Als docx, pdf oder txt herunterladen
Als docx, pdf oder txt herunterladen
Sie sind auf Seite 1von 36

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ 2

DAFTAR ISI ........................................................................................................ 3

I. PENDAHULUAN
1. Latar belakang ......................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Otak ......................................................................................................... 6
2.1.1 Anatomi........................................................................................... 6
2.1.2 Pembuluh Darah Otak ..................................................................... 7
2.1.3 Fisiologi Otak .................................................................................. 9
2.2 Stroke Hemoragik .................................................................................... 12
2.2.1 Definisi ............................................................................................ 12
2.2.3 Epidemiologi .................................................................................. 12
2.2.3 Etiologi ........................................................................................... 13
2.2.4 Faktor Risiko .................................................................................. 13
2.2.5 Patofisiologi .................................................................................... 15
2.2.6 Gejala Klinis ................................................................................... 21
2.2.7 Diagnosis ....................................................................................... 24
2.2.8 Anamnesis ..................................................................................... 24
2.2.9 Pemeriksaan Fisik .......................................................................... 24
2.2.8 Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 26
2.2.8 Komplikasi ..................................................................................... 29
2.2.8 Penatalaksanaan ............................................................................. 29
2.2.8 Prognosis ....................................................................................... 34
KESIMPULAN .................................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 39

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Stroke merupakan penyakit yang paling sering menimbulkan kecacatan
pada usia dewasa dan merupakan penyebab kematian tersering kedua di dunia
setelah penyakit jantung iskemik. Diperkirakan 5,5 juta orang meninggal karena
stroke di seluruh dunia. Sekitar 80% pasien selamat dari fase akut stroke dan
50-70% di antaranya menderita kecacatan kronis dengan derajat yang
bervariasi.
Menurut World Health Organization (WHO) stroke adalah manifestasi
klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun global, yang
berlangsung dengan cepat dan lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan airan
darah otak dan bukan disebaban oleh gangguan peredaran darah otak sepintas,
tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun infeksi.
Berdasarkan kelainan patologisnya, stroke dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu stroke hemoragik dan stroke non hemoragik (stroke iskemik). Stroke
hemoragik diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak, sedangkan
stroke non hemoragik disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang
kemudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak.
Perdarahan intra serebral terhitung sekitar 10 – 15% dari seluruh stroke
dan memiliki tingkat mortalitas lebih tinggi dari infark cerebral. Literature lain
menyatakan 8 – 18% dari stroke keseluruhan yang bersifat hemoragik. Namun,

4
pengkajian retrospektif terbaru menemukan bahwa 40,9% dari 757 kasus stroke
adalah stroke hemoragik. Namun pendapat menyatakan bahwa peningkatan
presentase mungkin dikarenakan peningkatan kualitas pemeriksaan seperti
ketersediaan CT scan, taupun peningkatan penggunaan terapeutik agen platelet
dan warfarin yang dapat menyebabkan perdarahan.

Di negara-negara berkembang, jumlah penderita stroke cukup tinggi dan


mencapai dua pertiga dari total penderita stroke di seluruh dunia. Negara
berkembang juga menyumbang 85,5% dari total kematian akibat stroke di
seluruh dunia. Usia penderita stroke di negara berkembang rata-rata lebih muda
15 tahun daripada usia penderita stroke di negara maju dan ada pendapat yang
menyatakan bahwa kondisi tersebut terkait dengan keadaan ekonomi negara
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan
kanker. Sebanyak 28,5% penderita meninggal dunia dan sisanya menderita
kelumpuhan sebagian atau total. Hanya 15% saja yang dapat sembuh total dari
serangan stroke dan kecacatan. Jumlah penderita stroke di Indonesia terus
meningkat. Pada Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) jumlah penderita stroke di
tahun 2007 usia 45‐54 sekitar 8 persen, sedangkan pada tahun 2013 mencapai
10 persen. Jumlah penderita stroke usia 55‐64 tahun pada Riskesdas 2007
sebanyak 15 persen, sedangkan pada Riskesdas 2013 mencapai 24 persen.

B. Tujuan
Tujuan penulisan text book reading yang berjudul “Stroke Hemoragik”
ini adalah untuk memberikan informasi ilmiah mengenai penyakit stroke
hemoragik, baik definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, gejala klinis,
penanganan dan prognosisnya.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Otak
2.1.1 Anatomi Otak
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang
dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang
memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara
berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2%
(sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan
50% glukosa yang ada di dalam darah arterial.
Otak diselimuti oleh selaput otak yang disebut selaput meninges. Selaput
meninges terdiri dari 3 lapisan:
1. Lapisan durameter yaitu lapisan yang terdapat di paling luar dari otak dan
bersifat tidak kenyal. Lapisan ini melekat langsung dengan tulang tengkorak.
Berfungsi untuk melindungi jaringan-jaringan yang halus dari otak dan
medula spinalis.
2. Lapisan araknoid yaitu lapisan yang berada dibagian tengah dan terdiri dari
lapisan yang berbentuk jaring laba-laba. Ruangan dalam lapisan ini disebut
dengan ruang subaraknoid dan memiliki cairan yang disebut cairan
serebrospinal. Lapisan ini berfungsi untuk melindungi otak dan medulla
spinalis dari guncangan.

6
3. Lapisan piameter yaitu lapisan yang terdapat paling dalam dari otak dan
melekat langsung pada otak. Lapisan ini banyak memiliki pembuluh darah.
Berfungsi untuk melindungi otak secara langsung.

Otak dibagi kedalam lima kelompok utama, yaitu :


1. Telensefalon (endbrain), terdiri atas:
Hemisfer serebri yang disusun oleh korteks serebri, system limbic, basal
ganglia dimana basal ganglia disusun oleh nucleus kaudatum, nucleus
klaustrum dan amigdala.
2. Diensefalon (interbrain) yang terbagi menjadi epitalamus, thalamus,
subtalamus, dan hipotalamus.
3. Mesensefalon (midbrain) corpora quadrigemina yang memiliki dua kolikulus
yaitu kolikulus superior dan kolikulus inferior dan terdiri dari tegmentum
yang terdiri dari nucleus rubra dan substansia nigra
4. Metensefalon (afterbrain), pons dan medulla oblongata
5. Cerebellum

2.1.2 Pembuluh Darah Otak


Kebutuhan oksigen jaringan otak adalah sangat tinggi oleh karena itu aliran
darah ke otak harus berjalan lancar. Adapun pembuluh darah yang memperdarahi
otak diantaranya adalah :
1. Arteri Karotis:
Arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna bercabang dari arteri
karotis komunis setinggi tulang rawan carotid. Arteri karotis kiri langsung
bercabang dari arkus aorta, tetapi arteri karotis komunis kanan berasal dari
arteri brakiosefalika. Arteri karotis eksterna memperdarahi wajah, tiroid,

7
lidah dan taring. Cabang dari arteri karotis eksterna yaitu arteri meningea
media, memperdarahi struktur-struktur di daerah wajah dan mengirimkan
satu cabang yang besar ke daerah duramater. Arteri karotis interna sedikit
berdilatasi tepat setelah percabangannya yang dinamakan sinus karotikus.
Dalam sinus karotikus terdapat ujung-ujung saraf khususnya berespon
terhadap perubahan tekanan darah arteri, yang secara reflex
mempertahankan suplai darah ke otak dan tubuh.

Arteri karotis interna masuk ke otak dan bercabang kira-kira setinggi


kiasma optikum, menjadi arteri serebri anterior dan media. Arteri serebri
media adalah lanjutan langsung dari arteri karotis interna. Setelah masuk ke
ruang subaraknoid dan sebelum bercabang-cabang arteri karotis interna
mempercabangkan arteri ophtalmica yang memperdarahi orbita. Arteri
serebri anterior menyuplai darah pada nucleus kaudatus, putamen, bagian-
bagian kapsula interna dan korpus kalosum dan bagian-bagian lobus frontalis
dan parietalis.
Arteri serebri media menyuplai darah untuk bagian lobus temporalis,
parietalis dan frontalis. Arteri ini sumber darah utama girus presentralis dan
postsentralis.

2. Arteri Vertebrobasilaris
Arteri vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteri subclavia sisi yang
sama. Arteri subclavia kanan merupakan cabang dari arteri inomata,
sedangkan arteri subklavia kiri merupakan cabang langsung dari aorta. Arteri
vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum, setinggi
perbatasan pons dan medulla oblongata. Kedua arteri tersebut bersatu
membentuk arteri basilaris. Tugasnya mendarahi sebagian diensfalon,
sebaian lobus oksipitalis dan temporalis, apparatus koklearis dan organ-
organ vestibular.

8
3. Sirkulus Arteriosus Willisi
Arteri karotis interna dan arteri vertebrobasilaris disatukan oleh
pembuluh-pembuluh darah anastomosis ya itu sirkulus arteriosus willisi.

2.1.3 Fisiologi Otak


Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi. Fungsi-fungsi
dari otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik, sebagai pusat
sensibilitas, sebagai area broca atau pusat bicara motorik, sebagai area Wernicke atau
pusat bicara sensoris, sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang berfungsi
sebagai pusat koordinasi serta batang otak yang merupakan tempat jalan serabut-
serabut saraf ke target organ

9
Otak dibagi menjadi beberapa bagian :
1. Cerebrum
 Merupakan bagian otak yang memenuhi sebagian besar dari otak kita
yaitu 7/8 dari otak.
 Mempunyai 2 bagian belahan otak yaitu otak besar belahan kiri yang
berfungsi mengatur kegaiatan organ tubuh bagian kanan. Kemudian otak
besar belahan kanan yang berfungsi mengatur kegiatan organ tubuh
bagian kiri.
 Bagian kortex cerebrum berwarna kelabu yang banyak mengandung
badan sel saraf. Sedangkan bagian medulla berwarna putih yang bayak
mengandung dendrite dan neurit. Bagian kortex dibagi menjadi 3 area
yaitu area sensorik yang menerjemahkan impuls menjadi sensasi. Kedua
adalah area motorik yang berfungsi mengendalikan koordinasi kegiatan
otot rangka. Ketiga adalah area asosiasi yang berkaitasn dengan ingatan,
memori, kecedasan, nalar/logika, kemauan.
 Mempunyai 4 macam lobus yaitu :
- Lobus frontal berfungsi sebagai pusat penciuman, indera peraba.
- Lobus temporal berungsi sebagai pusat pendengaran

10
- Lobus oksipetal berfungsi sebagai pusat pengliihatan.
- Lobus parietal berfungsi sebagai pusat ingatan, kecerdasan, memori,
kemauan, nalar, sikap.
2. Mesencephalon
 Merupakan bagian otak yang terletak di depan cerebellum dan jembatan
varol.
 Berfungsi sebagai pusat pengaturanan refleks mata, refleks penyempitan
pupil mata dan pendengaran.
3. Diencephalaon
 Merupakan bagia otak yang terletak dibagian atas dari batang otak dan di
depan mesencephalon.
 Terdiri dari talamus yang berfungsi untuk pemancar bagi impuls yang
sampai di otak dan medulla spinalis.
 Bagian yang kedua adalah hipotalamus yang berfungsi sebagai pusat
pengaturan suhu tubuh, selera makan dan keseimbangan cairan tubuh,
rasalapar, sexualitas, watak, emosi.
4. Cerebellum
 Merupakan bagian otak yang terletak di bagian belakang otak besar.
Berfungsi sebagai pusat pengaturan koordinasi gerakan yang disadari dan
keseimbangan tubuh serta posisi tubuh.
 Terdapat 2 bagian belahan yaitu belahan cerebellum bagian kiri dan
belahan cerebellum bagian kanan yang dihubungkan dengan jembatan
varoli yang berfungsi untuk menghantarkan impuls dari otot-otot belahan
kiri dan kanan.
5. Medulla oblongata
 Disebut juga dengan sumsum lanjutan atau penghubung atau batang otak.
 Terletak langsung setelah otak dan menghubungkana dengan medulla
spinalis, di depan cerebellum.
 Susunan kortexmya terdiri dari neeurit dan dendrite dengan warna putih
dan bagian medulla terdiri dari bdan sel saraf dengan warna kelabu.

11
 Berfungsi sebagai pusat pengaturan ritme respirasi, denyut jantung,
penyempitan dan pelebaran pembuluh darah, tekanan darah, gerak alat
pencernaan, menelan, batuk, bersin,sendawa.
6. Medulla spinalis
 Disebut denga sumsum tulang belakang dan terletak di dalam ruas-ruas
tulang belakang yaitu ruas tulang leher sampaia dengan tulang pinggang
yang kedua.
 Berfungsi sebagai pusat gerak refleks dan menghantarkan impuls dari
organ ke otak dan dari otak ke organ tubuh.

2.2 Stroke Hemoragik


2.2.1 Definisi
Stroke berdasarkan definisi WHO adalah gangguan atau disfungsi otak, yang
terjadi secara mendadak, baik fokal atau global, dikarenakan adanya suatu kelainan
pembuluh darah otak dengan defisit neurologis yang terjadi lebih dari 24 jam atau
terjadi kematian (Pratomo, 2014).
Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum
mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau
langsung ke dalam jaringan otak. Terdapat tipe perdarahan lain pada otak, epidural
hematom dan subdural hematom. Namun perdarahan otak ini disebabkan trauma
kapitis (Marianto, 2015).

2.2.2 Epidemiologi
Menurut WHO, 15 juta orang menderita stroke setiap tahun. 5 juta dari
penderita tersebut meninggal, dan 5 juta lainnya mengalami disabilitas permanen.
Stroke merupakan penyebab kematian keempat di Amerika. Sejak tahun 2001 hingga
2011, angka kematian stroke menurun 21,2%. Hal ini disebabkan usaha-usaha yang
dilakukan untuk menurunkan tekanan darah dan merokok. Akan tetapi, angka stroke

12
secara keseluruhan masih tinggi disebabkan populasi usia yang semakin meningkat
usianya (Marianto, 2014).
Setiap tahun di Amerika Serikat, 795.000 orang mengalami stroke baru dan
rekuren. Pada tahun 2011, setiap 1 dari 20 kematian disebabkan oleh stroke. Setiap 40
detik, 1 orang mengalami stroke, dan setiap 4 detik, 1 orang meninggal akibat stroke
(Mozaffarian, 2015).
Pada survey tahun 2005, 93% responden mengetahui bahwa rasa kebas pada
sebagian tubuh secara tiba-tiba merupakan salah satu gejala stroke. Hanya 38% yang
menyadari semua gejala stroke dan mencari pertolongan pertama. Telah diketahui
bahwa pasien yang tiba di ruang gawat darurat dalam waktu 3 jam sejak gejala
pertama cenderung untuk mempunyai lebih sedikit disabilitas dalam 3 bulan daripada
yang menerima pertolongan lebih lambat (Marianto, 2014).
Di Indonesia, prevalensi stroke meningkat dari 8,3 per 1.000 penduduk (tahun
2007) menjadi 12,1 per 1.000 penduduk (2013). Prevalensi stroke pada pria sama
banyaknya dengan wanita. Prevalensi penyakit stroke pada kelompok tertinggi pada

usia di atas 75 tahun (43,1‰) (Riskesdas, 2013).

2.2.3 Etiologi
Penyebab stroke hemoragik sangat beragam, yaitu:
 Perdarahan intraserebral primer (hipertensif)
 Ruptur kantung aneurisma
 Ruptur malformasi arteri dan vena
 Trauma (termasuk apopleksi tertunda pasca trauma)
 Kelainan perdarahan seperti leukemia, anemia aplastik, gangguan fungsi
hati,ITP, komplikasi obat trombolitik atau antikoagulan, hipofibrinogenemia,
dan hemofilia.
 Perdarahan primer atau sekunder dari tumor otak.
 Septik embolisme, myotik aneurisma
 Penyakit inflamasi pada arteri dan vena
 Amiloidosis arteri

13
 Obat vasopressor, kokain, herpes simpleks ensefaliris, diseksi arteri
vertebral, dan acute necrotizing haemorrhagic encephalitis
(Ropper, 2005)

2.2.4 Faktor Risiko Stroke Hemoragik


A. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Usia, jenis kelamin, ras, etnis, dan keturunan diketahui merupakan pertanda
risiko stroke. Walaupun faktor risiko ini tidak dapat dimodifikasi, apabila diketahui
adanya faktor risiko ini, memungkinkan untuk diidentifikasinya pasien dengan risiko
yang tinggi, sehingga dapat dilakukan terapi yang lebih cepat terhadap faktor risiko
yang dapat dimodifikasi (Marianto, 2015).

Usia merupakan faktor risiko tunggal yang berperan pada penyakit stroke.
Sekitar 30% dari stroke terjadi sebelum usia 65, 70% terjadi pada mereka yang 65 ke
atas. Risiko stroke dua kali lipat untuk setiap 10 tahun di atas 55 tahun. Insidens
stroke ditemukan 1,25 lebih banyak pada pria (Sotirios, 2000).
Peningkatan insidens stroke dalam keluarga disebabkan karena beberapa hal,
antara lain, kecenderungan genetik, dan paparan lingkungan atau gaya hidup yang
mirip. Pada penelitian Framingham, menunjukkan bahwa riwayat dari ayah dan ibu
berhubungan dengan peningkatan risiko stroke. Risiko stroke juga meningkat apabila
ditemukan saudara derajat satu mempunyai penyakit jantung koroner atau stroke
sebelum usia 55 tahun (laki-laki) atau 65 tahun (wanita) (Marianto, 2015).
Riwayat seseorang pernah mengalami gejala stroke (TIA/Transient ischemic
attack) meningkatkan risiko 10 kali dibandingkan seseorang yang tidak memiliki
riwayat stroke. Jika diobati denganbenar, sekitar 1/10 dari para pasien ini kemudian
akan mengalami stroke dalam 3,5 bulan setelah serangan pertama, dan sekitar 1/3
akan terkena stroke dalam lima tahun setelah serangan pertama. Risiko TIA untuk
terkena stroke 35-60% dalam waktu lima tahun. Riwayat penyakit jantung
sebelumnya juga memiliki risiko yang sama (Pratomo, 2014).

14
Pada usia tua, salah satu faktor risiko yang paling penting adalah adanya
amiloid angiopati. Amiloid angiopati serebral (CAA) disebabkan karena mutasi pada
protein prekursor amiloid atau gen protein sistatin C yang diturunkan dengan pola
autosomal dominan. Amiloid angiopati sering asimptomatik, tetapi merupakan
penyebab penting terjadinya perdarahan intraserebral lobaris pada pasien usia tua
(Marianto, 2015).

B. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi


Faktor risiko yang dapat dimodifikasi lainnya yang diketahui menyebabkan
ICH adalah hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, penggunaan kronik alkohol,
kokain, antikoagulan, dan terapi trombolitik. Adanya malformasi vaskular,
aneurisma, vaskulitis, dan keganasan intrakranial juga merupakan faktor risiko
terjadinya stroke hemoragik (Marianto, 2015).
Hipertensi adalah faktor risiko yang paling kuat dan sering memicu ICH. Lebih
dari 12,7 juta penderita stroke juga menderita hipertensi. Pada kasus stroke
hemoragik, sekitar 60% kasus ICH menderita hipertensi. Risiko ICH diketahui
meningkat berhubungan dengan tingkat tekanan darah sistolik. Hipertrofi ventrikel
kiri juga berhubungan dengan peningkatan stroke hemoragik sebanyak dua sampai
tujuh kali (Sacco, 1997).
Rendahnya sosioekonomi, penyakit mental, dan stres psikososial juga
merupakan faktor risiko stroke. Sosioekonomi rendah diketahui berhubungan dengan
peningkatan risiko stroke. Depresi, adanya stres hidup kronik, dan gangguan panik
meningkatkan risiko terjadinya stroke. Obat-obatan lain seperti kontrasepsi oral dan
terapi pengganti hormon juga meningkatkan risiko stroke. Faktor risiko lainnya, yaitu
konsumsi alkohol, diketahui apabila konsumsi alkohol satu hingga dua gelas per hari
dapat menurunkan risiko sebanyak 30%. Namun, peminum berat dapat merusak
miokardium (WHO, 2013).
Koagulopati yang menyebabkan perdarahan disebabkan karena kurangnya
faktor pembekuan atau adanya kelainan pada hepar. Koagulopati yang menyebabkan

15
ICH biasanya terjadi karena penggunaan antikoagulan, antagonist platelet, dan obat
lainnya yang bersifat antikoagulan (Magistris, 2013).
Tingginya kadar kolesterol total, LDL, dan trigliserida, dan rendahnya kadar
kolesterol HDL meningkatkan risiko stroke. Hal yang sama juga terjadi pada
merokok. Merokok secara pasif merupakan faktor risiko tambahan untuk stroke.
Kurangnya aktivitas fisik akan meningkatkan risiko stroke dan PJK sebanyak 50%
(WHO, 2013).

2.2.5 Patofisiologi Stroke Hemoragik


Perdarahan intraserebral paling sering terjadi ketika tekanan darah tinggi kronis
melemahkan arteri kecil, menyebabkannya robek. Penggunakan kokain atau
amfetamin dapat menyebabkan tekanan darah dan perdarahan sementara tapi sangat
tinggi. Pada beberapa orang tua, sebuah protein abnormal yang disebut amiloid
terakumulasi di arteri otak. Akumulasi ini (disebut angiopati amiloid) melemahkan
arteri dan dapat menyebabkan perdarahan (Silbernagl, 20107).
Penyebab umum yang kurang umum termasuk kelainan pembuluh darah saat
lahir, luka, tumor, peradangan pembuluh darah (vaskulitis), gangguan perdarahan,
dan penggunaan antikoagulan dalam dosis yang terlalu tinggi. Pendarahan gangguan
dan penggunaan antikoagulan meningkatkan resiko kematian dari perdarahan
intraserebral (Marianto, 2015).
Aneurisma intrakranial merupakan lesi yang didapatkan pada 1-6%
pemeriksaan postmortem. Sebagian besar aneurisma ini tidak ruptur dan tetap tidak
terdiagnosis. Sekitar 27.000 kasus perdarahan subarakhnoid baru akibat ruptur
aneurisma terjadi setiap tahun (sekitar 5-15%). Rupturnya aneurisma ini tidak
diketahui secara jelas, namun berhubungan dengan hipertensi dan merokok. Merokok
dan hipertensi diketahui menyebabkan defek struktural dengan menginduksi
perubahan endovaskular, terutama di bagian tunika media, yang menyebabkan
kelemahan fokal pada dinding pembuluh darah yang menyebabkan aneurysmal
ballooning pada bifurkasio arteri (Marianto, 2015).

16
Lokasi paling sering terjadinya aneurisma serebri pada daerah sekitar arteri
kommunikans anterior dan arteri serebri anterior, pada percabangan dekat arteri
serebri media dan percabangan antara arteri basiler dan arteri serebri posterior.
Terjadinya perdarahan parenkim otak pada aneurisma tersebut merupakan perdarahan
intraserebral. Perdarahan intraserebral terdiri dari tiga fase, (1) perdarahan awal, (2)
ekspansi hematoma, dan (3) edema perihematom (Marianto, 2015).
Perdarahan awal terjadi karena ruptur arteri serebri yang disebabkan faktor
risiko yang telah disebutkan sebelumnya. Ekspansi hematoma terjadi beberapa jam
setelah gejala awal terjadi dimana terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Ekspansi
ini akan berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam. Ekspansi hematoma juga
akan mengganggu integritas jaringan lokal (cedera otak primer yang diakibatkan dari
efek masa hematom) (Marianto, 2015).

17
Cedera otak sekunder, sebagian besar, menyebabkan perdarahan intraparenkim
otak dan terjadi melalui beberapa mekanisme, seperti (1) sitotoksisitas darah, (2)
hipermetabolisme, (3) eksitotoksisitas, (4) penyebaran tekanan, dan (5) stres oksidatif
dan inflamasi. Keseluruhan hal ini pada akhirnya menyebabkan gangguan ireversibel
neurovaskular dan diikuti dengan gangguan sawar darah otak, dan edema yang diikuti
kematian sel otak secara masif. Selain itu, gangguan aliran keluar vena yang
terobstruksi akan menginduksi pelepasan tromboplastin, yang menyebabkan
koagulopati (Marianto, 2015).
Lebih dari sepertiga pasien, terjadi ekspansi hematom yang disebabkan
hiperglikemia, hipertensi, dan antikoagulan. Ukuran awal hematom dan kecepatan
penyebaran hematom merupakan salah satu faktor prognostik untuk menentukan
perburukan neurologis. Ukuran hematoma > 30 ml berhubungan dengan tingginya
mortalitas. Diikuti penyebaran hematoma, edema serebri terbentuk sekitar hematoma

18
yang disebabkan inflamasi dan gangguan sawar darah otak. Edema peri-hematoma ini
merupakan penyebab utama terjadi perburukan neurologis dan terus berkembang
hingga beberapa hari sejak perdarahan awal (Marianto, 2015).
Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran dalam
waktu 15-20 detik dan kerusakan otak yang irreversibel terjadi setelah tujuh hingga
sepuluh menit. Penyumbatan pada satu arteri menyebabkan gangguan di area otak
yang terbatas (stroke). Mekanisme dasar kerusakan ini adalah selalu defisiensi energi
yang disebabkan oleh iskemia. Perdarahan juga menyebabkan iskemia dengan
menekan pembuluh darah di sekitarnya (Silbernagl, 2007).
Pembengkakan sel, pelepasan mediator vasokonstriktor, dan penyumbatan
lumen pembuluh darah oleh granulosit kadang-kadang mencegah reperfusi, meskipun
pada kenyataannya penyebab primernya telah dihilangkan. Kematian sel
menyebabkan inflamasi, yang juga merusak sel di tepi area iskemik (penumbra).
Gejala ditentukan oleh tempat perfusi yang terganggu, yakni daerah yang disuplai
oleh pembuluh darah tersebut (Silbernagl, 2007).

Perdarahan intraserebral mempunyai daerah predileksi pada otak seperti


talamus, putamen, serebelum, dan batang otak. Selain daerah otak yang rusak karena
perdarahan, otak sekeliling dapat rusak karena tekanan yang disebabkan efek masa
hematom. Peningkatan tekanan intrakranial dapat terjadi (Silbernagl, 2007).
Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan
kelemahan otot dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik (hemianestesia)
akibat kerusakan girus lateral presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya adalah
deviasi okular, hemianopsia, gangguan bicara motorik dan sensorik, gangguan
persepsi spasial, apraksia, dan hemineglect (Silbernagl, 2007).
Penyumbatan arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan defisit
sensorik kontralateral, kesulitan berbicara serta apraksia pada lengan kiri jika korpus
kalosum anterior dan hubungan dari hemisfer dominan ke korteks motorik kanan
terganggu. Penyumbatan bilateral pada arteri serebri anterior menyebabkan apatis
karena kerusakan dari sistem limbik (Silbernagl, 2007).

19
Penyumbatan arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia kontralateral
parsial dan kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain itu, akan terjadi kehilangan
memori (Silbernagl, 2007).
Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di daerah
yang disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid anterior
tersumbat, ganglia basalis (hipokinesia), kapsula interna (hemiparesis), dan traktus
optikus (hemianopsia) akan terkena. Penyumbatan pada cabang arteri komunikans
posterior di talamus terutama akan menyebabkan defisit sensorik (Silbernagl, 2007).
Penyumbatan total arteri basilaris menyebabkan paralisis semua eksteremitas
dan otot-otot mata serta koma. Penyumbatan pada cabang arteri basilaris dapat
menyebabkan infark pada serebelum, mesensefalon, pons, dan medula oblongata.
Efek yang ditimbulkan tergantung dari lokasi kerusakan (Silbernagl, 2007):
 Pusing, nistagmus, hemiataksia (serebelum dan jaras aferennya, saraf
vestibular).
 Penyakit Parkinson (substansia nigra), hemiplegia kontralateral dan
tetraplegia (traktus piramidal).
 Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anastesia) di bagian wajah
ipsilateral dan ekstremitas kontralateral (saraf trigeminus [V] dan traktus
spinotalamikus).
 Hipakusis (hipestesia auditorik; saraf koklearis), ageusis (saraf traktus
salivarus), singultus (formasio retikularis).
 Ptosis, miosis, dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom Horner, pada
kehilangan persarafan simpatis).
 Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus [X]). Paralisis otot lidah
(saraf hipoglosus [XII]), mulut yang jatuh (saraf fasial [VII]), strabismus
(saraf okulomotorik [III], saraf abdusens [V]).
 Paralisis pseudobulbar dengan paralisis otot secara menyeluruh (namun
kesadaran tetap dipertahankan).

20
Pada sekitar 40% kasus ICH, perdarahan menyebar sampai ventrikel serebri
menyebabkan perdarahan intraventrikel. Perdarahan intraventrikel dapat
menyebabkan hidrosefalus obstruksi dan memperburuk prognosis. ICH dan edema
yang terjadi dapat mengganggu dan menekan jaringan sekitar. Hal ini yang
menyebabkan gangguan neurologis. Tergesernya parenkim otak dapat meningkatkan
tekanan darah intrakranial dengan menyebabkan sindroma herniasi.

Patofisiologi Perdarahan Subaraknoid


Perdarahan subaraknoid dianggap stroke hanya jika terjadi secara spontan yaitu,
ketika perdarahan tidak hasil dari kekuatan-kekuatan eksternal, seperti kecelakaan
atau jatuh. Sebuah perdarahan spontan biasanya hasil dari pecahnya aneurisma
mendadak di sebuah arteri otak, yaitu pada bagian aneurisma yang menonjol di
daerah yang lemah dari dinding arteri itu.
Proses patologis yang terjadi pada PSA adalah terjadi pecahnya darah arteri
secara tiba-tiba yang terjadi pada ruang subarakhnoid atau ke bagian otak. Pada
perdarahan subarakhnoid, perdarahan disebabkan dari aneurisma Berry pada salah
satu arteri pada dasar otak, sekitar sirkulus Willisi.
Sebagian besar kasus disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada percabangan
arteri-arteri besar. Penyebab lain adalah malformasi arterivena atau tumor. Efek
patologis dari perdarahan subarakhnoid bersifat multifokal. Pada PSA, terjadi iritasi
meningens yang mengakibatkan peningkatan TIK dan mengganggu autoregulasi
serebri. Gangguan ini dapat terjadi dengan adanya vasokonstriksi akut, agregasi
platelet mikrovaskular, dan hilangnya perfusi mikrovaskular serebri yang
menyebabkan penurunan aliran darah otak dan iskemik serebri

2.2.6 Gejala Klinis Stroke Hemoragik


Gejala klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah ditemukan
perdarahan intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis dari stroke
iskemik, hipertensi biasanya ditemukan, tingkat kesadaran yang berubah atau koma
lebih umum pada stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik. Seringkali,

21
hal ini disebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Meningismus dapat terjadi
akibat adanya darah dalam ventrikel (Nasisi, 2010).
Defisit neurologis fokal. Jenis defisit tergantung pada area otak yang terlibat.
Jika belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang terdiri dari
hemiparesis kanan, kerugian hemisensory kanan, meninggalkan tatapan preferensi,
bidang visual kanan terpotong, dan aphasia mungkin terjadi. Jika belahan
nondominant (biasanya kanan) terlibat, sebuah sindrom hemiparesis kiri, kerugian
hemisensory kiri, preferensi tatapan ke kanan, dan memotong bidang visual kiri.
Sindrom belahan nondominant juga dapat mengakibatkan pengabaian dan
kekurangan perhatian pada sisi kiri (Nasisi, 2010).
Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan
kompresi batang otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam tingkat
kesadaran, apnea, dan kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan cerebellar atau
batang otak antara lain: ekstremitas ataksia, vertigo atau tinnitus, mual dan muntah,
hemiparesis atau quadriparesis, hemisensori atau kehilangan sensori dari semua
empat anggota, gerakan mata yang mengakibatkan kelainan diplopia atau nistagmus,
kelemahan orofaringeal atau disfagia, wajah ipsilateral dan kontralateral tubuh.

A. Perdarahan Intraserebral
Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar setengah dari
jumlah penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama
aktivitas. Namun, pada orang tua, sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada. Gejala
disfungsi otak menggambarkan perkembangan yang terus memburuk sebagai
perdarahan. Beberapa gejala, seperti kelemahan, kelumpuhan, hilangnya sensasi, dan
mati rasa, sering hanya mempengaruhi satu sisi tubuh. Orang mungkin tidak dapat
berbicara atau menjadi bingung. Visi dapat terganggu atau hilang. Mata dapat
menunjukkan arah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Mual, muntah, kejang, dan
hilangnya kesadaran yang umum dan dapat terjadi dalam beberapa detik untuk menit
(Merck, 2007).
B. Perdarahan Subaraknoid

22
Sebelum robek, aneurisma yang biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali
menekan pada saraf atau kebocoran sejumlah kecil darah, biasanya sebelum pecah
besar (yang menyebabkan sakit kepala), menghasilkan tanda-tanda peringatan, seperti
berikut (Merck, 2007).:
 Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah (kadang-kadang
disebut sakit kepala halilintar)
 Sakit pada mata atau daerah fasial
 Penglihatan ganda
 Kehilangan penglihatan tepi
Tanda-tanda peringatan dapat terjadi menit ke minggu sebelum pecahnya
aneurisma. Individu harus melaporkan setiap sakit kepala yang tidak biasa ke dokter
segera (Merck, 2007).
Aneurisma yang pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-tiba parah dan
mencapai puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti dengan kehilangan
kesadaran singkat. Hampir setengah dari orang yang terkena meninggal sebelum
mencapai rumah sakit. Beberapa orang tetap berada dalam koma atau tidak sadar dan
sebagian lainnya bangun, merasa bingung, dan mengantuk. Dalam beberapa jam atau
bahkan menit, penderita mungkin menjadi tidak responsif dan sulit untuk
dibangunkan (Merck, 2007).
Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak mengiritasi
lapisan jaringan yang menutupi otak (meninges), menyebabkan leher kaku serta sakit
kepala terus, sering dengan muntah, pusing, dan nyeri pinggang (Merck, 2007).
Sekitar 25% dari orang yang mengalami gejala-gejala yang mengindikasikan
kerusakan pada bagian tertentu dari otak, seperti berikut (Nasisi, 2010):
 Kelemahan atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh (paling umum)
 Kehilangan sensasi pada satu sisi tubuh
 Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa
Gangguan berat dapat berkembang dan menjadi permanen dalam beberapa
menit atau jam. Demam adalah gejala umum selama 5 sampai 10 hari pertama.

23
Sebuah perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan beberapa masalah serius lainnya,
seperti (Merck, 2007; Nasisi, 2010):
 Hydrocephalus: Dalam waktu 24 jam, darah dari perdarahan subaraknoid
dapat membeku. Darah beku dapat mencegah cairan di sekitar otak (cairan
serebrospinal) dari pengeringan seperti biasanya tidak. Akibatnya, darah
terakumulasi dalam otak, peningkatan tekanan dalam tengkorak.
Hydrocephalus mungkin akan menyebabkan gejala seperti sakit kepala,
mengantuk, kebingungan, mual, dan muntah-muntah dan dapat meningkatkan
risiko koma dan kematian.
 Vasospasme: Sekitar 3 sampai 10 hari setelah pendarahan itu, arteri di otak
dapat kontrak (kejang), membatasi aliran darah ke otak. Kemudian, jaringan
otak tidak mendapatkan oksigen yang cukup dan dapat mati, seperti pada
stroke iskemik. Vasospasm dapat menyebabkan gejala mirip dengan stroke
iskemik, seperti kelemahan atau hilangnya sensasi pada satu sisi tubuh,
kesulitan menggunakan atau memahami bahasa, vertigo, dan koordinasi
terganggu.
 Pecah kedua: Kadang-kadang pecah kedua terjadi, biasanya dalam seminggu.

2.2.7 Diagnosis Stroke Hemoragik


Perdarahan intraserebral merupakan kegawatdaruratan. Diagnosis dan
manajemen yang cepat diperlukan karena perburukan terjadi pada beberapa jam
setelah onset serangan. Lebih dari 20% pasien akan mengalami penurunan GCS > 2
poin sebelum tiba pada pelayanan kesehatan gawat darurat dan penilaian awal pada
ruang gawat darurat. Apabila terjadi penurunan kesadaran sebanyak 6 poin pada
pasien prehospital, telah diketahui angka mortalitasnya > 75% (Sacco, 1997).
Hal yang perlu dilakukan adalah menentukan apakah stroke yang diderita
adalah stroke infark atau hemoragik. Pembuatan diagnosis stroke iskemik atau
perdarahan di pusat neurologis tidak sulit karena adanya CT-Scan, tetapi karena alat
ini hanya dijumpai pada kota besar, maka diagnosis harus dibuat berdasarkan
pemeriksaan klinis (Bahrudin, 2015).

24
2.2.8 Anamnesis
Hal yang harus diketahui adalah mengenai onset gejala, apakah gejala dialami
pada saat pasien sedang beraktivitas, bagaimana perjalanan gejala, faktor faktor risiko
yang ada pada pasien, berapa kali serangan telah dialami oleh penderita. Apakah
serangan disertai nyeri kepala, mual dan muntah (Bahrudin, 2015).
Hal lain yang perlu ditanyakan juga adalah apakah terjadi hemiparesis,
gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak, diplopia. Vertigo,
afasia, disfagia, disartria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang
keseluruhannya terjadi secara mendadak dan riwayat pemakaian obat sebelumnya.
Riwayat trauma juga perlu ditanyakan (Marianto, 2015).

2.2.9 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan yang dilakukan meliputi tanda vital, pemeriksaan umum meliputi
kepala, jantung, paru, abdomen, dan ekstremitas. Pemeriksaan kepala dan leher
(cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda distensi vena jugular
pada gagal jantung kongestif).

Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama


pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan cara
jalan, refleks koordinasi, sensorik, dan fungsi kognitif. Skala stroke yang digunakan
adalah NIHSS (National Institutes of Heart Stroke Scale). Hipertensi (tekanan darah
sistolik di atas 220 mmHg) biasanya ditemukan pada stroke hemoragik. Tekanan
darah awal yg tinggi berhubungan dengan kerusakan neurologis dini. Hal yang sama
juga berlaku pada demam (Bahrudin, 2015).
Onset akut defisit neurologis, perubahan kesadaran atau status mental lebih
sering ditemukan pada stroke hemoragik. Hal ini disebabkan karena peningkatan
tekanan intrakranial. Meningismus dapat juga terjadi karena darah pada ruang
subarakhnoid (Bahrudin, 2015).

Defisit fokal neurologis.

25
Defisit neurologis yang terjadi tergantung daerah otak yang terlibat. Apabila
terkena pada hemisfer yang kiri, sindroma berikut dapat terjadi (Marianto, 2015):
1. Hemiparesis kanan
2. Kehilangan sensorik pada bagian kanan tubuh
3. Kecenderungan melihat pada sebelah kiri
4. Kehilangan lapangan pandang sebelah kanan
5. Afasia
Apabila perdarahan terjadi pada serebellum, pasien berisiko tinggi terjadi
herniasi dan kompresi batang otak. Herniasi akan menyebabkan penurunan kesadaran
yang cepat dan mengakibatkan apnea dan kematian (Bahrudin, 2015)..
Tanda lain dari perdarahan pada serebelum atau batang otak dapat berupa
ataxia, vertigo atau tinitus, mual dan muntah, hemiparesis atau quadriparesis,
kehilangan fungsi sensorik sebagian tubuh atau keempat ekstremitas, gangguan
sensorik pada separuh tubuh atau keempat ekstremitas, kelemahan orofaringeal atau
disfagia, crossed signs (wajah ipsilateral dan badan kontralateral) (Bahrudin, 2015).
Sindrome stroke lainnya berhubungan dengan perdarahan intraserebral,
bervariasi mulai dari nyeri kepala ringan sampai gangguan neurologis. Perdarahan
serebri pada onset awal dapat menimbulkan kejang (Bahrudin, 2015).

2.2.10 Pemeriksaan Penunjang


Gejala stroke yang ditandai dengan nyeri kepala hebat, muntah, tekanan darah
sistolik > 220 mmHg, defisit neurologis fokal, gangguan kesadaran, dan onset secara
tiba-tiba diasumsikan merupakan stroke hemoragik. Untuk membedakan perdarahan
atau iskemik dan penyebab gangguan neurologis yang lain, pemeriksaan
neuroimaging stroke yang merupakan gold standard adalah CT Scan atau MRI .
Tingginya angka perburukan neurologis setelah ICH untuk mengetahui
apakah perdarahan aktif dapat berlanjut selama beberapa jam setelah onset. CT-Scan
dapat memberikan informasi mengenai lokasi, ukuran infark atau perdarahan, apakah
perdarahan dapat menyebar ke ruang intraventrikular, serta membantu perencanaan
operasi. Di antara pasien yang diperiksa head CT dalam 3 jam setelah onset ICH, 28-

26
38% mengalami ekspansi hematoma. Ekspansi hematom diketahui merupakan
perburukan klinis dan peningkatan morbiditas dan mortalitas (Marianto, 2015).
Pemeriksaan MRI dapat menunjukkan infark pada fase akut dalam beberapa
saat setelah serangan yang dengan pemeriksaan CT-Scan belum terlihat. Sedangkan
pemeriksaan MRI pada perdarahan intraserebral baru dapat terdeteksi setelah
beberapa jam pertama perdarahan. Pemeriksaan ini rumit serta memerlukan waktu
lama sehingga kurang digunakan pada stroke perdarahan akut (Bahrudin, 2015).
Angiografi dilakukan pada kasus yang selektif terutama pada perdarahan
intraserebral non hipertensi, perdarahan yang letaknya tipis. Untuk mencari
kemungkinanAVM, aneurisma atau tumor sebagai penyebab perdarahan intraserebral.
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan adalah darah lengkap, elektrolit,
kadar ureum, kadar kreatinin, dan glukosa. Kadar kreatinin yang tinggi berhubungan
dengan adanya ekspansi hematom. Kadar glukosa yang tinggi juga menunjukkan
adanya ekspansi hematoma dan prognosis yang lebih buruk (Marianto, 2015)..
Pemeriksaan darah lengkap diperlukan untuk menentukan keadaan hematologi
yang mempengaruhi stroke, misalnya anemia atau polisitemia. Selain itu, kadar gula
darah diperiksa untuk mengetahui adanya DM. Tingginya kadar gula darah berkaitan
dengan angka kecacatan dan kematian. Kadar gula darah diperiksa juga untuk
menyingkirkan hipoglikemia yang memberikan gambaran klinik menyerupai stroke.
Pemeriksaan elektrolit serum untuk memeriksa osmolaritas serum yang
berkaitan dengan dehidrasi dan pemberian osmoterapi pada penderita stroke dengan
peningkatan tekanan intrakranial. Faal hemostasis seperti jumlah trombosit, waktu
protrombin, dan tromboplastin (aPTT) diperlukan untuk pemakaian obat antikoagulan
dan trombolitik (Bahrudin, 2015).
Pemeriksaan elektrokardiografi untuk mengetahui adanya iskemik dan aritmia
jantung atau penyakit jantung lainnya untuk menilai fungsi jantung.Foto toraks
digunakan untuk menilai besar jantung ataupun adanya edema paru(Bahrudin, 2015).
Pemeriksaan lain yang diperlukan pada keadaan tertentu seperti tes faal hati,
saturasi oksigen, analisa gas darah, toksikologi, kadar alkohol dalam darah, pungsi

27
lumbal (apabila dugaan kuat perdarahan subarakhnoid, tetapi gambaran CT scan
normal), elektroensefalografi (terutama pada paralisis Todd) (Bahrudin, 2015).
Untuk membedakan stroke iskemik akut dan stroke perdarahan, jika sarana
tidak memungkinkan, dapat menggunakan sistem skoring Siriraj Stroke Score

Siriraj Hospital Score


Versi orisinal:

= (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x tekanan darah
diastolik) – (0.99 x atheromal) – 3.71.

Versi disederhanakan:

= (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan darah diastolik) –


(3 x atheroma) – 12.

Kesadaran:

Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2

Muntah: tidak = 0 ; ya = 1

Sakit kepala dalam 2 jam: tidak = 0 ; ya = 1

Tanda-tanda ateroma: tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1


28klaudikasio intermitten)
(anamnesis diabetes; angina;
Stroke dapat didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit lain seperti:
ensefalitis, meningitis, migrain, neoplasma otak, hipernatremia, stroke iskemik,
perdarahan subaraknoid, hematoma subdural, kedaruratan hipertensif, hipoglikemia,
labirinitis, dan Transient Ischemic Attack (TIA).

2.2.11 Komplikasi
Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi adalah komplikasi yang paling
ditakutkan pada perdarahan intraserebral. Perburukan edem serebri sering
mengakibatkan deteoriasi pada 24-48 jam pertama. Perdarahan awal juga
berhubungan dengan deteorisasi neurologis, dan perluasan dari hematoma tersebut
adalah penyebab paling sering deteorisasi neurologis dalam 3 jam pertama. Jika
sejumlah besar darah, sebagai akibat ruptur pembuluh darah, merembes ke dalam
sistem ventrikel atau membanjiri ruang subarachnoid bagaian basal, darah tersebut
akan memasuki foramen Luschka dan Magendie. Dimana pasien akan mengalami
penurunan kesadaran hingga pingsan sebagai akibat dari hidrosefalus akut.
Hidrosefalus sub akut dapat terjadi akibat blokade jalur cairan serebrospinal oleh
darah setelah 2 hingga 4 minggu. Keadaan ini biasanya didahului oleh nyeri kepala,
penurunan kesadaran dan inkontinen. Pada pasien yang dalam keadaan waspada, 25%
akan mengalami penurunan kesadaran dalam 24 jam pertama. Kejang setelah stroke

29
dapat muncul. Selain dari hal-hal yang telah disebutkan diatas, stroke sendiri adalah
penyebab utama dari disabilitas permanen (Nasisi, 2010).

2.2.12 Penatalaksanaan
Setelah evaluasi dan diagnosis pasien, terapi yang dilakukan di ruang gawat
darurat adalah:

1. Stabilisasi jalan napas


a. Pemantauan terhadap status neurologis, tanda vital, dan saturasi oksigen
dalam 72 jam pertama pada pasien dengan defisit neurologis yang nyata.
b. Pemberian oksigen pada keadaan saturasi oksigen < 95%. Oksigen
diberikan 2 liter/menit.
c. Perbaiki jalan nafas dengan pemasangan pipa orofaring pada pasien yang
tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami
penurunan kesadaran.
d. Intubasi ETT (Endotracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway)
diperlukan pada pasen hipoksia (pO2 < 60 mmHg atau pCO2 > 50
mmHg), yang berisiko terjadi aspirasi atau syok.
2. Stabilisasi Hemodinamik
a. Berikan cairan kristaloid atau koloid. Hindari pemberian cairan hipotonik
seperti dekstrosa.
b. Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter) untuk
memantau kecukupan cairan. Tekanan dijaga 5-12 mmHg.
c. Optimalisasi tekanan darah
d. Bila tekanan darah sistolik < 120 mmHg dan cairan sudah mencukupi,
maka obat-obatan vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti
dopamin dosis sedang/tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan target
tekanan darah sistolik sebesar 140 mmHg.
e. Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan salin normal.
3. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)

30
a. Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus
dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis
pada hari pertama setelah serangan stroke.
b. Monitor TIK harus dilakukan pada pasien dengan GCS < 9 dan penderita
yang mengalami penurunan kesadran karena penurunan TIK. Sasaran
terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP > 70 mmHg.
c. Penatalaksanaan untuk menurunkan peningkatan TIK:
- Tinggikan posisi kepala 20-30 derajat
- Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
- Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
- Hindari hipertermia
- Jaga normovolemia
- Osmoterapi atas indikasi sebagai berikut:
 Manitol 0,25-0,50 gram/kgBB, selama > 20 menit, diulangi setiap
4-6 jam dengan target < 310 mOsm/L.
 Kalau perlu, furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB/iv
- Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi dapat
mengurangi naiknya TIK dengan mengurangi naiknya tekanan
intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction, bucking ventilator.
- Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak
dan tekanan tinggi intrakranial pada stroke iskemik, dan dapat
diberikan kalau diyakini tidak ada kontraindikasi.
4. Apabila kejang, dapat diberikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg
dan diikuti pemberian fenitoin loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan
kecepatan maksimum 50 mg/menit. Bila kejang belum teratasi, rawat di
ICU.
5. Pada stroke perdarahan intraserebral, pemberian antikonvulsan profilaksis
dapat diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila
kejang tidak dijumpai selama pengobatan.
6. Pengendalian suhu tubuh:

31
 Setiap pasien demam harus diobati dengan antipiretika dan
diatasipenyebabnya.
 Berikan asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 37,5-38,5oC.
 Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan
kultur dan hapusan (trakea, darah, urin) dan diberikan antibiotik.

Penatalaksanaan pada ruang rawat inap.


1. Cairan diberikan cairan isotonis seperti 0,9% salin untk menjaga euvolemi
dengan kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari.
2. Nutrisi
 Nutrisi enteral paling lambat diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya
boleh diberikan setelah tes fungsi menelan baik.
 Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran, nutrisi diberikan melalui
pipa nasogastrik.
 Pada keadaan akut, komposisi kalori 25-30 kkal/kg/hari
3. Pencegahan dan Komplikasi
 Mobilisasi untuk mencegah komplikasi subakut malnutrisi, pneumonia,
trombosis vena dalam, emboli, dekubitus perlu dilakukan
 Berikan antibiotika sesuai indikasi.
 Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi
4. Penatalaksanaan medis lain
 Pemantauan kadar glukosa darah diperlukan. Hiperglikemia (KGD > 180
mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi insulin. Hipoglikemia
berat (<50mg/dL) harus diobati dengan dekstrosa 40% intravena atau
infuse glukosa 10-20%.
 Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi
 Berikan H2 antagonis sesuai indikasi
 Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lendir, atau memandikan
pasien karena dapat mempengaruhi TIK.

32
 Kandung kemih yg penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi
intermiten.
(Perdossi, 2011)
Penatalaksanaan Tekanan Darah pada Stroke Akut
Pada pasien dengan stroke perdarahan intraserebral akut, apabila TDS >
200mmHg atau Mean Arterial Pressure (MAP) > 150 mmHg, tekanan darah
diturunkan dengan obat antihipertensi secara kontiniu dengan pemantauan TD setiap
5 menit (Perdossi, 2011).
Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala dan
tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan intracranial.
Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara
kontinu atau intermiten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.
Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala dan
tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan secara hati-hati
dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermitten dengan
pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan
darah 160/90 mmHg. Pada studi INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140
mmHg masih diperbolehkan. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan
TDS 150-220 mmHg, penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg
cukup aman (Perdossi, 2011)..
Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah pada
penderita stroke perdarahan intraserebral. Pemakaian obat antihipertensi parenteral
yang dianjurkan adalah golongan penyekat beta (labetalol dan esmolol), penyekat
kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena (Perdossi, 2011)..
Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau
dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah
resiko terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang. Untuk
mencegah terjadinya perdarahan subarakhnoid berulang, pada pasien stroke
perdarahan subarakhnoid akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-160
mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering digunakan sebagai target TDS dalam

33
mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual, tergantung
pada usia pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan komorbiditas
kardiovaskular (Perdossi, 2011).
Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai panduan
penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki keluaran fungsional pasien apabila
vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan akhir-akhir ini menyatakan bahwa hal
ini terkait dengan efek neuroprotektif dari nimodipin. Tindakan bedah (ligasi,
embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma knife) dianjurkan jika penyebabnya adalah
aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous malformation, AVM).
Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih
rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ lainnya,
misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan
ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-25% pada jam pertama,
dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama. Bahkan, sebuah review sistematik dan
beberapa penelitian multisenter di China menunjukkan tekanan darah sistolik di atas
140 sampai 150 mmHg dalam 12 jam ICH meningkatkan risiko sebanyak dua kali
terhadap kematian (Setyopranoto, 2011).
Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang efekif,
sehingga sampai saat ini belum dianjurkan. Namun, citicolin sampai saat ini masih
memberikan manfaat pada stroke akut. Penggunaan citicolin pada stroke iskemik akut
dengan dosis 2x1000 mg intravena 3 hari dan dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg
selama 3 minggu dilakukan dalam penelitian ICTUS (International Citicholin Trial in
Acute Stroke) (Perdossi, 2011).
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30 mL,
perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung
memburuk. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera diturunkan
dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian
dalam 10 menit) maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril
3 kali 6,25-25 mg per oral (Setyopranoto, 2011).

34
2.2.13 Prognosis
1. Prognosis Jangka pendek
Sekitar 30-60% penderita stroke meninggal dalam 3-4 minggu pertama
setelah onset (Marquadsen, 1976). Herman dkk (1982) melaporkan dalam 3
minggu pertama kematian penderita stroke sebanyak 30%. Angka kematian
penderita stroke berbeda-beda pada beberapa jenis stroke. Angka kematian
tertinggi dijumpai pada PIS sekitar 60-90% meskipun dilakukan operasi
kemungkinan hidup tidak lebih dari 50% (Marquadsen, 1976). Sedangkan
emboli otak 60% dan trombosis otak 30% (Marshall, 1975).
Herman dkk (1982) melaporkan kemungkinan hidup dalam 1 minggu
penderita PIS sebanyak 28%, penderita PSA 46% dan penderita infark otak
(trombosis otak) 80%.

Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosa jangka pendek :


 Tipe Stroke
Kematian penderita PIS lebih tinggi daripada penderita infark otak, dan
prognosa fungsional PIS kurang baik dibandingkan infark otak.
Sedangkan penyembuhan PSA umumnya baik.
 Luas dan daerah lesi
Lesi di batang otak akan menimbulkan gangguan motorik yang lebih
berat daripada lesi supratentorial, sebaiknya lesi supratentorial
menimbulkan gangguan fungsi luhur.
 Defisit neurologis
- Defisit Motorik
Bila dalam 1 bulan tanpa perbaikan menunjukkan prognosa yang buruk,
dan kemampuan dapat berjalan sendiri hanya 15% pada penderita yang
anggota gerak atasnya belum ada perbaikan sampai akhir minggu ke-4
atau tidak ada gerakan dalam 3 minggu biasanya prognosanya buruk.

35
- Defisit Sensorik
Hubungan defisit sensorik dengan penyembuhan masih belum jelas.
- Gangguan Visual :
Akan mempersulit penyembuhan
- Kesadaran
Pada penderita koma dalam beberapa jam setalah onset hampir
seluruhnya meninggal. Sedangkan pada penderita sopor sebanyak 10%
dapat bertahan hidup, dan pada komposmentis 72% dapat bertahan
hidup.

2. Prognosis Jangka Panjang


Dipenganruhi oleh :
a. Umur
Kematian penderita stroke dalam 1 tahun setalah onset umur 70-79 tahun
dua kali lebih tinggi dibandingkan penderita yang 20 tahun lebih muda
(Marquadsen, 1976)
b. Hipertensi
Prognosa akan bertambah buruk bila tekanan sistolik tinggi, tapi bila
tekanan darah terkontrol dengan baik, prognosa akan lebih baik. Kematian
jangka panjang penderita stroke yang disertai tekanan diastolik > 110
mmHg secara bermakna lebih tinggi daripada tekanan diastolik yang lebih
rendah.
c. Penyakit jantung
Adanya kelainan EKG dalam bentuk apapun akan menurunkan
kemungkinan hidup penderita dalam 3 tahun setelah onset stroke.

36
Kebanyakan penderita penyakit jantung berat akan meninggal dalam waktu
1 tahun setalah onset.

3. Psikososial
Stroke mempengaruhi kualitas hidup penderita baik dari sisi fisikal
ataupun psikososial. Depresi adalah hal yang sering mengikuti stroke, yang
berhubungan dengan kognitif, komunikasi dan gangguan neurologi dan
fungsional. Di bawah ini digambarkan hasil dari penelitian-penelitian yang
berhubungan dengan kualitas hidup para penderita stroke:
1. Lebih dari setengah pasien menderita depresi setelah stroke. Meskipun
kelainan tersebut kebanyakan berupa tingkatan minor, frekuensi depresi
yang mayor terlihat meningkat selama tahun pertama. Depresi pasca
stroke berhubungan dengan defisit kognitif seperti memory, penyelesaian
masalah nonverbal, perhatian dan kecepatan psikomotor.
2. Sepertiga dari pasien stroke mendapatkan aphasia pada fase akut dan dua
pertiga selama beberapa tahun kemudian. Adanya aphasia meningkatkan
defisit kognitif nonverbal.
3. Stroke mempunyai pengaruh negatif terhadap kualitas hidup pasien baik
secara fisikal dan psikososial. Rendahnya kualitas hidup tidak akan
meningkat pada tahun pertama pasca stroke. Pada penderita yang sudah
menikah, juga menimbulkan rendahnya kualitas hidup penderita
dibandingkan dengan yang belum, dihubungkan dengan adanya depressi.
4. Gangguan seksual termasuk di dalamnya penurunan libido dan gairah
seksual, serta ketidakpuasan dalam kehidupan seksual, dapat terlihat pada
penderita stroke baik pria maupun wanita. Hal ini tidak hanya disebabkan
karena gangguan sensoris yang disebabkan oleh stroke, tapi juga aspek
psikososial pasca stroke merupakan hal yang turut mendukung.
(Amir, 2013)

37
BAB III

KESIMPULAN

Stroke berdasarkan definisi WHO adalah gangguan atau disfungsi otak, yang
terjadi secara mendadak, baik fokal atau global, dikarenakan adanya suatu kelainan
pembuluh darah otak dengan defisit neurologis yang terjadi lebih dari 24 jam atau
terjadi kematian. Di Indonesia, prevalensi stroke meningkat dari tahun ke tahun.
Prevalensi stroke pada pria sama banyaknya dengan wanita. Prevalensi penyakit
stroke pada kelompok tertinggi pada usia di atas 75 tahun. Stroke hemoragik
merupakan penyebab disabilitas terbesar dan merupakan penyebab kematian ketiga di
Indonesia.

38

Das könnte Ihnen auch gefallen