Sie sind auf Seite 1von 4

ANALISA SERANGAN SIBER DAN UJARAN KEBENCIAN YANG MUNGKIN

MENJADI HAMBATAN PELAKSANAAN PEMILU

A. LATAR BELAKANG

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menilai ada
faktor yang bisa menghambat pelaksanaan Pemilu 2019. Salah satunya bisa datang dari
serangan siber. Beliau menyebutkan mengenai serangan siber, ada tagar-tagar yang
membuat suasana kebencian, ada juga sistem IT yang coba dibajak.
Tak hanya hambatan dari luar, pemerintah juga mengawasi potensi ancaman dari
dalam seperti masalah administrasi. Pemerintah juga tengah mencari solusi agar hal
tersebut dapat dicegah. Agar pemerintah bisa menyusun strategi mengatasi ancaman
tersebut. Sehingga, pelaksanaan pemilu bisa berjalan lancar dan tertib.
Kemarin, Wiranto juga telah mengumpulkan lembaga dan kementerian terkait
membahas potensi hambatan dalam pelaksanaan Pemilu 2019. Rapat dihadiri perwakilan
dari Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, DKPP, BIN, Badan Siber dan
Sandi Negara, Polri, TNI, dan Kementerian Hukum dan HAM. Wiranto meminta laporan
dari kementerian dan lembaga itu mengencai potensi masalah yang akan dihadapi.

(Sumber berita “Serangan Siber dan Ujaran Kebencian Jadi Hambatan Pemilu”
https://m.medcom.id/nasional/politik/xkEnPwrK-serangan-siber-dan-ujaran-kebencian-
jadi-hambatan-pemilu)

B. BASIS HUKUM

 UUD NRI Tahun 1945


 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo. UU No. 19
Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik
 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
 Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian

C. ANALISIS

Kebebasan berbicara dan berekspresi merupakan hak asasi setiap manusia


sehingga memberikan hak seluas-luasnya kepada individu maupun masyarakat untuk
mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan mereka melalui bahasa. Hal
tersebut juga telah diamanatkan dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun
1945. Namun dalam dewasa ini banyak sekali ditemukan fakta bahwa pengaruh dari
ungkapan mereka melalui bahasa bisa menjadikan bahasa sebagai medium yang
mempunyai kekuatan yang membuat orang lain emosional, sakit hati, ketakutan, depresi,
stres, terancam, dibenci, dikucilkan bahkan hingga terbunuh. Oleh karena itu sangat
diperlukan pemantauan/ kontroling oleh pemerintah terhadap setiap pendapat dan
ekspresi yang disampaikan oleh indidivu, kelompok maupun masyarakat baik dengan
lisan maupun media elektronik agar terhindarnya dari kegiatan ujaran kebencian.
 Menurut Fasold (2006-397) ungkapan kebencian (hate speech) merupakan ujaran yang
mengintimidasi orang dari kelompok-kelompok sosial tertentu yang beriorientasi pada
perbedaan, ras, asal negara, agama, dan jenis kelamin. Sejalan dengan pendapat Fasold,
Hirsch menjelaskan bahwa semua bentuk ungkapan kebencian baik melalui pesan teks,
siaran radio, selebaran, dan yang diucapkan menimbulkan konflik karena ungkapan
kebencian memprovokasi orang untuk menggunakan kekerasa, memancing permusuhan
antar grup dan melukai banyak orang yang mendengarnya.
 Berdasarkan Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran
Kebencian, ujaran kebencian adalah perbuatan yang berupa tindak pidana yang diatur
dalam KUHP dan ketentuan pidana lain di luar KUHP, yang berbentuk antara lain :
Penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan,
memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong, dan semua tindakan tersebut
memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan
nyawa, dan/atau konflik sosial.
 Berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 maka dalam menjalankan hak dan
kebebasan yang dimilikinya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan
oleh undang-undang dengan maksud semata-mata menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain guna memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat yang demokratis. Maka dalam menjalankan hak dan
kebebasannya seseorang dapat dibatasi dengan Undang-Undang. Dalam hal ini undang-
undang tersebut adalah UU ITE, UU Pemilu, dan KUHP.
 Sebelum dikenal istilah ujaran kebencian, KUHP telah mengatur dalam Pasal 156 KUHP
mengenai pidana bagi orang yang menyatakan permusuhan, kebencian, atau
merendahkan suku bangsa Indonesia di muka umum dan 157 KUHP mengenai pidana
bagi orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau lukisan
yang mengandung pernyataan permusuhan, kebencian, dan penghinaan di muka umum.
Dalam KUHP juga diatur dalam Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik dan 311
KUHP tentang pencemaran tertulis.
 Ujaran kebencian dapat dilakukan dengan secara langsung atau melalui media sosial
sehingga perbuatan ujaran kebencian di media sosial dan ancaman pidananya diatur
dalam UU ITE. Berkaitan dengan ujaran kebencian dan ancaman pidananya diatur dalam
Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (2) jo. 28 ayat (2) UU ITE.
 Mengenai Pemilu, ujaran kebencian dan serangan siber dilakukan selama masa kampanye
untuk menjatuhkan peserta pemilu lainnya dan mengunggulkan peserta pemilu tersebut.
Untuk hal tersebut maka telah diatur dalam Pasal 491 UU No. 7 Tahun 2017 tentang
Pemilu yang menyatakan bahwa setiap orang yang mengacaukan, menghalangi, atau
menggangu jalannya Kampanye Pemilu dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah. Maka
apabila terdapat kegiatan ujaran kebencian bertemakan pemilu dapat dikenakan pasal ini
atau pasal lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Contoh kasus Hate speech di beberapa negara

1. Amerika. Setelah terjadi serangan teror di kota London, mengakibatkan


banyaknya penyebaran isu tidak benar atau hoax, rasisme kepada kaum muslim,
dan ujaran kebencian terutama ditujukan kepada pemeluk agama Islam. Salah
satunya anggota kongres Amerika Serikat yaitu Clay Higgins mengutarakan
ujaran kebencian terhadap masyarakat pemeluk agama Islam di mana Clay
membuat ujaran untuk membunuh umat islam yang ia tulis di status media
sosialnya. Hal ini sangat dikecam oleh masyarakat Amerika dan London karena
ujarannya membuat keadaan semakin keruh dan mengkhawatirkan. Maka
masyarakat menuntut permintaan maaf atas apa yang ia perbuat dan meminta
tulisan di media sosial milik Clay untuk dihapus.

2. India, ujaran kebencian juga dilakukan oleh Pemimpin Partai Bharatiya Janata di
India, Subramanian Swamy. Bagi Pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi,
buku “Terorisme di India” - yang ditulis Swamy pada 2006 lalu - dianggap
mengandung unsur ujaran kebencian (hate speech). Isinya bisa membenturkan
umat Islam dan Hindu. Menurut hukum di India, sesuatu bisa dikategorikan
sebagai ujaran kebencian jika setiap ucapan, sikap atau perilaku, tulisan atau
sesuatu yang ditampilkan, dapat mendorong kekerasan atau menyakiti perasaan
keagamaan atau mempromosikan permusuhan antara kelompok yang berbeda atas
dasar agama, ras, tempat lahir, tempat tinggal atau bahasa.

3. Jerman, untuk menanggulangi permasalahan tentang hate speech yang semakin


meningkat di negaranya maka Jerman membuat Undang-Undang anti Hate
Speech. Peraturan ini mengatur tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh suatu
Platform apabila terdapat hate speech di dalamnya. Platform yang tidak mengatasi
dengan cepat konten yang mengandung ujaran kebencian dan hoax akan didenda
hingga 50 juta euro atau sekitar Rp 794 miliar. Di dalam NetzDG juga ada aturan
bahwa platform media sosial, terlepas dari seberapa besar perusahaannya, harus
mempunyai kontak di Jerman untuk mengatasi keluhan pengguna dan permintaan
informasi dari penyidik. Permintaan tersebut harus dipenuhi kurang dari 48 jam.
Jika tidak para penyedia layanan medsos ini bisa dikenai sanksi.

D. KESIMPULAN
Kebebasan berekspresi adalah hak asasi yang dimiliki oleh semua rakyat Indonesia, namun
kebebasan berekspresi dapat saja menimbulkan kerugian bagi orang lain, salah satu yang dapat
menimbulkan kerugian adalah adanya ujaran kebencian atau hate speech. Mengenai ujaran
kebencian ini diatur dalam peraturan perundang-undangan misalnya Surat Edaran Kapolri No.
SE/6/X/2015. Ujaran kebencian dan serangan siber ini juga digunakan selama Pemilu untuk
menjatuhkan peserta Pemilu lain. Oleh karena itu, dalam UU Pemilu a quo diatur pidana bagi
orang yang mengacaukan, mengganggu, dan menghalangi jalannya kampanye Pemilu. Namun
disayangkan dalam aturan tersebut belum menjadikan ujaran kebencian sebagai salah satu isi dari
norma hukumnya.
E. SARAN
Menjelang situasi politik yang memanas pada Pemilu Tahun 2019 seyogyanya pemerintah
melakukan upaya pencegahan terhadap hal-hal yang dapat menghalangi jalannya pesta
demokrasi tersebut dengan digmasukkan/ ditambahkan pasal yang mengatur mengenai ujaran
kebencian yang terjadi selama pemilu sehingga ada aturan yang jelas mengenai ujaran kebencian
dan serangan siber yang terjadi selama masa pemilu. Hal ini dapat meredam tindakan-tindakan
yang akan mengarah pada hal-hal yang justru akan menghalangi atau mengganggu jalannya
pemilu, bukan hanya saat kampanye saja, melainkan juga hingga pemilu selesai diselenggarakan.

Das könnte Ihnen auch gefallen