Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
CRANE (GLC) OLEH PT. PELINDO II (PERSERO) DAN PT. MTI PADA
DERMAGA D101 UTARA, D101, D102, D114, DAN DI115 DITINJAU
DARI UU NOMOR 5 TAHUN 1999
Abstrak
Skripsi ini membahas tentang dugaan pelanggaran Pasal 15 ayat (2) mengenai tying agreement dan Pasal 17
mengenai monopoli UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI terkait
penggunaan Gantry Luffing Crane di Pelabuhan Tanjung Priok. Penelitian ini menggunakan metode yuridis
normatif dengan menggunakan pendekatan analisis data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa KPPU
dalam membuktikan adanya pelanggaran Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 17, lebih relevan menggunakan pendekatan
rule of reason yang mengedepankan dampak persaingan. Kemudian, pengaturan kesesuaian UU Nomor 5 Tahun
1999 terkait penggunaan Gantry Luffing Crane da[at dikecualikan berdasarkan Pasal 50 huruf a dan Pasal 51.
Abstract
This thesis discusses about the alleged violations of Article 15 verse (2) about tying agreement and Article 17
about monopoly Law Number 5 Year 1999 conducted by PT. Pelindo II (Persero) and PT. MTI regarding the
use of Gantry Luffing Crane in Tanjung Priok harbor. This research use the juridical normative methods using
qualitative data analysis approach. The results showed that KPPU In proving the existance of a breach of Article
15 verse (2) and Article 17, using a more relevant approach to the rule of reason more relevant use approach rule
of reason that puts the impact of competition. Then, setting of suitability of Law Number 5 Year 1999 related
the use of Gantry Luffing Crane can be excluded on basis of Article 50 letters A and Article 51.
Keyword:
Business Competition Supervisory Commission (KPPU), Tying Agreement, Monopoly.
Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang terdapat di dunia. Panjang pantai
Indonesia mencapai 95.181 km dengan luas wilayah laut 5,8 juta km2. Hal ini membuat luas
Dengan demikian, pelabuhan menjadi sarana yang penting dan sarana pendukung bagi
kegiatan pelayaran nasional yang merupakan sektor penting bagi perekonomian. Hal ini yang
mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan mengenai pelayaran melalui UU
Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Penyelenggaraan pelabuhan umum dilaksanakan
oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Milik Negara
yang didirikan dengan maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-udangan yang
1
Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Data Pokok Kelautan Dan
Perikanan Tahun 2009, (Jakarta: 2010), hlm. 3.
2
Elfrida Gultom, Refungsionalisasi Pengaturan Pelabuhan Untuk Meningkatkan Ekonomi Nasional,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 4.
3
Ibid., hlm. 3.
Indikasi dugaan Pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 1999, berawal dari insiatif Komisi
Pengawas Persaingan Usaha yang memeriksa kegiatan usaha di pelabuhan terutama yang
dijalankan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan anak perusahaannya yaitu PT. MTI. Dimana
dalam hal ini, PT. Pelindo II (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang memiliki
izin sebagai Badan Usaha Pelabuhan yang bertugas mengelola/mengoperasikan terminal dan
fasilitas pelabuhan pada sepuluh provinsi dengan total sebanyak 12 pelabuhan yang salah
satunya adalah Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta Utara – DKI Jakarta. Sedangkan, PT.
MTI merupakan anak perusahaan dari PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) yang merupakan
hasil spin off dari salah satu Divisi Cabang Pelabuhan Tanjung Priok yaitu Divisi Usaha
Terminal (DUT).
Izin yang didapatkan oleh PT. Pelindo II (Persero) sebagai Badan Usaha Pelabuhan
memberikan unsur legalitas untuk melakukan sejumlah kegiatan usaha pelabuhan secara
komersil yang memiliki landasan pengaturan dalam UU Nomor 17 Tahun 2008, seperti jasa
bongkar muat barang, jasa penyediaan alat bongkar muat dan jasa pelayanan dermaga. Dalam
hal ini posisi PT. MTI yang merupakan anak perusahaan dari PT. Pelindo II (Persero), juga
telah memiliki izin usaha sebagai Badan Usaha Pelabuhan yang terpisah dari PT. Pelindo II
(Persero) di wilayah Pelabuhan Tanjung Priok. Sehingga PT. MTI juga memiliki izin untuk
menyediakan atau melayani jenis kegiatan usaha pelabuhan yang sama dengan PT. Pelindo II
(Persero) sesuai dengan yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Namun, dalam prakteknya secara operasional PT. MTI tetap membutuhkan dukungan dari
induk perusahaannya yaitu PT. Pelindo II (Persero) dalam melakukan kegiatan usaha
pelabuhan.
Dugaan ini bersumber dari ditemukannya surat pemberitahuan yang diterbitkan oleh
PT. Pelindo II (Persero) selaku Terlapor I yang tercatat dalam Surat Pemberitahuan Nomor
FP.003/103/10/....-12 tertanggal 21 September 2012 yang ditandatangani oleh General
Manager Pelaksana Tugas, Cipto Pramono kepada seluruh mitra dan pengguna jasa dermaga
di Pelabuhan Tanjung Priok. Dimana isi dari surat pemberitahuan tersebut mencakup tiga hal,
yaitu:
Kewajiban penggunaan Gantry Luffing Crane juga dilakukan oleh PT. MTI selaku
anak perusahaan PT. Pelindo II (Persero) kepada seluruh mitra dan pengguna jasa dermaga di
Dari surat pemberitahuan tersebut, yang dimaksud dengan dermaga adalah dermaga
D114 dan D115 yang telah disediakan crane darat Gantry Luffing Crane. Pada dermaga
D114 dan D115 telah dioperasikan tujuh unit Gantry Luffing Crane, lima diantaranya milik
PT. Pelindo II (Persero) dan dua unit lainnya milik PT. MTI. Dalam Laporan Dugaan
Pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 1999 yang disangkakan kepada PT. MTI ditemukan bahwa
telah terdapat kesepakatan dari surat pemberitahuan yang dikeluarkan oleh PT. MTI bersama
para mitra kerjanya yaitu Perusahaan Bongkar Muat yang beroperasi di dermaga Tanjung
Priok. Pihak yang menandatangani kesepakatan tersebut di Jakarta pada tanggal 21 Mei 2012,
diantaranya adalah PT. MTI (Dede R. Martin selaku Direktur Utama), PT. Tubagus Jaya
Mandiri (H. Tadjuddin IUS selaku Direktur), PT. Karya Abadi Luhur (Capt JF Irianto selaku
General Manager Operasi), PT. Tirta Indah Kencana (Robert Rinaldi Irsjad selaku Direktur
Tinjauan Teoritis
Dalam tulisan ini, Penulis memberikan pengertian terhadap istilah-istilah yang
digunakan sebagai berikut:
7
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Laporan Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 Dalam Sektor Pelabuhan Terkait Kewajiban Penggunaan Gantry Luffing Crane Untuk Kegiatan
Bongkar Muat DI Pelabuhan Tanjung Priok, Op. Cit.,
8
Indonesia, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No.
5 Tahun 1999, LN No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817, Ps. 1 angka 1.
9
Ibid., Ps. 1 angka 2.
10
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang
Pedoman Pasal 15 tentang Perjanjian tertutup Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Perkom No. 5 Tahun 2011, hlm. 16.
11
Ibid., Ps. 1 angka 7.
12
Indonesia, Undnag-Undang Badan Usaha Milik Negara, UU Nomor 19 Tahun 2003, LN No. 70
Tahun 2003, TLN No. 4297, Ps. 1 angka 1.
13
Indonesia, Undang-Undang Pelayaran, UU No. 17 Tahun 2008, LN No. 64 Tahun 2008, TLN No.
4849, Ps. 1 angka 16.
Metode Penelitian
Bentuk penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis
normatif. Menurut sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian eksploratoris. Penelitian ini
bertujuan untuk mencari data awal tentang suatu gejala.19 Jenis data yang digunakan oleh
penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer guna mendapatkan data
yang lengkap dan komprehensif. Metode analisis data yang digunakan adalah pendekatan
kualitatif. Berdasarkan bentuk penelitian sebelumnya, bentuk hasil penelitian yang sesuai
adalah deskriptif-analitis. Hasil ini memberikan penggambaran dan penjelasan berdasarkan
analitis yang dilakukan dalam penelitian ini. Hasil penelitian juga diharapkan dapat
memberikan gambaran secara lengkap terhadap permasalahan yang diteliti.
14
Ibid., Ps. 1 angka 28.
15
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/bongkar, diunduh 10 September 2014.
16
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/dermaga, diunduh 10 September 2014.
17
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Dalam Sektor Pelabuhan Terkait Kewajiban Penggunaan Gantry Luffing Crane Untuk Kegiatan Bongkar Muat
Di Pelabuhan Tanjung Priok, (Jakarta: KPPU, 19 Agustus 2014), hlm. 3.
18
Ibid.
19
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4.
21
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Perkom Nomor 5 Tahun 2011, Op. Cit., hlm. 16.
22
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Laporan Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 Dalam Sektor Pelabuhan Terkait Kewajiban Penggunaan Gantry Luffing Crane Untuk Kegiatan
Bongkar Muat DI Pelabuhan Tanjung Priok, Op. Cit., hlm. 7.
Dilain sisi penentuan jasa pelayanan dermaga sebagai tying product dari kegiatan
penyediaan crane sebagai tied product yang ditentukan oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha menjadi tidak tepat. Sebab, dengan izin usaha sebagai Badan Usaha Pelabuhan yang
dimiliki oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI dalam menyediakan jasa pelayanan
dermaga dan jasa penyediaan crane dalam kegiatan bongkar muat di Tanjung Priok
merupakan satu kesatuan kegiatan usaha pelabuhan yang dilaksanakan oleh PT. Pelindo II
(Persero) dan PT. MTI. Hal ini juga dapat dilihat dari jawaban Para Terlapor yang
menyatakan bahwa, kegiatan bongkar muat merupakan tugas Badan Usaha Pelabuhan yang
tidak dapat dipisahkan berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Kegiatan
bongkar muat yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan diatur dalam Pasal 92 UU
Nomor 17 Tahun 2008. Dari Pasal 92 tersebut dapat dianalisis bahwa jasa penyediaan dermaga di
D101 Utara, D101, dan D102 yang dioperasikan/diusahakan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan
dermaga D114 dan D115 yang diopersikan/diusahakan oleh PT. MTI dengan penyediaan alata crane
berupa Gantry Luffing Crane untuk kegiatan jasa bongkar muat merupakan tugas PT. Pelindo II
(Persero) dan PT. MTI selaku Badan Usaha Pelabuhan yang memiliki konsensi wilayah di Pelabuhan
Tanjung Priok. Sehingga dalam hal ini jasa penyediaan dermaga dengan jasa penyediaan alat crane
merupakan satu kesatuan produk (line product) yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Hal ini juga diperkuat dengan pengaturan dalam Pasal 90 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 1999.
Dalam perkara persaingan usaha di sektor pelabuhan yang melibatkan PT. Pelindo II
(Persero) dan PT. MTI, Komisi Pengawas Persaingan Usaha menduga adanya unsur paksaan
dalam penggunaan Gantry Luffing Crane berdasarkan surat pemberitahuan PT. Pelindo II dan
surat pemberitahuan PT. MTI. Berdasarkan surat pemberitahuan tersebut, PT. Pelindo II
(Persero) telah menempatkan Gantry Luffing Crane pada dermaga D101 Utara, D101, dan
D102 Pelabuhan Tanjung Priok. Sedangkan, PT. MTI telah Gantry Luffing Crane pada
dermaga D114 dan D115 Pelabuhan Tanjung Priok. Sehingga dengan surat pemberitahuan itu
pula, PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI mewajibkan kapal-kapal yang sandar di dermaga
yang telah ditempatkan Gantry Luffing Crane untuk menggunakan crane darat tersebut dalam
kegiatan bongkar muat kapal yang bermuatan break bulk.
Dalam teori hukum persaingan usaha, melarang perjanjian pengikatan barang (tying
agreement) dikarenakan barang dan/atau jasa yang tidak berkualitas dan tidak menguasai
pasar akan terpaksa dibeli oleh konsumen karena diikatkan dengan barang dan/atau jasa yang
berkualitas dan menguasai pasar. Bila dianalisis melalui teori hukum persaingan usaha
tersebut, Gantry Luffing Crane seolah-olah menjadi barang ikatan yang tidak menguasai
pasar. Padahal dengan kapasitas dan keunggulan yang ada, Gantry Luffing Crane menjadi
salah satu jenis alat crane yang banyak digunakan perusahaan pelayaran dalam kegiatan
bongkar muat dengan menyesuaikan jenis komoditi. Sedangkan, dermaga menjadi barang
pengikat, dimana dermaga menjadi barang yang dibutuhkan oleh kapal-kapal yang ingin
mendarat dan melakukan kegiatan bongkar muat. Anggapan yang demikian kurang tepat,
sebab kewajiban penggunaan Gantry Luffing Crane tidak dimaksudkan untuk dilekatkan
dengan dermaga D101 Utara, D101, D102, D114 dan D115 yang dioperasikan/diusahakan
oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT.MTI. Melainkan, dasar kewajiban penggunaan Gantry
Luffing Crane berkaitan dengan fungsi pelabuhan sebagai salah satu titik dari mata rantai
distribusi. Dimana pelabuhan harus mempunyai kinerja yang baik sehingga mampu
memberikan pelayanan yang efisien bagi pengguna jasa pelabuhan. Dari efisiensi pelabuhan
akan dapat mengurangi biaya distribusi yang secara keseluruhan yang pada akhirnya dapat
mengurangi biaya logistik. Biaya logistik yang semakin rendah akan berdampak pada
meningkatnya daya saing suatu negara atau daerah.
Dari berbagai kegiatan usaha pelabuhan yang dilakukan oleh PT. Pelindo II (Persero)
dan PT. MTI yang terindikasi dugaan pelanggaran Pasal 15 ayat (2), Komisi Pengawas
Persaingan Usaha harus membuktikan semua dugaan tersebut dengan persepsi yang lebih
luas mengenai kegiatan ussaha yang dijalankan pada sektor pelabuhan. Hal lain yang perlu
diperhatikan dalam pembuktian yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha
mengenai dampak dari penggunaan Gantry Luffing Crane. Berdasarkan Laporan Dugaan
Pelanggaran Pasal 15 ayat (2) yang disangkakan kepada PT. Pelindo II (Persero) dan PT.
MTI di Pelabuhan Tanjung Priok telah menyebutkan beberapa keunggulan dari penggunaan
Gantry Luffing Crane. Beberapa keuntungan dalam menggunakan Gantry Luffing Crane,
yaitu kebanyakan Gantry Luffing Crane memiliki konstruksi ringan dengan gerak
menangguk/luffing yang lebih cepat dan memiliki gerak bongkar muat dengan daya jangkau
yang cukup jauh di dalam palkah kapal; Kondisi atau konstruksi peralatan yang ringan;
Memiliki daya fleksibilitas dalam menangani kargo-kargo kapal, khususnya dengan berbagai
tipe atau karakteristiknya seperti curah kering, general cargo dan break bulk cargo dengan
kapasitas 30-40 ton; Secara kualitatif memiliki level biaya yang lebih murah dibandingkan
dengan tipe crane yang lain akibat material yang ringan. Sedangkan kekurangan atau
kelemahan dalam penggunaan Gantry Luffing Crane, yaitu Dengan konstruksi yang lebih
ringan, namun kondisi stabilitas crane relatif lebih rendah dibandingkan dengan crane fixed
khususnya akibat pengaruh eksternal alam seperti angin kencang dan gempa bumi;
Fleksibilitas crane menjadi berkurang di saat menangani barang dengan kapasitas lebih dari
50-60 ton; Memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi untuk mengangkut kargo-kargo
dengan dimensi lebar yang berlebihan; Secara teknis Gantry Luffing Crane sering dipaksa
mengangkat beban yang berlebih dalam hal ini mengakibatkan getaran di sepanjang
konstruksi crane.23
Dalam Laporan Dugaan Pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 1999 di sektor pelabuhan, PT.
Pelindo II (Persero) Dan PT. MTI tidak hanya diduga melanggar Pasal 15 ayat (2) mengenai tying
agreement, melainkan juga diduga melanggar Pasal 17 mengenai monopoli. Dalam Laporan
Dugaan Pelanggaran, pelanggaran Pasal 17 oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI
berkaitan dengan kewajiban penggunaan Gantry Luffing Crane pada dermaga D101 Utara,
D101, D102, D114, dan D115 untuk kegiatan bongkar muat jenis break bulk. Komisi
Pengawas Persaingan Usaha menduga dengan adanya kewajiban penggunaan Gantry Luffing
Crane yang dilakukan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI telah menyebabkan
penggunaan jasa pelabuhan kehilangan alternatif, karena telah menghilangkan substitusi
dekatnya yaitu Crane Kapal.24
Hal ini dapat dianalisis berdasarkan teori hukum persaingan usaha dan dikaitkan
pengaturan Pasal 17, maka kegiatan menghilangkan substitusi terdekat yaitu Crane Kapal
dalam kewajiban penggunaan Gantry Luffing Crane dapat juga dilihat dari trend pelabuhan di
dunia. Penggunaan crane darat dirasakan lebih memaksimalkan muatan barang yang akan
diangkut. Hal ini akan berbanding lurus dengan jumlah barang yang akan diangkut oleh
pemilik kapal lebih besar, karena bagian untuk menempatkan crane kapal bisa dimanfaatkan
untuk menempatkan barang yang akan diangkut. Pembuktian masih adanya Crane Kapal
yang merupakan substitusi dari Gantry Luffing Crane dalam kegiatan bongkar muat, dapat
dilihat melalui data prosentase penggunaan Gantry Luffing Crane oleh PT. MTI pada tahun
24
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Laporan Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 Dalam Sektor Pelabuhan Terkait Kewajiban Penggunaan Gantry Luffing Crane Untuk Kegiatan
Bongkar Muat DI Pelabuhan Tanjung Priok, Op. Cit., hlm. 6.
Dalam pemberlakuan tarif untuk menggunakan crane darat dengan jenis Gantry
Luffing Crane sebesar Rp17.000,- per ton sudah melalui persetujuan dari Otoritas Pelabuhan.
Hal ini dapat terlihat bahwa sejak tahun 2012 tarif penggunaan Gantry Luffing Crane tidak
terdapat teguran atau pemberian sanksi yang diberikan oleh Otoritas Pelabuhan. Penentuan
tarif sebesar Rp17.000,- per ton dalam menggunakan Gantry Luffing Crane melalui
pertimbangan alat-alat crane darat lainnya yang sudah ada sebelumnya di pelabuhan.
Sedangkan, untuk menganalisis kenaikan harga di level end user/konsumen harus melalui
pengkajian pasar secara lebih mendalam. Dugaan Komisi Pengawasa Persaingan Usaha
dalam Laporan Dugaan Pelanggaran bahwa terdapat kenaikan harga barang di level end
user/konsumen akibat pengeluaran biaya terhadap kewajiban penggunaan Gantry Luffing
Crane di dermaga D101 Utara, D101, D102, D114, dan D115 tidak memiliki dasar dugaan
yang kuat. Sebab, pertimbangan untuk mewajibkan penggunaan Gantry Luffing Crane yang
dilakukan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI bukan hanya dari sisi komersil suatu
bisnis atau usaha, melainkan bertujuan untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi di
kegiatan bongkar muat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui dampak positif penggunaan
Gantry Luffing Crane dalam meningkatkan produktifitas dan efisiensi kegiatan bongkar muat
yang akan berbanding lurus dengan pengurangan biaya berthing time yang dikeluarkan
perusahaan pelayaran, akan berdampak pada efisien dan efektifitas biaya dalam kegiatan
bongkar muat. Dengan demikian, akan menekan biaya yang dikeluarkan perusahaan
pelayaran dalam melakukan kegiatan bongkar muat. Sehingga dugaan adanya kenaikan harga
komoditi pada level end user/konsumen tidak tepat, karena dengan produktivitas bongkar
muat yang tinggi dapat mengurangi biaya bongkar muat komiditi yang juga menstabilkan
27
Akhmad Muhari, “Praktek Monopoli Jasa Layanan Taksi Bandara: Studi Kasus Terhadap Putusan-
Putusan KPPU Tentang Pelanggaran Pasal 17 UU Nomor 5 Tahun 1999,” (Tesis, Fakultas Hukum Universitas
Indonesi, Juli 2012), hlm. 29.
28
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang
Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf A UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Perkom No. 5 Tahun 2009, hlm. 3.
Simpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dalam bab sebelumnya, maka dapat ditarik
beberapa simpulan atas masalah yang dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Dalam membuktikan kewajiban penggunaan Gantry Luffing Crane bertentangan dengan
UU Nomor 5 Tahun 1999, dapat dilihat dari dugaan pelanggaran yang disangkakan oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yaitu Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 17. Dalam Pasal
15 ayat (2) mengenai tying agreement pada prinsipnya pendekatan pembuktian yang
digunakan adalah per se illegal. Namun, dalam perkara persaingan usaha yang
melibatkan PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI lebih relevan menggunakan pendekatan
rule of reason. Sehingga dalam hal ini kegiatan kewajiban penggunaan Ganrtry Luffing
Crane (GLC) yang dilakukan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI menjadi tidak
melanggar Pasal 15 ayat (2). Karena dalam hal ini, penggunaan Gantry Luffing Crane
menunjukkan dampak positif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak negatifnya
bagi kegiatan bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok. Lebih lanjut kegiatan
kewajiban penggunaan Gantry Luffing Crane juga terdapat alasan yang sah berdasarkan
UU Nomor 17 Tahun 1999. Hal lain yang menguatkan penggunaan Gantry Luffing
Crane tidak melanggar Pasal 15 ayat (2) karena terdapat tujuan untuk menciptakan
produktivitas kegiatan bongkar muat. Sedangkan untuk Pasal 17, pendekatan
pembuktiannya juga menggunakan rule of reason. Oleh karena itu Komisi Pengawas
Persaingan Usaha harus membuktikan banyak faktor untuk menentukan pelaku usaha
telah melanggar Pasal 17. Sehingga, dalam hal pembuktian adanya pertentangan dalam
UU Nomor 5 Tahun 1999 Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak hanya harus
menjabarkan tiap unsur yang terdapat di Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 17 melainkan juga
mempertimbangkan struktur pasar, perilaku pelaku usaha dan dampak terhadap
persaingan usaha.
2. Kesesuaian pengaturan persaingan usaha terkait Penggunaan Gantry Luffing Crane untuk
kegiatan bongkar muat di dermaga D101 Utara, D101, D102, D114, dan D115 Pelabuhan
Tanjung Priok dapat dikecualikan dari penerapan UU Nomor 5 Tahun1999 berdasarkan
Pasal 50 huruf a dan Pasal 51. Hal ini berkaitan dengan PT. Pelindo II (Persero) dan PT.
Saran
1. Dalam hal pembuktian perkara pelabuhan ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha lebih
baik menggunakan pendekatan rule of reason baik untuk Pasal 15 ayat (2) maupun Pasal
17. Sehingga Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus melihat mengenai dampak yang
ada dari kegiatan penggunaan Gantry Luffing Crane. Agar proses pembuktian yang ada
2. Dengan adanya perkara kegiatan usaha pelabuhan ini, PT. Pelindo II (Persero) dan PT.
MTI harus mulai memperhatikan setiap undang-undang yang terkait dengan kegiatan
usaha pelabuhan yang dilakukannya. Salah satunya adalah UU Nomor 5 Tahun 1999,
karena tidak dapat dipungkiri saat ini pelabuhan tidak hanya fasilitas yang disediakan
oleh negara, namun sudah menjadi wilayah bisnis yang menjanjikan.
3. Otoritas Pelabuhan sebagai pihak regulator dalam mengatur, mengendalikan dan
mengawasi kegiatan pelabuhan, perlu segera melakukan pengkajian lebih lanjut
mengenai efektifitas keberlakuan Surat Pemberitahuan Nomor FP.003/103/10/....-12
yang dikeluarkan oleh PT. Pelindo II (Pesero) dan Surat Pemberitahuan Nomor
TH.12/1/12/MTI-2012 yang dikeluarkan oleh PT. MTI terkait penggunaan Gantry
Luffing Crane pada dermaga D101 Utara, D101, D102, D114, dan D115 di Pelabuhan
Tanjung Priok. Melihat perkembangan yang ada dari penggunaan kedua surat
pemberitahuan ini yang sebelumnya tidak diantisipasi oleh Otoritas Pelabuhan. Hal ini
untuk menghindari adanya kontradiksi antar undang-undang sektoral dan menjaga
kelangsungan usaha di pelabuhan.
Daftar Referensi
Buku
Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2010). Data Pokok
Kelautan Dan Perikanan Tahun 2009. Jakarta.
Lubis, Andi Fahmi. Et al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks. Jakarta: KPPU
RI, 2009.
Muhari, Akhmad. (2012). “Praktek Monopoli Jasa Layanan Taksi Bandara: Studi Kasus
Terhadap Putusan-Putusan KPPU Tentang Pelanggaran Pasal 17 UU Nomor 5
Tahun 1999.” Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesi, Juli.
Mamudji, Sri. Et al. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Peraturan Perundang-Undangan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang
Pedoman Pasal 15 tentang Perjanjian tertutup Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Perkom No.
5 Tahun 2011.
Lain-lain
Intisari Wawancara Dengan Teddy Anggoro Selaku Kuasa Hukum PT. Pelindo II (Persero).
Tanggal 11 November 2014.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang
Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf A UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Perkom No. 5
Tahun 2009.
PT. Multi Terminal Indonesia. Perbandingan Pemakaian Gantry Luffing Crane (GLC) Di
Dermaga SS, 114 dan 115 Dengan Global Produksi Tahun 2012-2014.
Internet
Kamus Besar Bahasa Indonesia. http://http/kbbi.web.id/bongkar. Diunduh 10 September
2014.