2001 India Rice (Padi) 500.0 67.5
Khumbakar 1994 India Rice (Padi) 227.0 75.5
Rep Of
Kwon 2004 Korea Rice (Padi) 5 130.0 75.0
Roche* 1994 Indonesia Rice (Padi) 7 117.0 82.0
Sherlund 2002 Cote d'Ivoire Rice (Padi) 464.0 43.0
Tadesse* 1997 India Rice (Padi) 129.0 83.0
Trewin 1995 Indonesia Rice (Padi) 1 026.0 86.5
Wadud 2000 Bangladesh Rice (Padi) 150.0 79.0
Xu 1998 China Rice (Padi) 30.0 84.8
334
Lampiran 2. Lanjutan
Mean 75.5
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan
Lansink 2000 Netherlands Other Crops (Tan. Pangan Lain) 985.0 66.9
Parikh 1995 Pakistan Other Crops (Tan. Pangan Lain) 436.0 88.5
Tran 1993 Vietnam Other Crops (Tan. Pangan Lain) 165.0 59.0
Tzouvelekas 2001 Greece Other Crops (Tan. Pangan Lain) 29.0 76.0
Tzouvelekas 2001 Greece Other Crops (Tan. Pangan Lain) 86.0 63.9
Bakshoodeh 2001 Iran Other Grains (Biji-bijian lain) 164.0 33.0
Battese 1993 India Other Grains (Biji-bijian lain) 279.0 84.0
Battese 1997 Pakistan Other Grains (Biji-bijian lain) 330.0 90.0
Battese 1993a India Other Grains (Biji-bijian lain) 279.0 84.0
Battese 1993a Pakistan Other Grains (Biji-bijian lain) 273.0 74.6
Hadri 2003 England Other Grains (Biji-bijian lain) 606.0 86.4
Hadri 2003 England Other Grains (Biji-bijian lain) 612.0 86.0
Kurkalova 2003 Ukraina Other Grains (Biji-bijian lain) 164.0 94.2
Peanuts (Kacang-kacangan) 177.0 68.0
Boshrabadi* 2006 Iran Pistachio 475.0 54.0
Heshmati 1996 Uganda Plantain 144.0 65.3
Johnson 1994 Ukraina Potato (Kentang) 6 136.0 71.5
Wilson* 1998 UK Potato (Kentang) 140.0 89.5
Abdulai 2000 Ghana Rice (Padi) 120.0 73.0
Ali* 1989 Pakistan Rice (Padi) 120.0 72.0
Audibert 1997 Mali Rice (Padi) 836.0 69.5
Battese 1992 India Rice (Padi) 129.0 89.1
Battese* 1992 India Rice (Padi) 129.0 89.1
Dawson 1991 Philipines Rice (Padi) 101.0 69.7
Ekanayake 1987 Sri Lanka Rice (Padi) 62.0 75.0
Huang 1997 China Rice (Padi) 358.0 72.0
Kalirajan 1983 Philipines Rice (Padi) 79.0 50.0
Kalirajan 1984 Philipines Rice (Padi) 81.0 63.0
Kalirajan 1986 Malaysia Rice (Padi) 191.0 65.0
Kalirajan 1989 India Rice (Padi) 102.0 70.0
Kalirajan 1990 Philipines Rice (Padi) 103.0 79.0
Kalirajan 1991 India Rice (Padi) 120.0 69.0
Kalirajan 2001 India Rice (Padi) 500.0 67.5
Khumbakar 1994 India Rice (Padi) 227.0 75.5
Rep Of
Kwon 2004 Korea Rice (Padi) 5 130.0 75.0
Roche* 1994 Indonesia Rice (Padi) 7 117.0 82.0
Sherlund 2002 Cote d'Ivoire Rice (Padi) 464.0 43.0
Tadesse* 1997 India Rice (Padi) 129.0 83.0
Trewin 1995 Indonesia Rice (Padi) 1 026.0 86.5
Wadud 2000 Bangladesh Rice (Padi) 150.0 79.0
Xu 1998 China Rice (Padi) 30.0 84.8
334
Lampiran 2. Lanjutan
Mean 75.5
Tabel 1. Rata-Rata Harga , Farmer Share dan Margin Pemasaran Jeruk Keprok
SoE Pada Zona Dataran Tinggi, Tahun 2010
Saluran Harga pada Lembaga Pemasaran Farmer Margin
Pemasaran Petani Pengumpul Pengecer Share Pemasaran
Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg % Rp/Kg
Pertama 9 775 15 750 18 300 53.42 8 525.0
Kedua 15 750 - 18 300 86.07 2 550.0
Ketiga 9 775 18 300 53.42 8 525.0
Keempat 18 300 100.00 0.0
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).
Tabel 2. Tingkat Efisiensi Biaya, Profit dan R/C Pemasaran Petani Jeruk Keprok
SoE Pada Zona Dataran Tinggi, Tahun 2010
Saluran Biaya Harga Efisiensi Profit R/C
Pemasaran Rp/kg Rp/kg % Rp/Kg Rp
Pertama 750 9 775 7.67 7 775 10.37
Kedua 450 15 750 2.86 2 100 4.67
Ketiga 650 9 775 6.65 7 875 12.12
Keempat 500 18 300 2.73 17 800 35.60
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).
Tabel 3. Rata-Rata Harga , Farmer Share dan Margin Pemasaran Jeruk Keprok
SoE Pada Zona Dataran Rendah, Tahun 2010
Saluran Harga pada Lembaga Pemasaran Farmer Margin
Pemasaran Petani Pengumpul Pengecer Share
Rp/Kg Rp/Kg Rp/Kg % Rp/Kg
Pertama 9 250 15 500 17 800 51.97 8 550.0
Kedua 15 500 - 17 800 87.08 2 300.0
Ketiga 9 250 17 800 51.97 8 550.0
Keempat 17 800 100.00 0.0
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).
Tabel 4. Tingkat Efisiensi Biaya, Profit dan R/C Pemasaran Petani Jeruk Keprok
SoE Pada Zona Dataran Rendah, Tahun 2010
Saluran Biaya Harga Efisiensi Profit R/C
Pemasaran Rp/kg Rp/kg % Rp/Kg Rp
Pertama 925 9 250 10.00 7 625 8.24
Kedua 600 15 500 3.87 1 700 2.83
Ketiga 750 9 250 8.11 7 800 10.40
Keempat 650 17 800 3.65 17 150 26.38
Sumber: Data Primer, 2010 (diolah).
Lampiran 4. Jumlah Kepemilikan Tanaman Jeruk Keprok SoE Berdasarkan Umur Tanaman di Zona Dataran Tinggi
Umur Tanaman (Tahun) Belum Sudah TOTAL
Desa/ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20 Berbuah Berbuah POHON
Kepemilikan Tanaman (pohon/petani) : (phn) (phn) (phn)
Ajobaki
Mean 92.0 38.3 36.9 18.7 14.0 4.7 0.2 0.8 0.9 7.3 1.3 9.7 0.3 8.7 0.7 4.7 0.8 3.7 1.3 1.0 1.8 185.9 62.0 247.9
% to T 37.1 15.5 14.9 7.5 5.6 1.9 0.1 0.3 0.4 3.0 0.5 3.9 0.1 3.5 0.3 1.9 0.3 1.5 0.5 0.4 0.7 74.99 25.01 100.00
MAX 200.0 200.0 200.0 200.0 200.0 50.0 5.0 15.0 20.0 40.0 20.0 30.0 10.0 30.0 20.0 30.0 10.0 15.0 20.0 25.0 7.0 550.00 265.00 620.00
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 10.00 12.00 42.00
Obesi
Mean 73.8 18.3 25.0 25.3 12.5 4.7 1.2 3.7 4.8 8.7 5.0 7.5 5.2 3.7 1.7 3.3 2.5 2.7 1.4 0.1 2.8 146.2 71.3 213.8
% to T 34.5 8.6 11.7 11.8 5.8 2.2 0.5 1.7 2.3 4.1 2.3 3.5 2.4 1.7 0.8 1.5 1.2 1.2 0.7 0.0 1.3 68.4 33.4 100.0
MAX 200.0 110.0 50.0 200.0 50.0 30.0 20.0 50.0 30.0 50.0 30.0 30.0 30.0 20.0 20.0 30.0 20.0 20.0 8.0 2.0 8.0 350.0 150.0 410.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 20.0 30.0 80.0
Binaus
Mean 64.5 51.2 39.0 16.8 4.8 5.4 0.3 1.0 1.3 3.0 2.7 3.2 4.3 3.0 2.0 2.0 3.0 3.7 2.0 0.1 2.2 174.8 44.1 215.6
% to T 29.9 23.7 18.1 7.8 2.2 2.5 0.2 0.5 0.6 1.4 1.2 1.5 2.0 1.4 0.9 0.9 1.4 1.7 0.9 0.0 1.0 81.1 20.5 100.0
MAX 200.0 150.0 100.0 150.0 50.0 50.0 10.0 20.0 20.0 40.0 20.0 25.0 30.0 20.0 20.0 20.0 20.0 20.0 30.0 2.0 10.0 550.0 109.0 620.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 5.0 0.0 0.0 10.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 15.0 12.0 51.0
Oelbubuk
Mean 53.7 56.2 39.3 23.7 5.3 3.9 2.3 1.3 1.5 3.0 3.0 5.5 3.5 4.7 1.3 2.2 1.8 2.7 2.0 1.7 2.4 175.8 48.3 221.1
% to T 24.3 25.4 17.8 10.7 2.4 1.8 1.1 0.6 0.7 1.4 1.4 2.5 1.6 2.1 0.6 1.0 0.8 1.2 0.9 0.8 1.1 79.5 21.8 100.0
MAX 200.0 200.0 120.0 100.0 50.0 50.0 50.0 25.0 15.0 30.0 20.0 50.0 30.0 50.0 20.0 20.0 10.0 10.0 15.0 10.0 12.0 350.0 136.0 385.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 30.0 17.0 127.0
Tobu
Mean 36.2 18.0 16.3 7.8 9.2 5.8 0.8 3.0 3.0 5.5 3.9 5.4 7.0 6.7 2.7 1.2 2.6 3.0 1.0 2.6 3.8 78.3 67.3 145.5
% to T 24.9 12.4 11.2 5.3 6.3 4.0 0.6 2.1 2.1 3.8 2.7 3.7 4.8 4.6 1.8 0.8 1.8 2.1 0.7 1.8 2.6 53.8 46.2 100.0
MAX 100.0 100.0 100.0 80.0 50.0 50.0 10.0 30.0 30.0 50.0 40.0 30.0 50.0 40.0 20.0 15.0 25.0 30.0 12.0 20.0 12.0 200.0 164.0 240.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 20.0 25.0 70.0
Tune
Mean 16.3 6.1 5.7 3.8 1.7 3.2 1.8 2.9 6.8 4.7 3.5 5.3 3.5 7.0 3.0 2.2 1.3 1.8 1.8 1.1 2.8 31.8 54.5 86.3
MAX 50.0 50.0 40.0 30.0 20.0 30.0 20.0 30.0 40.0 50.0 20.0 25.0 20.0 40.0 20.0 25.0 10.0 22.0 20.0 7.0 13.0 100.0 105.0 130.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 10.0 17.0 47.0
Sumber: Data Primer, 2010.
Lampiran 5. Jumlah Kepemilikan Tanaman Jeruk Keprok SoE Berdasarkan Umur Tanaman di Zona Dataran Rendah
Umur Tanaman (Tahun) Belum Sudah TOTAL
Desa/ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20 Berbuah Berbuah POHON
Kepemilikan Tanaman (pohon/petani) : (phn) (phn) (phn)
Kuanfatu
Mean 13.5 9.8 3.3 4.8 4.2 3.7 4.8 2.5 3.1 3.2 3.7 3.0 2.0 2.4 1.8 1.7 2.5 0.7 1.4 0.4 1.3 31.7 42.4 73.9
% to T 18.3 13.3 4.5 6.5 5.6 5.0 6.5 3.4 4.2 4.3 5.0 4.1 2.7 3.2 2.5 2.3 3.4 0.9 1.9 0.6 1.8 42.9 57.4 100.0
MAX 100.0 30.0 10.0 30.0 40.0 25.0 20.0 20.0 30.0 20.0 20.0 20.0 20.0 20.0 10.0 20.0 20.0 10.0 15.0 7.0 5.0 120.0 85.0 130.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 5.0 10.0 21.0
Kelle
Mean 12.8 5.2 5.5 2.5 2.5 2.8 1.8 1.6 1.8 3.3 1.8 3.2 1.8 1.3 1.1 1.5 0.9 0.5 0.6 0.6 0.6 26.0 27.6 53.6
% to T 24.0 9.6 10.3 4.7 4.7 5.2 3.3 2.9 3.4 6.1 3.4 6.0 3.4 2.4 2.0 2.7 1.7 0.9 1.1 1.1 1.1 48.5 51.5 100.0
MAX 50.0 30.0 30.0 20.0 10.0 15.0 20.0 10.0 20.0 20.0 20.0 20.0 20.0 10.0 10.0 10.0 10.0 7.0 7.0 5.0 4.0 55.0 72.0 97.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 10.0 10.0 30.0
Oni
Mean 13.3 6.5 5.4 8.6 3.2 4.0 2.2 2.5 3.3 1.1 3.0 1.0 1.9 1.8 1.8 1.0 1.1 0.7 0.9 1.0 0.5 34.9 31.0 64.9
% to T 20.5 10.1 8.4 13.3 4.9 6.2 3.3 3.9 5.1 1.6 4.6 1.5 3.0 2.8 2.8 1.5 1.7 1.1 1.4 1.5 0.8 53.7 47.8 100.0
MAX 50.0 50.0 50.0 100.0 30.0 30.0 20.0 20.0 20.0 10.0 20.0 10.0 15.0 10.0 20.0 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0 5.0 200.0 86.0 237.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 10.0 5.0 15.0
Nunusunu
Mean 6.8 5.0 1.8 3.3 1.3 2.0 2.0 1.4 2.0 2.2 2.0 2.0 1.3 1.7 1.5 2.3 0.2 1.0 0.5 0.2 0.6 16.9 24.4 41.3
% to T 16.5 12.1 4.3 8.1 3.2 4.8 4.8 3.5 4.8 5.3 4.8 4.8 3.2 4.2 3.6 5.7 0.5 2.4 1.3 0.6 1.5 41.0 59.0 100.0
MAX 20.0 20.0 10.0 15.0 15.0 30.0 20.0 10.0 20.0 20.0 10.0 15.0 15.0 10.0 20.0 20.0 6.0 10.0 10.0 5.0 10.0 35.0 72.0 97.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 5.0 6.0 15.0
Kiubat
Mean 6.3 4.0 2.8 1.7 2.0 2.0 2.2 1.6 2.9 1.1 1.9 1.8 1.9 1.9 1.1 1.6 0.8 0.9 1.0 1.0 0.7 14.7 26.3 41.1
% to T 15.3 9.7 6.8 4.1 4.9 4.9 5.4 4.0 7.1 2.7 4.5 4.5 4.5 4.6 2.6 3.8 2.0 2.2 2.4 2.4 1.6 35.9 64.1 100.0
MAX 20.0 20.0 10.0 15.0 10.0 10.0 20.0 10.0 20.0 15.0 10.0 20.0 20.0 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0 5.0 7.0 5.0 35.0 67.0 97.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.0 5.0 7.0
Mio
Mean 6.1 4.0 2.1 2.1 1.6 1.1 0.8 1.1 2.0 1.2 1.6 1.4 1.1 0.7 0.5 1.0 0.5 0.3 0.3 0.5 0.5 14.3 16.3 30.5
MAX 10.0 20.0 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0 5.0 20.0 10.0 10.0 10.0 8.0 10.0 6.0 10.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 30.0 45.0 60.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.0 6.0 15.0
Sumber: Data Primer, 2010.
Lampiran 6. Jumlah Produksi Berdasarkan Umur Tanaman Produktif di Zona Dataran Tinggi
Umur Tanaman (Tahun) Produksi Produktivitas Lahan
Desa 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20 (kg/petani) Kg/Phn (Ha)
Ajobaki
Mean 9.0 8.0 1.7 5.0 15.8 67.7 17.5 134.5 1.3 107.6 5.0 47.0 17.5 42.2 15.5 5.5 14.1 514.9 8.3 1.1
MAX 85.00 80.00 50.00 100.00 300.00 450.00 290.00 500.00 40.00 500.00 150.00 400.00 170.00 400.00 365.00 130.00 60.00 895.0 21.4 2.0
MIN 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 145.0 1.9 0.4
Kg/Phn 0.64 1.71 10.00 6.00 16.96 9.23 13.82 13.82 4.00 12.32 7.50 10.07 21.04 11.52 11.63 5.50 7.71 9.62
Obesi
Mean 10.4 7.2 2.6 6.8 31.8 90.0 65.8 78.4 75.3 71.0 22.1 47.7 27.7 37.2 14.7 0.0 16.5 605.2 8.8 1.0
MAX 38.0 65.0 50.0 75.0 300.0 500.0 350.0 360.0 600.0 480.0 230.0 225.0 250.0 295.0 127.0 0.0 92.0 1215.0 20.3 2.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 174.0 4.2 0.3
Kg/Phn 0.83 1.55 2.23 1.86 6.58 10.39 13.15 10.45 14.39 19.36 13.28 14.59 11.07 13.95 10.23 0.00 5.84
Binaus
Mean 2.6 4.5 0.2 3.7 2.6 23.7 42.1 34.0 43.3 45.3 43.8 27.2 53.4 50.0 22.0 0.6 13.9 413.0 9.4 0.9
MAX 30.0 45.0 5.0 75.0 34.0 250.0 250.0 250.0 300.0 450.0 430.0 250.0 250.0 440.0 370.0 10.0 120.0 829.0 22.1 2.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 123.0 2.3 0.3
Kg/Phn 0.54 0.84 0.50 3.67 1.98 7.89 15.78 10.74 10.00 15.10 21.88 13.39 17.81 13.39 11.00 6.33 6.24
Oelbubuk
Mean 1.6 4.5 1.2 4.0 10.3 26.2 40.3 63.7 55.0 59.5 32.3 43.3 29.7 51.8 25.1 14.5 12.4 475.4 9.8 0.9
MAX 25.0 50.0 30.0 100.0 200.0 175.0 280.0 500.0 300.0 250.0 540.0 400.0 300.0 300.0 260.0 200.0 70.0 760.0 23.0 3.0
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 160.0 3.5 0.4
Kg/Phn 0.31 1.15 0.50 3.00 6.89 8.72 13.44 11.58 15.71 12.75 24.25 20.00 16.18 19.43 12.34 8.35 5.15
Tobu
Mean 3.3 5.7 1.8 8.9 16.6 18.2 29.0 60.3 78.8 77.2 31.0 17.0 28.0 31.0 8.0 11.4 12.3 438.7 7.5 0.9
MAX 30.0 40.0 25.0 150.0 300.0 120.0 200.0 500.0 500.0 400.0 300.0 200.0 350.0 360.0 200.0 100.0 60.0 806.0 16.4 1.5
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 175.0 2.2 0.3
Kg/Phn 0.36 0.98 2.20 2.97 5.53 3.30 7.44 11.17 11.26 11.58 11.63 14.57 10.63 10.22 8.03 4.34 3.22
Tune
Mean 1.0 3.1 2.7 4.1 13.5 19.3 23.1 28.2 46.0 53.0 17.5 10.7 14.7 12.1 5.2 3.9 9.1 287.3 6.4 0.7
MAX 7.0 40.0 40.0 50.0 150.0 300.0 150.0 180.0 350.0 300.0 150.0 120.0 250.0 200.0 70.0 50.0 63.0 413.0 17.9 1.5
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 130.0 1.6 0.3
Kg/Phn 0.61 0.99 1.45 1.40 1.98 4.14 6.61 5.28 13.14 7.57 5.83 4.92 11.00 6.87 2.89 3.47 3.21
Sumber: Data Primer, 2010.
Lampiran 7. Jumlah Produksi Berdasarkan Umur Tanaman Produktif di Zona Bdataran Rendah
Umur Tanaman (Tahun) Produksi Produktivitas Lahan
Desa 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20 (kg/petani) Kg/Phn (Ha)
Kuanfatu
Mean 3.2 5.1 10.7 5.8 11.8 17.0 25.6 21.8 11.0 12.2 16.2 11.0 11.2 3.6 5.5 1.4 8.3 181.3 4.3 0.6
MAX 28.0 35.0 80.0 60.0 75.0 100.0 150.0 250.0 100.0 150.0 120.0 100.0 130.0 50.0 75.0 20.0 65.0 410.0 17.4 0.9
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 43.0 1.4 0.3
Kg/Phn 0.76 1.40 2.21 2.31 3.77 5.37 6.98 7.28 5.50 5.07 8.82 6.62 4.47 5.40 3.90 3.31 6.23
Kelle
Mean 1.7 2.6 2.3 3.5 6.3 22.3 12.0 27.7 18.5 14.0 11.2 13.6 8.0 2.2 2.0 1.5 4.2 153.7 5.6 0.5
MAX 8.0 16.0 30.0 55.0 50.0 200.0 100.0 250.0 160.0 150.0 125.0 100.0 160.0 40.0 25.0 20.0 35.0 329.0 15.4 0.8
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 43.0 1.1 0.3
Kg/Phn 0.67 0.93 1.30 2.26 3.45 6.84 6.55 8.56 10.09 10.77 10.47 9.30 8.89 4.79 3.59 2.50 7.41
Oni
Mean 2.1 3.7 3.2 4.6 10.8 8.3 15.0 2.8 17.3 12.0 11.5 1.2 5.8 3.1 4.1 1.9 0.9 108.3 3.5 0.4
MAX 20.0 48.0 40.0 34.0 70.0 130.0 150.0 34.0 200.0 200.0 150.0 15.0 100.0 50.0 50.0 20.0 10.0 365.0 10.2 0.8
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 29.0 1.1 0.3
Kg/Phn 0.66 0.92 1.46 1.83 3.25 7.78 5.00 2.80 8.97 6.55 6.27 1.17 5.27 4.48 4.43 1.93 1.80
Nunusunu
Mean 0.7 1.1 2.0 2.5 3.6 10.1 8.9 12.9 6.3 11.3 7.7 9.2 1.3 2.8 0.8 1.2 0.8 83.3 3.4 0.3
MAX 5.0 8.0 16.0 15.0 24.0 170.0 65.0 60.0 70.0 100.0 100.0 80.0 40.0 30.0 10.0 30.0 10.0 210.0 10.0 0.8
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 29.0 1.2 0.1
Kg/Phn 0.50 0.56 1.00 1.77 1.78 4.66 4.45 6.47 4.75 6.54 5.27 3.93 6.67 2.77 1.56 5.00 1.32
Kiubat
Mean 1.3 1.8 2.4 3.9 5.7 5.4 10.7 10.2 9.8 8.7 7.5 5.7 1.2 3.2 2.0 2.0 2.5 83.8 3.2 0.4
MAX 8.0 9.0 25.0 25.0 35.0 120.0 150.0 130.0 130.0 101.0 80.0 50.0 20.0 70.0 20.0 30.0 30.0 225.0 12.6 0.8
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 30.0 1.1 0.1
Kg/Phn 0.63 0.88 1.07 2.39 1.95 4.88 5.75 5.55 5.27 4.58 7.03 3.62 1.40 3.52 2.00 2.07 3.70
Mio
Mean 1.1 0.8 1.7 3.3 4.5 4.8 7.6 6.5 6.2 3.5 3.2 5.8 1.8 0.7 2.2 1.0 0.9 55.6 3.4 0.3
MAX 6.0 8.0 25.0 30.0 50.0 50.0 65.0 50.0 70.0 35.0 60.0 60.0 25.0 15.0 40.0 10.0 10.0 92.0 9.0 0.5
MIN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 25.0 1.1 0.1
Kg/Phn 0.65 0.75 2.04 2.94 2.23 4.14 4.77 4.64 5.67 5.00 5.94 5.65 3.93 2.22 6.50 2.00 1.93
Sumber: Data Primer, 2010.
Lampiran 8. Jumlah Pohon, Produksi dan Produktivitas Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman
Tabel 1. Rata-Rata Jumlah Pohon Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman Secara Total
Pohon/ Lahan
Umur Tanaman (Tahun) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20 Petani (Ha)
Rata-Rata Jumlah
Pohon/Petani:
Ajobaki 92.0 38.3 36.9 18.7 14.0 4.7 0.2 0.8 0.9 7.3 1.3 9.7 0.3 8.7 0.7 4.7 0.8 3.7 1.3 1.0 1.8 247.9 1.07
Obesi 73.8 18.3 25.0 25.3 12.5 4.7 1.2 3.7 4.8 8.7 5.0 7.5 5.2 3.7 1.7 3.3 2.5 2.7 1.4 0.1 2.8 213.8 1.05
Binaus 64.5 51.2 39.0 16.8 4.8 5.4 0.3 1.0 1.3 3.0 2.7 3.2 4.3 3.0 2.0 2.0 3.0 3.7 2.0 0.1 2.2 215.6 0.90
Oelbubuk 53.7 56.2 39.3 23.7 5.3 3.9 2.3 1.3 1.5 3.0 3.0 5.5 3.5 4.7 1.3 2.2 1.8 2.7 2.0 1.7 2.4 221.1 0.90
Tobu 36.2 18.0 16.3 7.8 9.2 5.8 0.8 3.0 3.0 5.5 3.9 5.4 7.0 6.7 2.7 1.2 2.6 3.0 1.0 2.6 3.8 145.5 0.92
Tune 16.3 6.1 5.7 3.8 1.7 3.2 1.8 2.9 6.8 4.7 3.5 5.3 3.5 7.0 3.0 2.2 1.3 1.8 1.8 1.1 2.8 86.3 0.68
Kuanfatu 13.5 9.8 3.3 4.8 4.2 3.7 4.8 2.5 3.1 3.2 3.7 3.0 2.0 2.4 1.8 1.7 2.5 0.7 1.4 0.4 1.3 73.9 0.55
Kelle 12.8 5.2 5.5 2.5 2.5 2.8 1.8 1.6 1.8 3.3 1.8 3.2 1.8 1.3 1.1 1.5 0.9 0.5 0.6 0.6 0.6 53.6 0.53
Oni 13.3 6.5 5.4 8.6 3.2 4.0 2.2 2.5 3.3 1.1 3.0 1.0 1.9 1.8 1.8 1.0 1.1 0.7 0.9 1.0 0.5 64.9 0.39
Nunusunu 6.8 5.0 1.8 3.3 1.3 2.0 2.0 1.4 2.0 2.2 2.0 2.0 1.3 1.7 1.5 2.3 0.2 1.0 0.5 0.2 0.6 41.3 0.33
Kiubat 6.3 4.0 2.8 1.7 2.0 2.0 2.2 1.6 2.9 1.1 1.9 1.8 1.9 1.9 1.1 1.6 0.8 0.9 1.0 1.0 0.7 41.1 0.37
Mio 6.1 4.0 2.1 2.1 1.6 1.1 0.8 1.1 2.0 1.2 1.6 1.4 1.1 0.7 0.5 1.0 0.5 0.3 0.3 0.5 0.5 30.5 0.28
Average (Pohon/Petani) 32.9 18.5 15.3 9.9 5.2 3.6 1.7 2.0 2.8 3.7 2.8 4.1 2.8 3.6 1.6 2.0 1.5 1.8 1.2 0.9 1.7 119.5 0.66
% terhadap total 27.5 15.5 12.8 8.3 4.3 3.0 1.4 1.6 2.3 3.1 2.3 3.4 2.4 3.0 1.3 1.7 1.3 1.5 1.0 0.7 1.4 100.0 172.46
Max 92.0 56.2 39.3 25.3 14.0 5.8 4.8 3.7 6.8 8.7 5.0 9.7 7.0 8.7 3.0 4.7 3.0 3.7 2.0 2.6 3.8 247.9 1.07
Min 6.1 4.0 1.8 1.7 1.3 1.1 0.2 0.8 0.9 1.1 1.3 1.0 0.3 0.7 0.5 1.0 0.2 0.3 0.3 0.1 0.5 30.5 0.28
Tabel 3. Rata-Rata Jumlah Pohon Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman di Dataran Rendah
Umur Tanaman (Tahun) 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0 15.0 16.0 17.0 18.0 19.0 20.0 >20 Pohon/ Lahan
Kuanfatu 13.5 9.8 3.3 4.8 4.2 3.7 4.8 2.5 3.1 3.2 3.7 3.0 2.0 2.4 1.8 1.7 2.5 0.7 1.4 0.4 1.3 73.9 0.55
Kelle 12.8 5.2 5.5 2.5 2.5 2.8 1.8 1.6 1.8 3.3 1.8 3.2 1.8 1.3 1.1 1.5 0.9 0.5 0.6 0.6 0.6 53.6 0.53
Oni 13.3 6.5 5.4 8.6 3.2 4.0 2.2 2.5 3.3 1.1 3.0 1.0 1.9 1.8 1.8 1.0 1.1 0.7 0.9 1.0 0.5 64.9 0.39
Nunusunu 6.8 5.0 1.8 3.3 1.3 2.0 2.0 1.4 2.0 2.2 2.0 2.0 1.3 1.7 1.5 2.3 0.2 1.0 0.5 0.2 0.6 41.3 0.33
Kiubat 6.3 4.0 2.8 1.7 2.0 2.0 2.2 1.6 2.9 1.1 1.9 1.8 1.9 1.9 1.1 1.6 0.8 0.9 1.0 1.0 0.7 41.1 0.37
Mio 6.1 4.0 2.1 2.1 1.6 1.1 0.8 1.1 2.0 1.2 1.6 1.4 1.1 0.7 0.5 1.0 0.5 0.3 0.3 0.5 0.5 30.5 0.28
Average (Pohon/Petani) 9.8 5.8 3.5 3.8 2.5 2.6 2.3 1.8 2.5 2.0 2.3 2.1 1.7 1.6 1.3 1.5 1.0 0.7 0.8 0.6 0.7 50.9 0.41
Max 13.5 9.8 5.5 8.6 4.2 4.0 4.8 2.5 3.3 3.3 3.7 3.2 2.0 2.4 1.8 2.3 2.5 1.0 1.4 1.0 1.3 73.9 0.55
Min 6.1 4.0 1.8 1.7 1.3 1.1 0.8 1.1 1.8 1.1 1.6 1.0 1.1 0.7 0.5 1.0 0.2 0.3 0.3 0.2 0.5 30.5 0.28
Sumber: Data Primer, 2010.
Lampiran 8. Lanjutan
Tabel 4. Rata-Rata Produksi Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman Secara Total
Umur Tanaman
(Tahun) 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0 15.0 16.0 17.0 18.0 19.0 20.0 >20 Kg/ Lahan
Jumlah Produksi (Kg/Petani): Petani (Ha)
Ajobaki 9.0 8.0 1.7 5.0 15.8 67.7 17.5 134.5 1.3 107.6 5.0 47.0 17.5 42.2 15.5 5.5 14.1 514.9 1.09
Obesi 10.4 7.2 2.6 6.8 31.8 90.0 65.8 78.4 75.3 71.0 22.1 47.7 27.7 37.2 14.7 0.0 16.5 605.2 1.05
Binaus 2.6 4.5 0.2 3.7 2.6 23.7 42.1 34.0 43.3 45.3 43.8 27.2 53.4 50.0 22.0 0.6 13.9 413.0 0.90
Oelbubuk 1.6 4.5 1.2 4.0 10.3 26.2 40.3 63.7 55.0 59.5 32.3 43.3 29.7 51.8 25.1 14.5 12.4 475.4 0.90
Tobu 3.3 5.7 1.8 8.9 16.6 18.2 29.0 60.3 78.8 77.2 31.0 17.0 28.0 31.0 8.0 11.4 12.3 438.7 0.92
Tune 1.0 3.1 2.7 4.1 13.5 19.3 23.1 28.2 46.0 53.0 17.5 10.7 14.7 12.1 5.2 3.9 9.1 267.3 0.68
Kuanfatu 3.2 5.1 10.7 5.8 11.8 17.0 25.6 21.8 11.0 12.2 16.2 11.0 11.2 3.6 5.5 1.4 8.3 181.3 0.55
Kelle 1.7 2.6 2.3 3.5 6.3 22.3 12.0 27.7 18.5 14.0 11.2 13.6 8.0 2.2 2.0 1.5 4.2 153.7 0.53
Oni 2.1 3.7 3.2 4.6 10.8 8.3 15.0 2.8 17.3 12.0 11.5 1.2 5.8 3.1 4.1 1.9 0.9 108.3 0.39
Nunusunu 0.7 1.1 2.0 2.5 3.6 10.1 8.9 12.9 6.3 11.3 7.7 9.2 1.3 2.8 0.8 1.2 0.8 83.3 0.33
Kiubat 1.3 1.8 2.4 3.9 5.7 5.4 10.7 10.2 9.8 8.7 7.5 5.7 1.2 3.2 2.0 2.0 2.5 83.8 0.37
Mio 1.1 0.8 1.7 3.3 4.5 4.8 7.6 6.5 6.2 3.5 3.2 5.8 1.8 0.7 2.2 1.0 0.9 55.6 0.28
Average
(Kg/Petani) 3.2 4.0 2.7 4.7 11.1 26.1 24.9 40.1 30.8 40.4 17.5 20.0 16.7 18.4 8.9 6.3 5.8 281.3 0.66
% terhadap total 1.1 1.4 1.0 1.7 3.9 9.3 8.8 14.2 10.9 14.1 6.2 7.1 5.9 7.1 3.2 1.3 2.8 100.0 0.24
Max 10.4 8.0 10.7 8.9 31.8 90.0 65.8 134.5 78.8 107.6 43.8 47.7 53.4 51.8 25.1 14.5 16.5 605.2 1.09
Min 0.7 0.8 0.2 2.5 2.6 4.8 7.6 2.8 1.3 3.5 3.2 1.2 1.2 0.7 0.8 0.0 0.8 55.6 0.28
Tabel 5. Rata-Rata Produksi Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman di Zona Dataran Tinggi
Umur Tanaman (Tahun) 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0 15.0 16.0 17.0 18.0 19.0 20.0 >20 Kg/ Lahan
Jumlah Produksi (Kg/Petani): Petani (Ha)
Ajobaki 9.0 8.0 1.7 5.0 15.8 67.7 17.5 134.5 1.3 107.6 5.0 47.0 17.5 42.2 15.5 5.5 14.1 514.9 1.09
Obesi 10.4 7.2 2.6 6.8 31.8 90.0 65.8 78.4 75.3 71.0 22.1 47.7 27.7 37.2 14.7 0.0 16.5 605.2 1.05
Binaus 2.6 4.5 0.2 3.7 2.6 23.7 42.1 34.0 43.3 45.3 43.8 27.2 53.4 50.0 22.0 0.6 13.9 413.0 0.90
Oelbubuk 1.6 4.5 1.2 4.0 10.3 26.2 40.3 63.7 55.0 59.5 32.3 43.3 29.7 51.8 25.1 14.5 12.4 475.4 0.90
Tobu 3.3 5.7 1.8 8.9 16.6 18.2 29.0 60.3 78.8 77.2 31.0 17.0 28.0 31.0 8.0 11.4 12.3 438.7 0.92
Tune 1.0 3.1 2.7 4.1 13.5 19.3 23.1 28.2 46.0 53.0 17.5 10.7 14.7 12.1 5.2 3.9 9.1 267.3 0.68
Average (Kg/Petani) 4.7 5.5 1.7 5.4 15.1 40.8 36.3 66.5 50.0 68.9 25.3 32.2 28.5 34.2 15.1 11.1 10.1 451.3 0.92
Max (kg/petani) 10.4 8.0 2.7 8.9 31.8 90.0 65.8 134.5 78.8 107.6 43.8 47.7 53.4 51.8 25.1 14.5 16.5 605.2 1.1
Min (kg/petani) 1.0 3.1 0.2 3.7 2.6 18.2 17.5 28.2 1.3 45.3 5.0 10.7 14.7 12.1 5.2 0.0 9.1 267.3 0.7
Sumber: Data Primer, 2010.
Tabel 6. Rata-Rata Produksi Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman di Zona Dataran Rendah
Umur Tanaman (Tahun) 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0 15.0 16.0 17.0 18.0 19.0 20.0 >20 Kg/ Lahan
Jumlah Produksi (Kg/Petani): Petani (Ha)
Kuanfatu 3.2 5.1 10.7 5.8 11.8 17.0 25.6 21.8 11.0 12.2 16.2 11.0 11.2 3.6 5.5 1.4 8.3 181.3 0.55
Kelle 1.7 2.6 2.3 3.5 6.3 22.3 12.0 27.7 18.5 14.0 11.2 13.6 8.0 2.2 2.0 1.5 4.2 153.7 0.53
Oni 2.1 3.7 3.2 4.6 10.8 8.3 15.0 2.8 17.3 12.0 11.5 1.2 5.8 3.1 4.1 1.9 0.9 108.3 0.39
Nunusunu 0.7 1.1 2.0 2.5 3.6 10.1 8.9 12.9 6.3 11.3 7.7 9.2 1.3 2.8 0.8 1.2 0.8 83.3 0.33
Kiubat 1.3 1.8 2.4 3.9 5.7 5.4 10.7 10.2 9.8 8.7 7.5 5.7 1.2 3.2 2.0 2.0 2.5 83.8 0.37
Mio 1.1 0.8 1.7 3.3 4.5 4.8 7.6 6.5 6.2 3.5 3.2 5.8 1.8 0.7 2.2 1.0 0.9 55.6 0.28
Average (Kg/Petani) 1.7 2.5 3.7 3.9 7.1 11.3 13.3 13.7 11.5 12.3 9.5 7.8 4.9 2.6 2.8 1.5 1.4 111.3 0.41
Max 3.2 5.1 10.7 5.8 11.8 22.3 25.6 27.7 18.5 14.0 16.2 13.6 11.2 3.6 5.5 2.0 8.3 181.3 0.55
Min 0.7 0.8 1.7 2.5 3.6 4.8 7.6 2.8 6.2 3.5 3.2 1.2 1.2 0.7 0.8 1.0 0.8 55.6 0.28
Sumber: Data Primer, 2010.
Lampiran 8. Lanjutan
Tabel 7. Rata-Rata Produktivitas Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman Secara Total
Umur Tanaman (Tahun) 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20
Produktivitas (Kg/Pohon produktif):
Ajobaki 0.6 1.7 10.0 6.0 17.0 9.2 13.8 13.8 4.0 12.3 7.5 10.1 21.0 11.5 11.6 5.5 7.7
Obesi 0.8 1.6 2.2 1.9 6.6 10.4 13.2 10.5 14.4 19.4 13.3 14.6 11.1 14.0 10.2 0.0 5.8
Binaus 0.5 0.8 0.5 3.7 2.0 7.9 15.8 10.7 10.0 15.1 21.9 13.4 17.8 13.4 11.0 6.3 6.2
Oelbubuk 0.3 1.2 0.5 3.0 6.9 8.7 13.4 11.6 15.7 12.8 24.3 20.0 16.2 19.4 12.3 8.3 5.2
Tobu 0.4 1.0 2.2 3.0 5.5 3.3 7.4 11.2 11.3 11.6 11.6 14.6 10.6 10.2 8.0 4.3 3.2
Tune 0.6 1.0 1.5 1.4 2.0 4.1 6.6 5.3 13.1 7.6 5.8 4.9 11.0 6.9 2.9 3.5 3.2
Kuanfatu 0.8 1.4 2.2 2.3 3.8 5.4 7.0 7.3 5.5 5.1 8.8 6.6 4.5 5.4 3.9 3.3 6.2
Kelle 0.7 0.9 1.3 2.3 3.5 6.8 6.5 8.6 10.1 10.8 10.5 9.3 8.9 4.8 3.6 2.5 7.4
Oni 0.7 0.9 1.5 1.8 3.3 7.8 5.0 2.8 9.0 6.5 6.3 1.2 5.3 4.5 4.4 1.9 1.8
Nunusunu 0.5 0.6 1.0 1.8 1.8 4.7 4.5 6.5 4.8 6.5 5.3 3.9 6.7 2.8 1.6 5.0 1.3
Kiubat 0.6 0.9 1.1 2.4 2.0 4.9 5.8 5.5 5.3 4.6 7.0 3.6 1.4 3.5 2.0 2.1 3.7
Mio 0.7 0.8 2.0 2.9 2.2 4.1 4.8 4.6 5.7 5.0 5.9 5.6 3.9 2.2 6.5 2.0 1.9
Total Average (Kg/Pohon) 0.6 1.1 2.2 2.7 4.8 7.3 8.3 8.9 9.2 9.7 10.3 9.1 8.9 8.3 6.5 4.7 3.8
Tabel 8. Rata-Rata Produktivitas Jeruk Keprok SoE di Desa-Desa Contoh Berdasarkan Umur Tanaman di Zona Dataran Tinggi
Umur Tanaman (Tahun) 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 >20
Produktivitas (Kg/Pohon produktif)
Ajobaki 0.6 1.7 10.0 6.0 17.0 9.2 11.2 13.0 4.0 14.1 7.5 10.1 15.8 12.7 11.6 5.5 7.7
Obesi 0.9 1.2 2.2 2.2 7.5 10.4 13.2 11.3 14.4 17.6 13.6 14.6 13.3 14.4 10.2 0.0 5.6
Binaus 0.5 0.8 0.5 3.7 2.0 7.6 13.8 12.5 11.4 15.1 16.7 13.4 15.8 15.3 11.0 6.3 6.5
Oelbubuk 0.5 0.9 0.8 3.0 12.0 6.2 13.4 14.5 13.5 12.4 24.3 17.1 19.4 17.8 12.3 9.7 5.8
Tobu 0.5 0.9 2.2 3.0 5.5 3.3 7.4 11.2 10.1 11.3 11.6 14.6 10.6 10.2 8.0 4.3 3.1
Tune 0.5 1.3 1.5 1.4 2.4 4.1 6.3 6.6 11.3 8.7 5.8 6.6 11.0 6.9 3.5 3.3 3.1
Average (kg/pohon) 0.6 1.1 2.9 3.2 6.7 8.8 10.9 11.2 11.5 13.1 13.2 13.0 12.9 12.7 9.5 6.9 5.3
Tabel 10. Jumlah Pohon Berdasarkan Kategori Umur di Zona Dataran Tinggi.
Desa Kategori Umur Tanaman (Tahun) Kategori Umur Tanaman (Tahun)
<5 5 - <10 10 - < 15 15 - 20 >20 Total <5 5 - <10 10 - < 15 15 - 20 >20 Total
Jumlah Pohon Per Petani Berdasarkan Kategori Umur di Zona Dataran Tinggi % Jumlah Pohon Berdasarkan Kategori Umur di Zona Dataran Tinggi
Ajobaki 185.9 20.6 27.4 12.2 1.8 247.9 74.99 8.31 11.05 4.91 0.74 100.0
Obesi 142.5 26.8 30.1 11.6 2.8 213.8 66.64 12.55 14.06 5.42 1.33 100.0
Binaus 171.5 12.9 16.2 12.9 2.2 215.6 79.53 5.97 7.50 5.97 1.04 100.0
Oelbubuk 172.8 14.4 19.7 11.8 2.4 221.1 78.17 6.53 8.89 5.32 1.09 100.0
Tobu 78.3 21.8 28.5 13.1 3.8 145.5 53.78 15.00 19.56 9.02 2.63 100.0
Tune 31.8 16.4 24.0 11.2 2.8 86.3 36.86 19.05 27.82 12.98 3.28 100.0
Kuanfatu 31.5 18.3 14.2 8.5 1.3 73.9 42.64 24.77 19.27 11.51 1.81 100.0
Kelle 26.0 10.5 11.5 5.1 0.6 53.6 48.54 19.54 21.41 9.46 1.06 100.0
Oni 33.9 15.2 8.8 6.5 0.5 64.9 52.18 23.37 13.61 10.07 0.77 100.0
Nunusunu 16.9 8.7 9.2 5.8 0.6 41.3 40.95 21.16 22.37 13.97 1.53 100.0
Kiubat 14.7 10.8 8.6 6.3 0.7 41.1 35.88 26.22 20.86 15.42 1.62 100.0
Mio 14.2 6.7 6.0 3.2 0.5 30.5 46.67 21.86 19.56 10.38 1.53 100.0
Sumber: Data Primer, 2010.
Lampiran 8. Lanjutan
Tabel 11. Jumlah Produksi Berdasarkan Kategori Umur di Zona Dataran Tinggi, Dataran Rendah dan Total, Tahun 2010
Desa Kategori Umur Tanaman (Tahun) Kategori Umur Tanaman (Tahun)
<5 5 - <10 10 - < 15 15 - 20 >20 Total <5 5 - <10 10 - < 15 15 - 20 >20 Total
Jumlah (Kg/Petani) Berdasarkan Kategori Umur di Zona Dataran Tinggi % Jumlah Produksi Berdasarkan Kategori Umur di Zona Dataran Tinggi
Ajobaki 0.0 39.5 328.6 132.8 14.1 514.9 0.00 7.66 63.81 25.78 2.74 100.0
Obesi 0.0 58.8 380.5 149.3 16.5 605.2 0.00 9.72 62.87 24.67 2.73 100.0
Binaus 0.0 13.6 188.4 197.1 13.9 413.0 0.00 3.29 45.61 47.72 3.37 100.0
Oelbubuk 0.0 21.7 244.7 196.7 12.4 475.4 0.00 4.56 51.47 41.38 2.60 100.0
Tobu 0.0 36.4 263.5 126.5 12.3 438.7 0.00 8.30 60.06 28.83 2.81 100.0
Tune 0 24.4 169.6 64.1 9.1 267.3 0 9.14 63.47 23.98 3.404 100.0
Mean -1 0 32.4 262.5 144.4 13.1 451.3 0 7.13 57.88 32.06 2.95 100.0
Kuanfatu 0.0 36.5 87.6 48.9 8.3 181.3 0.00 20.15 48.32 26.95 4.58 100.0
Kelle 0.0 16.4 94.5 38.6 4.2 153.7 0.00 10.69 61.48 25.09 2.73 100.0
Oni 0.0 24.3 55.4 27.6 0.9 108.3 0.00 22.48 51.20 25.49 0.83 100.0
Nunusunu 0.0 9.9 49.6 23.0 0.8 83.3 0.00 11.84 59.54 27.61 1.00 100.0
Kiubat 0.0 15.0 44.8 21.5 2.5 83.8 0.00 17.91 53.48 25.67 2.94 100.0
Mio 0.0 11.4 28.7 14.7 0.9 55.6 0 20.43 51.59 26.36 1.62 100.0
Mean -2 0 18.92 60.11 29.03 2.93 111.3 0 17.05 54.15 26.16 2.64 100.0
Mean Total 0 25.66 161.33 86.72 8.00 281.3 0 9.11 57.27 30.78 2.84 100.0
Tabel 12. Jumlah Produktivitas Berdasarkan Kategori Umur di Zona Dataran Tinggi, Dataran Rendah dan Total, Tahun 2010
Produktivitas (Kg/Pohon Produktif) Berdasarkan Kategori Umur di Zona Dataran Tinggi % Berdasarkan Kategori Umur di Zona Dataran Tinggi
Ajobaki 0.0 7.1 10.6 13.5 7.7 38.9 0.00 18.18 27.37 34.62 19.84 100.0
Obesi 0.0 2.6 13.6 12.6 5.8 34.6 0.00 7.54 39.14 36.46 16.86 100.0
Binaus 0.0 1.5 11.9 16.8 6.2 36.4 0.00 4.13 32.69 46.04 17.14 100.0
Oelbubuk 0.0 2.4 12.4 20.1 5.2 40.1 0.00 5.91 31.05 50.18 12.86 100.0
Tobu 0.0 2.4 8.9 11.9 3.2 26.5 0.00 9.11 33.82 44.91 12.16 100.0
Tune 0.0 1.3 7.3 7.0 3.2 18.8 0.00 6.83 39.00 37.13 17.04 100.0
Mean-1 0.0 2.9 10.8 13.6 5.2 32.5 0.00 8.62 33.84 41.56 15.98 100.00
Kuanfatu 0.0 2.1 6.0 6.5 6.2 20.9 0.00 10.01 28.96 31.18 29.85 100.0
Kelle 0.0 1.7 8.6 7.9 7.4 25.6 0.00 6.72 33.44 30.88 28.95 100.0
Oni 0.0 1.6 6.2 4.7 1.8 14.4 0.00 11.31 43.33 32.82 12.54 100.0
Nunusunu 0.0 1.1 5.4 5.0 1.3 12.9 0.00 8.73 41.81 39.22 10.24 100.0
Kiubat 0.0 1.4 5.2 3.9 3.7 14.2 0.0 9.8 36.63 27.62 26.02 100
Mio 0.0 1.7 4.8 5.2 1.9 13.7 0.00 12.54 35.25 38.18 14.03 100.00
Mean-2 0 1.6 6.1 5.6 3.7 16.9 0 9.5 35.7 32.8 22.0 100
Mean Total 0 2.2 8.4 9.6 0.9 21.2 0 10.6 39.8 45.4 4.2 100
Lampiran 8. Lanjutan
Tabel 13. Luas Lahan, Jumlah dan Umur Tanaman Produktif yang Dimiliki Petani
Responden
No Jenis Data Y X1 X2 X3
Respnden
1 1 400 20 10 7
2 1 350 30 12 9
3 1 500 35 15 10
4 1 460 40 18 12
5 1 700 50 25 15
Catatan: jika data cross-section maka jenis data diisi dengan angka satu (1).
2. Menyimpan data dalam folder frontier 4.1, dan disimpan dalam bentuk file
kemudian YES).
4. Membuka folder frontier 4.1 dan mengubah file dengan ekxtensi *.txt tadi
berikut:
a. Do you wish to type instruction at the terminal (t) or use instruction file
(f)? Dijawab dengan mengetik t (karena file tadi sudah ada di folder
frontier 4.1)
b. Enter 1 if you wish to estimate the error component model or 2 for the
c. Enter the name of your data file? Dijawab dengan mengetik nama file
d. Enter the name of your output file? Dijawab dengan mengetik nama
banyaknya data cross section, misalnya 180 (karena ada 180 responden)
(independen atau X)
inefisiensi ada 4)
Setelah semua prosedur dilaksanakan dengan benar, maka akan keluar outputnya
dengan nama file jeruk.out. Catatan: kalau output tidak keluar maka ada kesalahan
dalam pengetikan jawaban pada instruksi frontier 4.1, misalnya data jumlah
observasi ada 180 tetapi diketik dengan jumlah 100, jumlah regressor ada 4 tetapi
diketik 10, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, file data perlu diperiksa kembali,
LR 0.15021858E+02
356
LR 0.19253099E+02
357
7 1 0.82734113E+00
8 1 0.84654932E+00
9 1 0.85268631E+00
10 1 0.87993906E+00
11 1 0.62369365E+00
12 1 0.64344458E+00
13 1 0.67175203E+00
14 1 0.46479649E+00
15 1 0.91291236E+00
16 1 0.79251509E+00
17 1 0.79662632E+00
18 1 0.90804514E+00
19 1 0.41490323E+00
20 1 0.82758755E+00
21 1 0.88189737E+00
22 1 0.55632129E+00
23 1 0.88238050E+00
24 1 0.37024328E+00
25 1 0.82136145E+00
26 1 0.47900487E+00
27 1 0.77003873E+00
28 1 0.70041767E+00
29 1 0.61700957E+00
30 1 0.55543807E+00
31 1 0.59635089E+00
32 1 0.68694619E+00
33 1 0.88124361E+00
34 1 0.53457823E+00
35 1 0.86798459E+00
36 1 0.87569398E+00
37 1 0.88048332E+00
38 1 0.83101478E+00
39 1 0.63289134E+00
40 1 0.73174127E+00
41 1 0.92966191E+00
42 1 0.62337070E+00
43 1 0.47149983E+00
44 1 0.52766387E+00
45 1 0.44100802E+00
46 1 0.64566031E+00
47 1 0.77162929E+00
48 1 0.78756995E+00
49 1 0.78059837E+00
50 1 0.94722399E+00
51 1 0.76617052E+00
52 1 0.77873511E+00
53 1 0.83995820E+00
54 1 0.87118354E+00
55 1 0.89552506E+00
56 1 0.86662525E+00
57 1 0.42825751E+00
58 1 0.73197414E+00
59 1 0.79606424E+00
60 1 0.51811516E+00
61 1 0.70375283E+00
62 1 0.73505353E+00
63 1 0.61392980E+00
64 1 0.62248320E+00
65 1 0.31043703E+00
66 1 0.69544365E+00
67 1 0.63798104E+00
68 1 0.41222605E+00
359
69 1 0.70287511E+00
70 1 0.70086934E+00
71 1 0.63110913E+00
72 1 0.43443640E+00
73 1 0.76510634E+00
74 1 0.60267578E+00
75 1 0.79474438E+00
76 1 0.69587721E+00
77 1 0.46028449E+00
78 1 0.52011723E+00
79 1 0.87707870E+00
80 1 0.71301783E+00
81 1 0.93161758E+00
82 1 0.93195841E+00
83 1 0.28597998E+00
84 1 0.88360435E+00
85 1 0.70480589E+00
86 1 0.51403306E+00
87 1 0.63155571E+00
88 1 0.90446120E+00
89 1 0.85137276E+00
90 1 0.58901035E+00
91 1 0.49677437E+00
92 1 0.29789525E+00
93 1 0.78967567E+00
94 1 0.85404099E+00
95 1 0.80459327E+00
96 1 0.75799756E+00
97 1 0.84211132E+00
98 1 0.85925600E+00
99 1 0.52564501E+00
100 1 0.59147926E+00
101 1 0.63525924E+00
102 1 0.79661024E+00
103 1 0.72528096E+00
104 1 0.85272968E+00
105 1 0.74532573E+00
106 1 0.76242695E+00
107 1 0.87554506E+00
108 1 0.88759823E+00
109 1 0.60521063E+00
110 1 0.79446664E+00
111 1 0.86300523E+00
112 1 0.89598280E+00
113 1 0.36009879E+00
114 1 0.90709632E+00
115 1 0.81031981E+00
116 1 0.76125398E+00
117 1 0.73411821E+00
118 1 0.83111340E+00
119 1 0.84206452E+00
120 1 0.82483116E+00
121 1 0.61515546E+00
122 1 0.44812163E+00
123 1 0.39715529E+00
124 1 0.66998061E+00
125 1 0.80498803E+00
126 1 0.68743274E+00
127 1 0.89909052E+00
128 1 0.81669016E+00
129 1 0.84625654E+00
130 1 0.58902161E+00
360
131 1 0.27674041E+00
132 1 0.46070368E+00
133 1 0.76540496E+00
134 1 0.24980813E+00
135 1 0.46352622E+00
136 1 0.33453611E+00
137 1 0.74344312E+00
138 1 0.46649932E+00
139 1 0.47445083E+00
140 1 0.64495990E+00
141 1 0.81076132E+00
142 1 0.59138527E+00
143 1 0.27801976E+00
144 1 0.57937473E+00
145 1 0.75894999E+00
146 1 0.23426711E+00
147 1 0.76391512E+00
148 1 0.72485173E+00
149 1 0.82905563E+00
150 1 0.77751595E+00
151 1 0.28558339E+00
152 1 0.62889751E+00
153 1 0.25377942E+00
154 1 0.67466943E+00
155 1 0.31570435E+00
156 1 0.34900083E+00
157 1 0.33301370E+00
158 1 0.63980777E+00
159 1 0.39090304E+00
160 1 0.48606473E+00
161 1 0.36135577E+00
162 1 0.45900372E+00
163 1 0.21045963E+00
164 1 0.22563444E+00
165 1 0.28296604E+00
166 1 0.47654435E+00
167 1 0.37579715E+00
168 1 0.30556948E+00
169 1 0.59931441E+00
170 1 0.50207174E+00
171 1 0.33354253E+00
172 1 0.79831585E+00
173 1 0.39695914E+00
174 1 0.23369176E+00
175 1 0.27307128E+00
176 1 0.52168293E+00
177 1 0.73260300E+00
178 1 0.78008779E+00
179 1 0.82467841E+00
180 1 0.27887367E+00
Lampiran 14. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknis Pada
Ukuran Usahatani < 1 Ha di Daerah dataran Tinggi
Output from the program FRONTIER (Version 4.1c)
instruction file = terminal
data file = zona12.DTA
Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993)
The model is a production function
Lampiran 15. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknis Pada
Ukuran Usahatani ≥ 1 Ha di Daerah dataran Tinggi
Output from the program FRONTIER (Version 4.1c)
instruction file = terminal
data file = zona13.dta
Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993)
The model is a production function