Sie sind auf Seite 1von 16

LAPORAN PELATIHAN

ADVANCED TRAUMA LIFE SUPPORT (ATLS)

RSUP Dr Sardjito Yogyakarta

14-16 Juli 2017

OLEH : dr Lili Hasanah

RUMAH SAKIT UNIVERSITAS ANDALAS


PADANG
BAB 1

1.1 Latar Belakang

Advanced Trauma Life Support (ATLS) adalah sebuah program pelatihan bagi dokter
medis dalam pengelolaan akut trauma kasus, yang dikembangkan oleh American College of
Surgeons. Program ini telah diadopsi di seluruh dunia di lebih dari 40 negara, namun ada juga
dibawah nama Emergency Management of Severe Trauma (EMST), khususnya di luar Amerika
Utara. Tujuannya adalah untuk mengajarkan pendekatan yang disederhanakan dan standar untuk
pasien trauma. Awalnya dirancang untuk situasi darurat di mana hanya satu dokter dan satu
perawat yang hadir, ATLS sekarang diterima secara luas sebagai standar perawatan untuk
penilaian awal dan pengobatan di pusat-pusat trauma.

Kursus ATLS menekankan pada kecepatan initial assesment dan primary treatment pasien
trauma, dimulai pada saat terjadi trauma dan dilanjutkan initial assesment, intervensi lifesaving,
reevaluasi, stabilisasi, dan jika diperlukan transfer ke trauma center. Kursus ATLS di negara
berkembang telah menurunkan mortalitas kasus trauma. Penurunan rate of deaths perkapita dari
kasus trauma dilaporkan oleh negara yang menerapkan prinsip ATLS.

Konsep ATLS (Advanced Trauma Life Support) menjawab tantangan dalam peningkatan
kualitas penanganan trauma. Pelatihan ATLS dititik beratkan pada peningkatan kemampuan
berfikir secara konsepsional dan bertindak secara terampil bagi dokter dalam menghadapi kasus
trauma, khususnya bagi yang bertugas di gawat darurat Rumah Sakit. Advanced Trauma live
Support (ATLS) merupakan salah satu standar kompetensi internasional dokter (baik dokter
umum maupun dokter spesialis) dalam hal penanganan trauma dan bencana. Pelatihan ini
bukanlah pelatihan yang “biasa” karena menuntut persiapan pengetahuan yang cukup sebelum
kursus dilakukan

1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari pelatihan ini adalah:
 Memberikan pemahaman arti dan pentingnya masalah penanganan kasus
Kegawatdaruratan
 Memberikan pengetahuan dan keterampilan bagi para dokter untuk mengidentifikasi dan
mengelola pasien trauma yang terancam jiwanya dan potensial terancam jiwanya dalam
situasi tekanan ekstrim pada lingkungan dan mencemaskan di UGD

1.3. Manfaat
Setelah menyelesaikan pelatihan ATLS ini, maka para dokter akan mampu :
1. Mendemonstrasikan konsep dan prinsip primary Assesment dan secondary
assesment pada pasien trauma
2. Menetapkan prioritas pengelolaan pasien trauma
3. Memulai primary management and secondary management yang diperlukan
dalam the golden hour agar dapat melakukan penanggulangan pada kondisi acute
life threatening
4. Memberikan simulasi klinik dan praktek keterampilan bedah
1.4. Waktu dan Tempat
Tanggal : 14-16 Juli 2017
Tempat : RSUP Dr Sardjito Yogyakarta

1.5. PELAKSANAAN KEGIATAN

Hari 1, Tanggal 14 Juli 2017

1. Course overview
2. Initial assesment and management
3. Airway and Ventilatory management
4. Shock
5. Thoracic trauma
6. Abdominal trauma
7. Head trauma
8. Spine trauma
9. Muskuloskeletal trauma
10. Practical skill Session :
 Airway and ventilatory management
 X ray identification of thoracic injuries
 Shock assesment and management

Hari 2, tanggal 15 Juli 2017

1. Injuries due to burns and cold


2. Trauma in extremes age
3. Trauma in women
4. Transfer to definitive care
5. Triage scenarios
6. Disaster management
7. Practical Skill Stations :
 Head and neck trauma Ass and management
 X ray identification of Spine Injuries
 Spinal cord injury Ass and management
 Muskuloskeletal Trauma Ass and management
8. Surgical Skill Session
 Vena seksi
 Needle cricothyroidektomi
 Needle Decompresi
 WSD
 DPL
BAB 2

ISI DAN KEGIATAN PELATIHAN

2.1. Definisi ATLS

Advanced Trauma Life Support (ATLS) adalah sebuah program pelatihan bagi dokter
medis dalam pengelolaan akut trauma kasus, yang dikembangkan oleh American College of
Surgeons. Program serupa ada untuk perawat (ATCN) dan paramedis (PTLS).

Program ini telah diadopsi di seluruh dunia di lebih dari 40 negara, namun ada juga
dibawah nama Emergency Management of Severe Trauma (EMST), khususnya di luar Amerika
Utara. Tujuannya adalah untuk mengajarkan pendekatan yang disederhanakan dan standar untuk
pasien trauma. Awalnya dirancang untuk situasi darurat di mana hanya satu dokter dan satu
perawat yang hadir, ATLS sekarang diterima secara luas sebagai standar perawatan untuk
penilaian awal dan pengobatan di pusat-pusat trauma. Premis dari program ATLS adalah
menatalaksana ancaman terbesar bagi kehidupan. Hal ini juga pendukung bahwa kurangnya
diagnosis definitif dan rinci sejarah seharusnya tidak memperlambat penerapan pengobatan
diindikasikan untuk luka yang mengancam hidup, dengan waktu yang paling penting dilakukan
intervensi awal. Namun, bukti menunjukkan bahwa ATLS meningkatkan prognosis pasien.

2.2 Sejarah ATLS

Pada bulan Februari 1976, sebuah tragedi terjadi yang mengubah sejarah perawatan trauma
bagi pasien cedera di Amerika Serikat dan di banyak bagian dunia. Dr Jim Styner, seorang ahli
bedah ortopedi, menaiki pesawat kecil yang jatuh ke dalam sebuah ladang jagung di Nebraska
pedesaan. Dr Styner menderita luka serius, tiga anak-anaknya menderita luka kritis, dan satu
anak menderita luka ringan. Istrinya tewas seketika. Perawatan yang ia dan keluarganya terima
tidak memadai oleh standar hari ini. Dokter bedah, mengenali bagaimana perlakuan mereka tidak
memadai, menyatakan, "Ketika saya dapat memberikan perawatan yang lebih baik di lapangan
dengan sumber daya yang terbatas dari apa yang anak-anak saya dan saya diterima di fasilitas
perawatan primer, ada sesuatu yang salah dengan sistem, dan sistem harus diubah.”

Pada bulan Januari 1980, American College of Surgeons memperkenalkan Kursus ATLS
di AS dan luar negeri. Kanada bergabung dengan program ATLS tahun berikutnya. Pada tahun
1986, beberapa negara di Amerika Latin bergabung dengan Komite ACS Trauma dan
memperkenalkan program ATLS di wilayah mereka. Sekarang, ATLS tersedia di hampir 60
negara. Di bawah naungan Komite Militer ACS Trauma, program telah dilakukan untuk dokter
militer AS di Amerika Serikat dan di seluruh dunia.

Selama lebih dari seperempat abad, American College of Surgeons Komite Trauma telah
mengajarkan kursus ATLS untuk lebih dari 1 juta dokter di lebih dari 50 negara. ATLS telah
menjadi dasar dari perawatan untuk pasien cedera dengan mengajar bahasa umum dan
pendekatan umum. Hasilnya adalah ATLS yang kontemporer dan bermakna dalam komunitas
global.

2.3 Prinsip ATLS

Pada prinsipnya ATLS menganut pedoman ABCDE (Airway, Breathing, Circulation,


Disabilitydan Exposure) pada setiap kasus emergensi, apapun itu, dan juga prinsip ini menjadi
prosedur tetap dasar yang sama yang dianut oleh seluruh dunia.

Pada ATLS kita mengenal tentang initial assessment (atau penilaian awal) yang mana terdiri dari:
1. Persiapan Awal:
Tahapan untuk mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan untuk proses primary survey
dan resusitasi, dan yang lebih penting lagi adalah alat proteksi diri (sarung tangan, masker,
kacamata, dll) untuk mencegah penularan penyakit yang mungkin dialami oleh penderita
trauma yang nantinya akan ditolong.
2. Triage:
Adalah pengambilan keputusan oleh tenaga kesehatan untuk menentukkan pasien mana yang
harus diprioritaskan penangannanya terlebih dahulu berdasarkan jumlah sumber daya yang
tersedia. Contoh: jumlah korban yang melebihi kemampuan sumberdaya rumah sakit, maka
korban yang diprioritaskan adalah yang memiliki kemampuan survive (hidup) lebih besar, dan
sebaliknya jika jumlah korban tidak melebihi kemampuan sumberdaya rumah sakit, maka
korban yang diprioritaskan adalah korban yang sangat terancam kehidupannya.

3. Primary Survey (ABCDE)


Merupakan penilaian cepat, untuk menemukan kondisi yang mengancam nyawa dan harus
segera ditangani pada SAAT ITU JUGA. Secara teoritis, ditulis secara berurutan (ABCDE),
namun pada kenyataannya dapat dilakukan secara simultan.
4. Resusitasi
Adalah tindakan cepat restorasi untuk penanganan kondisi yang mengancam nyawa, yang
ditemukan saat dilakukan primary survey
5. Tambahan Pada Primary Survey
Pemeriksaan penunjang "terbatas" dan pemasangan alat untuk monitor atau evaluasi pasca
resusitasi, contoh pemasangan EKG, Pulse Oxymeter, Rontgen Cervical, Thorak, Pelvis,
Kateter Urine, dan nasogastric tube (NGT).
6. Pertimbangkan Rujukan
Pada fase ini, tenaga kesehatan telah memiliki informasi yang cukup tentang keadaan pasien,
dan telah mampu untuk membuat keputusan untuk merujuk atau hanya dirawat setempat.
7. Secondary Survey
Adalah pemeriksaan lengkap yang dimulai dari anamnesis, riwayat trauma, pemeriksaanhead
to toe, dan pemeriksaan lengkap neurologis.
8. Tambahan Pada Secondary Survey
Pada bagian ini, pemeriksaan penunjang lengkap dapat dikerjakan, contoh Ct Scan, foto polos
kepala, foto abdomen, analisa gas darah dll. Namun, keputusan untuk pemeriksaan -
pemeriksaan ini, sebaiknya tidak sampai menyebabkan penundaan pada proses rujukan
pasien.
9. Re-evaluasi
Sangat penting untuk melakukan reevaluasi pasien, karena ada dugaan late onset atau
proses on going yang berlangsung. Contoh pasien cedera kepala + epidural hematom yang
mungkin pada awal masuk RS masih sadar, kemudian menjadi tidak sadar, dll.
10. Terapi Definitif
Adalah pengobatan beradasarkan penyebab perlukaan, contoh jika trauma tersebut disertai
fraktur maka harus dilakukan operasi ORIF atau OREF, atau pada pasien cardiac
tamponadedengan darah yang telah membeku maka dibutuhkan pericardioctomy dll.

2.4 Primary survey

Primary Survey, merupakan penilaian cepat oleh tenaga kesehatan terhadap keadaan yang
mengancam nyawa. Dari A sampai E.
2.4.1 Airway dengan kontrol servikal
a. Penilaian terhadap Airway
 Menilai patensi airway
 Menilai ada nya tanda-tanda obstruksi airway seperti :
- agitasi, sianosis, retraksi
- suara tambahan : snoring, gurgling, stridor
- periksa lokasi trakea apakah ditengah atau tidak
- pasien gelisah dan mengamuk
b. Manajemen airway
 Melakukan manuver chin lift dan jaw thrust
 Membersihkan airway dari benda asing
 Memasang opa atau npa
 Memasang airway definitif
- Intubasi
- Krikotiroidektomi
2.4.2 Breathing : ventilasi dan oksigenasi
a. Penilaian terhadap breathing
 Tentukan laju dan dalamnya pernafasan
 Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk adanya deviasi trakea, ekspansi torak
simetris atau tidak, pemakaian otot tambahan, dan tanda-tanda cedera lainnya
 Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
 Auskultasi thoraks bilateral
b. Manajemen breathing
 Pemberian oksigen konsentrasi tinggi
 Ventilasi dengan alat bag valve mask
 Menghilangkan tension pneumothorak
 Menutup open pneumothorak
 Memasang sensor CO2 dari kaonograf pada ETT
 Memasang pulse oximeter
2.4.3 Sirkulasi dengan kontrol perdarahan
a. Penilaian
 Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
 Mengetahui sumber perdarahan internal
 Nadi : Kecepatan, Kualitas, keteraturan, pulsus paradoxus
 Warna kulit
 Tekanan darah
b. Manajemen
 Penekanan langsung pada tempat perdarahan eksternal
 Mengenal adanya perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah, serta
konsultasi bedah
 Memasang 2 iv kateter ukuran besar
 Mengambil sampel darah
 Memberikan cairan dengan cairan RL yang dihangatkan dan pemberian darah
 Cegah hipotermi
2.4.4 Disability : Pemeriksaan neurologis Singkat
 Menentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS
 Nilai pupil untuk besarnya, isokor dan reaksi
2.4.5 Exposure / Environment
 Buka pakaian penderita tetapi cegah hipotermi
2.4.6 Tambahan pada primary survey
 Menentukan AGD dan laju pernafasan
 Monitor udara Ekspirasi dengan monitoring CO2
 Pasang monitor EKG
 Pasang kateter dan NGT
 Pertimbangkan perlunya foto Thorak, Pelvis, servikal
 Pertimbangkan kebutuhan DPL atau USG abdomen
2.4.7 Reevaluasi penderita dan pertimbangkan perlunya Rujukan
2.5 Survey Sekunder
Survei sekunder adalah pemeriksaan secara rinci, evaluasi head-to-toe untuk
mengidentifikasi semua cedera yang tidak dijumpai di primary survey Ini terjadi setelah
survei primer selesai, jika pasien cukup stabil dan tidak membutuhkan perawatan definitif

Anamnesis :

Riwayat “AMPE” yang harus diingat yaitu :


A : Alergi
M : Medikasi (obat yang diminum sebelumnya)
P : Past illness (penyakit sebelumnya)/Pregnancy (hamil)
E : Event/environment (lingkungan yang berhubungan dengan kegawatan)
Pemeriksaan fisik :

1. Pemeriksaan kondisi umum menyeluruh


a. Posisi saat ditemukan
b. Tingkat kesadaran
c. Sikap umum, keluhan
d. Trauma, kelainan
e. Keadaan kulit
2. Periksa kepala dan leher
a. Rambut dan kulit kepala
Perdarahan, pengelupasan, perlukaan, penekanan
b. Telinga
Perlukaan, darah, cairan
c. Mata
Perlukaan, pembengkakan, perdarahan, reflek pupil, kondisi kelopak mata, adanya benda
asing, pergerakan abnormal
d. Hidung
Perlukaan, darah, cairan, nafas cuping hidung, kelainan anatomi akibat trauma
e. Mulut
Perlukaan, darah, muntahan, benda asing, gigi, bau, dapat buka mulut/ tidak
f. Bibir
Perlukaan, perdarahan, sianosis, kering
g. Rahang
Perlukaan, stabilitas, krepitasi
h. Kulit
Perlukaan, basah/kering, darah, suhu, warna
i. Leher
Perlukaan, bendungan vena, deviasi trakea, spasme otot, stoma, stabilitas tulang leher
3. Periksa dada

Flail chest, nafas diafragma, kelainan bentuk, tarikan antar iga, nyeri tekan, perlukaan (luka
terbuka, luka mengisap), suara ketuk/perkusi, suara nafas

4. Periksa perut
Perlukaan, distensi, tegang, kendor, nyeri tekan, undulasi

5. Periksa tulang belakang

Kelainan bentuk, nyeri tekan, spasme otot

6. Periksa pelvis/genetalia

Perlukaan, nyeri, pembengkakan, krepitasi, inkontinensia

7. Periksa ekstremitas atas dan bawah

Perlukaan, angulasi, hambatan pergerakan, gangguan rasa, bengkak, denyut nadi, warna luka

2.6 Trauma Thoraks

2.6.1. Fraktur Iga


Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mengalami trauma,
perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya iga terhadap
dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif
untuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat
secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru – paru. Fraktur sternum dan skapula
secara umum disebabkan oleh benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu
dipertimbangkan bila ada fraktur sternum. Yang paling sering mengalami trauma adalah iga
begian tengah ( iga ke – 4 sampai ke – 9 ).
Kompresi anteroposterior dari rongga thorax akan menyebabkan lengkung iga akan lebih
melengkung lagi kea rah lateral dengan akibat timbulnya fraktur pada titik tengah (bagian lateral)
iga. Cedera langsung pada iga akan cenderung menyebabkan fraktur dengan pendorongan
ujung-ujung fraktur masuk ke dalam rongga pleura dan potensial menyebabkan cedera
intratorakal seperti pneumothorax. Patah tulang iga terbawah (10 sampai 12) harus dicurigai
adanya cedera hepar atau lien. Pada penderita dengan cedera iga akan ditemukan nyeri tekan
pada palpasi dan krepitasi. Jika teraba atau terlihat adanyadeformitas harus curiga fraktur iga.
Foto Thoraks harus dibuat untuk menghilangkan kemungkinan cedera intratorakal dan bukan
untuk mengidentifikasi fraktur iga. Plester iga, pengikat iga dan bidai eksternal merupakan
kontra indikasi. Yang penting adalah menghilangkan rasa sakit agar penderita dapat bernafas
dengan baik. Blok interkostal, anestesi epidural dan analgesi sistemik dapat dipertimbangkan
untuk mengatasi nyeri.

2.6.2. Flail Chest


Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan
keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau
lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen
mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim
paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia
yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang
mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan
paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan
menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan
nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya.
Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan
dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak
terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang
rawan membantu diagnosis. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga
yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan
analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam
diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen
yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan
kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila
ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan
ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar
pemberian cairan benar-benar optimal.
Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang
cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita
membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada
penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai
diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap.
Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja
pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan
ventilasi.

2.6.3. Kontusio Paru


Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially
lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu,
tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah
berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi
penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6
kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan diberikan bantuan
ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma.
Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan
gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik.
Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa intubasi
endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas
darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan
yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan
intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.

2.6.4. Pneumothoraks Sederhana


Pneumotoraks disebabkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan
parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama dengan pneumotoraks.
Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pnerumotoraks akibat trauma tumpul. Dalam
keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding
dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di
dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi
terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada
oksigenasi.
Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada
perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu menegakkan diagnosis. Terapi
terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube pada sela iga ke 4 atau ke 5,
anterior dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja,
maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan dengan WSD
dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan
kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan
pada penderita dengan pneumotoraks traumatik atau pada penderita yang mempunyai resiko
terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest
tube. Pneumotoraks sederhana dapat menjadi life thereatening tension pneumothorax, terutama
jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan positif diberikan. Toraks penderita
harus dikompresi sebelum penderita ditransportasi/rujuk.

2.6.5. Pneumothorax terbuka ( Sucking chest wound )


Defek atau luka yang besar pada dinding dada yang terbuka menyebabkan pneumotoraks
terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir.
Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung
mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan
dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.
Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang diplester hanya pada 3 sisinya
saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter Type Valve dimana saat
inspirasi kasa penutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi
kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin
dipasang selang dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan
menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan menyebabkan tension
pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa penutup sementara yang dapat
dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolotum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan
evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka.

2.6.6. Tension Pneumothorax


Tension pneumorothorax berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil),
kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam rongga
pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga
pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru
menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah
vena ke jantung (venous return), serta akan menekan paru kontralateral.
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilasi
mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada
pleura viseral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks
sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa
robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna.
Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension
pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut (occhusive
dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme flap-valve. Tension pneumothorax
juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced
thoracic spine fractures).
Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak
boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologi. Tension pneumothorax ditandai
dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakes, hilangnya
suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis merupakan manifestasi lanjut. Karena
ada kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan tamponade jantung maka sering
membingungkan pada awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada
hemitoraks yang terkena pada tension pneumothorax dapat membedakan keduanya.
Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal
dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular
pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax
menjadi pneumothoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah
akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif selalu dibutuhkan
dengan pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (garis putting susu) diantara garis
anterior dan midaxilaris.

2.6.7. Hemothorax
Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah
interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul.
Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya
perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi. Hemotoraks akut yang
cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber
besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko
terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor
kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya
penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik.
Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi
pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan volume darah yang kelura dari selang dada
merupakan faktor utama. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang
dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2 sampai 4
jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah herus
dipertimbangkan.
2.6.8. Hemothorax Masif
Hemotoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc di dalam
rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah
sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul.
Kehilangan darah menyebabkan hipoksia. Vena leher dapat kolaps (flat) akibat adanya
hipovolemia berat, tetapi kadang dapat ditemukan distensi vena leher, jika disertai tension
pneumothorax. Jarang terjadi efek mekanik dari adarah yang terkumpul di intratoraks lalu
mendorong mediastinum sehingga menyebabkan distensi dari pembuluh vena leher. Diagnosis
hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara nafas menghilang dan perkusi
pekak pada sisi dada yang mengalami trauma.
Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan
bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara
cepat dengan jarum besar dan kemudian pmeberian darah dengan golongan spesifik secepatnya.
Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk
autotransfusi. Bersamaan dengan pemberian infus, sebuah selang dada (chest tube) no. 38 French
dipasang setinggi puting susu, anterior dari garis midaksilaris lalu dekompresi rongga pleura
selengkapnya. Ketika kita mencurigai hemotoraks masif pertimbangkan untuk melakukan
autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1.500 ml, kemungkinan besar penderita tersebut
membutuhkan torakotomi segera. Beberapa penderita yang pada awalnya darah yang keluar
kurang dari 1.500 ml, tetapi pendarahan tetap berlangsung. Ini juga mamebutuhkan torakotomi.
Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak
200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap lebih diutamakan.
Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk toraktomi. Selama penderita dilakukan
resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan
darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna
darah (arteri atau vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar
dilakukannya torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior medial dari garis puting susu
dan luka di daerah posterior, medial dari skapula harus disadari oleh dokter bahwa kemungkinan
dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus
dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung. Torakotomi harus dilakukan oleh ahli
bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman dan sudah mendapat latihan.

2.7 Trauma Abdomen

2.7.1 Manifestasi Klinis

Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis meliputi: nyeri tekan
diatas daerah abdomen, distensi abdomen, demam, anorexia, mual dan muntah, takikardi,
peningkatan suhu tubuh, nyeri spontan.
Pada trauma non-penetrasi (tumpul) pada trauma non penetrasi biasanya terdapat adanya :
- Jejas atau ruktur dibagian dalam abdomen
- Terjadi perdarahan intra abdominal.
Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus tidak normal dan
biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan BAB hitam (melena)
- Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah rauma.
- Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada dinding abdomen.
Pada trauma penetrasi biasanya terdapat:
- Terdapat luka robekan pada abdomen
- Luka tusuk sampai menembus abdomen
- Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak perdarahan/memperparah keadaan
- Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam andomen.

2.7.2 Diagnosis
A. Riwayat trauma
Mekanisme peristiwa trauma sangat penting dalam menentukan kemungkinan
cedera organ intra-abdomen. Semua informasi harus diperoleh dari saksi mata kejadian
trauma, termasuk mekanisme cedera, tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior
kendaraan dalam kecelakaan kendaraan bermotor, kematian lainnya di lokasi kecelakaan,
tanda vital, kesadaran, adanya perdarahan eksternal, jenis senjata, dan seterusnya.
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan sistematis
dengan urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Penemuannya, positif atau
negatif , harus direkam dengan teliti dalam catatan medis.
Pada saat kedatangan ke rumah sakit, mekanisme dan pemeriksaan fisik biasanya
akurat dalam menentukan cedera intra-abdomen pada pasien dengan kesadaran yang
terjaga dan responsif, meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan fisik. Banyak pasien
dengan perdarahan intra-abdomen yang moderat datang dalam kondisi hemodinamik
yang terkompensasi dan tidak memiliki tanda-tanda peritoneal
1. Inspeksi
Penderita harus ditelanjangi. Kemudian periksa perut depan dan belakang,
dan juga bagian bawah dada dan perineum, harus diperiksa untuk goresan,
robekan, luka, benda asing yang tertancap serta status hamil. Penderita dapat
dibalikkan dengan hati – hati untuk mempermudah pemeriksaan lengkap.
2. Auskultasi
Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Darah
intraperitoneum yang bebas atau kebocoran (ekstravasasi) abdomen dapat
memberikan ileus, mengakibatkan hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur
berdektan seperti tulang iga, tulang belakang, panggul juga dapat menyebabkan
ileus meskipun tidak ada cedera di abdomen dalam, sehingga tidak adanya bunyi
usus bukan berarti pasti ada cedera intra-abdominal.
3. Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat
menunjukkan adanya peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat
menunjukan bunyi timpani akibat dilatasi lambung akut di kuadran atas atau
bunyi redup bila ada hemiperitoneum.
4. Palpasi
Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen (voluntary
guarding) dapat menyulitjan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muscular
(involuntary guarding) adalah tanda yang handal dari iritasi peritoneum. Tujuan
palpasi adalah mendapatkan adanya dan menentukan tempat dari nyeri tekan
superfisial, nyeri tekan dalam atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi ketika tangan
yang menyentuh perut dilepaskan tiba – tiba, dan biasanya menandakan
peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus. Dengan palpasi juga
dapat ditentukan uterus yang membesar dan diperkirakan umur janin.
C. Pemeriksaan Penunjang
Pasien hemodinamik stabil dengan trauma tumpul dan kondisi yang memadai dievaluasi
oleh studi USG abdomen atau CT, kecuali luka parah lain mengambil prioritas dan
pasien harus pergi ke ruang operasi sebelum evaluasi perut objektif. Dalam kasus seperti
itu, peritoneal lavage diagnostik biasanya dilakukan di ruang operasi untuk
menyingkirkan cedera intra-abdomen dan memerlukan eksplorasi bedah segera. Pasien
trauma tumpul dengan ketidakstabilan hemodinamik harus dievaluasi dengan USG di
ruang resusitasi, jika tersedia, atau dengan lavage peritoneum untuk menyingkirkan
cedera intra-abdomen sebagai sumber hilangnya darah dan hipotensi.
BAB 3
KESIMPULAN

Berdasarkan laporan terakhir dari WHO dan CDC lebih dari sembilan orang
meninggal tiap menit akibat trauma atau kekerasan dan setiap tahun lebih dari 5,8 juta orang
dari semua umur dan tingkat ekonomi mengalami trauma dan kekerasan. Beban akibat
trauma sangat signifikan yaitu 12% dari beban seluruh penyakit di seluruh dunia.
Kursus ATLS di negara berkembang telah menurunkan mortalitas kasus trauma.
Penurunan rate of death per kapita dari kasus trauma dilaorkan oleh negara yang menerapkan
prinsip ATLS. Kursus ATLS merupakan pendekatan yang mudah diingat oelh para dokter
dalam mengevaluasi dan menangani kasus trauma, meskipun dalam tekanan stress,
kecemasan dan harus dihadapi dalam bersamaan melakukan proses resusitasi.
Kursus ATLS memberikan dasar-dasar untuk melakukan evaluasi, penanganan,
edukasi dan jaminan muti. Pendeknya sistem ini dapat diukur, direproduksi dan
komprehensif. Program ATLS secara luas berdampak positif bagi institusi yang memberikan
pelayanan kasus trauma. Hal ini telah meningkatkan keterampilan dan pengetahuan bagi para
dokter dan lainnya yang mengiktu kursus ATLS.

Das könnte Ihnen auch gefallen