Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Penyantun/Patron
Dewan Gubernur Bank Indonesia
Board of Governors of Bank Indonesia
Sekretariat/Secretariat
Rakianto Irawanto
M.S. Artiningsih
Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober dan
Januari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungi
Seksi Publikasi Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter,
Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2,
Jakarta Pusat, telp. (021) 381 8206. Untuk permohonan berlangganan:
telp. (021) 381 8636, fax. (021) 231 1219, email: pusriset@bi.go.id
196 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah
akibat Gejolak Nilai Tukar Perdagangan
Priadi Asmanto dan Sekar Suryandari ______________________________ 121
ANALISIS TRIWULANAN:
Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,
Triwulan III 2008
Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
Tekanan inflasi di Indonesia pada triwulan III-2008 masih tinggi. Hal ini terutama
berasal dari tingginya ekspektasi inflasi masyarakat, kuatnya permintaan domestik, serta
dampak imported inflation terkait dengan potensi pelemahan nilai tukar rupiah sebagai
akibat dari krisis keuangan di AS. Menyikapi perkembangan tersebut, pada tataran
kebijakan, Dewan Gubernur Bank Indonesia memandang perlu untuk mengendalikan
tekanan inflasi guna mencapai sasaran inflasi dalam jangka menengah dan menjaga
kestabilan ekonomi pada umumnya.
Triwulan III-2008 diwarnai oleh problematika yang terjadi di pasar keuangan global
serta dampaknya pada perekonomian Indonesia. Perlambatan ekonomi dunia, saat ini
telah dirasakan di beberapa negara industri maju, dan mulai merambat pada negara
emerging markets termasuk Indonesia. Gejolak yang terjadi di pasar global, tidak dapat
dihindari terasa mengalir dan menyebar pada ekonomi Indonesia. Terlepas dari masih
kuatnya fundamental ekonomi Indonesia, sentimen negatif yang ditimbulkan dari krisis
telah mendorong pelarian modal asing keluar. Hal ini memberi tekanan pada bursa saham
dan nilai tukar rupiah. Indeks harga saham mencatat penurunan tajam dan nilai tukar
rupiah melemah. Kedua hal tersebut berujung pada sebuah gambaran pesimis tentang
prospek perekonomian domestik. Menyikapi hal tersebut, Bank Indonesia dan Pemerintah
terus menerus melakukan koordinasi kebijakan serta senantiasa memonitor
perkembangan perekonomian dari waktu ke waktu.
Dalam kondisi yang masih diselimuti berbagai permasalahan tersebut, inflasi dan
stabilitas ekonomi tetap menjadi fokus utama Bank Indonesia. Upaya untuk
menyeimbangkan antara pengendalian inflasi dan risiko ketidakstabilan di pasar uang
secara umum terus menerus dilakukan. Untuk mengendalikan inflasi, Bank Indonesia
mengambil kebijakan pengetatan moneter dengan menaikkan BI Rate sebesar 75 bps
selama triwulan III-2008 serta mengoptimalkan seluruh instrumen kebijakan moneter yang
tersedia. Kenaikan BI Rate telah diikuti dengan peningkatan suku bunga deposito dan
suku bunga kredit. Hingga Agustus 2008, suku bunga deposito telah meningkat lebih
tinggi dibandingkan peningkatan BI Rate yang dikuti oleh peningkatan suku bunga Kredit
Modal Kerja (KMK) dan Kredit Investasi (KI), sementara Kredit Konsumsi (KK) tercatat
relatif stabil.
oleh ketidakmerataan likuiditas di antara bank mengingat secara total kondisi likuiditas
perbankan masih memadai. Selain itu, tingginya ekspansi kredit perbankan yang tidak
disertai dengan pertambahan penghimpunan dana masyarakat yang memadai telah
menyebabkan beberapa bank mengalami keketatan likuiditas. Perilaku berjaga-jaga
perbankan dalam menghadapi peningkatan permintaan uang kartal menjelang hari raya
keagamaan dan masih rendahnya ekspansi rekening pemerintah semakin menambah
ketatnya kondisi likuiditas perbankan. Namun, keketatan likuiditas tersebut diperkirakan
lebih bersifat temporer. Keketatan kondisi likuiditas ini diperkirakan akan berkurang
setelah berakhirnya periode lebaran yang ditandai dengan kembalinya uang kartal ke
sistem perbankan dan cenderung ekspansinya rekening pemerintah di triwulan IV-2008.
Guna mengatasi permasalahan ketatnya kondisi likuiditas tersebut, Bank Indonesia telah
melakukan berbagai upaya diantaranya melalui penyempurnaan pelaksanaan operasi
moneter.
angkutan, mesin dan peralatan), serta sektor pengangkutan dan komunikasi, yang secara
umum memiliki keterkaitan cukup besar dengan proses produksi di industri lainnya
(backward & forward linkage).
Di sisi neraca modal dan portofolio, sentimen negatif yang dipicu gejolak di pasar
keuangan global telah mendorong aliran keluar modal asing. Investasi portofolio mencatat
terjadinya aliran keluar modal asing (net outflow). Guna memenuhi kebutuhan akan impor
yang meningkat, pelaku ekonomi domestik melakukan penarikan aset yang ditempatkan di
luar negeri dan sebagian dibiayai dari utang luar negeri, sebagaimana diindikasikan oleh
komponen other investment yang mencatat aliran dana masuk (net inflow). Pada
ujungnya, sejalan dengan perkembangan tersebut cadangan devisa tercatat sebesar
USD57,1 miliar atau setara dengan 4,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri
pemerintah.
Terjadinya aliran keluar modal asing memberi tekanan pada nilai tukar rupiah
selama triwulan III-2008. Meskipun demikian, Bank Indonesia senantiasa mengawal
perkembangan nilai tukar melalui kebijakan stabilisasi di pasar valas guna mengurangi
tekanan dan volatilitas rupiah. Dengan upaya tersebut, rupiah dalam triwulan III-2008
secara rata-rata masih menguat dibandingkan periode sebelumnya. Nilai tukar rupiah
secara rata-rata triwulanan terapresiasi 0,47% dari Rp9.259 per USD menjadi Rp9.216 per
USD. Tekanan depresiatif mulai terjadi di penghujung triwulan III-2008 seiring dengan
perkembangan ekonomi global yang memengaruhi perilaku pemilik modal asing. Risk
aversion, atau sikap menghindari risiko dari para pelaku pasar, telah menyebabkan
tekanan pada rupiah. Adanya tekanan terhadap nilai tukar juga dialami oleh mata uang
regional yang melemah akibat sebaran dampak gejolak eksternal. Di sisi lain, rupiah,
masih memiliki imbal hasil investasi yang menarik, tercermin dari tingginya spread suku
bunga antara asing dan domestik. Hal ini pada gilirannya mampu mengurangi tekanan
arus keluar dana asing dari instrumen rupiah lebih lanjut.
pertumbuhan impor barang modal dan bahan baku, diperkirakan akan menambah daya
gerak perekonomian Indonesia ke depan. Optimisme tersebut didasarkan pada impor
barang modal dan bahan baku yang dilakukan oleh sektor-sektor industri yang mempunyai
daya ganda (multiplier effect) yang cukup besar terhadap perekonomian. Di lain pihak,
pertumbuhan ekspor barang dan jasa diperkirakan melambat seiring dengan menurunnya
pertumbuhan ekonomi dunia dan harga komoditas internasional. Sementara itu, tekanan
inflasi dalam beberapa bulan ke depan diperkirakan masih tinggi. Laju inflasi IHK tahun
2008 diprakirakan akan berada pada kisaran 11,5%-12,5% (yoy). Sementara itu, dalam
tahun 2009 tekanan inflasi diperkirakan akan mereda mulai pertengahan tahun sejalan
dengan respon kebijakan moneter yang ditempuh saat ini serta menurunnya imported
inflation terkait dengan penurunan tren harga komoditas internasional. Dengan
perkembangan tersebut, inflasi tahun 2009 diprakirakan akan berada pada kisaran 6,5%-
7,5% (yoy).
Ascarya
Diana Yumanita1
Abstract
This study measures and compares the efficiency of Islamic banks in Malaysia and Indonesia using
Data Envelopment Analysis (DEA), which is a non-parametric and deterministic methodology for determining
the relative efficiency. The intermediation approach will be applied.
This study identifies the sources and the level of inefficiency of the inputs and outputs. The results
show that the Islamic banking in Indonesia is more efficient than the one in Malaysia in all three
measurements; the technical, the scale, and the overall efficiency. Technically, financing is one of the
sources of inefficiency in Malaysia, while human resource is one of the sources of inefficiency in Indonesia.
Islamic windows should be encouraged to convert to subsidiaries or Islamic full branches to improve
the scale and the overall efficiencies in Malaysia. Furthermore, the accelerated expansion both organically
and inorganically is needed to improve the scale and the overall efficiencies of the Islamic banking in
Indonesia.
i i
JEL Classification: C14, G21, G28
1 Penulis adalah peneliti pada Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, ascarya@bi.go.id, diana yumanita@bi.go.id
Versi terdahulu dari paper ini telah dipresentasikan pada International Conference on Islamic Banking & Finance 2007, 23 25 April
2007, Kuala Lumpur.
96 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
I. INTRODUCTION
The Islamic banks exist since early 1960s. The first Islamic bank established in 1963 as a
pilot project in the form of rural savings bank in a small town of Egypt, Mit Ghamr. After that,
Islamic banking movement came back to life in mid 1970s. The establishment of Islamic
Development Bank in 1975 triggered the development of Islamic banks in many countries,
such as Dubai Islamic Bank in Dubai (1975), Faisal Islamic Bank in Egypt and Sudan (1977), and
Kuwait Finance House in Kuwait (1977). By the end of 2005, more than 300 institutions in over
65 jurisdictions are managing assets worth around 700 - 1000 billion US dollars in a Shariah
compatible manner. A large part of the banking and Takaful concentration is in Bahrain Malaysia,
and Sudan. A significant part of mutual funds concentrate in the Saudi Arabian and Malaysian
markets in addition to the more advanced international capital markets.
In Malaysia, Islamic financial institutions exist since the establishment of the Pilgrimage
fund board in 1969. Malaysia started the establishment of Islamic bank, Bank Islam Malaysia
Berhad or BIMB in 1983. To accelerate the nationwide dissemination of Islamic banking, Bank
Negara Malaysia or BNM (the central bank of Malaysia) implemented Islamic banking scheme
or Islamic windows structure, which allow the conventional banks to offer Islamic banking
products and services using their existing infrastructure including staff and branches. Today,
Islamic financial system in Malaysia has emerged as important component that contributes to
the growth and development of Malaysian economy by diversifying the players encompasses
the domestic as well as the foreign banking players.
In Indonesia, Islamic financial institutions started to emerge in early 1980s with the
establishment of Baitut Tamwil-Salman in Bandung dan Koperasi Ridho Gusti in Jakarta. The
first Islamic Bank in Indonesia, Bank Muamalat Indonesia, established in 1992. The development
of Islamic bank has been accelerated since Bank Indonesia (the central bank of Indonesia)
allowed conventional banks to open Islamic branch. This Islamic branch can offer Islamic banking
products and services separated from its conventional parent with its own infrastructure, including
staff and branches.
The Islamic banking system in Indonesia is currently represented by 3 Islamic banks and
19 Islamic branches, and 105 Islamic People»s Credit Bank, with 620 offices and 439 office
Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia 97
channeling spread through out the country. They offer comprehensive and wide range of Islamic
financial products and services and cater 1.54% of the banking market share. It is expected
that the Islamic banking industry in Indonesia would reached 5% of the banking market share
in 2008.
However, the Islamic banking in Malaysia and Indonesia has experiencing a slower growth
in the last two years. There are many factors that could be attributed to this slower growth. One
of these factors is the competitiveness since in the dual banking system they have to compete
head to head with the conventional banks. To win the competition, Islamic banks should know
the strengths and the weaknesses relative to their competitor. Therefore, analysis of the efficiency
of Islamic banks in comparison with conventional banks is very important to give a big picture
of the strengths and weaknesses of Islamic banks and their competitors.
Despite of the importance, there are very limited study focusing on the efficiency of
Islamic banks compare to the efficiency of conventional banks within a country or between
countries, especially in Malaysia and Indonesia. These measures could be used as a guide for
Islamic banks to improve their weaknesses to be able to compete in the global market and to
achieve the intended goals to improve the market share. Moreover, the goal to strengthen
Islamic banking structure could be achieved.
The objective of this study is to compare the efficiency of Islamic banks in Malaysia and
Indonesia using intermediation approach. This study will identify the sources and level of
inefficiency for each of the inputs and outputs. The measurement will give a relative efficiency
of individual bank compare to its peer group in every aspect considered.
II. THEORY
The concept of efficiency rooted from the microeconomic concept, namely, consumer
theory and producer theory. Consumer theory tries to maximize utility or satisfaction from
individual point of views, while producer theory tries to maximize profit or minimize costs from
producer point of views.
In the producer theory, there is a production frontier line that describes the relationship
between inputs and outputs of production process. This production frontier line represents the
maximum output from the use of each input. It also represents the technology used by a business
unit or industry. A business unit that operates on the production frontiers is technically efficient.
Figure II.1 shows the production frontier line.
98 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
y B
C
A
0
x
Figure II.1
Production Frontier Line
Considered from economic theory, there are two different types of efficiency, namely
technical efficiency and economic efficiency. Economic efficiency has macro economic point of
view, while technical efficiency has micro economic point of view. The measurement of technical
efficiency limited to technical and operational relationship in a conversion process of input to
output. Whereas, in economic efficiency price can not be considered as given, since price can
be influenced by macro policy (Sarjana, 1999). According to Farell (1957), efficiency comprises
of two components, namely:
a. Technical efficiency describes the ability of a business unit to maximize output given certain
amount of input.
b. Allocative efficiency describes the ability of a business unit to utilize inputs in optimal
proportion based on their price.
When the two types of efficiency combined, it will produce economic efficiency. A company
is considered to be economically efficient if it can minimize the production costs to produce
certain output within common technology level and market price level.
Kumbhaker and Lovell (2000) argue that technical efficiency is only one of many
components economic efficiency as a whole. Nevertheless, in order to achieve economic efficiency
a company should produce maximum output with certain amount of input (technical efficiency)
and produce output with the right combination within certain price level (allocative efficiency).
Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia 99
Frontier efficiency is superior for most regulatory and other purposes to the standard
financial ratios from accounting statements, such as return on asset (ROA) or cost/revenue ratio
that are commonly employed by regulators, managers of financial institutions, or industrial
consultants to assess the financial performance. This superiority lies on the usage of the
programming or the statistical techniques in order to obtain better estimates of the underlying
performance of the managers. This technique can removes the effects of the input prices
differences and other exogenous market factors affecting the standard performance ratios
(Bauer, et al., 1998).
The frontier efficiency has been used extensively in regulatory analysis to measure the
effects of the merger and the acquisition, capital regulations, deregulation of deposit rates, the
removal of geographic branching restrictions and the holding company acquisitions, etc., on
financial institution performance.
The tools to measure efficiency could be parametric and non-parametric. The parametric
approach uses stochastic econometric and tries to eliminate the impact of disturbance to
inefficiency, and commonly classified into 3 types, (i) the Stochastic Frontier Approach (SFA), (ii)
the Thick frontier approach (TFA), and (iii) the Distribution-free approach (DFA).
These approaches differ in their assumptions about the shape of the efficient frontier, the
treatment of random error, and the assumption of the inefficiencies and the random error
distribution. The parametric methods have disadvantages relative to the non-parametric methods
of having to impose more structure on the shape of the frontier by specifying its functional
form. However, an advantage of the parametric methods is that they allow for random error, so
these methods are less likely to misidentify measurement error, transitory differences in cost, or
specification error for inefficiency (Bauer, et al., 1998).
units observed. One of the non-parametric approaches, known as data envelopment analysis
(DEA), is a mathematical programming technique that measures the efficiency of a Decision
Making Unit (DMU) relative to other similar DMUs with the simple restrictions that all DMUs lie
on or below the efficiency frontier (Seiford and Thrall, 1990). The performance of a DMU is very
relative to other DMUs, especially those that cause inefficiency. This approach can also determine
how a DMU can improve its performance to become efficient.
DEA was first introduced by Charnes, Cooper, and Rhodes in 1978. Since then its utilization
and development have grown rapidly including many banking-related applications. The main
advantage of DEA is that, unlike regression analysis, it does not require an a priori assumption
about the analytical form of the production function so imposes very little structure on the
shape of the efficient frontier. Instead, it constructs the best practice production function solely
on the basis of observed data, and therefore the possibility of misspecification of the production
technology is zero. On the other hand, the main disadvantage of DEA is that the frontier is
sensitive to extreme observations and measurement error (the basic assumption is that random
errors do not exist and that all deviations from the frontier indicate inefficiency). Moreover,
there exists a potential problem of ≈self identifier∆ and∆≈near-self-identifier∆.
The first 2 approaches apply the classical microeconomic theory of the firm. The production
approach describes the banking activities as the production of services to depositors and
borrowers using all available factors such as labor and physical capital. The intermediation
approach describes the banking activities as intermediary institution to transform the money
borrowed from depositors (surplus spending units) into the money lent to borrowers (deficit
spending units).
The third approach is an improvement of the first two ones. It applies the modified
classical theory of the firm by incorporating some specificity of the banks activities including
the risk management, the information processing and some other form of agency problems.
These specificities are crucial in explaining the role of the financial intermediaries (Freixas and
Rochet, 1998). See the summary in Table II.1.
Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia 101
From those studies it can be concluded that asset approach is an advanced approach that
views bank not only has a classical function of intermediary, but also has other various new
functions. Therefore, asset approach is not suitable to be applied to Islamic banking which
focuses on extending financing to the real sector. Production approach can be applied for
Islamic banking, since this approach views Islamic bank as a general business unit. However, it
becomes too general, so that the very essence of Islamic banking is not represented. Meanwhile,
intermediation approach can be applied for Islamic banking since this approach views Islamic
banking as an intermediary institution. However, the input and output variables should be
selected carefully to really reflect the true essence of Islamic banking. Input and output variables
selected by Sufian (2006) are the closest to the characteristics of Islamic banking. Some
modifications might be needed to make it more representative.
Table II.1
Summary of Approaches Applied
t e d i n Approach
Intermediation p r ac
Yudhistira»03 Staff Costs; Fixed Assets; Total Deposits Total Loans; Other Income; Liquid Assets
Ascarya & Staff Costs; Fixed Assets; Total Deposits Total Loans; Other Income; Liquid Assets
Yumanita»06
Sufian»06 Labor Costs2; Fixed Assets; Total Deposits Total Loans; Income
Jemric & No. of Employees; Fixed Assets & Software; Total Loans; Short term Securities
Vujcic»02 Total Deposits
d i Approach
Production A r
Ascarya & Interest Costs; Staff Costs; Operational Costs Interest Income; Other Operational Income
Yumanita»06
Jemric & Interest & Related Costs; Commissions for Interest & Related Revenues; Non interest
Vujcic»02 Services & Related Costs; Labor Related Revenues
Adm. Costs; Capital Related Adm. Costs
p
Asset Approach
Ascarya & Staff Costs to Total Assets; Interests Costs to Financing to Connected Party; Financing to
Yumanita»06 Total Assets; Other Costs to Total Assets Other Party; Financial Papers
Hadad Staff Costs to Total Assets; Interests Costs to Financing to Connected Party; Financing to
et.al»03. Total Assets; Other Costs to Total Assets Other Party; Financial Papers
Banking efficiency has been a very important issue in a transition economy. All countries
in transition have been encounter at least with one banking crisis, and many with more than
one crisis (Jemric and Vujcic, 2002). Banking efficiency is also an important issue in a developing
2 As data on the number of employees are not readily made available, this study uses personnel expenses as a proxy measure.
102 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
open economy, since most of them have also been faced a banking crisis in the past. Malaysia
and Indonesia are no exception.
There are a lot of studies on banking efficiency and most of them use parametric methods
instead of non-parametric particularly Data Envelopment Analysis (DEA). Moreover those studies
mostly are applied to the conventional banks while its application on the Islamic bank case is
still limited.
Yudistira measured the efficiency of 18 Islamic banks from various countries during 1997-
2000 using intermediation approach, since intermediation is a fundamental principle of Islamic
banking, (Yudistira, 2003). Ascarya and Yumanita measured the efficiency of Islamic banks in
Indonesia during 2002-2004 using intermediation and production approaches, since Islamic
banking not only can be viewed as intermediary institution, but can also be viewed as a production
entity, (Ascarya and Yumanita, 2006). Meanwhile, Sufian measured the efficiency of Islamic
window banks in Malaysia during 2001-2004 using intermediation approach with the same
reason as that of Yudistira, (Sufian, 2006). Another application of DEA was in Croatia during
1995-2000 using the intermediation and the production approach (Jemric and Vujcic, 2002).
Meanwhile, Hadad et al. measured efficiency of banks in Indonesia during 1995-2003 using
asset approach to see the impact of merger and acquisition, (Hadad et al., 2003).
III. METHODOLOGY
This study will apply Data Envelopment Analysis (DEA). DEA is a non parametric and
stochastic method to measure the relative efficiency of production frontier based on the
multiple inputs and multiple outputs of decision making unit data. The non-parametric nature
of DEA makes it require no assumption of the production function and the DEA approach
will generate the production function based on observed data, hence the misspecification
can be minimized. DEA can be applied to analyze different kind of inputs and outputs without
initially assigning weight. Moreover, the efficiency produced is a relative efficiency based on
observed data. The preference of the decision maker can also be accommodated in the
model.
benchmarks and then measure the inefficiencies in input combinations (slack variables) of other
banks relative to the benchmark (Jemric and Vujcic, 2002).
The DEA is an alternative approach to regression analysis. While the regression analysis
relies on central tendencies, the DEA is based on external observations. Furthermore the
regression approach applies a single estimated regression equation to each observation vector,
while the DEA use and analyze each vector (DMU) separately to produce individual efficiency
measures relative to the entire set under evaluation (Jemric and Vujcic, 2002).
From the set of available data, the DEA identifies the reference points (relatively efficient
DMUs) then define the efficient frontier as the best practice production technology and finally
evaluate the inefficiencies of other interior points, (Jemric and Vujcic, 2002). All the inefficient
DMUs will lies below the efficient frontier.
Besides producing efficiency value for each DMU, DEA also determines DMUs that are
used as reference for other inefficient DMUs.
p
Σµ y
k 1
k k0
Efficiency of DMU0 = m
Σv x
i 1
i i0
Two most frequently used DEA models are the CCR model (Charnes, Cooper, and Rhodes,
1978) and the BCC model (Banker, Charnes, and Cooper, 1984), both differ in their treatment
on the return to scale. The CCR assumes each DMU operates with constant return to scale,
while the BCC assumes each DMU can operate with variable return to scale.
Generally, the efficiency score of CCR model for each DMU will not exceed the BCC
model. This is because the BCC model analysis each DMU ≈locally∆ (i.e. compared to the
subset of DMUs that operate in the same region of return to scale) rather than ≈globally (Jemric
and Vujcic, 2002). Furthermore, a DMU like bank has similar characteristics one to another and
each bank usually varies in size and production level. This emphasize that size will matter in the
relative efficiency measurement. The CCR model represents (the multiplication of) pure technical
and scale efficiencies, while BCC model represents technical efficiency only.
We define the relative scale efficiency a the ratio of CCR model and BCC model,
Sk = qk,CCR/qk,BCC
104 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
If the value of S = 1 means that the DMU operates in the best relative scale efficiency or
in its optimal size. If the value of S is less than 1 means that there still exists scale inefficiency
(equal to 1-S) of the DMU. Consequently, when a DMU is efficient under BCC model but
inefficient under CCR model it means the DMU has scale inefficiency.
OE: overall efficiency of CCR Model; TE: technical efficiency of BCC Model
The General Council for Islamic Banks and Financial Institutions CIBAFI (2006) issued
performance indicators for Islamic Financial Institutions covering: 1) asset quality and composition;
2) capital structure; 3) profitability; 4) efficiency; 5) liquidity; and 6) growth. Samad and Hassan
(2000) measure the performance of Islamic bank focusing on four financial ratios: 1) profitability;
2) liquidity; 3) risk and solvency; and 4) commitment to economy and Muslim community.
Hameed et al. (2003) propose Islamicity disclosure index and Islamicity performance index.
The former covers 3 aspects: 1) Shariah compliance; 2) Corporate governance; and 3) Social/
environmental. The latter covers 1) profit sharing ratio; 2) zakah performance ratio; 3) equitable
distribution ratio; 4) directors-employees welfare ratio; 5) Islamic investment ratio; 6) Islamic
income ratio; and 7) AAOIFI index.
From indepth interviews and focus group discussions we realize that the Islamic bank
performance measurement should fulfill its responsibility to the shareholders (such as financial
soundness and sustainability), to the customer (such as customer satisfaction), to the employee
(such as fair treatment, facility and encouragement to perform religious duties), and to the
Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia 105
society (such as role in improvement of social welfare and employment). Therefore, we suggest
that comprehensive performance measurement should cover business, social, ibadah/da»wah,
and shariah compliance aspects. Parameters of each aspect should reflect the true essence and
characteristics of Islamic banking.
1. Business aspect measures the performance of an institution as a business entity, which
could include financial, management, operation, etc. Business aspect, including efficiency
and profitability, is important since sound and profitable business is needed for an institution
to be able to serve and bring benefit to the society.
2. Social aspect measures the contribution of an institution made to the society, which could
include zakah, infaq and shadaqah (ZIS), qardhul hasan, commitment to Muslims,
commitment to micro, small and medium enterprises (MSMEs), commitment to under
developed areas, corporate social responsibility (CSR), charitable activities, community
involvement, etc.
3. Ibadah/ da»wah aspect measures the effort of an institution to help Muslims to perform
their religious duties and improve their God consciousness (iman), which could include
iman improvement for employees, ibadah facilities, socialization, etc.
4. Shariah compliance aspect measures the adherence of an institution»s activities to Islamic
laws, which could include profit-and-loss sharing (PLS) ratio, financing to deposit ratio (FDR),
unlawful transactions, etc.
The description above should show clearly that the efficiency which is generally used to
measure the performance in market-driven concept is only one part of the holistic performance
concept explained above. The efficiency measure should be viewed with caution as it may
ignore the social justice (dzulm).
Table II.2
Data of Islamic Banks
Malaysia
all
Domestic Full Fledged 2 2 2 2
Domestic Window 9 9 9 9
Foreign Window 4 4 4 4
d n
Indonesia
Domestic Full Fledged 2 2 3 3
Domestic Full Branch (included) 5 7 10 16
Domestic Full Branch (no data) 1 1 5 3
This study modifies the intermediation approach to better reflect Islamic bank activities,
as also adopted by Sufian (2006). Accordingly, we assume the Islamic banks produce Total
Loans (y1) and Income (y2) by employing Total Deposits (x1), Labor (x2) and Fixed Assets (x3).
Liquid assets are not included in since the Islamic banks are not dealing with the financial
instruments transaction but in the business of providing financing to the real sector.
As data on the number of employees are not available we use the personnel expenses as
a proxy. Table II.3 presents the aggregate series of inputs and outputs of Malaysian and Indonesian
Islamic banks included in this study.
Table II.3
Inputs and Outputs Data (Real US$.000)
Some important issue can be drawn from the fact above. Firstly, over the four-year period,
the total assets of Malaysian Islamic banking operations grew by about 54%, while Indonesian
Islamic banking grew even more impressive by 222%, although it still significantly smaller (one
sixteenth) than that of Malaysia.
Secondly, during this period, there has been an increasing awareness among Malaysian
and especially Indonesian public about the Islamic banking and finance substantiated by the
growth of total deposits by 44% and 702% respectively. Thirdly, the contribution of the Islamic
banking in the economy has been increasing substantially reflected by the growth in total
financing extended of 82% in Malaysia and 215% in Indonesia. High financing to deposits
ratio reflects the contribution of Islamic banks to the real sector. Malaysia recorded an increasing
trend of FDR to reach the highest of 72.5% in 2004 and then slightly declined to 71.8% in
2005. Indonesia has always recorded high FDR of more than 100% and still recorded 123.5%
in 2005.
Another conclusion is about the employment in the Islamic banking industry during this
period. It is clear from table II.3 that the Islamic banking and finance industry in Malaysia and
Indonesia has created significant employment during this period.
As data on the number of employees are not readily made available, we use personnel
expenses as a proxy measure. From table II.3 it is apparent that personnel expenses have expanded
by approximately 61% in Malaysia and 135% in Indonesia. Finally, the Islamic banking and
finance industry has increasingly generated high returns. During the period of study, we have
witnessed more than 75% and 172% increase in total income of the Malaysian and the
Indonesian Islamic banks respectively. Table II.3 and II.4 in the appendix present the summary of
statistics for the inputs and outputs for Islamic banks included in this study for Malaysia and
Indonesia, respectively.
Table II.4
Summary of Parametric and Non Parametric Tests for the Null Hypothesis that Malaysian
and Indonesian Islamic Banks Possess Identical Technologies
Test Group
Item
Parametric Non Parametric
Individual Test O
ANOVA Tes
Test t test
et an Whitney
Mann h n
Hypothesis MeanI MeanM MedianI MedianM
Test Statistics F(Prb>F) t(Prb>t) z(Prb>z)
Overall Efficiency 0.3305 0.645 (0.004)
Technical Efficiency 0.3540 0.492 (0.004)
Scale Efficiency 0.0003 0.051 (0.017)
Based on most of the results presented in Table II.4, we failed to reject the null hypothesis
at the 0.05 levels of significance that the Malaysian Islamic banks and Indonesian Islamic banks
come from the same population and have identical technologies. This implies there is no
significant difference between the Malaysian and Indonesian Islamic banks technologies and it
is appropriate to construct a combined frontier.
Table II.5
Summary Statistics of Efficiency Measures
A
MALAYSIASI
Overall Efficiency 0.723 0.295 1.000 0.243
Technical Efficiency 0.832 0.346 1.000 0.222
Scale Efficiency 0.862 0.581 1.000 0.133
Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia 109
Table II.5
Summary Statistics of Efficiency Measures (continue)
D N A
INDONESIA
Overall Efficiency 0.847 0.366 1.000 0.232
Technical Efficiency 0.993 0.949 1.000 0.019
Scale Efficiency 0.853 0.366 1.000 0.229
Pan
Panel B.. 2003
A YSI
MALAYSIA
Overall Efficiency 0.734 0.245 1.000 0.284
Technical Efficiency 0.809 0.288 1.000 0.247
Scale Efficiency 0.897 0.527 1.000 0.169
D N A
INDONESIA
Overall Efficiency 0.855 0.333 1.000 0.224
Technical Efficiency 0.927 0.476 1.000 0.172
Scale Efficiency 0.907 0.699 1.000 0.117
el C
Panel C. 2004
M A A
MALAYSIA
Overall Efficiency 0.748 0.323 1.000 0.229
Technical Efficiency 0.810 0.328 1.000 0.208
Scale Efficiency 0.919 0.630 1.000 0.135
INDONESIA
Overall Efficiency 0.885 0.437 1.000 0.187
Technical Efficiency 0.921 0.659 1.000 0.130
Scale Efficiency 0.951 0.663 1.000 0.103
el D
Panel D. 2005
MALAYSIA
Overall Efficiency 0.742 0.068 1.000 0.270
Technical Efficiency 0.807 0.071 1.000 0.250
Scale Efficiency 0.919 0.520 1.000 0.150
ESI
INDONESIA
Overall Efficiency 0.848 0.338 1.000 0.200
Technical Efficiency 0.918 0.461 1.000 0.158
Scale Efficiency 0.919 0.622 1.000 0.128
el E. ALL Y
Panel EA
YEAR
MALAYSIA
Overall Efficiency 0.684 0.059 1.000 0.255
Technical Efficiency 0.750 0.059 1.000 0.253
Scale Efficiency 0.919 0.530 1.000 0.143
N
INDONESIA
Overall Efficiency 0.724 0.171 1.000 0.219
Technical Efficiency 0.830 0.332 1.000 0.197
Scale Efficiency 0.867 0.376 1.000 0.163
110 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
The results suggest the overall efficiency of Malaysian Islamic banks improve and reach
the highest mean of 74.8% in 2004 (Panel C) and then decline slightly to 74.2% in 2005 (Panel
D). The decomposition of overall efficiency into its pure technical and scale efficiency components
suggest that the technical inefficiency dominates the scale inefficiency of Malaysian Islamic
banks for all years. The technical efficiency has been somewhat declining to 80.7% in 2005
(Panel D), while the scale efficiency has been improving to 91.9% in 2005 (Panel D). This
implies that during the period of study, the Malaysian Islamic banks have been operating at
slightly higher scale efficiency but technically less efficient (see Figure II.2, left).
Malaysia Indonesia
1.00 1.00
SCALE SCALE
TECHNICAL
0.90 0.90
TECHNICAL
0.80 0.80
OVERAL OVERAL
0.70 0.70
2002 2003 2004 2005 2002 2003 2004 2005
Figure II.2
Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia
In Indonesia, the overall efficiency of the Islamic banks is stable and reached the highest
mean of 88.5% in 2004 as in Malaysia. In 2005, the overall efficiency of Indonesia Islamic bank
also down slightly to 84.8%. From 2002 to 2004, the scale efficiency of the Indonesia Islamic
bank increased but slightly down in 2005 (see Figure II.2, right).
The scale efficiency can be further investigated by looking at the return to scale trend
calculated using the DEA, as presented on Table II.6:
Table II.6
Return to Scale
2002 2003 2004 2005
Bank % Share Bank % Share Bank % Share Bank % Share
Overall
al
CRS 12 54.5 13 54.2 14 50.0 17 50.0
IRS 5 22.7 5 20.8 5 17.9 4 11.8
DRS 5 22.7 6 25.0 9 32.1 13 38.2
TOTAL 22 100.0 24 100.0 28 100.0 34 100.0
Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia 111
Table II.6
Return to Scale (continue)
2002 2003 2004 2005
Bank % Share Bank % Share Bank % Share Bank % Share
Malaysia
Malay
Ma ay
CRS 6 40.0 7 46.7 5 33.3 6 40.0
IRS 5 33.3 4 26.7 5 33.3 2 13.3
DRS 4 26.7 4 26.7 5 33.3 7 46.7
TOTAL 15 100.0 15 100.0 15 100.0 15 100.0
Indonesia
I n
CRS 6 85.7 6 66.7 9 69.2 11 57.9
IRS 0 0.0 1 11.1 0 0.0 2 10.5
DRS 1 14.3 2 22.2 4 30.8 6 31.6
TOTAL 7 100.0 9 100.0 13 100.0 19 100.0
In Indonesia, almost all Islamic banks are either operating at scale efficient (CRS) or
operating at diseconomies of scale (DRS). Most of the Islamic banks experiencing CRS are older
banks, while Islamic banks experiencing DRS mostly are newer banks. This is true since for the
year 2005 there are six new Islamic banks added in the analysis, while the existing banks are
also still expanding. All profitable Islamic banks in Indonesia also tend to be efficient banks as
in Malaysia. However, size does not always correspond with efficiency in Indonesia as we can
find an efficient bank both in large or smaller scale.
3 These findings are contradict to the findings of Sufian (2006), where he found that foreign window banks were almost scale efficient
and the inefficiency were mainly attributed to scale.
112 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
Besides generating an efficient frontier another salient feature of DEA is its ability to
generate a set of references for the inefficient bank to benchmark to. Table II.7 shows those
referenced banks in 2005. There are more Indonesian Islamic banks set as the benchmarks. On
total, Indonesian Islamic banks have been benchmarked 51 times, while Malaysian Islamic
banks have been benchmarked only 16 times. Among all the Islamic banks, Bank Muamalat
Indonesia is the most referred bank and the EON Bank from Malaysia is the second most
referred bank.
Table II.7
Reference Set
Malaysia Indonesia
Income, Income,
4.17% Deposits, 19.64% Deposits,
11.61% 25.73%
Financing,
Labor, 0.00%
20.22%
Financing,
52.39%
Assets,
Assets, 25.07% Labor,
11.60% 29.56%
Figure II.3
Potential Improvements for Islamic banks in Malaysia and Indonesia
Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia 113
Contrary to the Malaysian case, the most efficient element of Indonesian Islamic banking
is financing, while the most inefficient element is labor costs. In 2005, 29.56% of the inefficiencies
can be attributed to the personnel expenses as the supply of human resource is always lagging
behind the demand. Even in the expansion of the universities and the higher educational
institutions offering Islamic Economic and Finance, the number of graduates are still could not
catch up with the demand.
In general, the Indonesian Islamic banks are relatively more efficient than Malaysian in
terms of the three measures applied on this study. The FDR in Indonesia has always been higher
than 100 percent, reflecting a high contribution of Indonesian Islamic banking to the real
sector. This conclusion should be further investigated as the FDR increase could also caused by
a slower deposit mobilization, especially when the market interest rate increase and the fund is
shifting to conventional bank in order to gain a higher return.
REFERENCES
Ascarya and Yumanita, Diana. ≈Analisis Efisiensi Perbankan Syariah di Indonesia dengan Data
Envelopment Analysis∆, TAZKIA Islamic Finance and Business Review, Vol.1, No.2 (2006).
Bauer, Paul W., Berger, Allen N., Ferrier, Gary D., and Humphrey, David B. ≈Consistency Conditions
for Regulatory Analysis of Financial Institutions: A Comparison of Frontier Efficiency Methods∆,
Federal Reserve, Financial Services Working Paper, 02/97 (1998).
Berger, Allen N., Humphrey, David B. ≈Efficiency of Financial Institutions: International Survey
and Directions for Future Research∆, European Journal of Operational Research (1997).
General Council for Islamic Banks and Financial Institutions. CIBAFI Performance Indicators,
CIBAFI, 2006.
Coelli, Tim, Rao, DS. Prasada, and Battese, George E. An Introduction to Efficiency and
Productivity Analysis, Kluwer Academic Publishers, 1998.
Denizer, Cevdet A., et al. Measuring Banking Efficiency in the Pre and Post Liberalization
Environment: Evidence from the Turkish Banking System, World Bank, 2000.
Farrell, M.J. ≈The Measurement of Productive Efficiency,∆ Journal of The Royal Statistical Society,
120, 253-81 (1957).
Freixas, Xavier and Rochet, Jean-Charles. Microeconomics of Banking, The MIT Press, Cambridge,
Massachusetts, London, England, 1998.
Hadad, Muliaman D., et al. ≈Analisis Efisiensi Industri Perbankan Indonesia: Penggunaan Metode
Nonparametrik Data Envelopment Analysis (DEA)∆, Biro Stabilitas Sistem Keuangan Bank
Indonesia, Research Paper, no. 7/5, (2003).
Hameed, Shahul M.I. et al. ≈Alternative Disclosure and Performance Measures for Islamic Banks∆,
Paper, Presented at International Conference on Management and Administrative Sciences,
Faculty of Economics, University of King Fahd Petroleum and Mineral (2003).
Jemric, Igor and Vujcic, Boris. ≈Efficiency of Banks in Croatia: A DEA Approach, Croatian National
Bank∆, Working Paper, 7 February (2002).
116 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
Kumbhaker, Subal C. and Lovell, C.A. Knox. Stochastic Frontier Analysis, Cambridge University
Press, United Kingdom, 2004.
Maali, Basam et al. ≈Social Reporting by Islamic Banks∆, Abacus, Vol.42, No.2 (2006).
Samad, Abdus and Hassan, M. Kabir. ≈The Performance of Malaysian Islamic Bank during
1984-1997: An Exploratory Study∆, International Journal of Islamic Financial Services, Vol.1,
No.3, October-December (1999).
Sufian, Fadzlan. ≈The Efficiency of Islamic Banking Industry in Malaysia: Foreign Versus Domestic
Banks∆, Paper, INCEIF Colloquium, Malaysia, April (2006).
APPENDIX
TPU
OUTPUT
i n
Total Financing
Min 5,473 4,448 2,923 1,546
Mean 498,005 650,350 787,820 905,485
Max 2,171,982 3,044,636 3,712,326 3,978,985
S.D 619,756 848,942 984,796 1,073,597
n o
Income
Min 1,042 1,539 2,913 985
Mean 33,188 41,559 49,870 57,936
Max 145,517 148,730 155,722 183,899
S.D 44,444 43,333 49,963 60,753
PU
INPUT
Total Deposits
Min 16,386 25,442 159,772 107,226
Mean 876,131 969,419 1,086,987 1,261,422
Max 3,201,733 3,272,005 4,064,761 4,579,731
S.D 999,222 1,065,232 1,148,374 1,344,370
o
Labor Costs
Min 196 233 117 105
Mean 3,161 3,831 4,113 5,082
Max 19,782 22,929 23,897 32,750
S.D 6,002 6,867 7,150 9,372
et
Assets
Min 24,488 39,155 213,591 129,197
Mean 977,728 1,139,846 1,226,463 1,502,504
Max 3,474,857 4,052,667 3,966,089 5,655,260
S.D 1,090,688 1,237,634 1,164,147 1,557,892
118 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
TPU
OUTPUT
i n
Total Financing
Min 607 3,348 485 772
Mean 49,638 66,464 80,090 57,533
Max 188,410 243,709 483,915 438,709
S.D 71,338 96,747 157,981 134,216
n o
Income
Min 23 479 35 37
Mean 7,407 9,484 10,789 7,426
Max 26,564 38,878 64,030 60,130
S.D 11,365 15,912 21,179 17,481
PU
INPUT
Total Deposits
Min 411 2,597 394 301
Mean 15,767 61,180 72,309 46,598
Max 87,394 237,872 437,862 374,120
S.D 32,208 100,576 146,307 114,040
o
Labor Costs
Min 93 84 29 17
Mean 1,226 1,451 1,468 1,062
Max 3,889 5,887 7,405 8,836
S.D 1,607 2,141 2,416 2,108
et
Assets
Min 1,511 4,709 1,675 1,434
Mean 61,959 94,936 107,713 73,453
Max 229,304 356,133 635,353 546,614
S.D 91,560 147,355 204,025 162,039
Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia 119
all
Mal D m
Domestic F l Fledged
Full ed ed OE O
ROA OE ROA OE ROA OE ROA
2 Bank Islam Malaysia 3,928,457 0.66 3.20 0.68 0.58 0.55 0.57 0.64 0.28
3 Bank Muamalat 2,545,530 0.45 0.31 0.49 0.36 0.38 0.05 0.57 0.29
al
Mal m c Window
Domestic o
1 Maybank 5,655,260 1.00 1.68 1.00 0.90 1.00 0.77 1.00 1.35
4 Public Bank 1,994,331 1.00 2.62 0.84 2.50 0.91 1.88 0.83 1.69
5 RHB Islamic Bank 1,889,672 0.56 0.54 0.99 2.18 0.69 1.08 0.69 1.01
6 Hong Leong Bank 1,441,707 1.00 1.39 1.00 1.68 1.00 2.04 1.00 1.43
7 Hong Kong Bank 1,302,628 0.82 0.78 0.93 0.50 0.95 0.38 1.00 2.65
8 EON Bank 1,061,960 1.00 2.47 1.00 1.88 1.00 1.50 0.81 1.07
9 Affin Bank 904,394 1.00 0.85 0.85 1.03 1.00 1.22 0.98 0.94
16 Southern Bank 202,439 0.79 0.67 0.73 1.05 0.77 5.04 0.73 3.65
17 Commerce Tijari 129,197 0.07 3.15
Arab Malaysian Bank 338,447 0.69 1.25 0.81 0.18 0.57 1.07
al
Mal n Window
Foreign n o
10 OCBC 582,394 0.77 0.88 0.72 0.62 0.35 0.44 0.36 0.65
13 Alliance Bank 384,206 0.80 0.90 0.62 0.92 0.25 0.94 0.29 1.11
14 Citibank 266,457 0.43 0.94 0.35 0.55 1.00 1.45 0.94 3.84
15 Standard Chartered Bank 248,932 0.79 0.30 0.32 0.48 0.36 1.36 0.42 2.61
Ind
I d Domestic
m Full
F l Fledged
ed ed
11 Bank Syariah Mandiri 546,614 1.00 1.18 0.99 1.51 0.72 0.53 1.00 1.55
12 Bank Muamalat Ind 511,232 1.00 2.11 1.00 1.54 0.90 1.59 1.00 2.06
20 Bank Syariah Mega Ind 38,904 0.89 0.81 0.77 2.51
d
Ind D m c Full
Domestic F l Branch
r
18 Bank Negara Indonesia 91,912 0.84 2.05 0.91 N/A 1.00 0.01 1.00 N/A
19 Bank BRI 43,936 1.00 0.34 1.00 3.76 0.76 8.41 0.37 15.22
22 Bank Bukopin 26,098 0.99 0.56 1.00 1.73 1.00 0.27 0.89 2.57
23 Bank Danamon 24,457 1.00 11.77 1.00 0.21 0.98 2.47 0.74 10.18
24 Bank Niaga 22,402 0.85 0.57 0.44 N/A
26 Bank Tabungan Negara 10,844 1.00 0.76
27 Bank International Ind 9,887 0.94 9.57 0.84 17.20 0.33 3.59
28 Bank Permata 9,851 0.61 3.44
32 Bank IFI 2,572 1.00 2.01 1.00 2.50 1.00 3.84
d
Ind R i
Regional r c
Full Branch
21 Bank Jabar 26,630 1.00 2.82 1.00 1.67 1.00 0.77 0.94 0.21
25 Bank Sumut 15,180 0.52 1.43
29 BPD Aceh 5,337 0.34 0.26
30 Bank DKI 4,202 1.00 2.96 0.57 1.84
31 Bank Riau 2,591 0.84 0.87 1.00 N/A
33 BPD NTB 1,525 0.62 2.65
34 Bank Kalsel 1,434 0.67 0.61
halaman ini sengaja dikosongkan
CADANGAN DEVISA, FINANCIAL DEEPENING
DAN STABILISASI NILAI TUKAR RIIL RUPIAH AKIBAT GEJOLAK
NILAI TUKAR PERDAGANGAN
Priadi Asmanto1
Sekar Suryandari 2
Abstract
These papers analyze the influence of the international reserves and the financial deepening on the
real exchange rate stabilization due to the terms of trade shock. The analysis covers 6 countries with
quarterly data (Indonesia, United States, Japan, Hong Kong, Singapore and South Korea during the period
of 2000.1 to 2006.4). This research utilizes the international reserves mitigation and the financial deepening
mitigation model.
This result shows that the reserves mitigation terms variable plays important role as the real exchange
rate stabilization regarding the terms of trade shock in a common sample, but not in specific country. The
mitigation effect associated with international reserves (buffer stock effect) applies only in South Korea.
While for United State and Indonesia mitigation effect associated with international reserves opposite
way. Even for Hong Kong, Japan and Singapore, the mitigation effect does not have significant induces
real exchange rate stability.
Furthermore, the financial deepening mitigation terms variable cannot be treated as the real exchange
rate stabilization in a common sample, but not specific country. The mitigation effect associated with
financial deepening (shock absorber effect) applies only in United States and Indonesian economic, while
for South Korea the mitigation effect associated with the financial deepening works in opposite way.
Even for Hong Kong, Japan and Singapore, the mitigation effect of financial deepening does not have
significant induces real exchange rate stability.
In Indonesian economic, the financial deepening is more effective than the international reserve to
create the real exchange rate stability. The shock absorber effect in Indonesia is more effective than the
buffer stock effect to stabilize the real exchange rate due to the terms of trade shock.
i i
JEL Classification: E44, F31, F32
Keywords: International reserves, buffer stock, financial deepening, shock absorber, terms of
trade shock, real exchange rate.
I. PENDAHULUAN
Perkembangan ekonomi Indonesia dewasa ini menunjukkan semakin terintegrasi dengan
perekonomian dunia. Hal ini merupakan konsekuensi dari dianutnya sistem perekonomian
terbuka yang dalam aktivitasnya selalu berhubungan dan tidak lepas dari fenomena hubungan
internasional. Adanya keterbukaan perekonomian ini memiliki dampak pada perkembangan
neraca pembayaran suatu negara yang meliputi arus perdagangan dan lalu lintas modal terhadap
luar negeri suatu negara.
Salah satu bentuk aliran modal yang masuk ke dalam negeri yaitu dapat berupa devisa
yang berasal dari perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara tersebut. Meningkatnya
ekspor suatu negara akan membawa keuntungan yaitu kenaikan pendapatan, kenaikan devisa,
transfer modal dan makin banyaknya kesempatan kerja. Demikian pula meningkatnya impor
suatu negara akan memberikan lebih banyak alternatif barang-barang yang dapat dikonsumsi
dan terpenuhinya kebutuhan bahan-bahan baku penolong serta barang modal untuk kebutuhan
industri di negara-negara tersebut dan transfer teknologi.
Perdagangan internasional akan terjadi pada suatu perbandingan harga tertentu yaitu
antara harga ekspor dan harga impor yang sering disebut nilai tukar perdagangan (terms of
trade, TOT). Nilai tukar perdagangan besar sekali pengaruhnya terhadap kesejahteraan suatu
bangsa dan juga sebagai pengukur posisi perdagangan luar negeri suatu bangsa. TOT yang
disimbolkan dengan N dihitung sebagai perbandingan antara indeks harga ekspor (Px) dengan
indeks harga impor (Pm) atau N = Px/Pm (Nopirin 1992: 71). Kenaikan N menunjukkan perbaikan
di dalam Terms of Trade. Perbaikan terms of trade ini dapat timbul sebagai akibat nilai perubahan
harga ekspor yang lebih besar realatif terhadap harga impor.
Pada dasarnya international reserves berfungsi sebagai buffer stock untuk berjaga-jaga
guna menghadapi ketidakpastian keadaan yang akan datang. Sehingga, apabila terjadi depresiasi
nilai tukar riil akibat memburuknya terms of trade maka disitulah international reserves berfungsi
Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat Gejolak 123
Nilai Tukar Perdagangan
sebagai penstabil. Perbaikan terms of trade akan meningkatkan aliran modal masuk sehingga
akan kembali mendorong apresiasi nilai tukar riil.
Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Rajan dan Siregar (2004), diperoleh bahwa
reserves merupakan kunci utama dari suatu negara untuk dapat menghindari krisis ekonomi
dan keuangan. Terutama bagi negara-negara dengan perekonomian yang terbuka dimana aliran
modal internasional adalah volatil atau rentan terhadap terjadinya shock yang merambat dari
negara lain (contagion effect). Bahwa dengan melihat pengalaman krisis yang terjadi pada
tahun 1997, negara yang memiliki reserves yang besar dapat menghindari contagion effect
dari krisis dengan lebih baik dibandingkan dengan negara yang memiliki reserves yang kecil.
Upaya untuk mengatasi gejolak nilai tukar akibat terms of trade shock selain dengan
international reserves juga dapat diatasi dengan mengukur financial deepening (kedalaman
sektor keuangan) suatu negara. Financial deepening diukur melalui rasio M2 dibagi GDP (Gross
Domestic Product). Penggunaan rasio ini dikarenakan merupakan rasio paling umum yang
digunakan untuk mengukur perkembangan sektor keuangan suatu negara. Hasil rasio ini akan
menunjukkan rasio penggunaan M2 untuk menghasilkan setiap GDP. Semakin kecil dalam
rasio tersebut menunjukkan semakin dangkal sektor keuangan suatu negara dan semakin besar
rasio tersebut menunjukkan sektor keuangan negara tersebut semakin dalam.
Suatu negara dengan rasio financial deepening yang besar cederung mengurangi peran
international reserves sebagai penstabil nilai tukar riil. Hal ini dikarenakan negara dengan rasio
financial deepening yang besar dapat dikatakan telah memiliki pertumbuhan ekonomi yang
sudah baik sehingga negara tersebut dapat mengatasi gejolak nilai tukar akibat terms of trade
shock dengan penyesuaian otomatis melalui mekanisme pasar, Aizenman dan Crichton (2006).
Karakteristik Indonesia sebagai ∆small open economy∆ yang menganut sistem devisa
bebas dan sistem nilai tukar mengambang (free floating) menyebabkan pergerakan nilai tukar
di pasar rentan oleh pengaruh faktor ekonomi dan non-ekonomi. Untuk mengurangi gejolak
nilai tukar yang berlebihan maka pelaksanaan intervensi menjadi sangat penting terutama untuk
menjaga stabilitas nilai tukar pada saat tertentu yang benar-benar dibutuhkan agar dapat
memberikan kepastian bagi dunia usaha. Salah satu bentuk intervensi itu adalah dengan
menggunakan international reserves dan ini sejalan dengan argumentasi Aizenman,dkk (2004)
bahwa suatu negara yang menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas akan cenderung
mengurangi permintaan international reserves-nya.
Di Indonesia, Bank Indonesia sejauh ini berupaya untuk mengoptimalkan berbagai fasilitas
atau insentif agar semakin banyak eksportir yang bersedia menyerahkan devisa hasil ekspornya
ke Bank Indonesia (Goeltom dan Zulverdi, 1998). Bahkan dalam masa krisis pasar modal global
124 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
2008 ini, Bank Indonesia mewajibkan pengguna valas untuk melaporkan peruntukannya jika
melebihi US$10.000 per bulan.
II. TEORI
II.1. International Reserves
≈The need of a central bank for international reserves is similar to an individual»s desire to
hold cash balances (currency and checkable deposits)∆ (Carbaugh, 2004: 513). Dari pernyataan
tersebut dapat disimpulkan bahwa kebutuhan international reserves bagi suatu negara
mempunyai tujuan dan manfaat seperti halnya manfaat kekayaan bagi suatu individu. Motif
kepemilikan international reserves dapat disamakan dengan motif seseorang untuk memegang
uang yaitu untuk motif transaksi, motif berjaga-jaga dan motif spekulasi. Motif transaksi antara
lain untuk membiayai transaksi impor yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendukung
proses pembangunan, motif berjaga-jaga berkaitan dengan mengelola nilai tukar, serta motif
yang ketiga adalah untuk lebih memenuhi kebutuhan diversifikasi kekayaan (memperoleh return
dari kegiatan investasi dengan international reserves (Gandhi, 2006: 1).
3 Guidelines for International Reserves and Foreign Currency Liquidity, IMF, 2001.
Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat Gejolak 125
Nilai Tukar Perdagangan
Sedangkan menurut Salvatore (1996: 513), bahwa international reserves merupakan asset-
asset likuid dan berharga tinggi yang dimiliki suatu negara yang nilainya diakui atau diterima
oleh masyarakat internasional dan dapat dipakai sebagai alat-alat pembayaran yang sah bagi
pemerintah atau negara yang merupakan pemiliknya dalam mengadakan transaksi-transaksi
atau pembayaran internasional. Selain untuk tujuan stabilisasi nilai tukar, terkait dengan neraca
pembayaran international reserves dapat digunakan untuk membiayai impor dan membayar
kewajiban luar negeri. Besar kecilnya akumulasi international reserves suatu negara biasanya
ditentukan oleh kegiatan perdagangan (ekspor dan impor) serta arus modal negara tersebut.
Kecukupan international reserves ditentukan oleh besarnya kebutuhan impor dan sistem
nilai tukar yang digunakan. Dalam sistem nilai tukar yang mengambang bebas, fungsi
international reserves adalah untuk menjaga stabilitas nilai tukar hanya terbatas pada tindakan
untuk mengurangi fluktuasi nilai tukar yang terlalu tajam. Oleh karena itu, international reserves
yang dibutuhkan tidak perlu sebesar international reserves yang dibutuhkan apabila negara
tersebut mengadopsi sistem nilai tukar tetap. Wujud utama dari international reserves adalah
emas, hard currencies yang pada umumnya dalam bentuk empat jenis mata uang utama yang
dianggap paling berpengaruh di dunia, yaitu: US dollar, Euro, Poundsterling dan Yen serta
surat-surat berharga terbitan IMF yang biasa disebut sebagai Special Drawing Rights (SDRs).
Penjelasan lebih rinci mengenai komponen international reserves sebagaimana dijelaskan oleh
Gandhi (2006: 4).
Berkaitan dengan sifat dari rezim nilai tukar (sistem nilai tukar tetap, mengambang dan
mengambang terkendali) di negara yang menganut sistem nilai tukar tetap pada umumnya
memerlukan international reserves yang besar untuk mempertahankan nilai tukar pada level
yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan oleh ketakutan negara itu akan ketidakpastian dalam
sistem nilai tukar mengambang bebas yang diterapkannya. Sehingga, sebagai upaya untuk
berjaga√jaga dalam menghadapi fluktuasi nilai tukarnya otoritas moneter negara tersebut
membutuhkan international reserves dalam jumlah yang dianggap memadai guna stabilisasi
nilai tukar.
Pada sistem nilai tukar mengambang, terjadinya pergerakan nilai tukar dapat diatasi
sendiri oleh mekanisme pasar, sehingga jumlah international reserves yang dibutuhkan tidak
sebanyak yang dibutuhkan oleh suatu negara dengan sistem nilai tukar tetap yang rigid. Menurut
Carbaugh (2004: 516), tujuan utama dari international reserves adalah untuk memfasilitasi
pemerintah dalam melakukan intervensi pasar sebagai upaya untuk menstabilkan nilai tukar.
Sehingga, suatu negara dengan aktivitas stabilisasi yang aktif memerlukan jumlah international
reserves yang besar pula.
126 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
(III.1)
Dimana, Px adalah Indeks harga ekspor; Pm adalah Indeks harga impor; dan 100 adalah Indeks
tahun dasar. Bila N >100 atau terjadi kenaikan net barter terms of trade maka berarti terjadi
perkembangan perdagangan luar negeri yang positif karena dengan nilai ekspor tertentu
diperoleh nilai impor yang lebih besar (Hady, 2001:77).
Konsep kedua adalah gross barter terms of trade, merupakan perbandingan antara indeks
volume impor dengan indeks volume ekspor. Konsep ini menjadi tidak penting karena kurang
memberikan gambaran tentang perubahan harga. Oleh karena itu, apabila konsep terms of
trade tanpa diberi penjelasan apa-apa maka yang dimaksud adalah konsep net barter terms of
trade.
Konsep ketiga adalah income terms of trade yang dapat dituliskan dengan rumus sebagai
berikut :
Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat Gejolak 127
Nilai Tukar Perdagangan
(III.2)
Dimana: N adalah net barter terms of trade; Px adalah Indeks harga ekspor; Pm adalah Indeks
harga impor; dan Qx adalah Indeks kuantitas ekspor.
Berdasarkan konsep ini, kenaikan income terms of trade menunjukkan bahwa suatu
negara dapat memperoleh jumlah impor yang lebih besar dengan dasar kenaikan nilai ekspornya.
Bagi negara-negara yang sedang berkembang, selain variabel harga juga sangat penting untuk
menilai terms of trade ini dengan mempertimbangkan volume ekspornya karena kenaikan
harga ekspor yang tinggi mungkin diimbangi dengan turunnya volume ekspor.
Perbaikan TOT dapat timbul sebagai akibat: (1) harga ekspor naik sedang harga impor
tetap; (2) harga ekspor tetap sedang harga impor turun; (3) harga ekspor naik dengan proporsi
yang lebih besar daripada naiknya harga impor; (4) harga ekspor turun dengan proporsi yang
lebih kecil daripada turunnya harga impor.
Mekanisme bagaimana TOT dapat berpengaruh pada nilai tukar riil adalah dapat dilihat
dari sebuah mekanisme sederhana yaitu perbaikan TOT akan meningkatkan aliran modal masuk
yang berasal dari perdagangan yang selanjutnya dapat mengapresiasi nilai tukar riil dan
sebaliknya. Memburuknya TOT akan mengakibatkan permintaan valuta asing meningkat
sehingga akan mendepresiasi nilai tukar riil.
Terkait dengan jenis produksi yang diperdagangkan, maka secara umum nilai tukar
perdagangan komoditi (commodity terms of trade atau net barter terms of trade) negara-
negara berkembang cenderung mengalami kemerosotan dari waktu ke waktu. Salah satu
penyebab utamanya adalah sebagian besar atau bahkan semua kenaikan produktivitas yang
terjadi di negara-negara maju dialirkan ke para pekerjanya dalam bentuk upah dan pendapatan
yang lebih tinggi, sedangkan sebagian besar atau seluruh kenaikan produktivitas yang
berlangsung di negara-negara berkembang diwujudkan sebagai harga-harga produk yang lebih
murah (Salvatore, 1996 : 431).
II.3. Nilai Tukar Riil (Real Exchange Rate) dan Pasar Valas
Setiap negara memiliki sebuah mata uang yang menunjukkan harga-harga barang dan
jasa. Pengertian nilai tukar valuta asing adalah ≈Exchange rate is the price of one nation»s
money in terms of another nation»s money.∆ ≈The nominal exchange rate is usually called the
exchange rate∆. Menurut definisi tersebut nilai tukar diartikan sebagai harga suatu mata uang
terhadap mata uang negara lain. Nilai tukar nominal biasa disebut nilai tukar (exchange rate)
128 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
(Pugel, 2004). Menurut Mankiw, nilai tukar nominal adalah harga relatif dimana seseorang
dapat memperdagangkan mata uang suatu negara dengan mata uang lainnya (Mankiw, 2000:
200).
Dengan menggunakan suatu indeks harga untuk Indonesia (P), sebuah indeks harga
untuk harga-harga di luar negeri (P*) dan nilai tukar nominal antara rupiah dengan mata uang
asing (e), akan dapat diukur nilai tukar riil keseluruhan antara Indonesia dengan negara-negara
lain sebagai berikut :
Terdapat paling tidak 3 faktor utama yang mempengaruhi permintaan valuta asing.
Pertama, faktor pembayaran impor. Semakin tinggi impor barang dan jasa, maka semakin
besar permintaan terhadap valuta asing sehingga nilai tukar akan cenderung melemah. Kedua,
faktor aliran modal keluar (capital outflow). Semakin besar aliran modal keluar, maka semakin
besar permintaan valuta asing dan pada kelanjutannya akan memperlemah nilai tukar. Aliran
modal keluar meliputi pembayaran hutang penduduk Indonesia (baik swasta dan pemerintah)
kepada pihak asing dan penempatan dana penduduk Indonesia ke luar negeri. Ketiga, kegiatan
spekulasi. Semakin banyak kegiatan spekulasi valuta asing yang dilakukan oleh spekulan, maka
semakin besar permintaan terhadap valuta asing sehingga memperlemah nilai tukar mata uang
lokal terhadap mata uang asing.
Sementara itu, penawaran valuta asing dipengaruhi oleh dua faktor utama. Pertama,
faktor penerimaan hasil ekspor. Semakin besar volume penerimaan ekspor barang dan jasa,
maka semakin besar jumlah valuta asing yang dimiliki oleh suatu negara dan pada lanjutannya
nilai tukar terhadap mata uang asing cenderung menguat atau apresiasi. Kedua, faktor aliran
modal masuk (capital inflow). Semakin besar aliran modal masuk, maka nilai tukar akan
cenderung semakin menguat. Aliran modal masuk tersebut dapat berupa penerimaan hutang
luar negeri, penempatan dana jangka pendek oleh pihak asing (portofolio investment) dan
investasi langsung pihak asing (foreign direct investment) (Simorangkir dan Suseno, 2004: 6).
Menurut King dan Levine (1993), ≈Financial deepening means an increase in the money
supply of financial assets in the economy, it is important to develop some measures of the
widest range of financial assets, including money.∆ Selain itu, King dan Levine merancang 4
ukuran dalam perhitungan perkembangan sektor keuangan. Pertama, ukuran dari kedalaman
sektor keuangan adalah rasio dari kewajiban lancar (liquid liabilities) dari sistem keuangan
terhadap GDP. Kewajiban lancar dalam hal ini adalah M3, namun apabila M3 tidak bisa didapatkan
maka digunakan M2. Hal ini sejalan dengan IMF dalam database International Financial Statistic
dan juga Slangor (1991:11). Kedua, adalah rasio dari deposit money bank domestic asset dibagi
dengan deposit money bank domestic asset ditambah dengan central bank domestic asset
yang menggambarkan institusi keuangan yang lebih spesifik. Ketiga, rasio kredit dari sektor
swasta non keuangan dibagi dengan total kredit domestik. Keempat, adalah rasio kredit sektor
swasta non-keuangan dibagi dengan GDP. Dua yang terakhir ini menggambarkan ukuran
kuangan sektor dan tingkat pinjaman publik (King dan Levine, 1993: 4).
Penggunaan rasio M2 terhadap GDP sebagai indikator financial deepening juga dibenarkan
oleh King dan Levine, (1993: 5). Semakin kecil rasio tersebut maka semakin dangkal sektor
keuangan suatu negara. Suatu negara dikatakan memiliki sektor keuangan yang dalam apabila
M2 > 20% dari GDP dan dangkal apabila M2 < 20% dari GDP (Aizenman dan Crichton, 2006:
20). Telah disebutkan bahwa apabila terjadi gejolak pada nilai tukar akibat terms of trade
shock maka negara dengan sektor keuangan yang dalam akan mampu menstabilkan nilai
tukarnya secara otomatis melalui mekanisme pasar.
III. METODOLOGI
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan merupakan
data panel, mencakup periode 2000:Q1 - 2006:Q4 dan 6 negara yakni Indonesia dan 5 negara
mitra dagang utamanya yaitu; Amerika Serikat, Jepang, Hongkong, Singapura dan Korea Selatan.
Sumber utama data berasal dari International Financial Statistic yang diterbitkan oleh IMF.
Teknik estimasi data panel digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
international reserves yang digunakan dalam rangka stabilisasi nilai tukar akibat terms of trade
shock. Selain itu model ini juga diperunakan untuk melihat bagaimana peran financial deepening
suatu negara dalam stabilisasi nilai tukar ini. Model persamaan yang diestimasi, dikembangkan
dari penelitian (Aizenman dan Crichton, 2006), yakni:
(III.4)
130 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
(III.5)
Dimana : RER adalah nilai tukar riil (Real Exchange Rate); ETOT adalah efektifitas nilai tukar
perdagangan yang dinilai dari keterbukaan perdagangan (Trade Openness) yang dikalikan
dengan nilai tukar perdagangan (Terms of Trade); RES adalah cadangan internasional
(International reserves); FD adalah kedalaman sektor keuangan (Financial Deepening); i adalah
crossection indentification; t adalah time series identification; εit adalah Koefisien pengganggu
(error terms) 4.
Varian pertama dari teknik estimasi data panel adalah pendekatan pooled least square
(PLS) yang secara sederhana menggabungkan seluruh data time series dan cross section dan
kemudian mengestimasi model dengan menggunakan metode ordinary least square (OLS) 5.
Pendekatan kedua adalah fixed effect model (FEM) yang memperhitungkan kemungkinan
perbedaan intercept antar individu yang ditunjukkan dengan kehadiran αi pada persamaan
(III.6). Secara teknis, model dengan fixed effect menambahkan dummy variables sebanyak N-1
buah ketika terdapat N individu. Pendekatan ketiga adalah random effect model (REM) yang
dapat memperbaiki efisiensi proses least square dengan memperhitungkan error dari time series
dan cross section.
Berbeda dengan FEM, model REM memperlakukan intercept sebagai random variable
dengan rata-rata α dengan stokastik terms εit. Model random effect adalah variasi dari estimasi
generalized least square (GLS). Model data panel untuk masing-masing varian teknik tersebut
adalah sebagai berikut (Gujarati, 2003: 640):
(III.6)
b. Fixed Effect
(III.7)
c. Random Effect
(III.8)
Pada dasarnya penggunaan metode data panel memiliki beberapa keunggulan (Widarjono,
2005: 254). Pertama, panel data mampu memperhitungkan heterogenitas individu secara
eksplisit dengan mengijinkan variabel spesifik individu. Kemampuan mengontrol heterogenitas
individu ini pada gilirannya menjadikan data panel dapat digunakan untuk menguji dan
membangun model perilaku yang lebih kompleks. Kedua, jika efek spesifik signifikan berkorelasi
dengan variabel penjelas lainnya, penggunaan panel data akan mengurangi masalah omitted
variables secara substansial. Ketiga, data panel mendasarkan diri pada observasi cross section
yang berulang-ulang (time series), sehingga metode data panel cocok untuk digunakan sebagai
study of dynamic adjustment. Keempat, tingginya jumlah observasi memiliki implikasi pada
data yang lebih informatif, lebih variatif, kolinearitas antar variabel yang semakin berkurang
dan peningkatan derajat kebebasan (degree of freedom), sehingga dapat diperoleh hasil estimasi
yang lebih efisien. Kelima, data panel dapat digunakan untuk mempelajari model-model perilaku
yang kompleks. Keenam, data panel dapat meminimalisir bias yang mungkin ditimbulkan oleh
agregasi data individu. Keunggulan-keunggulan tersebut diatas memiliki implikasi pada tidak
diperlukannya pengujian asumsi klasik dalam model data panel, sesuai apa yang ada dalam
beberapa literatur yang digunakan dalam penelitian ini6.
Dalam estimasi selanjutnya sebagai persyaratan estimasi regresi data panel, perlu di
pilih penggunaan antara pooled least square, random effect model atau fixed effect model.
Ketiga model tersebut akan berbeda dalam intrepetasi selanjutnya sehingga perlu dilakukan
pemilihan model untuk memperoleh estimasi yang efisien sesuai dengan penggunaan regresi
data panel. Pertama uji statistik F digunakan untuk memilih antara metode PLS tanpa variabel
dummy atau memilih Fixed Effect. Kedua, uji Lagrange Multiplier (LM) digunakan untuk memilih
antara OLS tanpa variabel dummy atau memilih Random Effect. Terakhir, untuk memilih antara
Fixed Effect Model (FEM) atau Random Effect Model (REM) digunakan uji yang dikemukakan
oleh Hausman.
Jika data time series lebih besar dibandingkan data cross section maka teknik efek acak
(REM) kurang tepat atau tidak dapat dipakai untuk mengestimasi suatu model (Telisa, 2004:30)7.
Dalam model penelitian ini teknik Random Effect Model (REM) tidak dapat digunakan, karena
pada penelitian ini jumlah time series (28 time series) lebih besar dibandingkan dengan jumlah
cross section (6 cross section). Oleh sebab itu pemilihan teknik estimasi dalam penelitian ini
hanya memilih diantara dua teknik estimasi yaitu PLS (Pooled Least Square) atau FEM (Fixed
Effect Model). Hasil pengujian menyarankan penggunaan Model Fixed Effect (Unrestricted)
dalam penelitian ini.
6 Lihat: Maddala, 1998; Pindyck & Rubinfeld, 1991; Greene, 2003; Gujarati, 2003; Widarjono, 2005.
7 Ibid
132 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
Table III.1
Hasil Estimasi Model International Reserves Mitigation Terms
Estimasi Keseluruhan Estimasi Spesifik
Variable
Coefficient t-Stat Coefficient t-Stat
Table III.1
Hasil Estimasi Model International Reserves Mitigation Terms (lanjutan)
Estimasi Keseluruhan Estimasi Spesifik
Variable
Coefficient t-Stat. Coefficient t-Stat
SINGAPORE C 0.255848 0.785565
AMERIKA C 4.863883 5.622034
R squared 0.999602 0.999845
Adjusted R squared 0.999585 0.999828
F statistic 57441.05 57032.28
Prob(F statistic) 0.000000 0.000000
SE. of Regression 0.092231 0.059402
Durbin Watson stat 0.153911 0.543285
Sumber: Hasil pengolahan
Keterangan: * Signifikan 1%; ** Signifikan 5%.
Dari estimasi secara keseluruhan dalam tabel diatas terlihat bahwa pengaruh effective
terms of trade (ETOT) terhadap real exchange rate (RER) adalah positif. Temuan empiris ini
tidak sesuai dengan teori yang digunakan dalam penelitian, yaitu diharapkan bernilai negatif.
Dengan asumsi bahwa peningkatan real exchange rate merupakan depresiasi nilai tukar domestik
atau apresiasi nilai tukar mitra dagang, maka peningkatan pada effective terms of trade suatu
negara terhadap negara-negara mitra dagangnya cenderung meningkatkan (depresiasi) real
exchange rate. Rata-rata effective terms of trade keseluruhan negara obyek penelitian adalah
1,82, dengan perubahan pada real exchange rate rata-rata apresiasi sebesar 0,04%.
Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan bahwa elastisitas real exchange rate terhadap
effective terms of trade shock ialah kenaikan effective terms of trade sebesar 1% mempengaruhi
real exchange rate sebesar 0.28%. Dapat diartikan bahwa perbaikan effective terms of trade
akan menyebabkan mata uang luar negeri mengalami apresiasi terhadap mata uang dalam
negeri. Kondisi demikian menggambarkan bahwa keterbukaan perdagangan memiliki sisi negatif
yaitu kecenderungan untuk melemahkan nilai tukar suatu negara ketika terjadi penurunan
kinerja perekonomian negara mitra dagang tersebut dan dengan dukungan trade openness
dan effective terms of trade yang semakin meningkat. Kondisi ini secara aktual dapat
digambarkan pada resesi global pada saat ini yang hampir tidak sedikitpun negara yang menuai
imbas negatif. Hampir seluruh perekonomian dunia termasuk nilai tukarnya cenderung
terdepresiasi dan perekonomian berjalan lambat.
terms of trade dalam mempengaruhi pasar nilai tukar dapat dikatakan terlalu kecil jika
dibandingkan dengan varabel-variabel lain yang berkaitan dengan nilai tukar.
Berdasarkan hasil estimasi dapat dikemukakan bahwa peningkatan atau perbaikan pada
effective terms of trade suatu negara berdampak pada peningkatan (apresiasi) nilai tukar riil
negara lain sebagai mitra dagang utamanya atau penurunan (depresiasi) nilai tukar pada
negaranya sendiri. Dapat dikatakan pula bahwa perbaikan yang terjadi pada effective terms of
trade suatu negara menguntungkan negara mitra dagangnya dari sisi nilai tukar, namun tidak
untuk negaranya sendiri. Hal ini merupakan efek negatif keterbukaan perdagangan suatu negara
yang semakin meningkat. Peningkatan effective terms of trade suatu negara secara aktual dapat
digambarkan pada periode krisis global sebagaimana yang telah terjadi pada tahun 2008 yang
menurunkan produktivitas masing-masing negara dan menurunkan nilai tukarnya, tanpa
terkecuali Indonesia. Peningkatan effective terms of trade yang menggambarkan semakin
lemahnya batas-batas negara dalam konteks perdagangan juga berdampak pada lemahnya batas-
batas efek negatif yang ditimbulkan oleh resesi negara lain terhadap perekonomian domestik.
Jika dilihat secara spesifik masing-masing negara kondisi tersebut tidak sepenuhnya
berpengaruh sama di tiap-tiap negara, tergantung pada skala ekonomi dan struktur
perekonomian masing-masing. Hanya Indonesia yang memiliki effective terms of trade yang
signifikan mempengaruhi real exchange rate dan bertanda sesuai dengan teori yang digunakan
dalam penelitian ini. Perbaikan pada effective terms of trade Indonesia berdampak pada apresiasi
nilai tukar riil Rupiah.
120,00 1,00
100,00
0,80
80,00
0,60
60,00
0,40
40,00
20,00 0,20
- 0,00
1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Grafik III.1
Perkembangan Terms of Trade, Perubahan Real Exchange Rate, International Reserves dan
Financial Deepening Masing-masing Negara
Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat Gejolak 135
Nilai Tukar Perdagangan
5,00 10,00
5,00
4,00
0,00
3,00
-5,00
2,00
-10,00
1,00 -15,00
- -20,00
1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
2,00 6,00
1,50
4,00
1,00
2,00
0,50
0,00 0,00
1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Grafik III.1
Perkembangan Terms of Trade, Perubahan Real Exchange Rate, International Reserves dan
Financial Deepening Masing-masing Negara (lanjutan)
Peningkatan ekspor nasional yang terjadi, yang berujung pada membaiknya terms of
trade mendorong apresiasi nilai tukar riil. Secara rata-rata, pertumbuhan nilai ekspor Indonesia
selama periode penelitian menunjukkan nilai sebesar 9,01%. Peningkatan tersebut diikuti dengan
apresiasi nilai tukar riil mata uang Rupiah terhadap Dolar US rata-rata sebesar 4,46%. Kondisi
tersebut menggambarkan temuan empiris hasil estimasi dengan deskripsi data yang digunakan
dalam penelitian ini memiliki arah hubungan yang sama. Namun demikian, perlu
dipertimbangkan bahwa rata-rata pertumbuhan impor cenderung lebih besar dari pada
pertumbuhan nilai ekspor, yaitu sebesar 15,07%. Lebih besarnya pertumbuhan impor jika
dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor menunjukkan perlunya peningkatan ekspor lebih
besar untuk mengantisipasi gejolak terms of trade yang mungkin mengalami penurunan.
136 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
Negara-negara lain yang hampir memiliki kemiripan dengan Indonesia adalah Korea dan
Singapura. Korea dan Singapura juga memiliki effective terms of trade yang negatif
mempengaruhi real exchange rate-nya, namun untuk kasus kedua negara tersebut pengaruhnya
terhadap real exchange rate tidak signifikan. Kondisi ini dimungkinkan karena skala
perekonomian kedua negara tersebut yang lebih besar dan struktur perekonomian yang berbeda
dengan Indonesia, sehingga perubahan pada nilai tukar tidak hanya bergantung pada terms of
trade melainkan faktor-faktor lain seperti aliran modal jangka pendek dan aliran modal
internasional negara bersangkutan. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang masih bertumpu
pada ekspor-impor barang dan jasa dan berkaitan erat dengan terms of trade seperti ekspor
sumber daya alam dan barang-barang setengah jadi. Sehingga peningkatan dan perbaikan
effective terms of trade Indonesia mutlak diperlukan untuk mengapresiasi nilai tukar jika
dibandingkan dengan negara-negara lainnya dalam penelitian ini.
Negara-negara dengan skala ekonomi yang lebih besar seperti Jepang, Amerika dan
Hongkong bahkan mengindikasikan pengaruh positif effective terms of trade terhadap real
exchange rate negaranya, meskipun pengaruh tersebut tidak signifikan. Untuk kasus negara-
negara ini, elastisitas real exchange rate terhadap effective terms of trade shock cenderung
positif dan lebih besar dari 1. Hal ini menggambarkan bahwa depresiasi nilai tukar negara-
negara tersebut terjadi ketika semakin terbuka dalam perdagangan internasionalnya.
Table III.2
Rata-rata Elastisitas Real Exchange Rate terhadap Perubahan ETOT dan TOT
All Hongkong Indonesia Japan Korea Singapore USA
Means
Reserves over GDP 0.0180 0.0027 0.5620 0.1381 0.9113 3.7300 0.0056
Trade Openness 1.5120 0.0014 0.2333 0.0266 0.2814 0.9447 0.0247
R El
RER t i to
Elasticity
Negara dengan rasio international reserves terhadap GDP sebesar 0,018 dan trade openness
sebesar 1,51, elatisitas8 real exchange rate terhadap effective terms of trade dan terms of trade
(reguler) menunjukkan nilai masing-masing sebesar 0,28 dan 0,41. Hal ini menunjukkan bahwa
real exchange rate secara keseluruhan inelastis terhadap perubahan yang terjadi pada effective
terms of trade maupun terms of trade. Negara-negara maju seperti Hongkong, Jepang dan
Peningkatan pada reserves mitigation terms sebesar 1% menurunkan real exchange rate
sebesar 0.13%. Peningkatan yang terjadi pada internastional reserves suatu negara memiliki
Hasil estimasi spesifik dari sisi international reserves Indonesia tidak sesuai dengan teori.
Hasil estimasi menunjukkan tanda koefisen pada variabel reserves mitigation terms bertanda
positif. Hal ini mengindikasikan jika terjadi depresiasi pada nilai tukar yang disebabkan terms of
trade shock maka international reserves Indonesia tidak berperan penuh sebagai penstabil nilai
tukar yang terdepresiasi tersebut (ceteris paribus). Dapat dikatakan pula penggunaan
international reserves untuk menstabilkan nilai tukar di Indonesia diragukan efektifitasnya.
Kondisi tersebut secara aktual tercermin dalam penggunaan international reserves Indonesia
untuk menghadapi gejolak nilai tukar pada Nopember-Desember 2008 yang menunjukkan
hasil yang kurang menggembirakan. Nilai tukar rupiah terhadap dolar cenderung melemah
meskipun international reserves Indonesia terkuras dan menipis. Kondisi yang sama dengan
data yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan pada international
reserves belum memiliki peranan sebagai penstabil nilai tukar. Peningkatan rata-rata international
reserves Indonesia selama periode penelitian adalah sebesar 6,21% sedangkan perubahan
rata-rata yang terjadi pada nilai tukar riil mata uang rupiah adalah apresiasi sebesar 0,65%.
Real exchange rate Indonesia kurang elastis terhadap perubahan yang terjadi pada international
reserves.
Kurang efektifnya penggunaan international reserves tidak jauh berbeda dengan negara-
negara lain sebagai obyek penelitian ini, kecuali Korea Selatan. Dengan pertumbuhan
international reserves sebesar 2,64%, nilai tukar Won terapresiasi rata-rata 0,72%. Dengan
peningkatan international reserves sebesar 1%, mitigation effect yang ditimbulkan adalah
ter apresiasinya Won sebesar 0,63%. Peran buffer stock oleh international reserves di negara
ini telah berjalan dengan semestinya dalam menghadapi depresiasi nilai tukar akibat dari
terms of trade shock . Hal inilah yang menggambarkan Korea Selatan efektif dalam
penggunaan international reserves-nya sebagai instrumen pengendali nilai tukar ketika terjadi
depresiasi nilai tukar riil yang disebabkan oleh terms of trade shock. Peran buffer stock oleh
international reserves berjalan sesuai dengan arah yang diharapkan. Sedangkan untuk kasus
Amerika hampir sama dengan Indonesia, dimana international reserves sebagai instrumen
pengendali nilai tukar kurang efektif penggunaanya. Rezim nilai tukar free floating exchange
rate turut memberikan argumen tidak efektifnya international reserves sebagai instrumen
pengendali nilai tukar. Tekanan permintaan dan penawaran di pasar keuangan, khususnya
Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat Gejolak 139
Nilai Tukar Perdagangan
valuta asing secara otomatis mengarahkan nilai tukar pada titik keseimbangan tanpa melihat
stabil atau tidaknya nilai tukar dan tinggi rendahnya international reserves negara
bersangkutan.
Hubungan antara financial deepening dalam perannya sebagai penstabil nilai tukar tidak
terjadi secara langsung. Namun, berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa suatu negara dengan kondisi financial deepening yang dalam berimplikasi pada
pertumbuhan ekonomi negara tersebut yang juga tinggi. Apabila terjadi gejolak pada nilai
tukar akibat terms of trade shock maka negara tersebut mampu menstabilkan nilai tukarnya
secara otomatis melalui mekanisme pasar yang telah berjalan dengan baik yang tercermin dari
kinerja sektor keuangan di negara bersangkutan. Mekanisme financial deepening yang dapat
memicu pertumbuhan ekonomi ketika kedalaman financial deepening negara tersebut
disebabkan fungsi intermediasi sektor keuangan yang berjalan dengan baik, yang berimplikasi
pada akumulasi modal yang berjalan dengan cepat (Calderon dan Liu, 2002: 9). Financial
deepening dapat dikatakan berfungsi sebagai shock absorber ketika suatu negara dalam kondisi
financial deepening yang baik dan memiliki arah hubungan pengaruh positif terhadap nilai
tukar riilnya.
Berdasarkan hasil pengolahan data dalam tabel III.3 koefisien determinasi estimasi secara
keseluruhan dan spesifik masing-masing sebesar 0.999602 dan 0.999826. Artinya variabel
independen dalam model tersebut mampu menjelaskan variasi dari variabel dependen masing-
masing sebesar 99.96% dan 99.98%. Secara simultan, variabel-variabel independen yang
digunakan dalam model signifikan berpengaruh terhadap variabel dependen masing-masing
model. Hasil Fhitung model pertama dan model kedua masing-masing sebesar 57441.05 dan
50703.52, nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan nilai F-tabel. Dengan demikian nilai
Fhitung > Ftabel yang berarti penolakan terhadap H0.
140 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
Table III.3
Hasil Estimasi Model Financial Deepening Mitigation Terms
Estimasi Keseluruhan Estimasi Spesifik
Variable
Coefficient t-Stat Coefficient t-Stat
Untuk hasil estimasi model financial deepening mitigation terms sebagaimana dalam
tabel diatas tanda pada koefisien regresi variabel effective terms of trade menunjukkan arah
pengaruh yang tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan. Sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, berdasarkan teori yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan pengaruh negatif
dari effective terms of trade (dapat diartikan depresiasi nilai tukar luar negeri dan apresiasi nilai
tukar dalam negeri). Sebagaimana dalam model pertama, model kedua ini mengindikasikan
semakin efektif nilai tukar perdagangan (effective terms of trade) suatu negara semakin
menurunkan nilai tukar negara bersangkutan. Keterbukaan perdagangan yang disusun dan
direncanakan serta direalisasikan dengan baik justru berdampak pada penurunan nilai tukar riil
negara bersangkutan. Dapat diartikan bahwa untuk menjaga stabilitas nilai tukar riil di suatu
Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat Gejolak 141
Nilai Tukar Perdagangan
negara, hendaknya keterbukaan perdagangan di batasi dan sebagai upaya menghindari efek
negatif effective terms of trade, meskipun kondisi tersebut tidak berlaku secara spesifik di
seluruh negara didunia.
Secara rata-rata financial deepening keseluruhan negara yang diestimasi adalah sebesar
3,34 dengan perubahan pada real exchange rate rata-rata terapresiasi sebesar 4,3%. Dari hasil
estimasi model financial deepening mitigation terms secara keseluruhan, menunjukkan koefisien
effective terms of trade memiliki nilai sebesar 0,21. Dapat diartikan bahwa elastisitas real exchage
rate terhadap effective terms of trade shock ialah peningkatan effective terms of trade suatu
negara sebesar 1% berpengaruh pada peningkatan real exchange rate sebesar 0,21%.
Peningkatan real exchange rate disini diartikan sebagai depresiasi nilai tukar, sehingga semakin
efektif terms of trade suatu negara berdampak negatif terhadap real exchange rate negara
bersangkutan. Meskipun real exchange rate tidak inelastis terhadap effective terms of trade,
setidaknya menggambarkan bahwa efektifitas terms of trade membawa dampak negatif dalam
perekonomian suatu negara, terutama nilai tukarnya.
Hal ini dimungkinkan terjadi karena besaran (magnitude) effective terms of trade dalam
mempengaruhi pasar nilai tukar dapat dikatakan terlalu kecil sehingga kekuatan pasar yang
mempengaruhi fluktuasi nilai tukar tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh perubahan effective
terms of trade namun oleh faktor lainnya. Kondisi aliran modal jangka pendek dan aliran modal
internasional mendukung argumen ini. Skala dan struktur ekonomi antar negara yang berbeda-
beda demikian juga terjadi pada pasar barang dan pasar keuangan. Hal ini banyak berpengaruh
pada efektifitas terms of trade dalam mempengaruhi nilai tukar riil di masing-masing negara.
Disisi lain, variabel financial deepening mitigation terms (ETOT*RES*FD) memiliki koefisien
negatif dan signifikan, hal ini menandakan financial deepening tidak berfungsi sebagai shock
absorber ketika suatu negara mengalami depresiasi nilai tukar riil yang disebabkan terms of
trade shock. Hasil estimasi model ini menghasilkan nilai koefisien variabel financial deepening
mitigation terms adalah sebesar -0,021. Hal ini dapat diartikan bahwa international reserves
dan rasio jumlah uang beredar terhadap GDP kurang memiliki peranan sebagai shock absorber
ketika terjadi depresiasi nilai tukar yang disebabkan terms of trade shock.
Terjadinya depresiasi nilai tukar yang diakibatkan oleh terms of trade shock tidak mampu
distabilkan oleh financial deepening negara-negara bersangkutan. Ketidakmampuan financial
deepening mitigation terms sebagai penstabil nilai tukar mendukung hasil dari model
international reserves mitigation terms yang menunjukkan bahwa secara umum di negara-
negara yang termsasuk dalam penelitian, international reserves lebih berperan sebagai penstabil
nilai tukar riil dibandingkan financial deepening mitigation terms. Negara-negara yang menjadi
obyek penelitian ini secara keseluruhan memiliki kecenderungan international reserves masing-
142 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
masing negara lebih berperan mempengaruhi stabilitas real exchange rate negara-negara
bersangkutan.
Hasil estimasi secara spesifik sebagaimana terdapat dalam tabel III.3 tersebut diatas terlihat
bahwa untuk keseluruhan negara, termsasuk Indonesia variabel effective terms of trade (ETOT)
tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai tukar riil. Dapat diartikan besar kecilnya
elastisitas real exchange rate terhadap effective terms of trade shock tidak banyak berpengaruh
pada peranan financial deepening sebagai shock absorber ketika terdapat depresiasi niali tukar
akibat terms of trade shock. Berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan tersebut, variabel effective
terms of trade Indonesia, Korea dan Singapura memiliki arah hubungan yang sesuai dengan
teori, namun demikian variabel-variabel tersebut tidak signifikan mempengaruhi real exchange
rate. Hal berbeda untuk negara lainnya, yaitu Hongkong, Jepang dan Amerika bahkan memiliki
nilai koefisien yang tidak sesuai dengan teori yang digunakan. Effective terms of trade negara-
negara tersebut bertanda positif dan tidak signifikan mempengaruhi real exchange rate. Dalam
konteks financial deepening sebagai shock absorber depresiasi real exchange rate akibat dari
terms of trade shock dapat dikatakan effective terms of trade tidak banyak memiliki pengaruh
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada real exchange rate semua negara.
Berdasarkan estimasi spesifik hanya Indonesia dan Amerika yang mengindikasikan hasil
sesuai teori dan hasil yang diharapkan, yaitu nilai koefisien variabel financial deepening mitigation
terms positif. Hal ini dapat diartikan apabila terjadi depresiasi pada nilai tukar Indonesia dan
Amerika yang disebabkan terms of trade shock maka financial deepening akan berperan sebagai
penstabil nilai tukar (shock absorber) untuk mata uang negara yang terdepresiasi tersebut.
Tanda positif pada koefisien variabel financial deepening mitigation terms berarti bahwa financial
deepening dapat berperan sebagai penstabil nilai tukar akibat terms of trade shock (Aizenman
dan Crichton (2006: 6).
Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat Gejolak 143
Nilai Tukar Perdagangan
Dalam kasus Indonesia, rata-rata financial deepening adalah sebesar 1,7% dengan
pertumbuhan rata-rata dalam periode yang sama yang cenderung menurun 4,24% setiap tahunnya.
Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode penelitian adalah 5,59% sedangkan
pertumbuhan M2 selama periode yang sama sebesar 10,59%. Kondisi intermediasi perbankan
yang sesuai dengan kebutuhan perekonomian dapat mengakumulasi modal dengan cepat dan
menyalurkan pada sektor-sektor ekonomi yang membutuhkannya belum sepenuhnya berjalan
dengan baik jika dilihat kontribusinya terhadap perekonomian dari sisi perdagangan internasional.
Dalam hal financial deepening , negara yang memiliki kemiripan dengan kasus
perekonomian Indonesia ialah negara Amerika. Financial deepening Amerika memiliki peranan
sebagai penstabil nilai tukar Dolar US terhadap mata uang negara-negara mitra dagang
utamanya. Jumlah uang beredar mendorong apresiasi otomatis pada nilai tukar ketika depresiasi
nilai tukar akibat terms of trade shock. Negara-negara tersebut diantaranya Hongkong, Jepang
dan Singapura. Kedua negara tersebut financial deepening kurang memiliki peranan dalam
penstabilan nilai tukar.
Berbeda dengan perkonomian Indonesia dan Amerika, beberapa negara juga terapresiasi
nilai tukarnya dengan dorongan financial deepening namun dorongan tersebut tidak signifikan
mempengaruhi apresiasi nilai tukar pada saat terjadi depresiasi nilai tukar yang diakibatkan
oleh terms of trade shock. Negara Hongkong, Jepang dan Singapura variabel financial deepening
mitigation terms tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai tukar riil. Hal ini
dikarenakan selama periode penelitian, nilai tukar Yen Jepang dan Dollar Singapura menguat
terhadap dollar AS terutama ditopang oleh bangkitnya kembali kinerja ekspor negara-negara
tersebut dengan memanfaatkan meningkatnya permintaan dunia terutama dari AS dan China.
Dengan asumsi bahwa suatu negara dengan kondisi financial deepening yang dalam telah
mampu melakukan self adjustment pada nilai tukarnya. Financial deepening yang dalam dapat
diartikan bahwa sistem keuangan di negara tersebut telah maju, berkembang dan sektor-sektor
keuangan yang berjalan tidak hanya didominasi oleh sektor perbankan. Tidak signifikannya
financial deepening Hongkong, Jepang dan Singapura dimungkinkan karena kondisi financial
deepening negara-negara tersebut tergolong dalam jika dibandingkan dengan negara-negara
lain sebagai obyek penelitian ini. Negara obyek penelitian ini yang mengindikasikan kondisi financial
deepening cukup baik dibandingkan dengan negara-negara lainnya adalah Hongkong dan
Singapura. Rata-rata financial deepening negara-negara tersebut masing-masing sebesar 11,7
dan 4,52, sedangkan rata-rata financial deepening Jepang sebesar 1,37. Hal ini berarti bahwa
mekanisme penyesuaian otomatis yaitu melalui mekanisme pasar telah berjalan dengan baik di
dua negara tersebut. Financial deepening di tiga negara tersebut menunjukkan nilai jumlah uang
beredar di masing-masing negara lebih dari satu kali besarnya GDP masing-masing negara.
144 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
Ketidaksesuaian hasil untuk negara Hongkong juga dikarenakan negara ini menganut
sistem nilai tukar tetap sehingga yang lebih berperan sebagai penstabil nilai tukar adalah dengan
menggunakan international reserves. Sedangkan untuk negara Jepang, pada periode penelitian
peningkatan dalam jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) belum cukup untuk mengangkat
perekonomian Jepang dari deflasi. Sehingga, pemerintahan negara Jepang lebih banyak
menggunakan international reserves melalui kegiatan intervensi di pasar valas. Hal ini dilakukan
untuk menahan laju apresiasi Yen yang cukup cepat karena apresiasi yen yang terlalu besar
dapat menurunkan profit yang diperoleh eksportir. Sehingga, pada periode penelitian financial
deepening kurang berperan sebagai penstabil nilai tukar.
Meskipun shock absorber oleh financial deepening Indonesia berfungsi dengan baik
sebagaimana yang terjadi pada Amerika. Di Indonesia penggunaan jumlah uang beredar sebagai
absorber ketika terjadi depresiasi nilai tukar akibat terms of trade shock kurang optimal
penggunaannya. Kondisi financial deepening Indonesia selama periode penelitian kurang
mendukung stabilitas nilai tukar pada periode yang sama, dimana pertumbuhan rata-rata
financial deepening Indonesia tumbuh negatif 4,24%. Kondisi ini menunjukkan belum efektif
penggunaan financial deepening sebagai penstabil real exchange rate di Indonesia meskipun
hasil estimasi menunjukkan peranan penting financial deepening sebagai shock absorber
penstabil nilai tukar Rupiah.
Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Amerika Serikat) penelitian ini menyimpulkan bahwa
secara keseluruhan negara-negara obyek penelitian menunjukkan elastisitas real exchange rate
terhadap effective terms of trade shock yang signifikan dikedua model yang digunakan. Setiap
perubahan yang terjadi pada effective terms of trade direspon positif oleh real exchange rate
semua negara. Perbaikan dan peningkatan kondisi effective terms of trade cenderung
menurunkan mata uang masing-masing negara (depresiasi). Ketika terjadi terms of trade shock,
secara rata-rata keseluruhan negara cenderung menggunakan international reserves untuk
mengurangi gejolak yang terjadi pada nilai tukarnya (depresiasi).
Peranan shock absorber dari financial deepening ditinjau lebih spesifik untuk masing-
masing negara mengalami perbedaan efektifitasnya di masing-masing negara. Arah yang sama
dengan penggunaan international reserves yang menunjukkan hanya Korea Selatan yang
memiliki peranan penggunaan international reserves untuk upaya penstabil nilai tukar mata
uang negara tersebut, dalam konteks financial deepening di negara tersebut financial deepening
justru tidak memiliki peranan sebagai penstabil nilai tukar ketika terjadi depresiasi nilai tukar
pada saat terms of trade shock. Peranan buffer stock dari international reserves lebih efektif
dibandingkan dengan peranan shock absorber dari financial deepening. Sedangkan untuk negara
146 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
Indonesia dan Amerika financial deepening memberikan peranan yang cukup besar dalam
upaya penstabilan nilai tukar. Untuk negara-negara Jepang, Hongkong dan Singapura peranan
buffer stock yang berasal dari international reserves dan shock absorber dari financial deepening
tidak banyak memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap upaya stabilitas nilai tukar
yang disebabkan terms of trade shock.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk upaya stabilitas nilai tukar di
Indonesia lebih efektif menggunakan financial deepening jika dibandingkan dengan penggunaan
instrumen international reserves. Bank sentral sebagai pemegang kebijakan intervensi nilai tukar
perlu melakukan evaluasi ulang pada penggunaan instrumen international reserves, khususnya
ketika terjadi depresiasi nilai tukar yang diakibatkan oleh terms of trade shock seperti saat ini.
Penggunaan financial deepening dalam perekonomian Indonesia kurang maksimal sebagai
bentuk upaya stabilitas nilai tukar. Pertumbuhan ekonomi cenderung lebih tinggi dibandingkan
dengan pertumbuhan jumlah uang beredar. Hal inilah yang menyebabkan financial deepening
Indonesia memiliki pertumbuhan negatif dan peranannya terhadap stabilitas nilai tukar
cenderung kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan standarnya. Rendahnya pertumbuhan
financial deepening dimungkinkan oleh masih berhati-hatinya sektor perbankan dalam
menjalankan fungsi intermediasinya sesuai dengan kebutuhan perekonomian. Hal tersebut
juga di tunjang dengan penanaman investasi di Indonesia yang cenderung rendah dengan
pertumbuhan rata-rata 8,8%.
Peningkatan efektifitas terms of trade Indonesia juga perlu dilakukan untuk upaya stabilitas
nilai tukar. Effective terms of trade yang memiliki arah pengaruh negatif terhadap nilai tukar riil
perlu disikapi dengan membuka lebar upaya-upaya perdagangan internasional dan aliran modal
jangka panjang dari luar negeri. Kondisi ini dapat didorong dengan meningkatkan volume
ekspor nasional untuk mempercepat apresiasi dan stabilitas nilai tukar Rupiah. Hal ini sangat
mungkin dilakukan pada kondisi seperti sekarang dengan tetap memperhatikan kondisi
perekonomian global yang belum sepenuhnya stabil.
membaiknya perekonomian nasional, memungkinkan untuk terlepas dari gejolak yang terjadi
pada perekonomian dunia, hal tersebut dapat dicontohkan oleh negara dengan kondisi domestik
yang cukup baik dan tahan terhadap guncangan resesi dunia pada saat ini ialah India dan
China.
Beberapa saran yang memiliki keterkaitan dan implikasi terhadap kebijakan di Indonesia
ialah:
1. Bank sentral dalam hal ini Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter diharapkan
mampu menjaga international reserves dalam kondisi yang cukup dan stabil. Untuk menjaga
stabilitas nilai tukar di pasar keuangan melalui intervensi pasar valas, Bank Indonesia
hendaknya hanya melakukan intervensi jika diperlukan dan kondisi pasar valas yang tidak
sepenuhnya stabil. Hal ini berdasarkan pada tidak efektifnya international reserves sebagai
penstabil nilai tukar (buffer stock) jika dibandingkan dengan peranan yang sama dari financial
deepening (shock absorber). Penjagaan international reserves dimaksudkan agar bank sentral
memberi kepercayaan pada pasar terhadap kondisi international reserves yang kuat dan
influence kepada para pelaku pasar bahwa fundamental ekonomi adalah kuat untuk
mengatasi gejolak nilai tukar akibat terms of trade shock.
2. Diperlukan kebijakan oleh Bank Indonesia berupa dorongan menjalankan fungsi intermediasi
bank-bank yang ada di Indonesia. Intermediasi perbankan berhubungan langsung dengan
jumlah uang beredar sehingga berdampak pada financial deepening. Perlunya peningkatan
kondisi financial deepening dimaksudkan untuk menindaklanjuti temuan penelitian yang
menunjukkan financial deepening memiliki peranan buffer stock cukup memungkinkan
untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
3. Peningkatan volume investasi langsung dengan kebijakan-kebijakan yang mendorong
investasi perlu dilakukan pemerintah sebagai otoritas fiskal. Aliran modal masuk jangka
panjang atau foreign direct investment merupakan salah satu bentuk investasi yang memiliki
peranan dalam peningkatan jumlah uang beredar dan pertumbuhan perekonomian nasional.
Kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan atau output domestik.
Peningkatan volume investasi selanjutnya diharapkan berimplikasi pada meningkatnya
pertumbuhan ekonomi. Volume investasi yang berimplikasi pada jumlah uang beredar
diharapkan dapat menjaga mekanisme pasar agar berjalan dengan baik dan sesuai dengan
kondisi perekonomian sehingga stabilitas nilai tukar dapat terjaga dengan baik.
4. Perlunya meningkatkan penerimaan ekspor Indonesia dengan menciptakan suatu iklim yang
memungkinkan ekspor Indonesia meningkat secara terus menerus dan stabil. Perlunya
menjaga harga komoditas ekspor Indonesia agar tetap kompetitif di pasar internasional.
Peningkatan efektifitas terms of trade dalam kasus perekonomian Indonesia sesuai dengan
hasil penelitian yang menunjukkan semakin efektif terms of trade semakin meningkatkan
148 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
apresiasi nilai tukar Rupiah. Kondisi ekspor yang semakin membaik diharapkan nilai tukar
riil akan terapresiasi.
5. Perlunya menjaga kecukupan international reserves untuk intervensi dalam jumlah yang
terukur. Kecukupan international reserves diharapkan mampu mengikuti perkembangan
indikator moneter terutama nilai tukar rupiah dan perkembangan pasar valuta asing,
dikarenakan bahwa devisa merupakan salah satu alat dan sumber pembiayaan yang penting
bagi perekonomian suatu bangsa dan negara. Pemilikan dan penggunaan devisa serta sistem
nilai tukar perlu diatur sebaik-baiknya untuk memperlancar lalu lintas perdagangan, investasi
dan pembayaran dengan luar negeri, sesuai dengan UU No. 24 Tahun 1999 tentang lalu
lintas devisa dan sistem nilai tukar.
6. Dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar, diharapkan Bank Indonesia lebih banyak
melakukan kerjasama-kerjasama bilateral yang serupa dengan negara EMEAP (Executive
Meeting of the east Asia and Pacific Central Banks/Monetary Authorities) dan ASA (ASEAN
Swap Arrangement). Tujuan dari dua kerjasama tersebut adalah untuk saling membantu
secara bilateral apabila suatu negara peserta mengalami gejolak nilai tukar. Kerjasama tersebut
dipandang lebih menguntungkan bila dibandingkan kerjasama yang selama ini dilakukan
Indonesia dengan IMF, dimana tuntutan perjanjian IMF lebih banyak memberatkan
pemerintah Indonesia melalui program-program stabilitas perekonomian sesuai dengan
pandangan IMF bukan pada kondisi riil kebutuhan dan kinerja perekonomian Indonesia.
7. Untuk penelitian selanjutnya, beberapa catatan yang perlu diperhatikan: Pertama, untuk
menganalisa peranan financial deepening dan international reserves perlu untuk melakukan
formulasi ulang pada komponen variabel jumlah uang beredar dan international reserves
dengan pemisahan bagi negara maju dan berkembang. Sebagai gambaran, penelitian ini
menggunakan jumlah uang beredar dengan proxy M2 untuk negara-negara maju dengan
negara berkembang, sehingga hasil yang diperoleh kurang maksimal. seperti fenomena
yang sama antara Indonesia dan Amerika, sedangkan secara riil kedua negara tersebut
mengalami perbedaan yang sangat besar baik dalam skala ekonomi, struktur ekonomi serta
struktur sistem keuangan di kedua negara. Kedua, keterbatasan data yang digunakan dalam
penelitian ini menyebabkan analisa terhadap fenomena yang terjadi sulit untuk dijangkau.
Seperti periode tahun 1997/1998 sebenarnya perlu dimasukkan sebagai periode penelitian
untuk menghasilkan analisa yang lebih detail antara fenomena dengan hasil estimasi yang
dilakukan.
Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat Gejolak 149
Nilai Tukar Perdagangan
DAFTAR PUSTAKA
Aizenman, Joshua dan Nancy Marion. 2002. The High Demand For International Reserves In
The Far East: What»s Going On?. Working Paper 9266. National Bureau of Economic Research.
October 2002, pp. 1-46.
Aizenman, Joshua Yeonho Lee dan Yeongseop Rhee. 2004. International Reserves Management
And Capital Mobility In A Volatile World: Policy Considerations And A Case Study of Korea.
Working Paper 10534. National Bureau of Economic Research. June 2004. pp. 1-29.
Aizenman, Joshua dan Daniel Riera-Crichton. 2006. Real Exchange Rate And International
Reserves In The Era of Growing Financial And Trade Integration. Working Paper 12363.
National Bureau of Economic Research. July 2006. pp. 1-54.
Aulia F., Telisa, 2001, Agregat Moneter sebagai Sasaran Antara Kebijakan Moneter diIndonesia,
Jurnal Ekonomi Pembangunan Indonesia, Vol. 2, No. 1, Juli 2001.
Baltagi, Badi H. 2002. Econometric Analysis of Panel Data. Second Edition. New York : John
Wiley & Sons. Ltd.
Calderon, Cesar A. 2004. Real exchange Rates In The Long And Short Run: A Panel Co-Integration
Approach. Revista de Analisis Economico. Vol. 19. No. 2. December 2004. pp. 41-83.
Calderon, Cesar A dan Lin Liu. 2002. The Direction of Causality Between Financial Development
and Economic Growth. Working Papers 184. Central Bank of Chile . October 2002. pp. 1-20.
Carbaugh , Robert . J . 2004 . International Economics . 9th Ed . USA . Thomson.
Gandhi, Dyah Virgoana. Pengelolaan Cadangan Devisa Di Bank Indonesia. Seri Kebanksentralan.
No.17. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK). Bank Indonesia. Maret 2006.
Goeltom, Miranda S dan Doddy Zulverdi. Manajemen Nilai Tukar Di Indonesia dan
Permasalahannya. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Bank Indonesia. Vol.1, No.2.
September 1998.
IMF. 2001. Guidelines for International Reserves and Foreign Currency Liquidity. IMF Official
Website: http://www.imf.org.
Greene, William H. 2003. Econometric Analysis. Fifth Edition. New York University. Prentice
Hall. Pearson Education, Inc., Upper Saddle River. New Jersey.
150 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
Gujarati, Damodar N. 1995. Basic Econometrics. Fourth Edition. New York McGRAW-HILL.
Hady, Dr. Hamdy. 2001. Ekonomi internasional. Edisi Ketiga. Jakarta. Penerbit Ghalia Indonesia
Jhingan, M.L. 2001. International Economics. Fifth Revised and Enlarge Edition. Delhi: Vrinda
Publication (P) LTD. India.
King, Robert. G dan Ross Levine. 1993. ∆Finance and Growth: Schumpeter Might be Right∆,
Quartely Journal of Economics, CVIII, Agustus, 1993. pp.716√737.
Krugman, P.R & M. Obstfeld . 2003 . International Economics : Theory & Policy. 6th Ed . USA .
Addison Wesley.
Mankiw, N. Gregory. 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Terjemahan. Jakarta :
Penerbit Erlangga.
Muklis. 2005. Analisis Financial Deepening di Indonesia. Ekofeum Online. Jurnal Ekonomi
Pembangunan. FE UM.
Pugel, Thomas A. 2004. International Economics. Twelfth Edition. New York: McGraw-Hill
Companies.
Rajan, Ramkishen dan Reza Siregar. 2004. Centralized Reserves Pooling for the ASEAN+3
Countries, Monetary And Financial Integration In East Asia The Way Ahead, Vol.2, ADB,
New York, Palgrave Macmillan.
Simorangkir, Iskandar dan Suseno. Sistem dan Kebijakan Nilai Tukar. Seri Kebanksentralan,
No.12, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Bank Indonesia, Mei 2005.
Slangor. 1991. Financial System and Economics Development. A Lecture Note Prepared for
ASEAN Course on Management Central Bank Branches.
Tambunan, Tulus T.H. 2004. Globalisasi dan Perdagangan Internasional. Bogor. Ghalia Indonesia.
. 2004. Modul Pelatihan Ekonometrika dan Time Series Models. Jurusan Ilmu Ekonomi
dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga. Surabaya.
. 2002. Eviws 4.1. User Guide. Quantitatif Micro Soft Ware. LLC : United States of
America.
Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat Gejolak 151
Nilai Tukar Perdagangan
LAMPIRAN III.A
Definisi Operasional Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini sebagaimana terdapat dalam bagian 3
diberikan definisi operasional untuk menghindari kerancuan makna, serta merupakan batasan
dan penjelasan dari variabel- variabel yang digunakan, yaitu:
ec v terms
1) Effective m of
o trade
r (ETOT)
Untuk memberikan gambaran mengenai kondisi perdagangan suatu negara dengan negara
lain dengan telah memasukkan unsur keterbukaan perdagangan maka digunakan rumus
yang diadopsi dari model yang digunakan oleh Aizenman dan Crichton (2006) yaitu
TO*ln(TOT) yang kemudian disebut effective terms of trade, yang dapat dituliskan dengan
rumus sebagai berikut:
(III.A.1)
Formulasi persamaan diatas diperoleh dari persamaan di bawah ini:
a) TO (Trade Openness atau keterbukaan perdagangan), didapat dari rumus :
(III.A.2)
(III.A.3)
Dimana : Px adalah Indeks harga ekspor; Pm adalah Indeks harga impor; dan 100 adalah
Indeks tahun dasar
152 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
2) Reserves
es v Mitigation
i g o Terms
Ter (ETOT*RES)
ETO
Variabel kedua yaitu effective terms of trade*RES (reserves mitigation terms) digunakan
untuk melihat seberapa besar pengaruh international reserves berperan sebagai penstabil
nilai tukar akibat terms of trade shock. Variabel ini didapat dari rumus (TO*ln(TOT)*RES)
dimana RES (reserves), didapat dengan rumus :
(III.A.4)
International reserves berfungsi sebagai buffer stock10 apabila α2 < 0 dan apabila α2 > 0
maka international reserves tidak berfungsi sebagai buffer stock. International Reserves
yang digunakan disini adalah total reserves minus gold dikarenakan terdapat masalah pada
penghitungan international reserves apabila mengikutsertakan emas. Pertama
Pertama,
a adanya
masalah tentang bagaimana cara menilai emas dengan tepat. Dikarenakan harga emas
yang selalu berubah-ubah setiap waktu. Kedua
ed
Kedua, saat ini sebagian besar negara hanya
menghitung emas kurang dari 3% dari keseluruhan jumlah international reserves-nya
Ketiga
sedangkan emas saat ini sendiri dihitung senilai 35 SDRs per ons (pada tahun 2002). Ket
Ketiga,
international reserves dalam bentuk emas yang dimiliki oleh negara sedang berkembang
masih dianggap kurang penting (Aizenman dan Marion, 2002). Sedangkan GDP dalam
persamaan diatas merupakan perwakilan dari output dalam negeri
3) Financial
n c Deepening
en Mitigation
i at n Termss (ETOT*RES*FD)
Variabel ketiga yaitu ETOT*RES*FD (financial deepening mitigation terms). digunakan untuk
melihat seberapa besar pengaruh kedalaman sektor keuangan suatu negara (financial
deepening) dapat menstabilkan nilai tukar akibat terms of trade shock. FD (Financial
Deepening) menunjukkan perkembangan sektor keuangan suatu negara. Perkembangannya
dapat diukur dengan menggunakan rasio antara aset keuangan dalam negeri terhadap
GDP yaitu :
(III.A.5)
Dimana; M2 adalah broad money yang terdiri dari uang primer (M1) ditambah dengan
tabungan dan deposito berjangka; dan GDP merupakan nilai dari output dalam negeri.
Hasil rasio ini menunjukkan rasio penggunaan M2 untuk menghasilkan setiap GDP. Semakin
kecil dalam rasio tersebut menunjukkan semakin dangkal sektor keuangan suatu negara
10 Buffer Stock berarti international reserves berfungsi sebagai cadangan untuk berjaga jaga guna menghadapi ketidakpastian keadaan
yang akan datang (misal dalam hal ini digunakan untuk stabilisasi nilai tukar).
Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat Gejolak 153
Nilai Tukar Perdagangan
dan semakin besar rasio tersebut menunjukkan semakin dalam sektor keuangan suatu
negara.
4) Real
eal Exchange
Ex g Ratee ((RER)
RER)
RER (Real Exchange Rate), merupakan variabel hasil olahan dari nilai tukar nominal mata
uang dalam negeri dengan mata uang luar negeri dengan basis perhitungan kuartalan.
Nilai ini diperoleh dengan mengalikan antara nilai tukar nominal dalam negeri dengan
consumer price index (CPI) luar negeri dibagi dengan CPI dalam negeri. Persamaannya adalah
sebagai berikut:
(III.A.6)
Dimana: Kurs nominal adalah harga suatu mata uang terhadap mata uang negara lain;
CPILN adalah Indeks Harga Konsumen luar negeri; CPIDN adalah Indeks Harga Konsumen
dalam negeri. CPILN yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan patokan CPI US, hal
ini dikarenakan US merupakan mitra dagang utama terbesar Indonesia. Sedangkan CPILN
US menggunakan CPI Jepang dengan alasan yang sama.
5) Real
eal Exchange
Ex g Ratee Elasticity
Elast
Elast i
Merupakan tingkat elastisitas RER terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada effective
terms of trade (ETOT shock) dan terms of trade reguler (TOT shock). Untuk menghitung
elastisitas RER digunakan rumus yang diadopsi dari model yang digunakan oleh Aizenman
dan Crichton (2006) yaitu:
Abstract
Poverty level of Indonesia remains high while the economy experiences relatively high and steady
growth. The asymmetry is investigated, probing the poverty and economic growth-structure linkages at
sectoral level. The result shows that agriculture sector is the highest contributors of poverty at almost all
regions. It is also the most responsive sector, with its high growth elasticity of poverty reduction. On the
other hand economic structure seems to have varying impacts on poverty at sectoral level.
i i
JEL Classification: O10, O49
1 Sri Liani Suselo adalah Senior Researcher pada Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Bank Indonesia; sliani@bi.go.id
2 Tarsidin adalah Visiting Researcher pada Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Bank Indonesia; tarsidin@yahoo.co.id
156 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
I. PENDAHULUAN
Pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang berkisar 5% - 6% per tahun, agaknya belum
mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Bahkan terjadi peningkatan jumlah penduduk
miskin, yang saat ini berkisar 37 juta jiwa. Sementara itu studi dari Bank Dunia menyebutkan
bahwa hampir 50% dari jumlah penduduk Indonesia dikategorikan ∆miskin∆ dan ∆berada di
ambang kemiskinan∆. Hal ini menjadikan permasalahan kemiskinan patut mendapat perhatian
yang besar dari semua pihak.
Di samping itu terjadi pula perubahan struktur perekonomian Indonesia. Peran sektor
pertanian, yang menjadi tumpuan hidup sebagian besar masyarakat Indonesia semakin menurun.
Sementara itu sektor industri pengolahan dan sektor pengangkutan dan komunikasi semakin
meningkat share-nya. Perubahan struktur ini juga diduga turut berdampak, baik secara langsung
maupun tidak, terhadap tingginya angka kemiskinan di Indonesia.
Berdasarkan hal-hal tersebut menarik kiranya untuk dilakukan penelitian atas pertumbuhan
ekonomi dan perubahan struktur perekonomian, dalam hal ini dengan mendekomposisinya
menjadi pertumbuhan ekonomi sektoral dan dinamika yang terjadi seiring dengan adanya
perubahan struktur perekonomian. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat menjelaskan
fenomena peningkatan angka kemiskinan yang terjadi di Indonesia.
Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh beberapa manfaat, pertama, bagi
pengambil kebijakan baik di tingkat Pusat maupun Daerah, dengan mengetahui pengaruh
pertumbuhan ekonomi sektoral Indonesia terhadap kemiskinan sektoral akan dapat dijadikan
Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi 157
landasan dalam perumusan kebijakan, terkait dengan langkah-langkah yang diperlukan untuk
mengurangi jumlah penduduk miskin melalui kebijakan pembangunan sektoral. Demikian pula
halnya dengan langkah-langkah yang perlu diambil untuk meminimisasi dampak buruk dari
perubahan struktur perekonomian. Kedua, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi
bagi studi-studi lainnya mengenai pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Indonesia.
II. TEORI
II.1. Tinjauan Literatur
Beberapa literatur terkait dengan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, beberapa faktor
lain yang mempengaruhi, dan berbagai kebijakan yang ditujukan untuk pengentasannya
diuraikan berikut ini.
Upaya paling komprehensif untuk menguji hipotesis Kuznets dilakukan oleh Deininger
dan Squire (1998), yang dengan kualitas data yang lebih baik hasilnya menunjukkan tidak
adanya hipotesis inverted-U dari Kuznets. Pada kebanyakan kasus distribusi pendapatan selama
beberapa dekade terakhir terlihat tidak banyak berubah. Beberapa studi lainnya antara lain
dilakukan oleh Knowles (2001), yang mendapatkan adanya hubungan negatif yang signifikan
antara keduanya pada sejumlah negara berkembang, namun pada negara-negara lainnya tidak
cukup ditemukan bukti tersebut. Sementara itu Ravallion dan Chen (1997) tidak menemukan
adanya hubungan yang sistematis antara pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan
pendapatan, namun ditemukan adanya hubungan yang kuat antara pertumbuhan ekonomi
dan penurunan kemiskinan.
kemiskinan, Bigsten dan Shimeles (2005) menyebutkan adanya dua ukuran kemiskinan, yakni
pendapatan per kapita dan income-inequality, sebagaimana juga disebutkan Kakwani (1991)
dan Ravallion (1992).
Balke dan Slottje (1993) menyimpulkan bahwa inflasi tidak mempunyai dampak terhadap
kemiskinan, berbeda dengan pengangguran yang berdampak buruk pada kemiskinan. Variabel-
variabel yang digunakan berupa pengeluaran pemerintah, transfer payments, dan money supply
(untuk menggambarkan kebijakan fiskal dan moneter), dan variabel aggregate price level dan
pengangguran (untuk menggambarkan kondisi ekonomi makro), serta ukuran kemiskinan.
pendapatan tentunya berbeda antara daerah rural dan urban. Hal ini juga disampaikan oleh Ali
dan Thorbecke (1998), yang membuktikan bahwa rural poverty lebih responsif terhadap
pertumbuhan ekonomi daripada urban poverty, namun di sisi lain urban poverty lebih responsif
terhadap distribusi pendapatan.
Hal ini juga diamati oleh Hoeven (2004), yang melihat adanya keterkaitan antara
perubahan struktur ekonomi di suatu negara dan ketidakmerataan pendapatan dan kemiskinan
yang diakibatkannya. Sementara itu Huppi dan Ravallion (1990), yang meneliti tentang struktur
kemiskinan sektoral pada periode adjustment di Indonesia pada pertengahan tahun 1980-an,
mendapatkan bahwa meskipun secara keseluruhan tingkat kemiskinan mengalami penurunan,
namun pengaruhnya tidak merata pada lintas regional dan sektoral, di mana pengurangan
kemiskinan yang signifikan terutama terjadi pada sektor rural farming.
Datt dan Ravallion (2002) dalam penelitiannya menekankan adanya perbedaan tingkat
kemiskinan di antara beberapa daerah di India. Daerah-daerah yang pembangunan daerah
pertanian dan human capital-nya rendah relatif tidak responsif terhadap pertumbuhan ekonomi
dalam kaitannya dengan pengurangan kemiskinan. Sementara itu Friedman (2002), yang
melakukan studi tentang respon poverty terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia,
mendapatkan adanya respon yang tinggi. Namun perbedaan antar daerah dalam tingkat
kemiskinan tetap ada meskipun telah dilakukan langkah-langkah untuk mengontrol tingkat
pendapatan pada tingkat provinsi. Terlihat bahwa faktor-faktor lokal memainkan peranan penting
terhadap tingkat kemiskinan di suatu daerah.
menyebutkan bahwa beberapa elemen strategis yang dapat mengurangi kemiskinan antara
lain: outward-oriented strategy berupa pertumbuhan ekonomi yang dimotori ekspor, yang
didasarkan pada manufaktur yang labor intensive, pembangunan pertanian dan daerah
pedesaan, dengan menggalakkan teknologi baru, investasi pada infrastruktur fisik dan human
capital, institusi yang efisien yang memberikan insentif kepada petani dan entrepreneur, kebijakan
sosial untuk mempromosikan kesehatan, pendidikan, social capital, dan jaring pengaman untuk
memproteksi penduduk miskin.
Sementara itu hasil studi de Janvry dan Sadoulet (1999) menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi dapat mengurangi kemiskinan dan ketidakmerataan secara efektif hanya jika tingkat
kemiskinan dan ketidakmerataan awal tidak terlalu tinggi dan tingkat pendidikan masyarakatnya
cukup tinggi. Ditemukan pula adanya asimetri atas dampak pertumbuhan ekonomi terhadap
kemiskinan, yakni dampak penurunan pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan akan lebih
besar daripada dampak kenaikannya.
Dalam hal ini perlu diambil kebijakan guna mengarahkan pertumbuhan ekonomi agar
pertumbuhan tersebut dapat mengurangi jumlah penduduk miskin, atau sering disebut pro-
poor growth. Bigsten dan Levin (2000) menyebutkan bahwa strategi pro-poor growth tidak
hanya memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi, tapi juga harus dikombinasikan dengan
kebijakan distribusi pendapatan. Namun terdapat trade-off. Jika pengurangan kemiskinan dapat
dicapai melalui perbaikan distribusi pendapatan, maka kebijakan distribusi pendapatan
diprioritaskan. Sebaliknya jika pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk mengurangi kemiskinan
dapat dicapai melalui ketidakmerataan distribusi pendapatan yang lebih besar maka terdapat
toleransi atas distribusi pendapatan tersebut.
Melalui pendekatan sektoral pada penelitian ini, di mana pertumbuhan ekonomi dan
kemiskinan didekomposisi berdasarkan sisi sektoralnya, diharapkan dapat diperoleh jawaban
atas fenomena besarnya tingkat kemiskinan Indonesia di tengah pertumbuhan ekonomi yang
relatif tinggi.
Employment Distribusi
& Pendapatan Kemiskinan
Pertumbuhan
Ekonomi Produktivitas
Pemilik Faktor
Produksi: Head Count
Tenaga Kerja Tenaga Kerja Ratio
Kapital (HCR)
Resources
Kapital
Kelompok Income Gap
Penghasilan: Ratio
Perubahan Rendah (IGR)
Struktur Resources
Menengah
Perekonomian Tinggi
Gambar IV.1
Gambaran Skematik Hubungan Pertumbuhan Ekonomi,
Perubahan Struktur, dan Kemiskinan
di mana Y adalah output, K = kapital, L = labor (tenaga kerja) dan TFP = total factor productivity
Sementara itu perubahan struktur ekonomi juga turut berpengaruh terhadap kinerja
sektor-sektor usaha tersebut, dan dengan demikian mempengaruhi besarnya pertumbuhan
ekonomi sektoral. Di sisi lain perubahan struktur juga disebabkan adanya perbedaan
pertumbuhan ekonomi antar sektor usaha. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat
antara pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur, serta employment dan produktivitas
sektoral.
Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi 163
Perubahan struktur perekonomian tersebut juga terjadi seiring dengan terjadinya perbedaan
tingkat pertumbuhan ekonomi antar sektor usaha. Sektor usaha yang tingkat pertumbuhannya
lebih tinggi akan semakin besar share atau porsinya dalam perekonomian, sebaliknya yang
tingkat pertumbuhannya rendah akan menurun share-nya. Perubahan struktur ini tentunya akan
mengubah distribusi pendapatan sektoral dari para pelaku ekonomi. Sektor pertanian, yang
menurun share-nya pada beberapa tahun terakhir, misalnya, akan menjadi kurang menarik
dibandingkan dengan sektor-sektor usaha yang pertumbuhannya tinggi dan share-nya makin
besar. Pendapatan atas faktor produksi akan semakin tertuju pada sektor-sektor usaha yang
tengah berkembang dan semakin sedikit yang bisa dinikmati oleh pelaku usaha di sektor pertanian.
II.2.3. Kemiskinan
Sebelum melihat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Indonesia,
perlu ditetapkan terlebih dahulu ukuran kemiskinan yang akan digunakan. Ukuran kemiskinan
tersebut tergantung pada beberapa faktor, yakni:
Standar hidup, yang dalam hal ini bisa menggunakan pendapatan atau pengeluaran untuk
konsumsi pada periode waktu tertentu.
Poverty line di mana individu dikategorikan miskin.
Gap Ratio (IGR). HCR dalam hal ini digunakan berkaitan dengan fenomena meningkatnya
jumlah penduduk miskin di Indonesia, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
di mana HC adalah headcount atau jumlah penduduk miskin dan n adalah jumlah penduduk.
Melalui HCR tersebut dapat diketahui besarnya persentase penduduk miskin di tiap sektor
usaha.
Sementara itu melalui IGR dapat diketahui intensitas dari kemiskinan pada suatu sektor
usaha. Meskipun ukuran ini tidak sensitif terhadap distribusi pendapatan di antara penduduk
miskin, namun dapat digunakan sebagai acuan seberapa jauh tingkat kemiskinan dibandingkan
garis kemiskinannya. Ukuran ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Terdapat pula beberapa ukuran kemiskinan lain yang lazim dipakai, sebagaimana
diketengahkan oleh Foster, Greer, dan Thorbecke (1984), yang bentuk umumnya dapat dituliskan
sebagai berikut:
di mana N adalah jumlah penduduk, q adalah penduduk miskin, Zp adalah poverty line, Yi
adalah pendapatan penduduk miskin dan α adalah bobot.
Semakin besar α, semakin besar pula bobot yang diberikan kepada penduduk yang lebih
miskin. Pada α = 0, ukuran yang dihasilkan berupa P0, yang merupakan HCR. Sementara itu
pada α = 1, dihasilkan indeks kemiskinan P1, yang pada dasarnya merupakan perkalian antara
HCR dan IGR. Sedangkan jika α = 2, dihasilkan indeks kemiskinan P2, yang dapat menunjukkan
tingkat ketidakmerataan di antara penduduk miskin.
Dalam hal ini yang akan digunakan adalah ukuran kemiskinan HCR dan IGR. Ukuran
kemiskinan HCR digunakan untuk melihat gambaran besarnya kemiskinan di tiap sektor, dan
IGR untuk melihat intensitasnya. Ukuran kemiskinan P1 dan P2 tidak digunakan mengingat
besarannya merupakan suatu komposit (antara HCR dan IGR). Tentunya akan lebih baik untuk
menganalisis masing-masing komponennya.
Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi 165
Dalam hal ini dilakukan dekomposisi atas besaran kemiskinan di Indonesia, berupa
kemiskinan sektoral-regional dan kemiskinan regional-sektoral. Melalui dekomposisi ini
diharapkan dapat diperoleh pemetaan kemiskinan baik pada tiap sektor usaha maupun pada
tiap daerah.
II.2.4. Model
Melalui dekomposisi pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan saja belum dapat
diketahui hubungan di antara keduanya. Dalam hal ini perlu dibangun model untuk menjelaskan
hubungan antara pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur, dan kemiskinan di Indonesia,
yakni dari sisi sektoralnya. Pada penelitian ini tidak dibangun model untuk menguji hubungan
antara kemiskinan sektoral-regional dan pertumbuhan ekonominya, mengingat tidak tersedianya
data pertumbuhan ekonomi sektoral-regional.
ead o n Ratio
1) Headcount o (HCR)
H )
di mana y adalah pertumbuhan GDP riil dan S adalah share GDP riil
Diperkirakan terdapat perbedaan sektoral yang cukup berarti atas besaran HCR sektoral,
mengingat masing-masing sektor usaha mempunyai karakteristik berbeda-beda, antara lain
dari sisi labor dan capital intensity-nya, kelompok penghasilan karyawannya, dan struktur industri
intra-sektoral terkait dengan backward dan forward linkage-nya. Perbedaan karakteristik tersebut
tentunya akan berdampak pada perbedaan respon, terlebih lagi situasi yang dihadapi oleh masing-
masing sektor usaha tersebut berbeda-beda, di mana ada sektor usaha yang berkembang dan
tingkat pertumbuhannya tinggi, sementara sektor usaha lainnya justru menyusut share-nya.
c m Gap Ratio
2) Income o (IGR)
I )
di mana y adalah pertumbuhan GDP riil dan S adalah share GDP riil.
166 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
Dari formulasi tersebut di atas, terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi dan perubahan
struktur berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan melalui beberapa jalur, yakni:
a. Pertumbuhan ekonomi secara langsung berpengaruh terhadap tingkat pendapatan per kapita
sektoral, baik pendapatan dari tenaga kerja maupun kapital, dan besarnya konsumsi per
kapita. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu sektor pada umumnya diikuti dengan
tingginya konsumsi per kapita.
b. Perubahan struktur perekonomian secara langsung akan berdampak pada adanya perubahan
distribusi pendapatan sektoral yang diterima oleh para pemilik faktor produksi, baik dari
tenaga kerja maupun kapital. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap besarnya konsumsi
per kapita dan tingkat kemiskinan di sektor yang bersangkutan.
c. Pertumbuhan ekonomi menyebabkan terjadinya perubahan struktur ekonomi, mengingat
adanya perbedaan insentif seiring dengan adanya perbedaan tingkat pertumbuhan
ekonomi antar sektor usaha, yang pada akhirnya akan berdampak pula pada tingkat
kemiskinan.
III. METODOLOGI
III.1. Data
Penelitian ini menggunakan data Susenas dari BPS dan atas beberapa variabel datanya
diperoleh dari Bank Indonesia, CEIC, dan dari berbagai publikasi lainnya. Periode observasi dari
tahun 1994 - 2006, dengan menggunakan data tahunan. Beberapa variabel yang digunakan
antara lain: tingkat kemiskinan sektoral, pertumbuhan ekonomi sektoral dan share GDP riil
sektoral.
Dalam hal ini terdapat dua jenis HCR dan IGR yang dihitung, yakni HCR dan IGR sektoral,
yang menunjukkan tingkat kemiskinan dalam ruang lingkup sektor yang bersangkutan, serta
HCR yang dibobot dengan employment share masing-masing sektor usaha terhadap total
employment pada perekonomian Indonesia (selanjutnya disebut HCR tertimbang) dan IGR yang
dibobot dengan porsi penduduk miskin di suatu sektor terhadap penduduk miskin Indonesia
(selanjutnya disebut IGR tertimbang).
Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi 167
Dalam menghitung besaran HCR dan IGR tersebut, dilakukan aproksimasi sepenuhnya
berdasarkan sample, tanpa menggunakan bobot rumah tangga dan bobot individu yang ada
pada data Susenas. Jadi employment share masing-masing sektor usaha tergantung pada jumlah
sample yang sumber penghasilannya berasal dari sektor usaha tersebut. Demikian pula halnya
dengan porsi penduduk yang dikategorikan miskin. Tidak digunakannya bobot yang ada pada
data Susenas didasarkan pada pertimbangan bahwa bobot tersebut tidak mencerminkan bobot
sektoral, tapi lebih pada bobot representasi penduduk pada suatu wilayah sampling, dengan
demikian tidak tepat untuk digunakan dalam melakukan pembobotan sektoral.
III.2. Metode
Metode yang digunakan untuk mengestimasi model HCR dan IGR adalah dengan panel
data. Dalam hal ini di samping dilakukan regresi dengan common coefficient, dilakukan pula
regresi cross-section specific coefficient guna mendapatkan gambaran atas perbedaan respon
sektoral kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur. Mengingat data
berupa 13 periode observasi dengan 9 cross-section, sementara itu terdapat 9 x 2 cross-section
specific coefficient, diperlukan kehati-hatian dalam membaca hasil regresi dengan cross-section
specific coefficient tersebut. Sementara itu pengujian dengan F-test dan Hausman test akan
dilakukan guna melihat metode panel data mana yang paling tepat, apakah pooled least squre,
fixed effect model, ataukah random effect model.
eg
1) Regresi c u tR
Headcount i (HCR)
Ratio C
Langkah pertama adalah melakukan regresi kemiskinan sektoral yang diukur dengan
Headcount Ratio (HCR) terhadap pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur. Melalui
langkah ini diharapkan dapat diketahui gambaran umum dari pengaruh keduanya terhadap
besarnya tingkat kemiskinan, termasuk perbedaan respon HCR sektoralnya.
di mana y adalah pertumbuhan GDP riil dan S adalah share GDP riil. Dalam hal ini dilakukan
regresi terhadap besaran HCR dalam ruang lingkup sektor usaha yang bersangkutan (HCR
sektoral) guna melihat pengaruh pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi di masing-
masing sektor usaha.
Dilakukan pula regresi terhadap HCR yang dibobot dengan employment share sektoral
terhadap keseluruhan sample (HCR tertimbang), yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
168 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
di mana HCi adalah headcount atau jumlah penduduk miskin di sektor ke-i, ni adalah jumlah
penduduk di sektor i, N adalah jumlah penduduk Indonesia, adalah employment share
sektor i.
Dengan pendekatan ini dapat terlihat besarnya pengaruh pertumbuhan ekonomi dan
perubahan struktur terhadap kemiskinan di suatu sektor sekaligus dampaknya bagi kemiskinan
di tingkat nasional.
eg
2) Regresi Income Gap R i (IGR)
Ratio
Melalui regresi IGR terhadap pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur dapat
diketahui pengaruh keduanya terhadap intensitas kemiskinan di Indonesia, termasuk pada
tingkat sektoralnya.
di mana y adalah pertumbuhan GDP riil dan S adalah share GDP riil.
Seperti halnya pada model sebelumnya, regresi juga dilakukan terhadap besaran IGR
dalam ruang lingkup masing-masing sektor (IGR sektoral) guna melihat pengaruh sektoralnya,
dan regresi terhadap IGR yang dibobot dengan porsi penduduk miskin di suatu sektor usaha
terhadap penduduk miskin Indonesia (IGR tertimbang) untuk melihat dampaknya terhadap
kemiskinan pada sektor tersebut sekaligus terhadap kemiskinan di tingkat nasional. IGR
tertimbang tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
di mana yi adalah pendapatan penduduk miskin, p adalah poverty line, HCi adalah headcount,
jumlah penduduk miskin di sektor i, HC adalah headcount atau jumlah penduduk miskin
Indonesia, dan adalah : porsi penduduk miskin di suatu sektor usaha terhadap penduduk
IV. ANALISIS
IV.1. Gambaran Variabel dan Perkembangannya
Pada tingkat agregat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada beberapa tahun terakhir
relatif tinggi, yakni berkisar 5% - 6% per tahun. Namun dinamika tingkat kemiskinan di Indonesia
seringkali tidak sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Terdapat beberapa periode di
mana pertumbuhan ekonomi diwarnai dengan peningkatan kemiskinan. Hal ini tentunya
menimbulkan pertanyaan, bagaimana bisa perekonomian tumbuh cukup tinggi namun yang
terjadi justru semakin naiknya angka kemiskinan. Berdasarkan perhitungan pada tahun 2006
terdapat sekitar 17,75% penduduk Indonesia yang masuk kategori miskin.
Tingkat kemiskinan di suatu sektor usaha dapat dilihat dari dua sisi, yakni dari sisi
kemiskinan yang terjadi hanya dalam ruang lingkup sektor usaha yang bersangkutan (dalam
hal ini diukur dengan HCR dan IGR sektoral) dan dari sisi kemiskinan di sektor usaha yang
bersangkutan secara relatif terhadap kemiskinan di tingkat nasional (yang diukur dengan HCR
dan IGR tertimbang).
Besaran HCR, baik sektoral maupun tertimbang, dan variabel pertumbuhan dan perubahan
struktur ekonomi di masing-masing sektor usaha sebagaimana terlihat pada gambar berikut
ini.
170 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
Sektor Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi Sektor Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh.
% %
80,00 80,00
70,00 70,00
60,00 60,00
50,00 50,00
40,00 40,00
30,00 30,00
20,00 20,00
10,00 10,00
- -
-10,00 -10,00
-20,00 HCR-Sectoral GDP Share -20,00 HCR-Sectoral GDP Share
-30,00 GDP Growth HCR-Weighted -30,00 GDP Growth HCR-Weighted
-40,00 -40,00
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Gambar IV.2
Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi dan Headcount Ratio (HCR)
Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi 171
Gambar IV.2
Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi dan Headcount Ratio (HCR)
(lanjutan)
Sementara itu besaran IGR dan variabel pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi
di masing-masing sektor usaha sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini.
30,00 30,00
20,00 20,00
10,00 10,00
- -
-10,00 -10,00
-20,00 -20,00
30,00 30,00
20,00 20,00
10,00 10,00
- -
-10,00 -10,00
-20,00 -20,00
Gambar IV.3
Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi dan Income Gap Ratio (IGR)
172 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
30,00 30,00
20,00 20,00
10,00 10,00
- -
-10,00 -10,00
-20,00 -20,00
Sektor Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi Sektor Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh.
% %
40,00 40,00
30,00 30,00
20,00 20,00
10,00 10,00
- -
-10,00 -10,00
-20,00 -20,00
30,00
20,00
10,00
-
-10,00
-20,00
Gambar IV.3
Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi dan Income Gap Ratio (IGR)
(lanjutan)
Dari kedua gambar di atas, dapat dilihat bahwa tingkat kemiskinan yang terjadi dalam
ruang lingkup sektor usaha yang bersangkutan (dalam hal ini diukur dengan HCR dan IGR
sektoral) pada umumnya relatif tinggi, namun jika dibobot dengan masing-masing sektor usaha
(diukur dengan HCR dan IGR tertimbang) terlihat bahwa kemiskinan di sektor pertanian,
perkebunan, dan perikanan adalah yang paling tinggi.
Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi 173
Nilai adjusted R-squared-nya yang sebesar 0,69 menunjukkan bahwa model tersebut
dapat menjelaskan variasi pada Headcount Ratio (HCR) sektoral dengan baik. Hal ini didukung
pula dengan nilai F-statistik sebesar 22,65 yang menunjukkan signifikansi model tersebut. DW-
statistik yang sebesar 1,86 juga menunjukkan model tersebut terhindar dari permasalahan
autokorelasi. Hasil regresinya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel IV.1.
Untuk melihat lebih jauh pengaruh kedua variabel tersebut pada masing-masing sektor
usaha, dilakukan regresi dengan cross-section specific coefficient. Sebagaimana disebutkan di
muka, mengingat data berupa 13 periode observasi dengan 9 cross-section, sementara itu
terdapat 9 x 2 cross-section specific coefficient, diperlukan kehati-hatian dalam membaca hasil
regresi dengan cross-section specific coefficient tersebut.
Tabel IV.1
Headcount Ratio (HCR) Sektoral
Tabel IV.1
Headcount Ratio (HCR) Sektoral (lanjutan)
Sementara itu regresi juga dilakukan terhadap variabel HCR tertimbang. Pengujian statistik
dalam pemilihan model terbaik, antara pooled LS, fixed effect, dan random effect, dilakukan
dengan cara sebagaimana disebutkan di atas. Hasilnya menunjukkan model terbaik dengan
fixed effect model. Hasil regresinya sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut ini.
Tabel IV.2
Headcount Ratio (HCR) Tertimbang
Dari hasil regresi tersebut terlihat bahwa elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan
sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan sangat tinggi, yakni mencapai -2,97. Hal ini berarti
tiap pertumbuhan sebesar 1% di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan akan dapat
mengurangi kemiskinan nasional sebesar 2,97%. Jadi dalam hal ini besaran koefisiennya
menunjukkan pengaruhnya terhadap kemiskinan nasional, mengingat tingkat kemiskinan (dalam
hal ini HCR) sudah dibobot dengan employment share-nya.
Sementara itu koefisien variabel share GDP riil sektoral sebagian besar tidak signifikan.
Koefisien yang bertanda negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi share GDP riil sektoralnya,
semakin rendah tingkat kemiskinannya. Hal ini tentunya sejalan dengan logika, dengan semakin
besarnya output dan pendapatan suatu sektor usaha tentunya akan semakin banyak pula yang
dapat dibagikan kepada para pelaku ekonomi di sektor usaha tersebut. Beberapa sektor usaha
yang koefisien variabel share GDP riil sektoralnya bertanda negatif antara lain sektor pertanian,
perkebunan, dan perikanan, serta sektor industri pengolahan.
Meskipun koefisiennya sama-sama bertanda negatif, dalam hal ini perlu dicermati bahwa
arah perubahan share GDP riil kedua sektor usaha tersebut berbeda. Share sektor pertanian,
perkebunan, dan perikanan mengalami penurunan, sedangkan share sektor industri pengolahan
mengalami peningkatan. Naiknya share sektor industri pengolahan dalam hal ini dapat
mengurangi kemiskinan di tingkat nasional. Sedangkan turunnya share sektor pertanian,
perkebunan, dan perikanan menyebabkan kenaikan tingkat kemiskinan nasional.
Dari hasil pengolahan data dan regresi tersebut dapat disimpulkan bahwa sektor pertanian,
perkebunan, dan perikanan tidak saja merupakan sektor usaha yang paling tinggi tingkat
kemiskinannya, tapi juga mempunyai elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi
paling tinggi. Di samping itu penurunan share sektor usaha tersebut juga turut memperburuk
tingkat kemiskinan Indonesia. Dengan demikian langkah yang paling tepat untuk mengurangi
kemiskinan adalah dengan memberikan perhatian lebih pada sektor pertanian, perkebunan,
dan perikanan.
Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi 177
Tabel IV.3
Income Gap Ratio (IGR) Sektoral
Dari hasil regresi tersebut terlihat bahwa sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan
dan sektor listrik, gas, dan air minum merupakan dua sektor usaha yang paling banyak
terpengaruh oleh pertumbuhan ekonomi di sektor usaha yang bersangkutan. Sementara itu
pengaruh perubahan struktur ekonomi terlihat bervariasi, yang paling mencolok adalah
pengaruhnya terhadap sektor listrik, gas, dan air minum.
Berikutnya adalah regresi terhadap variabel IGR tertimbang. Dalam hal ini juga dilakukan
pengujian statistik dalam pemilihan model terbaik, antara pooled LS, fixed effect, dan random
effect, dengan cara sebagaimana disebutkan di atas, dan dipilih untuk menggunakan fixed
effect model. Hasil regresinya sebagaimana pada tabel berikut ini.
Tabel IV.4
Income Gap Ratio (IGR) Tertimbang
Tabel IV.4
Income Gap Ratio (IGR) Tertimbang (lanjutan)
Hasil yang diperoleh juga terlihat serupa dengan hasil pada model HCR. Sektor pertanian,
perkebunan, dan perikanan merupakan sektor usaha yang elastisitas kemiskinan terhadap
pertumbuhan ekonominya paling tinggi, yakni sebesar -1,01. Besaran tersebut menunjukkan
bahwa tiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1% akan dapat menurunkan IGR sebesar 1,01%.
Sektor usaha lainnya yang elastisitasnya cukup tinggi dibandingkan sektor-sektor usaha lainnya
adalah sektor listrik, gas, dan air minum, dengan besaran koefisien -0,17. Seperti halnya pada
model HCR, sebagian besar koefisien variabel share GDP riil sektoral terlihat tidak signifikan,
dengan pengaruh yang bervariasi antar sektor usaha.
(diukur dengan IGR tertimbang), terlihat bahwa kemiskinan di sektor pertanian, perkebunan,
dan perikanan adalah yang paling tinggi.
3. Hasil perhitungan tingkat kemiskinan sektoral-regional menunjukkan bahwa hampir di semua
daerah sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan merupakan penyumbang terbesar
bagi tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia.
4. Hasil regresi model HCR tertimbang menunjukkan bahwa elastisitas kemiskinan terhadap
pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan di tingkat nasional
sangat tinggi, yakni mencapai -2,97. Hal ini berarti tiap pertumbuhan sebesar 1% di
sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan akan dapat mengurangi kemiskinan nasional
sebesar 2,97%. Sementara itu hasil regresi model HCR sektoral menunjukkan bahwa
elastisitas sektor tersebut dalam mengurangi kemiskinan di sektor yang bersangkutan
sebesar -7,34. Kedua besaran elastisitas tersebut jauh di atas besaran elastisitas sektor-
sektor usaha lainnya, termasuk elastisitas sektor industri pengolahan yang masing-masing
sebesar -0,11 dan -1,51.
5. Koefisien share GDP riil sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan dan sektor industri
pengolahan yang sama-sama bertanda negatif (pada regresi model HCR sektoral dan HCR
tertimbang) mempunyai implikasi yang berbeda. Pada periode observasi share sektor
pertanian, perkebunan, dan perikanan mengalami penurunan, sedangkan share sektor
industri pengolahan mengalami peningkatan. Naiknya share sektor industri pengolahan
dalam hal ini akan mengurangi kemiskinan, sedangkan turunnya share sektor pertanian,
perkebunan, dan perikanan tentunya membuat naiknya tingkat kemiskinan.
6. Hasil regresi model IGR tertimbang juga menunjukkan bahwa sektor pertanian, perkebunan,
dan perikanan merupakan sektor usaha yang elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan
ekonominya paling tinggi, yakni sebesar -1,01. Besaran tersebut menunjukkan bahwa tiap
pertumbuhan ekonomi sebesar 1% akan dapat menurunkan IGR sebesar 1,01%. Berdasarkan
regresi atas model IGR sektoral, terlihat bahwa besaran elastisitas sektor tersebut juga yang
tertinggi, yakni -1,75. Sementara itu pengaruh variabel share GDP riil terlihat bervariasi
antar sektor usaha.
V.2. Rekomendasi
Beberapa hal yang dapat direkomendasikan dari hasil penelitian ini antara lain sebagai
berikut:
1. Dari hasil pengolahan data dan regresi tersebut diketahui bahwa sektor pertanian,
perkebunan, dan perikanan tidak saja merupakan sektor usaha yang paling tinggi tingkat
kemiskinannya, tapi juga mempunyai elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi
Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi 181
paling tinggi. Di samping itu penurunan share sektor usaha tersebut juga turut memperburuk
tingkat kemiskinan Indonesia. Dengan demikian langkah yang paling tepat untuk mengurangi
kemiskinan adalah dengan memberikan perhatian lebih pada sektor pertanian, perkebunan,
dan perikanan.
2. Hasil studi ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi studi-studi lain tentang pertumbuhan
ekonomi dan kemiskinan di Indonesia.
182 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
DAFTAR PUSTAKA
Ahluwalia, Montek S.; Carter, Nicholas G.; dan Chenery, Hollis B. ≈Growth and Poverty in
Developing Countries.∆ Journal of Development Economics, 1979, 6, 299-341.
Balke, Nathan S. dan Slottje, Daniel J. ≈Poverty and Change in the Macroeconomy: A Dynamic
Macroeconometric Model.∆ The Review of Economics and Statistics, Februari 1993, 75(1),
117-122.
Bigsten, Arne dan Levin, Jorgen. ≈Growth, Income Distribution, and Poverty: A Review.∆
Goteborg University Working Paper in Economics, No. 32, November 2000.
Bigsten, Arne dan Shimeles, Abebe. ≈Can Africa Reduce Poverty by Half by 2015? The Case for
a Pro-Poor Growth Strategy.∆ Goteborg University, Agustus 2005.
Datt, Gaurav dan Ravallion, Martin. ≈Is India»s Economic Growth Leaving the Poor Behind?∆
World Bank Policy Research Working Paper, Mei 2002.
de Janvry, Alain dan Sadoulet, Elisabeth. ≈Growth, Poverty, and Inequality in Latin America: A
Causal Analysis, 1970-94, IADB, Februari 1999.
Deininger, Klaus dan Squire, Lyn. ≈New Ways of Looking at Old Issues: Inequality and Growth.∆
Journal of Development Economics, 1998, 57(1998), 259-287.
Friedman, Jed. ≈How Responsive is Poverty to Growth? A Regional Analysis of Poverty, Inequality,
and Growth in Indonesia, 1984-1999.∆ RAND, 2002.
Hoeven, Rolph van der. ≈Poverty and Structural Adjustment: Some Remarks on Tradeoffs between
Equity and Growth.∆ ILO Employment Paper, No. 2004/4, 2004.
Huppi, Monika dan Ravallion, Martin. ≈The Sectoral Structure of Poverty during an Adjustment
Period: Evidence for Indonesia in the Mid-1980s.∆ World Bank Working Papers, No. WPS
529, Oktober 1990.
Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi 183
Knowles, Stephen. ≈Inequality and Economic Growth: The Empirical Relationship Reconsidered
in the Light of Comparable Data.∆ WIDER Discusstion Paper, No. 2001/128, November
2001.
Osmani, S.R. ≈The Employment Nexus between Growth and Poverty: An Asian Perspective.∆
SIDA-UNDP, Maret 2004.
Ravallion, Martin. ≈Growth, Inequality, and Poverty: Looking Beyond Averages.∆ World Bank,
2001.
Ravallion, Martin dan Chen, Shaohua. ≈Measuring Pro-Poor Growth.∆ Economics Letters, 2003,
78(2003), 93-99.
Ravallion, Martin dan Datt, Gaurav. ≈When is Growth Pro-Poor? Evidence from the Diverse
Experiences of India»s States.∆ World Bank, 1999.
Ray, Debraj. Development Economics. New Jersey: Princeton University Press, 1998.
184 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
LAMPIRAN IV.A
Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Tahun 1994 - 2006
Periode
No. Sektor
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Totall ,,5
5
7,54 8,222 1 0,79
7,82 4,70 13,13 , 4,92 3,64 4,50 4,78 5,033 5,68 5,48
Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi 185
LAMPIRAN IV.B
Share GDP Riil Sektoral Tahun 1994 - 2006
Periode
No. Sektor
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
LAMPIRAN IV.C
Tingkat Kemiskinan Regional-Sektoral Tahun 2006
Ukuran Kemiskinan
HCR IGR
No. Propinsi Sektor
% % % %
Sektoral Tertimbang Sektoral Tertimbang
Ukuran Kemiskinan
HCR IGR
No. Propinsi Sektor
% % % %
Sektoral Tertimbang Sektoral Tertimbang
Ukuran Kemiskinan
HCR IGR
No. Propinsi Sektor
% % % %
Sektoral Tertimbang Sektoral Tertimbang
Ukuran Kemiskinan
HCR IGR
No. Propinsi Sektor
% % % %
Sektoral Tertimbang Sektoral Tertimbang
111 Jawa Barat Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 28,79 6,00 18,73 5,95
112 Pertambangan dan Penggalian 15,26 1,06 18,68 1,12
113 Industri Pengolahan 14,34 2,14 16,50 2,01
114 Listrik, Gas, dan Air Minum 6,87 0,02 13,57 0,02
115 Konstruksi 26,28 1,91 20,34 2,21
116 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 14,05 3,35 18,30 3,51
117 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 17,31 1,59 17,86 1,66
118 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 3,75 0,07 15,99 0,07
119 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 11,35 1,55 19,27 1,75
120 Lainnya 16,69 0,18 17,82 0,19
7
17,87 9
18,49
121 Jawa Tengah Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 34,79 11,23 18,29 8,17
122 Pertambangan dan Penggalian 16,10 0,89 18,24 0,68
123 Industri Pengolahan 21,86 3,24 16,82 2,31
124 Listrik, Gas, dan Air Minum 9,38 0,03 4,31 0,00
125 Konstruksi 28,85 2,60 17,33 1,92
126 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 17,00 3,17 16,95 2,30
127 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 25,23 1,51 18,39 1,21
128 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 6,52 0,08 11,77 0,04
129 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 11,75 1,39 15,96 0,96
130 Lainnya 9,52 0,04 14,50 0,03
7
24,17 2
17,62
131 DI Yogyakarta Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 28,06 8,19 15,79 6,52
132 Pertambangan dan Penggalian 5,89 0,64 16,06 0,57
133 Industri Pengolahan 22,47 1,97 17,28 1,88
134 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00
135 Konstruksi 33,40 3,83 16,16 3,39
136 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 12,68 1,99 11,91 1,40
137 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 21,71 1,10 18,06 1,19
138 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 2,41 0,04 15,60 0,04
139 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 4,79 0,81 18,79 0,88
140 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00
1 8
18,58 1 7
15,87
141 Jawa Timur Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 38,23 14,53 21,13 11,20
142 Pertambangan dan Penggalian 19,10 1,25 18,38 0,87
143 Industri Pengolahan 20,14 2,50 18,41 1,77
144 Listrik, Gas, dan Air Minum 8,45 0,03 26,23 0,03
145 Konstruksi 32,01 2,03 19,08 1,50
146 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 17,48 2,93 18,75 2,15
147 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 26,55 1,78 19,14 1,32
148 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 8,15 0,12 21,12 0,10
149 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 12,90 1,47 19,26 1,12
150 Lainnya 25,00 0,01 28,58 0,01
2 5
26,65 2 7
20,07
190 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
Ukuran Kemiskinan
HCR IGR
No. Propinsi Sektor
% % % %
Sektoral Tertimbang Sektoral Tertimbang
151 Banten Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 22,68 5,76 19,41 8,30
152 Pertambangan dan Penggalian 7,07 0,33 15,57 0,41
153 Industri Pengolahan 7,90 1,59 17,63 2,30
154 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00
155 Konstruksi 17,09 1,03 20,16 1,69
156 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 10,46 2,01 15,95 2,58
157 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 10,93 1,11 14,65 1,33
158 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 2,31 0,05 11,40 0,05
159 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 8,00 0,91 12,11 0,91
160 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00
1 9
12,79 1 7
17,57
161 Bali Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 12,19 3,41 13,84 5,43
162 Pertambangan dan Penggalian 7,23 0,18 8,29 0,18
163 Industri Pengolahan 11,05 1,44 15,24 2,62
164 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00
165 Konstruksi 13,12 1,53 15,09 2,81
166 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 4,88 1,00 10,84 1,32
167 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 5,88 0,32 14,09 0,56
168 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 1,51 0,04 5,37 0,03
169 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 3,27 0,50 16,71 1,00
170 Lainnya 7,55 0,02 6,52 0,01
6
8,46 1 5
13,95
171 NTB Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 26,91 11,63 18,23 8,70
172 Pertambangan dan Penggalian 16,70 1,20 18,89 1,01
173 Industri Pengolahan 21,88 1,41 21,50 1,46
174 Listrik, Gas, dan Air Minum 14,75 0,04 11,14 0,02
175 Konstruksi 26,83 1,62 21,46 1,71
176 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 18,20 2,52 19,75 2,45
177 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 25,92 2,18 19,30 2,01
178 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 6,67 0,07 21,46 0,07
179 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 13,01 1,72 22,10 1,90
180 Lainnya 13,64 0,04 19,17 0,04
2 3
22,43 1 8
19,38
181 NTT Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 42,33 29,39 20,51 16,22
182 Pertambangan dan Penggalian 16,54 0,51 14,90 0,26
183 Industri Pengolahan 31,60 1,02 20,87 0,62
184 Listrik, Gas, dan Air Minum 9,64 0,02 10,62 0,01
185 Konstruksi 37,54 1,00 22,99 0,79
186 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 25,93 1,28 19,49 0,88
187 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 26,24 0,88 22,84 0,72
188 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 11,04 0,08 13,93 0,03
189 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 11,03 1,33 19,28 0,88
190 Lainnya 28,47 0,09 16,01 0,04
35,61 20,45
Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi 191
Ukuran Kemiskinan
HCR IGR
No. Propinsi Sektor
% % % %
Sektoral Tertimbang Sektoral Tertimbang
191 Kalimantan Barat Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 15,63 9,49 17,35 9,99
192 Pertambangan dan Penggalian 13,39 0,64 20,26 1,03
193 Industri Pengolahan 16,80 0,59 16,54 0,73
194 Listrik, Gas, dan Air Minum 8,22 0,02 25,15 0,04
195 Konstruksi 21,30 1,13 23,29 2,09
196 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 10,00 1,12 17,51 1,61
197 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 20,52 0,72 15,75 0,92
198 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 5,77 0,04 11,20 0,03
199 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 9,07 0,87 18,99 1,35
200 Lainnya 32,90 0,16 14,75 0,21
8
14,78 9
17,99
201 Kalimantan Tengah Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 12,52 7,48 17,96 12,83
202 Pertambangan dan Penggalian 5,85 0,36 11,39 0,41
203 Industri Pengolahan 11,59 0,43 19,30 0,82
204 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00
205 Konstruksi 13,43 0,66 12,74 0,85
206 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 5,19 0,50 15,37 0,79
207 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 6,94 0,36 14,23 0,53
208 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 3,35 0,02 26,04 0,04
209 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 4,68 0,47 18,45 0,92
210 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00
1 7
10,27 1 9
17,19
211 Kalimantan Selatan Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 12,89 5,69 16,35 8,60
212 Pertambangan dan Penggalian 5,96 0,46 11,71 0,57
213 Industri Pengolahan 9,94 0,65 16,37 1,12
214 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00
215 Konstruksi 11,03 0,61 11,93 0,82
216 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 6,85 1,09 13,23 1,61
217 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 11,09 0,71 20,47 1,58
218 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 6,74 0,06 16,82 0,10
219 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 5,74 0,71 15,08 1,25
220 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00
8
9,98 1 6
15,66
221 Kalimantan Timur Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 30,50 11,41 22,11 15,17
222 Pertambangan dan Penggalian 5,24 0,49 16,34 0,47
223 Industri Pengolahan 9,11 0,70 21,64 0,90
224 Listrik, Gas, dan Air Minum 11,21 0,04 12,85 0,03
225 Konstruksi 13,89 0,96 14,13 0,81
226 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 7,66 1,17 17,54 1,22
227 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 12,36 0,79 19,89 0,93
228 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 3,47 0,09 24,11 0,13
229 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 6,72 0,93 17,51 0,97
230 Lainnya 46,58 0,11 19,67 0,13
1 9
16,69 2 6
20,76
192 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
Ukuran Kemiskinan
HCR IGR
No. Propinsi Sektor
% % % %
Sektoral Tertimbang Sektoral Tertimbang
231 Sulawesi Utara Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 27,35 12,49 20,34 13,57
232 Pertambangan dan Penggalian 6,34 0,41 17,83 0,41
233 Industri Pengolahan 12,03 0,69 12,16 0,46
234 Listrik, Gas, dan Air Minum 5,49 0,02 0,13 0,00
235 Konstruksi 24,64 2,08 18,04 2,12
236 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 8,87 0,87 14,80 0,72
237 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 11,30 0,95 17,61 0,96
238 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 1,46 0,01 11,65 0,01
239 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 5,79 0,78 17,47 0,76
240 Lainnya 22,58 0,10 17,70 0,10
2
18,42 1
19,11
241 Sulawesi Tengah Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 37,06 23,46 20,49 15,37
242 Pertambangan dan Penggalian 19,42 0,55 25,31 0,47
243 Industri Pengolahan 33,33 1,30 18,39 0,83
244 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00
245 Konstruksi 33,04 1,19 19,76 0,86
246 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 12,75 1,02 16,97 0,66
247 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 27,37 1,12 18,62 0,77
248 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 5,85 0,04 20,14 0,03
249 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 12,61 1,64 17,86 1,04
250 Lainnya 27,40 0,08 5,71 0,02
1
30,41 4
20,04
251 Sulawesi Selatan Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 27,49 14,12 18,58 12,20
252 Pertambangan dan Penggalian 10,80 0,66 16,78 0,55
253 Industri Pengolahan 14,94 0,64 17,99 0,57
254 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00
255 Konstruksi 25,10 1,04 18,10 0,98
256 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 12,20 1,50 16,34 1,27
257 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 23,70 1,59 18,17 1,51
258 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 6,31 0,09 5,56 0,03
259 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 8,05 1,06 18,23 1,03
260 Lainnya 14,29 0,04 22,64 0,04
3
20,73 9
18,19
261 Sulawesi Tenggara Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 27,45 13,99 20,19 12,51
262 Pertambangan dan Penggalian 21,01 1,06 23,57 1,16
263 Industri Pengolahan 24,24 1,37 19,56 1,23
264 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00
265 Konstruksi 21,23 0,95 15,54 0,72
266 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 14,83 1,69 19,99 1,67
267 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 24,52 1,60 23,31 1,93
268 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 0,00 0,00 0,00 0,00
269 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 7,10 1,07 19,65 1,09
270 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00
2 3
21,73 2 2
20,32
Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi 193
Ukuran Kemiskinan
HCR IGR
No. Propinsi Sektor
% % % %
Sektoral Tertimbang Sektoral Tertimbang
271 Gorontalo Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 27,68 13,88 18,95 12,88
272 Pertambangan dan Penggalian 15,24 0,70 16,81 0,60
273 Industri Pengolahan 16,93 1,10 16,28 0,92
274 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00
275 Konstruksi 19,52 1,27 13,44 0,96
276 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 9,44 0,92 17,78 0,93
277 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 12,06 1,01 12,94 0,70
278 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 0,00 0,00 0,00 0,00
279 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 6,40 0,81 17,34 0,79
280 Lainnya 32,26 0,08 7,94 0,04
8
19,78 1
17,81
281 Sulawesi Barat Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 29,19 20,85 21,25 15,83
282 Pertambangan dan Penggalian 22,53 0,49 18,91 0,34
283 Industri Pengolahan 20,04 0,70 18,47 0,53
284 Listrik, Gas, dan Air Minum 55,56 0,07 11,81 0,03
285 Konstruksi 35,63 0,92 19,11 0,72
286 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 22,00 1,37 12,33 0,66
287 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 39,37 1,76 20,10 1,48
288 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 10,87 0,07 20,94 0,07
289 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 11,34 0,98 18,38 0,69
290 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00
2 2
27,22 2 5
20,35
291 Maluku Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 38,12 23,95 23,15 18,44
292 Pertambangan dan Penggalian 16,27 0,48 18,30 0,33
293 Industri Pengolahan 31,12 1,67 19,82 1,10
294 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00
295 Konstruksi 27,76 0,76 13,18 0,37
296 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 11,54 0,73 21,19 0,53
297 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 15,49 0,83 16,26 0,48
298 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 4,41 0,04 13,02 0,02
299 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 9,90 1,31 19,43 0,90
300 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00
2 8
29,78 2 6
22,16
301 Maluku Utara Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 16,49 9,70 19,00 13,71
302 Pertambangan dan Penggalian 8,77 0,40 21,89 0,82
303 Industri Pengolahan 23,17 1,20 16,61 1,58
304 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00
305 Konstruksi 7,41 0,37 23,17 0,85
306 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 3,83 0,28 17,34 0,40
307 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 6,94 0,48 14,67 0,67
308 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 0,00 0,00 0,00 0,00
309 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 3,17 0,37 20,31 0,81
310 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00
1 9
12,79 18,85
194 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008
Ukuran Kemiskinan
HCR IGR
No. Propinsi Sektor
% % % %
Sektoral Tertimbang Sektoral Tertimbang
311 Irian Jaya Barat Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 35,31 22,46 21,58 18,16
312 Pertambangan dan Penggalian 12,20 0,21 27,83 0,24
313 Industri Pengolahan 13,95 0,43 17,06 0,29
314 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00
315 Konstruksi 11,58 0,46 18,24 0,34
316 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 8,66 0,72 19,28 0,56
317 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 10,27 0,60 18,44 0,46
318 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 0,00 0,00 0,00 0,00
319 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 12,38 1,55 16,06 0,97
320 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00
2 3
26,43 2 1
21,01
321 Papua Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 45,65 31,19 27,03 24,92
322 Pertambangan dan Penggalian 3,66 0,07 25,43 0,06
323 Industri Pengolahan 12,42 0,18 24,54 0,14
324 Listrik, Gas, dan Air Minum 10,42 0,02 8,92 0,01
325 Konstruksi 7,86 0,18 14,25 0,09
326 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 3,08 0,14 10,69 0,05
327 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 8,83 0,56 20,38 0,35
328 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 5,98 0,05 19,22 0,03
329 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 6,54 0,82 18,70 0,53
330 Lainnya 19,36 0,37 20,32 0,24
3 6
33,56 2 1
26,41
PETUNJUK PENULISAN
1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak
melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang
dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima,
TETAP menjadi hak penulis.
2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial
sebesar Rp 1.000.000,- s.d. Rp 3.000.000,-.
3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan
softcopy anda ke:
submission.bemp@gmail.com
Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan
melalui pos ke alamat redaksi berikut:
4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan
ukuran font 12.
5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation.
6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah
yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan
sebaliknya.
7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal
of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.acaweb.org/journal/
jel class system.html.
I. JUDUL BAB
a. Publikasi buku:
John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch,, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New
Jersey.
c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K.
≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth
Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995,
hal. 397-416.
e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John.. ≈Can Parental Decision Explain
U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.
f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston,, Alan
W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.
g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. ≈Killed by Kindness∆,
Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56.
11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening
Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk
CV (curriculum vitae) lengkap.