Sie sind auf Seite 1von 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tubuh manusia memiliki sistem pertahanan yang dapat menyerang
segala benda asing yang masuk, termasuk mikroorganisme asing.
Didalamnya akan terjadi berbagai mekanisme pertahanan untuk
membunuh segala mikroorganisme patogen yang masuk dan mengancam
kerja tubuh. Salah satu bentuk respon yang dihasilkan adalah demam.
Demam merupakan suatu bentuk manifestasi dari inflamasi atau
radang akut, yang ditandai dengan adanya peningkatan suhu tubuh.
Demam timbul sebagai respons terhadap substansi pirogen yang terjadi
melalui stimulasi sintesis prostaglandin di sel vaskular dan perivaskular di
hipotalamus (Kumar et. al, 2015). Dewasa ini banyak dikalangan
masyarakat yang menggunakan parasetamol untuk menyebuhkan demam.
Namun, banyak pula dikalangan masyarakat yang belum mengetahui
dengan jelas tentang kelebihan dan kekurangan parasetamol sebagai obat
penurun demam.
Selain parasetamol yang digunakan untuk menurunkan demam,
dokter juga biasanya menyarankan pasiennya untuk meminum antibiotik
bagi demam yang disebabkan oleh bakteri atau mikroorganisme patogen
lainnya. Tidak hanya demam, namun berbagai infeksi yang diakibatkan
oleh mikroorganisme dapat diberikan antibiotik. Mahasiswa kedokteran
harus mengetahui mekanisme kerja parasetamol terhadap demam dan
mekanisme kerja antibiotik terhadap berbagai jenis infeksi ataupun demam
yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen, yang dipelajari dalam
modul Biologi Molekuler. Hal ini sangat penting sebagai pedoman ketika
sudah menjadi seorang dokter.

1
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui fungsi antibiotik
2. Untuk mengatahui mekanisme kerja antibiotik
3. Untuk mengetahui tentang resistensi bakteri terhadap antibiotik
4. Mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik dari parasetamol dan
antibiotik
5. Mengatahui agen-agen penyebab infeksi

1.3 Pemicu 3
Amir menderita demam sudah 3 hari, kemudian Amir berobat ke
dokter praktek dan berdasarkan hasil pemeriksaan, sang dokter
meresepkan antibiotic dan obat penurun demam parasetamol. Amir
diberitahu oleh dokter bahwa Amir mengalami infeksi bakteri dan
dianjurkan untuk minum antibiotic sampai habis walaupun demamnya
sudah turun. Amir hanya bisa menelan pil dengan meminum teh hangat.
Amir bertanya kepada dokter apakah kedua obat tersebut boleh diminum
menggunakan air teh. Dokter menjelaskan bahwa kedua obat tersebut
boleh diminum bersamaan dengan air teh.

1.4 Klarifikasi dan Definisi


 Antibiotik
Zat kimiawi yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme yang
mempunyai kemampuan untuk membunuh atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme lainnya. [1]
 Parasetamol
Obat analgetik non narkotik dengan cara kerja menghambat
sintesis prostaglandin terutama di sistem saraf pusat. [2]
 Obat
Bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi
atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,

2
pencegahan, penyembuhan, pemullihan, peningkatan kesehatan
dan kontrasepsi untuk manusia. [3]
 Demam
Peninggian suhu dari variasi suhu normal sehari-hari yang
berhubungan dengan peningkatan titik suhu.[1]
 infeksi
Infeksi adalah perstiwa masuk dan penggandaan mikroorganisme
di dalam tubuh penjamu. [4]
 Bakteri
Mikroorganisme bersel satu yang berbeda dengan mikroorganisme
lainnya dimana bakteri tidak memiliki membran inti dengan
organel seperti mitokondria, kloroplas dan lisosom. [5]

1.5 Kata Kunci


 Amir demam 3 hari
 Berobat ke dokter
 Infeksi bakteri
 Antibiotik
 Parasetamol
 Obat harus dihabiskan
 Air teh
 Hanya bisa meminum pil

1.6 Rumusan Masalah


Bagaimana mekanisme kerja antibiotik dan obat parasetamol yang
diminum bersama air teh, terhadap demam yang dialami Amir selama 3
hari yang disebabkan oleh infeksi bakteri?

3
1.7 Analisis Masalah

Amir

Infeksi bakteri Demam 3 hari

Parasetamol Parasetamol

Menghambat sintesis
Menghambat sintesis prostaglandin
protein

Menghambat sintesis
Menghambat histamin
pembantukan dinding
sel

Merusak membran

Merusak asam nukleat

Menghambat
metabolisme

Sembuh

4
1.8 Hipotesis
Mekanisme kerja antibiotik dan parasetamol untuk penyembuhan
demam adalah dengan membunh bakteri dan menghambat kerja
prostaglandin serta histamin dan pengonsumsian obat bersamaan dengan
air teh akan mengganggu kerja obat.

1.9 Learning Issue


A. Infeksi
1. Definisi
2. Proses infeksi
3. Gejala
4. Pertahanan tubuh terhadap infeksi
5. Tipe infeksi
6. Mikroorganisme penyebab infeksi
7. Jalur masuk mikroorganisme yang menyebabkan infeksi
B. Demam
8. Definisi
9. Mekanisme demam
C. Antibiotik
10. Klasifikasi
11. Farmakokinetik
12. Farmakodinamik
13. Mekanisme kerja antibiotik pada bakteri
D. Parasetamol
14. Definisi
15. Farmakokinetik
16. Farmakodinamik
17. Indikasi
18. Kontradiksi
19. Efek samping
20. Interaksi obat parasetamol dengan antibiotik

5
E. Resistensi
21. Definisi resistensi terhadap antibiotik
22. Mekanisme resistensi bakteri
F. Air teh
23. Kandungan
24. Pengaruh air teh terhadap obat

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Infeksi
1. Definisi
Infeksi adalah perkembangbiakan suatu agen infeksius di dalam
tubuh. Perkembangbiakan bakteri yang merupakan bagian dari flora
normal saluran cerna, kulit, dan lain-lain, secara umum tidak dianggap
sebagai suatu infeksi; sebaliknya perkembangbiakan bakteri patogen
(misalnya Salmonella sp) meskipun orang tersebut tidak menunjukan
gejala, dianggap sebagai suatu infeksi. [6]
Infeksi adalah perstiwa masuk dan penggandaan
mikroorganisme di dalam tubuh penjamu. [4]
2. Proses infeksi
Infeksi terjadi secara progresif dan beratnya infeksi pada klien
tergantung dari tingkat infeksi, patogenisitas mikroorganisme dan
kerentanan penjamu. Dengan proses perawatan yang ttepat maka akan
meminimalisir penyebaran dan meminimalkan penyakit.
Perkembangan infeksi mempengaruhi tingkat asuhan keperawatan
yang diberikan. Berbagai komponen dari sistem imun memberikan
jaringan kompleks mekanisme yang sangat baik yang jika utuh,
berfungsi mempertahankan tubuh terhadap mikroorganisme asing dan
sel-sel ganas. [7]
Pada beberapa keadaan, komponen-komponen baik respon
spesifik maupun non spesifik bisa gagal dan hal tersebut bisa
mengakibatkan kerusakan pertahanan hospes. Orang-orang yang
mendapat infeksi yang disebabkan oleh defisiensi dalam pertahanan
dari segi hospesnya disebut hospes yang melemah. Sedangkan orang-
orang dengan kerusakan mayor yang berhubungan dengan respon
imun spesifik disebut hospes yang terimunosupres. [7]

7
Ciri-ciri umum yang berkaitan dengan hospes yang melemah
adalah: infeksi berulang, infeksi kronik, ruam kulit, diare, kerusakan
pertumbuhan dan meningkatnya kerentanan terhadap kanker tertentu.
[7]

3. Gejala atau tanda-tanda infeksi


Tanda-tanda infeksi (peradangan) ini oleh Celsus, seorang
sarjana Roma yang hidup pada abad pertama sesudah Masehi, sudah
dikenal dan disebut tanda-tanda infeksi utama. Tanda-tanda infeksi ini
masih digunakan hingga saat ini. Tanda-tanda infeksi
mencakuprubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa sakit),
dan tumor (pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan
pada abad terakhir yaitu functio laesa (perubahan fungsi). [4]
a. Dolor
Dolor adalah rasa nyeri, nyeri akan terasa pada jaringan yang
mengalami infeksi. Ini terjadi karena sel yang mengalami infeksi
bereaksi mengeluarkan zat tertentu sehingga menimbulkan nyeri
menangis. Rasa nyeri mengisyaratkan bahwa terjadi gangguan atau
sesuatu yang tidak normal [patofisiologis] jadi jangan abaikan rasa
nyeri karena mungkin saja itu sesuatu yang berbahaya. [4]
b. Kalor
Kalor adalah rasa panas, pada daerah yang mengalami infeksi
akan terasa panas. Ini terjadi karena tubuh mengkompensasi aliran
darah lebih banyak ke area yang mengalami infeksi untuk
mengirim lebih banyak antibody dalam memerangi antigen
atau penyebab infeksi. [4]
c. Tumor
Tumor dalam kontek gejala infeksi bukanlah sel kanker
seperti yang umum dibicarakan tidak boleh tapi pembengkakan.
Pada area yang mengalami infeksi akan mengalami pembengkakan
karena peningkatan permeabilitas sel dan peningkatan aliran darah.
[4]

8
d. Rubor
Rubor adalah kemerahan, ini terjadi pada area yang
mengalami infeksi karena peningkatan aliran darah ke area tersebut
sehingga menimbulkan warna kemerahan. [4]
e. Fungsio Laesa
Fungsio laesa adalah perubahan fungsi dari jaringan yang
mengalami infeksi. Contohnya jika luka di kaki mengalami infeksi
maka kaki tidak akan berfungsi dengan baik seperti sulit berjalan
atau bahkan tidak bisa berjalan. [4]
4. Pertahanan tubuh terhadap infeksi
a. Imunologi terhadap bakteri
Bakteri yang masuk kedalam tubuh akan langsung diserang
oleh pertahanan yang ada di tubuh berupa sistem imun non spesifik
berupa fagosit, komplemen, APP dan sistem imun spesifik. [8]
1) Imunologi bakteri ekstraseluler
Bakteri ekstraseluler dapat hidup dan berkembang biak
diluar sel penjamu, seperti pada jaringan ikat, lumen saluran
napas, dan lumen saluran cerna. Biasanya bakteri yang
melakukan hal seperti ini adalah bakteri yang patogenik,
menimbulkan penyakit yang yang dapat berupa inflamasi yang
menimbulkan kerusakan jaringan, bahkan dapat mmembentuk
nanah/infeksi supuratif. [8]
a) Imunitas nonspesifik
Komponen utama dalam imunitas nonspesifik
terhadap bakteri ekstraseluler yaitu sistem komplemen,
fagositosis, dan respons inflamasi. Bakteri yang melekat
dan mengekspresikan manosa pada permukaanya, dapat
diikat dengan lektin yang homolog dengan C1q, sehingga
akan mengaktifkan komplemen melalui jalur lektin,
meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Selain itu MAC
dapat menghancurkan membrane bakteri. Pengaktifan dari

9
sistem komplemen akan mengarahkan danmengaktifkan
leukosit, sehingga dapat membantu dalam proses
fagositosis. Fagosit dapat mengikat bakteri dengan adanay
reseptor ( TLR) yang akan meningkatkan aktivasi dari
leukosit dan fagositosis. Fagosit yang diaktifkan akan
menuju tempat infeksi. [8]
b) Imunitas spesifik
Dalam imunitas spesifik ini hal yang paling berperan
adalah antibody. Antibody adalah komplemenyang
berfungsi untuk menyingkirkan mikroba dan menetralkan
toksinnya. Th2 akan memproduksi sitokin yang
merangsang respon sel B, aktivasi makrofag dan
inflamasi. Sitokin diproduksi oleh makrofag untuk
menimbulkan inflamasi dan syok septic. Komplikasi
lambat respon imun humoral dapat berupa penyakit yang
ditimbulkan oleh antobodi , seperti infeksi streptococcus
di tenggorokan dan kulit yang menimbulkan manifestasi
penyakit setelah beberapa minggu dan bulan. [8]
2) Imunologi bakteri intraseluler
Ciri utama bakteri intraseluler adalah kemampuannya
untuk hidup dan berkembang biak dalam fagosit, dengan tujuan
supaya antibody tidak dapat mengenali mikroba. Sehingga untuk
mengeliminasi bakteri tersebut membutuhkan sistem imun
seluler. [8]
a) Imunitas nonspesifik
Dalam imunitas nonspesifik ini, yang berperan utama
adalah sel NK (natural killer dan fagosit ). Fagosit akan
menelan dan menghancurkan mikroba. Bakteri intraseluler
dapat mengaktifkan sel NK secara direk atau melalui
aktivitas makrofag yang memproduksi IL-12, sitokin poten
yang mengaktifkan se NK. Sel NK akan memproduksi IFN-

10
γ yang kembali mengaktifkan makrofag, sehingga daya atau
kemampuan untuk membunuh bakteri semakin banyak. [8]
b) Imunitas spesifik
Proteksi utama dalam sistem imun spesifik adalah
imunitas seluler yang terdiri dari 2 tipe reaksi yaitu sel CD+4
Thl yang mengktifkan makrofag yang memproduksi IFN-γ
dan sel CD+8 yang memacu pembunuhan mikroba dan lisis
sel yang terinfeksi.
Bakteri intraseluler seperti Listeria monositogenes
dimakan makrofag dan dapat hidup dalam fagosom dan
masuk dalam sitoplasma. [8]
b. Imunologi terhadap virus
Virus menginfeksi dan membelah diri dalam sel penjamu dan
virus mampu mengarahakn mesin sel penjamu untuk mensintesis
partikel infeksi baru. Respon imun terhadap protein virus melibatkan
sel T dan sel B. Antigen virus yang menginduksi antibody dapat
menetralkan virus dan sel T sitotoksik yang spesifik. [8]
a) Imunitas nonspesifik (humoral dan seluler)
Efektor yang berperan adalah IFN tipe 1 dan sel NK yang
akan membunuh sel yang terinfeksi. IFN tipe 1 mencegah
replikasi virus dalam sel yan terinfeksi dan sel sekitarnya yang
menginduksi lingkunga anti-viral. IFN-α dan IFN-β mencegah
replikasi virus pada sel. Sel NK mengenal sel terinfeksi yang
tidak mengekspresikan MHC-1. Untuk membunuh virus sel NK
tidak memerlukan bantuan molekul MHC-1. [8]
b) Imunitas spesifik
1) Imunitas spesifik humoral
Antibody adalah efektor utama dalam imunitas
spesifik humoral terhadap infeksi virus. Antibodi diproduksi
dan hanya efektif terhadap virus pada fase ekstraselueler.
Virus dapat ditemukan ekstraseluler pada awal infeksi

11
sebelum virus masuk kedalam sel atau bila dilepas oleh sel
terinfeksi yang dihancurkan. Antibody dapat menetralkan
virus, mencegah virus menempel pada sel dan masuk
kedalam sl penjamu. Antibody dapat berperan sebagai
opsonin yang meningkatkan eliminasi partike virus oleh
fagosit. [8]
2) Imunitas spesifik seluler
Virus yang berhasil masuk ke dalam sel tidak rentan
lagi terhadap efek antibody. Respons imun terhadap virus
intraseluler tergantung dari sel CD8+/CTL yang membunuh
sel terinfeksi. CTL mengenal antigen virus yang sudah
dicerna dalam sitosol, dan CTL memerlukan sitokin. [8]
5. Tipe infeksi
a. Kolonisasi
Merupakan suatu proses dimana benih mikroorganisme
menjadi flora yang menetap/residen. Mikroorganisme bisa tumbuh
dan berkembang biak tetapi tidak bisa menimbilkan penyakit.
Infeksi terjadi ketika mikroorganismme yang menetap tadi sukses
menginvasi/menyerang bagian tubuh/host manusia yang system
pertahanannya tidak efektif dan pathogen, menyebabkan kerusakan
jaringan. [4]
b. Infeksi local
Spesifik dan terbatas pada bagian tubuh dimana
mikroorganisme tinggal. [4]
c. Infeksi sistemik
Terjadi bila mikroorganisme menyebar kebagian tubuh yang
lain dan menimbulkan kerusakan. [4]
d. Bakterimia
Terjadi ketika diddamalam darah ditemukan adanya bakteri.[4]

e. Septikimia

12
Multiplikasi bakteri dalam darah sebagai hasil dari infeksi
sistemik. [4]
f. Infeksi Akut
Infeksi dalam waktu singkat. [4]
g. Infeksi kronik
Infeksi yang terjadi secara lambat dalam periode yang lama
(dalam hitungan bulan/tahun). [4]
6. Mikroorganisme penyebab infeksi
a. Bakteri
Bakteri merupakan penyebab terbanyak dari infeksi. Ratusan
spesies bakteri dapat menyebabkan penyakit pada tubuh manusia
dan dapat hidup didalamnya, bakteri bisa masuk melalui udara, air,
tanah, makanan, cairan dan jaringan tubuh dan benda mati lainnya.
[9]

b. Virus
Virus terutama berisi asam nukleat (nucleic acid), karenanya
harus masuk dalam sel hidup untuk diproduksi. [9]
c. Fungi
Fungi terdiri dari ragi dan jamur. [9]
d. Parasit
Parasit hidup dalam organisme hidup lain, termasuk
kelompok parasit adalah protozoa, cacing dan arthropoda. [9]
7. Jalur masuk mikroorganisme yang menyebabkan infeksi
a. Kulit
Kulit manusia secara normal dihuni oleh bakteri dan jamur,
lapisan kulit luar yang padat, dan berkeratin dan mengandung
mikroba residen yang secara terus menerus dilepaskan dan
diperbarui. Pada umumnya kulit yang basah lebih permeable
terhadap mikroorganisme. Sebagian mikroorganisme mampu
menembus kulit utuh, tetapi banyak yand dapat memasuki kelenjar
keringat atau kelenjar sebasea dan folikel rambut dan bertahan

13
ditempat tersebut. Sekresi keringat dan minyak mempunyai pH
asam dan zat kimia tertentu yang memiliki sifat antimikroba yang
cenderung mengeliminasi organisme yang pathogen, contohnya
lisozim yang merupakan suatu enzim yang melarutkan beberapa
dinsing sel bakteri, terdapat dalam kulit dan dapat memberi
perlindungan terhadap mikroorganisme. Lisozim juga terdapat di
air mata dan secret saluran napas, dan secret serviks. Untuk
pertahanan tubuh sendiri, kulit dapat menghasilkan sejumlah gen
antimikroba, termasuk sebuah protein yang bersifat antimikroba
yang disebut psoriasin. [6]
Virus menembus kulit yang sangat lembab sewaktu
berhubungan kelamin. Sebagian mikroorganisme masuk melalui
lesi kulit termasuk tusukan superficial ( infeksi jamur), luka dalam
( stafilococus). [6]
b. Membrane mukosa
Pada saluran napas, lapisan tipis mukosa menutupi
permukaan dan terus-menerus disorong ke atas oleh sel-sel bersilia
menuju lubang pengeluaran alami, dan bakteri cenderung untuk
menempel pada lapisan tipis ini. Proses infeksi pada beberapa
mikroorganisme yaitu pelekatan pada sel epitel permukaan melalui
protein permukaan bakteri yang adhesive,namun apabila sel
memiliki imunoglunulin A (IgA) maka hal ini dapat dicegah,
dimana organism akan memecah antibody menggunakan suatu
protease untuk mengatasi mekanisme resistensi. [6]
Ketika mikroorganisme memasuki membrane mukosa,
mikroorganisme akan dimakan oleh sel fagosit dan dibawa ke
pembuluh limfe regional lalu ke kelenjar limfe. Apparatus
mukosiliar mengeluarkan mikroorganisme pada saluran napas yang
dibantu oleh makrofag paru. Akan tetapi pathogen pernapasan yang
virulensi dan lolos dari sistem pertahanan tubuh, dimana bakteri
tersebut akan melalui hemaglutinin menuju karbonhidrat pada sel

14
epitel saluran nafas bawah dan faring. Contohnya virus influenza
menggunakan minidase untuk mengurangi kekentalan mucus dan
dapat membebaskan diri dari perangkap. [6]
Pada saluran cerna, air liur juga membantu dalam mencegah
mikroorganisme untuk masuk kedalam tubuh, dimana air liur ini
menganddung enzim hidrolitik, lalu dilambung dimana dilambung
memiliki HCL atau keasaman lambung yang membunuh bakteri
yang masuk, serta diusus halus mengandung banyak enzim
proteolitik dan makrofag aktif. [6]
B. Demam
8. Definisi
Demam atau pireksia; peningkatan temperatur tubuh di atas
normal (98,6oF atau 37oC). [1]
Demam merupakan keadaan dimana
suhu tubuh manunjukan peningkatan dari suhu tubuh normal. Banyak
peristiwa yang dapat menyebabkan demam antara lain adanya
[10]
penyakit yang disebabkan bakteri ataupun adanya inflamasi atau
penolakan dari tubuh terhadap substansi asing yang masuk ke dalam
tubuh.[11] Untuk mengatasi demam, biasanya digunakan antipiretik
dimana antipiretik bekerja menurunkan panas dengan mekanisme
yang berbeda-beda. Antipiretik yang secara luas sering digunakan
oleh masyarakat adalah Parasetamol (acetaminophen).

15
9. Mekanisme demam

Kata demam merujuk kepada peningkatan suhu tubuh akibat


infeksi atau peradangan. Sebagai respons terhadap masuknya mikroba,
sel-sel fagositik tertentu (makrofag) mengeluarkan suatu bahan kimia
yang dikenal sebagai pirogen endogen yang bekerja pada pusat
termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan termostat.
Hipotalamus sekarang mempertahankan suhu ditingkat yang baru dan
tidak mempertahakannya di suhu normal tubuh. Jika, sebagai contoh,
pirogen endogen meningkatkan titik patokan menjadi 38,9ᵒC,
hipotalamus mendeteksi bahwa suhu normal pra-demam terlalu dingin
sehingga bagian otak ini memicu mekanisme-mekanisme respons
dingin untuk meningkatkan suhu menjadi 38,9ᵒC. [12]
Secara spesifik, hipotalamus memicu menggigil agar produksi
panas segera meningkat, dan mendorong vasokonstruksi kulit untuk
segera mengurangi pengeluaran panas, kedua tindakan ini mendorong
suhu naik. Kejadian ini, yang ditandai dengan rasa dingin menggigil
yang tiba-tiba, sering terjadi pada awitan demam. Karena merasa
dingin, yang bersangkutan memakai selimut sebagai mekanisme
volunter untuk membantu meningkatkan suhu tubuh dengan menahan
panas tubuh. Setelah suhu baru tercapai, suhu tubuh diatur sebagai

16
normal dalam respons terhadap panas dan dingin tetapi dengan
patokan yang lebih tinggi. Karena itu, terjadinya demam sebagai
respons terhadap infeksi adalah tujuan yang disengaja dan bukan
disebabkan oleh kerusakan mekanisme termoregulasi. Meskipun
makna fisiologis demam belum jelas, banyak pakar kedokteran
percaya bahwa peningkatan suhu tubuh bermanfaat dalam mengatasi
infeksi. Demam memperkuat respons peradangan dan mungkin
menghambat perkembangbiakan bakteri. [12]
Selama terjadinya demam, pirogen endogen meningkatkan titik
patokan hipotalamus dengan memicu pelepasan lokal prostaglandin,
yaitu mediator kimiawi lokal yang bekerja langsung pada
hipotalamus. Aspirin mengurangi demam dengan menghambat
sintesis prostaglandin. Aspirin tidak menurunkan suhu pada orang
yang tidak demam karena tanpa adanya pirogen endogen maka di
hipotalamus tidak terdapat prostaglandin dalam jumlah bermakna. [12]
Mekanisme molekuler yang pasti “hilangnya” demam secara
alami belum diketahui, meskipun hal ini diperkirakan karena
berkurangnya pengeluaran pirogen atau sintesis prostaglandin. Ketika
titik patokan hipotalamus kembali ke normal, suhu pada 38,9ᵒC,
(dalam contoh ini) menjadi terlalu tinggi. Mekanisme-mekanisme
respons panas diaktifkan untuk mendinginkan tubuh. Terjadi
vasodilatasi kulit dan pengeluaran keringat. Orang yang bersangkutan
merasa panas dan membuka semua penutup tambahan. Pengaktifan
mekanisme pengeluaran panas oleh hipotalamus ini menurunkan suhu
ke normal. [12]

17
Secara sederhana proses pembentukan panas adalah:
 Fase pertama, menggigil (fase pelepasan sitokin
proinflamasi) yang berlangsung sampai suhu tubuh
mencapai puncaknya. [13]
 Fase kedua, suhu menetap tinggi untuk beberapa saat
(sitokin berhasil meningkatkan set point). [13]
 Fase ketiga, akhirnya suhu turun dengan atau tanpa obat
demam (sitokin melakukan antipyretic response). [13]
C. Antibiotik
10. Klasifikasi
1. Berdasarkan struktur kimia antibiotik (Tjay & Rahardja, 2007)
a. Golongan Beta-Laktam, antara lain golongan sefalosporin
(sefaleksin, sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim),
golongan monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin,
amoksisilin). Penisilin adalah suatu agen antibakterial alami
yang dihasilkan dari jamur jenis Penicillium chrysognum. [14]
b. Antibiotik golongan aminoglikosida, aminoglikosida
dihasilkan oleh jenis-jenis fungi Streptomyces dan
Micromonospora. Semua senyawa dan turunan semi-
sintesisnya mengandung dua atau tiga gula-amino di dalam
molekulnya, yang saling terikat secara glukosidis. Spektrum
kerjanya luas dan meliputi terutama banyak bacilli gram-
negatif. Obat ini juga aktif terhadap gonococci dan sejumlah
kuman gram-positif. Aktifitasnya adalah bakterisid,
berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan
mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Contohnya
streptomisin, gentamisin, amikasin, neomisin, dan
paranomisin. [14]
c. Antibiotik golongan tetrasiklin, khasiatnya bersifat
bakteriostatis, hanya melalui injeksi intravena dapat dicapai
kadar plasma yang bakterisid lemah. Mekanisme kerjanya

18
berdasarkan diganggunya sintesa protein kuman. Spektrum
antibakterinya luas dan meliputi banyak cocci gram positif
dan gram negatif serta kebanyakan bacilli. Tidak efektif
Pseudomonas dan Proteus, tetapi aktif terhadap mikroba
khusus Chlamydia trachomatis (penyebab penyakit mata
trachoma dan penyakit kelamin), dan beberapa protozoa
(amuba) lainnya. Contohnya tetrasiklin, doksisiklin, dan
monosiklin. [14]
d. Antibiotik golongan makrolida, bekerja bakteriostatis
terhadap terutama bakteri gram-positif dan spectrum kerjanya
mirip Penisilin-G. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan
reversibel pada ribosom kuman, sehingga sintesa proteinnya
dirintangi. Bila digunakan terlalu lama atau sering dapat
menyebabkan resistensi. Absorbinya tidak teratur, agak
sering menimbulkan efek samping lambung-usus, dan waktu
paruhnya singkat, maka perlu ditakarkan sampai 4x sehari.
e. Antibiotik golongan linkomisin, dihasilkan oleh srteptomyces
lincolnensis (AS 1960). Khasiatnya bakteriostatis dengan
spektrum kerja lebih sempit dar ipada makrolida,n terutama
terhadap kuman gram positif dan anaerob. Berhubung efek
sampingnya hebat kini hanya digunakan bila terdapat
resistensi terhadap antibiotika lain. Contohnya linkomisin. [14]
f. Antibiotik golongan kuinolon, senyawa-senyawa kuinolon
berkhasiat bakterisid pada fase pertumbuhan kuman,
berdasarkan inhibisi terhadap enzim DNA-gyrase kuman,
sehingga sintesis DNAnya dihindarkan. Golongan ini hanya
dapat digunakan pada infeksi saluran kemih (ISK) tanpa
komplikasi. [14]
g. Antibiotik golongan kloramfenikol, kloramfenikol
mempunyai spektrum luas. Berkhasiat bakteriostatis terhadap
hampir semua kuman gram positif dan sejumlah kuman gram

19
negatif. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesa
polipeptida kuman. Contohnya kloramfenikol. [14]
11. Farmakokinetik
Farmakokinetik merupakan aspek yang menjelaskan mengenai
perjalanan dan apa yang terjadi pada obat saat berada di dalam tubuh.
Di antaranya termasuk absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
[15]

Proses absorpsi umumnya dikaitkan dengan penyerapan obat di


saluran cerna pada pemberian oral. Setelah mencapai kadar puncak
dalam darah, konsentrasi obat akan menurun secara cepat dalam fase
yang disebut dengan fase alfa (α). Pada fase selanjutnya yaitu fase
beta (β) maka konsentrasi antibiotik akan menurun secara perlahan
dan stabil. Pada fase beta ini yang menentukan waktu paruh (t1/2) dari
suatu antibiotik. Pada proses absorpsi ini, tidak semua obat akan
mencapai sirkulasi sistemik dalam keadaan utuh/aktif, dan jumlah
persentase obat yang mencapai sirkulasi sistemik dalam keadaan utuh
atau aktif disebut bioavailabilitas. Sedangkan kesetaraan jumlah obat
dalam sediaan dengan kadar obat dalam darah atau jaringan disebut
bioekuivalensi. [15]
Setelah diabsorpsi, obat akan berkaitan dengan albumin sebagai
protein dominan dalam serum dan kemudian didistribusikan ke
seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Persentase antibiotik yang
terikat secara reversibel terhadap albumin serum digambarkan dengan
istilah protein binding. Obat kemudian akan melepaskan diri dari
ikatannya dengan albumin, dan menembus beberapa membran sel
sesuai dengan gradien konsentrasi dan mencapai tempat infeksi lalu
berikatan de-ngan protein jaringan. Distribusi obat antara lain
dipengaruhi oleh aliran darah, pH, protein bin-ding, dan volume
distribusi. [15]
Pasca distribusi obat, obat kemudian akan mengalami
metabolisme oleh berbagai enzim dan yang terpenting di antaranya

20
adalah enzim sitokrom P450, sehingga pemberian obat-obatan yang
dapat meningkatkan atau menghambat kerja enzim ini dapat
mempengaruhi aktivitas antibiotik. [15]
Obat yang dalam keadaan aktif akan ditingkatkan kelarutannya
sehingga lebih mudah diekskresikan, dan umumnya obat menjadi
inaktif. Sedangkan untuk obat dalam bentuk prodrug, enzim akan
mengaktivasi obat tersebut menjadi bentuk yang aktif.
Antibiotik umumnya dieliminasi melalui ginjal dan
diekskresikan melalui urin dalam bentuk metabolit aktif dan inaktif.
Antibiotik juga dapat dieliminasi melalui empedu dan diekskresikan
ke dalam usus. Dari dalam usus sebagian obat akan dibuang melalui
feses, dan sebagian akan kembali diserap dan dibuang melalui ginjal.
Sebagian kecil obat juga diekskresikan melalui keringat, liur, air mata,
dan air susu. [15]
12. Farmakodinamik
Berdasarkan sifat farmakodinamik dan konsentrasi
penghambatan minimal (MIC), antibiotik dibagi menjadi dua
kelompok besar yaitu time-dependent atau concentration-independent
dan consentration-dependent. Pada antibiotik kelompok time-
dependent seperti β-laktan, glikopeptide, makrolide, klindamisin
dengan meningkatnya konsentrasi antibiotik hanya menunjukkan
sedikit atau tidak ada peningkatan efek terapi sedangkan antibiotik
kelompok consentration-dependent seperti aminoglikosida dan
quinolon menunjukka peningkatan aktivitas seiring dengan
peningkatan konsentrasi. International society for anti-infective
pharmacology (ISAP) membuat definisi parameter farmakokinetik
(PK) dan farmakodinamik (PD). Untuk kelompok time-dependent
biasanya menggunakan parameter farmakologi t>MIC yaitu
persentase kumulatif waktu selama periode 24 jam saat konsentrasi
obat diatas MIC, sedangkan kelompok consentration-dependent
biasanya menggunakan parameter AUC/MIC (area dibawah kurva

21
konsentrasi-waktu selama 24 jam dibagi MIC) dan Cmax/MIC (kadar
konsentrasi puncak dibagi MIC). [16]
13. Mekanisme kerja antibiotik pada bakteri
1) Inhibisi sintesis dinding sel
Bakteri memiliki dinding sel yang kaku yang terletak
dilapisan luar, yang berfungsi untuk mempertahanka bentuk
dan ukuran mikroorganisme. Jika terjadi kerusakan pada
dindig sel maka akan menimbulkan lisis sel. Dinding sel
memiliki mukopeptida yang tersusun atas polisakarida yang
kaya akan ikatan silang sehingga bersifat kaku. Polisakarida
yag dimiliki oleh bakteri biasanya tersusun dari N-
acetyglucosamine dan acetylmuramic acid. Pada bakteri gram
postif memiliki lapisan peptidoglikan yang lebih tebal dari
pada gram negatif. Salah satu antimikroba adalah obat laktam
β yang menghambat sintesis dinding sel, sehingga aktif
terhadap bakteri yang sedang tumbuh. Obat ini akan
melakukan pengikatan ke reseptor sel ( penicillin-binding
protein-PBPs), dimana setiap reseptor memiliki afinitas yang
berbeda terhadap antimikroba. Contohnya pelekatan penisilin
ke PBP yang mungkin menyebabkan elongasi pada sel
abnormal, namun perlekatan ke PBP lain dapat
memberikandefek pada tepi dinding sel sehingga terjadi lisis
sel. PBP dikendalikan oleh kromosom, dan mutasi dapat
mengubah jumlah atau afinitas mereka terhadap obat-obat β
laktam. [6]
Setelah obat β laktam melekat ke reseptornya, akan ada
reaksi transpeptidase yang akan menginhibisi atau
menghambat sintesis peptioglikan dari dinding sel. Inhibisi
enzim transpeptidase disebabkan oleh kesamaan struktur obat
tersebut acyl-d-alanyl-d-alanine, dimana akan terlibat
pemutusan d-alanine dari pentapeptida. Lalu dilanjutkan degan

22
eliminasi atau inaktivasi inhibitor enzim autolitik pada dinding
sel, sehingga enzim lisis jika pada lingkungan isotonis ,
sedangkan pada lingkungan hipertonis, mikroba akan merubah
menjadi protoplas dimana dbungkus oleh membran sel yang
rapuh. [6]
Perbedaan kerentanan antara bakteri gram positif dan
negatif terhadap jenis penisilin tergantung pada perbedaa
struktur dinding sel seperti ikatan silang, peptidoglikannya,
reseptor, lipid dan aktivitas enzim autolitik. [6]
Resistensi terhadap penisilin dapat ditentukan oleh
produksi enzim penghancur penisilin,dimana penisilin rentan
terhadap penisilin-β laktamase. Laktamase-ẞ menghilangkan
aktivitas antimikroba dan membuka cincin laktam-β dari
penisilin. Beberapa laktamase-ẞ dimediasi oleh plasmid dan
yang lainnya dikendalikan kromosom. [6]
Contoh agen yang bekerja dengan menghambat sintesis
dinding sel adalah penisilin, sefalosporin, vankomisin, dan
sikloserin. Beberapa obat menghambat tahap awal biosintesis
peptidoglikan seperti basitrasin, teikoplanin, vankomisin,
ristosetin, dan novobiosin. [6]
2) Inhibisi fungsi membran sel
Sitoplasma dibungkus oleh membrane sel yang
membantu menjaga permeabilitas selektif, fungsi transport
aktif dan mengatur komposisi internal sel, apabila fungsi
membrane terganggu maka makromolekul dan ion-ion akan
keluar, lalu timbullah kerusakan dan kematian sel. Sejumlah
antiniotik menggangu fungsi biosintesis membrane sitoplasma
misalnya asam nalidiksat dan novobiosin menghambat sintesis
DNA, dan menghambat sintesis teichoic acid. [6]
Daptomisin adalah antibiotic lipopeptida yang
mematikan bakteri dengan cepat melalui pengikatan membrane

23
sel dengan tergantung pada kalsium sehingga terjadi
depolarisasi membrane bakteri. Depolarisasi menyebabkan
pelepasan kalium intrasel. Saat ini agen tersebut telah disetujui
untuk terapi infeksi aliran darah oleh staphylococcus aureus
dan infeksi kulit serta jaringan lunak akibat bakteri gram
positif, khusunya organism yang sangat resisten terhadap agen
laktam-β dan vankomisin. Selain itu agen yang menghambat
fungsi membrane sel adalah amfoterisin B, kolistin, dan
imidazol serta triazol. [6]
3) Inhibisi sintesis protein (translasi dan transkripsi)
Bakteri memiliki ribosom 70S, sedangkan sel mamalia
memiliki ribosom 80S, dimana masing masing memiliki
struktur kimia dan spesifitas fungsional yang berbeda. Pada
sintesis protein mikroba yang normal, pesan mRNA dibaca
secara simultan oleh ribosom yang membentang disepanjang
untai mRNA. Contoh obat yang menghambat sintesis protein
adalah eritromisin, linkomisin, tetrasiklin, glisilsiklin,
aminoglikosida, dan kloramfenikol. [6]
a. Aminoglikosida
Aminoglikosida akan melekat pada protein reseptor
spesifik (P12 pada streptomisin) pada subunit 30S ribosom
mikroba, lalu aminoglikosida akan menghambat aktivitas
inisiasi pada pembentukan peptida (mRNA + formyl
methionine +tRNA), dan akan terjadi proses salah baca,
akibatnya asam amino yang salah disisipkan kedalam
peptida sehingga terbentuk protein nonfungsional.
Pelekatan aminoglikosida menyebabkan pemecahan
polisom dan pemisahan menjadi monosom yang tidak
mampu meyintesis protein, dan ini akan menimbulkan
kejadian irreversible lalu menuju kematian sel. [6]

24
Adanya resistensi mikroba terhadap asam glikosida
dikarenakan tidak adanya reseptor spesifik di subunit 30S.
[6]

b. Makrolida, azalida, dan ketolida


Obat ini (eritromisin, azitromisin, klaritomisin, dan
roksitromisin, telitromisin, ketolida) berikatan dengan
subunit 50S pada ribosom. Obat ini akn berikatan dengan
rRNA 23S, yang akan menggangu pembentukan kompleks
inisiasi sehingga sintesis peptida terganggu. [6]
Adanya resistensi terhadap antimikroba dikarena
tidak adanya reseptor yang sesuai pada ribosom.
Mekanisme resistensi juga dikendalikan oleh plasmid dan
kromosom. [6]
c. Linkomisin
Linkomisin akan berikatan dengan subunit 50S
ribosom mikroba dan mirip dengan makrolida dalam hal
tempat pengikatan, aktivitas antibakteri, dan cara kerjanya.
Mutan kromosom bersifat resisten karena tidak memiliki
tempat pengikatan untuk linkomisin pada subunit 50S. [6]
d. Tetrasiklin
Tetrasiklin berikatan dengan subunit 30S pada
ribosom mikroba, lalu menghambat sintesis protein dengan
melekat pada aminoasil-tRNA yang membawa asam
amino, sehingga dapat mencegah insersi asam amino baru
ke rantai peptida nasen ( yang mulai terbentuk). [6]
Resistensi terhadap tetrasiklin dapat terjadi melalui
3 mekanisme yaitu: [6]
1) Adanya pompa efulks pada sitoplasma sel bakteri
membuat obat dipompa keluar dari sel bakteri.
2) Adanya penginduksian perubahan konformasional

25
3) Perubahan tersebut mencegah perlekatan tetrasiklin
atau menyebabkan disosiasi tetrasiklin dari ribosom.
Mekanisme ini dikendalikan oleh plasmid.
e. Glisilsiklin
Glisilsiklin menghambat sintesis protein dengan
mekanisme yang sama dengan tetrasiklin, namun obat ini
bersifat bakterisida dan lebih erat berikatan dengan
ribosom. [6]
4) Inhibisi sintesis asam nukleat
Obat yang bekerja dengan menghambat sintesis asam
nukleat adalah golongan kuinolon, pirimetamin, rifampin,
sulfanomida, trimtoprim, dan trimtreksat. [6]
a. Rifampin
Rifampin menghambat pertumbuhan bakteri dengan
cara mengikiat polymerase RNA yang bergantung DNA
milik bakteri, sehingga dapat menghambat sintesis RNA
bakteri. [6]
Resistensi terhadap rifampin dikarenakan adanya
perubahan pada polymerase RNA akibat mutasi kromosom
yang terjadi dalam frekuensi tinggi. [6]
b. Kuinolon dan fluokuinolon
Semua kuinolon dan fluokuinolon menghambat
sintesis DNA mikroba dengan cara menyekat DNA girase.
[6]

c. Sulfanomida
Sulfanomida merupakan analog structural PABA dan
menghambat dihidropteroat sintetase. Sulfanomida bekerja
dengan mengantikan PABA dan bersaing memperebutkan
sisi aktif enzim, sehingga terbentuk asam folat yang
nonfungsional, akibatnya pertumbuhan bakteri terhambat.
Namun resistensi terhadap sulfanomida dapat dilakukan

26
dengan penambahan PABA yang banyak ke dalam
lingkungan, serta menyintesis asam folat. [6]
d. Trimtoprim
Trimtoprim menghambat dihydrofolic acid reduktase
50.000 kali lebih efisien pada bakteri dibandingkan pada
mamalia. Enzim tersebut mereduksi dihydrofolic acid
menjadi tetrahydrofolic acid, suatu tahap dalam jalur
sintesis purin, dan akhirnya terbentuk DNA. [6]
e. Pirimetamin
Pirimetamin menghambat dihydrofolate reduktase
tetapi lebih aktif terhadap enzim pada sel mamalia sehingga
lebih toksik dibandingkan trimtoprim. [6]
D. Parasetamol
14. Definisi
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non
narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin
terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP) . Parasetamol digunakan secara
luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai
analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam
sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas. [2]
15. Farmakokinetik
Parasetamol diberikan secara oral dan diabsorpsi cepat dan
sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi di dalam
plasma dicapai dalam 30-60 menit. Masa paruh plasma antara 1-3 jam.
Obat ini tersebar ke seluruh tubuh dan berikatan dengan protein
plasma secara lemah. Ikatan dengan protein plasma sebesar 25%.
Parasetamol akan dimetabolisme di dalam hati oleh enzim mikrosom
hati dan diubah menjadi asetaminofen sulfat dan glukuronida.
Asetaminofen akan dioksidasi oleh CYP2E1 membentuk metabolit
yaitu N-acetyl-p-benzoquinone yang akan berkonjugasi dengan
glutation yang kemudian dieksresikan melalui ginjal. N-acetyl-p-

27
benzoquinone merupakan metabolit minor tetapi sangat aktif. Akan
tetapi N-acetyl-p-benzoquinone merupakan metabolit yang dapat
merusak hati dan ginjal jika terkumpul dalam jumlah besar.
Parasetamol dieksresikan melalui ginjal, sebagian sebagai parasetamol
(3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi. [17]
16. Farmakodinamik
Parasetamol merupakan penghambat prostaglandin yang lemah
dengan cara menghambat COX-1 dan COX-2 di jaringan perifer. Efek
anti-inflamasi sangat lemah, sehingga parasetamol tidak digunakan
sebagai antireumatik. Penelitian terbaru menyatakan bahwa
parasetamol menghambat secara selektif jenis lain dari enzim COX
yang berbeda dari COX-1 dan COX-2 yaitu enzim COX-3. Sifat
antipiretik dari parasetamol dikarenakan efek langsung ke pusat
pengaturan panas di hipotalamus yang mengakibatkan vasodilatasi
perifer, berkeringat, dan pembuangan panas. [17]
17. Indikasi
 Analgesik/antinyeri (nyeri ringan-sedang : sakit kepala,
miaglia, nyeri postpartum, dll). Efek analgesik parasetamol
serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi
nyeri ringan sampai sedang. [18]
 Analgesik pada yang kontraindikasi dengan aspirin ( ulkus
peptikum, hipersensitivitas aspirin, anak dengan demam). [19]
 Antipiretik/antidemam. [18]
18. Kontradiksi
 Penderita gangguan fungsi hati yang berat. [19]
 Penderita yang hipersensitif terhadap parasetamol. [19]
19. Efek samping
 Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi.
 Manifestasinya berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang
lebih berat berupa demam dan lesi pada mukosa. [20]

28
 Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama
pada pemakaian kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi
berdasarkan mekanisme autoimmune, defisiensi enzim G6PD
dan adanya metabolit yang abnormal. [20]
 Methemoglobinemia dan Sulfhemoglobinemia jarng
menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena hanya kira-
kira 1-3% Hb diubah menjadi met-Hb. [20]
 Methemoglobinemia baru merupakan masalah pada takar
lajak. [20]
 Insidens nefropati analgesik berbanding lurus dengan
penggunaan Fenasetin. Tetapi karena Fenasetin jarang
digunakan sebagai obat tunggal, hubungan sebab akibat sukar
disimpulkan. Eksperimen pada hewan coba menunjukkan
bahwa gangguan ginjal lebih mudah terjadi akibat Asetosal
daripada Fenasetin. Penggunaan semua jenis analgesik dosis
besar secara menahun terutama dalam kombinasi dapat
menyebabkan nefropati analgetik. [20]
Sebagai obat antipiretik, parasetamol memiliki afinitas yang
baik karena mampu menurunkan suhu tubuh ke keadaan normal.
Namun, parasetamol juga memiliki kelemahan yaitu pada dosis
besar dan pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan
kerusakan hati atau hepatotoksik. Kerusakan hati yang disebabkan
oleh parasetamol dikarenakan parasetamol mengalami metabolisme
dalam tubuh yang mampu mengubah parasetamol menjadi N-
asetilimidoquinon yang dapat mengikat makromolekul hati
[21] [22]
sehingga terjadi nekrosis. Untuk mengatasi masalah
hepatotoksik yang dimiliki parasetamol dilakukan modifikasi
struktur. Modifikasi struktur parasetamol telah banyak dilakukan
guna meningkatkan aktivitas analgesik, antipiretik atau
meminimalisir efek samping yang ada. [23]

29
Parasetamol menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme
yang diduga juga berdasarkan efek sentral. Parasetamol merupakan
penghambat prostaglandin yang lemah. Efek iritasi, erosi, dan
perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian juga
gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa. [23]
20. Interaksi obat parasetamol dengan antibiotik
Peristiwa perubahan efek yang dihasilkan oleh suatu obat
dengan zat lain jika diberikan bersamaan atau hampir bersamaan dapat
menguntungkan atau merugikan. Peristiwa ini lebih dikenal dengan
istilah interaksi obat (drug interaction). Interaksi obat dapat terjadi
antara suatu obat dengan obat lain (interaksi obat-obat), interaksi obat
dengan makanan (interaksi obat-makanan), dan interaksi antara obat
dengan unsur-unsur atau senyawa kimia lainnya. Interaksi obat
melibatkan dua jenis obat yaitu obat objek (object drug) dan obat
presipitan (precipitant drug). Obat objek adalah obat yang
aksi/efeknya dipengaruhi atau diubah oleh obat lain, sedangkan obat
presipitan adalah obat yang mengubah aksi/efek obat lain. [24]
Interaksi obat lebih banyak menghasilkan efek merugikan
dibandingkan yang menguntungkan. Penggunaan dua macam obat
atau lebih yang disebut dengan Polypharmacy atau Multiple Drug
Therapy merupakan penyebab interaksi obat. Pengobatan sendiri yang
kini banyak dilakukan juga sangat berpotensi menimbulkan interaksi
obat. Pada prinsipnya interaksi obat dapat menyebabkan dua hal
penting. Yang pertama, interaksi obat mengurangi atau bahkan
menghilangkan khasiat obat, baik melalui penghambatan penyerapan
atau absorpsinya atau dengan mengganggu metabolisme atau
distribusi obat tersebut di dalam tubuh. Yang kedua, interaksi obat
menyebabkan gangguan atau masalah kesehatan yang serius, karena
meningkatnya efek samping atau toksisitas dari obat-obat tertentu. [24]

30
E. Resistensi
21. Definisi resistensi terhadap antibiotik
Resistensi antibiotik adalah kemampuan mikroorganisme untuk
mengatasi pengaruh antibiotik. [25] Resistensi, ialah tidak terganggunya
sel mikroba oleh antibiotik yang merupakan suatu mekanisme alami
untuk bertahan hidup. Ini dapat terjadi apabila antibiotik diberikan
atau digunakan dengan dosis yang terlalu rendah atau masa terapi
yang tidak tepat. [14]
Resisten adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan
melemahkan daya kerja antibiotik. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara : [26]
- Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi. [26]
- Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik. [26]
- Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel
bakteri. [26]
- Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan
sifat dinding sel bakteri. [26]
- Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera
dikeluarkan dari dalam sel melalui mekanisme transport aktif ke
luar sel. [26]
22. Mekanisme resistensi bakteri
a. Mikroorganisme menghasilkan enzim yang merusak obat aktif.
Contohnya, stafilokok yang resisten terhadap penisilin G
menghasilkan suatu laktamase-β yang merusak obat. Bakteri
gram negative yang resisten terhadap aminogikosida
menghasilkan enzim pengadenilisasi, pemfosforilasi, atau
pengasetilasi yang menghancurkan obat. [6]
b. Mikroorganisme mengubah permeabilitas terhadap obat.
Contohnya tetrasiklin terkumpul dalam bakteri yang sensitive,
tetapi tidak dalam bakteri resisten. Resistensi terhadap
amikasin dan beberapa aminoglikosida disebabkan oleh tidak

31
permeablenya membrane bakteri terhadap obat, hal ini
dikarenakan adanya suatu perubahan pada membrane luar yang
mengganggu transport aktif kedalam sel. [6]
c. Mikroorganisme membentuk suatu target structural yang telah
dimodifikasi untuk obat. Contohnya, resistensi terhadap
penisilin dan sefalosporin mungkin merupakan akibat
hilangnya atau termodifikasinya PBP. Resistensi terhadap
penisilin pada streptococcus pneumonia dan enterokok
disebabkan oleh modifikasi PBP. [6]
d. Mikroorganisme mengembangkan jalur metabolism yang
termodifikasi yang memintas reaksi yang dihambat oleh obat.
Contohnya, bakteri yang resiste terhadap sulfonamide tidak
memerlukan PABA ekstrasel, tetapi seperti sel mamalia, dapat
menggunakan asam folat yang telah jadi. [6]
e. Mikroorganisme membentuk suatu enzim yang termodifikasi
dan dapat melakukan fungsi metaboliknya, tetapi jauh lebih
tidak dipengaruhi obat. Contohnya, pada bakteri resisten
trimetroprim, dihydrofolic acid reductase dihambat secara jauh
lebih tidak efisien dibandingkan pada bakteri yang sensitive
terhadap trimetroprim. [6]
F. Air teh
23. Kandungan
1) Polifenol : Polifenol pada teh berupa katekin dan flavanol.
Senyawa ini berfungsi sebagai antioksidan untuk menangkap
radikal bebas dalam tubuh juga ampuh mencegah
berkembangnya sel kanker dalam tubuh. Radikal bebas ada di
tubuh kita karena lingkungan udara yang tercemar polusi dan
juga dari makanan yang kita makan. [27]

32
a. Katekin : Menurunkan kadar kolesterol, menurunkan
tekanan darah dan kadar gula dalam darah, anti kanker,
membantu kerja ginjal mencegah terjadinya batu empedu
b. Flavanols : Menguatkan pembuluh darah, memiliki
fungsi antioksidan
2) Kafein : (Theophyiline Theobromine) : Menstimulasi pusat
syaraf, memperlancar sirkulasi darah, membantu fungsi ginjal,
meningkatkan konsentrasi menghambat auto-oksidasi
kolesterol dan memperkecil jumlah kolesterol dalam darah
sehingga darah tidak mengental, melancarkan aliran urin. [27]
3) Minyak Esensi : Minyak esensi adalah umber aroma teh yang
juga berkhasiat untuk memperlancar pencernaan dan
melarutkan lemak. [27]
4) Fluoride (Menganese, Zinc, Potassium) : Memutihkan dan
mencegah kerusakan gigi. Anggapan teh bisa membuat gigi
nampak kusam rupanya tidak benar, sebab ternyata teh
mengandung fluoride untuk mengusir karang gigi. Lebih bagus
lagi jika seusai menggosok gigi, anda berkumur dengan teh
tanpa gula. [27]
5) Vitamin A : Vitamin A yang ada pada teh berbentuk
betakaroten merupakan vitamin yang diperlukan tubuh dapat
tercukupi. [27]
6) Vitamin B kompleks : Membantu metabolisme karbohidart. [27]
7) Vitamin C : Vitamin ini berfungsi sebagai imunitas atau daya
tahan bagi tubuh manusia, berfungsi sebagai antioksidan yang
diperlukan untuk ketahanan tubuh manusia terhadap penyakit,
mencegah dan melawan influenza, mengurangi stress,
menurunkan tekanan darah tinggi, melindungi kornea dan sinar
UV. [27]

33
8) Vitamin E : Dalam satu cangkir teh mengandung vitamin E
sebanyak sekitar 100-200 IU yang merupakan kebutuhan satu
hari bagi tubuh manusia. Jumlah ini berfungsi menjaga
kesehatan jantung dan membuat kulit menjadi halus dan
mencegah penuaan dini. Juga mencegah pembentukan lemak
di pembuluh darah. [27]
24. Pengaruh air teh terhadap obat
Tanin dalam teh dapat mengikat berbagai senyawa aktif obat
sehingga sukar diabsorpsi atau diserap dari saluran pencernaan. Hal
inil mengakibatkan khasiat dari obat berkurang, karena obat bebas
yang dapat diabsorpsi oleh tubuh terbatas jumlahnya . Maka seringkali
obat sudah habis diminum, namun gejala sakit tidak segera hilang,
[28]
karena ternyata efek obat tidak maksimal.

Selain mengganggu absorpsi obat, tanin dapat mengganggu


distribusi obat ke jaringan (site of action). Tanin memiliki gugus fenol
yang dapat berikatan dengan protein, sehingga jumlah protein bebas
dalam tubuh berkurang. Hal ini akan mengakibatkan obat bebas yang
berada di sistem sirkulasi tubuh tidak dapat berikatan dengan protein.
Akibatnya, jumlah obat dalam bentuk bebas akan meningkat.
Peningkatan ini dapat berefek toksik karena obat dapat langsung
menuju membran sel dan menimbulkan efek berlebihan dalam tubuh.
[28]

34
Teh juga mengandung kafein (walaupun konsentrasinya lebih
sedikit bila dibandingkan dengan kopi) namun teh juga mempunyai
efek stimulan terhadap susunan syaraf pusat. Maka hindari
mengkonsumsi bahan-bahan yang mengandung kafein (teh), jika
dalam pengobatan menggunakan obat-obat yang juga dapat
merangsang susunan syaraf pusat seperti obat-obat asma yang
mengandung teofilin atau epinefrin.
Teh memang memberikan efek kesehatan karena di dalam tubuh
berfungsi sebagai antioksidan, untuk menangkap radikal bebas
sehingga dapat menghambat penuaan . Namun ternyata setelah
dilakukan penelitian, terdapat efek yang ditimbulkan makanan dan
minuman yang diminum bersamaan dengan obat, yaitu interaksi obat
dan makanan dapat mengurangi khasiat obat dan dapat
membahayakan jiwa pasien (bila menimbulkan reaksi yang berlebihan
pada susunan saraf pusat oleh kafein). [28]

35
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Mekanisme kerja antibiotik terhadap bakteri dengan menghambat
pembentukan dinding sel, membran sel, sintesis protein dan asam nukleat.
Dan parasetamol dapat menyembuhkan demam dengan menghambat kerja
prostaglandin serta pengonsumsian obat dengan air teh dapat menghambat
kerja obat.

3.2 Saran
1. Sebaiknya mahasiswa lebih memahami tentang mekanisme kerja obat
juga mekanisme kerja antibiotik.
2. Mahasiswa lebih banyak membaca referensi-referensi tentang ilmu
biologi molekuler.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland, W.A Newman. Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. Jakarta:


EGC; 2006
2. Lusiana, Darsono. Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat
danParasetamol. Bandung : Universitas Kristes Maranatha; 2002
3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
4. Tietjen, Linda dkk. Panduan Pencegahan Infeksi Untuk Fasilitas
Pelayanan Kesehatan dengan Sumber Daya Terbatas. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo; 2004.
5. Syamsuri, Istamar, dkk. Biologi 3A. Jakarta: Erlangga; 2007
6. Brooks, G.F., Janet, S.B., Stephen A.M. Jawetz, Melnick and Adelbergs,
Mikrobiologi Kedokteran Edisi 25, Alih Bahasa oleh Aryandhito Widhi
Nugroho. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012
7. Potter, P.A, Perry, A.G.Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, dan Praktik.Edisi 4.Volume 2. Alih Bahasa : Renata
Komalasari,dkk. Jakarta: EGC; 2005
8. Baratawijaya, K.G. Imunologi Dasar. Edisi ke 11. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006
9. Schaffer, et al. Pencegahan Infeksi & Praktik yang Aman, Jakarta: EGC;
2000
10. Guyton, A.C, dan Hall, J. E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakrta : EGC; 2008
11. Brunton, L.L. Lazo. J. S. & Parker, K.L. Goodman & Gillman’s the
pharmacological basis of therapeutics. New York : McGraw Hill; 2006
12. Sherwood, Lauralee. Fisiologi manusia. Ed 8. Jakarta: EGC; 2015
13. Majalah Kedokteran Indonesia 58 (9). Indonesia Digital Journal; 2008
14. Tjay, H.T dan Kirana Rahardja. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex Media
Komputindo; 2007
15. Amin, Lukman Zulkifli. 2014. Pemilihan Antibiotik yang Rasional Vol. 27
No. 3. Medical Review MEDICINUS; 2014

37
16. Barger A, Fuhst C, Wiedemann B. Pharmacological indices in antibiotic
theraphy. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 52: 893-898; 2003
17. Mufaza, Uyun. Pengetahuan dan literatur. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009
18. ISFI. Informasi Spesialite Obat (ISO) Indonesia, Volume 43. Penerbit
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia; 2008
19. Amelia, Yulida Nasution. Penetapan Kadar Zat Aktif Parasetamol dalam
Obat Sediaan Oral dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCKT). Medan : Universitas Sumatera Utara; 2009
20. Darsono, Lusiana. Parasetamol. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2002
21. Katzung, B.G. Obat-obat Anti inflamasi Nonsteroid, Obat-obat Reumatik
Pemodifikasi-Penyakit, Analgesik Nonopioid dan Obat-Obat untuk Pirai.
Dalam Katzung, B.G, editor. Farmakologi dasar dan Klinik. Buku 2. Edisi
8. Jakarta: Salemba Medika; 2002.
22. Siswandono, dan Soekarjo. Kimia Medisinal. Surabaya : Penerbit
Airlangga University Press; 1995
23. Wilmana, P. f, dan Gan S. G. Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti
inflamasi Nonsteroid dan Obat Gangguan Sendi lainnya. Dalam : Gan,
S.G, Editor. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Gaya Baru; 2007
24. Sinaga, E. Interaksi antara Beberapa Obat. Jakarta: Sumber Replubika;
2008

25. Aryulina, Diah, dkk. Biologi. Jakarta: Erlangga; 2004


26. Peraturan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia No. 2406 /
MENKES / PER / XXI / 2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik.

27. Kusuma, Sri Agung Fitri. Jenis Teh dan Pengolahannya. Universitas
Padjajaran; 2009
28. Gaman, P. M dan Sherington, K B. Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi.
Yogyakarta: UGM Press; 1992

38

Das könnte Ihnen auch gefallen