Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
T. HELVI MARDIANI
Bagian Biokimia
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Pendahuluan
Asam amino merupakan prekursor dari banyak senyawa komplek nitrogen
yang penting dalam fungsi fisiologis. Porfirin salah satu dari komplek tersebut,
adalah senyawa siklik yang membentuk heme dan klorofil.
Sebagai gugus prostetik dari banyak protein, heme membentuk sejumlah
hemeprotein yang secara terus menerus mengalami proses sintesa dan degradasi.
Sebagai contoh, 6 sampai 7 gram hemoglobin disintesa setiap hari untuk
menggantikan heme yang hilang dalam proses katabolismenya. Pembentukan dan
pemecahan komponen porfirin dari hemoglobin berperan dalam menjaga
keseimbangan nitrogen tubuh.
Sejumlah kelainan dapat terjadi selama proses sintesa porfirin dan hasil
penguraian senyawa porfirin akan membentuk pigmen empedu yaitu bilirubin.
Gangguan dalam metabolisme bilirubin selanjutnya akan memunculkan keadaan
klinis yang sering dijumpai yaitu ikterus. Ikterus disebabkan adanya kenaikan kadar
bilirubin karena sintesanya yang berlebih atau gangguan ekskresinya, biasanya
muncul pada sejumlah penyakit yang berkisar dari anemia hemolitik hingga hepatitis
serta penyakit kanker pankreas.
METABOLISME HEME
Langkah awal biosintesa porfirin pada mamalia ialah kondensasi suksinil ko-A
yang berasal dari siklus asam sitrat dalam mitokondria dengan asam amino glisin
membentuk asam α amino β ketoadipat, dikatalisis oleh χ amino levulenat sintase
dan memerlukan piridoksal phosfat untuk mengaktifkan glisin. Asam diatas segera
mengalami dekarboksilasi membentuk χ amino levulenat atau sering disingkat ALA.
Enzym ALA sintase merupakan enzym pengendali kecepatan reaksi .
Didalam sitosol 2 molekul ALA berkondensasi dan mengalami reaksi dehidrasi
membentuk porfobilinogen/PBG yang dikatalisis oleh ALA dehidratase.
4 molekul PBG berkondensasi membentuk hidroksi metil bilana, suatu
tetrapirol linier oleh enzym uroporfirinogen I sintase atau disebut juga PBG
deaminase kemudian terjadi reaksi siklisasi spontan membentuk uroporfirinogen,
suatu tetrapirol siklik. Pada keadaan normal uroporfirinogen I sintase adalah
kompleks enzym dengan uroporfirinogen III kosintase sehingga kerja kedua
kompleks enzym tersebut akan membentuk uroporfirinogen III, yang mempunyai
susunan rantai samping asimetris. Bila kompleks enzym abnormal atau hanya
terdapat enzym sintase saja, di bentuk uroporfirinogen I yaitu suatu bentuk isomer
simetris yang tidak fisiologis.
Rangka porfirin sekarang telah terbentuk, uroporfirinogen I atau III
mengalami dekarboksilasi membentuk koproporfirinogen I atau III dengan melepas
4 molekul CO2 hingga rantai samping asetat pada uroporfinogen menjadi metil,
reaksi ini dikatalisis oleh uroporfirinogen dekarboksilase. Hanya koproporfirinogen III
yang dapat kembali masuk kemitokondria, mengalami dekarboksilasi dan oksidasi
membentuk protoporfirinogen III oleh enzym koproporfirinogen oksidase, dimana
dua rantai samping propionat koproporfirinogen menjadi vinil.
Protoporfirinogen III dioksidasi menjadi protoporfirin III oleh
protoporfirinogen oksidase yang memerlukan oksigen. Protoporfirin III diidentifikasi
sebagai isomer porfirin seri IX dan disebut juga dengan protoporfirin IX. Porfirin tipe
I dan III dibedakan berdasar simetris tidaknya gugus substituen seperti asetat,
propionat dan metil pada cincin pirol ke IV.
Penggabungan besi (Fe 2+) ke protoporfirin IX yang dikatalisa oleh Heme
sintase atau Ferro katalase dalam mitokondria akan membentuk heme.
Porfiria
Penyakit turunan atau bisa berupa penyakit yang didapat yang disebabkan
oleh defisiensi salah satu enzym pada jalur biosintesa heme dan mengakibatkan
penumpukan dan peningkatan porfirin atau prazatnya dijaringan atau didalam urine.
Kelainan ini jarang dijumpai tapi perlu dipikirkan dalam keadaan tertentu misalnya
sebagai diagnosa banding pada penyakit dengan keluhan nyeri abdomen,
fotosensitivitas dan gangguan psikiatri .
Porfiria dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu :
1. Porfiria eritropoetik
2. Porfiria hepatik
3. Protoporfiria (gabungan)
Porfiria eritropoetik, merupakan kelainan kongenital. Terjadi karena ketidak
seimbangan enzym kompleks uroporfirinogen sintase dan kosintase. Pada jenis
porfiria ini dibentuk uroporfirinogen I yang tidak diperlukan dalam jumlah besar.
Juga terjadi penumpukan uroporfirin I, koproporfirin I dan derivat simetris lainnya.
Penyakit ini diturunkan secara otosomal resesif dan memunculkan fenomena berupa
eritrosit yang berumur pendek, urine pasien merah karena ekskresi uroporfirin I
dalam jumlah besar, gigi yang berfluoresensi merah karena deposisi porfirin dan kulit
Katabolisme heme
Dalam keadaan fisiologis, masa hidup erytrosit manusia sekitar 120 hari,
eritrosit mengalami lisis 1-2×108 setiap jamnya pada seorang dewasa dengan berat
badan 70 kg, dimana diperhitungkan hemoglobin yang turut lisis sekitar 6 gr per
hari. Sel-sel eritrosit tua dikeluarkan dari sirkulasi dan dihancurkan oleh limpa.
Apoprotein dari hemoglobin dihidrolisis menjadi komponen asam-asam aminonya.
Katabolisme heme dari semua hemeprotein terjadi dalam fraksi mikrosom sel
retikuloendotel oleh sistem enzym yang kompleks yaitu heme oksigenase yang
Pembentukan urobilin
Bilirubin terkonjugasi yang mencapai ileum terminal dan kolon dihidrolisa oleh
enzym bakteri β glukoronidase dan pigmen yang bebas dari glukoronida direduksi
oleh bakteri usus menjadi urobilinogen, suatu senyawa tetrapirol tak berwarna.
Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana konsentrasi bilirubin darah
melebihi 1 mg/dl. Pada konsentrasi lebih dari 2 mg/dl, hiperbilirubinemia akan
menyebabkan gejala ikterik atau jaundice. Ikterik atau jaundice adalah keadaan
dimana jaringan terutama kulit dan sklera mata menjadi kuning akibat deposisi
bilirubin yang berdiffusi dari konsentrasinya yang tinggi didalam darah.
Hiperbilirubinemia dikelompokkan dalam dua bentuk berdasarkan
penyebabnya yaitu hiperbilirubinemia retensi yang disebabkan oleh produksi yang
berlebih dan hiperbilirubinemia regurgitasi yang disebabkan refluks bilirubin kedalam
darah karena adanya obstruksi bilier.
Hiperbilirubinemia retensi dapat terjadi pada kasus-kasus haemolisis berat
dan gangguan konjugasi. Hati mempunyai kapasitas mengkonjugasikan dan
mengekskresikan lebih dari 3000 mg bilirubin perharinya sedangkan produksi normal
bilirubin hanya 300 mg perhari. Hal ini menunjukkan kapasitas hati yang sangat
besar dimana bila pemecahan heme meningkat, hati masih akan mampu
meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin larut. Akan tetapi lisisnya eritrosit
secara massive misalnya pada kasus sickle cell anemia ataupun malaria akan
menyebabkan produksi bilirubin lebih cepat dari kemampuan hati mengkonjugasinya
sehingga akan terdapat peningkatan bilirubin tak larut didalam darah. Peninggian
kadar bilirubin tak larut dalam darah tidak terdeteksi didalam urine sehingga disebut
juga dengan ikterik acholuria.
Pada neonatus terutama yang lahir premature peningkatan bilirubin tak larut
terjadi biasanya fisiologis dan sementara, dikarenakan haemolisis cepat dalam
proses penggantian hemoglobin fetal ke hemoglobin dewasa dan juga oleh karena
hepar belum matur, dimana aktivitas glukoronosiltransferase masih rendah. Apabila
peningkatan bilirubin tak larut ini melampaui kemampuan albumin mengikat kuat,
bilirubin akan berdiffusi ke basal ganglia pada otak dan menyebabkan ensephalopaty
toksik yang disebut sebagai kern ikterus.
Beberapa kelainan penyebab hiperbilirubinemia retensi diantaranya seperti
Syndroma Crigler Najjar I yang merupakan gangguan konjugasi karena glukoronil
transferase tidak aktif, diturunkan secara autosomal resesif, merupakan kasus yang
jarang, dimana didapati konsentrasi bilirubin mencapai lebih dari 20 mg/dl.
Syndroma Crigler Najjar II, merupakan kasus yang lebih ringan dari tipe I,
karena kerusakan pada isoform glukoronil transferase II, didapati bilirubin
monoglukoronida terdapat dalam getah empedu.
Syndroma Gilbert, terjadi karena haemolisis bersama dengan penurunan
uptake bilirubin oleh hepatosit dan penurunan aktivitas enzym konjugasi dan
diturunkan secara autosomal dominan.
Hiperbilirubinemia regurgitasi paling sering terjadi karena terdapatnya
obstruksi pada saluran empedu, misalnya karena tumor, batu, proses peradangan
dan sikatrik. Sumbatan pada duktus hepatikus dan duktus koledokus akan
menghalangi masuknya bilirubin keusus dan peninggian konsentrasinya pada hati
menyebabkan refluks bilirubin larut ke vena hepatika dan pembuluh limfe.
Bentuknya yang larut menyebabkan bilirubin ini dapat terdeteksi dalam urine dan
disebut sebagai ikterik choluria. Karena terjadinya akibat sumbatan pada saluran
empedu disebut juga sebagai ikterus kolestatik. Bilirubin terkonjugasi dapat terikat
secara kovalen pada albumin dan membentuk θ bilirubin yang memiliki waktu paruh
HEPATITIS ↓ ↓ (+) ↑ ↑
HEMOLITIK ↑ ↑ (-) ↑↑ ↑
1. Heme adalah senyawa besi porfirin, dimana empat cincin pirol disatukan oleh
jembatan metenil. Delapan rantai samping dari empat cincin pirol dapat berupa
gugus asetil, metil, vinil dan propionil.
2. Biosintesa cincin heme berlangsung dalam mitokondria dan sitosol melalui
delapan tahapan enzymatik
3. Gangguan dalam setiap tahapan enzymatik sintesa heme mengakibatkan
kelainan bawaan yaitu porfiria.
4. Katabolisme heme menghasilkan senyawa biliverdin yang akan direduksi menjadi
bilirubin. Zat besi pada heme dan asam amino dari globin akan disimpan atau
digunakan kembali.
5. Bilirubin akan diambil oleh sel-sel hati, kemudian dirubah menjadi bentuk larut
dan disekresi kedalam kandung empedu. Kerja enzym bakteri dalam usus
terhadap bilirubin akan membentuk urobilinogen dan urobilin yang kemudian
diekskresi dalam feces dan urine.
6. Kadar bilirubin darah yang meninggi disebut hiperbilirubinemia, menjadi
penyebab ikterus. Kelainan ini dikelompokkan berdasar penyebab prehepatik,
hepatik dan posthepatik. Pengukuran kadar biliribin dalam darah dan urine serta
urobilinogen dalam urine dapat menjadi petunjuk diagnostik dari kelompok
penyebab ikterus tersebut.
DAFTAR PUSTAKA