Sie sind auf Seite 1von 16

AGENDA-SETTING PEMBANGUNAN PLTN DAN PENCAPAIAN KETAHANAN LISTRIK

(STUDI DI JEPARA DAN PANGKAL PINANG)


(The Agenda-Setting of Nuclear Power Plant Development and Achievement of Electrical Resistance,
Study Case in Jepara and Pangkal Pinang)
Hariyadi
Puslit, Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, BK DPR RI
Gedung Nusantara 1, Lantai 2, Setjen DPR RI
Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta, 10270
Email: hariyadi@dpr.go.id
Naskah diterima: 28 Juli 2016
Naskah direvisi: 03 Oktober 2016
Naskah diterbitkan: 30 Desember 2016

Abstract
Agenda-setting process for the development of nuclear power generation (the PLTN), a process which had ever got a strong political
endorsement during the preceeding government, has not indicated any significant change. But a strong political issue driven by social
oppositions arising both from the potential sites of the generation and the people at large, academicians, anti-nuclear movements
and small part of the main related stakeholders have indicated that the process to a formal decision remains uncertain. Nevertheless,
in the framework to achieve energy security, for the PLTN development agenda remains a rational alternative in the long run. By using
qualitative method and with the focus on the primary and secondary data conducted in the Jepara District, Central Java Province
and Pangkal Pinang District, Bangka Belitung Province, this study aims to see the progress of this agenda-setting as well as the
feasibility of the agenda in achieving energy security in the long run. The study shows that (1) the agenda-setting process for the
PLTN development has not indicated a strong political will from the government due to limited supports from the public and regional
governments and (2) the feasibility of the PLTN development itself remains a rational policy option in the long run for sustaining
energy security. It is therefore, once the agenda-setting process has come to a formal policy, the government has to manage serious
challenges for its implementation politically and socially.
Keywords: the PLTN, 35.000 power programme, agenda-setting, energy security, policy implementation

Abstrak
Proses agenda-setting pembangunan PLTN yang pernah menjadi kebijakan formal pada masa pemerintahan sebelumnya dan
pada akhirnya dibatalkan sampai sekarang belum menunjukkan arah perubahan yang berarti. Namun kuatnya persoalan politik
dalam konteks kentalnya resistensi sosial yang beragam, baik dari masyarakat di sekitar tapak PLTN dan masyarakat secara umum,
akademisi, pegiat anti-nuklir dan sebagian pemangku kepentingan utama menjadikan proses ini masih tetap belum mengarah pada
proses pengambilan keputusan secara formal. Meskipun demikian, dalam hal untuk ketahanan listrik maka kelayakan pembangunan
PLTN akan menjadi pilihan yang tetap rasional dalam jangka panjang. Studi dengan pendekatan kualitatif dan berbasis sumber
data primer dan sekunder dilakukan di Kabupaten Jepara, Provinsi Jateng dan Pangkal Pinang, Provinsi Babel, ditujukan untuk
melihat sejauh mana gambaran perkembangan wacana dan kelayakan pembangunan PLTN selama ini dalam mendukung program
pembangkit listrik nasional dalam jangka panjang. Hasil studi ini menunjukkan bahwa (1) dinamika agenda-setting pembangunan
PLTN belum menunjukkan adanya kemauan politik dari pemerintah seiring dengan masih terbatasnya respons dukungan publik
dan Pemda dan (2) kelayakan pembangunan PLTN bagaimana pun akan tetap menjadi pilihan yang rasional dalam jangka panjang
untuk ketahanan energi (listrik) nasional. Dengan demikian, ketika proses agenda-setting pembangunan PLTN telah menjadi putusan
formal, pemerintah masih harus mengelola tantangan implementasinya secara sosial dan politik.
Kata kunci: PLTN, program listrik 35.000 MW, agenda-setting, ketahanan energi, implementasi kebijakan

I. PENDAHULUAN kuatnya resistensi masyarakat (Amir, 2010). Secara


A. Latar Belakang politis, pembukaan wacana pembangunan PLTN kini
Program pembangkitan listrik 35.000 MW semakin kuat. Hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP)
membangkitkan kembali wacana pembangunan PLTN Komisi VII DPR RI dengan Ditjen Ketenagalistrikan
yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan (Ditjen Ketenagalistrikan, 2015) menguatkan wacana
sebelumnya. Wacana ini sebenarnya telah berjalan tersebut karena sejumlah pertimbangan berikut:
sejak awal 1970-an. Kebijakan terbaru tentang hal (1) program percepatan pembangunan pembangkit
ini dilansir pada pertengahan tahun 2005 di mana listrik 10.000 MW tahap I sampai sekarang belum
Indonesia telah menetapkan rencana pembangunan tuntas. Dengan situasi seperti ini, skeptisisme parlemen
PLTN yang akan dioperasionalkan pada tahun 2016 pun sama kuatnya untuk program percepatan
di Gunung Muria dengan kapasitas mencapai 4.000 pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap
MW sampai tahun 2025 akhirnya dibatalkan akibat II; (2) keterbatasan anggaran, infrastruktur listrik,

Hariyadi, Agenda-Setting Pembangunan PLTN dan Pencapaian Ketahanan Listrik | 127


isu perizinan, dan lambatnya pengembangan energi kedudukannya sebagai sumber energi yang berisiko
terbarukan; (3) tingginya kebutuhan sumber energi dan belum sepenuhnya dapat dikelola secara mandiri,
primer; dan (4) persoalan pembangunan PLTN lebih pengembangan PLTN masih harus menghadapi
bersifat politis selama ini (Ditjen Ketenagalistrikan, tantangan yang berat secara politis (Setianto, 2015;
2015). Teske, et al., 2007). Situasi ini semakin menguatkan
Dari sisi kebutuhan, penguatan diversifikasi tantangan ketahanan energi dalam jangka panjang.
pembangkitan listrik pun memiliki alasan yang kuat.
Rata-rata pertumbuhan penjualan listrik secara B. Permasalahan
nasional mencapai 7,1 persen dalam kurun waktu Pesimisme publik dan para pengambil
2009-2014. Sementara itu, kenaikan ini tidak diimbangi keputusan politik di DPR RI tentang implementasi
dengan penambahan kapasitas pembangkit yang kebijakan pembangkitan listrik 35.000 MW mendorong
hanya mencapai 5,2 persen per tahun. Data menunjuk- kembalinya wacana pembangunan PLTN. Pesimisme
kan bahwa sampai tahun 2014, kapasitas pembangkit ini dilatarbelakangi oleh persoalan rendahnya tingkat
PLN dan swasta baru mencapai 43.457 MW (33.449 realisasi program percepatan pembangunan pembangkit
MW di sistem Jawa-Bali dan 9.958 MW di sistem listrik pemerintahan sebelumnya, keterbatasan anggaran,
kelistrikan wilayah Sumatera dan Indonesia Timur). infrastruktur dan rumitnya perizinan serta lambatnya
Kapasitas pasokan listrik tersebut baru memenuhi pengembangan energi terbarukan, dan adanya
tingkat elektrifikasi sejumlah 84 persen secara nasional. kesadaran bahwa penolakan PLTN lebih bersifat
Akibatnya, perkiraan kebutuhan listrik akan semakin politis selama ini.
tinggi dalam jangka menengah untuk mencapai Data menunjukkan bahwa penjualan rata-rata
target 96 persen tingkat elektrifikasi nasional pada tenaga listrik mengalami peningkatan sebesar 7,8
tahun 2019 (PT PLN, 2014). Dengan demikian, tanpa persen per tahun dalam kurun waktu lima tahun
kebijakan terobosan setidak-tidaknya dalam empat terakhir, dari 133 TWh pada tahun 2009 menjadi
aspek, yakni sistem jaringan, kelembagaan pem- 197,3 TWh pada tahun 2014 dengan tingkat kenaikan
bangunan dan penyediaan ketenagalistrikan, sinergitas jumlah pelanggan listrik rata-rata 3 juta pelanggan
program-program pembangunan ketenagalistrikan, per tahun. Sementara itu, dengan penerapan kriteria
dan penyatuan pembangunan listrik berbasis energi cadangan 35 persen beban puncak dibandingkan
fosil dan energi baru terbarukan (EBT), program pem- dengan daya mampu pembangkit, sistem kelistrikan
bangkitan 35.000 MW dan sisa program 10.000 MW nasional masih harus menyewa pembangkit untuk
tahap I dan II dinilai sulit direalisasikan (Handoyo, 2014; memenuhi kekurangan pasokan listrik sebesar kira-
Kementerian ESDM, 2015). kira 3.600 MW.
Namun demikian, wacana pembangunan PLTN Dalam konteks inilah, menempatkan isu
bagaimana pun belum mendapat respons kuat pengembangan PLTN untuk mendorong program
pemerintah. Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun pengembangan pembangkit listrik nasional menjadi
2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) penting untuk dipertimbangkan sebagai alternatif
telah memberikan ruang yang sangat terbatas bagi pilihan dalam mendukung kebutuhan listrik ke
dibangunnya PLTN. Kebijakan ini sekaligus memperteguh depan (Ditjen Ketenagalistrikan, 2015). Kelayakan
kebijakan yang ditempuh pemerintahan sebelumnya di pembangunan PLTN secara teknis dan tingginya
mana pengembangan tenaga nuklir untuk kepentingan tingkat kebutuhan listrik dalam jangka menengah
pasokan listrik masih menjadi pilihan yang paling akhir. dan panjang menjadikan pilihan PLTN sebagai kebijakan
Hal ini berarti bahwa wacana pembangunan PLTN sama yang semakin rasional meskipun secara politis dan dari
sekali belum menjadi menu dalam penentuan agenda sisi pilihan kebijakan energi nasional, pembangunan
kebijakan (agenda-setting) meskipun salah satu dasar PLTN belum mendapatkan dukungan yang memadai.
hukum pemanfaatan tenaga nuklir sebenarnya telah Hasil studi kelayakan tapak dan non-tapak BATAN
memberikan ruang bagi pemanfaatan tenaga nuklir rencana pembangunan PLTN di Bangka Barat dan
untuk tujuan damai. Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Diakui bahwa Pasal 11 ayat (2) PP No. 79 Tahun menunjukkan bahwa PLTN layak dibangun. Kasus
2014 tentang KEN menegaskan bahwa prioritas yang sama kebijakan pembangunan PLTN di Gunung
pengembangan energi nasional harus dilakukan dengan Muria, Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Studi Englert,
keseimbangan keekonomian energi dan didasarkan et. al. (2012) menunjukkan bahwa PLTN berpotensi
pada prinsip-prinsip optimalisasi energi non-nuklir. dalam menutupi kebutuhan listrik secara global
Dengan demikian, pengembangan energi nuklir tetap meskipun keberlanjutannya akan ditentukan oleh
dimungkinkan sepanjang dipertimbangkan dalam aspek faktor ketersediaan bahan baku dan dukungan politik
keamanan pasokan energi nasional dalam skala besar pemerintah. Dalam konteks Indonesia, sebuah studi
dan menjadi pilihan terakhir. Namun demikian, dengan (Suleiman, 2013) juga menunjukkan bahwa agenda

128 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
pembangunan PLTN sejak pemerintahan Orde Baru faktor-faktor yang memperkuat proses penentuan
sebenarnya lebih bersifat pragmatis karena potensi agenda menjadi agenda formal menuju dimulainya
semakin besarnya kebutuhan pasokan listrik ke proses pembuatan keputusan. Faktor-faktor itu, antara
depan. Namun demikian, persoalan kelayakan politis lain suasana publik secara umum, suksesi (turnover)
dan kelembagaan pengelola PLTN yang selama ini eksekutif dan legislatif termasuk di dalamnya
menjadikan agenda pembangunan PLTP mengalami terobosan visi dan misi pemerintahan yang baru dan
kegagalan (Tanter, 2015). Dengan mendasarkan pada beragam kampanye dari para kelompok kepentingan
studi kasus di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Howlett & Ramesh, 1995; Nugroho, 2014).
dan Provinsi Jawa Tengah, rumusan penelitian ini Di atas kertas, dengan merujuk pada semakin
diarahkan untuk menjawab dua pertanyaan berikut tingginya kebutuhan pasokan listrik, terbatasnya
(1) bagaimana gambaran perkembangan wacana pasokan sumber energi primer sebagai sumber
pembangunan PLTN selama ini? dan (2) sejauh mana pembangkit listrik dan kuatnya kebijakan terobosan
kelayakan pembangunan PLTN secara nasional? pemerintahan sekarang dalam membangun pembangkit
listrik lima tahun ke depan, ketiga arus tersebut terlihat
C. Tujuan begitu kuat. Pada tataran arus masalah, serangkaian
Penelitian ini ditujukan untuk melihat (1) persoalan pasokan listrik terjadi karena terbatasnya
seberapa penting kedudukan PLTN dalam memenuhi pengembangan pembangkit listrik dan tingginya
ketahanan listrik nasional, (2) sejauh mana kondisi kebutuhan energi listrik. Terlambatnya penyelesaian
kekinian agenda pembangunan PLTN di mata program percepatan pembangunan pembangkit listrik
pemangku kepentingan terkait, dan (3) sejauh mana 10.000 MW tahap I dan II menegaskan hal ini. Pada
kelayakan pembangunan PLTN saat ini. Sementara tataran arus kebijakan, serangkaian kajian akademisi,
itu, manfaat penelitian ini diharapkan menjadi LSM dan bahkan lembaga pemerintahan telah
masukan bagi AKD terkait dalam rangka mendukung menunjukkan bahwa persoalan pasokan ketersediaan
pelaksanaan fungsi pengawasan DPR RI dalam listrik telah mencapai titik kritis. Sementara itu, pada
mengawal kebijakan pemerintah ke depan. tataran arus politik, naiknya kepemimpinan Presiden
Djoko Widodo dengan program pembangkit 35.000 MW
II. KERANGKA TEORI dalam lima tahun ke depan membutuhkan kebijakan
Pewacanaan kembali pembangunan PLTN dapat terobosan dalam mencapainya termasuk alternatif
dilihat dalam kerangka proses penentuan agenda kebijakan sumber pasokan energi primer lainnya. Itu artinya,
(agenda-setting) oleh para pengambil keputusan. Proses pendekatan kekuasaan dan/atau politik sebenarnya
ini adalah pengakuan pemerintah terhadap suatu telah mendasari keputusan program kebijakan tersebut
masalah publik yang perlu mendapatkan respons (Parsons, 2011). Dengan demikian, pemerintah
segera. Pendek kata, penentuan agenda adalah dihadapkan tidak hanya pada tantangan agenda-
sebuah proses melalui mana berbagai tuntutan dari setting tetapi juga bagaimana mengimplementasikan
berbagai kelompok masyarakat diterjemahkan ke keputusan tersebut. Karena itu, penggunaan teori/
dalam menu yang saling bersaing untuk mendapatkan pendekatan model implementasi kebijakan sangat
perhatian serius dari para pengambil keputusan. relevan dalam konteks studi ini.
Namun demikian, secara empiris proses penentuan Persoalan implementasi kebijakan tidak hanya
agenda tersebut sering muncul secara top down. berkutat pada persoalan bagaimana menjalankan
Dalam perjalanannya, proses agenda setting ini setiap keputusan politik di lapangan dan karenanya
tidak pernah akan sampai pada dimulainya proses ia tidak bisa dipandang sebagai hal sederhana dalam
pembuatan kebijakan publik selama belum terbukanya siklus kebijakan publik. Awalnya, proses implementasi
apa yang disebut sebagai jendela kebijakan, ’policy- dapat didekati dengan cara yang rasional dan
windows’. Jendela kebijakan secara teoritis diartikan melihatnya sebagai hanya sekedar memerintahkan
sebagai persinggungan di antara ketiga ’arus’, yakni para administrator untuk menjalankan putusan
arus masalah, arus kebijakan dan arus politik. Arus politik di lapangan. Model ini sering disebut sebagai
masalah (problem streams) merujuk pada persepsi pendekatan sistem rasional yang sifatnya top-down.
publik secara umum terhadap masalah yang dianggap Gagasan ini dikembangkan oleh sejumlah analis
sebagai masalah publik yang memerlukan tindakan seperti Andrew Dunsire, Christopher Hood dan
pemerintah dan upaya pemerintah sebelumnya untuk Lewis Gunn. Menurut mereka, proses implementasi
mengatasi masalah tersebut. Sementara itu, arus kebijakan hanya bergantung pada bagaimana rantai
kebijakan (policy streams) diartikan sebagai hasil kajian komando, dan koordinasi dan pelaksanaan kontrol
para ahli terhadap suatu masalah tertentu termasuk bisa dilakukan dengan baik. Dalam kerangka ini,
di dalamnya berbagai usulan penyelesaiannya. Dan (Hood, 1976) misalnya, menegaskan beberapa syarat
terakhir, arus politik (political streams) merujuk pada keberhasilan implementasi kebijakan, yakni (1)

Hariyadi, Agenda-Setting Pembangunan PLTN dan Pencapaian Ketahanan Listrik | 129


kebijakan itu dihasilkan oleh sebuah organisasi yang peneliti itu ke-6 elemen ini pun tidak mungkin dicapai
solid dan dicirikan dengan garis otoritas yang kaku selama periode awal implementasi atas kebijakan
dan tegas; (2) norma-norma dan tujuan tertentu yang diarahkan untuk mencapai perubahan perilaku
akan ditegakkan; (3) adanya koordinasi yang kuat yang mendasar (Sharkansky, 2002; Van Meier &
antar dan intra-organisasi; dan (5) kecilnya tekanan Van Horn dalam Parson, 2011). Sejumlah variabel
waktu (Parsons, 2011). yang turut memengaruhi dalam hal ini misalnya
Dalam praktiknya, pendekatan ini tidak mudah menyangkut (1) konflik kepentingan antarpemangku
dilakukan. Menurut Lipsky dalam Parsons (2011) kepentingan, (2) koordinasi antarlembaga pelaksana,
misalnya, telah menulis bahwa keberhasilan (3) terlalu tingginya tuntutan dari atas dan bawah,
implementasi kebijakan perlu memahami interaksi dan (4) saling lempar tanggung jawab antarlembaga
antara birokrasi pelaksana dengan masyarakat target. pelaksana/power of inaction (Sharkansky, 2002; Parsons,
Bersama-sama dengan R. Wetherley, studi Lipsky 2011; Nugroho, 2014).
membuktikan bahwa model rasional top-down tidak
efektif. Dari kajian inilah muncul pendekatan bottom- III. METODOLOGI
up, suatu pendekatan yang memandang bahwa A. Jenis Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
implementasi di lapangan seharusnya memberikan Penelitian ini bersifat kualitatif dengan sumber
fleksibilitas dalam penerapan kebijakan publik. data primer dan sekunder. Data primer yang dipakai
Model ini memandang proses sebuah negosiasi dan adalah hasil wawancara mendalam dan serangkaian
pembentukan konsensus. Dalam bahasa Dunleavy, dokumen resmi yang terkait agenda pembangunan
proses perumusan kebijakan mungkin “dibelokkan” PLTN selama ini seperti RUPTL PT PLN tahun 2015-
oleh implementasinya yang didominasi oleh 2019 dan laporan Raker Komisi VII dan Pemerintah.
pelaksana profesional (Parsons, 2011). Sementara itu, data sekunder mencakup serangkaian
Pendekatan ini pun tidak seluruhnya meyakinkan informasi umum/khusus, baik dari hasil penelitian,
analisis tentang implementasi kebijakan dan karena kajian/analisis, dan sumber berita media massa
itu munculah gagasan bahwa implementasi harus terkait lainnya.
dilihat dalam konteks interaksi manusia. Dengan kata Sementara itu, teknis pengumpulan data dilakukan
lain, implementasi sebagai proses yang distrukturisasi dengan cara studi kepustakaan dan wawancara. Untuk
oleh konflik dan tawar-menawar dalam mencapai mendapatkan data tentang pandangan masyarakat
sebuah tujuan yang diakui bersama. Pandangan atas sejauh mana kelayakan pengembangan PLTN
ini juga sejalan dengan pandangan Bardach yang dalam mendukung realisasi program pembangkit listrik
menilai implementasi kebijakan seperti halnya tawar- nasional ke depan, dibatasi pada sejumlah pemerhati
menawar, persuasi dan manuver dalam kondisi dalam hal ini akademisi/peneliti dan/atau perwakilan
ketidakpastian. Model Bardach ini menguatkan masyarakat/LSM terkait dan pemangku kepentingan
anggapan bahwa politik adalah sesuatu yang dari unsur perwakilan lembaga publik terkait di daerah
melampaui institusi ‘politik’ resmi karena politik penelitian, dan beberapa perwakilan masyarakat di
tidak berhenti setelah RUU ditetapkan menjadi UU, sekitar lokasi pendirian PLTN.
atau politik tidak berhenti pada proses politik atau
tidak berhenti dalam proses pembuatan keputusan. B. Waktu dan Tempat Penelitian
Oleh karena itu, implementasi kebijakan bisa dilihat Kegiatan pengumpulan data sekunder dilakukan
sebagai bentuk lain dari politik yang berlangsung di Jakarta dan dimulai bulan Maret 2015 s.d. Juni
di dalam domain kekuasaan yang tidak terpilih 2015. Sementara itu, kegiatan penelitian lapangan
(Parsons, 2011). akan dilakukan di lokasi yang pernah direncanakan
Model implementasi yang merupakan sintesa menjadi lokasi PLTN, yakni Provinsi Bangka Belitung
dari model top-down dan bottom up, misalnya telah dan Provinsi Jawa Tengah. Kegiatan di wilayah
dikembangkan Mazmanian & Sabatier dalam Howlett tersebut dimulai pada bulan Juni dan Juli 2015.
& Ramesh 1979. Mereka misalnya, menetapkan 18
elemen yang akhirnya diperas menjadi 6 elemen yang IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
turut menentukan implementasi kebijakan, yakni (1) A. Perbandingan Respons Daerah Lokasi
tujuan yang jelas dan konsisten, (2) landasan teoritik Pembangunan PLTN
yang kuat atas hubungan kausalitas yang relevan Sejumlah narasumber di wilayah Pangkal
dengan isu kebijakan, (3) kesiapan lembaga pelaksana Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel),
dengan derajat otoritas dan dukungan finansial yang menunjukkan pandangan yang mendukung kehadiran
memadai, (4) dukungan kelompok kepentingan dan PLTN secara ekonomis, teknokratis dan strategis.
lembaga pemerintah, (5) dukungan konstituen, dan Kehadiran PLTN dinilai menjadi pilihan yang rasional dan
(6) kondisi sosio-ekonomi yang memadai. Bagi kedua sejalan dengan politik energi nasional, PLTN sekaligus juga

130 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
sejalan dengan visi pengelolaan kelistrikan yang efisien. Dalam pemahaman ini, keberadaan PLTN menjadi
Bagi mereka, pandangan kontra dianggapnya wajar bagian penting dari agenda 35.000 MW meskipun juga
karena kecenderungan masyarakat yang masih melihat berlaku bahwa dengan kehadiran PLTN pasokan listrik
PLTN identik dengan kecelakaan dan/atau radiasi yang secara nasional bukan berarti akan selalu terpenuhi. Di
berbahaya.1 Narasumber lain mengaitkan signifikansi samping itu, sebagai sebuah pembangkit berteknologi
PLTN dalam konteks potensi kedaruratan energi seperti tinggi, secara politis negara sebenarnya juga
ditunjukkan dengan terjadinya ketimpangan suplai listrik berkepentingan untuk menguasai teknologi tersebut.
dengan jumlah penduduk dan kegiatan ekonomi. Dalam Hal ini tidak berlebihan karena beberapa negara
konteks Babel misalnya, tingkat elektrifikasinya baru seperti di Arab Saudi sendiri pun telah dikembangkan.
mencapai 84,5 persen meskipun menurut PT PLN, angka Malaysia bahkan sedang mulai merencanakan untuk
ini di atas rata-rata tingkat elektrifikasi seluruh provinsi membangun di perbatasan Kalimantan. Dengan
di Sumatera (PT PLN, 2014). Pada tahun 2015, beban demikian, dalam rangka mendukung peningkatan
puncak kebutuhan listrik Babel mencapai 165 MW, daya saing ekonomi nasional, pembangunan PLTN
dan dengan asumsi pertumbuhan sebesar 11,1 persen, menjadi alternatif penting.
kebutuhan beban puncaknya diperkirakan mencapai di Narasumber menekankan pandangannya
atas 400-an MW (RUPTL PT PLN 2015-2025) meskipun pada keperluan penguatan kemauan politik dalam
menurut PT PLN Wilayah Babel beban puncak Babel baru implementasinya karena pembangunannya memerlukan
mencapai 129 MW dari daya mampu yang mencapai 157 waktu 5-7 tahun. Indikasi penguatan kemauan politik
MW (Dinas Kominfo Babel, 2015). ini ditunjukkan dengan perlunya pemerintah segera
Namun demikian, sebagian kebutuhan listrik menyatukan visi pengembangan PLTN. Selain itu,
sejumlah industri seperti pengolahan sawit dan industri pemerintah pusat juga segera melakukan mobilisasi
pengolahan mineral terbukti masih menggunakan dukungan politik seluruh pemangku kepentingan. Di
sumber listrik biomassa dan pembangkit sendiri. Hal Babel, hal ini lebih mudah dikelola karena kelayakannya
ini misalnya, bisa dilihat dari komposisi kapasitas daerah ini sebagai tapak/lokasi PLTN dan kuatnya
terpasang pembangkit listrik di Babel yang mencapai kemauan politik pemimpin politik daerah. Hal ini
132 MW sampai tahun 2014, 13 MW di antaranya berkaitan dengan karakteristik Babel yang bersifat
dibeli dari masyarakat (PT PLN, 2014). Karena itu, kepulauan dan tidak memiliki sumber panas bumi, PLTA,
dalam rangka pengembangan infrastruktur seperti dan EBT lainnya. Selain itu, kelembagaan penunjang
bandara dan pelabuhan, pertumbuhan penduduk yang juga perlu dipersiapkan di tingkat pusat dan daerah.
mencapai 2,19 persen per tahun (BPS Provinsi Bangka Hal terpenting lain adalah upaya sosialisasi khususnya
Belitung, 2015) dan kegiatan perekonomian, rencana aktor masyarakat yang komprehensif dalam pengertian
pembangunan PLTU di Babel sebesar 2 x 30 MW informasi tentang PLTN berikut risikonya. Hal ini
menjadi penting. menyiratkan bahwa instrumen implementasinya pun
Sejalan dengan berbagai hasil kajian, narasumber juga harus diperkuat.
juga memberikan pandangan positif bahwa tantangan Terkait dengan isu potensi bencana dan kerusakan
pembangunan PLTN sebenarnya lebih bersifat politik.2 lingkungan, narasumber menegaskan bahwa semua
Dalam pemahaman ini, kelayakan PLTN dapat didukung jenis sumber energi yang untuk pembangkit listrik dapat
dengan beberapa argumen berikut. Meskipun memiliki mengeluarkan emisi GRK. Karena itu, dalam rangka
potensi kapasitas yang besar, PLTN bagaimana pun mengurangi risiko potensi tersebut, penguatan SDM dan
bukanlah pemasok utama kebutuhan listrik suatu teknologi terkait diperlukan. Dengan demikian, dalam
negara bahkan di luar negeri. Di Indonesia, peran PLTN jangka panjang, PLTN tetap harus diperhitungkan
misalnya bisa dipatok sampai dengan 20 persen dari seiring dengan tingkat kebutuhan pasokan listrik yang
kebutuhan listrik nasional. Sebagai gambaran, peta jalan semakin tinggi. Secara politis hal ini juga menjadi
BATAN ketika pemerintah mengambil keputusan untuk sesuatu yang semestinya dilakukan pemerintah
membangun PLTN pada tahun 2008 misalnya, target karena penguasaan teknologi PLTN sedikit banyak
pemerintah bahwa PLTN akan mampu menghasilkan dapat menopang eksistensi negara dalam mengejar
sampai 4.000 MW listrik pada tahun 2025 (Amir, 2010). posisinya sebagai negara maju. Konteks ini semakin
Dengan merujuk pada RUPTL tahun 2015-2024, jumlah signifikan ketika Malaysia dikabarkan berencana
akan ini setara dengan 5,7 persen kebutuhan tambahan membangun PLTN wilayah perbatasannya. Dalam
kapasitas pembangkit yang mencapai 70.400 MW hal rencana Malaysia pada akhirnya diwujudkan,
sampai tahun 2025 (PT PLN, 2014). sasaran pasarnya adalah Indonesia. Dalam konteks
ini, setiap daerah yang diproyeksikan sebagai tapak

1
Wawancara dengan Firdaus, Zulkarnaen, dan Deki Susanto,
BLHD Provinsi Babel, 8/9/2015.
PLTN seharusnya tidak menutup diri terhadap

2
Wawancara dengan Deki Susanto, BLHD Provinsi Babel, wacana pembangunan PLTN. Untuk mendukung
8/9/2015. hal ini, pemerintah perlu membentuk sebuah tim

Hariyadi, Agenda-Setting Pembangunan PLTN dan Pencapaian Ketahanan Listrik | 131


pembangungan PLTN yang melibatkan semua unsur potensi risiko kecelakan, studi Tapak telah menegaskan
pemangku kepentingan terkait. bahwa potensi tersebut dipastikan rendah dan dengan
Pandangan yang sama disampaikan narasumber demikian pemerintah dapat lebih memusatkan pada
lain karena jika pasokan listrik tidak mencukupi, upaya pengurangan risiko kesalahan manusia.
Babel sebagai daerah tambang akan menghadapi Narasumber Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
masalah dalam konteks kebijakan mandatoris dan Penanaman Modal (BPPTPM) dan PT PLN Wilayah
pembangunan smelter.3 Hal ini bukan tanpa alasan Babel juga mewakili pandangan yang mendukung
karena pasokan dari sumber EBT belum memadai. kehadiran PLTN meskipun sifatnya masih kondisional.
Hal ini belum dipertimbangkan dengan rencana Mereka melihat bahwa kondisi kawasan industri di
pengembangan pembangkit listrik di Babel yang masih Tanjung Ular (Babel), Belitung Timur, dan Tanjung
terkendala penyelesaiannya. Sebagai contoh program Ketapang masih mengalami kekurangan pasokan
pembangkit 2 x 16,5 MW tahap 1 (PLTU Belitung listrik.5 Untuk mengatasi masalah ini pihak industri telah
Baru- FTP1/2014) dan 2 x 30 MW tahap 2 (PLTU Air mengupayakan sendiri. Investasi ketenagalistrikan
Anyer-FTP 1/2014/15). PT PLN Wilayah Babel juga telah dipersiapkan dalam program “Babel Indo Energy”.
menegaskan bahwa per 2014, FTP I (seharusnya tuntas Sejumlah izin prinsip pembangunan pembangkit listrik
2010), baru 73 persen terpenuhi dengan 725 MW sendiri sudah diselesaikan, hanya saja karena adanya
COD, 461 MW FTP I, PLTU Bangka 1x30 MW.4 Karena keharusan mereka menjual ke PLN dengan tingkat harga
itu, sebagai kebijakan yang sifatnya out of the box, di bawah keekonomian dan tidak semua kelebihan
agenda PLTN sebenarnya masuk akal, tidak hanya daya listrik akan dibeli PLN menjadi disinsentif untuk
kelayakannya telah dilakukan berdasarkan hasil melanjutkan upaya ini. Untuk mendorong ini, insentif
studi Tapak pada tahun 2009-2011 oleh PT Surveyor fiskal juga perlu diperkuat sehingga memperkuat
Indonesia dengan PriceWatercorp dengan standar program 35.000 MW. Terlepas dari itu semua, urgensi
IAEA di daerah Mentok di Bangka Barat (Babar) dan pemenuhan listrik sebenarnya tidak hanya dalam
Sebagin Kec. Simpang Rimba Bangka Selatan (Basel) konteks pemenuhan listrik industri tetapi juga bagi
dengan rekomendasi daya mencapai 6 x 1000 MW sektor rumah tangga. Pembangkit alternatif seperti
(Bangka Barat) dan 4 x 1000 MW (Bangka Selatan). PLTS sebenarnya sudah direncanakan di Tj. Ketapang,
Rekomendasi ini tentunya berdasarkan kondisi geologi di Toboali, Basel, hanya saja karena biaya investasi yang
batuan yang mendukung, bukan daerah gunung masih mahal dan dengan kapasitas yang terbatas (15
berapi dan penduduknya masih terbatas. kVA listrik = Rp15 miliar), pada akhirnya tidak banyak
Terkait dengan dukungan publik terhadap yang dikembangkan. Oleh karena itu, agenda PLTN
PLTN juga dinilainya relatif positif. Survei BATAN sebenarnya perlu didorong. Namun demikian, persoalan
menunjukkan setelah tsunami pada tahun 2009, 50- penyiapan SDM, penguasaan teknologi, sosialisasi, dan
55 persen masyarakat Babel menerima PLTN. PLTN rencana aksi yang jelas dan mengikat dalam hal terjadi
juga berkorelasi positif untuk menopang ketahanan kegagalan/kecelakan pun harus dipersiapkan.
energi nasional. Hal lain potensi bakan bakar berupa Berbeda dengan narasumber di Babel, narasumber
uranium dan torium juga tersedia. Sebagai contoh di di Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah, yakni unsur
Tanjung Ular, BATAN bekerja sama dengan PT Timah perwakilan SKPD dan PT PLN Rayon Jepara memberikan
sedang mengembangkan tanah jarang untuk bahan gambaran yang berbeda meskipun untuk sebagian
thorium. narasumber memandang sedikit positif. Perwakilan
Agenda PLTN juga semakin penting ketika kita ormas, yakni Masyarakat Reksa Bumi (MAREM) menilai
mengaitkan dengan potensi lemahnya realisasi bahwa keragaman kekayaan sumber energi seperti
pendanaan bagi pengembangan pembangkit swasta batubara, migas dan EBT dinilai masih mencukupi
(skema IPP) sementara realisasi program pembangkit sehingga PLTN belum diperlukan.6 Penolakannya
35.000 MW membutuhkan sebuah (kebijakan) terhadap PLTN juga bersifat keilmuan karena (1) bahan
terobosan. Begitu pula terkait dengan pendanaan baku PLTN yang dikembangkan di luar negeri selama
PLTN, pemerintah menyatakan kesiapannya, bahkan ini sebenarnya menggunakan plutonium dari bom
Gubernur Babel telah berdiskusi dengan Rosatom atom yang sudah kadaluarsa yang telah dihancurkan
(Rusia) soal ini. Dengan demikian, kemauan politik (demolished); (2) biaya perawatannya yang mahal
pemerintah sekarang tertantang untuk segera dan rumit; (3) keterbatasan bahan baku. Uranium
menyiapkan dasar legalitasnya. Terkait dengan isu 235 ‘ditembak’ dari reaktor menjadi plutonium yang

3
Wawancara dengan Taufik, Kabid Kelistrikan, Dinas ESDM
5
Wawancara dengan Sumadi, Imam Hidayat, dan Candra
Provinsi Babel, 8/9/2015. Pratama, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman

4
Wawancara dengan Santana, Bagian Perencanaan PT PLN Modal dan Bidang PTSP, Provinsi Babel, 8/9/2015.
Wilayah Provinsi Babel, 9/9/2015.
6
Wawancara dengan Dr. Lilo Sunaryo, MAREM, Jepara,
30/9/2015.

132 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
beradiasi sangat tinggi (24.000 tahun masa radiasinya). hanya itu, kekuatan politik tertentu juga diduga di-
Kasus di Versailles, Siberia dan AS, ion-nya disimpan 250 tengarai terjadi dengan kekuatan partai penguasa
meter di bawah tanah. Persoalan di Indonesia adalah di daerah dalam pengelolaan limbah tertentu yang
tempat penyimpanan. bernilai ekonomis melalui penutupan akses pasar
Meskipun demikian, PLTN fusi/air berat sebenarnya dan perizinan.
bisa menjadi alternatif karena hanya mengeluarkan Isu relatif tidak kepercayaan masyarakat juga terkait
radiasi yang masanya (lifetime) pendek yang hanya dengan pengelolaan limbah yang tidak terbayangkan
11 tahun, sehingga dari 1000 MW hanya menyisakan seperti halnya terjadi di Rusia dan Jepang, sementara
limbah 27 kg/tahun yang harus dibuang. Namun Indonesia memiliki keragaman sumber energi primer
demikian, sejauh ini baru 20 negara yang baru dalam yang begitu besar. Dengan demikian, peningkatan
tahap pengembangan. Alasan lain penolakan PLTN daya listrik harus dilakukan dengan mendasarkan
terkait dengan bahan baku PLTN berupa uranium baru pada sumber non-nuklir. Pendek kata, pemerintah
hanya tersedia di Kalbar/Kaltim, sementara itu, thorium harus bekerja keras terlebih dahulu mengembangkan
yang berada dalam serpisahan tembaga jumlahnya sumber energi lain. Hal lain, pengembangan PLTN
terbatas di Babel. Meskipun begitu, narasumber juga identik dengan kesan project-oriented karena
memberikan penilaian positif dan realistis terhadap pengembangannya membutuhkan modal yang besar.
agenda pembangunan pembangkit 35.000 MW seiring Selain kebutuhan modal yang besar, PLTN juga
dengan keterbatasan pasokan listrik secara nasional. membutuhkan kesiapan birokrasi, SDM, manajemen
Pandangan sama disampaikan ormas lain. Ketua risiko, penguasaan teknologi, tata kelola pemerintahan
Lembaga Pengkajian dan Peningkatan SDM/Lakpesdam yang bebas rent-seeking dan yang secara khusus harus
PCNU Jepara mengakui bahwa upaya peningkatan mendapat perhatian terkait dengan rencana aksi yang
daya listrik menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan.7 jelas terhadap penanganan limbah. Ketidaksetujuan
Namun demikian, wacana PLTN dinilainya tidak pas. narasumber PLTN juga dilihat dari telah terpenuhinya
Hal ini diakibatkan oleh (1) masih terbatasnya tingkat kebutuhan listrik di wilayah Jepara setelah berdirinya
kepercayaan terhadap pemerintah, (2) dampak yang PLTU.
sudah bisa dikenali dengan kehadiran PLTU, (3) aspek Terkait dengan rasionalitas isu kebijakan 35.000
tata kelola pemerintahan yang buruk karena isu MW, menurutnya pemerintah dipastikan telah mem-
korupsi, pencarian rente, dan lemahnya transparansi, perhitungkan secara matang dan komprehensif.
(4) skenario bencana. Penolakan terhadap wacana Dengan demikian, kebijakan ini tetap dianggap
PLTN bisa dilihat dari dampak kehadiran PLTU realistis apalagi jika didukung dengan komitmen
Jepara yang dianggapnya kurang sosialisasi terhadap pemerintah untuk melaksanakan sejumlah kebijakan
masyarakat terdampak. Tercatat sudah ada 18 terobosan yang ditujukan untuk itu. Namun demikian,
kelompok mencakup 8 kecamatan yang menentang rasionalitas tersebut bukan berarti perlu ditopang
karena terdampak dengan pengoperasian PLTU dengan PLTN karena sumber energi lain dinilai sudah
tersebut. cukup.
Kasus PLTU menjadi bukti bahwa sosialisasi Pandangan yang kurang lebih sama disampaikan
yang terbatas menjadi satu akar persoalan. Betul SKPD lain. Bidang ESDM Dinas BM, Pengairan dan
sosialisasi ke ormas telah dilakukan tetapi dengan ESDM Kab. Jepara, misalnya melihat kebijakan
frekuensi yang sangat terbatas dan sedikitnya 35.000 MW sebagai sebuah terobosan.8 Namun
jumlah orang yang dilibatkan. Akibatnya, pemerintah demikian, dengan peta persoalan yang selama ini
dianggap kurang transparan. Kasus yang sama soal membelit, kebijakan ini menghadapi tantangan yang
CSR yang dinilainya sangat terbatas dan cenderung sangat kuat. Tantangan itu mencakup (1) persoalan
kasus per kasus meskipun sekali pernah dilakukan pembebasan lahan, (2) sinergis pusat dan daerah dan/
dengan para nelayan melalui Lakpesdam misalnya. atau antardaerah, dan (3) faktor teknis/keekonomian.
Dalam konteks CSR misalnya, gagasan kompensasi Persoalan pembebasan lahan menjadi persoalan yang
listrik gratis dan penerangan di sepanjang pantai sangat krusial seiring dengan semakin rasionalnya
tempat mereka berlabuh apalagi mereka juga sikap masyarakat, sikap yang kadang-kadang kurang
membayar PJU meskipun sejauh ini responsnya rasional.
masih sangat terbatas. Faktor dugaan CSR masuk Terkait dengan wacana pembangunan PLTN di
ke birokrasi sebagai biaya politik dengan elit daerah Muria, dinilai bakal menghadapi persoalan kuatnya
melalui BUMD dalam pengelolaan limbah yang penentangan masyarakat. Persoalannya adalah
potensial untuk tujuan ekonomis pun kental. Tidak bagaimana pemerintah bisa menjamin bahwa PLTN

7
Wawancara dengan Maya Gina, Ketua Lembaga Pengkajian

8
Wawancara dengan Suyono dan Didik F. Nuha, Dinas Bina
dan Peningkatan SDM/Lakpesdam PCNU Kab. Jepara/Fak.
Marga, Pengairan & ESDM Kab. Jepara, 29/9/2015.
Syariah dan Hukum Unisnu Jepara, 1/10/2015.

Hariyadi, Agenda-Setting Pembangunan PLTN dan Pencapaian Ketahanan Listrik | 133


Tabel 1. Respons terhadap Wacana Pembangunan PLTN
Narasumber Perencanaan (Agenda-Setting) Topografi/Teknis Sosial
Jepara (Jateng):
1. SKPD dan PT PLN Mayoritas belum memandang Kelayakan tinggi berdasarkan Perlu sosialisasi dan
urgensi PLTN dan sangat hasil FS sebelumnya pendekatan sosial khusus
kondisional
2. Ormas/LSM Mayoritas belum memandang Kurang mendukung hasil FS Menolak karena potensi
urgensi PLTN dan sangat kondisional sebelumnya kecelakaan, pasokan listrik cukup
Pangkal Pinang (Babel):
1. SKPD dan PT PLN Mayoritas mengakui urgensi PLTN Kelayakan tinggi berdasarkan Perlu sosialisasi dan penyiapan
dan kondisional jika RUPTL sesuai hasil FS, sumber energi lain tata kelola
target terbatas/tidak tersedia
2. Ormas/LSM - - -
Sumber: disarikan dari hasil wawancara dan data terkait, 2016.

menjadi alternatif pembangkit listrik yang zero tolerance MW. Meskipun demikian, implementasi program ini juga
untuk risiko kecelakaan di hadapan masyarakat apalagi berat seiring dengan masih membelitnya persoalan yang
setelah terjadi kecelakaan PLTN Fukhusima. Secara selama ini sangat menganggu dalam pengembangan
umum pembangunan itu memiliki dampak. Hanya saja, pembangkitan dan/atau jaringan.10 Sejumlah persoalan
PLTN dinilai secara potensial menawarkan dampak yang krusial yang harus dikelola untuk mewujudkan kebijakan
belum dapat diterima sama sekali oleh masyarakat. ambisius ini mencakup (1) pembebasan lahan; dan
Hal ini berbeda dengan PLTU, misalnya. Meskipun (2) persoalan sosial-ekonomi dan tingkat pemahaman
PLTU berpotensi mengakibatkan tingkat polusi yang masyarakat yang masih belum kondusif.
sangat besar dan kenaikan tingkat emisi, risikonya tidak Satu-satunya pandangan berbeda disampaikan
sebesar PLTN. ormas lain. Ketua PCNU Kab. Jepara misalnya,
Meskipun demikian, persoalan pro dan kontra memberikan pandangan positif terhadap wacana
terhadap kehadiran PLTN juga harus dilihat dalam konteks pembangunan PLTN dalam jangka panjang
kentalnya kepentingan. Sebagai contoh, tokoh masyarakat untuk merespons pertumbuhan penduduk dan
(terutama politisi) seperti kepala desa dan tokoh lainnya perekonomian nasional.11 Terkait dengan penolakan
yang sangat menggantungkan otoritasnya pada dukungan masyarakat menurutnya lebih diakibatkan untuk
masyarakatnya, kekhawatiran kehilangan legitimasi sosial sebagian keterbatasan pengetahuan mereka
dan politisnya menjadi dasar yang menuntutnya untuk soal PLTN. Hal lain, resistensi sosial tersebut juga
kontra dengan PLTN. Hal yang sama terjadi pada segelintir lebih didorong oleh sikap kelompok referensinya
orang yang kebetulan bekerja/berafiliasi dengan Batan, bukan karena penilaian yang rasional. Hal ini dapat
misalnya, orang yang bekerja pada perwakilan Batan di dipahami karena masih kuatnya sistem kebapakan
Tapak pun harus menunjukkan dukungannya meskipun (patron-client), sehingga sikap resistensi tersebut
berisiko dikucilkan secara sosial. sebenarnya lebih mengarah pada sikap yang diambil
Pandangan kuatnya penolakan masyarakat juga tokoh masyarakat. Hal lain, pola pemikiran mereka
ditegaskan kepala desa setempat. Narasumber tersebut yang masih bersifat lokalitas di mana ketahanan
menegaskan sampai sekarang, 90 persen masyarakat pasokan listrik masih dilihat dalam konteks di
Balong dipastikan menolak PLTN.9 Karena itu, sinyal Jepara, apalagi di sana sudah tersedia PLTU. Dalam
terhadap wacana pembangunan PLTN pun begitu sensitif kasus Jepara misalnya, hal ini direpresentasikan
dan memberikan tekanan psikologis bagi perangkat dengan pemahaman bahwa dengan kehadiran PLTU,
desa seolah-olah desa ‘bermain’ dalam isu ini. Kuatnya kebutuhan listrik Jepara sudah cukup dan bahkan
penolakan masyarakat terhadap rencana PLTN juga bisa dijual ke tempat lain seperti di Bali dalam
berimbas pada proses Pilkades Desa Balong (5500 jiwa, konteks sistem jaringan Jawa-Bali.12
3200 pemegang hak pilih dan 1700 KK) di mana setiap Alasan lain terkait dengan belum adanya ‘nilai lebih’
calon dipaksa untuk melakukan perjanjian penolakan sebagai daerah penghasil listrik seperti ‘tingkat harga’,
pembangunan PLTN. Pandangan yang sama disampaikan

10
Wawancara dengan Sunoto, Kepala PT PLN Rayon Kab.
PT PLN setempat. Sebaliknya, narasumber yang sama
Jepara, 29/9/2015.
memberikan respons positif terhadap program 35.000
11
Wawancara dengan H. Ashari, Ketua PCNU Kab. Jepara,
28/9/2015.

9
Wawancara dengan Moh. Parno, Petinggi/Kepala Desa
12
Wawancara dengan Abdul Jafar, anggota PCNU Kab. Jepara,
Balong, Kec. Kembang, Kab. Jepara, 1/10/2015. 28/9/2015.

134 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
Tabel 2. Agenda-Setting Pengembangan Energi Nuklir (PLTN Muria)
No. Pemerintahan Tujuan Tindak Lanjut ke Pengambilan Kebijakan Keterangan
1. Soekarno Politis Batal karena rezim jatuh Belum mengarah pada PLTN dan
(1950-an s.d. 1960-an) sentimen nasionalisme
2. Soeharto Damai Tahap 1 (1968 - 1980-an): Persoalan beban subsidi (1990-an)
(1968-1997) (listrik) Batal karena belum ada sistem grid yang memadai, dan peta jalan pengembangan listrik
era BBM murah, dan tingginya resistensi sosial

Tahap 2 (1980-an - 1990-an):


Batal karena batalnya dukungan B. J. Habibie dan
rezim jatuh
3. Susilo Bambang Damai Tahap 1 (2004-2009): Persoalan beban subsidi, komitmen
Yudhoyono (SBY) (listrik) Sukses karena beban subsidi BBM, KEN, lobi IAEA penurunan emisi, dan peta jalan
(2004-2014) terhadap tokoh-tokoh ormas, dan dukungan KEN, serta sentimen nasionalisme
swasta. Penolakan masyarakat di lokasi PLTN
dan alasan mengamankan dukungan masyarakat
dalam kontestasi Pilpres periode ke-2 (2009-2014),
akhirnya implementasi kebijakan pembangunan
PLTN dibatalkan
4. Joko Widodo Damai Proses menuju policy window Persoalan beban subsidi dan
(2014 - .......) (listrik) komitmen penurunan emisi, peta
jalan program pembangkitan 35.000
MW dan ketahanan listrik
Sumber: disarikan dari berbagai sumber, 2016.
jaminan pasokan listrik secara penuh dan kompensasi dan Perpres No. 6 Tahun 2005 tentang KEN.13 Kajian
yang secara langsung bisa diperoleh masyarakat. Hal pembangunan PLTN sebenarnya telah dilakukan sejak
lain, penolakan masyarakat misalnya, juga karena faktor tahun1970ditandaidengandibentuknyaKomisiPersiapan
proyeksi diri individu tokoh ormas. Sebagai contoh, Pembangunan PLTN. Salah satu rekomendasinya adalah
penolakan Ketua NU terhadap rencana pembangunan rencana pembangunannya di Gunung Muria, Jepara,
PLTN pada akhir tahun 2000-an sebenarnya tidak Jawa Tengah (Ditjen Ketenagalistrikan, 2015). Rencana
murni pandangan NU karena ketua PCNU sebelumnya ini bahkan telah ditetapkan menjadi agenda nasional
adalah juga (bekas) Ketua LSM. Oleh karena itu, setelah pada masa pemerintahan Presiden SBY pertengahan
mendapatkan pemahaman setelah meninjau langsung tahun 2000-an. Ironisnya, secara kekiniaan kemauan
dalam suatu studi banding ke Jepang, sebagian kiai politik ini justru semakin diperlemah dengan kehadiran
NU lainnya/jajaran struktural PCNU dapat menerima KEN terbaru (Pasal 11 dan 12 dalam PP No. 79 Tahun
kehadiran PLTN. 2014).14 Lemahnya kemauan politik lainnya terkait
Berbeda dengan konteks di Provinsi Babel, di Jepara masih dipakainya kelembagaan Badan Tenaga Atom
PLTN belum dianggap penting karena kebutuhan listrik Nasional dan lembaga lain berdasarkan ketentuan
di wilayah setempat untuk saat ini suplainya masih di Undang-Undang No. 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-
bawah nilai kebutuhan riilnya (Tabel 2). Namun demikian, Ketentuan Pokok Tenaga Atom.
dalam konteks pemenuhan daya secara nasional, Gambaran agenda-setting pembangunan PLTN
khususnya Jawa-Bali, kebutuhan listrik dari sumber PLTN secara retrospektif dapat disajikan sebagai berikut
dapat menjadi alternatif yang masuk akal meskipun (Tabel 2). Agenda-setting ini telah digagas sejak akhir
pemerintah harus mengelola isu pembangunan PLTN tahun 1950-an pada masa pemerintahan Presiden
sebagai persoalan politik karena kuatnya penolakan Soekarno. Didorong kekhawatiran kecelakaan radioaktif
masyarakat. uji coba nuklir AS di Pasifik, pemerintah membentuk
sebuah Komisi Riset Radioaktif. Tidak lama setelah itu,
B. Perjalanan Agenda-Setting Pembangunan PLTN Presiden Soekarno membentuk Lembaga Tenaga Atom
Politik ketenaganukliran telah dimulai sejak lahirnya pada tahun 1959, lembaga yang kemudian menjadi
Undang-Undang No. 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Tenaga Atom (Undang-Undang KPTA).
13
Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran menegaskan bahwa pembangunan
Politik ini kemudian diperkuat dengan lahirnya Undang- reaktor nuklir komersial berupa pembangkit listrik tenaga
Undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran nuklir ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi
dengan DPR RI.
14
PP No. 79 Tahun 2014 tentang KEN.

Hariyadi, Agenda-Setting Pembangunan PLTN dan Pencapaian Ketahanan Listrik | 135


Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Reaktor riset EBT dalam bauran energi nasional (5 persen) di mana
pertama dikembangkan di Bandung dengan dukungan energi nuklir dialokasikan untuk bisa berkontribusi
AS pada tahun 1961. Alasan politis lebih mendasari kurang dari 2 persen dari total pasokan energi
kebijakan ini sehingga pada tahun 1964 pemerintah nasional sampai tahun 2025. Selanjutnya, peta jalan
mengumumkan rencana uji coba nuklir sebelum akhir pembangunan PLTN dimulai dengan proses lelang
tahun 1965 (Amir, 2010). Jatuhnya rezim Soekarno konstruksi dan disain pengembangannya dari tahun
menjadikan agenda ini berhenti. 2005-2010. Pembangunan reaktor pertama dan
Perubahan rezim politik pemerintahan Orde Baru kedua dijadwalkan pada tahun 2010 dan 2011. Kedua
menjadikan pengembangan nuklir lebih didorong reaktor masing-masing dijadwalkan dapat beroperasi
oleh tujuan damai. Pada masa pemerintahan ini, secara komersial pada 2016 dan 2017 dan rencana
dua reaktor tambahan berkapasitas 100 KW dan pengembangan dua reaktor tambahan pada tahun 2018
30 MW masing-masing dibangun di Yogyakarta dan dan 2019. Secara keseluruhan, PLTN Muria ditargetkan
Serpong. Sejak itulah, BATAN terus mengembangkan menghasilkan 4.000 MW listrik, atau lebih 2 persen dari
teknologi ini sampai gagasan pembangunan PLTN total permintaan untuk Pulau Jawa, Madura dan Bali
pada tahun 1968. Kemauan politik ini terus didorong yang diprediksikan akan mencapai 80 GW pada tahun
dan pada tahun 1972 upaya ini bahkan dibantu Badan 2025 (Amir, 2010).
Tenaga Atom Internasional (IAEA). Namun demikian, Selain itu, komitmen Presiden SBY untuk
persoalan masih lemahnya kemauan politik dan berperan dalam pengurangan pemanasan global juga
ekonomis menjadikan agenda setting pembangunan turut memperkuat argumen pilihan nuklir sebagai
PLTN selalu mentah dalam beberapa dekade. satu sumber yang dapat mengurangi ancaman
Pada tahun 1980, usulan PLTN oleh BATAN ditolak perubahan iklim. Tidak ketinggalan adalah dukungan
pemerintah karena masih terbatasnya jaringan listrik politik DPR RI. Pada tahun 2007 saja, DPR menyetujui
dan masih besarnya sumber daya fosil pada saat usulan alokasi Rp5 miliar ($550.000) untuk sosialisasi
itu. Sementara itu, alasan non-teknis terkait dengan program. Selanjutnya, dalam periode tahun 2010-
jaringan listrik yang terbatas dan nuklir menjadi pilihan 2014, Bappenas juga telah mengalokasikan Rp188
terakhir. Bahkan ketika pada akhir tahun 1980-an, miliar ($20,9 juta) untuk program yang sama yang
Presiden Suharto memberikan dukungan terhadap dilaksanakan BATAN. Jumah ini adalah tambahan
pembangunan PLTN, proposal pembangunan PLTN anggaran Rp453 miliar ($50,3 juta) yang dibelanjakan
akhirnya ditolak kembali karena alasan yang tidak selama periode yang sama untuk persiapan dokumen
jelas. Untuk sebagian, penolakan tersebut karena infrastruktur dasar untuk memfasilitasi program
berubahnya sikap penasehat teknologi pemerintah, PLTN. Momentum dukungan DPR RI terus menguat
B. J. Habibie. Alasan lain, bersifat politis, yakni secara politik. Komisi energi DPR RI menyuarakan
menghindari tekanan masyarakat. dukungannya terhadap rencana ini. Meskipun
Upaya BATAN mendapatkan dukungan politik terdapat sedikit penolakan, mayoritas anggota
kuat setelah disahkannya Undang-Undang. Jatuhnya percaya bahwa Indonesia telah menapaki fase krisis
rezim Soeharto tidak lama setelah itu, menjadikan energi dan karena itu tidak punya pilihan lain dalam
agenda-setting ini mentah kembali (Amir, 2010). jangka panjang. Agenda PLTN tidak hanya didorong
Naiknya pemerintah­an Presiden SBY dan konstelasi oleh faktor ekonomis tetapi juga alasan sentimen
tantangan isu ketahanan energi mendorong kembalinya nasionalis sebagai sarana mewujudkan kebanggaan
inisiasi BATAN dalam pem­bangunan PLTN. Upaya ini nasional. Dukungan yang sama diberikan sektor
sebenarnya juga di­dorong oleh keberhasilan lobi IAEA swasta karena rencana pemerintah 85 persen
Dirjen Mohamed El-Baradei pada saat kunjungannya pembiayaan PLTN Muria akan didorong dilakukan
ke Jakarta, Desember 1999 terhadap tokoh NU, Gus oleh swasta. Medco misalnya, adalah satu perusahaan
Dur, untuk meng­ kondisikan dukungan masyarakat yang telah bekerja sama dengan perusahaan Korean
terhadap kemungkin­an rencana pengembangan sumber Hydro and Nuclear Power dalam pembangunan
energi alternatif dengan janji dukungan keuangan dan reaktor pertama di Muria pada tahun 2006. Pada
teknis untuk studi potensi sumber listrik secara nasional. tahun 2008 pemerintah telah menggelar tender
Sukses lobi ini akhirnya memperkuat kemauan politik proyek pembangunan PLTN Muria yang berkapasitas
pemerintah untuk menjadikan PLTN sebagai salah satu 4.000 MW, bertahap sampai 2025 (Amir, 2010).
prioritas pengembangan energi. Mulai saat ini, agenda- Pada masa inilah, masa pemerintahan Presiden SBY,
setting pengembangan PLTN mendapati policy window. kemauan politik pemerintah untuk membangun PLTN
(Suleiman, 2013; Amir, 2010). di Gunung Muria mencapai puncaknya dalam sejarah
Sebagai tindaklanjut, pemerintah mengeluarkan pengembangan PLTN secara nasional (Amir, 2010).
Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang KEN yang menjadi Kuatnya resistensi publik pada waktu itu, pemerintah
dasar penetapan sumber energi nuklir ke dalam target akhirnya menunda pembangunannya sampai

136 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
sekarang. Hal menarik bahwa penundaan ini ternyata menghadapi resistensi yang cukup besar. Resistensi
sangat politis dalam rangka mengamankan dukungan itu tidak hanya berasal radiasi dari potensi kecelakaan
publik dalam kontestasi pemilihan presiden periode dalam pengoperasiannya tetapi juga radiasi limbah
kedua pemerintahan SBY (Amir, 2010). nuklir. Hal ini misalnya, dibuktikan dengan sejumlah
Serangkaian resistensi publik bisa dilihat dari kecelakan di sejumlah pembangkit nuklir di AS, Inggris,
reaksi keras penolakan masyarakat di lokasi PLTN, Perancis, Jepang dan bekas Uni Soviet. Implikasinya,
Walhi, Greenpeace, dan Masyarakat Anti-Nuklir Swedia tidak lagi mengembangkan PLTN baru
Indonesia (Manusia). Selain itu, reaksi masyarakat (Blackburn, 1987). Hal yang sama dilakukan Filipina
yang tergabung dalam LSM pun tidak kalah atas penutupan pembangkit nuklir yang dibangun
pentingnya. LSM setempat, Masyarakat Reksa Bumi semasa Pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos
(MAREM), misalnya menjadi pelopor penentangan (Blackburn, 1987).
proyek pembangunan PLTN di Gunung Muria Terlepas dari fakta ini, upaya terobosan politik
(Greenpeace International, 2009; Elway, 2009). pengembangan PLTN tetap layak secara ekonomis
Resistensi publik sebenarnya tidak hanya persoalan dan ekologis. Sejauh ini PLN hanya mampu memenuhi
kekhawatiran masyarakat terhadap risiko kecelakaan 57 persen kebutuhan listrik nasional, di mana tingkat
tetapi juga dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan pertumbuhan kebutuhan listrik mencapai 10 persen per
publik terhadap kemampuan pemerintah dalam tahun sebagai dampak pertumbuhan industri semakin
mengimplementasikan kebijakannya yang sifatnya meningkat. Padahal total kapasitas listrik yang dimiliki
lebih pada pola hubungan patrimonial daripada PLN sekarang hanya 25.000 MW (Halim, 2014). Hal
struktur kelembagaan. Hal inilah yang oleh Joe ini karena tingginya kebutuhan listrik secara nasional
Migdal disebut sebagai negara lemah. Kemampuan sementara pembangunan pembangkit masih terbatas.
pemerintah dalam mengelola isu-isu penting seperti Data yang lebih moderat menunjukkan bahwa penjualan
dalam kasus Lumpur Lapindo, kecelakaan pesawat, rata-rata tenaga listrik mengalami peningkatan sebesar
kapal laut dan kereta api selama ini menguatkan 7,8 persen per tahun dalam kurun waktu lima tahun
alasan ini (Amir, 2010). terakhir, dari 133 TWh pada tahun 2009 menjadi 197,3
Situasi di atas menyiratkan bahwa proses agenda- TWh pada tahun 2014. Dalam kurun waktu yang sama,
setting kebijakan pembangunan PLTN sebenarnya tingkat pertumbuhan penjualan ini sejalan dengan
telah berhasil dilakukan dan mencapai puncaknya tingkat pertumbuhan jumlah pelanggan listrik dari 39,9
pada masa pemerintahan SBY. Kuatnya arus masalah, juta menjadi 57 juta pelanggan pada tahun 2014 atau
yakni resistensi masyarakat di lokasi pembangunan dengan kenaikan rata-rata 3 juta pelanggan per tahun.
PLTN dan kekuatan masyarakat lain yang tergabung Pada saat yang sama (sampai tahun 2014), kapasitas
dalam LSM, serta kuatnya pro-kontra soal kelayakan pembangkit listrik secara nasional baru mencapai 43,5
pengoperasian PLTN itu sendiri di kalangan akademisi ribu MW untuk sistem kelistrikan Jawa-Bali dan sisanya
dan pengamat (arus kebijakan) tampaknya tidak cukup 10 ribu MW untuk sistem kelistrikan Sumatera dan
mampu mensinergiskan diri dengan rasionalitas dan Indonesia Timur. Dengan penerapan kriteria cadangan
kemauan politik pemerintah (arus politik). Akibatnya, 35 persen beban puncak dibandingkan dengan daya
proses agenda-setting menuju tercapainya keputusan mampu pembangkit, sistem kelistrikan Sumatera masih
menjadi mentah kembali. Dalam tahapan ini, proses kekurangan daya sebesar 2.000 MW dan Indonesia
agenda-setting secara siklis akan dimulai dari titik awal. Timur sebesar 1.600 MW. Selama ini kekurangan
Kuatnya kepentingan politik untuk mengamankan tersebut dipenuhi dengan sewa pembangkit (PT PLN,
dukungan politik rakyat dalam pemilihan presiden 2014).
semakin menjadikan pilihan PLTN sebagai pilihan yang Secara teknologis, Indonesia juga mampu
sulit secara politis. membangun PLTN. Studi kelayakan yang menindaklanjuti
Dalam konteks ini, kita dapat memahami ketika pra-studi kelayakan PLTN di Provinsi Kepulauan Babel
pada tahun 2011, rencana pembangunan PLTN pada tahun 2010 menghasilkan dua calon tapak terpilih,
Gunung Muria akhirnya ditunda sampai waktu yang yaitu di Teluk Menggris-Pantai Tanah Merah, Kelurahan
tidak terbatas. Lebih jauh, secara teknis pun, kelayakan Tanjung, Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat
pembangunan PLTN masih diragukan khususnya dan Tanjung Berani-Tanjung Krasak, Desa Sebagin,
yang terkait dengan isu keselamatan. Dalam sejarah Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan.
pengembangan PLTN, isu keselamatan pengembangan Studi kelayakan yang dilakukan PT Surveyor Indonesia
PLTN menjadi inti perdebatan sejak lahirnya kesadaran (Persero) bekerja sama dengan AF-Consult (Swiss)
perlunya pengembangan energi alternatif sejak krisis selama 3 tahun (tahun 2011-2013). Sebagai konsultan
minyak pada awal tahun 1970-an di negara-negara studi tersebut adalah PT Kogas Driyap dan kegiatan studi
maju. Energi nuklir yang pada awalnya diyakini bisa kelayakan tersebut mengacu pada peraturan, pedoman
menggantikan sumber energi fosil akhirnya justru dan standard Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN),

Hariyadi, Agenda-Setting Pembangunan PLTN dan Pencapaian Ketahanan Listrik | 137


Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), serta International bisa dikelola sampai dengan tahun 2025 (Ibrahim,
Atomic Energy Agency (IAEA) dan United State Nuclear 2014). Alasannya, program 35.000 MW didesain
Regulatory Commission (US NRC). Hasil studi kelayakan berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar
tapak dan non-tapak rencana pembangunan PLTN di dua 5 persen per tahun dalam kurun waktu lima tahun
kabupaten tersebut dinyatakan layak dibangun (BATAN, sampai tahun 2019. Karena sifatnya yang lebih
2013). men­ dasar­kan pada sumber energi primer seperti
Agenda-setting pengembangan PLTN muncul batubara dan EBT serta penguatan pembangkitan
kembali setelah pemerintahan Joko Widodo melansir swasta (IPP)-mencapai 25.000 MW-langkah ini masih
kebijakan pembangunan pembangkitan listrik 35.000 dinilai sebagai pilihan yang rasional (Ditjen Ketenaga­
MW. Keputusan pemerintah untuk menyiapkan peta listrikan, 2015).
jalan pengembangan nuklir pada pertengahan tahun Namun demikian, dalam jangka panjang konstelasi
2016 ini menunjukkan sinyal politik bahwa proses persoalannya tentu akan berubah. KEN mene­tap­kan
agenda setting pembangunan PLTN ini akan memulai penggunaan batubara dalam bauran energi nasional
babak baru dan semakin kuat ke depan (DEN, 2016). minimal 30 persen pada tahun 2025. Namun demikian,
Proses politik ini bahkan cenderung semakin menguat kuatnya dorongan internasional untuk ‘meninggalkan’
seiring dengan potensi tidak terpenuhinya program batubara sebagai sumber energi polutif akan memaksa
pembangkitan listrik 35.000 MW, semakin kuatnya Indonesia cepat atau lambat meninggalkannya. Hal
indikasi dukungan politik DPR RI dan misi pemenuhan ini pun tidak berlebihan mengingat Indonesia juga
listrik dalam jangka panjang. Dengan demikian, terikat secara politik untuk mengurangi emisi GRK
seperti halnya proses agenda-setting sebelumnya, secara internasional. Janji politik pemerintah untuk
tantangan pengelolaan dukungan politik, resistensi menurunkan emisi sampai dengan 30 persen sampai
sosial dan dukungan swasta akan memulai babak tahun 2030 dalam KTT Perubahan Iklim di Paris
baru sebelum mengarah pada proses policy window (COP-21) akhir Desember 2015 ini akan memaksa
dan implementasinya ke depan. Dalam konteks pemerintah lebih fokus pada EBT (Kompas, 2015). Hal
inilah, tantangan policy interpreunership pemerintah lain terkait dengan persoalan mewujudkan program
diperlukan. 35.000 MW. Hal ini dipastikan menjadi pekerjaan yang
membutuhkan ‘daya paksa’ pemerintah karena ia
C. Kelayakan Pembangunan PLTN dan Program juga masih harus menuntaskan program percepatan
35.000 MW pembangkitan 10.000 MW tahap I dan II. Terakhir, laju
Proses agenda-setting pembangunan PLTN pernah pertumbuhan tingkat konsumsi listrik itu sendiri.
tuntas secara formal. Bahkan kebijakan tentang peta Persoalan lain, secara nasional potensi sumber
jalan bagi pembangunannya telah menjadi kebijakan energi primer pembangkitan listrik justru lebih
nasional (Amir, 2010). Dengan demikian, persoalan banyak terletak di wilayah di luar Jawa (Nugroho,
kebijakan pembangunan PLTN lebih bersifat politik. Yang 2008). Oleh karena itu, wacana pembangunan
tidak kalah pentingnya adalah bagaimana pemerintah PLTN di luar Pulau Jawa pun mendapat dukungan
mampu mengelola tingginya resistensi masyarakat politik kuat tidak hanya dari pemerintah tetapi juga
khusus­nya di wilayah yang akan menjadi lokasi dari investor (BATAN, 2013). Hal ini sejalan dengan
pembangun­ an PLTN (Ibrahim, 2014). Tantangan ini pandangan umum bahwa PLTN memiliki keunggulan
tidak mudah karena tantangan itu mencakup beberapa sebagai alat mitigasi ancaman perubahan iklim,
hal men­dasar lainnya seperti isu biaya, keselamatan, efisiensi sumber daya dan ketahanan energi. Hal
penanganan limbah dan isu proliferasi (Kessides, 2010). ini karena siklus hidup emisi GRK nuklir sama
Dalam kasus nasional, tantangan itu juga mencakup isu rendahnya dengan angin, jumlah daya listrik yang
tata kelola dan persoalan soliditas antara pemerintah dihasilkan, bahan baku uranium yang melimpah,
pusat dan daerah (Amir, 2010). Derajat tantangan ini dan risikonya dibesar-besarkan (Kessides, 2010;
semakin besar seiring dengan kuatnya pengaruh kasus Englert, et. al. 2012; Suleiman, 2013). Potensi
kecelakaan PLTN Fukushima (Fukuda Y. & Fukuda bencana PLTN dalam batas tertentu bahkan lebih
K., 2012). Oleh karena itu, dalam jangka menengah kecil dari yang diperkirakan (Kessides, 2012). Dalam
taruhlah 5-10 tahun ke depan, kedudukan PLTN untuk sejarah pemanfaatannya, kecelakaan reaktor hanya
sementara menjadi pilihan politik pemerintahan yang terjadi pada reaktor dari 14.400 tahun-operasi
dapat diterima. reaktor secara komersial secara kumulatif, yakni
Keberhasilan program pembangkitan 35.000 reaktor Chernobyl (1986), Three-Mile Island (1979),
MW menjadi bantalan yang memiliki nilai sangat Windscale (1957) dan Fukushima (2011) (Suleiman,
strategis yang menjadi variabel argumen terkuat 2013). Selain itu, PLTN jauh lebih ramah lingkungan.
bahwa tanpa kehadiran PLTN, persoalan penyediaan Sebagai contoh, bahan baku thorium juga lebih
tenaga listrik di wilayah Jawa, Madura, dan Bali efisien seperti yang telah dikembangkan di Cina, AS

138 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
dan India. Sejauh ini, thorium misalnya hanya 24- panjang akan semakin mendapatkan dukungan secara
29 persen yang bisa diperkaya untuk PLTN. Dengan sosial, ekonomi dan politik.15 Dengan demikian, peran
demikian, proses pengayaan seperti ini tidak bisa lagi PLTN dalam mendukung realisasi program pembangkit
dipakai untuk bom atom. listrik nasional ke depan dalam jangka panjang
Meskipun demikian, pembangunan PLTN tetap menjadi semakin rasional. Hal ini tidak berlebihan
menawarkan tantangan berat secara politis dan karena aspirasi PLTN telah berjalan lebih dari empat
teknis. PLTN akan tetap dinilai sebagai pembangkit dekade dan ditopang dengan bauran kelembagaan,
yang mahal dan merupakan sumber energi yang ideologis bersama-sama dengan penggunaan sumber
kompleks. Oleh karena itu, pilihan PLTN harus mampu daya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi,
mengatasi sejumlah tantangan, yakni isu keselamatan, dan nasionalisme (Amir, 2010). Dari sisi kebutuhan
limbah, proliferasi dan biayanya (Kessides, 2010). pragmatis pembangunan PLTN bisa dilihat dari kondisi
Resistensi masyarakat terhadap PLTN secara global kebutuhan dan pasokan listrik secara nasional. Dari sisi
pun juga masih tinggi khususnya pasca Fukhusima kebutuhan, rata-rata pertumbuhan penjualan listrik
pada tahun 2011. Survei di 24 negara, baik di negara- secara nasional mencapai 7,1 persen dalam kurun waktu
negara maju maupun berkembang termasuk di 2009-2014. Sementara itu, kenaikan ini tidak diimbangi
Indonesia menunjukkan bahwa tingkat resistensi dengan penambahan kapasitas pembangkit yang hanya
masyarakat terahdap PLTN mencapai 62 persen dan mencapai 5,2 persen per tahun. Data menunjukkan
seperempat dari jumlah ini (26 persen) mereka yang bahwa sampai tahun 2014, kapasitas pembangkit PLN
menentang menunjukkan bahwa mereka merubah dan swasta 43.457 MW dengan perincian 33.449 MW
sikap sebelumnya setelah kecelakaan PLTN Fukusima. di sistem Jawa-Bali dan 9.958 MW di sistem-sistem
Di Indonesia sendiri, tingkat resistensinya masih kelistrikan wikayah Sumatera dan Indonesia Timur.
mencapai 67 persen (Kessides, 2012). Akibatnya, sejumlah daerah mengalami krisis daya
Wacana pembangunan PLTN di wilayah Babel listrik. Tingginya tingkat pertumbuhan penjualan listrik
menjadi salah satu indikasi dalam kasus ini. Namun secara nasional diindikasikan dengan tingginya tingkat
demikian, persoalan kredibilitas hasil studi kelayakan pertumbuhan jumlah pelanggan yang mencapai rata-
bagaimana pun tetap menjadi persoalan sampai rata 3 juta pelanggan per tahun dalam kurun waktu 2009-
sekarang. Hal ini tidak terlepas dari peran BATAN yang 2013 atau dari 39,9 juta pelanggan 53,7 juta pelanggan.
dalam kiprahnya ternyata juga dilandasi oleh upaya Kapasitas pasokan listrik tersebut baru memenuhi 84
mempertahankan eksistensi kelembagaannya. Tanter persen tingkat elektrifikasi secara nasional. Akibatnya,
menyebutnya sebagai contoh kasus klasik sebuah perkiraan kebutuhan listrik akan semakin tinggi dalam
lembaga yang gagal secara permanen. Dalam rangka jangka menengah untuk mencapai target 96 persen
mempertahankan eksistensinya, upaya keras dan dengan tingkat elektrifikasi nasional pada tahun 2019. Rencana
bantuan lembaga IAEA untuk meyakinkan pemerintah awal, pembangunan PLTN akan menyumbang daya
dalam upaya membangun PLTN telah berjalan lama. sebesar sampai 4.000 MW atau setara dengan lebih
Kegagalan kerja sama antara pemerintah, Pemda Babel 2 persen kebutuhan permintaan untuk Jawa dan Bali
dan industri nuklir global dalam pembangunan PLTN di yang diperkirakan mencapai 80 GW pada tahun 2025
Babel menunjukkan bahwa semua rencana proyek PLTN (Amir, 2010).
dianggap tidak realistis. Oleh karena itu tidak heran jika Pembangunan PLTN membutuhkan waktu
rencana pembangunan studi kelayakan pembangunan antara 5-10 tahun dan perlunya penyiapan
PLTN di Babel yang pada awalnya didukung Pemda pada dukungan teknologi dan uang. Karena itu, keputusan
akhirnya BPBD babel justru mengajukan review formal politik pem­­ bangunan­ nya pun perlu dipersiapkan
atas pengaruh PLTN terhadap kondisi Babel yang rapuh lebih awal. Hal ini belum diperhitungkan dengan
karena praktik penambangan yang parah pada tahun pengelolaan penolakan masyarakat, tingginya konflik
2014 (Tanter, 2015; Kessides, 2010; Ruff, 2015). kepentingan antarpemangku kepentingan di tingkat
Data PT PLN wilayah Babel menunjukkan bahwa di elit politik dan faktor ke­lem­bagaan (Amir, 2010). Hal
atas kertas, jika rencana pembangungan pembangkit penting lainnya adalah kemauan politik pemerintah
bisa berjalan sesuai jadwal yang ditetapkan, secara mengimplementasikan kebijakannya. Pada tahun
khusus program percepatan pembangunan pembangkit 2011, pembatalan pembangun­ an 4 reaktor PLTN
10.000 MW tahap I dan II di wilayah Sumatera, yang telah ditetapkan pada tahun awal masa
persoalan pasokan listrik di Babel dapat dikelola secara pemerintahan SBY menguatkan argumen ini (Amir,
baik. Kondisinya bahkan mengalami kondisi ‘surplus’ 2010).
jika kinerja program 35.000 MW di wilayah Sumatera
minimal dapat berjalan sesuai target. Namun demikian,
jika program 35.000 MW tidak berjalan secara optimal,
15
Wawancara dengan Santana, Bagian Perencanaan PT PLN
Wilayah Provinsi Babel, 9/9/2015.
wacana pembangunan PLTN di Babel dalam jangka

Hariyadi, Agenda-Setting Pembangunan PLTN dan Pencapaian Ketahanan Listrik | 139


Keputusan pemerintah untuk menyiapkan peta proses pem­buatan kebijakan publik secara formal
jalan pengembangan nuklir pada pertengahan tahun (’policy-windows’). Dengan kata lain, proses agenda-
2016 ini menunjukkan sinyal politik bahwa proses setting pem­bangunan PLTN belum memasuki fase
agenda setting pembangunan PLTN akan memulai terjadinya persinggungan antara arus masalah,
babak baru dan semakin kuat ke depan (DEN, 2016). kebijakan dan arus politik. Dengan demikian, upaya
Namun demikian, penguatan peran PLTN dalam men­ jadi­
kan agenda PLTN sebagai sebuah agenda
program 35.000 MW tetap kecil. Dengan demikian, yang mendesak dan operasional perlu adanya
peran PLTN dapat dirasakan keberadaannya dalam sebuah kondisi yang tidak hanya diperlukan tetapi
jangka panjang. Untuk itu, karena pembangunan juga mencukupi (necessary and sufficient condition),
PLTN membutuhkan dukungan politik, pengelolaan misalnya sebuah turn-over politik sehingga
resistensi sosial dan memerlukan waktu yang lama, pemerintah dapat memberikan kemauan politiknya
sekali proses agenda-setting pembangunan PLTN baik karena pertimbangan yang sifatnya rasional
telah mengarah pada keputusan secara formal, seperti belum optimalnya ketahanan listrik secara
pemerintah masih harus mengelola serangkaian nasional baik karena faktor rendahnya kinerja RUPTL
persoalan dalam implementasinya karena sejumlah hal. atau tidak optimalnya program pembangkit 35.000
Pertama, kuatnya resistensi masyarakat dan bahkan MW dan/atau pengembangan pembangkit berbasis
pemangku kepentingan utama dalam penyediaan EBT.
listrik secara nasional. Kedua, pembangunan PLTN Dua hal berikut merupakan kesimpulan awal
membutuhkan waktu yang panjang. Ketiga, perlu yang perlu didukung dengan studi lanjutan. Pertama,
dukungan kelembagaan dengan otoritas yang cukup dinamika agenda-setting pembangunan PLTN belum
dan dukungan finansial yang memadai. Keempat, menunjukkan adanya kemauan politik dari pemerintah
perlu kejelasan tujuan pengembangannya, yakni seiring dengan masih terbatasnya respons dukungan
apakah politis/sentimen nasionalisme atau penguatan daerah secara umum kecuali di Babel. Itu pun masih
ketahanan suplai listrik dalam jangka panjang. dalam konteks kepentingan pemenuhan listrik yang
sifatnya lokalitas. Dengan demikian, dalam jangka
V. SIMPULAN DAN SARAN menengah pembangunan PLTN belum dapat ber­peran
A. Simpulan dalam bauran pembangkit listrik secara nasional. Kedua,
Agenda pembangunan PLTN telah dirintis sejak kelayakan pembangunan PLTN akan menjadi pilihan yang
digulirkannya kebijakan pengembangan energi nuklir rasional dalam jangka panjang dalam rangka ketahanan
pada tahun 1960-an. Dinamika wacana kebijakan ini energi (listrik) nasional. Keputusan pemerintah untuk
terus berjalan seiring dengan perkembangan teknologi menyiapkan peta jalan pengembangan nuklir pada
bidang ini dan semakin kuatnya kerangka hukum tentang tahun 2016 menunjukkan bahwa proses agenda setting
ketenaganukliran. Selain itu, politik atom nasional pembangunan PLTN akan memulai babak baru dan
juga turut dipengaruhi oleh suksesi kepemimpinan semakin kuat ke depan. Namun demikian, sekali proses
politik nasional yang mencapai puncaknya pada masa agenda-setting pembangunan PLTN telah mengarah
pemerintahan Presiden SBY. Oleh karena itu, pada pada keputusan secara formal, bagaimana pun
awal tahun 2000-an rencana pembangunan PLTN pemerintah masih harus menghadapi tantangan berat
mendapatkan momentum dukungan politik yang dalam implementasinya karena masih kuatnya resistensi
sangat kuat tidak hanya dalam konteks pemenuhan masyarakat dan sejumlah pemangku kepentingan utama,
kebutuhan pasokan listrik di wilayah Jawa dan luar perlunya dukungan kelembagaan dengan otoritas yang
Jawa. cukup dan dukungan finansial yang memadai, serta
Namun demikian, kuatnya persoalan politik perlunya kejelasan tujuan pengembangannya, yakni
dalam konteks kentalnya resistensi sosial yang apakah politis/sentimen nasionalisme atau penguatan
beragam, mencakup masyarakat di sekitar tapak ketahanan suplai listrik jangka panjang.
PLTN dan masyarakat secara umum, akademisi,
pegiat anti-nuklir dan dalam batas tertentu sebagian B. Saran
operator penyediaan listrik itu sendiri menjadikan Agenda-setting pembangunan PLTN pernah menjadi
kebijakan pembangunan PLTN akhirnya dibatalkan. sebuah kebijakan formal tetapi tidak dapat di­
Sampai dengan tahun 2015, konstelasi wacana implemen­tasikan karena faktor kuatnya faktor non-
pembangunan PLTN pun masih belum menunjukkan teknis dan politis. Karena itu, proses agenda-setting
adanya dukungan politik pemerintah dan penetapan kebijakan pembangunan PLTN pada masa
pemangku kepentingan utama dalam penyediaan pemerintahan sekarang harus dimulai dari awal. Dua
listrik secara nasional. Dengan demikian, wacana rekomendasi pokok perlu disasar: pertama, sekali
pembangunannya atau yang dikenal sebagai proses kebijakan pembangunan PLTN ditetapkan secara
agenda setting belum sampai pada dimulainya formal, pemerintah harus konsisten menyatukan

140 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142
dukungan politik dari kalangan pemerintah itu Tumiwa, F. (2008). Kebijakan energi dan rencana
sendiri dan pemangku kepentingan utama lainnya pembangunan PLTN di Indonesia, dalam Nick T.
seperti lembaga-lembaga terkait dan Pemda. Kedua, Wiratmoko (ed), Melawan Iblis Mephistopheles,
perlunya konsistensi pemerintah dalam implementasi Salatiga: Marem, Listhia dan Percik.
kebijakan seiring dengan kuatnya penolakan sosial
dan lamanya proses pembangunan PLTN.
Jurnal dan Working Paper
Amir, S. (2010). Nuclear revival in Post-Suharto
Indonesia. Asian Survey, 50(2), 265–286.
DAFTAR PUSTAKA Englert, M., Krall, L., & Ewing, R. C. (2012). Is nuclear
fission a sustainable source of energy?. MRS
BULLETIN, 37 (April), 417–424. http://doi.org/
10.1557/mrs.2012.6
Buku Kessides, I. N. (2010). Nuclear power and sustainable
Blackburn, J. O. (1987). Energi terbarui, menyongsong energy policy: Promises and perils. World Bank
kemakmuran tanpa enerji nuklir dan batubara Research Observer, 25(2), 323–362.
(terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kessides, I. N. (2012). The future of the nuclear
BPS Provinsi Bangka Belitung. (2015). Kepulauan industry reconsidered risks, uncertainties, and
Bangka Belitung dalam Angka 2015, continued potential. WPS6112, Washington,
Pangkalpinang: BPS Provinsi Babel. D.C.
Elway. (2009). Si Enuk, Serigala berbulu domba. Suleiman, A. M. (2013). Law and politics of nuclear power
Semarang: Pustaka Muria. plant development in Indonesia: Technocracy,
Greenpeace International dan European Renewable democracy, and internationalization of decision-
Energy Council (EREC). (2007). Energy [Re] making. In M. Faure & A. Wibisana (Eds.), Regulating
evolution, a sustainable Indonesia energy disasters, climate change and environmental
outlook, Amsterdam: Greenpeace International harm : Lessons from the Indonesian experience.
and EREC. Cheltenham, GBR: Edward Elgar Publising.
Greenpeace International. (2009). Tenaga nuklir: Tanter, R. (2015). The Slovakian “inspirasi” for
Pengalihan waktu yang berbahaya. Jakarta: Indonesian Nuclear Power : The “Success”
Greenpeace international. of a permanently failing organization. Asian
Perspective, 39, 667–694.
Howlett, Michael & Ramesh, M. (1995). Studying
public policy: Policy cycles and policysubsistems, Teske, S., Prasetya, S., Indrawan, B. (2007). Energy
USA: Oxford Univ. Press. [Re]evolution, A sustainable Indonesia energy
outlook. Amsterdam: Greenpeace, Engineering
Ibrahim, H. D. (2014). Energi selamatkan negeri.
Centre Univ. of Indonesia, dan European
Jakarta: Reform Institute dan Media Energi
Renewable Energy Council (EREC).
Negeri.
Ruff, T. (2015). Introduction to the special issue:
Nugroho, H. (2008). Menolak proyek listrik tenaga
Nuclear power in East Asia. Asian Perspective,
nuklir Muria. Dalam Nick T. Wiratmoko (ed),
Vol. 39, 555-558.
Melawan Iblis Mephistopheles. Salatiga: Marem,
Listhia dan Percik. Fukuda, Y. & Fukuda, K. (2012). Fukushima nuclear
power plant accident: Issues on radiation
Nugroho, R. (2014). Public policy, teori, manajemen,
monitoring and its relation to public health.
dinamika, analisis, konvergensi, dan kimia
Journal of Epidemiology and Community Heath,
kebijakan (edisi ke-5). Jakarta: Elex Media
Vol. 66 (12), 138.
Komputindo.
Parsons, W. (2011). Public policy, pengantar teori
Sumber Digital
dan praktik analisis kebijakan. (Terjemahan).
Dinas Kominfo Babel. (2015). Investasi, Bangka
Jakarta: Prenada Media.
Belitung butuh listrik 700 MW. Diperoleh tanggal
PT PLN. (2014). RUPTL 2015-2024. Jakarta: PT PLN. 3 Desember 2015, dari http://www.babelprov.
go.id/content/investasi-bangka-belitung-butuh-
Sharkansky, I. (2002). Politics and policy making.
listrik-700-mw#sthash.QyXEHB YZ.dpuf.
USA: Lynne Rienner.

Hariyadi, Agenda-Setting Pembangunan PLTN dan Pencapaian Ketahanan Listrik | 141


DEN. (2016). Cadangan penyangga energi dan kick Ditjen Ketenagalistrikan. (2015). Jawaban tertulis
off sosialisasi RUEN. Diperoleh tanggal 22 Juli Dirjen Ketenagalistrikan atas pertanyaan
2016, dari http://www.den.go.id/index.php/ Anggota Komisi VII DPR RI. Jakarta: Ditjen
dinamispage/index/578-sidang-anggota-den- Ketenagalistrikan Kementerian ESDM.
ke18--cadangan-penyangga-energi-dan-kick-off-
Greenpeace International. (2008). Tenaga nuklir,
sosialisasi-ruen.html#sthash.raFW66I9.dpuf.
merongrong upaya perlindungan iklim. Briefing,
Halim, A. (2014). Perlukah Indonesia miliki PLTN?. Amsterdam: Greenpeace International.
Diperoleh tanggal 20 Mei 2015, dari http://
Handoyo, F. W. (2014, 8 Desember). Program listrik
www.voca-islam.com/read/liberalism/
35.000 MW. Kompas, hal. 7.
2014/09/15/32866/perlukah-indonesia-miliki-
pltn/#sthash.A76tzYyx.keXw7cS1.dpbs. Kementerian ESDM. (2015). Evaluasi kinerja tahun
2014 dan persiapan pelaksanaan program tahun
Setianto, B. D. (2015, Februari). Benturan UU
2015, Bahan raker Menteri ESDM dengan Komisi
dalam pendirian PLTN. Diperoleh tanggal 18
VII DPR RI. Jakarta: Kementerian ESDM.
Februari 2015, dari https://www.academia.
edu/1916242/Benturan_UU_dalam_Pendirian PT PLN Wilayah Babel. (2015, 10 Agustus). Kondisi
_PLTN. kelistrikan PLN Wilayah Babel. Paparan Diskusi.
Pangkalpinang: PT PLN Wilayah Babel.
Anonim. (2015). FMM layangkan petisi 13
ke presiden. Diperoleh tanggal 25 September
2015, dari https://pltnmuria.wordpress.com/ Peraturan Perundang-Undangan
forum-masyarakat-muria/tolak-pltn-fmm- Undang-Undang No. 31 Tahun 1964 tentang
layangkan-petisi-13-ke-presiden/. Ketentuan Pokok Tenaga Atom.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang
Sumber Lain Ketenaganukliran.
Fitra, S. & Wahyudin, F. (2012). Nuklir Serpong Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi.
‘menjajah’ Amerika. Bloomberg Businessweek
(edisi Bahasa Indonesia), No. 37, 27 - 03/10/2012. Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan.
BATAN. (2013). Ringkasan eksekutif studi kelayakan
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2014 tentang
Bangka Selatan dan Bangka Barat. Jakarta: Kebijak­an Energi Nasional.
BATAN.

142 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 7, No. 2, Desember 2016 127 - 142

Das könnte Ihnen auch gefallen