Sie sind auf Seite 1von 14

. Acmad Noe’man (1926 ..

Konsep Desain: Islamic Architecture

Manifesto pada perancangan arsitektur yang Islami

Menurut Acmad Noe’man, Arsitektur yang islami Adalah Arsitektur yang berlandaskan pada
Al-qur’an dan As-sunnah....Acmad Noe’man adalah seorang Arsitek yang berlatar belakang
pendidikan Arsitektur Praktik.. Dalam berkarya beliau selalu berusaha memasukkan nilai-
nilai Islam kedalam desainnya. Hal tersebut dimaksudkan beliau agar karya-karyanya lebih
bermakna dan dapat dipertangung jawabkan dihadapan Tuhan kelak. Acmad Noe’man, sebagai
seorang Arsitek, banyak tertarik dengan ajaran-ajaran agama Islam, terutama pada kedua
landasan agama itu yaitu Al-qur’an dan As-sunnah. sedangkan orang yang cukup berpengaruh
pada kehidupannya adalah Muhammad SAW. Khusus pada bidang arsitek Acmad Noe’man
mengagumi Lee Corbusier, Miss Van de Rohe, teori-teori Beahus, karena semua itu tidak
bertubrukan dengan nilai-nilai islami yang mengajarkan agar tidak menciptakan sesuatu yang
berlebih-lebihan. Nilai-nilai islam banyak mempengaruhi manifestasinya dalam berpraktek di
dunia arsitektur.Salah satu Manifesto Acmad Noe’man adalah ” Arsitektur yang islami Adalah
Arsitektur berlandaskan pada Al-qur’an dan As-sunnah”.

Lingkungan binaan tempat seorang arsitek tumbuh dan berkembang, baik secara langsung
maupun tak langsung akan mempengaruhi sikap dan pemikirannya. Terdapat beberapa hal yang
membentuk konteks pemahaman seorang arsitek dalam melakukan pendekatan terhadap desain.
Misalnya masa lalu yang kering dengan agama menyebabkan Acmad Noe’man ingin
menerapkannya baik didalam kehidupan sehari-hari dan dalam praktik arsitektur. Sebagai
seorang muslim Acmad Noe’man berusaha menjadi seorang arsitek agar bisa membela
agamanya dalam bidang arsitektur. Berbekal pengalaman di masa mudanya yang sering
menyaksikan dan mendampingi ayahnya dalam membangun masjid dan sekolah Madrasah
Acmad Noe’man inilah yang membuat dirinya sedikit banyak mengenal bangunan-bangunan
yang diperuntukan untuk ibadah dan belajar.

Dalam berkarya arsitektur, Acmad noe’man berusaha memasukkan nilai-nilai yang terkandung
pada Al-qur’an dan As-sunnah dan mengimplementasikan pada obyek atau sebuah karya yang
berbeda dengan menyesuaikan kebutuhan yang harus dipenuhi pada masing-masing obyek itu.
Menurut Acmad Noe’man Arsitektur islami bukan hanya berbicara pada bentuk-bentuk lengkung
dan atap kubah karena hal ini tidak berdasar pada Al-qur’an dan As-sunnah. Dua landasan ini
selalu dibawa oleh Acmad Noe’man pada karya-karyanya. Tanpa membedakan rancangan yang
akan dihasilkannya. Baik itu Masjid sebagai tempat peribadatan atau rumah sebagai tempat
tinggal dan juga bangunan-bangunan lain. Dengan dua landasan pada islam ini yang
membedakan karya-karya beliau antara arsitektur yang islami dan yang tidak islami. dengan
tujuan untuk bisa mengapresiasi secara lebih tinggi, dan di dalam prosesnya elemen Al-qur’an
dan As-sunnah diangkat dan dimasukan ke dalam proses desain sejak awal pembentukan konsep
bangunan.
Acmad Noe’man menyebutkan bahwa ber-arsitektur bukan hanya berpikir bagaimana
menghasilkan sebuah karya rancangan agar terbangun, tapi lebih memikirkan bagaiman berkarya
yang semuanya diniatkan untuk Tuhan, tanpa harus mengesampingkan kebutuhan dan keinginan
Klien. Beliau selalu mencoba mengajarkan nilai-nilai islami atau dengan kata lain berdakwah
pada rancangan-rancangannya, Dengan menghadirkan apa yang ada pada kedua landasan islam
itu sendiri.

Studi Kasus

Masjid salman ITB

Seperti yang telah menjadi manifesto bagi seorang Acmad Noe’man adalah, Arsitektur yang
islami adalah yang berlandaskan pada Al-qur’an dan As-sunnah kemudian ijtihad sebagai
alternatif terakhir. Dengan berpedoman pada surat Al-baqarah 170 :
” jika dikatakan pada mereka ikutlah jalanku, maka mereka berkata tidak kami mengikuti jalan
orang-orang terdahulu”
Dari ayat ini beliau menangkap bahwa seseorang haruslah memberikan pengarahan untuk selalu
mencari ilmu sekaligus spirit surat ini menganjurkan untuk mengklarifikasi bahwa apa yang
sudah ada selama ini dan turun temurun belum tentu benar. pada masjid ini Acmad Noe’man
hendak mengajarkan ayat ini kepada masyarakat luas bahwa bentuk-bentuk masjid yang selama
ini ada dan juga bentuk kubah dari atap masjid bukanlah sesuatu yang mencerminkan dan
mengandung nilai-nilai islami. Walau begitu Acmad noe’man tidak menyalahkan sepenuhnya
atap masjid yang berbentuk kubah. beliau hanya mencoba mengajarkan bahwa tidak selalu harus
berbentuk kubah sebuah atap masjid / bangunan yang islami.
Foto Masjid Salman

Pada rancangan masjid salman ini dia juga mengambil banyak pedoman dari 3 landasan yang
terdapat pada ajaran islam. Seperti islam mengajarkan selalu untuk menjaga kesucian, maka
segala hal yang mempermudah untuk dapat menjaga kebersihan dan kesucian di hadirkan disini.
Kemudian Acmad Noe’man memakai landasan sebuah hadist”rapikan shaf dan rapatkan
barisan” dari dalil ini beliau mendapatkan pengajaran bahwa sebuah shaf dalam sholat
berjama’ah tidaklah boleh terputus dan harus lurus, maka Acmad Noe’man mencoba meniadakan
kolom pada sebuah masjid. ini dapat dilihat pada masjid salman. pada surat Al-baqarah pula
Acmad Noe’man mengambil spirit dimana manusia diperintahkan menyebarkan ilmu. Dengan
bentuk yang tidak lazim pada tahun 1960, dimana saat itu masjid lebih dominan menghadirkan
bentuk lengkung dan tapa kubah maka disini beliau mencoba mengajarkan bahwa tanpa
menghadirkan bentuk yang selama ini ada, tidak salah. Peletakan toilet pada Masjid rancanganya
tidak luput dari memakai landasan yang ada pada islam, seperti pada sebuah hadist yang
melarang manusia untuk tidak buang air kecil atau besar menghadap kearah kiblat.

Masjid At-tin
“Inallaha jamil yuhibbu jamal” dengan berpedoman pada hadist ini Acmad Noe’man
mengimplementasikan pada masjid At-Tin. Karena pada hadist diatas dikatakan bahwa Allah itu
indah dan menyukai keindahan. Maka nilai-nilai estetis dihadirkan di masjid At-Tin. Seperti
karya-karya yang sebelumnya, pada masjid At-Tin ini Ahmad Nu’man memberikan Ruang
khusus untuk wanita yang disebut sebagai Mezzanine. Agar wanita tidak terlihat oleh jama’ah
laki-laki saat mereka melepas penutup auratnya dan mengantinya dengan pakaian Sholat. Pada
masjid At-Tin, Ahmad Nu’man juga menghadirkan minaret sebagai sarana untuk menyebarkan
suara Adzan kesegala penjuru dengan berpedoman pada hadist. dimana pada jaman Rasulullah
SAW, Para sahabat Nabi mengumandangkan Adzan di atap-atap / tempat yang tinggi agar
didengar oleh orang lain.

Karya Besar Achmad Noe’man


Guru bangsa, Buya Syafii Maarif dalam suatu kesempatan pernah menyampaikan kepada
penulis,” Alm.Sadali dan Noe’man, dua pribadi yang sampai batas-batas yang jauh telah
mewarisi karakter ayahnya sebagai seorang yang tidak hanya sibuk dengan diri sendiri tanpa
memikirkan dan memperhatikan kepentingan masyarakat luas. Noe’man yang arsitek kawakan
telah memahatkan namanya di dinding nasional Indonesia.”

Ir.Achmad Noe’man mewarisi jiwa filantrofi ayahnya, HM. Djamhari. Dakwah dan sosial tidak
bisa dipisahkan. Didikan religius keluarga kuat menancap ditambah tempaan gurunya
di Mu’alimin Yogya, mencetaknya jadi manusia taat beribadah.
Beliau sejak kecil diakrabkan dengan masjid oleh sang ayah. Sayang, semasa kuliah dia merasa
kesulitan untuk menjalankan shalat lima waktu dan shalat Jum’at. Untuk shalat harus berjalan
sejauh 2 km ke Masjid Cipaganti, sementara waktu sempit. Kondisi ini yang menguatkan cita-
citanya membuat masjid di area kampus tempatnya kuliah.

Keteguhannya dalam menjalankan ajaran agama dibuktikan dengan sikap konsistennya ketika
datang waktu shalat. Achmad Noe’man ketika datang waktu shalat, seringkali meminta izin
keluar kelas saat dosennya (bangsa Belanda) sedang mengajar. Sikap konsisten dan
keberaniannya sudah tampak sejak masa remaja. Ketika sekolah MULO dia berani menentang
peraturan Jepang yang mewajibkan “mokto Saikirei” (membungkuk ke arah matahari terbit).

Dalam berkarya, Achmad Noe’man begitu luar biasa, baik secara kuantitas dan kualitas sehingga
dijuluki “Arsitek Seribu Masjid”. Bukan saja di negeri sendiri, bahkan Umat Islam di negeri lain
menikmati karyanya, seperti Masjid di Cape Town, Afrika Selatan, Masjid Al-Fatih di
Amsterdam, Masjid Istiqlal di Bosnia serta Mimbar Masjid Al-Aqsha. Selain masjid besar dan
kecil buah karyanya termasuk renovasi Masjid di istana negara serta sayap Gedung MPR tak
luput dari sentuhannya.

Noe’man Seperti Matahari

Sosok Achmad Noe’man bagaikan matahari tak letih terus mengabdi. Berkarya hingga tutup
usia, baginya tidak ada istilah pensiun dalam berkarya. Sikapnya yang jujur, profesional dan
sederhana—tiada kesan mencari kedudukan dan menumpuk materi—menjadi teladan yang
menginspirasi generasi muda. Melainkan kepribadian unggul yang konsisten mengabdi sesuai
profesi.

Karyanya selalu menampilkan nilai fungsional dan kesederhanaan, meski tetap bercorak modern.
Baginya Masjid harus berfungsi seperti yang diajarkan pedoman hidup Al-qur’an dan Hadis.
Karena itulah masjid yang dibangunnya mengedepankan aspek efisiensi dan kesederhanaan
(tidak bersifat pemborosan).

Karakternya yang tegas dan teguh namun tetap santun dan arif terhadap siapapun, penulis pun
merasakannya. Wajar Hatta Rajasa menyatakan, “Karena kelemahlembutan beliau, ketegangan
yang melanda kami mahasiswa bisa turun emosi dan menjadi tenang, saat mengenang kesulitan
di masa orde baru.” Demikianlah sosoknya sebagai pengayom kalangan generasi muda calon
pemimpin bangsa.

Kelemahlembutan dan kearifannya terinspirasi pula setelah ziarah ke makam Nabi Muhammad.
Ini menyadarkan pentingnya menjadikan Nabi Muhammad sebagai ushwah hasanah. Sekaligus
membuatnya sadar bahwa manusia selalu memiliki kelemahan dan kekurangan, kecuali Nabi
Muhammad yang sempurna dan layak jadi uswah hasanah. (Mustofa W Hasyim dan Ahmad
Munif, 1997:7).
Kehadiran Achmad Noe’man dalam pentas kehidupan di tanah air sepanjang 90 tahun (1926-
2016), seakan memberikan pelajaran bagi bangsa ini yang sedang “sakit”. Jiwa serakah rakus
pada materi dan kesenangan yang ditampilkan banyak pemimpin bangsa di berbagai tingkatan—
yang terjebak kasus korupsi—seakan bagaikan langit dengan bumi, bila mengingat karakter sifat
Achmad Noe’man. Begitu pun dengan kedudukan yang seolah tak membuatnya tergiur, menjadi
kontradiksi dengan banyak para pemimpin di negeri ini, yang justru beramai-ramai menunjukan
ambisi ingin meraih kedudukan. Karena dengan kedudukan itulah bisa meraih serba fasilitas
yang menyenangkan serta limpahan materi.

Beliau mengajarkan bahwa kesejatian hidup ini bersumber dari sikap mandiri disertai ketulusan.
Hal ini akan melahirkan jiwa dan sikap merdeka. Seperti dirinya yang berani menolak secara
halus tawaran dikirim kuliah Master di Kentucky, Amerika Serikat saat pemerintahan Soekarno,
demi memilih usaha mandiri mendirikan Biro Arsitek Achmad Noe’man (Birano).

Hidup untuk berkarya, pantas meskipun sudah usia di atas 80-an Achmad Noe’man terus
berkreasi. Selain membuat rancangan desain masjid dan gedung, beliau pun tekun mendesain
kaligrafi untuk ornamen masjid dan buku. Salahsatu karyanya adalah desain cover Mushaf Al-
Quran yang ada di Bait Al-Quran, Jakarta.

Selain wujud bangunan yang indah, unik dan berfungsi untuk ibadah ritual, desain masjid
karyanya memberikan kontribusi perubahan sosial bagi bangsa ini. Menjadi pelopor pendirian
masjid sebagai pusat gerakan sosial dan peradaban memadukan Intelektual, spiritual, dan
kesalehan sosial. Ini sesuai dengan konsepnya dalam bukunya “The Mosque as A Community
Development Centre.” Masjid Salman pun menjadi model bagi lahirnya masjid-masjid kampus
dalam hal gerakan pemberdayaan mahasiswa sebagai kadernya.

Idealisme dan karakter filantrofi serta jiwa pengabdiannya tetap hidup dan menjadi teladan.
Mengenang jejak amalnya diharapkan bisa menginspirasi generasi muda di tengah kondisi
bangsa yang mengalami “sakit” moralitas kepemimpinan yang tergerus mentalitas memuja
materialisme. Almarhum Achmad Noe’man layak mendapat penghormatan semisal Bintang
Mahaputra dari pemerintah, jasanya luar biasa bagi bangsa dan negara yang telah mengharumkan
bangsa dan negara di kancah internasional.
RumahCom – Achmad Noe’man mendedikasikan ilmu dan hidupnya untuk mendesain masjid di
Indonesia dan mancanegara. Ialah yang mempelopori bangunan masjid tanpa kubah, salah satunya
Masjid Salman, yang terletak di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Selain masjid Salman di
ITB, karyanya juga sampai ke luar negeri, yaitu Masjid Indonesia di Sarajevo, Bosnia dan Masjid
Lambung Mangkurat di Banjarmasin. Ia juga merupakan salah satu pendiri Ikatan Arsitek Indonesia.
Wah, seperti apa hasil karya yang telah dicetuskannya? Simak ulasan yang dikutip dari
laman Balkonie.com berikut ini.
Salah satu karya beliau yaitu Masjid Indonesia, Sarajevo, Bosnia. Image via flickr.com

Lahir di Garut tahun 1924, anak dari seorang pendiri Muhammadiyah Garut ini juga turut andil dalam
pembangunan sarana pendidikan seperti sekolah, asrama hingga masjid. Disinilah ia
mulai tertarik pada bidang arsitektur. Ditarik lebih jauh, ketertarikan Noe’man juga dipengaruhi
ayahnya dalam membangun infrastruktur pendidikan di lingkungan Muhammadiyah.
Sempat mengenyam pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Budi Priyayi Ciledug, Garut,
beliau kemudian berlanjut ke jenjang Meer Uitgebreid Lager Onderweijs (MULO) yang sempat
ditutup, sehingga mengharuskan beliau untuk pindah ke MULO Yogyakarta dan melanjutkan ke
SMA Muhammadiyah, Yogyakarta.
Ketika Indonesia mulai memasuki zaman revolusi, Noe’man bergabung dengan Divisi Siliwangi dan
hijrah ke Jakarta dan mengemban tugas sambil bersekolah di Sekolah Menengah Atas Republik.
Image via www.indesignlive.co.id

Ia bercita-cita menjadi Arsitek dan di tahun 1948 meneruskan pendidikan ke Universitas Indonesia di
Bandung. Namun, universitas tersebut tidak menyediakan jurusan yang diinginkan sehingga ia
memilih masuk jurusan bangunan Fakultas Teknik Sipil.
Noe’man sempat meninggalkan bangku kuliah untuk bergabung dengan CPM (Corps Polisi Militer)
pada masa penyerahan kekuasaan dari Belanda terhadap TNI. Saat itu ia masuk dengan pangkat
Letnan Dua dan menekuni karir militer hingga tahun 1953.
Ia akhirnya mengundurkan diri ketika mengetahui bahwa Universitas Indonesia membuka jurusan
arsitektur.
Image via rumahpengetahuan.web.id

Noe’man mendapat kesempatan untuk melanjutkan S2 di Kentucky, Amerika Serikat, namun


kesempatan itu ditolaknya. Ia memilih mengembangkan bidang arsitektur di negaranya sendiri
dengan mengajar sebagai dosen di ITB dan membuka Biro Arsitektur Achman Noe’man (Birano).
Sebelum menjadi dosen, pria asli Garut ini sempat menjadi asisten dosen. Pada periode itu pula,
Noe’man mencetuskan ide pembangunan masjid di kawasan kampus ITB. Alasannya sederhana,
saat itu para mahasiswa harus berjalan sejauh 2,5 kilometer.
Ia menyampaikan usul itu kepada Kokasih, yang pada saat itu menjabat sebagai rektor ITB,
Sayang Kokasih menolak usulan Noe’man dengan alasan takut akan menimbulkan kecemburuan
kepada dosen agama lain.
Noe’man tidak menyerah. Ia tetap berusaha mewujudkan idenya. Jalan mulai terbuka melalui
mahasiswanya, Ajat Sudrajat, yang memiliki seorang paman tentara berpangkat mayor bernama
Sobur.
Mendengar kabar itu, Sobur, yang pada saat itu bertugas menjaga Presiden Soekarno dengan
pasukan Tjakrabirawa, segera menyampaikan berita itu kepada Ir. Soekarno. Berita tersebut di
sambut baik oleh Bung Karno dan mengundang Noe’man beserta kakaknya Achmad Sadeli.
Noe’man bertemu Bung Karno, yang saat itu didampingi Menteri Agama, di Istana Negara. Segera
saja ia sampaikan ide pembangunan masjid lengkap dengan gambar yang rupanya telah ia kerjakan
selama dua tahun terakhir.
Tanpa pikir panjang, Bung Karno langsung setuju dengan idenya. Presiden pertama RI itu juga
menyumbang nama untuk masjid buatan Noe’man yaitu Masjid Salman. Nama Salman sendiri
diambil dari Salman Al Farisi, panglima perang yang cerdas pada zaman Nabi Muhammad SAW.
Pembangunan Masjid Salman dimulai pada tahun 1964 dan diresmikan pada tahun 1972. Masjid ini
cukup unik karena tidak seperti kebanyakan masjid di Indonesia, Masjid Salman dibuat tanpa kubah
dan tiang penyangga.
Masjid Salman ITB ini sudah berusia lebih dari setengah abad. Foto: Salmanitb.com

Seperti lazimnya, hal baru selalu menimbulkan pro dan kontra. Tak sedikit yang mengritik desain
Noe’man. Namun sang arsitek tak risau. ia menjelaskan bahwa di Al- Quran tidak mengharuskan
sebuah masjid untuk memiliki kubah.
Selain itu, ia juga memiliki alasan teknis. Kubah memilikki bobot yang berat dan harus ditopang oleh
tiang penyangga. Sejumlah tiang ini mau tidak mau harus ditempatkan di tengah-tengah yang pada
akhirnya justru menghalangi shaf (barisan orang Shalat) dan juga menghalangi pandangan Jamaah
ke Khatib.
Di usianya yang menginjak 91 tahun, Noe’man masih terlihat bugar. Ia mengaku kesehatannya ini
tak lepas dari kebiasaannya berolahraga di masa muda.(Aditya Putra/ Fathia Azkia)
Achmad Noeman (rumah.com)

Noeman merupakan salah satu arsitek kebanggaan Indonesia.


Dia telah melahirkan sejumlah karya besar antara lain Masjid
Salman ITB, masjid tanpa kubah dan tiang.

Dream - Indonesia baru saja kehilangan salah satu putra terbaiknya. Achmad Noeman,
sang arsitek `Seribu Masjid` yang meninggal dunia di usia 90 tahun, pada Senin sore
kemarin setelah menjalani perawatan di RS Borromeus, Bandung.

Noeman merupakan arsitek yang membangun sejumlah masjid di Indonesia dan dunia.
Beberapa hasil karyanya adalah Masjid Salman ITB, Masjid Al-Hurriyah, Institut Pertanian
Bogor (IPB), Masjid Amir Hamzah di Taman Ismail Marzuki, Masjid At Tin Jakarta, Masjid
Indonesia di Sarajevo Bornia.

Dia dikenal sebagai pelopor bangunan masjid tanpa kubah dan tiang. Seluruh masjid yang
dirancang tidak memiliki kolom di dalam ruangannya.

Noeman lahir di Garut, 10 Oktober 1926. Ayahnya, Muhammad Jamhari merupakan


saudagar dan ulama yang bergelut di organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah.

Semasa hidup, Jamhari mendirikan sejumlah bangunan untuk fasilitas pendidikan di


lingkungan Muhammadiyah Garut seperti sekolah, asrama, sampai masjid. Hal ini membuat
Noeman tertarik dengan dunia arsitektur sejak kecil.
Noeman kecil mulai bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Budi Priyayi,
sekolah setingkat SD, di Garut. Dia lalu melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager
Onderweijs (MULO) setingkat SMP di Garut.

Di tengah jalan, situasi mengharuskan Noeman pindah ke MULO Yogyakarta lantaran


sekolahnya di Garut ditutup. Dia kemudian melanjutkan ke SMA Muhammadiyah
Yogyakarta.

Karena ada pemberlakuan wajib militer oleh Pemerintah Republik saat itu, Noeman tidak
melanjutkan pendidikan di SMA Muhammadiyah Yogyakarta dan bergabung dengan Divisi
Siliwangi dan ditugaskan di Jakarta. Di sela bertugas, Noeman melanjutkan sekolah di SMA
Republik di Jakarta.

Lulus SMA Republik, Noeman ingin mewujudkan cita-citanya menjadi arsitek dengan
berkuliah di Universitas Indonesia cabang Bandung, yang kelak berganti nama menjadi
Institut Teknologi Bandung (ITB).

Sayangnya, universitas ini tidak memiliki jurusan arsitektur, sehingga Noeman memutuskan
kuliah di jurusan pembangunan Fakultas Teknis Sipil pada 1948.

Setahun kemudian, kekuasaan militer beralih dari Belanda ke TNI, dan dibentuk Corps
Polisi Militer (CPM). Noeman menjadi salah satu anggota di kesatuan tersebut.

Dia menjalani karir sebagai tentara dalam beberapa tahun dan terpaksa meninggalkan
kuliah. Pada 1953, karena ITB membuka jurusan arsitek, Noeman memutuskan
menghentikan karir militernya untuk mengejar cita-cita sebagai arsitek dan lulus pada 1958.

Lulus dan bergelar insinyur, Noeman diproyeksikan mengambil program magister arsitektur
di Kentucky, Amerika Serikat oleh almamaternya. Tetapi, promosi tersebut tidak diambilnya
dan lebih memilih membuka perusahaan jasa arsitektur Biro Arsitek Achmad Noeman
(Birano) sekaligus mengajar di ITB.

Pada 1959, Noeman memiliki ide untuk membangun sebuah masjid di lingkungan kampus
ITB. Ide ini muncul lantaran melihat para mahasiswa Muslim harus berjalan kaki sejauh 2,5
kilometer untuk salat berjamaah.
Ide tersebut dia sampaikan kepada Rektor ITB kala itu dijabat oleh Kokasih. Sayangnya,
ide tersebut ditolak dengan alasan tidak ingin menimbulkan kecemburuan di kalangan
dosen beragama lain.

Ide Noeman ternyata diketahui oleh seorang mahasiswanya, Ajat Sudrajat. Ajat kemudian
menyampaikan ide tersebut ke pamannya yang merupakan anggota Resimen Tjakrabirawa,
Mayor Sobur, hingga akhirnya sampai ke telinga Presiden Soekarno.

Bung Karno lantas memanggil Noeman ke Istana Negara. Bersama Menteri Agama,
Noeman bertemu dan menyampaikan idenya kepada Bung Karno, lengkap
dengan gambar arsitektur masjid yang ternyata sudah dibuatnya selama dua tahun.

Tidak butuh waktu lama, Bung Karno langsung menyatakan persetujuannya. Bahkan, Bung
Karno sendiri yang memberi nama masjid tersebut dengan nama Salman, terinspirasi dari
panglima perang yang terkenal cerdas masa Rasulullah Muhammad SAW, Salman Al
Farisi.

Pembangunan masjid tersebut dimulai pada 1964 dan diresmikan pada 1972. Berdirinya
Masjid Salman membuat nama Noeman berkibar di dunia arsitektur Indonesia, bahkan
dunia.

Bentuk arsitektur Masjid Salman sebenarnya sempat mendapat cemoohan lantaran tidak
memiliki kubah. Tetapi, Noeman kemudian menjelaskan tidak ada aturan baku dalam
Alquran yang mengharuskan masjid harus memiliki kubah.

Di samping itu, Noeman berpandangan bentuk kubah memiliki beban yang berat dan harus
disangga dengan tiang. Tiang penyangga harus dibangun tepat di tengah area salat.

Bagi Noeman, hal itu justru menghalangi shaf dan membuat jemaah terhalangi ketika
memandang khatib.

Das könnte Ihnen auch gefallen