Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Oleh
Dr. Abdul Bari
Penguji
I. PENDAHULUAN
Adenomiosis adalah kondisi dimana terdapatnya kelenjar dan stroma endometrium
heterotropik di miometrium. Hal ini terjadi akibat rusaknya batas antara stratum
basalis endometrium dengan miometrium sehingga kelenjar endometrium dapat
menembus miometrium. Selanjutnya, terbentuklah kelenjar intramiometrium
ektopik yang dapat menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia miometrium baik difus
maupun fokal.1 Derajat invasi bervariasi dan dapat melibatkan seluruh lapisan
miometrium, dari lapisan endometrium sampai lapisan serosa. Perpanjangan kelenjar
harus >2,5 mm di bawah perbatasan endometrial-myometrial untuk menegakkan
diagnosis.2
Etiologi dan mekanisme terjadinya adenomiosis masih sulit dimengerti.
Beberapa ahli menyatakan bahwa hal ini dipicu oleh kelemahan miometrium dan
akibat peningkatan tekanan intrauterine sebagai faktor predisposisi.1,2 Sedangkan
Arnold menghubungkan adenomiosis dengan faktor genetik. Penyebab lain yang
dapat dihubungkan dengan adenomiosis adalah hormon estrogen dan kelainan ini
akan hilang setelah menopause.3
Adenomiosis menyerang sekitar 1% perempuan dan hampir 80% berkembang
pada wanita umur pertengahan 40-50 tahun. Sembilan puluh persen dari kasus yang
ada terjadi pada wanita yang pernah melahirkan. Adenomiosis dideteksi pada 15-
30% dari spesimen histerektomi.2-4
Adenomiosis merupakan proses benigna melalui pengaruh sex steroid hormon
ovarium berupa kenaikan estradiol.7 Sekitar 35% kasus adenomiosis asimptomatis,
sedangkan lainnya mengeluhkan menorrhagia (50%), dismenorrea (30%), dan
metroragia (20%).3,4 Menurut Benson dan Sneeden frekuensi dan derajat beratnya
gejala berhubungan dengan luasnya penyakit dan kedalaman invasi adenomiosis.4
Dalam sebuah studi dimana telah ditegakkan diagnosis patologis adenomiosis yang
dibuat dari spesimen histerektomi, 35% penderitanya tidak memiliki gejala yang
khas. Gejala seperti ini juga umum terjadi pada kelainan ginekologis yang lain.
Gejala lain yang jarang terjadi yaitu dispareunia & nyeri pelvis yang kronis atau
2
terus-menerus. Pada pemeriksaan dalam dapat dijumpai juga uterus yang membesar
secara merata. Nyeri tekan biasanya dapat timbul bila dilakukan pemeriksaan
bimanual. Pembesaran uterus sulit dibedakan dengan mioma uteri secara klinis,
gejalanya pun hampir sama.4,5
Gejala klinis adenomiosis menyerupai mioma uteri, dan pada praktiknya sulit
membedakan adenomiosis dan mioma uteri. Tidak ada gejala yang patognomonis
untuk adenomiosis sehingga menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosis
preoperatif.6,7 Sampai saat ini diagnosis pasti hanya dibuat setelah operasi yang
bersifat invasif. Gambaran ultrasonografi adenomiosis difusa mirip dengan kanker
endometrium, hipertrofi miometrium, atau kontraksi uterus, sedangkan adenomiosis
fokal mirip dengan mioma uteri. Baku emas penegakan diagnosisnya adalah
histopatologi meskipun teknologi pencitraan seperti ultrasonografi terutama
transvaginal atau MRI dapat membantu. Secara histologis terlihat sebagai pulau-
pulau kelenjar dan stroma endometrium yang berada diantara sel miometrium yang
hipertrofi. Dapat sedemikian difus sehingga menyebar pada hampir seluruh lapisan
miometrium maupun hanya beberapa fokus kecil saja.8,9
Terapi definitif untuk adenomiosis adalah histerektomi, khususnya bila keluhan
menetap atau berulang. Namun pada wanita yang masih menginginkan fertilitasnya
terapi konservatif dapat dipertimbangkan. Saat ini banyak dikembangkan teknik dan
penatalaksanaan medis untuk terapi konservatif mempertahankan uterus dan fungsi
reproduksi.10
Lebih dari 80% wanita dengan adenomiosis mempunyai proses patologis lain
pada uterus, antara lain dengan mioma uteri (20,5-70%), dengan endometriosis (6,3-
24%), dengan polip endometrium (2,3-14,7%), dengan hiperplasia endometrium
(7,3-13,6%), dengan hiperplasia endometrium atipik (3,5%) dan 2,2-6,3% dengan
adenokarsinoma.6,10 Pada kasus ini nampaknya, kelainan adenomiosis pada pasien
disertai dengan kista ovarium bilateral
Pembesaran ovarium dapat merupakan kejadian fisiologis bagi ovarium itu
sendiri, namun dapat pula merupakan masalah primer pada ovarium tersebut. Tumor
3
ovarium merupakan tumor yang cukup sering dijumpai pada seorang wanita dan
hampir 80% merupakan tumor jinak. Tumor ovarium dapat berupa neoplasma
maupun non neoplasma.11
Endometriosis adalah pertumbuhan jaringan endometrium diluar kavum uteri,
salah satunya dapat terjadi di ovarium yang disebut endometrioma ovarium/ kista
endometriosis, sementara kista jinak ovarium, berupa kantung berisi cairan yang
terdapat di dalam ataupun permukaan ovarium, merupakan kondisi yang sering
terjadi pada wanita usia reproduktif. Endometriosis terjadi pada sekitar 2-8% wanita
usia reproduktif dengan prevalensi tertinggi pada usia 35-44 tahun per 1000 wanita.
European Society of Reproduction and Embryology mengestimasikan 1 dari 10
wanita usia reproduktif mengalami endometriosis. Endometrioma ovarium dan
berbagai jenis kista jinak ovarium merupakan suatu masalah yang sering ditemui
dalam kasus ginekologi, walaupun belum banyak laporan mengenai prevalensi dari
endometrioma, suatu penelitian mengungkapkan bahwa 20-40% dari kasus
endometriosis merupakan endometrioma ovarium.12,13
Etiologi endometriosis belum dapat dipahami dengan baik, namun peran
karakteristik endogen dalam terjadinya endometriosis telah dilaporkan secara luas.
Karakteristik ini meliputi faktor yang berhubungan dengan menstruasi, misalnya
usia menarke yang lebih dini (8-14 tahun) dan panjang siklus menstruasi lebih
pendek, faktor hormonal seperti estrogen, faktor lingkungan dan aktifitas fisik.
Penelitian terdahulu menyebutkan olahraga teratur berkaitan dengan penurunan
pajanan kumulatif menstrual flow, penurunan stimulasi ovarium dan produksi
estradiol. Sedikit berbeda dari penelitian terdahulu, Dhillon dalam penelitian
analisis multivariatnya menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara aktivitas dan endometrioma. Hasil tersebut didapat dengan penelitian dengan
mengontrol jumlah kelahiran hidup, penggunaan kontrasepsi oral, dan merokok
selama dua tahun. Penurunan pada wanita yang melakukan aktivitas berat intensif
juga tidak signifikan, sedangkan mereka yang terlibat dalam aktivitas rendah atau
sedang menunjukkan perbedaan dalam risiko relatif dibanding mereka yang
4
Pada ujian kasus ini, kami membahas suatu adenomiosis + susp kista
endometriosis yang ditatalaksanai dengan laparatomi histerektomi totalis +
salfingoooforektomi bilateral.
Riwayat DM disangkal
Riwayat alergi obat disangkal
6. Riwayat Kontrasepsi
Pil KB selama 2 tahun sejak melahirkan ,setelah itu tidak menggunakan
kontrasepsi
7. Riwayat penyakit keganasan dalam keluarga
Disangkal
8. Riwayat Sosioekonomi
Baik
9. Anamnesis Khusus (auto dan aloanamnesa)
Keluhan utama: Nyeri menstruasi dan benjolan di perut
Riwayat perjalanan penyakit:
Pasien mengaku nyeri perut bawah saat menstruasi sejak sebelum
menikah, nyeri dirasa 1-2 hari menstruasi dan kemudian menghilang.
Keluhan ini kemudian makin hebat sejak lebih kurang 1 tahun terakhir
sehingga mengganggu aktivitas pasien (VAS 5).
Os juga mengeluhkan sejak lebih kurang 10 tahun yll, os mulai mengeluh
menstruasi memanjang dari biasanya (10 hari) dan cenderung tidak teratur,
perdarahan antar siklus (-), banyaknya 2-3 kali ganti pembalut, namun dalam
3 bulan terakhir jumlah perdarahan makin banyak hingga 3-6x ganti
pembalut sehingga mengganggu aktivitas pasien dan membuat pasien lemas.
Walaupun demikian os tidak berobat dan hanya mengonsumsi vitamin
penambah darah saja.
Sejak 3 bulan terakhir os merasa adanya benjolan yang teraba di perut
bagian bawah, os kemudian ke dokter SpOG dan dikatakan ada kista dan
pembesaran rahim.
R/ demam (-), R/ nafsu makan berkurang (-), R/ mual muntah (-), berat
badan menurun (-). R/ keputihan berbau (-), R/ perdarahan saat hubungan
suami istri (-), riwayat BAB dan BAK tidak ada keluhan. Setelah konsultasi
7
B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present (10-07-2018)
a. Keadaan umum
Kesadaran : Kompos mentis
Tipe badan : Piknikus
Berat badan : 82 kg
Tinggi badan : 150 cm
IMT : 36,44 kg/m2
Tekanan darah : 160/100 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,6°C
b. Keadaan khusus
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher : JVP 5-1 cmH2O, pembesaran tiroid (-)
Toraks : Jantung: ictus cordis tak terlihat, ictus cordis tak teraba,
batas jantung dalam batas normal, BJI-II
regular normal, murmur (-), gallop (-),
Paru-paru: gerak dinding dada statis dinamis simetris,
stem fremitus simetris normal, sonor kedua
lapangan paru, vesikuler normal, ronki (-/-),
wheezing (-/-)
Abdomen : Dinding perut datar, lemas, pelebaran vena tidak ada,
hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan tidak ada, bising
usus normal. Tanda cairan bebas (-) (pemeriksaan
8
2. Status Ginekologi
a. Periksa luar
Inspeksi : Perut datar, simetris, vulva dan urethra tenang
Palpasi : Dinding perut lemas, fundus uteri teraba 1 jari diatas
simfisis pubis, tidak berdungkul-dungkul, nyeri tekan (-),
teraba massa kistik ukuran 5x5 cm di adneksa kanan,
permukaan rata, mobilitas terbatas. Teraba massa kistik
ukuran 6x6 cm di adnexa kiri, permukaan rata, permukaan
rata, mobilitas terbatas, nyeri tekan tidak ada.
Perkusi : Timpani, tanda cairan bebas tidak ada
Auskultasi : Bising usus normal
b. Inspekulo : Portio tidak livide, OUE tertutup, fluour (-), fluksus (+)
darah tak aktif, erosi, laserasi, dan polip (-), sondase AF 6
cm.
c. Colok vagina: Portio kenyal, OUE tertutup, korpus uteri sebesar
kehamilan 14 minggu, permukaan rata, adneksa
parametrium kanan tegang teraba massa kistik ukuran
5x6 cm, adneksa parametrium kiri tegang teraba masa
ksitik ukuran 6x6 cm, nyeri goyang porsio (-), kavum
Douglas tidak menonjol
d. Colok dubur: Tonus sfingter ani baik, mukosa licin, ampula kosong,
massa intralumen tidak ada, korpus uteri sebesar
kehamilan 14 minggu. Teraba pole bawah tumor, kistik,
adneksa parametrium kanan teraba massa kistik, adneksa
parametrium teraba massa kistik.
9
Gambar:
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (10-07-2018)
Darah rutin
Hb : 12,3 g% (11,4 – 15 g/dl)
Ht : 41 vol% (35 – 45 g%)
Eritrosit : 5.440.000 (4,0-5,7 juta/ mm3)
Leukosit : 10.300/mm3 (4730 – 10.890 /mm3)
Trombosit : 316.000 /mm3 (189.000 – 436.000/mm3)
Hitung jenis : 0/1/67/25/7 (0-1/1-6/50-70/20-40/2-8 %)
Kimia darah
Gula darah sewaktu : 111 mg/dl ( < 200 mg/dl )
Ureum : 30 mg/dl (15 - 39 mg/dl)
Kreatinin : 0,85 mg/dl (0,6–1,0 mg/dl)
SGOT : 15 µ/l (< 40 µ/l)
SGPT : 17 µ/l (< 41 µ/l)
Albumin : 4,2 g/dl ( 3,5-5,0 g/dl)
CA 125 : 124,30 U/ml ( 0-35 U/ml)
AFP : 1,92 IU/ml ( 0,89-8,78 IU/ml )
CEA : 1,50 ng/ml ( < 3,5 ng/ml )
10
2. Ultrasonografi (12-01-2018)
11
3. Radiologi
Foto toraks (10-07-2018)
Kesan : Kardiomegali
4. Elektrokardiografi (12-07-2018)
12
5. Konsultasi
Konsultasi ke Bagian Penyakit Dalam (12-07-2018)
Kesan : HHD kompensata
Pulmo fungsional kompensata
Hipertensi stg II
Tatalaksana: Amlodipin 5 mg / 24 jam PO
Valsartan 80 mg / 24 jam PO
Tatalaksana operatif sesuai TS Obgin
Konsultasi Bagian Anestesi (10-01-2018)
Kesan: Adenomiosis uteri + kista endometriosis + perlengketan genitalia
interna + hipertensi tak terkontrol + obesitas pro laparotomi
Tatalaksana: Regulasi tekanan darah, targat 140/80 mmHg
Konsul ulang bila sudah teregulasi → ACC penjadwalan
operasi 9/8/2018
13
D. Diagnosis Kerja
Adenomiosis uteri + kista endometriosis bilateral + perlengketan genitalia
interna + Hipertensi stg II + Obesitas.
E. Diagnosis Banding
- Mioma uteri intramural
- Sarkoma uteri
- Neoplasma ovarium kistik dengan keganasan
- Kista dermoid dekstra
F. Prognosis
Dubia ad bonam
G. Penatalaksanaan
- Rencana I: Pemberian leuprolide acetate 3M + follow up klinis dan USG
→ pasien menolak, pasien menginginkan operasi
- Rencana II : Laparatomi SOB + histerektomi total
- Rencana III : laparotomi surgical staging (bila temuan intraop curiga
keganasan).
III. PERMASALAHAN
1. Apakah dasar diagnosis pada kasus ini?
2. Bagaimanakah penatalaksanaan pada kasus ini selanjutnya?
IV. DISKUSI
1. Dasar penegakan diagnosis
Diagnosis pada penderita ini adalah adenomiosis uteri dengan kista
endometriosis bilateral. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan ginekologik dan ultrasonografi.
14
hipogonadisme, dimana ovarium tidak aktif sehingga tidak terjadi siklus haid.
GnRH agonis dapat diberikan secara intramuskular, subkutan, intranasal.
Biasanya dalam bentuk depot satu bulan ataupun depot tiga bulan. Efek
sampingnya antara lain hot flush, vagina kering, kelelahan, sakit kepala,
pengurangan libido, depresi atau penurunan densitas tulang. Berbagai jenis
GnRH agonis antara lain leuprolide, busereline, dan gosereline. Untuk
mengurangi efek samping dapat disertai dengan terapi add back dengan
estrogen dan progesteron alamiah. GnRH agonis diberikan selama rentang
waktu 6-12 bulan, namun ini bersifat sementara yang dalam beberapa waktu
kemudian akan kambuh kembali. Pengobatan dengan suntikan progesteron
seperti suntikan KB dapat membantu mengurangi gejala nyeri dan perdarahan,
dan biasanya lebih efektif diberikan pada pasien adenomiosis dengan gejala
yang lebih ringan. Penggunaan IUD yang mengandung hormon progesteron
dapat mengurangi gejala dismenorea dan menoragia seperti mirena yang
mengandung levonorgestrel yang dilepaskan secara perlahan-lahan ke dalam
rongga rahim. Dari beberapa penelitian menyebutkan mirena dapat mengurangi
keluhan nyeri haid hingga 70%. Mekanisme kerja IUD dengan melepaskan
hormon secara perlahan secara langsung ke endometrium dan dinding otot
uterus. Progesteron menyebabkan sel-sel menyusut dan menekan produksi
prostaglandin, protein yang menyebabkan nyeri haid. Namun dikatakan efek
samping yang umum terjadi akibat pemakaian IUD antara lain penambahan
berat badan (29%), kista jinak ovarium (22%), dan nyeri abdomen bawah
(12%). Aromatase inhibitor yang menghambat enzim aromatase yang
menghasilkan estrogen seperti anastrazole dan letrozole. Aromatase P450
banyak ditemukan pada perempuan dengan gangguan organ reproduksi seperti
endometriosis, adenomiosis dan mioma uteri. Histerektomi adalah jenis terapi
yang terbukti lebih efektif. Pada kasus-kasus dimana fungsi reproduksi tidak
dibutuhkan lagi, histerektomi adalah terapi yang terpilih.3,4,6,21,26
Endometrioma merupakan suatu endometriosis yang terjadi di ovarium.
17
peningkatan aliran darah dan penurunan resistensi pembuluh darah pada awal
terjadinya metaplasia ke neoplasia, dengan demikian kita mampu mendeteksi
kanker ovarium jauh lebih dini dengan memperhatikan resistensi indeks (RI)
dan pulsatif indeks (PI). PI kurang dari 1,0 atau RI sama atau kurang dari 0,4
kemungkinan besar adalah suatu keganasan.35,36 Indikator lain untuk
menghitung nilai keganasan adalah dengan RMI 3 dan RMI 4. Apabila nilai
RMI 3 >200 dan RMI 4 >450 maka kemungkinan besar merupakan suatu
keganasan. Tabel nilai RMI 3 dan RMI 4 dapat dilihat pada tabel 2 berikut:
Tabel 2. Sistem Penilaian Resistency of Malignancy Indeks (RMI)
Kriteria Nilai RMI 3 Nilai RMI 4
USG : 1= tidak ada 1= tidak ada
− Kista multilokuler 1=1 kelainan 1=1 kelainan
− Bagian padat 3=2 atau lebih 4=2 atau lebih
− Lesi bilateral Kelainan Kelainan
− Asites
− Metastase intraabdominal
Premenopause 1 1
Postmenopause 4 4
Ukuran tumor (USG) 1= < 7 cm
2= ≥ 7 cm
CA 125 U/ml U/ml
RMI 3= nilai USG x nilai menopause x nilai CA 125
RMI 4= nilai USG x nilai menopause x ukuran tumor x nilai CA 125
Dikutip dari RCOG, 2010.37
Berdasarkan grup International Ovarian Tumor Analysis (IOTA)
memperlihatkan cara menentukan massa tumor jinak dan ganas melalui
pemeriksaan ultrasonografi, dengan mengklasifikasikan menjadi massa jinak
sebagai benign / B rules dan massa ganas sebagai malignant / M rules,
diperlihatkan dalam tabel 3.
Tabel 3. Grup IOTA dalam pemeriksaan ultrasonografi dalam klasifikasi
massa jinak dan ganas
B – rules M rules
Kista unilokuler Tumor solid irregular
23
Pada kasus ini tindakan operatif yang dilakukan berupa histerektomi totalis
kistektomi bilateral dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Adanya perdarahan dan nyeri perut yang menetap dan semakin dirasa
mengganggu aktivitas
2. Ukuran uterus sebesar 14 minggu
3. Umur penderita 48 tahun, anak hidup 1
4. Fungsi reproduksi dirasa sudah tidak diperlukan lagi oleh pasien dan suami
5. Obesitas yang merupakan faktor risiko karsinoma endometrium akibat
paparan estrogen
6. Pada Ovarium kanan tampak massa kistik dengan echo interna didalamnya
ukuran 4,6x4,2x4,5cm dan 5,9x5,7x6,8 cm pada ovarium kiri yang
kemungkinan suatu kista endometriosis bilateral → bukan suatu keganasan
7. Permintaan pasien untuk mengangkat seluruh sumber penyakit walau masih
concern tentang fungsi seksualitas dan menopause dini.
Data dari penelitian terakhir menunjukkan bahwa histerektomi yang
dilakukan atas indikasi kelainan jinak pada uterus secara umum memperbaiki
psikologi dan kualitas hidup pasien. Sedangkan pada wanita yang dilakukan
histerektomi salfingooforektomi lebih sering berhubungan dengan kesehatan
psikologi yang lebih buruk, dan faktanya hubungan antara ooforektomi dan
depresi sudah diketahui sejak lama. Selain itu ooforektomi juga dilaporkan lebih
sering menyebabkan gangguan seksual, penurunan kepuasan seksual dan
dispareunia, dibandingkan yang tidak dilakukan ooforektomi. Pada tahun 2006,
Dennerstein dkk melaporkan bahwa dalam survei pada 1.345 wanita usia 20-70
tahun yang telah dilakukan ooforektomi bilateral, dua kali lebih sering
mengalami hypoactive sexual desire disorder.46,47
Sejumlah penelitian telah menunjukkan terjadinya akselerasi kehilangan
massa tulang atau penurunan densitas tulang setelah menopause. Semakin muda
usia menopause maka semakin rendah densitas tulang. Ooforektomi dikatakan
30
imunoterapi.22,23
Laparatomi eksplorasi disertai dengan biopsi potong beku merupakan
prosedur diagnostik yang paling berguna untuk memberikan penatalaksanaan
berikutnya. Dari penelitian yang dilakukan, akurasi hasil potong beku pada tumor
ovarium mencapai 90%. Berdasarkan potong beku dilakukan seleksi terhadap
penderita apakah membutuhkan penetapan stadium atau tidak, sehingga akurasi
hasil potong beku tersebut haruslah tinggi untuk mencegah kesalahan penetapan
stadium.49
Prevalensi berkembangnya risiko kanker ovarium pada wanita tanpa riwayat
tumor ovarium dan penampakan normal ovarium saat operasi adalah 0.14-0.47%
menjadi kanker ovarium. Kebanyakan ginekolog merekomendasikan untuk tidak
melakukan ooforektomi pada wanita di bawah 40 tahun dan merekomendasikan
ooforektomi pada wanita pascamenopause. Kehilangan fungsi ovarium prematur
akibat bilateral ooforektomi premenopause berhubungan dengan dampak negatif
seperti risiko kematian dini, penyakit kardiovaskular, demensia, parkinson,
osteoporosis dan fraktur, penurunan kesehatan psikologi dan penurunan fungsi
seksual. Hal ini dapat dicegah dengan terapi estrogen, namun tidak semuanya
dapat teratasi. ACOG mempertimbangkan beberapa faktor jika akan
mempertahankan ovarium, antara lain usia, risiko karsinoma ovarium genetik,
aterosklerosis, predisposisi osteoporosis, risiko re-operasi setelah ovarium
dipertahankan, dan isu terkait dengan kualitas hidup.47
Dalam Kurman dijelaskan bahwa teori terbaru mengenai karsinogenesis epitel
ovarium menyatakan bahwa karsinoma ovarium serous, endometriosis, dan clear
cell berasal dari tuba fallopi dan endometrium, bukan langsung dari ovarium itu
sendiri. Salah satu mekanisme terjadinya karsinogenesis adalah mutasi gen p53
yang merupakan gen suppressor tumor. Sebuah penelitian oleh Crum, dkk tahun
2007 terhadap wanita dengan BRCA positif dan BRCA negatif menemukan 80%
wanita dengan mutasi BRCA (BRCA postif) dan 89% wanita tanpa riwayat
genetik (BRCA negatif) memiliki mutasi gen p53 pada ujung distal fimbriae.50,51
32
liver dan kandung kemih dan hemidiafrgma kanan. Daerah paraaorta, kolon
transversum, hemidiafragma kiri, lien dan ginjal kiri, fosa parakolika kiri dan
kolon descenden sampai sigmoid dan rektum. Kemudian jejunum dan
mesenteriumnya mulai dari ligamentum Treitz ke ileum dan mesenteriumnya
sampai ke caecum. Eksplorasi dilanjutkan pada genitalia interna. Lokalisasi
dan ukuran tumor primer serta hubungannya dengan organ sekitar dicatat
dengan baik. Demikian juga jika terdapat metastasis ke organ intraabdomen
lainnya. Bentuk dan ukurannya dicatat dengan rinci. Jika terdapat penyebaran
tumor diluar pelvis, maka stadium kanker tersebut telah lanjut, karenanya
bilasan rongga peritoneum untuk sitologi dan biopsi peritoneum tidak
diperlukan lagi. Sebaliknya, jika tidak ada penyebaran ke luar pelvis, bilasan
rongga peritoneum untuk sitologi, biopsi peritoneum dari kavum Douglas,
parakolika kanan dan kiri, paravesica urinaria, mesenterium intestinal,
subdiafragma dan pengangkatan kelenjar getah bening retroperitoneal
menjadi penting.
- Tumor ovarium diangkat sedapatnya in toto (intact) dan dikirim untuk
pemeriksaan potong beku (frozen section). Adakalanya tumor sedemikian
besarnya sehingga tidak dapat diangkat segera. Dalam hal ini hanya sebagian
tumor yang dikirim untuk pemeriksaan potong beku.
- Bila hasil potong beku ternyata ganas, surgical staging dilanjutkan ke
langkah berikutnya.
- Pengangkatan seluruh genitalia interna dengan histerektomi total dan
salpingooforektomi bilateral.
- Untuk mengetahui adanya mikrometastasis, dilakukan :
o Biopsi peritoneum : kavum Douglas, paravesica urinaria, parakolika
kanan,dan subdiafragma
o Biopsi perlengketan-perlengketan organ intraperitoneal
o Limfadenektomi sistematik kelenjar getah bening pelvis dan paraorta
o Omentektomi
34
14. Menjepit, memotong dan mengikat vasa uterina kanan dan kiri dengan
choromic cat gut 1.0
15. Menjepit, memotong dan mengikat jaringan paraservikal kanan dan kiri
16. Menjepit, memotong dan mengikat ligamentum sakrouterina kanan dan kiri
dengan choromic cat gut 1.0
17. Dilakukan identifikasi batas serviks dan vagina, lalu puncak vagina dipotong
setinggi portio, lalu sudut puncak vagina dijahit secara jelujur dengan PGA no
2.0
18. Perdarahan dirawat sebagaimana mestinya
19. Setelah diyakini tidak ada perdarahan dilakukan pencucian cavum abdomen
dengan NaCL 0.9%
20. Dilanjutkan dengan penutupan dinding abdomen lapis demi lapis
21. Seluruh jaringan di PA-kan
V. SIMPULAN
1. Diagnosis pasien ini adalah adenomiosis uteri + susp kista endometriosis
bilateral dengan diagnosis banding mioma uteri dan keganasan pada ovarium
atau uterus.
2. Tindakan yang akan dilakukan adalah intervensi bedah berupa laparotomi
histerektomi total + salfingoooforektomi bilateral. Kemudian seluruh jaringan
di PA-kan
3. Bila dari temuan operatif dicurigai keganasan, maka tindakan yang dilakukan
adalah surgical staging.
36
RUJUKAN
1. Scharge, JO. Williams Gynaecology. Mc Graw Hill medical. 2008:208-209.
2. Benagiano G, Habiba M, Brosens I. The pathophysiology of uterine adenomyosis: an update. Fertil
Steril. 2010; 98(3): 7572-9.
3. Hoffman BL, Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Bradshaw KD, Cunningham FG. Pelvic mass.
In: Hoffman BL, ed. Williams Gynecology. 2nd ed. New York: Mc-Graw Hill, 2012:246-80.
4. Sahni, BS. Adenomyosis. Clinic.com-http://wwwhomeopathyclinic.com.2014:1-4.
5. Manuaba, IAC. Buku Ajar Penuntun Kuliah Ginekologi. Jakarta. 2010:686-688.
6. Hestiantoro A, Natadisastra M, Sumapraja K, Wiweko B, Pratama G, Situmorang H, dkk. Best
practice on IMPERIAL. Jakarta, 2014: 135-59.
7. Putra AD. Ultrasonografi ginekologi I. Edisi ke-2. Jakarta: Divisi Onkologi Departemen Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011:25-34.
8. Bazot M, Dara E, Rouger J, Detchev R, Cortez A, Uzans. Limitations of transvaginal sonography
for the diagnosis of adenomyosis with histopathological correlation. Ultrasound Obstet Gynecol.
2002; 20:603-11
9. Hanafi M. Ultrasound diagnosis of adenomyosis, leiomyoma, or combined with histopathological
correlation. J Hum Reprod Sci. 2013;6(3):189-93.
10. Syam HH, Djuwantono T, Astarto NW. Penanganan Terkini Adenomiosis untuk mempertahankan
Fertilisasi. Divisi Endokrinologi Reproduksi & Fertilitas. Departemen Obstetri & Ginekologi FK
UNPAD/RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung.
11. Joedosepoetro MS, Sutoto. Tumor jinak pada alat genital. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB,
Rachimhadhi T (editor). Ilmu kandungan. Edisi ke-2. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2007.hal.328-362.
12. Carnahan M., Jennifer F., Ashok A. and Sajal G. Ovarian endometrioma: guidelines for selection of
cases for surgical treatment or expectant management. Expert Rev. Obstet. Gynecol. 2013. 8(1), hal.
29–55.
13. Dunselman GAJ, Vermeulen N, Becker C, Calhaz-Jorge C, D’Hooghe T, De Bi B, et al. ESHRE
endometriosis guideline development group September 2014. Netherland. 2014. Hal. 1-2.
14. Preet K. Dhillon, 2003. Recreational Physical Activity and Endometrioma Risk. Am J Epidemol.
158:156-164.
15. Donnez JDO, Lousse J, Squifflet J. Peritoneal, ovarian, and rectovaginal endometriosis are three
different entities. In: Endometriosis: Science and practice. Giudice L (Ed.). 2012. Blackwell
Publishing, Laden, MA, USA, hal. 92–107
16. Bhatt S, Kocakoc E, Dogra VS. Endometriosis: Sonographic Spectrum. Ultrasound Quarterly
2006;22:273- 80.
17. Arruda MS, Petta CA, Abrão MS, Benetti‐Pinto CL. Time elapsed from onset of symptoms to
diagnosis of endometriosis in a cohort study of Brazilianwomen. Hum. Reprod. (2003) 18 (4):
hal. 756-759.
18. Hudeist G, English J, Thomas AE, Tinelli A, Singer CF, Keckstein J. Diagnostic accuracy of
transvaginal ultrasound for non-invasive diagnosis of bowel endometriosis: systematic review and
meta-analysis. Austria. Ultrasound Obstet Gynecol. 2011 (37): hal. 257–263.
19. Falcone T, Lebovic DI. Clinical Management of Endometriosis. ObstetGynecol (2011) 118(3):691-
705.
20. Hendarto H. Implikasi klinis PALM COEIN terhadap penatalaksanaan perdarahan uterus abnormal.
Dalam: Astarto N.W, Djuwantono T, Permadi W, Madjid T.H, Bayuaji H, Ritonga M.A. Kupas
Tuntas kelainan haid. Jakarta. Sagung seto- Departemen Obstetri dan Ginekologi FK universitas
Pajajaran RS Dr. Hasan Sadikin. 2011; 19-41.
21. Syam HH, Djuwantono T, Astarto NW. Penanganan Terkini Adenomiosis untuk mempertahankan
Fertilisasi. Divisi Endokrinologi Reproduksi & Fertilitas. 2014. Departemen Obstetri & Ginekologi
FK UNPAD/RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung.
37
22. Benedett JL, Bender H, Jones III H, Ngan HYS, Pecorelli S. FIGO staging classification clinical
practice guidelines in the management of gynecologyc cancers. Int J of Obstet gynecol. 2000;
173:241-9.
23. Knudsen UB, Tabor A, Mosgaard B, Andersen ES, Kjer JJ, Hahn P S, et al. Management of ovarian
cyst. Acta Obstetricia et Gynecologica Scandinavica. 2004;83:1012-21.
24. Laughlin SK, Stewart EA. Uterine leiomyomas: individualizing the approach to a heterogenous
condition. Obstet Gynecol. 2011;117(2):396-403.
25. Khan AT, Shehmar M, Gupta JK. Uterine fibroids: current perspectives. Int J Womens Health.
2014;6: 95-114.
26. Segars JH, Parrott EC, Nagel JD, Guo XC, Gao X, Linda S. Proceedings from the Third National
Institutes of Health International Congress on Advances in Uterine Leiomyoma Research:
comprehensive review, conference summary and future reccomendations. Hum Reprod Update.
2014; 20(3): 309-33.
27. Samer S, Nicola T, and Dharani K. Hapangama. Theories on the Pathogenesis of Endometriosis. Int
J. of Reprod Med, vol. 2014, hal. 1-2.
28. Smith RP, Netter FH, Craig JA, Machado CAG. Netter’s Obstetrics, Gynecology and Women’s
Health. International edition. New Jersey: Icon Learning Systems LLC. 2002; 246-9.
29. Donnelly JK, Pfeifer JD, Huettner PC. The Ovary. In: Humphrey PA, Dehner LP, Pfeifer JD, editors.
The Washington Manual of Surgical Pathology. Washington: Lippincott Williams & Wilkins. 2008;
400.
30. Boy B. Kanker ovarium. Dalam: Farid A, Andrijono, Saifudin AB, ed. Buku acuan nasinoal
onkologi ginekologi. Edisi pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2006.hal.468-527.
31. Sanfilipino JS, Rock JA. Surgery for benign disease of the ovary. In: Rock JA, Jones III HW, eds.
Te Linde’s. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkinss: 2003.p.629-47.
32. DePriest PD. A morphology index based on sonographic findings in ovarian cancer. Gyn Oncol.
1993;5: 7-11.
33. Fauconnier A, Chapron C, Dubuisson JB, Vieira M, Dousset B, Bréart G. Relation between pain
symptoms and the anatomic location of deep infiltrating endometriosis. Fertil. Steril 2002. 78(4),
hal. 719–726.
34. Guerriero S, Ajossa S, Garau N, Alcazar JL, Mais V, Melis GB. Diagnosis of pelvic adhesions in
patients with endometrioma: the role of transvaginal ultrasonography. J Fertil Steril. 2010. 94(2),
hal. 742–746.
35. Schorge JO, Scheffer JI, Havorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham FG. Williams
gynecology. New York: McGraw-Hill; 2008.
36. Bry-Gauillard H, Meduri G. Primary amenorrhea revealing an occult progesterone-secreting ovarian
tumor. Case report. 2007;1-5.
37. Green–top Guideline No. 62. Management of Suspected Ovarian Masses in Premenopausal Women.
RCOG/BSGE Joint Guideline. November 2011
38. Alcázar J, María J, José Á, and Manuel G. Transvaginal Color Doppler Sonography Versus
Sonohysterography in the Diagnosis of Endometrial Polyps. American Institute of Ultrasound in
Medicine. J Ultrasound Med. 2004; 23: hal.743–748
39. Chu PG, Arber DA, Weiss LM, Chang KL. Utility of CD10 in distinguishing between endometrial
stromal sarcoma and uterine smooth muscle tumors: an immunohistochemical comparison of 34
cases. Mod Pathol. 2001;14(5): hal. 465-71.
40. Omer Ant, Gülnur, Ozaks¸ Ali _Irfan Güzel, Sabri Cavkaytar, Metin Kaba, Hasan Onur Topçu.
Clinical significance of serum folistatin levels in the diagnosis of ovarian endometrioma and benign
ovarian cysts. T J Obstet Ginaecol. 2015 (54) hal. 236-239.
41. Florio P, Reis FM, Torres PB, Calonaci F, Abrao MS, Nascimento LL, et al. High serum folistatin
levels in women with ovarian endometriosis. Hum Reprod. 2009; 24: hal. 2600-6.
38
42. Luisi S, Abrao MS, Rocha AL, Vigano P, Rezende CP, et al. Diagnostic value of serum activin A
and folistatin levels in women with peritoneal, ovarian and deep infiltrating endometriosis. Hum
Reprod 2012;27: hal.1445-50.
43. Sarwono P. 2011. Endometriosis. Ilmu Kandungan. Ed 3. Jakarta: PT Bina Pustaka Prawirohardjo.
44. Speroff L, Glass RH, Kase N. 1994. Clinical Gynecologic Endocrinology and Fertility. USA:
William & Wilkins.
45. PNPK (Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran). Nyeri Endometriosis. POGI (Pekumpulan
Obstetric dan Ginekologi Indonesia). 2010
46. Shuster, LT, Goustout BS, Grossardt BR, Rocca WA. Prophylactic oophorectomy in pre-
menopausal women and long term health-a review. Menopause Int.2008;14(3):111-116.
47. ACOG practice bulletin. Ellective and risk reducing salphingo-oophorectomy.2008;89:1-12.
48. Liu, Xishi, Yuan, Lei, Shen, Fanghuahu, Zhilin, Jiang, Hongyuan, Guo, Sun-Wei. 2007. Patterns of
and Risk Factors for Recurrence in Women With Ovarian Endometriomas. Obstetrics &
Gynecology 8: pp 1411-1420
49. Kramer J.L. Epidemiologi of ovarian, fallopian tube, and primary peritoneal cancer. In Gillian T ed.
Gynecologic cancer. Churchill Livingston. 2004; 327-340.
50. Kurman RJ, Shih I. The origin and pathogenesis of epithelial ovarian cancer: a proposed undifying
theory. Am J Surg Pathol. 2010;34:433-43.
51. Crum CP, Drapkin R, Kiendelberger D, Medeiros F, Miron A, Lee Y. Lessons from BRCA: the
tubal fimbria emerges as an origin for pelvic serous cancer. Clin Med Res. 2007;5:35-44.
52. ACOG. Salpingectomy for ovarian cancer prevention. ACOG. 2015;620:1-4.
53. Pecorelli S, Jones III HW, Ngan HYS, Bender HG, Benedet JL. Cancer of the ovary. In: Benedet
JL, Pecorelli S. Staging classifications and clinical practice guidelines of gynecologic cancers.
Oxford: Elsevier Science Ireland Ltd. 2000; 63-78