Sie sind auf Seite 1von 39

UJIAN KASUS

ADENOMIOSIS + SUSP KISTA ENDOMETRIOSIS YANG


DITATALAKSANAI DENGAN LAPARATOMI HISTEREKTOMI
TOTAL + SALFINGOOOFOREKROMI BILATERAL

UJIAN KASUS TAHAP AKHIR


PESERTA PPDS OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Oleh
Dr. Abdul Bari

Penguji

DEPARTEMEN OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Dipresentasikan pada hari _____, _________ 2018 Pukul ______ WIB
1

I. PENDAHULUAN
Adenomiosis adalah kondisi dimana terdapatnya kelenjar dan stroma endometrium
heterotropik di miometrium. Hal ini terjadi akibat rusaknya batas antara stratum
basalis endometrium dengan miometrium sehingga kelenjar endometrium dapat
menembus miometrium. Selanjutnya, terbentuklah kelenjar intramiometrium
ektopik yang dapat menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia miometrium baik difus
maupun fokal.1 Derajat invasi bervariasi dan dapat melibatkan seluruh lapisan
miometrium, dari lapisan endometrium sampai lapisan serosa. Perpanjangan kelenjar
harus >2,5 mm di bawah perbatasan endometrial-myometrial untuk menegakkan
diagnosis.2
Etiologi dan mekanisme terjadinya adenomiosis masih sulit dimengerti.
Beberapa ahli menyatakan bahwa hal ini dipicu oleh kelemahan miometrium dan
akibat peningkatan tekanan intrauterine sebagai faktor predisposisi.1,2 Sedangkan
Arnold menghubungkan adenomiosis dengan faktor genetik. Penyebab lain yang
dapat dihubungkan dengan adenomiosis adalah hormon estrogen dan kelainan ini
akan hilang setelah menopause.3
Adenomiosis menyerang sekitar 1% perempuan dan hampir 80% berkembang
pada wanita umur pertengahan 40-50 tahun. Sembilan puluh persen dari kasus yang
ada terjadi pada wanita yang pernah melahirkan. Adenomiosis dideteksi pada 15-
30% dari spesimen histerektomi.2-4
Adenomiosis merupakan proses benigna melalui pengaruh sex steroid hormon
ovarium berupa kenaikan estradiol.7 Sekitar 35% kasus adenomiosis asimptomatis,
sedangkan lainnya mengeluhkan menorrhagia (50%), dismenorrea (30%), dan
metroragia (20%).3,4 Menurut Benson dan Sneeden frekuensi dan derajat beratnya
gejala berhubungan dengan luasnya penyakit dan kedalaman invasi adenomiosis.4
Dalam sebuah studi dimana telah ditegakkan diagnosis patologis adenomiosis yang
dibuat dari spesimen histerektomi, 35% penderitanya tidak memiliki gejala yang
khas. Gejala seperti ini juga umum terjadi pada kelainan ginekologis yang lain.
Gejala lain yang jarang terjadi yaitu dispareunia & nyeri pelvis yang kronis atau
2

terus-menerus. Pada pemeriksaan dalam dapat dijumpai juga uterus yang membesar
secara merata. Nyeri tekan biasanya dapat timbul bila dilakukan pemeriksaan
bimanual. Pembesaran uterus sulit dibedakan dengan mioma uteri secara klinis,
gejalanya pun hampir sama.4,5
Gejala klinis adenomiosis menyerupai mioma uteri, dan pada praktiknya sulit
membedakan adenomiosis dan mioma uteri. Tidak ada gejala yang patognomonis
untuk adenomiosis sehingga menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosis
preoperatif.6,7 Sampai saat ini diagnosis pasti hanya dibuat setelah operasi yang
bersifat invasif. Gambaran ultrasonografi adenomiosis difusa mirip dengan kanker
endometrium, hipertrofi miometrium, atau kontraksi uterus, sedangkan adenomiosis
fokal mirip dengan mioma uteri. Baku emas penegakan diagnosisnya adalah
histopatologi meskipun teknologi pencitraan seperti ultrasonografi terutama
transvaginal atau MRI dapat membantu. Secara histologis terlihat sebagai pulau-
pulau kelenjar dan stroma endometrium yang berada diantara sel miometrium yang
hipertrofi. Dapat sedemikian difus sehingga menyebar pada hampir seluruh lapisan
miometrium maupun hanya beberapa fokus kecil saja.8,9
Terapi definitif untuk adenomiosis adalah histerektomi, khususnya bila keluhan
menetap atau berulang. Namun pada wanita yang masih menginginkan fertilitasnya
terapi konservatif dapat dipertimbangkan. Saat ini banyak dikembangkan teknik dan
penatalaksanaan medis untuk terapi konservatif mempertahankan uterus dan fungsi
reproduksi.10
Lebih dari 80% wanita dengan adenomiosis mempunyai proses patologis lain
pada uterus, antara lain dengan mioma uteri (20,5-70%), dengan endometriosis (6,3-
24%), dengan polip endometrium (2,3-14,7%), dengan hiperplasia endometrium
(7,3-13,6%), dengan hiperplasia endometrium atipik (3,5%) dan 2,2-6,3% dengan
adenokarsinoma.6,10 Pada kasus ini nampaknya, kelainan adenomiosis pada pasien
disertai dengan kista ovarium bilateral
Pembesaran ovarium dapat merupakan kejadian fisiologis bagi ovarium itu
sendiri, namun dapat pula merupakan masalah primer pada ovarium tersebut. Tumor
3

ovarium merupakan tumor yang cukup sering dijumpai pada seorang wanita dan
hampir 80% merupakan tumor jinak. Tumor ovarium dapat berupa neoplasma
maupun non neoplasma.11
Endometriosis adalah pertumbuhan jaringan endometrium diluar kavum uteri,
salah satunya dapat terjadi di ovarium yang disebut endometrioma ovarium/ kista
endometriosis, sementara kista jinak ovarium, berupa kantung berisi cairan yang
terdapat di dalam ataupun permukaan ovarium, merupakan kondisi yang sering
terjadi pada wanita usia reproduktif. Endometriosis terjadi pada sekitar 2-8% wanita
usia reproduktif dengan prevalensi tertinggi pada usia 35-44 tahun per 1000 wanita.
European Society of Reproduction and Embryology mengestimasikan 1 dari 10
wanita usia reproduktif mengalami endometriosis. Endometrioma ovarium dan
berbagai jenis kista jinak ovarium merupakan suatu masalah yang sering ditemui
dalam kasus ginekologi, walaupun belum banyak laporan mengenai prevalensi dari
endometrioma, suatu penelitian mengungkapkan bahwa 20-40% dari kasus
endometriosis merupakan endometrioma ovarium.12,13
Etiologi endometriosis belum dapat dipahami dengan baik, namun peran
karakteristik endogen dalam terjadinya endometriosis telah dilaporkan secara luas.
Karakteristik ini meliputi faktor yang berhubungan dengan menstruasi, misalnya
usia menarke yang lebih dini (8-14 tahun) dan panjang siklus menstruasi lebih
pendek, faktor hormonal seperti estrogen, faktor lingkungan dan aktifitas fisik.
Penelitian terdahulu menyebutkan olahraga teratur berkaitan dengan penurunan
pajanan kumulatif menstrual flow, penurunan stimulasi ovarium dan produksi
estradiol. Sedikit berbeda dari penelitian terdahulu, Dhillon dalam penelitian
analisis multivariatnya menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara aktivitas dan endometrioma. Hasil tersebut didapat dengan penelitian dengan
mengontrol jumlah kelahiran hidup, penggunaan kontrasepsi oral, dan merokok
selama dua tahun. Penurunan pada wanita yang melakukan aktivitas berat intensif
juga tidak signifikan, sedangkan mereka yang terlibat dalam aktivitas rendah atau
sedang menunjukkan perbedaan dalam risiko relatif dibanding mereka yang
4

melaporkan tidak ada aktivitas fisik.14


Endometrioma adalah salah satu endometriosis yang paling sering ditemukan
yakni didapati pada sekitar 20-40% wanita dengan endometriosis, namun prevalensi
pasti dari endometrioma ovarium belum diketahui secara pasti.15
Endometrioma bilateral terjadi dalam 50 % kasus dan bisa ditemukan cukup
besar walau jarang melebihi diameter 15 cm. Lokasi lain dari endometriosis selain
ovarium adalah ligament uterus (ligamentum latum posterior, ligament sacro
uterine), cavum Douglas, peritoneum rongga pelvis, tuba falopi, daerah
rektosigmoid dan kandung kemih. Lesi yang besar dan lesi dengan dinding noduler
harus diperiksa untuk menyingkirkan keganasan. Endometriosis biasanya akan
mengalami regresi alami setelah menopause.16
Meskipun dapat muncul gejala seperti nyeri panggul, terkadang endometrioma
juga dapat saja tidak menampakkan gejala sebelum kemudian berkembang menjadi
keluhan yang lebih berat. Beberapa studi mendokumen-tasikan bahwa hal tersebut
menjadi penyebab terlambatnya penegakan diagnosis. Penelitian terhadap wanita
Anglo-Amerika, Eropa, dan Amerika Latin menunjukkan kerterlambatan diagnosis
sekitar 3-11 tahun antara onset gejala nyeri panggul dengan diagnsosis final dari
endometriosis. Aruda dkk mengemukakan bahwa nilai tengah periode antara onset
gejala dan tegaknya diagnosis berkisar 4 tahun pada wanita dengan keluhan utama
infertil, dan sekitar 7,4 tahun pada wanita dengan keluhan utama nyeri panggul.
Hudelist dkk menyampaikan bahwa setidaknya mayoritas pasien endometriosis
pernah mengalami satu kesalahan diagnosis.17,18
Prosedur Pembedahan yang dianjurkan untuk pasien-pasien dengan
endometriosis adalah:
1. Laparoskopi, merupakan gold standard dan prosedur operasi yang paling sering
dilakukan. Dengan laparoskopi, pemulihan pasien dapat lebih cepat
2. Laparotomi, tindakan ini lebih invasive yaitu dengan melakukan insisi yang
luas pada linea mediana. Laparotomi jarang dilakukan pada pasien, kecuali
pada endometriosis yang berat.19
5

Pada ujian kasus ini, kami membahas suatu adenomiosis + susp kista
endometriosis yang ditatalaksanai dengan laparatomi histerektomi totalis +
salfingoooforektomi bilateral.

II. REKAM MEDIK


A. Anamnesis
1. Identifikasi
Nama : Ny. SUL
Medrec : 1070516
Umur : 48 tahun
Suku bangsa : Sumatera
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Guru
Alamat : Jl. Sadewa Lubuk Lingau Barat II
Kunjungan RSMH : 10 Juli 2018 (kontrol poli FER)
2. Riwayat Perkawinan
Menikah 1x, lamanya 24 tahun
3. Riwayat Reproduksi
Menars 13 tahun, siklus haid teratur 28 hari, lama haid 5 hari, namun selama
10 tahun terakhir perdarahan tidak teratur (1 bulan 2-3x) dan memanjang (10
hari), banyaknya 3-6x ganti pembalut, HPHT 1-9 Juli 2018, 9-19 Juni 2018,
11-21 Mei 2018.
4. Riwayat Persalinan
P1A0 tahun 2000, laki-laki, 3600 gr, SC, RS Linggau, Sehat
5. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat darah tinggi disangkal
Riwayat sakit jantung disangkal
Riwayat asma disangkal
6

Riwayat DM disangkal
Riwayat alergi obat disangkal
6. Riwayat Kontrasepsi
Pil KB selama 2 tahun sejak melahirkan ,setelah itu tidak menggunakan
kontrasepsi
7. Riwayat penyakit keganasan dalam keluarga
Disangkal
8. Riwayat Sosioekonomi
Baik
9. Anamnesis Khusus (auto dan aloanamnesa)
Keluhan utama: Nyeri menstruasi dan benjolan di perut
Riwayat perjalanan penyakit:
Pasien mengaku nyeri perut bawah saat menstruasi sejak sebelum
menikah, nyeri dirasa 1-2 hari menstruasi dan kemudian menghilang.
Keluhan ini kemudian makin hebat sejak lebih kurang 1 tahun terakhir
sehingga mengganggu aktivitas pasien (VAS 5).
Os juga mengeluhkan sejak lebih kurang 10 tahun yll, os mulai mengeluh
menstruasi memanjang dari biasanya (10 hari) dan cenderung tidak teratur,
perdarahan antar siklus (-), banyaknya 2-3 kali ganti pembalut, namun dalam
3 bulan terakhir jumlah perdarahan makin banyak hingga 3-6x ganti
pembalut sehingga mengganggu aktivitas pasien dan membuat pasien lemas.
Walaupun demikian os tidak berobat dan hanya mengonsumsi vitamin
penambah darah saja.
Sejak 3 bulan terakhir os merasa adanya benjolan yang teraba di perut
bagian bawah, os kemudian ke dokter SpOG dan dikatakan ada kista dan
pembesaran rahim.
R/ demam (-), R/ nafsu makan berkurang (-), R/ mual muntah (-), berat
badan menurun (-). R/ keputihan berbau (-), R/ perdarahan saat hubungan
suami istri (-), riwayat BAB dan BAK tidak ada keluhan. Setelah konsultasi
7

dengan dokter tersebut dan berdiskusi dengan suami, pasien memutuskan


untuk angkat kista dan rahim, kemudian os dirujuk ke RSMH.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present (10-07-2018)
a. Keadaan umum
Kesadaran : Kompos mentis
Tipe badan : Piknikus
Berat badan : 82 kg
Tinggi badan : 150 cm
IMT : 36,44 kg/m2
Tekanan darah : 160/100 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,6°C

b. Keadaan khusus
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher : JVP 5-1 cmH2O, pembesaran tiroid (-)
Toraks : Jantung: ictus cordis tak terlihat, ictus cordis tak teraba,
batas jantung dalam batas normal, BJI-II
regular normal, murmur (-), gallop (-),
Paru-paru: gerak dinding dada statis dinamis simetris,
stem fremitus simetris normal, sonor kedua
lapangan paru, vesikuler normal, ronki (-/-),
wheezing (-/-)
Abdomen : Dinding perut datar, lemas, pelebaran vena tidak ada,
hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan tidak ada, bising
usus normal. Tanda cairan bebas (-) (pemeriksaan
8

abdomen untuk ginekologi pada status ginekologi)


Ekstremitas : Edema tidak ada, varises tidak ada, refleks fisiologis
+/+, refleks patologis -/-

2. Status Ginekologi
a. Periksa luar
Inspeksi : Perut datar, simetris, vulva dan urethra tenang
Palpasi : Dinding perut lemas, fundus uteri teraba 1 jari diatas
simfisis pubis, tidak berdungkul-dungkul, nyeri tekan (-),
teraba massa kistik ukuran 5x5 cm di adneksa kanan,
permukaan rata, mobilitas terbatas. Teraba massa kistik
ukuran 6x6 cm di adnexa kiri, permukaan rata, permukaan
rata, mobilitas terbatas, nyeri tekan tidak ada.
Perkusi : Timpani, tanda cairan bebas tidak ada
Auskultasi : Bising usus normal
b. Inspekulo : Portio tidak livide, OUE tertutup, fluour (-), fluksus (+)
darah tak aktif, erosi, laserasi, dan polip (-), sondase AF 6
cm.
c. Colok vagina: Portio kenyal, OUE tertutup, korpus uteri sebesar
kehamilan 14 minggu, permukaan rata, adneksa
parametrium kanan tegang teraba massa kistik ukuran
5x6 cm, adneksa parametrium kiri tegang teraba masa
ksitik ukuran 6x6 cm, nyeri goyang porsio (-), kavum
Douglas tidak menonjol
d. Colok dubur: Tonus sfingter ani baik, mukosa licin, ampula kosong,
massa intralumen tidak ada, korpus uteri sebesar
kehamilan 14 minggu. Teraba pole bawah tumor, kistik,
adneksa parametrium kanan teraba massa kistik, adneksa
parametrium teraba massa kistik.
9

Gambar:

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (10-07-2018)
Darah rutin
Hb : 12,3 g% (11,4 – 15 g/dl)
Ht : 41 vol% (35 – 45 g%)
Eritrosit : 5.440.000 (4,0-5,7 juta/ mm3)
Leukosit : 10.300/mm3 (4730 – 10.890 /mm3)
Trombosit : 316.000 /mm3 (189.000 – 436.000/mm3)
Hitung jenis : 0/1/67/25/7 (0-1/1-6/50-70/20-40/2-8 %)
Kimia darah
Gula darah sewaktu : 111 mg/dl ( < 200 mg/dl )
Ureum : 30 mg/dl (15 - 39 mg/dl)
Kreatinin : 0,85 mg/dl (0,6–1,0 mg/dl)
SGOT : 15 µ/l (< 40 µ/l)
SGPT : 17 µ/l (< 41 µ/l)
Albumin : 4,2 g/dl ( 3,5-5,0 g/dl)
CA 125 : 124,30 U/ml ( 0-35 U/ml)
AFP : 1,92 IU/ml ( 0,89-8,78 IU/ml )
CEA : 1,50 ng/ml ( < 3,5 ng/ml )
10

2. Ultrasonografi (12-01-2018)
11

• Uterus AF, bentuk berbenjol dan ukuran membesar, dengan masa


hiperechoic di corpus posterior dengan batas tak tegas, vaskularisasi
(+), ukuran 5,6x4,1 cm kemungkinan suatu adenomiosis uteri
• Endometrial line (+) tebal 0,5 cm, tampak terdorong ke anterior pada
bagian fundus
• Tampak massa hipoekoik berbatas tegas dengan echo interna (+)
ukuran 4,6x4,2x4,5 cm di ovarium kanan dan ukuran 5,9x5,7x6,8 cm
di ovarium kiri yang kemungkinan suatu kista endometriosis bilateral
• Perlengketan genitalia interna (+)
• Hepar dan kedua ginjal dalam batas normal
Kesan: susp adenomiosis uteri + kista endometriosis bilateral +
perlengketan genitalia interna

3. Radiologi
Foto toraks (10-07-2018)
Kesan : Kardiomegali

4. Elektrokardiografi (12-07-2018)
12

Kesan: Tachycardia + sinus rhytm

5. Konsultasi
Konsultasi ke Bagian Penyakit Dalam (12-07-2018)
Kesan : HHD kompensata
Pulmo fungsional kompensata
Hipertensi stg II
Tatalaksana: Amlodipin 5 mg / 24 jam PO
Valsartan 80 mg / 24 jam PO
Tatalaksana operatif sesuai TS Obgin
Konsultasi Bagian Anestesi (10-01-2018)
Kesan: Adenomiosis uteri + kista endometriosis + perlengketan genitalia
interna + hipertensi tak terkontrol + obesitas pro laparotomi
Tatalaksana: Regulasi tekanan darah, targat 140/80 mmHg
Konsul ulang bila sudah teregulasi → ACC penjadwalan
operasi 9/8/2018
13

D. Diagnosis Kerja
Adenomiosis uteri + kista endometriosis bilateral + perlengketan genitalia
interna + Hipertensi stg II + Obesitas.

E. Diagnosis Banding
- Mioma uteri intramural
- Sarkoma uteri
- Neoplasma ovarium kistik dengan keganasan
- Kista dermoid dekstra

F. Prognosis
Dubia ad bonam

G. Penatalaksanaan
- Rencana I: Pemberian leuprolide acetate 3M + follow up klinis dan USG
→ pasien menolak, pasien menginginkan operasi
- Rencana II : Laparatomi SOB + histerektomi total
- Rencana III : laparotomi surgical staging (bila temuan intraop curiga
keganasan).

III. PERMASALAHAN
1. Apakah dasar diagnosis pada kasus ini?
2. Bagaimanakah penatalaksanaan pada kasus ini selanjutnya?

IV. DISKUSI
1. Dasar penegakan diagnosis
Diagnosis pada penderita ini adalah adenomiosis uteri dengan kista
endometriosis bilateral. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan ginekologik dan ultrasonografi.
14

Dari anamnesis ditemukan sejak 3 tahun yang lalu os mengeluh menstruasi


mulai memanjang dan bertambah banyak. Os juga mengeluhkan nyeri perut
bawah, terutama saat menstruasi sejak 1 tahun yll. Nyeri dirasakan sangat
mengganggu terutama saat hari pertama dan kedua haid. Nyeri dapat berkurang
dengan mengkonsumsi analgetik. Sejak 3 bulan terkahir os mengeluhkan
menstruasi yang lebih banyak dari sebelumnya sampai pasien harus ganti
pembalut 3-6 x dalam sehari. Nyeri saat berhubungan (-). BAB dan BAK tidak
ada keluhan. Bird dkk melaporkan dari kasus adenomiosis, pasien mengeluhkan
perdarahan banyak sebanyak 51,2%, perdarahan ireguler sebanyak 10,9%,
dismenorea sebanyak 28,3%, perdarahan pasca menopause sebanyak 2,2% dan
asimptomatis sebanyak 23,9%.2,4,5,20
Dismonerea disebabkan oleh adanya adenomiosis aktif mengikuti siklus
menstruasi meningkatkan volume dan mendesak serat saraf, juga akibat
meningkatnya pengeluaran prostaglandin, dismenorea ini tergantung pada luas
penyebaran adenomiosis di dalam uterus.4,5 Pada pemeriksaan ginekologi
didapatkan hasil uterus setinggi simfisis sesuai kehamilan 14 minggu,
permukaan rata konsistensi kenyal padat dan didapatkan massa di adneksa
kanan dan kiri. Pada inspekulo didapatkan sondase 6 cm antefleksi. Adapun
keluhan dismenorea tidak hanya dimiliki oleh adenomiosis, namun juga
endometriosis yang ternyata juga ditemukan pada pasien ini berupa kista
endometriosis bilateral yang ditegakan berdasarkan hasil pemeriksaan USG.
Diagnosis adenomiosis berdasarkan pemeriksaan fisik saja sering kali
kurang akurat, dan penyebab lain seperti mioma uteri, endometriosis atau
bahkan polips sering ditemukan sebagai penyebab perdarahan dan nyeri seperti
yang dikeluhkan oleh pasien-pasien dengan endometriosis. Diagnosis dengan
tambahan pencitraan dapat lebih mengarahkan kepada suatu adenomiosis lebih
tepat. Teknik pencitraan semakin sering digunakan untuk mendiagnosa
penyakit ini tanpa pemeriksaan histologi. Pencitraan histerosalpingografi dan
ultrasonografi abdominal merupakan pencitraan pertama yang digunakan untuk
15

mendiagnosis adenomiosis.21 Dari literatur dikatakan bahwa USG dapat


membantu menegakkan diagnosis adenomiosis dengan tekstur miometrium
yang heterogen/distorsi, echotekstur miometrium yang abnormal dengan batas
yang tidak tegas, stria linier miometrium dan kista miometrium. Bizet
melaporkan bahwa USG transabdominal memiliki spesifisitas 95%, sensitivitas
32,5% dan akurasi 74,1% untuk mendiagnosis adenomiosis.22,23 MRI
disebutkan lebih baik dalam mendiagnosis suatu adenomiosis namun mahal dan
jarang digunakan. Meskipun dari anamnesis dan pemeriksaan klinik
menunjukkan gejala adenomiosis namun diagnosis pasti sulit ditegakkan tanpa
pemeriksaan histopatologi.21
Mioma uteri dapat dijumpai bersamaan dengan adenomiosis. Mioma uteri
dikenal juga dengan sebutan fibromioma, leiomioma ataupun fibroid
merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang
menumpangnya. Angka kejadian terutama pada wanita berumur 35-45 tahun
(20-30%).24,25 Diagnosis mioma uteri ditegakkan berdasarkan: (1) Pemeriksaan
klinis berupa anamnesis dan pemeriksaan fisik/ginekologi. Pada palpasi
abdomen, didapatkan tumor di daerah simfisis atau abdomen bagian bawah
dengan konsistensi padat kenyal, tidak nyeri, berbatas tegas, dan mudah
digerakkan bila tidak ada perlengketan. Pada pemeriksaan bimanual,
didapatkan tumor yang menyatu atau berhubungan dengan uterus. (2)
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu dilatasi dan kuretase,
pemeriksaan PA dari bahan operasi, pemeriksaan laboratorium, tes kehamilan,
pemeriksaan ultrasonografi dan pemeriksaan radiologi BNO/IVP bila mioma
besar.24-26
Penatalaksanaan adenomiosis meliputi terapi non bedah dan bedah.
Beberapa obat-obatan yang digunakan untuk terapi non bedah adalah sex
steroid dan GnRH. GnRH agonis (leuprolide acetate) menyebabkan sekresi
terus-menerus FSH dan LH sehingga hipofisa mengalami disensitisasi dengan
menurunnya sekresi FSH dan LH mencapai keadaan hipogonadotropik
16

hipogonadisme, dimana ovarium tidak aktif sehingga tidak terjadi siklus haid.
GnRH agonis dapat diberikan secara intramuskular, subkutan, intranasal.
Biasanya dalam bentuk depot satu bulan ataupun depot tiga bulan. Efek
sampingnya antara lain hot flush, vagina kering, kelelahan, sakit kepala,
pengurangan libido, depresi atau penurunan densitas tulang. Berbagai jenis
GnRH agonis antara lain leuprolide, busereline, dan gosereline. Untuk
mengurangi efek samping dapat disertai dengan terapi add back dengan
estrogen dan progesteron alamiah. GnRH agonis diberikan selama rentang
waktu 6-12 bulan, namun ini bersifat sementara yang dalam beberapa waktu
kemudian akan kambuh kembali. Pengobatan dengan suntikan progesteron
seperti suntikan KB dapat membantu mengurangi gejala nyeri dan perdarahan,
dan biasanya lebih efektif diberikan pada pasien adenomiosis dengan gejala
yang lebih ringan. Penggunaan IUD yang mengandung hormon progesteron
dapat mengurangi gejala dismenorea dan menoragia seperti mirena yang
mengandung levonorgestrel yang dilepaskan secara perlahan-lahan ke dalam
rongga rahim. Dari beberapa penelitian menyebutkan mirena dapat mengurangi
keluhan nyeri haid hingga 70%. Mekanisme kerja IUD dengan melepaskan
hormon secara perlahan secara langsung ke endometrium dan dinding otot
uterus. Progesteron menyebabkan sel-sel menyusut dan menekan produksi
prostaglandin, protein yang menyebabkan nyeri haid. Namun dikatakan efek
samping yang umum terjadi akibat pemakaian IUD antara lain penambahan
berat badan (29%), kista jinak ovarium (22%), dan nyeri abdomen bawah
(12%). Aromatase inhibitor yang menghambat enzim aromatase yang
menghasilkan estrogen seperti anastrazole dan letrozole. Aromatase P450
banyak ditemukan pada perempuan dengan gangguan organ reproduksi seperti
endometriosis, adenomiosis dan mioma uteri. Histerektomi adalah jenis terapi
yang terbukti lebih efektif. Pada kasus-kasus dimana fungsi reproduksi tidak
dibutuhkan lagi, histerektomi adalah terapi yang terpilih.3,4,6,21,26
Endometrioma merupakan suatu endometriosis yang terjadi di ovarium.
17

Endometrioma juga biasa disebut dengan kista coklat karena terdapat


akumulasi darah akibat endometriosis sehingga tampak cairan berwarna
cokelat. Sementara endometriosis adalah kelainan ginekologik jinak dimana
terdapat pertumbuhan jaringan endometrium diluar kavum uteri yang responsif
terhadap hormon.27
Endometrioma berbentuk massa soliter, non neoplastik, berbatas tegas yang
mengandung jaringan endometrium dan juga seringkali darah. Endometrioma
secara klinis bisa dikenali dengan perabaan pada palpasi bila massa berukuran
besar atau hanya muncul sebagai nyeri pelvis kronik dan nyeri abdomen.
Kebanyakan kasus terjadi di dalam pelvis, namun pada endometrioma atipikal,
endometrioma dapat ditemukan pada usus, thorax, dan dinding abdomen.
Banyak dari pasien ini sebelumnya menjalani operasi ginekologi atau seksio
sesar dan histerektomi. Endometrioma dinding abdomen banyak dijumpai pada
pasien dengan riwayat operasi ginekologi.28,29
Endometrioma adalah salah satu endometriosis yang paling sering
ditemukan yakni didapati pada sekitar 20-40% wanita dengan endometriosis,
namun prevalensi pasti dari endometrioma ovarium belum diketahui secara
pasti.15
Endometrioma bilateral terjadi dalam 50 % kasus dan bisa ditemukan cukup
besar walau jarang melebihi diameter 15 cm. Lokasi lain dari endometriosis
selain ovarium adalah ligament uterus (ligamentum latum posterior, ligament
sacro uterine), cavum Douglas, peritoneum rongga pelvis, tuba falopi, daerah
rektosigmoid dan kandung kemih. Lesi yang besar dan lesi dengan dinding
noduler harus diperiksa untuk menyingkirkan keganasan. Endometriosis
biasanya akan mengalami regresi alami setelah menopause.16
Endometrioma biasanya terjadi di dalam ovarium sebagai akibat dari
perdarahan intra ovarium berulang. Lebih dari 90% endometrioma adalah
pseudokista yang terbentuk akibat invaginasi korteks ovarium, yang kemudian
tertutup oleh pembentukan jaringan adhesi. Endometrioma dapat sepenuhnya
18

menggantikan jaringan ovarium normal. Dinding kista umumnya tebal dan


fibrotik dan biasanya memiliki perlekatan fibrotik dan adanya area dengan
perubahan warna. Di dalam kista umumnya terdapat cairan kental, berwarna
gelap, berisi produk darah yang sudah berdegenerasi dimana penampilan ini
menyebabkan kista endometriosis atau endometrioma ini sering disebut kista
coklat. Kebanyakan endometrioma terjadi pada ovarium kiri.16
Massa adneksa seperti kista ovarium berdarah, kista teratoma matur, korpus
luteum berdarah, tumor ovarium jinak dan radang panggul serta mioma
bertangkai dapat menyerupai gambaran endometrioma.16
Diagnosis banding tumor ovarium ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dapat diketahui
ada tidaknya faktor risiko, gejala dan tanda yang dirasakan pasien. Keluhan
dapat berupa pembesaran perut, rasa nyeri, rasa tidak nyaman, dan ada tekanan
di perut bagian bawah, gangguan sistem pencernaan dan miksi, gangguan
hormonal atau perdarahan pervaginam. Beberapa faktor risiko yang
meningkatkan terjadinya keganasan ovarium yaitu menopausal hormone
therapy, obat-obat peningkat kesuburan, usia, riwayat keluarga. Pada faktor
usia didapatkan angka kejadian keganasan meningkat seiring dengan makin
tuanya usia. Pada usia 40-44 tahun memiliki angka kejadian keganasan sebesar
15-16 per 100.000. Pada usia 70-74 tahun memiliki angka kejadian keganasan
57 per 100.000. Pada penderita berusia di atas 65 tahun, 48% terjadi keganasan
ovarium.23,30
Neoplasma ovarium jinak merupakan tumor dari ovarium yang bersifat
neoplastik yang dalam pertumbuhannya bersifat jinak dan tidak terdapat
metastasis baik secara lokal maupun jauh. Berdasarkan konsistensinya
neoplasma ovarium terbagi atas kistik dan padat. Neoplasma ovarium kistik
terdiri atas:
a. Kistoma ovarii simpleks
Memiliki permukaan rata dan halus, seringkali bilateral, dinding kista tipis
19

dengan cairan jernih, serous dan berwarna kuning.


b. Kistadenoma ovarii musinosum
Merupakan 40% dari seluruh kelompok neoplasma ovarium. Frekuensi
terjadinya adalah 15 -37% terutama pada umur 20 -50 tahun. Umumnya
berbentuk multilokuler dengan dinding kista yang tebal berwarna putih
keabuan dan berisi cairan lendir seperti gelatin berwarna kuning kecoklatan.
Sebanyak 10% dari tumor ini dapat mencapai ukuran yang sangat besar
terutama penderita yang datang dari pedesaan. Tumor biasanya unilateral,
walaupun ada juga yang bilateral. Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan
sel – sel goblet (sel yang membundar karena terisi lendir). Sebanyak 5 – 10
% keganasan terjadi pada kistadenoma musinosum dan ditandai dengan
terdapatnya pertumbuhan papiler.
c. Kistadenoma ovarii serosum
Berasal dari epitel permukaan ovarium (germinal epitelium). Angka
kejadian 10 – 40 % dimana 10 – 20% bilateral. Permukaan kista ini licin,
dapat berbentuk multilokuler walaupun umumnya unilokuler, cairan di
dalam kista cair berwarna kuning, kadang kecoklatan. Ciri khas kista ini
adalah potensi terjadinya pertumbuhan papiler ke dalam rongga kista sebesar
50% dan ke luar permukaan kista sebesar 5%. Perubahan tumor ini menjadi
ganas sebesar 30 – 35%.
d. Kista endometrioid
Unilateral dengan permukaan licin.
e. Kista dermoid
Merupakan teratoma kistik yang jinak dan terdapat struktur ektodermal
dengan diferensiasi sempurna seperti epitel kulit, rambut dan gigi. Angka
kejadian sebanyak 10% dari seluruh neoplasma ovarium kistik dan sebanyak
25% dijumpai pada masa reproduksi.11,31,32
Salah satu isu potensial endometrioma biasanya berkaitan dengan lesi
endometriosis panggul lainnya. Sebuah penelitian melaporkan bahwa hanya 19
20

dari 1.785 pasien (1,06%) memiliki endometrioma ovarium tanpa


endometriosis panggul lainnya, sehingga gejala yang munculpun serupa dengan
endometriosis lainnya. Fauconnier dkk menemukan bahwa endometrioma tidak
memberikan kontribusi untuk nyeri panggul kronis, tetapi sangat terkait dengan
endometriosis infiltrasi dalam, yang dikenal menyebabkan nyeri panggul
kronis.33
Meskipun dapat muncul gejala seperti nyeri panggul, terkadang
endometrioma juga dapat saja tidak menampakkan gejala sebelum kemudian
berkembang menjadi keluhan yang lebih berat. Beberapa studi mendokumen-
tasikan bahwa hal tersebut menjadi penyebab terlambatnya penegakan
diagnosis. Penelitian terhadap wanita Anglo-Amerika, Eropa, dan Amerika
Latin menunjukkan kerterlambatan diagnosis sekitar 3-11 tahun antara onset
gejala nyeri panggul dengan diagnsosis final dari endometriosis. Aruda dkk
mengemukakan bahwa nilai tengah periode antara onset gejala dan tegaknya
diagnosis berkisar 4 tahun pada wanita dengan keluhan utama infertil, dan
sekitar 7,4 tahun pada wanita dengan keluhan utama nyeri panggul. Hudelist
dkk menyampaikan bahwa setidaknya mayoritas pasien endometriosis pernah
mengalami satu kesalahan diagnosis.17,18
Baku emas untuk mendiagnosis endometrioma adalah dengan pemeriksaan
histopatologi. USG transvaginal dapat membantu untuk mendiagnosis lebih
dini dan membedakan endometrioma dari tumor ovarium jinak lainnya dengan
tampilan menyerupai tampilan tipikal endometrioma. Guerriero dkk mendapati
bahwa ultrasound transvaginal dapat mendeteksi perlengketan pelvis pada
pasien endometrioma, dan identifikasi perlengketan pelvis dapat membantu
menentukan perawatan yang tepat.34
Pemeriksaan penunjang USG dan pemeriksaan laboratorium sangat
menunjang untuk menegakkan diagnosis dan menentukan prognosis suatu
keganasan pada tumor ovarium. Penggunaan USG merupakan metode
diagnostik non invasif yang banyak digunakan di dalam menangani pasien yang
21

secara klinis dicurigai mempunyai massa tumor di dalam rongga pelvik.


Pemeriksaan USG ini dapat mendeteksi adanya massa adneksa, meskipun
belum menimbulkan gejala klinis.22,23,30 Dengan USG dapat secara tegas
dibedakan tumor kistik dengan tumor padat. Pada tumor dengan bagian padat
maka persentase keganasan semakin meningkat.
Beberapa manfaat pemeriksaan USG dalam pemeriksaan tumor pelvik:
− Memastikan adanya massa tumor pelvik
− Menentukan ukuran, lokasi, morfologi dan vaskularisasi massa tumor
− Menentukan asal tumor dan hubungan anatomik dengan organ pelvis lainnya
− Menentukan adanya kelainan penyerta seperti asites atau lesi metastatik
− Membantu tindakan aspirasi atau biopsi tumor
− Mengevaluasi hasil penanganan tumor
− Menentukan rekurensi tumor
− Menentukan prognosis tumor.11
Dengan USG oleh DePriest telah menetapkan suatu indeks morfologi dari
tumor ovarium dengan kriteria seperti terlihat pada tabel dibawah ini:35
Tabel 1. Indeks morfologi tumor ovarium
0 1 2 3 4
Volume (cm3) <10 10-50 50-200 200-500 >500
Dinding kista (mm) Licin < 3 Licin > 3 Papiler < 3 Papiler ≥ 3 Terutama solid
Struktur septa (mm) Septa (-) Tebal< 3 Tebal 3-10 Solid ≥ 10 Terutama solid
Dikutip dari DePriest 35
Bila nilai <5 maka kemungkinan besar tumor ovarium tersebut adalah jinak.
Nilai 5 atau lebih besar maka kemungkinan besar tumor ovarium tersebut ganas.
Saat ini indeks morfologis tersebut telah banyak dimodifikasi. Saat ini dengan
color doppler flow imaging (CDFI) lebih jelas / mudah dalam mendeteksi
kelainan anatomis maupun penilaian hemodinamik serta kelainan yang
diakibatkannya. Dengan CDFI tersebut kita mampu menilai arus aliran darah,
resistensi pembuluh darah yang ada dalam tumor yang biasanya mulai terjadi
22

peningkatan aliran darah dan penurunan resistensi pembuluh darah pada awal
terjadinya metaplasia ke neoplasia, dengan demikian kita mampu mendeteksi
kanker ovarium jauh lebih dini dengan memperhatikan resistensi indeks (RI)
dan pulsatif indeks (PI). PI kurang dari 1,0 atau RI sama atau kurang dari 0,4
kemungkinan besar adalah suatu keganasan.35,36 Indikator lain untuk
menghitung nilai keganasan adalah dengan RMI 3 dan RMI 4. Apabila nilai
RMI 3 >200 dan RMI 4 >450 maka kemungkinan besar merupakan suatu
keganasan. Tabel nilai RMI 3 dan RMI 4 dapat dilihat pada tabel 2 berikut:
Tabel 2. Sistem Penilaian Resistency of Malignancy Indeks (RMI)
Kriteria Nilai RMI 3 Nilai RMI 4
USG : 1= tidak ada 1= tidak ada
− Kista multilokuler 1=1 kelainan 1=1 kelainan
− Bagian padat 3=2 atau lebih 4=2 atau lebih
− Lesi bilateral Kelainan Kelainan
− Asites
− Metastase intraabdominal
Premenopause 1 1
Postmenopause 4 4
Ukuran tumor (USG) 1= < 7 cm
2= ≥ 7 cm
CA 125 U/ml U/ml
RMI 3= nilai USG x nilai menopause x nilai CA 125
RMI 4= nilai USG x nilai menopause x ukuran tumor x nilai CA 125
Dikutip dari RCOG, 2010.37
Berdasarkan grup International Ovarian Tumor Analysis (IOTA)
memperlihatkan cara menentukan massa tumor jinak dan ganas melalui
pemeriksaan ultrasonografi, dengan mengklasifikasikan menjadi massa jinak
sebagai benign / B rules dan massa ganas sebagai malignant / M rules,
diperlihatkan dalam tabel 3.
Tabel 3. Grup IOTA dalam pemeriksaan ultrasonografi dalam klasifikasi
massa jinak dan ganas
B – rules M rules
Kista unilokuler Tumor solid irregular
23

Adanya komponen padat dengan Asites


bagian terbesar komponen massa
solid < 7 mm
Adanya acoustic shadowing Struktur papil minimal ada 4
Tumor multilokular halus dengan Tumor solid multilokuler irregular
diameter terbesar < 100 mm dengan diameter terbesar ≥100 mm
Tidak ada aliran darah Aliran darah sangat kuat
Dikutip dari RCOG, 2010.37
Kembali ke kasus, maka RMI 3 pasien ini adalah : 1 (belum menopause) x 1
(USG lesi bilateral) x 124,30 (CA 125) = 124,30. Nilai RMI 3 ini menunjukan
bahwa kista ovarium bilateral pada pasien cenderung jinak. Walaupun demikian
pemeriksaan potong beku dan histopatologi tetap perlu dilakukan sebagai
legalitas medis dan kemungkinan keganasan yang masih ada, khususnya clear
cell carcinoma yang berhubungan dengan kista endometriosis.
Alcazar dkk melaporkan bahwa pada perempuan premenopause, ultrasound
mode-B memiliki sensitivitas 80% dan spesifisitas 91% dalam membedakan
endometrioma dari kista unilokular lainnya. MRI lebih lanjut dapat membantu
dalam diferensiasi endometrioma ovarium dan lainnya kista ovarium.38
Selain diagnosis dengan laparoskopi, MRI, ataupun USG, beberapa
biomarker juga disebutkan dapat membantu penegakan diagnosis endometrioma
ovarium seperti CD-10, CA-125, dan serum folistatin.39-42

2. Penatalaksanaan pada kasus ini.


Pengobatan endometriosis sulit mengalami penyembuhan karena adanya risiko
kekambuhan. Tujuan endometriosis lebih disebabkan oleh akibat endometriosis
itu, seperti nyeri panggul dan infertilitas.
➢ Pengobatan simtomatik
Pengobatan dengan memberikan antinyeri seperti paracetamol 500mg 3x
24

sehari, Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAID) seperti ibuprofen


400mg tiga kali sehari, asam mefenamat 500mg tiga kali sehari. Tramadol,
parasetamol dengan codein, GABA inhibitor seperti gabapentin.43
➢ Kontrasepsi Oral
Penanganan terhadap endometriosis dengan pemberian pil kontrasepsi dosis
rendah. Kombinasi monofasik (sehari sekali selama 6-12 bulan) merupakan
pilihan pertama yang sering dilakukan untuk menimbulkan kondisi kehamilan
palsu dengan timbulnya amenorea dan desidualisasi jaringan endometrium.43
Kombinasi pil kontrasepsi apapun dalam dosis rendah yang mengandung
30-35 ug etinilestradiol yang digunakan secara terus menerus bisa menjadi
efektif terhadap penanganan endometriosis. Tujuan pengobatan itu sendiri
adalah induksi amenorea, dengan pemberian berlanjut selama 6-12 bulan.
Membaiknya gejala dismenorea dan nyeri panggul dirasakan oleh 60-95%
pasien. Kontrasepsi oral merupakan pengobatan dengan biaya lebih rendah
dibandingkan lainnya.43
➢ Progestin
Progestin memungkinkan efek antiendometriosis dengan menyebabkan
desisualisasi awal pada jaringan endometrium dan diikuti dengan atrofi.
Progestin bisa dianggap sebagai pilihan utama terhadap penanganan
endometriosis karena efektif mengurangi rasa sakit. Medroxyprogesterone
Acetate (MPA) dimulai dengan dosis 30 mg per hari dan kemudian
ditingkatkan sesuai dengan respon klinis dan pola pendarahan. MPA 150 mg
yang diberikan intramuskuler setiap 3 bulan, juga efektif terhadap penanganan
rasa nyeri pada endometriosis.43
Pengobatan dengan suntikan progesteron seperti depot suntikan KB dapat
membantu mengurangi gejala nyeri dan pendarahan. Efek samping progestin
adalah peningkatan berat badan, perdarahan lecut, dan nausea.43
Strategi pengobatan lain meliputi didrogesteron (20-30 mg perhari baik itu
terus menerus maupun pada hari ke 5-25) dan lynestrenol 10 mg per hari. Efek
25

samping progestin meliputi nausea, bertambahnya berat badan, depresi, nyeri


payudara, dan pendarahan lecut.43
➢ Danazol
Danazol menyebabkan level androgen dalam jumlah yang tinggi dan estrogen
dalam jumlah yang rendah sehingga menekan berkembangnya endometriosis
dan timbul amenorea yang diproduksi untuk mencegah implan baru pada
uterus sampai ke rongga peritoneal.43 Cara Kerja Danazol, meliputi :
1. Mengikat androgen, progesteron, dan reseptor glukokortikoid,
memproduksi aksi agonis dan antagonis.
2. Tidak mengikat resptor estrogen interseluler
3. Mengikat globulin yang berikatan dengan hormon seksual dan
kortikosteroid
4. Menurunkan produksi globulin yang berikatan dengan horomon seksual.44
Cara praktis penggunaan danazol adalah memulai perawatan dengan 400-
800 mg. Dosis dapat ditingkatkan bila perlu untuk mencapai amenorea dan
menghilangkan gejala. Efek samping yang paling umum adalah peningkatan
berat badan, akne, hirsutisme, vaginitas atrofil, kelelahan, pengecilan
payudara, gangguan emosi, peningkatan kadar LDL, kolesterol, dan kolesterol
total.43
➢ Gestrinon
Gestrinon termasuk androgenik, antiprogestagenik, dan antigonadotropik.
Gestrinon berkerja sentral dan perifer untuk meningkatkan kadar testosteron
dan mengurangi kadar Sex Hormone Binding Globuline, menurunkan nilai
serum estradiol ke tingkat folikular awal, mengurangi kadar LH, dan
menghalangi lonjakan LH. Gestrinon diberikan dengan dosis 2,5-10 mg dua-
tiga kali smeinggu, selama enam bulan. Efek samping sama dengan danazol
tapi lebih jarang.43
➢ Gonadotropin Releasing Hormone Agonist (GnRHa)
GnRHa menyebabkan sekresi terus menerus FSH dan LH sehingga hipofisa
26

mengalami disentisasi dengan menurunnya sekresi FSH dan LH mencapai


keadaan hipogonadotropik hipogonadisme, dimana ovarium tidak aktif
sehingga tidak terjadi siklus haid. GnRHa dapat diberikan intramuscular,
subcutan, intranasal. Beberapa jenis GnRHa antara lain leuprolide, busereline,
dan gosereline.43
- Leuprolide 3.75 mg / bulan secara intramuscular
- Nafareline 200 mg 2 kali sehari intranasal
- Goserelin 3.75 mg / bulan subcutan
➢ Aromatase Inhibitor
Fungsinya menghambat perubahan C19 androgen menjadi C18 estrogen.
Aromatase P450 banyak pada perempuan dengan gangguan organ reproduksi
seperti endometriosis, adenomiosis, dan mioma uteri.43
➢ Penanganan Pembedahan pada Endometriosis
Pembedahan pada endometriosis adalah untuk menangani efek endometriosis
itu sendiri, yaitu nyeri panggul, subfertilitas, dan kista. Pembedahan bertujuan
untuk menghilangkan gejala, meningkatkan kesuburan, menghilangkan
bintik-bintik dan kista endometriosis, serta menahan laju kekambuhan.43
a. Penanganan pembedahan Konservatif
Pembedahan ini bertujuan untuk mengangkat semua sarang endometriosis
dan melepaskan perlengketan dan memperbaiki kembali struktur anatomi
reproduksi. Sarang endometriosis dibersihkan dengan eksisi, ablasi kauter,
maupun laser. Sementara itu kista endometriosis <3 cm di drainase dan di
kauter dinding kista, kista >3 cm dilakukan kistektomi dengan
meninggalkan jaringan ovarium yang sehat. Penanganan pembedahan
dapat dilakukan secara laparotomi satupun laparoskopi. Penanganan
dengan laparoskopi menawarkan keuntungan lama perawatan yang
pendek, nyeri pasca operatif minimal, lebih sedikit perlengketan,
visualisasi operatif yang lebih baik terhadap bintik-bintik endometriosis.
Penanganan konservatif ini menjadi pilihan pada perempuan yang masih
27

muda, menginginkan keturunan, memerlukan hormon reproduksi,


menginat endometriosis ini merupakan suatupenyakit yang lambat
progresif, tidak cenderung ganas, dan akan regresi bila menopause.43
b. Penanganan Pembedahan Radikal
Dilakukan dengan histerektomi dan bilateral salfingo-oovorektomi.
Ditujukan pada perempuan yang mengalami penanganan medis ataupun
bedah konservatif gagal dan tidak membutuhkan fungsi reproduksi. Setelah
pembedahan radikal diberikan terapi subsitusi hormon.43
c. Penanganan Pembedahan Simtomatis
Dilakukan untuk menghilangkan nyeri dengan presacral neurectomy atau
LUNA (Laser Uterosacral Nerve Ablation).43
Prosedur Pembedahan yang dianjurkan untuk pasien-pasien dengan
endometriosis adalah:
1. Laparoskopi, merupakan gold standard dan prosedur operasi yang paling
sering dilakukan. Dengan laparoskopi, pemulihan pasien dapat lebih cepat.
2. Laparotomi, tindakan ini lebih invasive yaitu dengan melakukan insisi yang
luas pada linea mediana. Laparotomi jarang dilakukan pada pasien, kecuali
pada endometriosis yang berat.19
Berdasarkan standar pelayanan di bagian Kebidanan dan Kandungan RSMH,
dipakai ketentuan:
1. Usia <40 tahun dilakukan histerektomi totalis tanpa pengangkatan ovarium,
2. Usia 40-45 tahun dilakukan histerektomi totalis dan salfingoooforektomi
unilateralis,
3. Usia >45 tahun dilakukan histerektomi totalis dan salpingoooforektomi
bilateralis.
Sejalan dengan standar pelayanan Kebidanan dan Kandungan RSMH, adapun
alur tatalaksana endometiosis berdasarkan PNPK POGI adalah sebagai berikut
(Gambar 1):
28

Gambar 1. Alur Tatalaksana Nyeri Pada Endometriosis


Sumber: PNPK POGI, 2010.45
29

Pada kasus ini tindakan operatif yang dilakukan berupa histerektomi totalis
kistektomi bilateral dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Adanya perdarahan dan nyeri perut yang menetap dan semakin dirasa
mengganggu aktivitas
2. Ukuran uterus sebesar 14 minggu
3. Umur penderita 48 tahun, anak hidup 1
4. Fungsi reproduksi dirasa sudah tidak diperlukan lagi oleh pasien dan suami
5. Obesitas yang merupakan faktor risiko karsinoma endometrium akibat
paparan estrogen
6. Pada Ovarium kanan tampak massa kistik dengan echo interna didalamnya
ukuran 4,6x4,2x4,5cm dan 5,9x5,7x6,8 cm pada ovarium kiri yang
kemungkinan suatu kista endometriosis bilateral → bukan suatu keganasan
7. Permintaan pasien untuk mengangkat seluruh sumber penyakit walau masih
concern tentang fungsi seksualitas dan menopause dini.
Data dari penelitian terakhir menunjukkan bahwa histerektomi yang
dilakukan atas indikasi kelainan jinak pada uterus secara umum memperbaiki
psikologi dan kualitas hidup pasien. Sedangkan pada wanita yang dilakukan
histerektomi salfingooforektomi lebih sering berhubungan dengan kesehatan
psikologi yang lebih buruk, dan faktanya hubungan antara ooforektomi dan
depresi sudah diketahui sejak lama. Selain itu ooforektomi juga dilaporkan lebih
sering menyebabkan gangguan seksual, penurunan kepuasan seksual dan
dispareunia, dibandingkan yang tidak dilakukan ooforektomi. Pada tahun 2006,
Dennerstein dkk melaporkan bahwa dalam survei pada 1.345 wanita usia 20-70
tahun yang telah dilakukan ooforektomi bilateral, dua kali lebih sering
mengalami hypoactive sexual desire disorder.46,47
Sejumlah penelitian telah menunjukkan terjadinya akselerasi kehilangan
massa tulang atau penurunan densitas tulang setelah menopause. Semakin muda
usia menopause maka semakin rendah densitas tulang. Ooforektomi dikatakan
30

mempercepat terjadinya osteoporosis, Selain itu wanita yang dilakukan


ooforektomi akan mengalami fraktur akibat osteoporosis lebih sering
dibandingkan wanita menopause dengan ovarium yang intak. Materi pengajaran
obstetri dan ginekologi terkini menyebutkan bahwa salfingooforektomi
profilaksis sebaiknya dihindari pada wanita usia kurang dari 40 tahun, dan rutin
dikerjakan pada usia di atas 55 tahun, sedangkan pada wanita dengan usia
diantaranya sebaiknya dilakukan informed consent yang jelas mengenai
keuntungan dan kerugian dilakukan ooforektomi profilaksis.46
Walaupun dengan tindakan operasi yang berhasil, endometriosis dapat
kambuh kembali dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun. Menurut
penelitian Liu et al (2007), penderita endometrioma yang telah menjalani
tindakan pembedahan dapat mengalami endometrioma ulang. Faktor predisposisi
terjadinya kekambuhan pada penderita endometrioma yaitu apabila pasien
berusia muda dan pernah menjalani terapi endometriosis sebelumnya.48
Penjelasan-penjelasan diatas merupakan pertimbangan mengapa pasien lebih
baik dilakukan salfingoooforektomi bilateral dibanding hanya kistektomi.
Histerektomi total dengan dengan tetap melakukan konservasi pada salah satu
ovarium merupakan terapi definitif dan lebih efektif pada wanita dengan
adenomiosis uteri yang masih membutuhkan fungsi ovarium. Walaupun
demikian bila pada intraoperatif ditemukan keganasan maka operatif radikal
tetap diperlukan
Pengobatan baku dari kanker ovarium stadium awal adalah dengan
pembedahan radikal berupa pengangkatan tumor secara utuh, pengangkatan
uterus beserta kedua tuba dan ovarium, pengangkatan omentum, pengangkatan
kelenjar getah bening, pengambilan sampel dari peritoneum dan diafragma, serta
melakukan bilasan rongga peritoneum di beberapa tempat untuk pemeriksaan
sitologi. Tindakan pembedahan ini juga dimaksudkan untuk menentukan stadium
dari kanker ovarium tersebut (surgical staging). Setelah pembedahan radikal ini,
jika diperlukan diberikan terapi adjuvant dengan kemoterapi, radioterapi atau
31

imunoterapi.22,23
Laparatomi eksplorasi disertai dengan biopsi potong beku merupakan
prosedur diagnostik yang paling berguna untuk memberikan penatalaksanaan
berikutnya. Dari penelitian yang dilakukan, akurasi hasil potong beku pada tumor
ovarium mencapai 90%. Berdasarkan potong beku dilakukan seleksi terhadap
penderita apakah membutuhkan penetapan stadium atau tidak, sehingga akurasi
hasil potong beku tersebut haruslah tinggi untuk mencegah kesalahan penetapan
stadium.49
Prevalensi berkembangnya risiko kanker ovarium pada wanita tanpa riwayat
tumor ovarium dan penampakan normal ovarium saat operasi adalah 0.14-0.47%
menjadi kanker ovarium. Kebanyakan ginekolog merekomendasikan untuk tidak
melakukan ooforektomi pada wanita di bawah 40 tahun dan merekomendasikan
ooforektomi pada wanita pascamenopause. Kehilangan fungsi ovarium prematur
akibat bilateral ooforektomi premenopause berhubungan dengan dampak negatif
seperti risiko kematian dini, penyakit kardiovaskular, demensia, parkinson,
osteoporosis dan fraktur, penurunan kesehatan psikologi dan penurunan fungsi
seksual. Hal ini dapat dicegah dengan terapi estrogen, namun tidak semuanya
dapat teratasi. ACOG mempertimbangkan beberapa faktor jika akan
mempertahankan ovarium, antara lain usia, risiko karsinoma ovarium genetik,
aterosklerosis, predisposisi osteoporosis, risiko re-operasi setelah ovarium
dipertahankan, dan isu terkait dengan kualitas hidup.47
Dalam Kurman dijelaskan bahwa teori terbaru mengenai karsinogenesis epitel
ovarium menyatakan bahwa karsinoma ovarium serous, endometriosis, dan clear
cell berasal dari tuba fallopi dan endometrium, bukan langsung dari ovarium itu
sendiri. Salah satu mekanisme terjadinya karsinogenesis adalah mutasi gen p53
yang merupakan gen suppressor tumor. Sebuah penelitian oleh Crum, dkk tahun
2007 terhadap wanita dengan BRCA positif dan BRCA negatif menemukan 80%
wanita dengan mutasi BRCA (BRCA postif) dan 89% wanita tanpa riwayat
genetik (BRCA negatif) memiliki mutasi gen p53 pada ujung distal fimbriae.50,51
32

Pada Januari 2015, ACOG mengeluarkan rekomendasi mengenai


salpingektomi profilaksis untuk mencegah kanker ovarium. Tindakan
salpingoooforektomi bilateral memang dapat mencegah terjadinya kanker
ovarium, namun dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular,
osteoporosis, dan gangguan kognitif. Risiko kanker ovarium setelah tindakan
histerektomi dengan mempertahankan ovarium adalah 0,1-0,75%. Tindakan
mempertahankan ovarium ini tidak memberikan manfaat apabila dilakukan pada
wanita usia >65 tahun. ACOG merekomendasikan salpingektomi komplit
dibandingkan fimbriektomi untuk mencegah kanker ovarium pada wanita
premenopause atau perimenopause. Hal ini berdasarkan bahwa meskipun lesi
intraepithelial serous tuba berada di fimbriae, namun sel-sel sekretorinya dapat
menyebar di seluruh bagian tuba. Salpingektomi harus memotong seluruh tuba
secara komplit dari ujung fimbriae sampai perbatasan utero-tuba.52
Adapun prosedur standar surgical staging yang harus diikuti adalah sebagai
berikut:53
- Insisi mediana melewati umbilikus sampai diperoleh kemudahan untuk
melakukan eksplorasi rongga abdomen atas.
- Sitologi cairan ascites atau cairan di kavum douglas, fosa parakolika kanan
dan kiri dan subdiafragma, diambil sebanyak 20-50 cc. Pengambilan ascites
atau cairan ini haruslah dilakukan segera sebelum terkontaminasi dengan
darah. Pengambilan dapat menggunakan alat suntik 20 cc atau 50 cc.
- Bila tidak terdapat ascites atau cairan yang cukup dalam rongga peritoneum,
pembilasan (peritoneal washing) harus dilakukan dengan memasukkan 50-
100 cc larutan NaCl 0,9 %. Pembilasan rongga peritoneum dengan larutan
NaCl fisiologis dilakukan pada 5 lokasi, yaitu: Cul de sac, parakolika kanan,
parakolika kiri, hemidiafragma kanan dan hemidiafragma kiri.
- Lakukan eksplorasi sistemik (staging) semua permukaan dalam abdomen dan
viscera. Eksplorasi dimulai dari caecum kearah kepala searah jarum jam
menelusuri fosa parakolika kanan, kolon ascenden, ginjal kanan, permukaan
33

liver dan kandung kemih dan hemidiafrgma kanan. Daerah paraaorta, kolon
transversum, hemidiafragma kiri, lien dan ginjal kiri, fosa parakolika kiri dan
kolon descenden sampai sigmoid dan rektum. Kemudian jejunum dan
mesenteriumnya mulai dari ligamentum Treitz ke ileum dan mesenteriumnya
sampai ke caecum. Eksplorasi dilanjutkan pada genitalia interna. Lokalisasi
dan ukuran tumor primer serta hubungannya dengan organ sekitar dicatat
dengan baik. Demikian juga jika terdapat metastasis ke organ intraabdomen
lainnya. Bentuk dan ukurannya dicatat dengan rinci. Jika terdapat penyebaran
tumor diluar pelvis, maka stadium kanker tersebut telah lanjut, karenanya
bilasan rongga peritoneum untuk sitologi dan biopsi peritoneum tidak
diperlukan lagi. Sebaliknya, jika tidak ada penyebaran ke luar pelvis, bilasan
rongga peritoneum untuk sitologi, biopsi peritoneum dari kavum Douglas,
parakolika kanan dan kiri, paravesica urinaria, mesenterium intestinal,
subdiafragma dan pengangkatan kelenjar getah bening retroperitoneal
menjadi penting.
- Tumor ovarium diangkat sedapatnya in toto (intact) dan dikirim untuk
pemeriksaan potong beku (frozen section). Adakalanya tumor sedemikian
besarnya sehingga tidak dapat diangkat segera. Dalam hal ini hanya sebagian
tumor yang dikirim untuk pemeriksaan potong beku.
- Bila hasil potong beku ternyata ganas, surgical staging dilanjutkan ke
langkah berikutnya.
- Pengangkatan seluruh genitalia interna dengan histerektomi total dan
salpingooforektomi bilateral.
- Untuk mengetahui adanya mikrometastasis, dilakukan :
o Biopsi peritoneum : kavum Douglas, paravesica urinaria, parakolika
kanan,dan subdiafragma
o Biopsi perlengketan-perlengketan organ intraperitoneal
o Limfadenektomi sistematik kelenjar getah bening pelvis dan paraorta
o Omentektomi
34

o Appendiktomi jika tumor jenis musinosum


Jika tindakan surgical staging dilakukan sesuai dengan langkah-langkah
diatas, tindakan tersebut disebut complete surgical staging. Sebaliknya, jika ada
langkah-langkah yang ditinggalkan tundakan tersebut disebut incomplete
surgical staging.

IV. RENCANA OPERASI


1. Penderita terlentang dalam keadaan general anestesi
2. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada lapangan operasi dan
sekitarnya. Lapangan operasi dipersempit dengan duk steril
3. Dilakukan insisi mediana satu jari diatas simfisis kurang lebih sepanjang 10
cm
4. Insisi diperdalam secara tajam dan tumpul sampai menembus peritoneum
5. Dilakukan eksplorasi terhadap uterus, tuba fallopi, ovarium dan organ
sekitarnya
6. Pemeriksaan tumor ovarium dan pelvis, dengan pemeriksaan kapsul tumor,
pertumbuhan tumor yang asimetrik, perlengketan dengan jaringan sekitar.
7. Dilakukan pemasangan 2 buah kasa besar basah dan spreader
8. Dilakukan pemasangan tegel pada fundus uteri, lalu dilakukan elevasi
9. Dilakukan adhesiolisis pada perlengketan genitalia interna (uterus dan
adneksa dari organ sekitarnya)
10. Menjepit, memotong dan mengikat ligamentum rotundum kanan dan kiri
dengan choromic cat gut 1.0
11. Membuka plica vesikouterina dan disisihkan ke bawah
12. Menembus ligamentum latum pars anterior kanan dan kiri dari arah belakang
ke depan secara tumpul
13. Melakukan salfingoooforektomi dengan cara menjepit, memotong dan
mengikat ligamentum ovarii propium, mesosalping kanan dan kiri dengan
choromic cat gut 1.0
35

14. Menjepit, memotong dan mengikat vasa uterina kanan dan kiri dengan
choromic cat gut 1.0
15. Menjepit, memotong dan mengikat jaringan paraservikal kanan dan kiri
16. Menjepit, memotong dan mengikat ligamentum sakrouterina kanan dan kiri
dengan choromic cat gut 1.0
17. Dilakukan identifikasi batas serviks dan vagina, lalu puncak vagina dipotong
setinggi portio, lalu sudut puncak vagina dijahit secara jelujur dengan PGA no
2.0
18. Perdarahan dirawat sebagaimana mestinya
19. Setelah diyakini tidak ada perdarahan dilakukan pencucian cavum abdomen
dengan NaCL 0.9%
20. Dilanjutkan dengan penutupan dinding abdomen lapis demi lapis
21. Seluruh jaringan di PA-kan

V. SIMPULAN
1. Diagnosis pasien ini adalah adenomiosis uteri + susp kista endometriosis
bilateral dengan diagnosis banding mioma uteri dan keganasan pada ovarium
atau uterus.
2. Tindakan yang akan dilakukan adalah intervensi bedah berupa laparotomi
histerektomi total + salfingoooforektomi bilateral. Kemudian seluruh jaringan
di PA-kan
3. Bila dari temuan operatif dicurigai keganasan, maka tindakan yang dilakukan
adalah surgical staging.
36

RUJUKAN
1. Scharge, JO. Williams Gynaecology. Mc Graw Hill medical. 2008:208-209.
2. Benagiano G, Habiba M, Brosens I. The pathophysiology of uterine adenomyosis: an update. Fertil
Steril. 2010; 98(3): 7572-9.
3. Hoffman BL, Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Bradshaw KD, Cunningham FG. Pelvic mass.
In: Hoffman BL, ed. Williams Gynecology. 2nd ed. New York: Mc-Graw Hill, 2012:246-80.
4. Sahni, BS. Adenomyosis. Clinic.com-http://wwwhomeopathyclinic.com.2014:1-4.
5. Manuaba, IAC. Buku Ajar Penuntun Kuliah Ginekologi. Jakarta. 2010:686-688.
6. Hestiantoro A, Natadisastra M, Sumapraja K, Wiweko B, Pratama G, Situmorang H, dkk. Best
practice on IMPERIAL. Jakarta, 2014: 135-59.
7. Putra AD. Ultrasonografi ginekologi I. Edisi ke-2. Jakarta: Divisi Onkologi Departemen Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011:25-34.
8. Bazot M, Dara E, Rouger J, Detchev R, Cortez A, Uzans. Limitations of transvaginal sonography
for the diagnosis of adenomyosis with histopathological correlation. Ultrasound Obstet Gynecol.
2002; 20:603-11
9. Hanafi M. Ultrasound diagnosis of adenomyosis, leiomyoma, or combined with histopathological
correlation. J Hum Reprod Sci. 2013;6(3):189-93.
10. Syam HH, Djuwantono T, Astarto NW. Penanganan Terkini Adenomiosis untuk mempertahankan
Fertilisasi. Divisi Endokrinologi Reproduksi & Fertilitas. Departemen Obstetri & Ginekologi FK
UNPAD/RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung.
11. Joedosepoetro MS, Sutoto. Tumor jinak pada alat genital. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB,
Rachimhadhi T (editor). Ilmu kandungan. Edisi ke-2. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2007.hal.328-362.
12. Carnahan M., Jennifer F., Ashok A. and Sajal G. Ovarian endometrioma: guidelines for selection of
cases for surgical treatment or expectant management. Expert Rev. Obstet. Gynecol. 2013. 8(1), hal.
29–55.
13. Dunselman GAJ, Vermeulen N, Becker C, Calhaz-Jorge C, D’Hooghe T, De Bi B, et al. ESHRE
endometriosis guideline development group September 2014. Netherland. 2014. Hal. 1-2.
14. Preet K. Dhillon, 2003. Recreational Physical Activity and Endometrioma Risk. Am J Epidemol.
158:156-164.
15. Donnez JDO, Lousse J, Squifflet J. Peritoneal, ovarian, and rectovaginal endometriosis are three
different entities. In: Endometriosis: Science and practice. Giudice L (Ed.). 2012. Blackwell
Publishing, Laden, MA, USA, hal. 92–107
16. Bhatt S, Kocakoc E, Dogra VS. Endometriosis: Sonographic Spectrum. Ultrasound Quarterly
2006;22:273- 80.
17. Arruda MS, Petta CA, Abrão MS, Benetti‐Pinto CL. Time elapsed from onset of symptoms to
diagnosis of endometriosis in a cohort study of Brazilianwomen. Hum. Reprod. (2003) 18 (4):
hal. 756-759.
18. Hudeist G, English J, Thomas AE, Tinelli A, Singer CF, Keckstein J. Diagnostic accuracy of
transvaginal ultrasound for non-invasive diagnosis of bowel endometriosis: systematic review and
meta-analysis. Austria. Ultrasound Obstet Gynecol. 2011 (37): hal. 257–263.
19. Falcone T, Lebovic DI. Clinical Management of Endometriosis. ObstetGynecol (2011) 118(3):691-
705.
20. Hendarto H. Implikasi klinis PALM COEIN terhadap penatalaksanaan perdarahan uterus abnormal.
Dalam: Astarto N.W, Djuwantono T, Permadi W, Madjid T.H, Bayuaji H, Ritonga M.A. Kupas
Tuntas kelainan haid. Jakarta. Sagung seto- Departemen Obstetri dan Ginekologi FK universitas
Pajajaran RS Dr. Hasan Sadikin. 2011; 19-41.
21. Syam HH, Djuwantono T, Astarto NW. Penanganan Terkini Adenomiosis untuk mempertahankan
Fertilisasi. Divisi Endokrinologi Reproduksi & Fertilitas. 2014. Departemen Obstetri & Ginekologi
FK UNPAD/RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung.
37

22. Benedett JL, Bender H, Jones III H, Ngan HYS, Pecorelli S. FIGO staging classification clinical
practice guidelines in the management of gynecologyc cancers. Int J of Obstet gynecol. 2000;
173:241-9.
23. Knudsen UB, Tabor A, Mosgaard B, Andersen ES, Kjer JJ, Hahn P S, et al. Management of ovarian
cyst. Acta Obstetricia et Gynecologica Scandinavica. 2004;83:1012-21.
24. Laughlin SK, Stewart EA. Uterine leiomyomas: individualizing the approach to a heterogenous
condition. Obstet Gynecol. 2011;117(2):396-403.
25. Khan AT, Shehmar M, Gupta JK. Uterine fibroids: current perspectives. Int J Womens Health.
2014;6: 95-114.
26. Segars JH, Parrott EC, Nagel JD, Guo XC, Gao X, Linda S. Proceedings from the Third National
Institutes of Health International Congress on Advances in Uterine Leiomyoma Research:
comprehensive review, conference summary and future reccomendations. Hum Reprod Update.
2014; 20(3): 309-33.
27. Samer S, Nicola T, and Dharani K. Hapangama. Theories on the Pathogenesis of Endometriosis. Int
J. of Reprod Med, vol. 2014, hal. 1-2.
28. Smith RP, Netter FH, Craig JA, Machado CAG. Netter’s Obstetrics, Gynecology and Women’s
Health. International edition. New Jersey: Icon Learning Systems LLC. 2002; 246-9.
29. Donnelly JK, Pfeifer JD, Huettner PC. The Ovary. In: Humphrey PA, Dehner LP, Pfeifer JD, editors.
The Washington Manual of Surgical Pathology. Washington: Lippincott Williams & Wilkins. 2008;
400.
30. Boy B. Kanker ovarium. Dalam: Farid A, Andrijono, Saifudin AB, ed. Buku acuan nasinoal
onkologi ginekologi. Edisi pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2006.hal.468-527.
31. Sanfilipino JS, Rock JA. Surgery for benign disease of the ovary. In: Rock JA, Jones III HW, eds.
Te Linde’s. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkinss: 2003.p.629-47.
32. DePriest PD. A morphology index based on sonographic findings in ovarian cancer. Gyn Oncol.
1993;5: 7-11.
33. Fauconnier A, Chapron C, Dubuisson JB, Vieira M, Dousset B, Bréart G. Relation between pain
symptoms and the anatomic location of deep infiltrating endometriosis. Fertil. Steril 2002. 78(4),
hal. 719–726.
34. Guerriero S, Ajossa S, Garau N, Alcazar JL, Mais V, Melis GB. Diagnosis of pelvic adhesions in
patients with endometrioma: the role of transvaginal ultrasonography. J Fertil Steril. 2010. 94(2),
hal. 742–746.
35. Schorge JO, Scheffer JI, Havorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham FG. Williams
gynecology. New York: McGraw-Hill; 2008.
36. Bry-Gauillard H, Meduri G. Primary amenorrhea revealing an occult progesterone-secreting ovarian
tumor. Case report. 2007;1-5.
37. Green–top Guideline No. 62. Management of Suspected Ovarian Masses in Premenopausal Women.
RCOG/BSGE Joint Guideline. November 2011
38. Alcázar J, María J, José Á, and Manuel G. Transvaginal Color Doppler Sonography Versus
Sonohysterography in the Diagnosis of Endometrial Polyps. American Institute of Ultrasound in
Medicine. J Ultrasound Med. 2004; 23: hal.743–748
39. Chu PG, Arber DA, Weiss LM, Chang KL. Utility of CD10 in distinguishing between endometrial
stromal sarcoma and uterine smooth muscle tumors: an immunohistochemical comparison of 34
cases. Mod Pathol. 2001;14(5): hal. 465-71.
40. Omer Ant, Gülnur, Ozaks¸ Ali _Irfan Güzel, Sabri Cavkaytar, Metin Kaba, Hasan Onur Topçu.
Clinical significance of serum folistatin levels in the diagnosis of ovarian endometrioma and benign
ovarian cysts. T J Obstet Ginaecol. 2015 (54) hal. 236-239.
41. Florio P, Reis FM, Torres PB, Calonaci F, Abrao MS, Nascimento LL, et al. High serum folistatin
levels in women with ovarian endometriosis. Hum Reprod. 2009; 24: hal. 2600-6.
38

42. Luisi S, Abrao MS, Rocha AL, Vigano P, Rezende CP, et al. Diagnostic value of serum activin A
and folistatin levels in women with peritoneal, ovarian and deep infiltrating endometriosis. Hum
Reprod 2012;27: hal.1445-50.
43. Sarwono P. 2011. Endometriosis. Ilmu Kandungan. Ed 3. Jakarta: PT Bina Pustaka Prawirohardjo.
44. Speroff L, Glass RH, Kase N. 1994. Clinical Gynecologic Endocrinology and Fertility. USA:
William & Wilkins.
45. PNPK (Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran). Nyeri Endometriosis. POGI (Pekumpulan
Obstetric dan Ginekologi Indonesia). 2010
46. Shuster, LT, Goustout BS, Grossardt BR, Rocca WA. Prophylactic oophorectomy in pre-
menopausal women and long term health-a review. Menopause Int.2008;14(3):111-116.
47. ACOG practice bulletin. Ellective and risk reducing salphingo-oophorectomy.2008;89:1-12.
48. Liu, Xishi, Yuan, Lei, Shen, Fanghuahu, Zhilin, Jiang, Hongyuan, Guo, Sun-Wei. 2007. Patterns of
and Risk Factors for Recurrence in Women With Ovarian Endometriomas. Obstetrics &
Gynecology 8: pp 1411-1420
49. Kramer J.L. Epidemiologi of ovarian, fallopian tube, and primary peritoneal cancer. In Gillian T ed.
Gynecologic cancer. Churchill Livingston. 2004; 327-340.
50. Kurman RJ, Shih I. The origin and pathogenesis of epithelial ovarian cancer: a proposed undifying
theory. Am J Surg Pathol. 2010;34:433-43.
51. Crum CP, Drapkin R, Kiendelberger D, Medeiros F, Miron A, Lee Y. Lessons from BRCA: the
tubal fimbria emerges as an origin for pelvic serous cancer. Clin Med Res. 2007;5:35-44.
52. ACOG. Salpingectomy for ovarian cancer prevention. ACOG. 2015;620:1-4.
53. Pecorelli S, Jones III HW, Ngan HYS, Bender HG, Benedet JL. Cancer of the ovary. In: Benedet
JL, Pecorelli S. Staging classifications and clinical practice guidelines of gynecologic cancers.
Oxford: Elsevier Science Ireland Ltd. 2000; 63-78

Das könnte Ihnen auch gefallen