Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Abstract
Agenda-setting process for the development of nuclear power generation (the PLTN), a process which had ever got a strong political
endorsement during the preceeding government, has not indicated any significant change. But a strong political issue driven by social
oppositions arising both from the potential sites of the generation and the people at large, academicians, anti-nuclear movements
and small part of the main related stakeholders have indicated that the process to a formal decision remains uncertain. Nevertheless,
in the framework to achieve energy security, for the PLTN development agenda remains a rational alternative in the long run. By using
qualitative method and with the focus on the primary and secondary data conducted in the Jepara District, Central Java Province
and Pangkal Pinang District, Bangka Belitung Province, this study aims to see the progress of this agenda-setting as well as the
feasibility of the agenda in achieving energy security in the long run. The study shows that (1) the agenda-setting process for the
PLTN development has not indicated a strong political will from the government due to limited supports from the public and regional
governments and (2) the feasibility of the PLTN development itself remains a rational policy option in the long run for sustaining
energy security. It is therefore, once the agenda-setting process has come to a formal policy, the government has to manage serious
challenges for its implementation politically and socially.
Keywords: the PLTN, 35.000 power programme, agenda-setting, energy security, policy implementation
Abstrak
Proses agenda-setting pembangunan PLTN yang pernah menjadi kebijakan formal pada masa pemerintahan sebelumnya dan
pada akhirnya dibatalkan sampai sekarang belum menunjukkan arah perubahan yang berarti. Namun kuatnya persoalan politik
dalam konteks kentalnya resistensi sosial yang beragam, baik dari masyarakat di sekitar tapak PLTN dan masyarakat secara umum,
akademisi, pegiat anti-nuklir dan sebagian pemangku kepentingan utama menjadikan proses ini masih tetap belum mengarah pada
proses pengambilan keputusan secara formal. Meskipun demikian, dalam hal untuk ketahanan listrik maka kelayakan pembangunan
PLTN akan menjadi pilihan yang tetap rasional dalam jangka panjang. Studi dengan pendekatan kualitatif dan berbasis sumber
data primer dan sekunder dilakukan di Kabupaten Jepara, Provinsi Jateng dan Pangkal Pinang, Provinsi Babel, ditujukan untuk
melihat sejauh mana gambaran perkembangan wacana dan kelayakan pembangunan PLTN selama ini dalam mendukung program
pembangkit listrik nasional dalam jangka panjang. Hasil studi ini menunjukkan bahwa (1) dinamika agenda-setting pembangunan
PLTN belum menunjukkan adanya kemauan politik dari pemerintah seiring dengan masih terbatasnya respons dukungan publik
dan Pemda dan (2) kelayakan pembangunan PLTN bagaimana pun akan tetap menjadi pilihan yang rasional dalam jangka panjang
untuk ketahanan energi (listrik) nasional. Dengan demikian, ketika proses agenda-setting pembangunan PLTN telah menjadi putusan
formal, pemerintah masih harus mengelola tantangan implementasinya secara sosial dan politik.
Kata kunci: PLTN, program listrik 35.000 MW, agenda-setting, ketahanan energi, implementasi kebijakan
128 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
pembangunan PLTN sejak pemerintahan Orde Baru faktor-faktor yang memperkuat proses penentuan
sebenarnya lebih bersifat pragmatis karena potensi agenda menjadi agenda formal menuju dimulainya
semakin besarnya kebutuhan pasokan listrik ke proses pembuatan keputusan. Faktor-faktor itu, antara
depan. Namun demikian, persoalan kelayakan politis lain suasana publik secara umum, suksesi (turnover)
dan kelembagaan pengelola PLTN yang selama ini eksekutif dan legislatif termasuk di dalamnya
menjadikan agenda pembangunan PLTP mengalami terobosan visi dan misi pemerintahan yang baru dan
kegagalan (Tanter, 2015). Dengan mendasarkan pada beragam kampanye dari para kelompok kepentingan
studi kasus di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Howlett & Ramesh, 1995; Nugroho, 2014).
dan Provinsi Jawa Tengah, rumusan penelitian ini Di atas kertas, dengan merujuk pada semakin
diarahkan untuk menjawab dua pertanyaan berikut tingginya kebutuhan pasokan listrik, terbatasnya
(1) bagaimana gambaran perkembangan wacana pasokan sumber energi primer sebagai sumber
pembangunan PLTN selama ini? dan (2) sejauh mana pembangkit listrik dan kuatnya kebijakan terobosan
kelayakan pembangunan PLTN secara nasional? pemerintahan sekarang dalam membangun pembangkit
listrik lima tahun ke depan, ketiga arus tersebut terlihat
C. Tujuan begitu kuat. Pada tataran arus masalah, serangkaian
Penelitian ini ditujukan untuk melihat (1) persoalan pasokan listrik terjadi karena terbatasnya
seberapa penting kedudukan PLTN dalam memenuhi pengembangan pembangkit listrik dan tingginya
ketahanan listrik nasional, (2) sejauh mana kondisi kebutuhan energi listrik. Terlambatnya penyelesaian
kekinian agenda pembangunan PLTN di mata program percepatan pembangunan pembangkit listrik
pemangku kepentingan terkait, dan (3) sejauh mana 10.000 MW tahap I dan II menegaskan hal ini. Pada
kelayakan pembangunan PLTN saat ini. Sementara tataran arus kebijakan, serangkaian kajian akademisi,
itu, manfaat penelitian ini diharapkan menjadi LSM dan bahkan lembaga pemerintahan telah
masukan bagi AKD terkait dalam rangka mendukung menunjukkan bahwa persoalan pasokan ketersediaan
pelaksanaan fungsi pengawasan DPR RI dalam listrik telah mencapai titik kritis. Sementara itu, pada
mengawal kebijakan pemerintah ke depan. tataran arus politik, naiknya kepemimpinan Presiden
Djoko Widodo dengan program pembangkit 35.000 MW
II. KERANGKA TEORI dalam lima tahun ke depan membutuhkan kebijakan
Pewacanaan kembali pembangunan PLTN dapat terobosan dalam mencapainya termasuk alternatif
dilihat dalam kerangka proses penentuan agenda kebijakan sumber pasokan energi primer lainnya. Itu artinya,
(agenda-setting) oleh para pengambil keputusan. Proses pendekatan kekuasaan dan/atau politik sebenarnya
ini adalah pengakuan pemerintah terhadap suatu telah mendasari keputusan program kebijakan tersebut
masalah publik yang perlu mendapatkan respons (Parsons, 2011). Dengan demikian, pemerintah
segera. Pendek kata, penentuan agenda adalah dihadapkan tidak hanya pada tantangan agenda-
sebuah proses melalui mana berbagai tuntutan dari setting tetapi juga bagaimana mengimplementasikan
berbagai kelompok masyarakat diterjemahkan ke keputusan tersebut. Karena itu, penggunaan teori/
dalam menu yang saling bersaing untuk mendapatkan pendekatan model implementasi kebijakan sangat
perhatian serius dari para pengambil keputusan. relevan dalam konteks studi ini.
Namun demikian, secara empiris proses penentuan Persoalan implementasi kebijakan tidak hanya
agenda tersebut sering muncul secara top down. berkutat pada persoalan bagaimana menjalankan
Dalam perjalanannya, proses agenda setting ini setiap keputusan politik di lapangan dan karenanya
tidak pernah akan sampai pada dimulainya proses ia tidak bisa dipandang sebagai hal sederhana dalam
pembuatan kebijakan publik selama belum terbukanya siklus kebijakan publik. Awalnya, proses implementasi
apa yang disebut sebagai jendela kebijakan, ’policy- dapat didekati dengan cara yang rasional dan
windows’. Jendela kebijakan secara teoritis diartikan melihatnya sebagai hanya sekedar memerintahkan
sebagai persinggungan di antara ketiga ’arus’, yakni para administrator untuk menjalankan putusan
arus masalah, arus kebijakan dan arus politik. Arus politik di lapangan. Model ini sering disebut sebagai
masalah (problem streams) merujuk pada persepsi pendekatan sistem rasional yang sifatnya top-down.
publik secara umum terhadap masalah yang dianggap Gagasan ini dikembangkan oleh sejumlah analis
sebagai masalah publik yang memerlukan tindakan seperti Andrew Dunsire, Christopher Hood dan
pemerintah dan upaya pemerintah sebelumnya untuk Lewis Gunn. Menurut mereka, proses implementasi
mengatasi masalah tersebut. Sementara itu, arus kebijakan hanya bergantung pada bagaimana rantai
kebijakan (policy streams) diartikan sebagai hasil kajian komando, dan koordinasi dan pelaksanaan kontrol
para ahli terhadap suatu masalah tertentu termasuk bisa dilakukan dengan baik. Dalam kerangka ini,
di dalamnya berbagai usulan penyelesaiannya. Dan (Hood, 1976) misalnya, menegaskan beberapa syarat
terakhir, arus politik (political streams) merujuk pada keberhasilan implementasi kebijakan, yakni (1)
130 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
sejalan dengan visi pengelolaan kelistrikan yang efisien. Dalam pemahaman ini, keberadaan PLTN menjadi
Bagi mereka, pandangan kontra dianggapnya wajar bagian penting dari agenda 35.000 MW meskipun juga
karena kecenderungan masyarakat yang masih melihat berlaku bahwa dengan kehadiran PLTN pasokan listrik
PLTN identik dengan kecelakaan dan/atau radiasi yang secara nasional bukan berarti akan selalu terpenuhi. Di
berbahaya.1 Narasumber lain mengaitkan signifikansi samping itu, sebagai sebuah pembangkit berteknologi
PLTN dalam konteks potensi kedaruratan energi seperti tinggi, secara politis negara sebenarnya juga
ditunjukkan dengan terjadinya ketimpangan suplai listrik berkepentingan untuk menguasai teknologi tersebut.
dengan jumlah penduduk dan kegiatan ekonomi. Dalam Hal ini tidak berlebihan karena beberapa negara
konteks Babel misalnya, tingkat elektrifikasinya baru seperti di Arab Saudi sendiri pun telah dikembangkan.
mencapai 84,5 persen meskipun menurut PT PLN, angka Malaysia bahkan sedang mulai merencanakan untuk
ini di atas rata-rata tingkat elektrifikasi seluruh provinsi membangun di perbatasan Kalimantan. Dengan
di Sumatera (PT PLN, 2014). Pada tahun 2015, beban demikian, dalam rangka mendukung peningkatan
puncak kebutuhan listrik Babel mencapai 165 MW, daya saing ekonomi nasional, pembangunan PLTN
dan dengan asumsi pertumbuhan sebesar 11,1 persen, menjadi alternatif penting.
kebutuhan beban puncaknya diperkirakan mencapai di Narasumber menekankan pandangannya
atas 400-an MW (RUPTL PT PLN 2015-2025) meskipun pada keperluan penguatan kemauan politik dalam
menurut PT PLN Wilayah Babel beban puncak Babel baru implementasinya karena pembangunannya memerlukan
mencapai 129 MW dari daya mampu yang mencapai 157 waktu 5-7 tahun. Indikasi penguatan kemauan politik
MW (Dinas Kominfo Babel, 2015). ini ditunjukkan dengan perlunya pemerintah segera
Namun demikian, sebagian kebutuhan listrik menyatukan visi pengembangan PLTN. Selain itu,
sejumlah industri seperti pengolahan sawit dan industri pemerintah pusat juga segera melakukan mobilisasi
pengolahan mineral terbukti masih menggunakan dukungan politik seluruh pemangku kepentingan. Di
sumber listrik biomassa dan pembangkit sendiri. Hal Babel, hal ini lebih mudah dikelola karena kelayakannya
ini misalnya, bisa dilihat dari komposisi kapasitas daerah ini sebagai tapak/lokasi PLTN dan kuatnya
terpasang pembangkit listrik di Babel yang mencapai kemauan politik pemimpin politik daerah. Hal ini
132 MW sampai tahun 2014, 13 MW di antaranya berkaitan dengan karakteristik Babel yang bersifat
dibeli dari masyarakat (PT PLN, 2014). Karena itu, kepulauan dan tidak memiliki sumber panas bumi, PLTA,
dalam rangka pengembangan infrastruktur seperti dan EBT lainnya. Selain itu, kelembagaan penunjang
bandara dan pelabuhan, pertumbuhan penduduk yang juga perlu dipersiapkan di tingkat pusat dan daerah.
mencapai 2,19 persen per tahun (BPS Provinsi Bangka Hal terpenting lain adalah upaya sosialisasi khususnya
Belitung, 2015) dan kegiatan perekonomian, rencana aktor masyarakat yang komprehensif dalam pengertian
pembangunan PLTU di Babel sebesar 2 x 30 MW informasi tentang PLTN berikut risikonya. Hal ini
menjadi penting. menyiratkan bahwa instrumen implementasinya pun
Sejalan dengan berbagai hasil kajian, narasumber juga harus diperkuat.
juga memberikan pandangan positif bahwa tantangan Terkait dengan isu potensi bencana dan kerusakan
pembangunan PLTN sebenarnya lebih bersifat politik.2 lingkungan, narasumber menegaskan bahwa semua
Dalam pemahaman ini, kelayakan PLTN dapat didukung jenis sumber energi yang untuk pembangkit listrik dapat
dengan beberapa argumen berikut. Meskipun memiliki mengeluarkan emisi GRK. Karena itu, dalam rangka
potensi kapasitas yang besar, PLTN bagaimana pun mengurangi risiko potensi tersebut, penguatan SDM dan
bukanlah pemasok utama kebutuhan listrik suatu teknologi terkait diperlukan. Dengan demikian, dalam
negara bahkan di luar negeri. Di Indonesia, peran PLTN jangka panjang, PLTN tetap harus diperhitungkan
misalnya bisa dipatok sampai dengan 20 persen dari seiring dengan tingkat kebutuhan pasokan listrik yang
kebutuhan listrik nasional. Sebagai gambaran, peta jalan semakin tinggi. Secara politis hal ini juga menjadi
BATAN ketika pemerintah mengambil keputusan untuk sesuatu yang semestinya dilakukan pemerintah
membangun PLTN pada tahun 2008 misalnya, target karena penguasaan teknologi PLTN sedikit banyak
pemerintah bahwa PLTN akan mampu menghasilkan dapat menopang eksistensi negara dalam mengejar
sampai 4.000 MW listrik pada tahun 2025 (Amir, 2010). posisinya sebagai negara maju. Konteks ini semakin
Dengan merujuk pada RUPTL tahun 2015-2024, jumlah signifikan ketika Malaysia dikabarkan berencana
akan ini setara dengan 5,7 persen kebutuhan tambahan membangun PLTN wilayah perbatasannya. Dalam
kapasitas pembangkit yang mencapai 70.400 MW hal rencana Malaysia pada akhirnya diwujudkan,
sampai tahun 2025 (PT PLN, 2014). sasaran pasarnya adalah Indonesia. Dalam konteks
ini, setiap daerah yang diproyeksikan sebagai tapak
1
Wawancara dengan Firdaus, Zulkarnaen, dan Deki Susanto,
BLHD Provinsi Babel, 8/9/2015.
PLTN seharusnya tidak menutup diri terhadap
2
Wawancara dengan Deki Susanto, BLHD Provinsi Babel, wacana pembangunan PLTN. Untuk mendukung
8/9/2015. hal ini, pemerintah perlu membentuk sebuah tim
132 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
beradiasi sangat tinggi (24.000 tahun masa radiasinya). hanya itu, kekuatan politik tertentu juga diduga di-
Kasus di Versailles, Siberia dan AS, ion-nya disimpan 250 tengarai terjadi dengan kekuatan partai penguasa
meter di bawah tanah. Persoalan di Indonesia adalah di daerah dalam pengelolaan limbah tertentu yang
tempat penyimpanan. bernilai ekonomis melalui penutupan akses pasar
Meskipun demikian, PLTN fusi/air berat sebenarnya dan perizinan.
bisa menjadi alternatif karena hanya mengeluarkan Isu relatif tidak kepercayaan masyarakat juga terkait
radiasi yang masanya (lifetime) pendek yang hanya dengan pengelolaan limbah yang tidak terbayangkan
11 tahun, sehingga dari 1000 MW hanya menyisakan seperti halnya terjadi di Rusia dan Jepang, sementara
limbah 27 kg/tahun yang harus dibuang. Namun Indonesia memiliki keragaman sumber energi primer
demikian, sejauh ini baru 20 negara yang baru dalam yang begitu besar. Dengan demikian, peningkatan
tahap pengembangan. Alasan lain penolakan PLTN daya listrik harus dilakukan dengan mendasarkan
terkait dengan bahan baku PLTN berupa uranium baru pada sumber non-nuklir. Pendek kata, pemerintah
hanya tersedia di Kalbar/Kaltim, sementara itu, thorium harus bekerja keras terlebih dahulu mengembangkan
yang berada dalam serpisahan tembaga jumlahnya sumber energi lain. Hal lain, pengembangan PLTN
terbatas di Babel. Meskipun begitu, narasumber juga identik dengan kesan project-oriented karena
memberikan penilaian positif dan realistis terhadap pengembangannya membutuhkan modal yang besar.
agenda pembangunan pembangkit 35.000 MW seiring Selain kebutuhan modal yang besar, PLTN juga
dengan keterbatasan pasokan listrik secara nasional. membutuhkan kesiapan birokrasi, SDM, manajemen
Pandangan sama disampaikan ormas lain. Ketua risiko, penguasaan teknologi, tata kelola pemerintahan
Lembaga Pengkajian dan Peningkatan SDM/Lakpesdam yang bebas rent-seeking dan yang secara khusus harus
PCNU Jepara mengakui bahwa upaya peningkatan mendapat perhatian terkait dengan rencana aksi yang
daya listrik menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan.7 jelas terhadap penanganan limbah. Ketidaksetujuan
Namun demikian, wacana PLTN dinilainya tidak pas. narasumber PLTN juga dilihat dari telah terpenuhinya
Hal ini diakibatkan oleh (1) masih terbatasnya tingkat kebutuhan listrik di wilayah Jepara setelah berdirinya
kepercayaan terhadap pemerintah, (2) dampak yang PLTU.
sudah bisa dikenali dengan kehadiran PLTU, (3) aspek Terkait dengan rasionalitas isu kebijakan 35.000
tata kelola pemerintahan yang buruk karena isu MW, menurutnya pemerintah dipastikan telah mem-
korupsi, pencarian rente, dan lemahnya transparansi, perhitungkan secara matang dan komprehensif.
(4) skenario bencana. Penolakan terhadap wacana Dengan demikian, kebijakan ini tetap dianggap
PLTN bisa dilihat dari dampak kehadiran PLTU realistis apalagi jika didukung dengan komitmen
Jepara yang dianggapnya kurang sosialisasi terhadap pemerintah untuk melaksanakan sejumlah kebijakan
masyarakat terdampak. Tercatat sudah ada 18 terobosan yang ditujukan untuk itu. Namun demikian,
kelompok mencakup 8 kecamatan yang menentang rasionalitas tersebut bukan berarti perlu ditopang
karena terdampak dengan pengoperasian PLTU dengan PLTN karena sumber energi lain dinilai sudah
tersebut. cukup.
Kasus PLTU menjadi bukti bahwa sosialisasi Pandangan yang kurang lebih sama disampaikan
yang terbatas menjadi satu akar persoalan. Betul SKPD lain. Bidang ESDM Dinas BM, Pengairan dan
sosialisasi ke ormas telah dilakukan tetapi dengan ESDM Kab. Jepara, misalnya melihat kebijakan
frekuensi yang sangat terbatas dan sedikitnya 35.000 MW sebagai sebuah terobosan.8 Namun
jumlah orang yang dilibatkan. Akibatnya, pemerintah demikian, dengan peta persoalan yang selama ini
dianggap kurang transparan. Kasus yang sama soal membelit, kebijakan ini menghadapi tantangan yang
CSR yang dinilainya sangat terbatas dan cenderung sangat kuat. Tantangan itu mencakup (1) persoalan
kasus per kasus meskipun sekali pernah dilakukan pembebasan lahan, (2) sinergis pusat dan daerah dan/
dengan para nelayan melalui Lakpesdam misalnya. atau antardaerah, dan (3) faktor teknis/keekonomian.
Dalam konteks CSR misalnya, gagasan kompensasi Persoalan pembebasan lahan menjadi persoalan yang
listrik gratis dan penerangan di sepanjang pantai sangat krusial seiring dengan semakin rasionalnya
tempat mereka berlabuh apalagi mereka juga sikap masyarakat, sikap yang kadang-kadang kurang
membayar PJU meskipun sejauh ini responsnya rasional.
masih sangat terbatas. Faktor dugaan CSR masuk Terkait dengan wacana pembangunan PLTN di
ke birokrasi sebagai biaya politik dengan elit daerah Muria, dinilai bakal menghadapi persoalan kuatnya
melalui BUMD dalam pengelolaan limbah yang penentangan masyarakat. Persoalannya adalah
potensial untuk tujuan ekonomis pun kental. Tidak bagaimana pemerintah bisa menjamin bahwa PLTN
7
Wawancara dengan Maya Gina, Ketua Lembaga Pengkajian
8
Wawancara dengan Suyono dan Didik F. Nuha, Dinas Bina
dan Peningkatan SDM/Lakpesdam PCNU Kab. Jepara/Fak.
Marga, Pengairan & ESDM Kab. Jepara, 29/9/2015.
Syariah dan Hukum Unisnu Jepara, 1/10/2015.
menjadi alternatif pembangkit listrik yang zero tolerance MW. Meskipun demikian, implementasi program ini juga
untuk risiko kecelakaan di hadapan masyarakat apalagi berat seiring dengan masih membelitnya persoalan yang
setelah terjadi kecelakaan PLTN Fukhusima. Secara selama ini sangat menganggu dalam pengembangan
umum pembangunan itu memiliki dampak. Hanya saja, pembangkitan dan/atau jaringan.10 Sejumlah persoalan
PLTN dinilai secara potensial menawarkan dampak yang krusial yang harus dikelola untuk mewujudkan kebijakan
belum dapat diterima sama sekali oleh masyarakat. ambisius ini mencakup (1) pembebasan lahan; dan
Hal ini berbeda dengan PLTU, misalnya. Meskipun (2) persoalan sosial-ekonomi dan tingkat pemahaman
PLTU berpotensi mengakibatkan tingkat polusi yang masyarakat yang masih belum kondusif.
sangat besar dan kenaikan tingkat emisi, risikonya tidak Satu-satunya pandangan berbeda disampaikan
sebesar PLTN. ormas lain. Ketua PCNU Kab. Jepara misalnya,
Meskipun demikian, persoalan pro dan kontra memberikan pandangan positif terhadap wacana
terhadap kehadiran PLTN juga harus dilihat dalam konteks pembangunan PLTN dalam jangka panjang
kentalnya kepentingan. Sebagai contoh, tokoh masyarakat untuk merespons pertumbuhan penduduk dan
(terutama politisi) seperti kepala desa dan tokoh lainnya perekonomian nasional.11 Terkait dengan penolakan
yang sangat menggantungkan otoritasnya pada dukungan masyarakat menurutnya lebih diakibatkan untuk
masyarakatnya, kekhawatiran kehilangan legitimasi sosial sebagian keterbatasan pengetahuan mereka
dan politisnya menjadi dasar yang menuntutnya untuk soal PLTN. Hal lain, resistensi sosial tersebut juga
kontra dengan PLTN. Hal yang sama terjadi pada segelintir lebih didorong oleh sikap kelompok referensinya
orang yang kebetulan bekerja/berafiliasi dengan Batan, bukan karena penilaian yang rasional. Hal ini dapat
misalnya, orang yang bekerja pada perwakilan Batan di dipahami karena masih kuatnya sistem kebapakan
Tapak pun harus menunjukkan dukungannya meskipun (patron-client), sehingga sikap resistensi tersebut
berisiko dikucilkan secara sosial. sebenarnya lebih mengarah pada sikap yang diambil
Pandangan kuatnya penolakan masyarakat juga tokoh masyarakat. Hal lain, pola pemikiran mereka
ditegaskan kepala desa setempat. Narasumber tersebut yang masih bersifat lokalitas di mana ketahanan
menegaskan sampai sekarang, 90 persen masyarakat pasokan listrik masih dilihat dalam konteks di
Balong dipastikan menolak PLTN.9 Karena itu, sinyal Jepara, apalagi di sana sudah tersedia PLTU. Dalam
terhadap wacana pembangunan PLTN pun begitu sensitif kasus Jepara misalnya, hal ini direpresentasikan
dan memberikan tekanan psikologis bagi perangkat dengan pemahaman bahwa dengan kehadiran PLTU,
desa seolah-olah desa ‘bermain’ dalam isu ini. Kuatnya kebutuhan listrik Jepara sudah cukup dan bahkan
penolakan masyarakat terhadap rencana PLTN juga bisa dijual ke tempat lain seperti di Bali dalam
berimbas pada proses Pilkades Desa Balong (5500 jiwa, konteks sistem jaringan Jawa-Bali.12
3200 pemegang hak pilih dan 1700 KK) di mana setiap Alasan lain terkait dengan belum adanya ‘nilai lebih’
calon dipaksa untuk melakukan perjanjian penolakan sebagai daerah penghasil listrik seperti ‘tingkat harga’,
pembangunan PLTN. Pandangan yang sama disampaikan
10
Wawancara dengan Sunoto, Kepala PT PLN Rayon Kab.
PT PLN setempat. Sebaliknya, narasumber yang sama
Jepara, 29/9/2015.
memberikan respons positif terhadap program 35.000
11
Wawancara dengan H. Ashari, Ketua PCNU Kab. Jepara,
28/9/2015.
9
Wawancara dengan Moh. Parno, Petinggi/Kepala Desa
12
Wawancara dengan Abdul Jafar, anggota PCNU Kab. Jepara,
Balong, Kec. Kembang, Kab. Jepara, 1/10/2015. 28/9/2015.
134 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
Tabel 2. Agenda-Setting Pengembangan Energi Nuklir (PLTN Muria)
No. Pemerintahan Tujuan Tindak Lanjut ke Pengambilan Kebijakan Keterangan
1. Soekarno Politis Batal karena rezim jatuh Belum mengarah pada PLTN dan
(1950-an s.d. 1960-an) sentimen nasionalisme
2. Soeharto Damai Tahap 1 (1968 - 1980-an): Persoalan beban subsidi (1990-an)
(1968-1997) (listrik) Batal karena belum ada sistem grid yang memadai, dan peta jalan pengembangan listrik
era BBM murah, dan tingginya resistensi sosial
136 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
sekarang. Hal menarik bahwa penundaan ini ternyata menghadapi resistensi yang cukup besar. Resistensi
sangat politis dalam rangka mengamankan dukungan itu tidak hanya berasal radiasi dari potensi kecelakaan
publik dalam kontestasi pemilihan presiden periode dalam pengoperasiannya tetapi juga radiasi limbah
kedua pemerintahan SBY (Amir, 2010). nuklir. Hal ini misalnya, dibuktikan dengan sejumlah
Serangkaian resistensi publik bisa dilihat dari kecelakan di sejumlah pembangkit nuklir di AS, Inggris,
reaksi keras penolakan masyarakat di lokasi PLTN, Perancis, Jepang dan bekas Uni Soviet. Implikasinya,
Walhi, Greenpeace, dan Masyarakat Anti-Nuklir Swedia tidak lagi mengembangkan PLTN baru
Indonesia (Manusia). Selain itu, reaksi masyarakat (Blackburn, 1987). Hal yang sama dilakukan Filipina
yang tergabung dalam LSM pun tidak kalah atas penutupan pembangkit nuklir yang dibangun
pentingnya. LSM setempat, Masyarakat Reksa Bumi semasa Pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos
(MAREM), misalnya menjadi pelopor penentangan (Blackburn, 1987).
proyek pembangunan PLTN di Gunung Muria Terlepas dari fakta ini, upaya terobosan politik
(Greenpeace International, 2009; Elway, 2009). pengembangan PLTN tetap layak secara ekonomis
Resistensi publik sebenarnya tidak hanya persoalan dan ekologis. Sejauh ini PLN hanya mampu memenuhi
kekhawatiran masyarakat terhadap risiko kecelakaan 57 persen kebutuhan listrik nasional, di mana tingkat
tetapi juga dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan pertumbuhan kebutuhan listrik mencapai 10 persen per
publik terhadap kemampuan pemerintah dalam tahun sebagai dampak pertumbuhan industri semakin
mengimplementasikan kebijakannya yang sifatnya meningkat. Padahal total kapasitas listrik yang dimiliki
lebih pada pola hubungan patrimonial daripada PLN sekarang hanya 25.000 MW (Halim, 2014). Hal
struktur kelembagaan. Hal inilah yang oleh Joe ini karena tingginya kebutuhan listrik secara nasional
Migdal disebut sebagai negara lemah. Kemampuan sementara pembangunan pembangkit masih terbatas.
pemerintah dalam mengelola isu-isu penting seperti Data yang lebih moderat menunjukkan bahwa penjualan
dalam kasus Lumpur Lapindo, kecelakaan pesawat, rata-rata tenaga listrik mengalami peningkatan sebesar
kapal laut dan kereta api selama ini menguatkan 7,8 persen per tahun dalam kurun waktu lima tahun
alasan ini (Amir, 2010). terakhir, dari 133 TWh pada tahun 2009 menjadi 197,3
Situasi di atas menyiratkan bahwa proses agenda- TWh pada tahun 2014. Dalam kurun waktu yang sama,
setting kebijakan pembangunan PLTN sebenarnya tingkat pertumbuhan penjualan ini sejalan dengan
telah berhasil dilakukan dan mencapai puncaknya tingkat pertumbuhan jumlah pelanggan listrik dari 39,9
pada masa pemerintahan SBY. Kuatnya arus masalah, juta menjadi 57 juta pelanggan pada tahun 2014 atau
yakni resistensi masyarakat di lokasi pembangunan dengan kenaikan rata-rata 3 juta pelanggan per tahun.
PLTN dan kekuatan masyarakat lain yang tergabung Pada saat yang sama (sampai tahun 2014), kapasitas
dalam LSM, serta kuatnya pro-kontra soal kelayakan pembangkit listrik secara nasional baru mencapai 43,5
pengoperasian PLTN itu sendiri di kalangan akademisi ribu MW untuk sistem kelistrikan Jawa-Bali dan sisanya
dan pengamat (arus kebijakan) tampaknya tidak cukup 10 ribu MW untuk sistem kelistrikan Sumatera dan
mampu mensinergiskan diri dengan rasionalitas dan Indonesia Timur. Dengan penerapan kriteria cadangan
kemauan politik pemerintah (arus politik). Akibatnya, 35 persen beban puncak dibandingkan dengan daya
proses agenda-setting menuju tercapainya keputusan mampu pembangkit, sistem kelistrikan Sumatera masih
menjadi mentah kembali. Dalam tahapan ini, proses kekurangan daya sebesar 2.000 MW dan Indonesia
agenda-setting secara siklis akan dimulai dari titik awal. Timur sebesar 1.600 MW. Selama ini kekurangan
Kuatnya kepentingan politik untuk mengamankan tersebut dipenuhi dengan sewa pembangkit (PT PLN,
dukungan politik rakyat dalam pemilihan presiden 2014).
semakin menjadikan pilihan PLTN sebagai pilihan yang Secara teknologis, Indonesia juga mampu
sulit secara politis. membangun PLTN. Studi kelayakan yang menindaklanjuti
Dalam konteks ini, kita dapat memahami ketika pra-studi kelayakan PLTN di Provinsi Kepulauan Babel
pada tahun 2011, rencana pembangunan PLTN pada tahun 2010 menghasilkan dua calon tapak terpilih,
Gunung Muria akhirnya ditunda sampai waktu yang yaitu di Teluk Menggris-Pantai Tanah Merah, Kelurahan
tidak terbatas. Lebih jauh, secara teknis pun, kelayakan Tanjung, Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat
pembangunan PLTN masih diragukan khususnya dan Tanjung Berani-Tanjung Krasak, Desa Sebagin,
yang terkait dengan isu keselamatan. Dalam sejarah Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan.
pengembangan PLTN, isu keselamatan pengembangan Studi kelayakan yang dilakukan PT Surveyor Indonesia
PLTN menjadi inti perdebatan sejak lahirnya kesadaran (Persero) bekerja sama dengan AF-Consult (Swiss)
perlunya pengembangan energi alternatif sejak krisis selama 3 tahun (tahun 2011-2013). Sebagai konsultan
minyak pada awal tahun 1970-an di negara-negara studi tersebut adalah PT Kogas Driyap dan kegiatan studi
maju. Energi nuklir yang pada awalnya diyakini bisa kelayakan tersebut mengacu pada peraturan, pedoman
menggantikan sumber energi fosil akhirnya justru dan standard Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN),
138 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
dan India. Sejauh ini, thorium misalnya hanya 24- panjang akan semakin mendapatkan dukungan secara
29 persen yang bisa diperkaya untuk PLTN. Dengan sosial, ekonomi dan politik.15 Dengan demikian, peran
demikian, proses pengayaan seperti ini tidak bisa lagi PLTN dalam mendukung realisasi program pembangkit
dipakai untuk bom atom. listrik nasional ke depan dalam jangka panjang
Meskipun demikian, pembangunan PLTN tetap menjadi semakin rasional. Hal ini tidak berlebihan
menawarkan tantangan berat secara politis dan karena aspirasi PLTN telah berjalan lebih dari empat
teknis. PLTN akan tetap dinilai sebagai pembangkit dekade dan ditopang dengan bauran kelembagaan,
yang mahal dan merupakan sumber energi yang ideologis bersama-sama dengan penggunaan sumber
kompleks. Oleh karena itu, pilihan PLTN harus mampu daya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi,
mengatasi sejumlah tantangan, yakni isu keselamatan, dan nasionalisme (Amir, 2010). Dari sisi kebutuhan
limbah, proliferasi dan biayanya (Kessides, 2010). pragmatis pembangunan PLTN bisa dilihat dari kondisi
Resistensi masyarakat terhadap PLTN secara global kebutuhan dan pasokan listrik secara nasional. Dari sisi
pun juga masih tinggi khususnya pasca Fukhusima kebutuhan, rata-rata pertumbuhan penjualan listrik
pada tahun 2011. Survei di 24 negara, baik di negara- secara nasional mencapai 7,1 persen dalam kurun waktu
negara maju maupun berkembang termasuk di 2009-2014. Sementara itu, kenaikan ini tidak diimbangi
Indonesia menunjukkan bahwa tingkat resistensi dengan penambahan kapasitas pembangkit yang hanya
masyarakat terahdap PLTN mencapai 62 persen dan mencapai 5,2 persen per tahun. Data menunjukkan
seperempat dari jumlah ini (26 persen) mereka yang bahwa sampai tahun 2014, kapasitas pembangkit PLN
menentang menunjukkan bahwa mereka merubah dan swasta 43.457 MW dengan perincian 33.449 MW
sikap sebelumnya setelah kecelakaan PLTN Fukusima. di sistem Jawa-Bali dan 9.958 MW di sistem-sistem
Di Indonesia sendiri, tingkat resistensinya masih kelistrikan wikayah Sumatera dan Indonesia Timur.
mencapai 67 persen (Kessides, 2012). Akibatnya, sejumlah daerah mengalami krisis daya
Wacana pembangunan PLTN di wilayah Babel listrik. Tingginya tingkat pertumbuhan penjualan listrik
menjadi salah satu indikasi dalam kasus ini. Namun secara nasional diindikasikan dengan tingginya tingkat
demikian, persoalan kredibilitas hasil studi kelayakan pertumbuhan jumlah pelanggan yang mencapai rata-
bagaimana pun tetap menjadi persoalan sampai rata 3 juta pelanggan per tahun dalam kurun waktu 2009-
sekarang. Hal ini tidak terlepas dari peran BATAN yang 2013 atau dari 39,9 juta pelanggan 53,7 juta pelanggan.
dalam kiprahnya ternyata juga dilandasi oleh upaya Kapasitas pasokan listrik tersebut baru memenuhi 84
mempertahankan eksistensi kelembagaannya. Tanter persen tingkat elektrifikasi secara nasional. Akibatnya,
menyebutnya sebagai contoh kasus klasik sebuah perkiraan kebutuhan listrik akan semakin tinggi dalam
lembaga yang gagal secara permanen. Dalam rangka jangka menengah untuk mencapai target 96 persen
mempertahankan eksistensinya, upaya keras dan dengan tingkat elektrifikasi nasional pada tahun 2019. Rencana
bantuan lembaga IAEA untuk meyakinkan pemerintah awal, pembangunan PLTN akan menyumbang daya
dalam upaya membangun PLTN telah berjalan lama. sebesar sampai 4.000 MW atau setara dengan lebih
Kegagalan kerja sama antara pemerintah, Pemda Babel 2 persen kebutuhan permintaan untuk Jawa dan Bali
dan industri nuklir global dalam pembangunan PLTN di yang diperkirakan mencapai 80 GW pada tahun 2025
Babel menunjukkan bahwa semua rencana proyek PLTN (Amir, 2010).
dianggap tidak realistis. Oleh karena itu tidak heran jika Pembangunan PLTN membutuhkan waktu
rencana pembangunan studi kelayakan pembangunan antara 5-10 tahun dan perlunya penyiapan
PLTN di Babel yang pada awalnya didukung Pemda pada dukungan teknologi dan uang. Karena itu, keputusan
akhirnya BPBD babel justru mengajukan review formal politik pem bangunan nya pun perlu dipersiapkan
atas pengaruh PLTN terhadap kondisi Babel yang rapuh lebih awal. Hal ini belum diperhitungkan dengan
karena praktik penambangan yang parah pada tahun pengelolaan penolakan masyarakat, tingginya konflik
2014 (Tanter, 2015; Kessides, 2010; Ruff, 2015). kepentingan antarpemangku kepentingan di tingkat
Data PT PLN wilayah Babel menunjukkan bahwa di elit politik dan faktor kelembagaan (Amir, 2010). Hal
atas kertas, jika rencana pembangungan pembangkit penting lainnya adalah kemauan politik pemerintah
bisa berjalan sesuai jadwal yang ditetapkan, secara mengimplementasikan kebijakannya. Pada tahun
khusus program percepatan pembangunan pembangkit 2011, pembatalan pembangun an 4 reaktor PLTN
10.000 MW tahap I dan II di wilayah Sumatera, yang telah ditetapkan pada tahun awal masa
persoalan pasokan listrik di Babel dapat dikelola secara pemerintahan SBY menguatkan argumen ini (Amir,
baik. Kondisinya bahkan mengalami kondisi ‘surplus’ 2010).
jika kinerja program 35.000 MW di wilayah Sumatera
minimal dapat berjalan sesuai target. Namun demikian,
jika program 35.000 MW tidak berjalan secara optimal,
15
Wawancara dengan Santana, Bagian Perencanaan PT PLN
Wilayah Provinsi Babel, 9/9/2015.
wacana pembangunan PLTN di Babel dalam jangka
140 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
dukungan politik dari kalangan pemerintah itu Tumiwa, F. (2008). Kebijakan energi dan rencana
sendiri dan pemangku kepentingan utama lainnya pembangunan PLTN di Indonesia, dalam Nick T.
seperti lembaga-lembaga terkait dan Pemda. Kedua, Wiratmoko (ed), Melawan Iblis Mephistopheles,
perlunya konsistensi pemerintah dalam implementasi Salatiga: Marem, Listhia dan Percik.
kebijakan seiring dengan kuatnya penolakan sosial
dan lamanya proses pembangunan PLTN.
Jurnal dan Working Paper
Amir, S. (2010). Nuclear revival in Post-Suharto
Indonesia. Asian Survey, 50(2), 265–286.
DAFTAR PUSTAKA Englert, M., Krall, L., & Ewing, R. C. (2012). Is nuclear
fission a sustainable source of energy?. MRS
BULLETIN, 37 (April), 417–424. http://doi.org/
10.1557/mrs.2012.6
Buku Kessides, I. N. (2010). Nuclear power and sustainable
Blackburn, J. O. (1987). Energi terbarui, menyongsong energy policy: Promises and perils. World Bank
kemakmuran tanpa enerji nuklir dan batubara Research Observer, 25(2), 323–362.
(terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kessides, I. N. (2012). The future of the nuclear
BPS Provinsi Bangka Belitung. (2015). Kepulauan industry reconsidered risks, uncertainties, and
Bangka Belitung dalam Angka 2015, continued potential. WPS6112, Washington,
Pangkalpinang: BPS Provinsi Babel. D.C.
Elway. (2009). Si Enuk, Serigala berbulu domba. Suleiman, A. M. (2013). Law and politics of nuclear power
Semarang: Pustaka Muria. plant development in Indonesia: Technocracy,
Greenpeace International dan European Renewable democracy, and internationalization of decision-
Energy Council (EREC). (2007). Energy [Re] making. In M. Faure & A. Wibisana (Eds.), Regulating
evolution, a sustainable Indonesia energy disasters, climate change and environmental
outlook, Amsterdam: Greenpeace International harm : Lessons from the Indonesian experience.
and EREC. Cheltenham, GBR: Edward Elgar Publising.
Greenpeace International. (2009). Tenaga nuklir: Tanter, R. (2015). The Slovakian “inspirasi” for
Pengalihan waktu yang berbahaya. Jakarta: Indonesian Nuclear Power : The “Success”
Greenpeace international. of a permanently failing organization. Asian
Perspective, 39, 667–694.
Howlett, Michael & Ramesh, M. (1995). Studying
public policy: Policy cycles and policysubsistems, Teske, S., Prasetya, S., Indrawan, B. (2007). Energy
USA: Oxford Univ. Press. [Re]evolution, A sustainable Indonesia energy
outlook. Amsterdam: Greenpeace, Engineering
Ibrahim, H. D. (2014). Energi selamatkan negeri.
Centre Univ. of Indonesia, dan European
Jakarta: Reform Institute dan Media Energi
Renewable Energy Council (EREC).
Negeri.
Ruff, T. (2015). Introduction to the special issue:
Nugroho, H. (2008). Menolak proyek listrik tenaga
Nuclear power in East Asia. Asian Perspective,
nuklir Muria. Dalam Nick T. Wiratmoko (ed),
Vol. 39, 555-558.
Melawan Iblis Mephistopheles. Salatiga: Marem,
Listhia dan Percik. Fukuda, Y. & Fukuda, K. (2012). Fukushima nuclear
power plant accident: Issues on radiation
Nugroho, R. (2014). Public policy, teori, manajemen,
monitoring and its relation to public health.
dinamika, analisis, konvergensi, dan kimia
Journal of Epidemiology and Community Heath,
kebijakan (edisi ke-5). Jakarta: Elex Media
Vol. 66 (12), 138.
Komputindo.
Parsons, W. (2011). Public policy, pengantar teori
Sumber Digital
dan praktik analisis kebijakan. (Terjemahan).
Dinas Kominfo Babel. (2015). Investasi, Bangka
Jakarta: Prenada Media.
Belitung butuh listrik 700 MW. Diperoleh tanggal
PT PLN. (2014). RUPTL 2015-2024. Jakarta: PT PLN. 3 Desember 2015, dari http://www.babelprov.
go.id/content/investasi-bangka-belitung-butuh-
Sharkansky, I. (2002). Politics and policy making.
listrik-700-mw#sthash.QyXEHB YZ.dpuf.
USA: Lynne Rienner.
142 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142